Sabtu, 08 Januari 2011

Rain from Heaven 26 - tamat

Bismilahirahmannirahim

Hadiah Terindah, Rain from Heaven

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi Dea dan Emil, karna mereka berdua akan mengikuti wisuda, 6 tahun sudah mereka jalani program-progam S1 dan S2. Sedang Angel, Kiki, Debo, dan Lintar. Mereka sudah lulus S1 dan telah bekerja di masing-masing bidang mereka, Angel mengumpulkan uang untuk membangun perpustakaan sederhana dan sekolah sederhana untuk anak-anak kurang mampu pun telah tercapai, Lintar dan Kiki pun kini sudah menjadi pengacara yang handal, dan Debo mennjadi guru Psikologi di Smp Betha Melody menggantikan Bunda yang pensiun. Bagaimana dengan Kamami? Jawabannya, ia sedang dalam pelatihan sebagai aktivis perdamaian di Bosnia, awalnya ia menjadi relawan ke Palestina, kemudian meningkat dengan segala pelatihan.
Alvin juga akan segera pulang untuk menjemput Dea, ia akan melamar Dea agar ia bisa hidup bersama Dea. Dan Rio?
---
Rio menemui Ayahnya, ia menunjukan sertifikatnya dan gelarnya sebagai Pengacara Indonesia dengan beberapa kasus yang sukses ia tuntaskan. Ayah Rio mendekati Rio dan menepuk punggung Rio.
“Kau tetap anak Ayah, walau kau bukan pengacara, kau bisa melanjutkan mimpi Ayah yang sirna.”
“Mimpi Ayah yang sirna?”
“Sini, Yo. Ayah mau cerita banyak padamu.”
Rio dan Ayahnya duduk di sofa, baru kali ini Rio merasakan Ayahnya begitu dekat dengannya, ini pertama kalinya ia akan mengobrol dengan Ayahnya, dan ini pertama kalinya ia akan merasakan kehangatan seorang Ayah.
“Dulu, Ayah bercita-cita menjadi Pengacara karna Ayah melihat Pamanmu menjadi Pengacara yang selalu membela kebenaran, Pamanmu itu sangat tulus membantu orang-orang. Ayah ingin sepertinya, tapi Kakekmu ingin profesi di keluarganya berbeda-beda, maka dari itu Ayah menjadi pengusaha, setidaknya Ayah bisa membantu orang-orang yang membutuhkan, membantu orang itu bukan dengan 1 profesi saja, Yo. Tapi semua aspek kehidupan yang positif bisa kita manfaaatkan untuk membantu orang lain, bahkan terkadang hal negatif dapat digunakan untuk membantu orang, kau ingat kisah-kisah Pencuri sekaligus Pahlawan zaman dulu? Walau hanya cerita, hal itu bisa menjadi pelajaran Rio. Kau harus menjadi Pahlawan sejati.”
“Rio menyayangi Ayah, walau Ayah bukan pengusaha, walau Ayah bukan orang kaya, tapi sungguh, hatiku mencintai Ayah sebagai Pahlawan Rio, bahkan sebelum Ayah ingin Rio menjadi Pengacara, jauh dilubuk hati paling dalam Rio ingin menjadi Ayah, tapi semua itu sirna karna kebencianku pada Ayah.”
“Kau boleh benci pada Ayah, tapi jangan kau benci hati Ayah yang akan selalu menjagamu.”
Rio ingin memeluk Ayahnya, tapi ia ragu, dan tiba-tiba Ayah Rio memeluk Rio. Kehangatan ini yang selalu Rio dambakan, terimakasih Tuhan.
---
Hari wisuda Dea dan Emil akan berlangsung 2 jam lagi, kawan-kawan rumah Bunda mengiringi perjalanan Emil dan Dea, hingga wisuda itu berlangsung. Dea dan Emil mengenakan pakaian …… untuk Sarjana Kedokteran S2 yang bisa menjadi dokter tetap, Dea menjadi Dokter specialis bedah atau penyakit dalam, dan Emil sebagai dokter umum. Setelah wisuda, kedua dokter ini akan kembali ke desa Summer, berterimakasih pada semua pihak yang telah membantu mereka selama ini. Mereka juga ingin menepati janji mereka pada Melisa.
---
“Kalian berdua yakin, akan pulang ke Desa?” Tanya Bunda.
“Aku akan tinggal di Desa dan mendirikan klinik di Sana.” Kata Emil.
“Tenang Bunda, aku nggak akan tinggal di Desa, aku akan mengajak Ibu ke Jakarta, kami akan tinggal di Apartemen berdua, dan aku akan kerja di rumah sakit milik Ayah kak Ify.”
“Jemput Bundaku juga ya, De. Kita tinggal di Apartemen yang sama.” Kata Lintar.
“Benarkah kau mau se-Apartemen denganku?”
“Heeh, lagipula kantorku dekat dengan rumah sakit Ayah kak Ify, rumah sakit Tunas Jakarta.”
“Tapi tunggu aku kembali beberapa minggu lagi,”
“Kau nggak berniat liburan di Sana khan?” Tanya Angel.
“Aku bukan liburan, tapi aku ingin menepati janjiku dan juga janji Emil, pada seorang sahabat kami di Desa.”
“Kau punya banyak janji ya, De.” Ledek Debo.
Keenam anak rumah Bunda dan Bunda tertawa bersama, Dea melihat jam tangannya, dan menarik tangan Emil.
“Ayo bergegas, nanti kita kemalaman.”
“Kami pamit dulu ya.”
“Jaga kesehatan.” Kata Kiki.
Emil dan Dea mengangguk dan pergi ke Desa Summer.
---
Di kapal yang sama, kapal yang mengantarkan mereka menuju mimpi-mimpi anak Desa Summer, kapal yang sudah usang, kapal yang masuk ke daftar pihak berharga milik Dea dan Kamami. Dea teringat kertas hitam dan tinta putih milik Kamami yang berisi impian-impiannya, Dea menatap semua mimpinya telah terwujud.
“Terimakasih Tuhan.”
“De…”
“Ya?”
“Kanker Hati itu, sulit disembuhkan.”
Dea tersenyum walau terpaksa, ia menatap laut yang begitu luas terbentang mengingatkannya pada Meli, sahabatnya yang selalu tersenyum, Meli menderita Kanker hati keturunan Ibunya, sebenarnya selain Ayah, Dea termotivasi karna Meli juga, Emil yang sudah lama menyukai Meli pun termotivasi karna cintanya.
“Kita harus berusaha, mencari cangkok hati yang cocok untuk Meli, jika hal itu mustahil dilakukan, mungkin kita bisa menemani Meli di saat-saat terakhirnya.”
“Kenapa Tuhan tega mengambil Meli?”
“Mungkin karna Tuhan ingin, gadis itu tak merasakan sakit lagi, mungkin Tuhan ingin, Meli bisa tersenyum di langit sana.”
“Walau ia pergi, Meli pergi menjadi gadis yang dikenang akan kebaikannya.”
“Ya, Meli gadis yang beruntung.”
“Tapi kita harus menyembuhkannya! Apapun yang terjadi!”
Dea mengangguk pasti.
---
Setelah mengunjungi keluarga masing-masing, Emil dan Dea bertemu di SMA mereka yang dulu, baru mereka ke rumah Meli.
“Meli…” panggil Dea.
Tapi tak ada jawaban, rumah Meli pun sangat sepi, Emil mengetuk pintu rumah Meli berulang kali, setelah 10 menit menunggu akhirnya Dea dan Emil memutuskan untuk bertanya pada tetangga.
“Meli?”
“Iya, Bu. Melisamanda.”
“Ayah Meli telah lama pindah, semenjak kepergian Meli.”
“Ke.. kepergian Meli?”
“Iya, Nak. Semenjak kepergian Meli 2 tahun yang lalu. Kasihan anak itu, padahal ia baru saja resmi jadi guru agama di SD Summer,”
Jantung Dea terasa sangat sakit mendengar kabar itu, penyakitnya kambuh. Dea memegangi dadanya, tubuhnya bergetar.
“De, kamu kenapa?”
“Meli… bahkan kita belum bisa menepati janji kita.”
Mata Dea berkunang, tubuhnya yang hampir jatuh ditangkap Emil. Emil tahu penyakit Dea kambuh, Emil langsung mencari obat penenang Dea dan menuntun Dea untuk meminumnya.
“Makasih, Mil.”
“Kamu kenapa, Nak?”
“Nggak apa-apa, Bu. Apa Meli dimakamkan di Sini?”
“Iya.”
“Terimakasih, Bu. Kami permisi dulu.” Pamit Emil seraya menuntun Dea, karna Dea belum pulih sepenuhnya.
“Sebaiknya kita istirahat dulu, besok pagi baru kita ke makam Meli.”
“Nggak, Mil. Aku mau minta maaf sama Meli secepatnya. Baru besok aku pulang ke Jakarta.”
“Secepat itu?”
Dea terdiam, lalu mengangguk.
Dea dan Emil pun kini duduk di samping makam Meli. Angin sore terus berhembus makin menyesakan hati keduanya, terbayang wajah manis Meli yang tersenyum, terbayang wajah manis Meli yang menyemangati Dea dan Emil, terbayang kebaikan Meli yang selalu mengiringi perjalanan keduanya. Dea mengelus nisan bertuliskan nama sahabatnya.
“Senyummu akan akan selalu kukenang, karna dari senyummu semua cahaya itu muncul, semua kasih sayangmu menyelimutiku.” Lirih Dea.
“Mel, waktu memang tak bisa diputar, tapi aku ingin kau tahu tentang perasaanku, aku mencintaimu, lebih dari kata terindah itu, sahabat.” Emil menabur bunga Anggrek kesukaan Meli. Dea menempelkan kedua telapak tangannya pada nisan Meli, ia rasakan kehangatan Meli.
“Begitu hangat seperti semua perlakuanmu pada kami.”
“Meli, semoga kau tenang di Sana.” Do’a Emil, Dea ikut berdo’a dengan Emil.
Emil berdiri dan menggandeng tangan Dea.
“Aku akan sering ke Sini, kau tenang saja di Jakarta.”
“Iya, Mil.”
---
Dea mendekati Ibunya yang sedang duduk sambil merajut sebuah syal berwarna ungu. Dea peluk Ibunya, karna ia takut Ibu akan meninggalkannya.
“Kau begitu hangat penuh kasih sayang, Nak.”
“Ibu sedang buat syal untuk siapa?”
“Siapa lagi, kalau bukan buat anak Ibu tersayang.”
“Aku? Serius, Bu?”
“Iya, mungkin besok sudah jadi.”
“Ibu tak boleh memaksakan ini, nggak baik untuk kesehatan Ibu.”
“Tak apa, demi Bu Dokter kebanggaan Ibu.”
“Oh iya, Bu. Besok kita ke Jakarta,”
“Hah?! Cepat sekali, Nak?”
“Aku hanya ingin cepat kerja, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ibu.”
“Anakku ini memang membanggakan.”
Dea tak mau bercerita tentang Meli, ia ingin menenangkan dirinya. Dea tak tahu harus bicara dengan siapa. Rio? Apa mungkin Rio orang yang tepat? Otaknya terus berfikir, dan nama itupun muncul. Alvin. Dea pun menghubungi Alvin.
“Halo, Dea? Ada apa, De?”
“Kak.. aku mau cerita.”
“Cerita saja, De.”
“Sekarang di Sini jarang hujan, Kak. Aku bĂȘte.”
“Hahahaha, dasar adikku tersayang ini. Ada-ada saja, kalau terus hujan juga kamu bisa sakit sayang.”
“Hehe, tapi bukan itu yang ingin kuceritakan kak.”
“Keluarkan semua yang mengganjal di hatimu, De.”
“Aku tak bisa menepati janji pada sahabatku, ia pergi sebelum aku menemuinya. Aku sudah berjanji padanya, akan menyembuhkan penyakitnya jika aku sudah menjadi dokter. Tapi terlambat. Ia pergi…”
‘Dea, andaikan kakak ada disampingmu, kakak ingin menenangkanmu lebih dekat.’ Pikir Alvin.
“Semua ini sudah suratan takdir, De. Kau harus mendoakan ketenangan kawanmu dari dunia. Seperti yang sering kau lakukan pada kak Cakka.”
“Kak Cakka… aku kangen sama kak Cakka.”
“Kak Cakka pasti sudah tenang di Sana. Kau harus tenang juga di Sini.”
“Satu hal yang bisa membuatku tenang, emm, kapan kak Alvin pulang?”
“Mungkin tahun ini, De.”
“Tahun ini?!”
“Iya, De. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, semoga kak Alvin bisa menemaniku di ulang tahunku tahun ini.”
“Amien.”
“Yaudah, Kak. Aku tidur dulu ya, karna besok pagi aku harus pulang ke Jakarta.”
“Selamat malam, Dea.”
“Selamat malam juga, Kak. Mimpi indah ya.”
Dea memeluk Handphonenya, ia ingin Alvin segera pulang. Bercerita pada Alvin membuatnya lebih tenang dan bisa tidur dengan tenang.
---
29/November/2021
Alvin menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta. Ia akhirnya tiba di Jakarta, perasaannya tak menentu. Karna ia ingin segera bertemu Dea. Langkahnya begitu cepat keluar dari Bandara, ia sudah meminta Rio untuk menjemputnya di Bandara. Alvin tahu, arah mobil yang datang akan berhenti berlawanan dari arah ia menunggu. Akhirnya Alvin menyebrang.
“Awas, Mas!!”
---
Rio memarkirkan mobilnya, ia tak melihat Alvin, tapi melihat kerumunan dan karna penasaran Rio pun melihat apa yang terjadi.
“Ada apa, Pak?”
“Itu, Mas. Ada tabrakan! Seorang lelaki kulitnya putih, tapi sekarang bersimbah darah!”
“Lho? Kok nggak dibawa ke rumah sakit?”
“Kami takut, Mas.”
Rio masuk ke kerumunan hendak menolong orang yang tertabrak tadi. Tapi betapa terkejut dirinya, ketika melihat korban kecelakaan itu.
“Alvin!”
Rio langsung meminta bantuan orang-orang untuk mengangkut Alvin ke mobilnya.
“Tolong, kemudikan mobil saya, pikiran saya kacau.” Pinta Rio, seorang anak seumuran Rio menawarkan diri, dan mereka melesat ke rumah sakit, Tunas Jakarta.
Di dalam mobil, Rio terus menguatkan Alvin yang sedang dalam keadaan kritis. Ia terus berdoa.
“Yo..” panggil Alvin.
“Alvin? Kamu bangun, Vin? Kamu harus kuat, Vin. Sebentar lagi kamu akan ditangani Dea.”
“Ja.. jangan, Yo.”
“Apa?”
“Jangan beritahu Dea, so..soal kecelakaan ini.”
“Tapi Dea pasti bisa membuatmu bertahan, Vin!”
“A…aku sudah, nggak kuat lagi, Yo.”
“Nggak, Vin! Kamu harus kuat, demi Dea! Ya! Demi Dea!”
“Ji… jika aku nggak bisa la..lagi hi..hidup, tolong berikan jantung ini di ha…hari u..ulang tahunnya,”
“Nggak, Vin. Kamu nggak akan kemana-mana,”
“Tolong, berikan jantungku untuk hadiah terindahku untuknya, aku ingin Dea tetap hidup. Bersamamu.”
“Kamu nggak akan kemana-mana, Vin. Percaya sama aku.”
“Aku akan menjaga Dea, baik aku ada atau pun sudah tiada.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu, Vin. Please, jangan siksa aku.”
“Kau harus menjaga Dea, seumur hidupmu. Berjanji…lah pa…padaku.”
“Nggak ada yang jagain Dea, kecuali kamu, Vin!”
“Ka..katakan padanya, aku sangat mencintainya.”
Rio terdiam, ia tak kuat melihat Alvin yang semakin lemah.
“Mas, lebih cepat dong!” Rio agak berteriak karna ia sangat panic.
---
Mata Dea berkunang, kesadarannya tiba-tiba memudar, jantungnya berdegup kencang menyakiti seluruh tubuhnya, Dea semakin lemah dan akhirnya terjatuh di ruangannya sendiri.
---
Rio mengantar Alvin hingga ruang UGD, ia mencari Dea. Tapi ruangan Dea kosong.
“Yo, kamu cari Dea?” Tanya Ify.
“Iya, Fy.”
“Dea sedang di kamar rawat, penyakitnya kambuh.”
“Apa?!”
Rio berlari ke kamar Dea, di Sana Rio menatap lekat wajah Dea yang pucat
“Kamu kenapa, De?”
“Penyakitku tiba-tiba kambuh, Kak. Saat itu aku sedang memikirkan kak Alvin.”
“Alvin?”
“Ya, tiba-tiba perasaanku sangat sedih ketika memikirkannya, apa ini pertanda buruk ya, Kak?”
“Tidak, aku harap tidak.” Lirih Rio.
‘Cinta kalian begitu kuat, Alvin akan selalu bersamamu, bersama hujan-hujanmu selamanya.’
---
30/November/2021
Rio menatap nisan Alvin, ia elus nisan yang masih baru itu, ia tak menyangka Alvin harus pergi secepat ini. Tak ada teman Dea yang tahu kepergian Alvin, Rio ingin menyanggupi permintaan terakhir Alvin. Ia akan menjaga Dea seumur hidupnya.
“Aku akan menjaga Dea untukmu, Vin. Dan jantungmu… akan kuberikan sebagai hadiah darimu, hadiah terindah untuk Dea.”
---
Sejak kejadian 29/November/2021 itu, Rio semakin sering berada di samping Dea, keadaan Dea juga mencemaskan, wajahnya begitu pucat, dan juga anak ini terus mengetik.
“Sebenarnya apa yang kau ketik, De?”
“Masa-masa kecil kita, Kak. Aku ingin mengenangnya, dan mungkin akan selesai saat ultahku yang 2 hari lagi.”
“Nanti aku lihat ya?”
“Pasti, Kak!”
“Cepat sembuh ya.”
Dea mengangguk, tanpa tahu rahasia terbesar yang dipegang Rio.
Rio menggenggam tangan Dea.
“Aku mencintaimu.”
Mata Dea membesar karna terkejut dengan perkataan Rio.
“Mungkin kau terkejut dengan ucapanku, tapi sungguh aku mencintaimu. Dan aku ingin melamarmu.”
“Kak Alvin…”
“Suatu saat nanti, aku akan memberitahumu alasan, kenapa aku berani melamarmu.”
---
10/Desember/2021
Kak Rio menatap Dea dengan seksama, menyaksikan Dea yang masih asyik di depan laptopnya sedang ia masih sakit.
“Kamu itu, kenapa masih saja mengetik?”
“Tak apa kak, aku hanya bernostalgia”
“Yasudah, Besok jam 00.00 akan ada kejutan untukmu de.”
“Besok? Harusnya hari ini kak.”
“Tidak, sebaiknya kau selesaikan kisah-kisahmu itu. Baru besok kita rayakan kejutan untukmu”
“Boleh-boleh..”
“Yasudah, aku pergi dulu ya.”
“Mau kemana kak? Ngobrol dulu dong kak, masa’ aku sendirian terus daritadi”
“Tak apa, haha.. sudah ya, bye!”
“Bye..”
---
“Uhuk-uhuk.”
Dea terbatuk karna dadanya sangat nyeri, tapi ia mencoba untuk terus bertahan.
“Sore, De.”
“Sore, Njel.”
“Bagaimana keadaanmu bu Dokter?”
“Haha, sepertinya sebutan Dokter sudah tak pantas untukku yang sakit-sakitan ini.”
“Kenapa nggak pantas? Justru kau adalah dokter sejati, De. Kau selalu berusaha tersenyum untuk semua pasienmu, walau kau sendiri sedang menderita.”
“Ah, sudahlah tak usah terlalu memujiku. Ngomong-ngomong, ada kabar dari Kamami?”
“Belum, De. Kita berdoa saja agar Kamami bisa kembali saat kejutan ultahmu.”
“Iya, tapi aku aneh lho, masa’ kejutan bilang-bilang.”
“Nggak apa-apa dong, biar kamu tambah penasaran!”
“Hahaha.”
“Wajahmu tambah pucat, De.”
“Nggak apa-apa kok njel.”
“Aku pulang dulu ya de, ini bunga untuk menyegarkan pikiranmu.”
“Makasih ya njel.”
---
11/Desember/2021. 00.01 WIB
Keadaan Dea makin tak terkendali, tubuhnya semakin lemah, jantungnya berangsur lemah, Dea tak bisa membuka matanya. Dan tepat di hari ulang tahunnya, ia akan di operasi, hal yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Rio menunggu operasi Dea, ia berharap jantung Alvin bisa membuat Dea terus bertahan. Kamami sudah kembali ke Jakarta demi Dea, ia juga ingin istirahat sebelum ia siap bertugas untuk dunia.
Semua anak rumah Bunda, bersama Prince datang untuk mengetahui keadaan Dea.
“Kak Rio, bagaimana keadaan Dea?” Tanya Lintar.
“Kita berdo’a, semoga jantung Alvin bisa menolongnya.”
“Jantung Alvin?!” Teriak semuanya.
“Alvin sudah meninggal sejak November yang lalu, ia ingin jantungnya menjadi hadiah ulang tahun Dea.”
“Kenapa kau tak pernah mengatakannya pada kita, Yo?!” Protes Iel.
“Ini permintaan Alvin, Yel.”
“Anak itu tetaplah tertutup, bahkan disaat-saat terakhirnya.” Kata Patton.
“Innalilahi wainnalilahi radjiun.”
“Tentu, ini hadiah terindah untuk Dea.” Kata Kamami.
Berjam-jam berlalu, baru kemudian seorang dokter keluar dan tersenyum pada Rio dan teman-teman.
“Dokter Dea bisa tersenyum lega untuk kesembuhannya, syukurlah ada pendonor jantung yang pas. Alhamdulillah.”
Lintar, Rahmi, dan Debo sujud syukur akan kesembuhan Dea, Rio ingin merasakan sujud itu, ia ingin berterimakasih pada Allah SWT, keyakinannya sekarang berbeda. Ia ingin menjadi Islam dan mengajak Dea juga. Ia ingin mendapat cahaya kehidupan yang nyata.
---
11/Desember/2021
Semua menatap Dea yang masih tertidur, sekarang di tubuh Dea telah melekat jantung hatinya sendiri, jantung Alvin.
“Kak Alvin begitu menyayangi Dea.” Gumam Kamami.
Mata Dea perlahan-lahan membuka, Rio makin erat menggenggam tangan Dea. Dea tersenyum lemah pada kawan-kawannya.
“Selamat ulang tahun ya, De!!”
“Terimakasih, apa ini kejutan dari kalian? Bukankah jam 00.00 nanti?”
Semua diam, mereka tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
“Tidak, kami mempercepat kejutanmu!” Seru Rio.
“Oh ya? Kamami? Apa benar itu kamu?”
Kamami mengangguk, lalu memeluk Dea.
“Selamat ulang tahun, sayang.”
“Terimakasih, Mi. Kau juga kado terindah untukku.”
Dea memandang sekeliling, ia mencari Alvin, lalu memegang dadanya. Ia merasa sangat tenang, sama seperti keadaannya saat ia bersama Alvin. Kenapa Alvin tak ada di Sini? Apa ia sembunyi?
“Kak Rio..”
“Iya, De?
“Siapa orang yang rela mendonorkan jantungnya untukku?”
Rio memejamkan matanya, kali ini ia harus mengatakannya pada Dea.
“Nanti siang, kita ke makam orang baik itu.”
“Benarkah?”
“Iya.”
---
Rio tak mau melepas pandangannya dari Dea, ia ingin terus menjaga Dea. Setiap melihat Dea ia selalu ingat Alvin, karna Alvin dan Dea sudah menyatu.
Dea dan Rio duduk di samping makam Cakka, tertulis jelas Cakka Nuraga. Ingatan Dea melayang ke 15 tahun yang lalu. Saat Cakka menyelamatkannya dari Pohon besar, jasa Cakka takkan Dea lupakan.
“Tapi, Kak. Katanya kita akan ke makam pendonor jantungku?”
Rio tak menjawab, ia terus menabur bunga. Dea tersadar, ia merasa seluruh tubuhnya kedinginan, ia ketakutan.
“A..apa, kak Alvin mana kak?”
Rio menggandeng tangan Dea, dan mengajaknya ke makam Alvin yang tak begitu jauh dari makam Cakka. Dea terdiam, ia merasa tubuhnya melayang. Pandangannya pudar, Rio terus menggenggam tangan Dea.
“Alvin akan terus menjagamu, walau ia sudah tiada. Seperti janjinya pada kak Cakka.”
Dea masih terdiam.
“Kapan.. sejak kapan kau merahasiakan ini?”
“Sudah lebih dari seminggu.”
“Kenapa kak Alvin meninggal?”
“Ia kecelakaan, De.”
“Kenapa… kenapa kau tidak memberitahuku? Jika kau memberitahuku, aku akan menangani kak Alvin!! Kau tahu khan, aku ini dokter!! Aku akan sekuat tenaga menyembuhkan kak Alvin!” Bentak Dea, prilakunya tak terkendali, karna ia tak ingin menerima kenyataan ini.
“Alvin yang menyuruhku, De.”
“Kau terus membohongiku! Kau tak pernah jujur padaku!”
“Tapi aku tak pernah bohong dengan perasaanku, De!”
Dea jongkok, dan mengelus nisan Alvin. Ia memegang dadanya lagi, ia rasakan detak jantung kak Alvin dan juga jantung kak Cakka.
“Mereka memang selalu menyelamatkanku, siapa lagi yang akan pergi dari hidupku?”
“Aku akan terus bersamamu, De. Aku janji.”
“Aku sudah tak percaya pada janji.”
“Tapi aku akan terus berusaha, aku akan berusaha memenuhi janjiku padamu juga pada Alvin.”
Rio memeluk Dea erat, seperti dulu. Saat mereka masih Smp, saat Dea ingin menjauhi Rio. Dea memegang janji Rio, ia ingin terus bersama Rio.
Alvin memang menepati janjinya, dengan jantungnya yang kini bersama Dea, Alvin bisa menjaga Dea dan seluruh hujan yang mengantarkan cintanya dari Surga. Rain from Heaven.


FIN

akhirnya tamat juga, walaupun garing. Aku ucapin TERIMAKASIH ya buat SEMUA pihak yang udah dukung aku selama ini. Terutama ALLAH SWT
Alhamdullilah

Rain from heaven 24

Bismillahirahmannirahim

Begitu Indah

Malam semakin larut, beberapa teman Dea sudah pulang, hingga akhirnya tertinggalah anak-anak rumah Bunda. Dea masih berjalan mondar-mandir di teras depan, ia masih menunggu Rio. Bunda menyuruh Dea tidur seperti yang lain. Dea pun sebenarnya sudah lelah, tapi ia ingin melihat wajah Rio.
“Apa kak Rio takkan datang, Bun?”
“Hanya Tuhan yang tahu, De.”
Dea mengangguk, dan memeluk Bunda.
“Aku merindukan seluruh hidupku di Jakarta.”
“Bunda akan terus disampingmu.”
“Terimakasih, Bun.”
Dea pun pergi ke kamar, dan tidur di tempat tidurnya yang lama. Ia terlelap, karna ia sangat lelah dengan hari ini.
---
Rio memesan ayam bakar, nasi kucing, dan es dawet, sama seperti Dayat. Rara atau Zahra yang melihat kawan-kawan sekelasnya makan di restoran Papanya langsung menghampiri keduanya. Rara tersenyum manis pada Dayat dan Rio.
“Malam Dayat, Rio,”
“Malam Rara.” Balas keduanya.
Rara tersenyum pada keduanya, lalu memberi 2 gelas susu coklat hangat.
“Lho? Kami nggak pesan lho, Ra.” kata Dayat.
“Nggak apa-apa, ini untuk keberhasilan presentasi kita. Lagipula Dayat khan langganan di Sini.” Masih dengan senyum manisnya, Rara pergi membawa nampan kosong kembali ke dapur.
“Rara manis khan, Yo?”
“Iya… tapi masih kalah dengan Dea.” Gumamnya lirih, ia kembali ingat pada Dea.
“O iya, tadi saat presentasi Hpmu berbunyi, Yo.”
“Oh! Aku lupa..”
Rio mengambil Hpnya, lalu terkejut melihat pengirim SMS yang diterimanya.
“Hah?!”
“Kenapa, Yo?”
Rio terdiam, lalu cepat membuka SMS.
-Kiki : Kak, bantu kami untuk menyambut gadis hujan itu, Dea.-
Pesan yang sangat singkat, tapi mampu membuatnya diam membeku. Dayat bingung melihat sikap Rio, ia pun menepuk bahu Rio. Tapi Rio tak bergeming.
“Kau kenapa, Yo?”
Rio menoleh ke Dayat, tangannya bergetar.
“Jam berapa ini, Day?”
“Jam 9 malam, Yo.”
Rio langsung berdiri, dan ia berlari tanpa menghiraukan Dayat, Dayat kebingungan sendiri, Rara mendekatinya dan menanyakan keadaan.
“Ada apa dengan Rio?”
“Aku nggak tahu, Ra. Semua makanan ini dibungkus saja ya, Rio belum makan sama sekali,”
“O..ok.” Kata Rara yang terbawa panic.
Rio terus berlari melalui banyak manusia, tangannya masih menggenggam erat Handphone, dan SMS dari Kiki masih terbuka, ia melesat ke rumah Bunda dengan taksi. Ia lupa jika Dayat membawa motor.
Perasaan berdosa kini terus memenuhi pikirannya, ia menyesal karna ia tak cepat membuka SMS tersebut, sebuah perasaan lega tiba-tiba menyelip ke rongga hatinya, kedalam semua perasaan bersalahnya.
“Vin, Dea kembali..” gumamnya.
---
Akhirnya Rio tiba di rumah Bunda, tapi rumah Bunda sudah gelap.
“Semua penghuninya mungkin sudah tidur…” gumam Rio seraya berjalan pelan menuju teras belakang.
“Ini karna kepikunanku! Arghh!” Omelnya pada diri sendiri.
Rio duduk di ayunan dan mulai bengong.
‘kring’ suara SMS membuyarkan lamunannya.
-Dayat : kamu dimana sih? Makanan yang tadi kamu pesan masih ada di aku.-
-Rio : aku nggak pulang malam ini, kau makan saja untuk sarapan.-
-Dayat : kamu kemana?-
-Rio : menjemput putri.-
-Dayat : hah?!-
Rio tak membalasnya, ia bersandar di pinggan ayunan, dan ia pun terlelap.
---
Tengah malam, Dea terbangun, ia merasa sangat haus, lalu ia beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur. Setelah minum, dadanya tiba-tiba sesak dan ia putuskan untuk pergi ke teras belakang menghirup udara segar.
Dan matanya tak sengaja melihat tubuh Rio dalam kegelapan, ia kaget bukan main melihat sosok itu, lalu ia coba mendekatinya.
“A..apa benar?”
Dea menyikap rambut Rio, ia tersenyum lembut melihat penyelamat hidupnya yang kedua itu kembali muncul di hadapannya. Dea mengelus rambut Rio.
“Apa kau menungguku? Apa kau rela tidur di sini untukku?” Tanya Dea lirih, ia terus mengelus rambut Rio yang basah akibat keringat.
“Aku merasa, kakak selalu menungguku. Mungkin aku kegeeran, tapi aku berharap itu nyata.” Dea merobek sedikit bajunya, dan menyeka keringat di dahi Rio.
“Kau selalu berkorban untukku, tapi maaf kak.. aku nggak bisa menyayangimu lebih dari sahabat, karna aku sudah mencintai lelaki lain.”
Dea menyeka keringat Rio dengan lembut, agar Rio tak bangun, malam itu tepat pukul 00.00, waktu seakan berhenti bagi Dea, ia kembali melihat rajutan pengorbanan Rio yang disampaikan melalui bintang-bintang di langit, ratusan bintang itu mengelilingi Dea dan Rio dengan kehangatan sinarnya.
Ternyata Rio tak tidur saat itu, ia mendengar gumaman Dea tentang perasaan Dea yang sebenarnya, dan itu semua membuat Rio makin tak ikhlas.
“Kenapa, De?” Tanya Rio dalam hati, selesai Dea menyeka keringat Rio, Dea pun kembali ke kamarnya, tapi sebelum tidur ia menyelimuti Rio dengan selimut tebal, agar Rio bisa tidur nyenyak, jauh dari pemikiran Dea, Rio tak bisa tidur nyenyak karna memikirkan Dea.
Dea berlari masuk ke rumah Bunda, hatinya kembali berdesir, walau ia berkata bahwa ia tak mencintai Rio, tapi mungkin hatinya berkata lain. Mungkin. Dan malam itu menjadi malam yang sangat panjang bagi Rio dan Dea yang sedang diselimuti perasaan yang membingungkan.
---
“Kenapa nggak ada yang bilang jika 2 hari yang lalu Kamami menghubungi kalian?!” Omel Obiet pada teman-teman rumah Bunda pagi ini.
“Yah, kami lupa kak, dan ini kami baru bilang.” Kata Kiki.
“Kalian kan tahu, kalau aku sangat merindukan gadis itu?!”
“Kami juga merindukannya kak! Maka dari itu kami lupa pada siapapun yang juga merindukan Kamami!” Gertak Debo yang tak tahan dimarahi Obiet.
Obiet pun pergi dengan terus mendumal.
“Apa-apaan kakak itu? Datang-datang sudah marah.” Kesal Angel.
“Lagipula kenapa sih kamu kasih tahu, Ki?” Tanya Lintar.
“Kupikir ini baik untuknya, ternyata hanya membuat kak Obiet marah-marah.”
“Ah, sudahlah… nanti juga baikan.” Kata Lintar.
Semua mengangguk setuju, Dea yang sejak tadi memperhatikan sebenarnya setuju dengan Obiet, ia mungkin berlaku sama jika tidak diberitahu akan Kamami, padahal ia sangat merindukannya. Tapi niatnya untuk mengutarakan sikap Obiet yang wajar kembali terpendam, karna ia ingin melihat keadaan Rio.
Dea pergi ke teras sendirian, dan terlihat kak Rio masih tidur, ini memang masih pagi 05.35 wib, Dea hendak membangunkan Rio tapi ketika ia mendekati Rio, ternyata Rio terbangun. Rio melihat Dea.
“Kak…”
Rio berdiri dan ia tetap lebih tinggi dari Dea.
“Kenapa kau baru kembali?”
“Aku hanya ingin menjaga Ibu.”
“Dan mengabaikan semua perasaan teman-temanmu?”
“Maafkan aku,”
“Aku sangat merindukanmu.”
Dea yang awalnya menunduk, mendongakan wajahnya menatap Rio.
“Aku juga sangat merindukan kakak,”
Keadaan hening sesaat, anak-anak rumah Bunda mengintip keduanya dari dalam, mereka hanya senyum-senyum melihat tingkah Rio dan Dea.
“Mereka kenapa diam-diaman?” Tanya Kiki.
“Aku nggak tahu, tapi mereka terlihat sangat serasi.” Kata Angel.
“Hahahahaha.” Tawa keempat anak jahil ini.
Rio langsung mengelus rambut Dea, persis seperti Dea yang mengelus rambut Rio kemarin malam.
“Kau tak boleh kemana-mana, kau harus tetap disampingku.”
“Iya kak…”
---
Selama beberapa hari, anak-anak rumah Bunda pun terus melakukan pelatihan untuk tes SPMB, target keenam anak ini adalah, Universitas Indonesia.
Rio dan Dayat juga ikut mengajar, membahas soal-soal SPMB tahun lalu, soal-soal yang memeras otak, terdiri dari Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris tingkat logika. Memang sulit, tapi menyenangkan.
Hari-hari mereka lalui dengan kebersamaan yang erat, sangat erat. Hingga hari itu tiba, hari seluruh anak SMA lulusan 2014/2015 akan mengikuti test masuk Universitas.
Dea bersama teman-teman rumah Bunda berada di ruang terpisah, sebelum masuk ke ruangan masing-masing, mereka berdo’a dan dilanjut berhigh-five bersama.
Selama 2 hari Dea dan teman-teman kembali disuguhkan soal-soal yang menentukan masa depan masing-masing, dan mereka harus menunggu pengumuman SPMB selama 2 bulan lebih. Waktu yang lama untuk mempersiapkan mental keenam anak ajaib ini.
“Kita pasti akan masuk ke Universitas Indonesia bersama-sama, Angel di Tehnik Kimia, Kiki dan Lintar di Hukum, Debo di Psikologi, Emil dan aku di kedokteran, kita pasti masuk!” Teriakku pada teman-teman.
“Iya, aku yakin. Kita semua pasti masuk! Amin… Amin Ya Rabbal Alamin.” Kata Lintar.
Kami kumpulkan tangan kami pada satu pusat, dan berteriak bersama.
“Universitas Indonesia!!”
---
Alvin mengerjakan makalahnya tentang music di negri sendiri, ia menceritakan berbagai aliran music di Indonesia, dari Jazz, Rock, Klasik, bahkan ia menjabarkan panjang tentang lagu-lagu daerah di Indonesia, baginya Indonesia begitu istimewa. Walau ia sering kagum pada negri lain, seperti Singapure, Korea, Jepang, dan Paris. Tapi Indonesia tetap nomor 1 dihatinya.
“Aku rindu Indonesia..”
‘because I’m weary… because I Love you..’ lagu Because I’m Weary mengalun indah dari Handphone Alvin, tapi itulah suara tanda SMS masuk.
“Rio?”
-Rio : vin, Dea sudah kembali. Dea ada di Sini, kapan kau pulang?-
-Alvin: hah?! Yang benar?! Kau tidak bohong khan?-
-Rio : iya, aku nggak bohong, ia kini kembali ke Jakarta.-
Alvin : kuliahku masih 2 tahun lagi, katakan padanya. Tunggu aku, dan aku akan menjadi musisi terkenal seperti kak Cakka.-
Rio menggenggam erat Handphonenya, ia menghitung 2 tahun dari sekarang, 2017.. tahun itu akan menjadi tahun yang menyakitkan bagi Rio, karna mungkin Dea akan kembali pada Alvin.
-Alvin : oh Rio, mungkin 6 tahun lagi aku baru bisa pulang, karna aku harus meneruskan S2 di Sini juga, tahun 2021 nanti, aku akan kembali menjaga Dea, untuk sekarang aku mohon, jagalah Dea.-
-Rio : tentu,-
Kata ‘tentu’ yang singkat itu menggambarkan rasa bahagia Rio, karna waktu 6 tahun itu pasti sangat lama untuk Dea melupakan Alvin.
“Ah! Kenapa aku harus begini sih!? Hanya karna… cinta?”
Sebuah tepukan agak kencang terasa di punggung Rio.
“Eh, Dayat.”
“Muka kamu merah tuh.”
“Masa’?!”
“Hahahaha, udah yok! Kita masuk kelas!”
Kedua lelaki itupun masuk ke kelas dengan perasaan sangat tenang.
---
2 bulan sudah Anak-anak rumah Bunda menunggu pengumuman, keenam anak itu melihat kerumunan papan pengumuman Universitas Indonesia yang penuh sesak. (Universitas Indonesia menyediakan pengumuman masuk)
“Berapa ribu orang yang mendaftar?” Tanya Lintar lirih, ia teringat masa SMP dulu, saat ia tak diterima di SMP Betha Melody.
Dea merangkul Lintar, ia kembali tersenyum tulus untuk sahabatnya itu.
“Kita harus percaya, kalau kita masuk.” Kata Dea.
Ada beberapa orang yang menangis karna ia diterima, ada juga karna ia tidak diterima, perasaan keenam anak itu sungguh kacau balau, Angel tak kuat menahan airmatanya, ia menangis sambil memeluk Dea.
“De, Angel takut.. Angel takut nggak bisa bahagiain Mama dan Papa…” ucapnya lirih.
“Percayalah kawan, semua akan begitu indah jika kita sudah memegangnya dengan teguh, keyakinanmu harus kau pegang erat-erat, dengan Do’a, karna kita sudah berusaha.”
Setelah agak legang, keenam anak itu ke papan pengumuman kelulusan SPMB. Masing-masing mencari nama mereka, setelah beberapa menit mencari, semua keluar dari kerumunan.
Semua diam, waktu kembali berhenti, Angel menyeka airmatanya, Kiki, Lintar, Debo, dan Emil yang sangat berani sebagai lelaki, tiba-tiba saja air mereka berkaca-kaca, Dea sudah berjanji takkan menangis, kini matanya juga ikut berkaca-kaca.
“A..aku di.. diterima,” kata Angel lirih.
“Lintar dan aku,, juga diterima.” Kata Kiki.
“Aku, diterima…” Kata Debo.
“Aku… juga diterima.” Kata Emil.
Kini semua mata tertuju pada Dea yang diam saja, airmata Dea mulai mengalir. Angel mendekati Dea dan menggenggam tangannya. Dea menangis, ia menutup wajahnya dan tak mau berkata apapun.
“Kamu diterima nggak, De?” Tanya Angel.
Dea masih saja bungkam, Lintar pun berlari menerobos kerumunan, mencari nama Dea di papan pengumuman, tapi tak ia temukan! Ia kembali mencari, tetap tak ada! Tapi ia pun mengulangnya, dan… Dea Christa Amanda. Ia menemukannya, ada tepat di bawah nama Emil, ia tersenyum lebar. Sahabatnya diterima, sama sepertinya. Kejadian 6 tahun yang lalu akhirnya tak terulang.
Lintar kembali menerobos kerumunan, ia langsung memeluk Dea.
“Selamat sahabatku, kau selalu begitu indah untuk menjadi bagian hidup kami. Semoga kau dan Emil bisa menjadi dokter yang bertanggung jawab.” Kata Lintar.
Semua saling pandang, dan ikut berpelukan bersama Dea dan Lintar.
Hari itu, begitu indah untuk enam anak manusia rumah Bunda.

Rain from Heaven 25

Bismilahirahmannirahim

Together

Dea duduk di depan piano, ia mulai bermain piano lagi. Satu hal yang hampir ia lupakan selama 6 tahun terakhir. Dea bermain sambil memejamkan matanya, suasana menjadi begitu tenang dengan dentingan ‘the untold love story’ yang dimainkan Dea.
Rio menatap Dea dengan seksama.
“Apa aku rela melepasmu, De? Apa aku bisa?”
Rio mendekati Dea, tapi Dea tak menyadarinya mungkin karna ia terlalu asyik main piano. Rio hendak mengelus rambut Dea, tapi ia urungkan niatnya. Karna ia tahu Dea sedang sangat menikmati lagu tersebut, Rio ikut memejamkan mata merasakan denting demi denting alunan lagu itu. Ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia sangat merindukan Dea.
“Kak Alvin…” gumam Dea, menyadarkan Rio dari lamunannya, ia kembali menatap Dea dan pergi.
“Aku takkan rela jika kau bersama Alvin.” Kata Rio.
---
Sudah 2 tahun anak-anak rumah Bunda menjalankan studi mereka, masing-masing sampai lupa akan suatu kebersamaan. Sikap masing-masing anak semakin cuek, mereka pun jarang bertemu di rumah, setiap malam ada saja anak yang tidak pulang, mengerjakan tugas, santai dengan teman kuliah atau apapun alasannya. Orang yang paling kehilangan, tentu Dea. Karna ia baru bergabung kembali dengan teman-temannya. Akhirnya malam itu, malam minggu tanggal 18/Oktober/2017 Dea mengumpulkan kawan-kawannya di taman belakang. Semua ada kecuali Debo, anak itu memang sekarang paling sibuk, karna ia sudah diberi kepercayaan sebagai asisten dosen.
“Debo, nggak pulang lagi malam ini?” Tanya Dea.
“Iya, De.” Jawab Angel singkat, tak seperti Angel 2 tahun yang lalu, yang perhatian dan menjelaskan detail keadaan teman-temannya.
Dea menatap Angel sejenak, lalu kembali mengedarkan pandangan ke teman-teman, Dea yang sejak tadi berdiri pun duduk sila. Dea tertawa kecil, sangat pelan seraya menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir semua sahabatnya harus hilang, ia kehilangan jiwanya yang ia jaga bertahun-tahun.
“Loe kenapa, De?” Tanya Kiki.
“Loe? Hah? Baru 2 tahun kuliah, bahasamu sudah berubah, Ki.”
“Sory, De. Aku keceplosan.”
“Bukankah kita janji untuk berkata sopan setiap waktu, walau pada teman kita sendiri?” Dea menatap Kiki dingin, Kiki tak menatap Dea bahkan ia seperti tak menganggap Dea ada.
“Kemana sebenarnya sahabat-sahabatku yang dulu…” gumam Dea.
“Sebenarnya untuk apa sih kita kesini? Aku masih banyak tugas tahu!” Gertak Angel.
Dea tersenyum pada Angel, tapi Angel tak membalasnya, ia malah menatap tajam pada Dea. Hati Dea sesak melihat sahabat-sahabatnya sekarang.
“Apa benar, semua sahabatku sudah tiada?” Tanya Dea seraya memandang satu persatu kawannya. Semua hanya diam. Dea akhirnya berdiri dan mendongak melihat bintang.
“Dulu Kamami pernah bilang, suatu saat nanti kita akan menajdi para pemenang yang pasti meraih satu bintang tersembunyi di balik awan malam dan siang, bertempat di samping bulan. Dan berpusat di hati kita. Itu salah satu kalimat dari Kamami yang takkan pernah kulupakan. Dan semua itu menjadi nyata, kita sudah mengambil sebuah bintang impian kita bersama. Kita berjuang bersama, menjadi salah satu anggota Universitas Indonesia, tapi sepertinya Kamami lupa mengucap do’anya, semoga setelah kita memetik bintang-bintang itu, kita tak akan berpisah, tetap menyatu menjadi sebuah rasi bintang, untuk Bunda,
“Aku merasa, jiwaku kembali rapuh ketika persahabatan itu pudar. Aku merasa kalian sudah hilang dari hidupku, saat meninggalkan desa Summer, aku berjanji tidak akan menangis lagi, sepedih apapun hatiku, tapi setiap ingat kerapuhan persahabatan kita, airmataku selalu keluar tiba-tiba, perasaanku kacau balau, aku sangat merindukan kalian, aku ingin kita kembali bersama, walau itu mustahil bisakah kita saling menyapa setiap waktu?”
Kiki kembali berdiri, ia menatap Dea lebih sinis, lalu Kiki masuk ke dalam rumah, diikuti Angel dan Emil, kini tinggal Lintar dan Dea. Dea menatap Lintar, Lintar menggeleng tanda semua ini percuma.
“Sebaiknya kita juga masuk kedalam.” Kata Lintar seraya menggandeng Dea.
“Aku ingin tetap di Sini sebentar lagi, Lin.”
“Jangan terlalu larut, De.”
“Iya.”
Lintar meninggalkan Dea, Dea berjalan pelan menuju kumpulan bunga mawar putih, ia petik satu mawar putih, Dea teringat malam itu, saat dirinya, Angel, dan Kamami mengikrarkan persahabatan abadi.
“Aku ingin seperti dulu lagi, saat kita bersama, saat kita masih mempunyai mimpi, saat kita masih bertekad kuat. Aku rindu kalian…” lirih Dea, ia tersenyum lembut dan menghirup aroma mawar putih, ia merasakan kehidupan yang tersembunyi di mawar itu.
“Bahkan kalian… lebih menghargai persahabatan daripada Manusia.”
Handphone Dea bergetar, ia kembali menemukan nomor Asing di layar Handphonenya. Dan ia tahu ini Alvin.
“Halo.”
“Dea… kakak merindukanmu,”
“Kak Alvin kapan pulang?”
“Hahahaha, baru pertama kembali mengobrol, kau langsung bicara begitu padaku.”
“Aku kesepian. Kak.”
“Kesepian? Bukankah ada teman-teman rumah Bunda?”
“Mereka hilang, Kak.”
“Maksudmu? Lalu Rio?”
“Kak Rio memang menemaniku tapi tak selalu, aku merindukan sahabat-sahabatku, Kak. Semenjak kami diterima di UI. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing, bahkan di rumah satu sama lain seperti tak saling kenal.”
“Coba Dea dekati teman-teman, cari tahu masalah masing-masing, dan coba Dea membantu mereka semampu Dea.”
“Sudah Dea lakukan, Kak. Tapi percuma.”
“De, jangan pernah bilang percuma! Lakukan yang lebih jika sebelumnya gagal! Kau tak boleh jadi Dea yang lemah!!” Bentak Alvin. Dea rindu suara Alvin yang membentaknya, ia ingin Alvin ada disampingnya, ia ingin sekali.
“Kak, Dea akan berusaha lebih keras lagi untuk mengembalikan mereka.”
“Ini baru Dea yang kakak sayang, dan satu lagi, pegang janji kakak, De.”
“Apa itu, Kak?”
“Kakak akan menjagamu, saat hidup maupun tidak…”
“Kakak akan terus hidup! Nggak boleh ada kata tidak!”
“Iya sayang.. ini hanya ungkapan kakak, karna kakak sangat menyayangimu hidup ataupun mati. Kakak janji akan terus bersamamu,”
“Dea juga sayang kak Alvin.”
Alvin tersenyum, Dea juga tersenyum. Angin malam membuat Dea menggigil, tapi karna semangat Alvin, Dea tak terlalu menghiraukan rasa dingin itu, ia akan berusaha agar kebersamaannya dengan anak-anak rumah Bunda bisa kembali.
---
Hari ini Dea akan melakukan misinya, ia ingin teman-teman kembali lagi. Dea yang biasanya menyapa teman-temannya kini hanya tersenyum sendiri tanpa melihat kawan-kawannya. Saat sarapan pagi pun Dea menghabiskan sarapan paling cepat dan pergi tanpa melihat kawan-kawannya, tapi ia tetap tersenyum sendirian. Semua kawannya bingung dengan sikap Dea.
“Ki, apa Dea marah?” Tanya Angel.
“Entahlah, gadis itu membawa tas seolah-olah ini hari kuliah.”
“Tapi Dea mau kemana?”
“Mungkin Dea stress karna sikap kita kemarin.” Kata Emil.
“Stress? Dea sangat berlebihan,” kesal Angel.
“Ya… mungkin aja.” Kata Emil.
“Tapi memang sikap kita terlalu berlebihan kemarin, Dea hanya mau berkumpul dengan sahabat-sahabatnya,” bela Lintar yang mulai tak suka atmosfer rumah ini pada Dea.
“Nanti malam kita maaf padanya.” Kata Kiki.
“Apa? Minta maaf? Salah kita apa? Kita khan memang punya urusan masing-masing!” Seru Angel. Kiki menatap Angel lekat, lalu menaruh kedua tangannya di pundak Angel.
“Angel, semakin dewasa, harusnya kita bisa memisahkan hal buruk dari kehidupan kita, dan menurutku, kita sangat keterlaluan pada Dea.”
“Tapi, Ki…”
Kiki tersenyum pada Angel, hingga Angel menunduk. Angel pamit untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di kamar. Angel mengunci pintu, lalu duduk di kasur Dea. Ia mengelus kasur Dea dengan perasaan bersalah.
“Kalau kamu tahu, De. Aku juga sangat merindukanmu, tapi entah kenapa. Rasa iri ini kembali muncul, kau yang selalu lebih sabar, kau yang selalu lebih periang, kau yang selalu lebih penyayang, kau yang selalu lebih dariku… kau selalu sempurna di mata setiap orang, saat kau dan Kamami pergi selama bertahun-tahun, entah kenapa aku merasa nyaman dengan itu. Walau aku berkata rindu padamu, tapi sebenarnya aku kesal saat kau kembali. Kau kembali merenggut semua kasih sayang teman-teman rumah Bunda.” Angel menghentikan ucapannya, lalu mengambil selimut Dea, ia peluk erat, sangat erat.
“Maafkan aku, maafkan aku karna aku mempunyai pikiran seperti itu, kau boleh menyebutku orang munafik, kau boleh menyebutku orang jahat, tapi jujur… aku sangat menyayangimu, kau selalu baik padaku, kau selalu menjadikanku sebagai putri, kau seperti Mamaku, kau sangat berharga untukku. Maafkan aku, Dea.”
Akhirnya Angel tertidur di kasur Dea.
---
Dea tiba di Smp Betha Melody, setelah meyakinkan satpam Smp bahwa ia mantan siswa Smp ini, akhirnya Dea bisa masuk. Rencananya ia akan menginap di Sini, ia akan tidur di rumah kecil milik pegawai sekolah.
“Bu, saya mau menginap di Sini beberapa hari ya. Saya ingin mencari suasana baru.”
“Kamu siapa, Nak?”
“Ibu Yuli nggak ingat sama Dea? Langganan bakso Ibu?”
“Dea?” Bu Yuli ragu, karna Dea sudah pergi dari Smp BM 7 tahun lamanya.
“Ah! Dea to.. kamu kemana aja, Nak? Semenjak kamu berhenti dari Smp, nggak ada yang grusah grusuh lagi di Kantin, Ibu kangen, Nak.”
“Dea juga kangen sama Ibu.”
“Yasudah, Nak. Ayo masuk.”
Dea mengikuti langkah Ibu Yuli, rumah yang sederhana khusus pegawai untuk sekadar istirahat ataupun menginap, dan hari ini di rumah itu hanya ada Bu Yuli dan 2 anak perempuannya yang masih berumur 7 tahun, mereka kembar.
“Anak-anak, ini Mbak Dea, teman Ibu, yang beberapa hari ini akan menemani kalian.”
“Asyik!! Kita punya temen Mila!”
“Iya, Meli!!”
Dea tertawa melihat tingkah kedua anak ini.
“O iya Dea, memangnya Nak Dea nggak tinggal di rumah Bunda?”
“Ahaha, aku ingin pergi dulu dari sana, hanya sebentar.”
“Kenapa, Nak?”
Dea terdiam, ia melayangkan pandangannya ke Meli dan Mila. Lalu kembali menatap Bu Yuli.
“Persahabatan kami terus diuji, Bu. Aku tak tahu usaha apa lagi yang harus kulakukan untuk mengembalikan suasana rumah seperti dulu.”
“Tetaplah teguh menggenggam rasa ini sayang, anggaplah ujian ini sebagai cinta.”
“Cinta?”
“Cinta Tuhan kepadamu, dan kau hanya harus merasakan cinta ini,”
“Aku sudah mati rasa, Bu.”
“Kontrol cintamu di Sini.” Bu Yuli menunjuk dadanya, ia menunjuk hati putihnya. Seorang single parent yang selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, Dea jadi malu sendiri pada perasaannya yang kacau balau.
“Terimakasih, Bu.”
Bu Yuli memeluk Dea, Dea memejamkan matanya merasakan detak jantung suci seorang Ibu yang sudah jarang ia rasakan.
---
Malam telah tiba, dan Dea belum pulang sesuai rencana. Bunda sedang tak di rumah, beliau sedang tugas keluar kota untuk 3 minggu kedepan. Angel menunggu Dea di depan rumah.
“Aduh.. Dea kemana ya?”
“Dea sudah pulang, Njel?” Tanya Kiki yang baru keluar.
“Belum, Ki. Aku khawatir.” Katanya lirih.
“Dea sudah besar kok, Njel. Tunggu sampai besok, jika besok Dea belum pulang juga, kita temui Dea di gedung fakultasnya bersama-sama, jika tetap tidak ada, kita akan bolos kuliah demi sahabat kita.”
“Bolos?”
“Kau keberatan?”
Angel terdiam, ia berfikir keras.
“Nggak, nggak sama sekali.”
Kiki menepuk-nepuk pundak Angel, rasa cinta yang ia pendam selama bertahun-tahun ini pada Angel akan ia tahan hingga kelulusan nanti. Ia yakin, Angel akan menunggunya.
---
Dea berencana akan kembali lenyap beberapa hari untuk menenangkan perasaannya, ia ingin lenyap dan muncul menjadi Dea yang lebih baik, sama seperti 2 tahun yang lalu, ia berharap rencananya lancar. Handphone Dea bergetar, panggilan dari Rio.
“Halo, kak Rio.”
“Halo, De. Kamu nggak kuliah hari ini? Padahal aku menunggumu di halte lho.”
“Kak, emm.. mulai hari ini dan seminggu kedepan, aku mau menghilang dulu. Aku ingin menenangkan diri.”
“Menghilang? Menenangkan diri? Maksudmu apa, De? Kamu nggak akan meninggalkan kakak lagi khan?”
“Nggak kok, Kak. Aku hanya mau menenangkan diri dari rumah Bunda, teman-teman sepertinya sedang dalam kondisi yang tidak baik, mereka sedang lari dari lingkaran persahabatan.”
“Maksudmu, mereka seperti mengacuhkanmu?”
“Iya, Kak. Mereka terlalu memikirkan urusan masing-masing. Mungkin jika aku menghilang dan kembali, seperti dulu. Mungkin suasana akan berubah.”
“Benar hanya seminggu?”
“Iya, Kak. Dan jangan beritahukan masalah ini pada siapapun, hanya kakak, aku, dan kak Alvin.”
“Alvin? Kau?”
“Kemarin kak Alvin dan aku mengobrol banyak, ia yang menyuruhku untuk terus berusaha, dan inilah usahaku.”
“Oh.. kau sudah bicara dengannya. Yasudah, aku mau masuk kelas dulu ya.”
“Terimakasih ya, Kak sudah mau bekerja sama denganku.”
“Iya, sama-sama adikku sayang.”
Rio menggenggam Handphonenya erat penuh kemarahan, ia kecewa saat tahu Dea sudah mengobrol dengan Alvin, bahkan Alvin bisa memberi saran pada Dea. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan, ia merasa kalah dari Alvin.
“Nggak! Aku nggak boleh kalah dari Alvin!”
---
Dea mengirimkan pesan singkat untuk Alvin agar Alvin tak menghubungi Dea seminggu kedepan, demi kelancaran misinya. Dan Alvin menanggapinya dengan positif. Dea suka setiap tingkah Alvin.
Angel tidak bisa tidur karna Dea belum pulang, matanya memang terpejam, tapi perasaannya tidak, ia masih terjaga. Sama seperti Dea yang memikirkan sahabat-sahabatnya.
Lintar membuka halaman demi halaman buku Novel pemberian Dea 2 hari yang lalu, ia baru membacanya karna tak ada waktu luang, Lintar khawatir pada Dea, ia ingin mencarinya malam ini juga, tapi begitu banyak pertimbangan untuk itu.
Emil menyesal dengan sikapnya yang dingin pada Dea, ia cemas jika Dea menghilang dari hidupnya, ia belum banyak membalsa kebaikan Dea yang sudah membuatnya bisa ke Jakarta dan kuliah di Sini.
Kiki dan Debo ada di ruangan yang sama, ruang makan. Sebagai anak tertua di rumah Bunda, mereka merasa gagal tak bisa menjaga kawan-kawannya, bahkan mereka yang paling acuh pada keadaan rumah, Dea anak yang paling muda, tapi bisa memberikan perhatian yang lebih di setiap aspek. Mereka berunding banyak malam itu, demi keharmonisan rumah ini.
---
Pagi pun tiba. Keenam anak rumah Bunda bangun dari tidurnya, Dea takkan masuk kuliah dulu, ia akan izin dengan alasan urusan keluarga selama seminggu.
Angel mencari Dea ke seluruh sudut rumah, Kiki terdiam melihat Angel yang pontang-panting mencari Dea.
“Dea kemana, Ki?”
“Dea belum pulang, Njel.”
Angel menatap Kiki lekat, lalu menghelakan nafas panjang, matanya terpejam karna ia mau ketika ia membuka matanya, ia akan melihat Dea ada di hadapannya. Tapi gagal, ia tak melihat Dea.
“Dea…”
Kiki mendekati Angel, Kiki mengangguk pada Angel dan Angel membalasnya.
“Demi sahabat kita.”
“Ya, demi sahabat kita.”
Kiki, Angel, Debo, Lintar, dan Emil pergi ke gedung kedokteran, seorang gadis menemui Emil.
“Mil, Dea kemana? Kok Dea izin ya tadi?”
“Hah? Masa’ sih, Yu?”
“Iya, tadi pagi Dea sms aku, katanya Dea nggak masuk untuk beberapa hari kedepan karna urusan keluarga.”
“Urusan keluarga?”
Angel langsung menggenggam tangan Kiki, dan Kiki sepertinya tahu hal yang dipikirkan Angel. Kelima remaja itupun kembali ke rumah.
“Tapi, Ki. Apa ini masuk akal ya?” Tanya Lintar.
“Maksudmu, Lin?”
“Apa masuk akal jika kita takkan kuliah sebanyak Dea tak kuliah?”
“Iya benar kata Lintar, sebaiknya kita nggak mempersulit keadaan dengan tidak kuliah, itu artinya kita nggak memikirkan perasaan Bunda.” Kata Debo.
Kiki dan Angel saling pandang. Apalagi Kiki dan Angel punya pendirian kuat pada keputusannya.
“Tapi ini kesalahan kita, Dea kabur dari rumah.” Kata Angel.
“Iya, 90% mungkin memang kesalahan kita, tapi 10% juga kesalahan Dea, kenapa Dea tak berfikir dewasa layaknya orang seumurannya?” Kata Debo.
“Benar kata Debo dan Lintar, kita nggak boleh larut dalam kesalahan ini, kita masih bisa mencari Dea setelah pulang kuliah, jaga stamina dengan makan banyak.” Kata Emil.
“Sebanyak kau berfikir tentang Dea, sebanyak itu pula Tuhan akan membantu kita untuk menemukan Dea.” Kata Lintar.
Akhirnya kelima anak itu pergi kuliah seperti biasa, hanya perasaan mereka yang tak biasa. Dea yang sedang membaca buku kedokteran, tiba-tiba hatinya sesak, ia merasa bersalah dengan menghukum sahabat-sahabatnya.
---
3 hari berlalu, dan teman-teman Dea belum menemukan Dea, Angel semakin takut, ia takut jika Dea benar-benar menghilang seperti dulu. Rio pura-pura membantu teman-teman Dea, walaupun ia memang tak tahu keberadaan Dea.
“Kak, bagaimana jika Dea benar-benar menghilang?” Tanya Angel.
“Nggak, Njel. Aku yakin Dea akan kembali, bersabarlah dan terus mencari.”
“Tapi kami sudah lelah, Kak.” Kata Angel.
“Untuk seorang sahabat, kalian lelah?” Tanya Rio agak naik pitam.
Semua terdiam, semua menunduk, mereka meresapi pertanyaan Rio kedalam hati mereka, mengingat bahwa Dea adalah sahabat yang tak tergantikan.
“Maafkan kami, Kak.” Kata Kiki.
“Teruslah bersama untuk sahabat kalian, jika Dea menghilang, itu artinya Dea menghilang demi kalian.”
Lama kelamaan perasaan bersalah Dea terus menumpuk, kenapa ia meninggalkan teman-temannya lagi? Apa yang sedang ia pikirkan? Ia harus kembali dan tak terus-terusan menghukum mereka.
---
Dea kembali ke rumah, saat itu rumah sedang tak ada orang, Dea kecewa akan keadaan ini. Karna ia merasa teman-temannya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Dea duduk di ruang tengah, menunggu kawan-kawannya untuk minta maaf.
Dea menunggu selama 2 jam, Dea makin kecewa tanpa ia ketahui bahwa teman-temannya sedang mencarinya, akhirnya Dea tertidur di sofa.
---
Kelima anak rumah Bunda pulang tapi tak langsung ke ruang tengah, mereka berkumpul dulu di ruang makan.
“Sudah 5 hari Dea tak pulang, ia pasti sangat marah pada kita.” Kata Debo.
“Tuhan, Angel janji Angel akan menjaga Dea dan takkan mengacuhkan Dea lagi, tapi tolong kembalikan Dea ke tengah-tengah kami. Tuhan, Angel mohon.”
“Iya, Tuhan. Kami mohon.” Kata yang lain.
Dea terbangun karna mendengar do’a Angel dan kawan-kawan, Dea tersenyum karna ia tahu teman-temannya masih peduli padanya. Dea berjalan pelan menuju ruang tengah. Dea berjalan mendekati Angel. Lintar dan kawan lelaki lain melihat Dea mendekati Angel, Dea mengisyaratkan pada mereka untuk diam.
Dea memeluk tubuh bongsor Angel, Angel kaget menerima pelukan itu, ia mau percaya ini pelukan Dea, tapi hatinya ragu.
“Dea?”
“Aku juga akan menjagamu dan teman-teman, seumur hidupku.”
Angel melepaskan pelukan Dea, dan menatap Dea.
“Kau bodoh, karna mengulangi kesalahan yang sama. Kau kabur dari kehidupan kami lagi.”
“Aku hanya ingin menenangkan diri, maafkan aku.”
“Kau jangan berani lagi untuk kabur, karna aku takkan memaafkanmu jika kau mengulangi hal ini.”
“Iya, aku janji. Kita akan terus bersama.”

Rain from Heaven 22-23

Bismilahirahmannirahim


Chapter 22

It’s Real, guys

Air hujan itu begitu indah dilihat, karna air itu mengantarkan malaikat-malaikat cinta Tuhan yang begitu anggun, air itu menghiasi semua tempat yang ia jatuhi, dingin menusuk tak terlalu menyakitkan, karna dari hujanlah kita hidup. Dengan kasih sayang dan cintanya.
---
Alvin menandai kalendernya dengan spidol hitam, sebuah tanda silang untuk hari ke 1460 ia menunggu Dea, gadis penyuka hujan itu. Ia pun sudah harus focus untuk masuk Universitas di Paris, Universitas Paris I Pantheon-Sorbonne jurusan Seni. Niatnya untuk mencari Dea kini terkikis sedikit demi sedikit, ia yakin jika memang Dea adalah jodohnya, Dea takkan pernah meninggalkannya. Ia hanya bisa menunggu, kini sudah 4 tahun kepergian Dea dari hidupnya, selama tak ada Dea di sampingnya, ia tak bisa merasakan hidup yang sebenarnya.
“Sebenarnya kamu kemana sich, De?”
Sebuah tangan melingkar di leher Alvin, itu tangan Rio. Sahabatnya.
“Sudah berapa hari?”
“Sekitar 1460 hari, Yo.”
“Wow, keren banget.”
“Keren apanya?”
“Ya keren, sampai kamu bisa menghitung kepergian anak itu.”
“Anak itu? Kenapa kau memanggilnya dengan nada seperti itu?”
“Sebaiknya kau lupakan Dea sesaat, Vin. Fokuslah pada test masuk Univ itu.”
“Apa sebaiknya begitu, Yo?”
“Iya, Vin.”
Itulah sebabnya Alvin ingin melupakan Dea, minimal sampai ia bisa lulus dari Univ Paris I itu, ia ingin bisa menemui Dea dalam keadaan sukses. Tapi hari ini, 10 April 2015, ia mendengar suara gadis hujan itu lagi, jantungnya berdetak sangat cepat, begitupun jantung Dea.
“Dea? Apa ini Dea?”
“Hah, oh. Bukan, salah sambung!!” Seru Dea dan menghentikan pembicaraan tersebut, air matanya kembali mengalir, ia langsung melepas kartu SIM tersebut dari Handphonenya. Tangannya masih bergetar, ia ketakutan. Sangat takut hingga dadanya perih, karna penyakitnya kambuh. Dea kesulitan bernafas, ia kuatkan untuk berdiri dan berjalan ke kamarnya, mengambil obat penenangnya.
Tangan Alvin juga bergetar, ia tak percaya tapi berharap penuh ini nyata.
“Dea, itu suara Dea.”
Alvin hendak menghubungi Dea lagi, tapi ia tahu, Dea takkan mengangkatnya.
“Dea, kau kenapa? Kenapa kau menghidar dari ku, juga semua teman-teman Jakarta?”
Dea tetap menahan perasaannya, semua rasa itu kini bercampur dalam hatinya, senang, sedih, takut, bingung. Begitulah perasaan Dea saat ini, setelah 5 tahun berlalu, akhirnya kini ia dapat mendengar suara Alvin. Orang yang benar-benar ia rindukan, membuat jantungnya kembali kesakitan, kesakitan karna perasaan bersalah yang mendalam. Hatinya kembali sakit, sangat sakit.
“Tuhan, kenapa kau membuat takdir ini untukku? Kenapa Tuhan?!” Teriak Dea dalam hati, ia pun membaringkan tubuhnya di lantai, menatap handphone dan kartu SIM card lamanya tergeletak kaku, yang juga menatap tubuhnya yang penuh dosa. Mata Dea tak bisa terbuka lagi, ia ingin cepat memejamkan mata dan melewati hari yang takkan pernah ia lupakan itu.
Sedangkan Alvin masih saja menatap handphonenya, ia tersenyum lebar, airmata nya menggenang di mata kecilnya, dan ia cium handphonenya penuh dengan semua rasa cinta yang ia miliki pada Dea. Ia sangat mencintai Dea, menatap hujan sama seperti ia melihat Dea. Ia pun takkan pernah melupakan kejadian hari ini. Ia akan tetap mencintai gadis bernama Dea.
---
“Jika itu maumu, ambil semuanya! Tak ada yang boleh kau kembalikan, kecuali kau menyetujui hal ini!” Bentak keras seorang mahasiswa fakultas Hukum Universitas Trisakti, Mario Stevano Aditya.
“Ini adalah hakku sepenuhnya! Dan aku memang berhak memilikinya!” Timpal seorang lelaki berkumis lebat dan bermuka kasar.
“Dengan semua bukti yang ia miliki? Kau sungguh tak mengerti apapun arti sebenarnya dari hak!”
“…”
“Stop, semua pendapatmu memang masuk akal Tuan Mario, tapi semua barang ini memang milik Pak Irfan.”
“Menurut anda seperti itu? Menurutku Bu Sari lebih berhak memilikinya, ini semua warisan dari Suaminya, Pak Irfan jelas-jelas memberikannya pada suami Bu Sari, semua bukti ada di sini, kenapa Pak Irfan masih saja bersikeras mempertahankan barang-barang ini?”
“Karna saya pemilik aslinya!”
“Bisakah Anda memberikan suarat kepemilikan barang-barang ini, yang asli mungkin?”
“…”
‘Prok-prok-prok.’
Suara tepukan itu begitu menggema, memenuhi ruang latihan sidang bagi para murid fakultas Hukum Univ ini, seorang lelaki bertubuh tegap berjalan mendekati Rio, langkahnya terdengar berat. Mungkin karna tubuhnya yang cukup besar.
“Seluruh ketentuan dapat kau temukan di kasus ini, hipotesismu pun sungguh menakjubkan. Kau adalah Pengacara yang sangat mengerti hokum, Mario.”
“Terimakasih, Pak. Apakah tugas saya di sini sudah selesai?”
“Sudah, kau bisa pulang dan tidur nyenyak malam ini.”
“Terimakasih sekali lagi, Pak. Saya pamit. Selamat malam.”
“Selamat malam, Mario. Kau harus jadi pengacara yang terkenal di dunia ini!”
“Pasti, Pak. Amin.”
Rio berjalan tenang seraya mendengar suara langkahnya yang menawan, impiannya menjadi Pengacara sebenarnya untuk menepati tantangan Ayahnya 3 tahun yang lalu.
---
Semenjak kepergian Dea dari hidupnya, senyum Rio kembali hilang, dan lebih parahnya lagi, ia menjadi seorang pemarah, hampir semua temannya mendapat omelan dari Rio, tak terkecuali Alvin atau Iel, dan suatu hari, saat kedua orang tuanya baru pulang dari luar negri, Rio tak tahan melihat orang tua yang hanya menjadi formalitas kehidupannya. Ia pun memberontak.
“Kalian kemana saja?” Tanyanya sinis.
“Kau itu, seperti baru hidup dengan kami sehari dua hari.” Kata Ayah Rio tak kalah sinis, mungkin karna ia terlalu lelah.
“Rio anakku, kau kenapa?” Tanya Bunda Rio halus.
“Aku bosan.”
“Bosan?” Bunda Rio mulai bingung.
“Ya, kalian tak pernah ada di rumah, sekalipun tak pernah menemaniku, mengambil rapot dengan Bik Sumi, makan dengan Bik Sumi, sampai acara sakral Wisuda SMP pun kalian tak datang, kemana sebenarnya kalian selama ini?”
“Kau sungguh tak tahu terimakasih! Ini semua kami lakukan untuk hidupmu dan kakakmu!” Bentak Ayah Rio.
“Kakak? Bahkan 5 tahun kepergiannya, kalian tak tahu jika Kakak sudah tiada?”
“Tiada?”
Rio makin geram dengan kelakuan yang menurutnya bodoh untuk orang tua yang masih hidup, bahkan setelah Kakak Rio meninggal, mereka masih saja lupa.
“Kemana kalian? Kenapa kalian sampai lupa kepergian Kakak?!”
“Sebaiknya kita ke kamar saja Bunda, daripada meladeni anak ini.”
“Apa.. apa yang harus aku lakukan?”
Pertanyaan Rio menghentikan langkah Bunda dan Ayahnya. Ayah Rio begitu menunjukan kemarahannya pada Rio melalui tatapannya.
“Apa yang harus ku lakukan untuk melihat kasih sayang kalian?”
Ayah dan Bunda Rio menatap anaknya lekat, ini kali pertama Rio mengobrol begitu banyak dengan mereka, tapi obrolan ini sungguh tak harmonis, sebagai seorang Ibu, Bunda Rio ingin memeluk anaknya sekali saja, tapi ia takut jika bertindak di luar perintah Ayah Rio, perasaan dan pikiran Bunda Rio begitu di penjara oleh Ayah Rio yang keras pendiriannya.
“Dengan menjadi seorang yang mampu menegakan keadilan.” Kata Ayah Rio singkat, lalu mengajak Bunda Rio ke kamar, Rio masih diam mendengar pernyataan Ayahnya, apa sebenarnya yang di maksud Ayahnya?
Setelah seminggu memikirkannya, Rio akhirnya tahu. Pengacara adalah pekerjaan untuk menegakan keadilan, ia ingin menjadi pengacara untuk mendapatkan. Kasih Sayang yang nyata.
---
Rio merebahkan tubuhnya di kasur Apartement yang ia sewa, ia memang sengaja menyewa Apartement, semata-mata untuk lebih konsentrasi belajar. Suasana Apartement yang lebih tenang membuatnya, melupakan sejenak persoalan selain belajar. Tapi 1 yang tak bisa ia lupakan, gadis yang ia sebut. Gadis beribu cinta. Rio mengambil handphonennya dan membuka folder foto, lalu ia buka file bernama Dea with me. Foto berisi dirinya dengan Dea berhasil membuat perasaannya tenang, ia menyayangi Putri sahabatnya sendiri, dan baru bersama Dea lah ia bisa merasakan kenyataan hidup. Senyum yang hilang ketika menghilangnya Dea. Satu pertanyaan yang selalu membuatnya ingin memutar waktu, “Kenapa aku begitu saja percaya pada Bunda Romi dan melepas Dea?”.
Selama 5 tahun ini Rio masih saja gencar mencari keberadaan Dea, tapi Dea benar-benar seperti ditelan bumi, Rio putus asa, sangat putus asa. Pertanyaan lain baru-baru ini muncul di benaknya. “Apakah ini usaha yang sia-sia?” dan ia menjawabnya sendiri. “Tidak!” Dengan suara begitu keras.
Sebenarnya apa tujuan Rio mencari Dea? Apa karna ia ingin sahabatnya bisa bahagia dengan Dea? Atau karna ia ingin memperjuangkan cinta masa lalunya itu? Ah, 2 hal yang masih membuat Rio bingung. Yang penting sekarang ia harus menemukan Dea.
‘kringggg’ sebuah SMS masuk, tertera nama Alvin di layar Hp Rio, Rio mendelik kaget dan langsung membuka SMS itu.
-Alvin : jika kau kira ini hal yang tidak benar, berpendapatlah kawan. Tapi it’s real! Aku mendengar suara itu lagi! Suara gadis yang mengarungi hatiku selama ini! Gadis beribu cintamu! Dea!-
Mata Rio membesar melihat isi SMS dari Alvin, ia ragu ingin membalas SMS Alvin, ia takut, jikala Alvin hanya mengada-ngada, tapi kata It’s Real membuat tangannya cepat menekan pilihan Reply.
-Rio : benarkah? Aku tak menyangka kau sampai berkhayal seperti ini.-
-Alvin : kau benar tak percaya? It’s Real, guys! Dea, anak itu tak menghilang! Ia masih memakai nomornya yang lama, tapi mungkin ia sangat kaget karna aku menelponnya, jadi ia langsung memutus komunikasi, dan menon-aktifkan nomornya lagi-
-Rio : jika itu memang maumu, aku akan ikut berkhayal. “Hei, Vin. Aku melihat gadis itu di hadapanku! Dea! Itu Dea!”-
-Alvin : kau benar-benar tak percaya?-
-Rio : Dea sudah tak ada, Vin. Kita sudah mencarinya lebih dari 4 tahun, tapi apa hasilnya? Nihil.-
-Alvin : coba kau cari Dea dulu, Yo. Aku mohon bantulah aku.-
-Rio : aku tak janji-
Dan tak ada lagi SMS balasan dari Alvin, bibir Rio mulai membentuk buah semangka yang siap makan, ia baca lagi SMS Alvin, berulang hingga 3 kali. Dan ia merasa, ini memang nyata, It’s Real, guys.
“Dea, tunggu aku.”
Rio yang lelah kembali bugar, ia pun membuka laptopnya dan mulai mencari informasi tentang Desa Summer, malam ini mungkin adalah malam yang indah bagi Rio, Dea, dan Alvin.
---
Malam pun berganti pagi, Dea terbangun dari tidurnya, ia kaget karna tubuhnya tidak lagi di lantai, tapi berada di kasur. “Pasti Ibu.” Gumam Dea, Dea pun bangkit dari tempat tidurnya dan segera mandi, sesekali ia bersenandung lagu kesukaannya, ‘my immortal’ dengan bahasa Inggrisnnya yang fasih.
“Dea..” panggil Ibu Dea.
“Iya, Bu. Sebentar.”
Dea mempercepat kegiatannya dan langsung keluar menemui Ibunya.
“Ada apa, Bu?”
“Sini nak, duduk di dekat Ibu.”
“Ibu kenapa? Ada yang sakit lagi?”
“Tidak, Nak. Ibu hanya mau bertanya padamu.”
Ibunya lama, lalu menghelakan nafasnya.
“Apa benar, kau akan pergi ke Jakarta lagi?”
Dea tersentak, ia tak menyangka kejadian saat ia SD akan terulang lagi, di dekat jendela kamarnya, hari yang sedang hujan, dan tatapan Ibu yang penuh kasih.
“Ya, Bu.”
“Kau akan kembali tinggal di Jakarta?”
“Iya, Bu. Aku akan melanjutkan mimpiku lagi.”
Ibu Dea tersenyum, ia mengelus rambut Dea.
“Aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku.”
“Itu adalah ikrarmu dulu, saat kau masih kecil, Nak. Ibu ingat itu, karna kaulah Ibu bisa sembuh, Ibu tak bisa mencegahmu, kejarlah mimpimu, Sayang.”
“Terimakasih, Bu.”
Kini pun Dea kembali tersenyum, mendengar persetujuan dari Ibunya.
---
Dea berusaha keras untuk mendapat nilai rata-rata Ujian Nasional sebesar 9,00, Emil pun giat belajar, ia benar-benar ingin ikut dalam perjanjian Dea dengan Bu Mery. Tapi beberapa hari ini Dea menjauh dari Emil, dan sikap Dea sungguh membuat Emil kesal. Akhirnya 1 minggu sebelum UN, Emil mengajak Dea ke taman belakang sekolah.
“Aku buru-buru, Mil.” Ujar Dea.
“Aku ingin bicarakan hal penting denganmu, tolong untuk sekali ini saja, De. Dan aku berjanji takkan mengganggumu.”
Dea terdiam, dan akhirnya mau berduaan dengan Emil di taman belakang sekolah.
“Apakah… aku memang tak boleh ikut perjanjian itu?”
Hati Dea terasa sesak mendengar pertanyaan itu, ia ingin berterus terang pada Emil, tapi.. perasaannya selalu menahannya.
“Kamu..”
“Aku juga punya impian, De. Aku juga ingin menjadi dokter, dan menyembuhkan Meli.”
Hati Dea semakin sesak, ia tak kuasa mengelus punggung Emil.
“Aku juga punya mimpi, Mil. Aku pun ingin menyembuhkan Meli, tapi perasaan bersalahku membuatku trauma.”
“Trauma?”
Dea menghela nafas panjang, ia berusaha tenang dan menatap Emil. Wajah Lintar tergambar di hadapannya, semangat Emil membuatnya ingat pada Lintar dan jika sudah ingat Lintar, ia akan mengingat semua keluarganya di Jakarta.
“Aku punya sahabat, namanya Lintar. Ia sahabat terbaikku, mungkin kau kenal. Ia kini sekolah di Jakarta, dan dulu aku juga pernah sekolah di Jakarta. Kami berjuang bersama untuk mendapatkan beasiswa masuk ke SMP Music ternama di Jakarta, ia begitu giat menyemangatiku. Aku yakin, kami berdua bisa masuk ke SMP itu bersama-sama…
“Tapi takdir berkata lain, Lintar tak diterima di sekolah itu, perasaanku sangat hancur saat itu, ia sahabat terbaikku, aku tak bisa melepasnya. Walau ia bilang, aku harus tetap mengejar mimpiku. Hatiku masih terasa sangat sakit, dan akhirnya aku berpisah dengannya. Akupun mengenal banyak teman di Jakarta, bahkan mereka menjadi sahabatku, bukan berarti posisi Lintar dapat mereka gantikan. Dan perpisahan kembali kurasakan, saat aku harus berhenti dari SMP itu, aku kembali kehilangan sahabat-sahabatku, Lintar pun tak bisa terus menemaniku, karna ia harus melanjutkan sekolahnya di Jakarta dengan biaya seorang dermawan,
“Aku takut, kejadian itu akan terulang lagi. Karna kau sahabatku, Mil. Aku takut.”
Cerita Dea, Emil bisa merasakan semua kecemasan Dea, Emil menggenggam tangan Dea, ia elus perlahan. Senyum Emil yang begitu teduh membuat hati Dea sedikit tenang.
“Percayalah padaku, aku akan terus bersamamu, sahabatku.”
Dea mengangguk dan kembali teringat Lintar, Kamami, Angel, Kiki, Debo, Prince, Princess, dan.. Bunda.
---
Hari itu pun tiba, Ujian Nasional yang akan diadakan serampak itu akhirnya dimulai dari hari ini. Dea dan Emil terlihat sangat ketakutan, tapi Meli dan Icha terus menyemangati keduanya. Agar keduanya bisa menyanggupi syarat Bu Mery.
Dea dan Emil berada di kelas yang sama, sebelum masuk Bu Mery mengacungkan jempol pada mereka, dan terus tersenyum. Seakan berbisik “Good Luck”.
‘kringgg’ bel pun berbunyi, semua anak SMAN 1 Summer pun begitu antusias mengerjakan soal-soal UN, sekarang yang ada dipikiran Dea dan Emil hanyalah focus pada semua pelajaran yang mereka rekam.
3 hari sudah seluruh anak SMAN 1 Summer berkutat dengan soal-soal UN, dan kini semua tinggal menunggu hasil, seiring mereka menunggu pengumuman, seluruh anggota SMAN 1 Summer sibuk mempersiapkan Wisuda. Dea teringat acara pembukaan MOS saat ia masih SMP dulu, begitu megah dan mungkin sama seperti Wisuda-nya kali ini.
---
Rio terdiam di depan gedung Universitas, dadanya sesak saat ia teringat Dea, andai Dea bisa masuk ke Universitas ini. Pikirnya.
“Pagi, Yo!” Sapa seseorang, Rio tersenyum padanya.
“Pagi juga, Day.”
“Hari ini antar aku ke Perpustakaan Kota yuk.”
“Perpustakaan? Tumben kamu kesana!”
“Heh, sudahlah. Sebagai seorang teman sefakultas harusnya kamu mendukung perubahanku, Yo.”
“Ah, paling hanya karna Rara, iya khan?”
“Ssst, kalau Rara dengar aku bisa dihantam!”
“Hah? Apa seburuk itu?”
“Udah-udah, ayo ke perpustakaan kota!”
“Eh, aku mau bertemu Professor Arid dulu.”
“Kau itu, kenapa sangat suka konsultasi dengan ahli psikologi itu? Kita ini di Hukum, Yo!”
“Ngomel-ngomel aja sana sendiri, aku mau konsultasi sebentar dengannya.”
“Ku tunggu di tempat biasa dech.”
“Ya.”
Dayat meninggalkan Rio, dan Rio berbelok ke gedung fakultas Psikologi demi menemui Professor Arid, dokter jiwanya. Tangannya masih memegang Handphone, karna ia berjaga jika Alvin kembali menghubunginya. Jantungnya berdegup sangat kencang, ia kembali teringat gadis kecil itu. Saat Dea menangis, saat Dea tertawa, saat Dea melakukan hal bodoh yang kiranya sangat lucu dipandang, tak terasa senyumnya terus berkembang sesekali menjadi tawa kecil.
‘tok-tok’
“Masuk.” Ucap sebuah suara berat dari dalam ruangan ber-label Arid Suparna Triatmodjo. Tanpa gelarnya yang tinggi, ada sebuah alasan Professor Arid tak menempel gelar di tempat yang sering terlihat orang kebanyakan. Ia ingin semua berjalan alami, tak di elu-elukan layaknya Professor lainnya. Itulah yang membuat Rio kagum pada Professor Arid, walau Professor lebih senang dipanggil Dokter, tapi Rio tetap bersikukuh memanggilnya Professor Arid, Professor Arid sungguh tahu watak pasiennya itu, jadi ia menurut saja.
“Permisi, Prof.”
“Oh, kau Mario.”
Rio menutup pintu secara perlahan, lalu berjalan santai seraya menatap tata ruangan Professor Arid yang telah diganti beberapa hari yang lalu. Cat hijau muda yang lembut dipandang memang selalu menentramkan hati Sang pemilik mata. Aroma bunga Lili yang menyejukan hati pun dapat dirasakan di sini. Rio senang jika harus ke ruangan Professor Arid, ia bisa melupakan sejenak semua Tesis Kuliahnya, juga melupakan Dea, hanya sejenak.
“Prof, jangan panggil aku Mario, cukup Rio.”
“Kau juga sebaiknya memanggilku, Dokter.”
“Hahaha, yasudahlah, jika kemauan Professorku tersayang, panggilah aku Mario.”
“Hahaha, Mario-Mario..” seraya menggelengkang kepalanya. Matanya yang agak sipit menatap Rio penuh kasih, Rio menganggap Dokter kejiwaan sekaligus
“Prof, ini sebuah jalan terangku menemukan Dea.” Ucap Rio seraya duduk di bangku tamu.
“Oh ya? Bagaimana bisa begitu?”
“Kemarin Alvin mengirim pesan untukku, Professor bisa membacanya.”
Rio memberikan SMS Alvin semalam, selesai membaca Professor Arid tersenyum, lalu ia menatap Rio lekat.
“Kau harus mencarinya, Nak.”
“Menurut Professor, aku harus mencarinya?”
“Ya, teruslah mencari cintamu itu.”
“Tidak, Prof. Dea adalah cinta Alvin. Hanya itu.”
“Ikuti isi hatimu, Nak.”
“Baiklah, Prof. Aku harus pergi.”
Professor Arid memberikan Handphone Rio dan membiarkan Pasiennya itu pergi, setelah Rio pergi Professor Arid kembali tersenyum, ia sudah pernah melihat kejadian ini sebelumnya, seorang yang merelakan cintanya demi seorang sahabat. Cinta memang tak ada artinya jika kita tahu, arti sahabat yang sebenarnya.
---
Rio melangkahkan kakinya menuju Café Universitasnya, ia melihat Dayat sedang makan satu mangkuk bakso, dan tiba-tiba Rio juga jadi lapar. Akhirnya ia putuskan untuk ikut makan.
“Nanti ke perpustakaan setelah makan ya.”
“Siplah, Yo.”
“Kau membicarakan apa dengan Professor Arid?”
“Nggak banyak, hanya basa-basi biasa.”
“Tentang gadis yang kau taksir semasa SMP dulu?”
“Heh, sok tahu.”
“Ya.. aku sich hanya menebak, karna kamu tu nggak jauh dari cerita masa lalu, Yo.”
Rio kembali tersenyum, ia pun mulai melahap bakso-baksonya.
“Sebaiknya kamu mulai melihat masa depan, Yo.”
“Sok dewasa banget sih kamu, Day.”
“Hahahaha, kita memang sudah dewasa, Yo! 18 tahun lho…”
“Dewasa itu pilihan, tua itu pasti.”
“Iya juga sih.. hehehe.”
Kedua sahabat ini pun mulai hanyut pada pikiran mereka masing-masing, Dayat akan semua Tugas yang harus ia kumpulkan lusa, juga Rio dengan semua penelitiannya tentang Hukum yang ada di Indonesia.
---
Dea menghentakan kakinya perlahan ke suatu tanah taman, taman belakang sekolah. Kini ia sendirian, menatap kenangan-kenangannya selama SMA, ia ingin melihat kembali saat ia bermain, belajar, mengobrol dengan semua temannya selama ada di SMA ini. Sesuatu yang takkan mudah dilupakan dan takkan pernah ia lupakan.
Tangan kanannya memegang tempat pusat hati bersarang, perasaannya melayang jauh ke angkasa, menemukan suatu keajaiban. Persahabatan. Sejak ia masih kanak-kanak hingga kini ia telah menjadi remaja yang benar-benar berbeda, mennjadi seorang Dea yang tegar, Dea yang mampu menyembuhkan Ibunya sendiri, Dea yang berani mengambil keputusan demi masa depannya. Iniah Dea yang harus menjadi Dea.
“Aku takkan menangis lagi, aku akan menghadapi semua masalahku dengan senyuman, aku harus menjadi Dea yang tak mudah rapuh. Aku harus menjadi Dea yang bersinar di mata Ibu maupun di mata orang-orang. Dea janji, Dea akan menjadi Dea yang kuat. Seorang wanita yang kuat seperti Ibu.”
Itulah janji Dea pada dirinya sendiri, ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tak bisa disangkal, bahwa dirinya hanya seorang manusia yang harus terus berusaha. Matanya berkaca-kaca ketika ia mendengar janji itu dari mulutnya, ia langsung menyeka air matanya yang menggenang. Karna ia berjanji, akan menjadi Dea yang tak larut pada perasaan bersalah.
“Aku.. aku akan menjadi dokter.”
Setelah melihat pemandangan taman belakang sekolah, Dea berlari pulang.
---
Seluruh anak kelas 3 SMAN 1 Summer berkumpul di Aula, karna mereka akan mendapat surat kelulusan dari pihak sekolah, semua duduk berdasarkan abjad. Dea dan Emil pun masih terlihat duduk bersebelah, mereka sangat cemas mendapat nilai UN masing-masing, Melisa dan Icha terus memandang kedua sahabatnya, mereka juga cemas.
Seluruh nama dipanggil bergantian, tapi nama Dea dan Emil di lewat begitu saja, kedua anak ini tentu heran dengan keputusan Panitia Ujian, mereka hendak protes tapi Bu Mery mencegah keduanya dengan menggeleng. Dea dan Emil berusaha sabar, dan saat nama terakhir di panggil, akhirnya nama keduanya disebut. Keduanya maju bersamaan, semua siswa langsung saling pandang, tak sedikit yang berbisik, Melisa dan Icha tetap berdoa.
Hati Dea terus mengucap do’a pada Tuhan, ia berharap mimpinya bisa terwujud. Begitupun Emil, kedua anak berkacamata ini menerima amplop Surat Kketerangan Lulus, dan membukanya di atas panggung. Semua pasang mata menatap Dea dan Emil, membuat mereka berdua sangat tegang.
“Bolehkah kami membukanya di bangku kami?” Tanya Emil.
“Tidak, kalian harus melihatnya di sini.”
Emi dan Dea pun dengan terpaksa membukanya, Deg.
Tangan keduanya bergetar, Dea yang sudah janji takkan menangis kini tak kuasa menahan airmata turun melewati pipinya, dan Emil sebagai seorang lelaki sejati yang tak pernah menangis, kini juga tak kuasa menahan bulir air hangat itu dari matanya. Mereka menatap Bu Mery, Bu Mery mengangguk penuh arti, keduanya tak percaya pada angka yang tertera pada kertas HVS tersebut. Angka 9,00 itu nyata untuk mereka berdua, kini itu bukan mimpi lagi.
Keduanya saling pandang, dan akhirnya berpelukan diikuti sorak sorai teman-temannya, Icha dan Melisa ikut menangis melihat keberhasilan Dea dan Emil.
“Kedua anak ini, mendapat nilai rata-rata 9,00. Sungguh prestasi yang membanggakan untuk sekolah ini.” Kata Panitia, sorak sorai teman-teman makin menggema membuat beberapa orang yang ada di luar Aula penasaran dan masuk, melihat keberhasilan Dea dan Emil.
Tapi Dea dan Emil tak bisa senang dulu, karna ini baru awal, masih ada test masuk Universitas, dan itu akan lebih sulit dari yang sekarang. Mereka akan terus memegang erat mimpi mereka. Yang akan mereka wujudkan sebentar lagi.




Chapter 23

1 Jam

Pagi memang selalu terasa menyenangkan untuk Dea, ia menyeka peluh keringatnya dan terus menatap lurus kedepan. Ia edarkan pandangannya mellihat berjuta pasang wajah di pelabuhan Summer, tempat yang akan mengantarkannya kembali ke Jakarta. Ia genggam Handphone 3110cnya erat, Emil dan Bu Mery berdiri dibelakangnya, juga menunggu kapal jurusan Jakarta yang akan datang beberapa menit lagi. Pagi ini udara tak biasanya panas, membuat Dea berkali-kali meminum air mineral pemberian Ibunya. Setelah berpamitan pada Ibu, Dea langsung berangkat ke pelabuhan dijemput Bu Mery. Ia sudah berjanji untuk menjadi gadis yang tegar, maka dari itu, ia sama sekali tak mengeluarkan air mata ketika berpisah dengan Ibunya.
“Dea janji, Dea akan kembali, dengan membawa gelar dokter untuk Ibu.”
“Ibu kembali memegang janjimu.”
Dan kini Dea kembali merasakan udara laut, ia kembali mengenangnya, saat pertama kali ia mengenal Kamami, Angel, dan Kiki. Dea langsung teringat jika ia akan ke Jakarta ia akan menghubungi Bunda Romi! Tapi kini ia hanya bisa menggigit bibir, karna ia takut kejadian beberapa hari yang lalu terulang, saat ia mendengar suara Alvin. Tapi ia langsung tersenyum lebar, pipinya me-merah. Ia malu sendiri jika ingat perrbuatan bodohnya tempo lalu, mengatakan salah sambung itu sebenarnya hal yang aneh sedunia. Hahahahaha, Dea pun tertawa sekencang-kencangnya, Bu Mery dann Emil terkejut melihat Dea.
“Eh, De. Kamu kenapa?” Tanya Emil.
“Wahaha, nggak apa-apa kok! Aku hanya bersemangat karna aku akan merasakan udara Jakarta lagi!”
“Aku juga bersemangat!!” Seru Emil, keduanya pun tertawa puas di iringi berbagai macam suara di pelabuhan, dari suara marah-marah para penjual ikan pada anak buahnya, suara anak kecil yang sedang berlarian dengan tawa mereka, suara peluit dermaga yang mendengung kencang, dan lain-lain. Bu Mery membenarkan kerudungnya dan memperhatikan Dea, ia membatin. “Anak ini akan menjadi seorang dokter sejati.”
“Bu,” panggil Dea.
“Iya, De?”
“Sesampainya di Jakarta, boleh aku ke suatu tempat sebentar?”
“Kemana itu, De?”
“Ke Smp Betha Melody..”
---
‘When you cried, I'd wipe away all of your tears.. When you'd scream, I'd fight away all of your fears.. And I held your hand through all of these years.. But you still have all of me’ lagu My Immortal-nya Evanescence mengalun indah di telinga lelaki ini, lelaki 18 tahun yang tubuhnya begitu tegap dan tinggi. Rio sibuk melihat-lihat buku di perpustakaan kota sambil mendengar lagu tersebut, Dayat di sebelahnya juga sibuk mencari buku tentang ilmu filsafat dunia.
“Yo, kamu tahu nggak, kenapa aku mencari buku filsafat?”
“Aku nggak tahu, Day. Memang kenapa?”
“Baguslah kalau kamu nggak tahu.”
“Jeh, kasih tahu dong!”
“Haha, iya-iya mahasiswa teladan, masa’ kamu nggak tahu sich? Bener?”
“Aku pulang aja…”
“Eh-eh, iya-iya.. ngambek gitu aja!”
Rio tertawa renyah menanggapi Dayat, Dayat hanya garuk-garuk kepala lalu membolak-balik halaman buku filsafat yang telah ia pilih.
“Filsafat itu fenomena kehidupan, seorang yang ahli hukum itu sebenarnya wajib untuk mempelajarinya, menurutku lho. Karna hukum ada karna fenomena kehidupan, tak ada fenomena-fenomena itu ya nggak ada hukum.” Tutur Dayat mengulang pernyataannya tentang fenomena kehidupan.
“Kamu ngomongnya diputar-putar, lebih rinci dong!”
“Hehe, iya Rio. Hukum, sebuah fenomena social yang bisa kita sebut fenomena kehidupan khan? Hukum mempunyai dasar yang disebut filsafat hukum, aku memang bukan seorang filosofi, tapi setidaknya aku ingin mempelajari hukum dari dasar hingga inti-intinya, semua terkekam jelas di filsafat hukum, filsafat bisa di artikan keseluruhan, tujuan utama filsafat memang untuk menerapkan dasar-dasar yang memang benar di mata dunia, kita tidak semata-mata berbicara tentang hukum tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari pembangunan hukum itu sendiri, seorang ahli hukum memang seharusnya mengetahui hukum secara keseluruhan, tapi banyak juga yang hanya kenal hukum ya… sebagai hukum, bukan sebagai kehidupannya sendiri.”
“Wow..” Rio berdecak kagum pada temannya, sebenarnya Rio sudah tahu banyak tentang filsafat hukum, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Dayat, seniman yang nyasar ke hukum (:P). Boleh diakui, IQ Rio mungkin lebih baik dari Dayat, dari nilai EQ Dayat jauh di atasnya, Dayat mempunyai keistimewaan yang belum ia miliki. Yaitu arti kehidupan yang berarti. Rio yang sudah berteman baik dengan Dayat sejak SMA selalu mengagumi cara Dayat berfikir, ia memandang semua secara keseluruhan. Dayat juga lelaki yang shaleh, hati Rio kadang bergetar ketika Dayat sedang membaca Al Qur’an di sampingnya (karna mereka 1 apartement, dan terkadang Rio menginap di kamar Dayat), Rio ingin membaca Al Qur’an, tapi ia belum siap sepenuhnya untuk berganti agama. Ia ingin belajar lebih banyak tentang Islam dan hukumnya yang sungguh penuh kebenaran, Dayat pernah berkata padanya.
“Semua hukum dunia itu tak ada artinya, mereka itu kadang tak memandang sumber mereka, aku hanya berpegang teguh pada Al Qur’an, semua isi makalahku tentang hukum 80% dari Al Qur’an.”
Rio jadi penasaran tentang isi Al Qur’an yang dibanggakan Dayat, mungkin suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti.
“Makan yuk?” Ajak Dayat.
“Wakakak, baru menerangkan sedikit argumenmu saja, kau sudah lapar.”
“Hehe, aku khan nggak biasa kayak gitu, Yo.”
“Ah, biasanya dakwah juga.”
“Udah ah, ayo. Aku udah dapet buku yang pas kok, ini.”
Dayat menunjukan buku berjudul ‘Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer’ Rio pun meletakan buku yang sejak tadi hanya ia pegang ke tempatnya semula, lalu berjalan mengiringi sahabatnya itu.
---
Ia menatap mentari pagi yang belum sepenuhnya muncul, Ia tersenyum lalu melihat jam tangannya, 05.30 AM. Pagi itu ia sedang lari pagi di kawasan Taman Kota Bosnia, segerombolan wanita berkerudung menyapa ramah kepadanya, ia membalas dengan senyuman yang manis. Kakinya terhenti sesaat dan kembali mengucap asma Allah, ia bersyukur. Sungguh bersyukur atas nikmat Allah SWT yang memberinya kesempatan untuk sampai di sini, di Negara yang terletak di semenanjung Balkan di selatan Eropa. Kamami menatap penuh arti setiap bagian taman itu, ia merasa segalanya terasa sangat indah, karna itulah ciptaan-NYA yang sungguh luar biasa. Kamami menjatuhkan kerudungnya yang awalnya ia lipat ke pundak, agar menutupi bagian atas tubuh. Impiannya kini tercapai, mempelajari Ilmu Islam mendalam, karna ia ingin menjadi aktivis perdamaian yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, oh bukan! Semua mahluk hidup ciptaan Allah.
“Rahmi.. Amalia?” Sapa sebuah suara halus di belakang Kamami, ia menoleh dan langsung memberikan salam pada gadis yang baru menyapanya.
“Assalamualaikum, Susan.”
“Waalaikumsalam, ternyata ini benar kamu Rahmi, lari pagi juga?”
“Iya, aku bosan mendekap di kamar.”
“Sama,”
Mereka pun tertawa bersama, lalu mulai berjalan pelan seraya merenggangkan otot tubuh keduanya yang lelah akibat acara semalam.
“Sangat seru ya acara semalam,”
“Iya.” Setuju Kamami.
“Aku sampai menangis lho, Mi.”
“Aku juga.”
Kemarin malam adalah malam yang berarti bagi para mahasiswi Bosnia yang berasal dari Indonesia, karna tadi malam mereka boleh mengobrol sepuasnya lewat layanan 3G gratis yang disediakan untuk mahasiswi bersama keluarga. Acara ini hanya diadakan 2 bulan sekali. Penerimaan mahasiswi di Bosnia memang jauh lebih cepat dari Indonesia, jadi Kamami sudah 2 bulan lebih awal dari teman-temannya di Indonesia. Kamami ingat percakapannya dengan Oma dan Nova serta semua kawan rumah Bunda.
---
“Assalamualaikum, Oma, Nova.”
“Waalaikumsalam, Kamami sayang.”
Nova masih diam dan menjawab dalam hati, ia masihlah anak yang pemalu.
“Bagaimana kabar Oma dan Nova?”
“Baik Kamami, kau sendiri?” Tanya Oma.
“Sangat baik Oma! Teman-teman sudah datang?”
“Belum Kamami, mungkin 15 menit lagi.” Kata Nova pelan, karna ia baru saja mendapat kabar dari Lintar.
“Fiuh.. aku rindu kalian semua, selama 3 tahun ini sungguh membuatku tak bisa tidur nyenyak. Lagipula aku bingung, kenapa persiapan untuk masuk ke Univ ini harus 2 tahun lebih?”
“Semua butuh proses, Nak. Tak ada keberhasilan yang cepat didapat.”
“Iya, Oma.” Kamami tersenyum manis pada Oma dan Nova. Sebenarnya ia ingin menangis melihat Oma dan Nova yang telah ia tinggalkan selama 3 tahun, tapi ia tak mau membuat keduanya sedih, ia akan tersenyum indah bagai mentari.
“Bagaimana sekolahmu, Nov?”
“Aku sekarang harus test persiapan sekolah lagi, Mi. Aku bosan setiap akhir sekolah pasti ada test masuk.”
“Haha, kamu harus bersyukur, Nov. Karna kamu bisa menyelesaikannya selama 3 tahun, tidak lebih.”
“Iya benar, Mi!” Nova mulai ceria, karna ia memang sudah sangat rindu pada Kamami, rindu bermanja-manja dengan Kamami.
“Bagaimana sekolah Kamami?” Tanya Nova balik.
“Wah, sangat menyenangkan, Nov. Sekarang aku lebih dulu menjadi mahasiswi lho, Nov.”
“Huuu curang!”
Mereka pun tertawa, walau berbeda tempat, Kamami masih merasa bahwa mereka berada dalam 1 ruangan yang sama.
Tak berapa lama, teman-teman rumah Bunda datang, mereka langsung masuk saja layaknya rumah itu rumah mereka sendiri, Oma memang selalu senang dengan sikap teman-teman Kamami.
“Oh, ini para cucu Oma sudah datang, yasudah Oma mau siapkan makanan special dulu untuk teman-temanmu Kamami.”
“Yahhh.. aku juga mau, Ma!”
“Bermimpilah yang indah tentang Indonesia.” Ledek Nova, Oma tertawa renyah.
Kawan-kawan rumah Bunda langsung duduk di samping Nova, mereka takjub melihat Kamami yang semakin cantik, ia telah berubah setelah hampir 3 tahun berpisah.
“Waw.. kau tambah cantik sayang!” Seru Angel. Disusul anggukan tiga lelaki disampingnya.
“Terimakasih, Njel. Kau juga jauh lebih cantik sekarang.” Masih dengan senyum manisnya.
“Wahaha, aku sich udah cantik dari dulu!” Seru Angel.
Semua langsung memandang heran pada Angel yang benar-benar percaya diri (baca : narsis), Angel hanya cengengesan menanggapi semua tatapan itu.
“Ah, dasar wanita.” Gumam Debo.
“Apa?” Tanya Angel, Kamami, dan Nova bersamaan, dan mereka tertawa bersama. Kamami terus mencari ke seluruh celah, mencari sesosok yang telah hilang selama 5 tahun. Dea.
“Kau cari Dea ya, Mi?” Tanya Kiki yang menangkap sikap aneh Kamami.
“Iya, Ki.”
“Dea belum kembali, tapi aku yakin ia akan kembali tahun ini! Aku yakin ia akan kembali melanjutkan mimpinya di Jakarta!” Seru Lintar.
Setitik harapan mereka tangkap dari sikap Lintar, mereka yakin Dea akan kembali tahun ini.
“Benar, Lin?” Tanya Kiki.
“Insya Allah..” kata Lintar pelan.
“Aku percaya,” kata Kamami.
“Kami juga percaya!!” Seru semua remaja itu. Lalu kembali tertawa bersama.
“Eh, ngomong-ngomong sekarang kamu udah jadi mahasiswi ya, Mi?” Tanya Kiki.
“Iya, Ki.”
“Wah.. enaknya, kita akan ikut tes beberapa minggu lagi.” Kata Angel.
“O iya, rencananya kalian mau masuk kemana?”
Semuanya langsung senyum-senyum, dan kompak menjawab.
“UNIVERSITAS INDONESIA!!”
Kamami sudah tak kuat lagi menahan tangisnya, ia tersenyum tapi matanya mengeluarkan air mata, ia bahagia melihat semangat kawan-kawan seperjuangannya itu, ia akan terus berdoa untuk keberhasilan semuanya.
---
Dea memicingkan matanya, untuk memperjelas pandangannya akan Jakarta yang hanya tinggal beberapa km lagi. Ia pun mulai menyalakan Handphonenya. Ia ingin memberitahukan Bunda Romi bahwa ia akan segera kembali ke Jakarta, bertemu lagi dengan teman-teman Betha Melody. Ia mencari kontak Bunda Romi, dan menekan. ‘call’.
“Halo?” Suara yang sangat Dea rindukan, suara Angel.
“Angel..”
Angel yang mendengar suara Dea, tubuhnya terdiam, ia tak percaya orang yang selama ini menghilang, orang yang berharga baginya dan Kamami, orang yang sangat ia rindukan. Menelpon ke nomor rumah Bunda.
“Dea?”
“Iya, Njel.”
“Kau..”
Kiki, Debo, dan Lintar yang mendengar nama Dea langsung mendekati Angel.
“Siapa, Njel?” Tanya Kiki.
Angel menyerahkan telepon tersebut kepada Kiki.
“Halo?”
“Ini Kiki ya?” Tanya Dea.
“De.. Dea? Ini benar Dea?”
“Iya, Ki.”
“Kau benar-benar Dea?!” Teriak Kiki.
“Iya, Kiki. Sekarang aku ingin bicara pada Bunda.”
“Bunda? Untuk apa, De?”
“Aku akan kembali ke Jakarta.”
Kalimat dari Dea barusan mampu membuat Kiki jadi orang yang tak lagi sekuat Kiki biasanya, mampu membuat Angel tak setegar Angel yang biasa, mampu membuat Debo tak setegas Debo yang biasa, mampu membuat Lintar tak ceria secerah matahari lagi. Mereka lama terdiam, tapi tiba-tiba.
“BUNDAAAAAA!” Teriak mereka bersamaan.
Bunda yang sedang memeriksa formulir anak-anak langsung berlari keluar, mendekati anak-anaknya yang melamun.
“Ada apa ini?!”
“Dea, Dea mau bi.. bicara.. sa.. sama Bunda.” Kata Angel tertatih.
Bunda pun terpaku, ia ambil gagang telepon tersebut dan menempelkannya di telinganya.
“Dea?”
“Bunda.. apakah ini benar Bunda?” Tanya Dea memastikan.
“Iya, Dea.. ini Bunda.”
“Dea akan menepati janji Dea yang dulu, Bun. Janji Dea yang akan kembali jika Ibu sudah sembuh, kini Dea ingin bersama dengan kalian lagi. Jemput Dea 1 jam lagi di pelabuhan Tanjung-Periok.”
“Deaku sayang.. Bunda dan teman-temanmu akan menjemputmu 1 jam lagi.”
‘klik’
Pembicaraan pun terputus, Bunda masih memegang gagang telepon yang sudah kembali ke tempatnya, Bunda menatap anak-anaknya yang juga terpaku pada kejadian ini.
“1 jam lagi, kita akan jemput Dea di pelabuhan Tanjung-Periok.”
Angel menutup wajahnya, ia menangis sejadi-jadinya, karna ia sangat merindukan Dea, Kiki memeluk Angel, Lintar dan Debo pun ikut memeluk Angel, keempat sahabat Dea yang akan menyambut kedatangan Dea, 1 jam lagi.
---
Dea sudah bisa melihat pelabuhan Tanjung-Periok, ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, beberapa menit dan membukanya, lalu kembali menutupnya lalu ia buka lagi begitu seterusnya. Karna ia ingin terus menunggu kejutan lain dalam penglihatannya, ketika ia buka telapak tangannya, ia bisa melihat impiannya semakin dekat dengannya. Ia dapat melihat sahabat-sahabatnya lagi. Bu Mery merangkul Dea dan Emil, matanya terlihat lebih teduh dari biasanya, Bu Mery mengirimkan sinyal positif untuk hati Dea dan Emil, semua tersihir.. suasana hati Dea dan Emil yang barusan tak terkendali oleh bahagia, kini terasa lebih tenang, Dea dan Emil tertunduk, mereka pun mengucap Syukur pada Tuhan.
“Sesampainya di Jakarta, kalian tak boleh lupa untuk terus mengucap syukur pada Tuhan, atas seluruh nikmatnya selama ini. Setiap langkah kalian, usahakan terus mengingatNya. Ibu berharap kalian menjadi anak yang taat agama.”
“Baik, Bu.” Kata Emil dan Dea.
Tinggal beberapa menit lagi, kapal yang mengantarkan anak-anak Summer ini tiba di pelabuhan Tanjung-Periok, tubuh Dea tiba-tiba saja bergetar, perasaannya kembali meluap, tangannya dingin, ia tak sabar melihat Bunda Romi dan kawan-kawan.
“Tunggu aku.”
---
Bunda menyuruh anak-anak asuhnya itu untuk menghias rumah demi menyambut Dea, mereka langsung setuju, tapi Angel tak mau.
“Aku ingin ikut Bunda, aku ingin sekali bertemu dengan Dea.”
Bunda tersenyum lembut, lalu mengangguk.
“Bagaimana jika kita mengajak teman-teman Prince dan Princess?” Usul Kiki.
“Ya! Ide yang bagus!” Seru Lintar.
“Kak Alvin.. ia khan di Paris.” Kata Debo.
Semua terdiam, mereka tahu orang yang begitu berarti untuk Dea kini menghilang, Dea pasti sangat merindukan Alvin.
“Andaikan Kamami di sini.” Gumam Angel.
“Tidak apa-apa, setidaknya kebersamaan kita bisa membuat anak itu lega.” Kata Kiki.
Semua mengangguk mendengar ucapan Kiki, semua pun langsung bersiap, Bunda dan Angel pun pergi ke Pelabuhan.
---
“Jadi begitu, Pak.” Kata Rio pada dosennya.
‘kring’ suara SMS tentu mengacaukan presentasinya, tapi ia berusaha tenang dan tak membaca SMS tersebut.
---
Angel memicingkan matanya, persis seperti yang dilakukan Dea, dan matanya membesar ketika melihat sebuah kapal yang pernah ia tumpangi saat kelas 6 SD muncul kembali. Angel menggenggam tangan Bunda erat, ia sudah sangat rindu pada Dea.
“Dea..” ucapannya begitu lirih, suara indah Angel membuat hatinya sendiri bergetar, ketika ia sebutkan nama Dea perlahan, ia mulai ingat masa-masa indah bersama Dea dan Kamami.
5 menit kemudian, kapal tersebut tiba di Pelabuhan, sudah banyak orang di sekitar Angel, juga menunggu kerabatnya keluar dari kapal. Dea mengangkat barang-barangnya, dibantu Emil, ketiga penduduk desa Summer itu turun dari kapal. Saat Dea pijakan kakinya kembali di tanah Jakarta, ia tersenyum, ia melangkah di jalan mimpi. Sangat dekat.
“Jakarta, aku kembali..”
Saat ia angkat kepalanya yang sejak tadi ia tundukan, ia melihat 2 orang yang ia sayangi, Angel menatapnya lekat, penuh arti, penuh kerinduan, ia hendak berlari memeluk Angel, tapi sesuatu menahannya. Ia mencari Kamami ke seluruh sudut pelabuhan, tapi tak ada.
Dea meletakan seluruh bawaannya lalu berjalan perlahan mendekati Angel dan Bunda, rambutnya yang teruntai terbang akibat angin laut, dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak sangat cepat.
“Sudah kubilang, aku akan kembali.. aku pasti kembali.” Kata Dea ketika ia berhadapan dengan Angel.
“Ya, kau memang janji akan kembali, tapi dalam 3 hari, bukan 5 tahun!” Perkataan Angel bergetar, ia tak kuat menahan tangisnya, ia ingin menumpahkan semua air matanya karna ia tak kuat lagi menahan rasa senang ini.
“Kau bertambah tinggi ya, Njel.”
“Kau juga, De. Bahkan sekarang kau tambah putih, kukira kau akan lebih coklat berada di Desa.” Canda Angel.
Keduanya terdiam, lalu Dea langsung memeluk Angel erat.
“Aku merindukanmu, sangat rindu. Njel.”
“Kau bodoh, De. Kau sangat bodoh, meninggalkan kami tiba-tiba, aku hampir mati saat itu!” Kata Angel dengan sesenggukannya.
“Maafkan aku.. maaf..”
Emil dan Bu Mery mendekati ketiganya, Bunda tersenyum pada Bu Mery dan Emil.
“Terimakasih telah mengantarkan Dea kembali ke Jakarta.” Kata Bunda.
“Sama-sama..” Kata Bu Mery.
Dea melepas pelukannya, dan menyeka air matanya. Ia mengambil tangan Bunda dan Bu Mery, lalu ia jabatkan keduanya.
“Bunda, ini Bu Mery, ia guru matematikaku yang akan membiayai sekolahku di Jakarta. Dan Bu Mery, ini Bunda, ia guru psikologiku, sekaligus orang tua asuhku.”
“Salam kenal.” Kata Bu Mery.
“Salam kenal juga. Maaf sudah kerepotan mengurus anak nakal ini.” Canda Bunda.
Mereka berlima pun tertawa, sesuai permintaan Dea di Pelabuhan Summer, ia ingin pergi ke Smp Betha Melody dulu, sebelum melakukan banyak pelatihan.
“Bagaimana jika Dea, Emil, dan Bu Mery tinggal di rumahku? Masih ada banyak kamar kosong.” Usul Bunda Romi saat di mobil.
“Tidak usah, Bu. Saya sudah menyewa kontrakan.”
“Oh, tidak apa-apa, Bu. Nanti saya akan gantikan semua uang sewanya. Dea pasti ingin tinggal di rumahnya yang lama. Iya khan, De?”
“Tentu Bunda!!” Seru Dea.
Bu Mery terdiam, lalu setuju dengan keputusan Bunda Romi.
“Sepertinya kau punya banyak Ibu ya, De.” Kata Angel.
“Hehe, iya dong.”
Tangan Dea tak pernah lepas dari tangan Angel sejak di pelabuhan tadi, Dea merindukan kejadian ini.
“O iya, siapa namamu?” Tanya Angel pada Emil.
“Eh, iya aku lupa. Aku Emil.” Seraya menjulurkan tangannya pada Angel, tapi Angel bingung menerima uluran itu dengan tangan yang mana, jika tangan kiri dikira tak sopan, sedang tangan kanannya sibuk menggenggam tangan Dea. Angel dan Dea saling pandang, Emil langsung mengerti dan mereka kembali tertawa bersama.
“Hahaha, maaf ya, Mil.” Kata Dea.
“Iya, nggak apa-apa kok.” Katanya kalem.
“Hei, sekarang kau pakai kacamata, De?”
“Iya, Njel.”
“Minus berapa?”
“Satu.”
“Eh dasar kamu! Baru 5 tahun ku tinggal, kamu sudah minus saja! Sekarang aku takkan meninggalkanmu!”
Dea dan Emil tertawa kecil.
“Njel, Kamami kemana?” Tanya Dea.
“Oiya, aku lupa bilang, De. Kamami sekarang kuliah di Bosnia, ia mengambil jurusan psikologi, ia bilang ia ingin menjadi aktivis perdamaian.”
“Kenapa psikologi?”
“Karna ia ingin tahu banyak tentang keadaan jiwa, lagipula ia pun mendapat pelatihan pemimpin.”
“Wow, Kamami hebat..”
“Kita juga harus meningkatkan prestasi kita, De!”
“Ya!”
---
Dea menatap ke jendela, hujan turun rintik-rintik, entah kenapa. Dea merasa hujan hari ini sungguh hujan paling indah, walau dinginnya udara begitu menusuk. Tapi ia merasakan kehangatan yang luar biasa, kehangatan persahabatan.
Mobil Bunda Romi tiba di pekarangan rumah Bunda. Angel masih menggandeng Dea, menarik Dea ke dalam rumah.
‘tat-tarataaaattttt’ suara terompet yang amat kencang memenuhi ruangan, Dea menggabungkan kedua telapak tangannya, dan tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan.
Di hadapannya terdapat sebuah spanduk bertuliskan
SELAMAT DATANG SAHABATKU DEA CHRISTA AMANDA
Lintar langsung memeluk Dea, Kiki dan Debo saling pandang lalu ikut memeluk Dea. Shilla, Sivia, Zeze, ketiga anak itu datang dengan sukacita, menyambut anggota Princess yang pernah hilang itu. Oliv dan Oik tidak bisa datang, Obiet, Patton, dan Iel pun datang menyambut gadis yang membuat 2 pentolan Prince merasakan cinta.
“Terimakasih.. dan maaf untuk semua sikapku yang bodoh ini.” Sesal Dea.
“Kau memang bodoh,” kata Kiki dingin.
Semua menatap Kiki heran.
“Kau meninggalkan kami tiba-tiba, dan sekarang kau juga datang tiba-tiba, memberikan waktu hanya 1 jam untuk menyambut kedatanganmu.” Kata Kiki agak dingin, Dea menunduk. Tapi lama-lama Kiki tertawa, bahkan sangat keras. Mereka semua yang ada diruang tengah pun ikut tertawa, Kiki merangkul Dea.
“Kau pernah mengajariku tentang hidup, tapi kau belum sepenuhnya mengerti akan hidup.”
Dea menyembulkan tawa kecilnya, Kiki menatap lekat sahabatnya itu, Kiki juga sangat rindu pada Dea yang mennyemangatinya saat ia menyesal masuk ke Smp Betha Melody.
“Boleh kutanya sesuatu?” Tanya Dea.
“Boleh, De.” Kata Angel.
“Kak Alvin mana?”
Semua saling pandang, Angel tersenyum dan mendekati Dea.
“Kak Alvin mengejar mimpinya menjadi Musisi, De. Di Paris,”
“Paris?”
“Ya,” sahut Iel.
Dea menatap handphonenya, ia ingat saat Alvin menelponnya dengan nomor asing, ternyata itu nomor Paris. Dea menghelakan nafasnya.
“2 orang yang juga berharga di hidupku.. pergi ke luar negri.. padahal aku rindu mereka.”
“Kamu nggak lupa sama seseorang yang lain?” Tanya Obiet.
“Siapa?”
Semua kembali saling pandang, dan memaklumi sikap Dea, ia memang tak punya sedikitpun rasa suka pada Rio, maklum saja jika Dea sedikit lupa.
“Ah! Kak Rio! Kemana kak Rio?!”
Angel dan yang lain langsung lega.
“Mungkin Rio sedang sibuk dengan presentasinya,” tebak Patton.
Dea sedih mendengarnya, karna Dea juga merindukan Rio, sama seperti sikapnya pada yang lain.
---
Rio pun menyelesaikan presentasinya menemai peranan Agama pada Hukum Indonesia, Dosennya memberikan two thumbs untuk Rio.
“Bagus, presentasi yang padat tapi kritis.” Puji Sang Dosen.
“Terimakasih, Pak.”
“Ok, pertemuan kali ini ditutup oleh presentasi gemilang dari Mario Stevano.”
Suara tepuk tangan pun mengiringi Rio saat ia kembali ke tempat duduk, setelah pamit, Sang Dosen meninggalkan kelas. Rio membuka jasnya dan menggantinya dengan jaket putih garis-garis kesayangannya.
“Sepulang dari sini, mau kemana, Yo?” Tanya Dayat.
“Aku nggak tahu ni, Day. Bosan juga di apartement, lagipula besok sedang bebas. Aku ingin refreshing dulu.”
“Ke restoran Jawa kesukaanku yuk?”
“Haha, restoran milik Papa Rara khan?”
“Ih! Kok tahu mulu’ sich!” Kesal Dayat.
“Hahaha, kamu tu nggak jauh dari anak yang namanya Zahra Damariva itu.” Seraya menunjuk gadis berkacamata yang bersiap pulang.
“Ssst!”
Rio tertawa agak keras, menghilangkan image kalem selama presentasi tadi. Seorang gadis menghampiri Rio. Ia tersenyum semanis mungkin.
“Kamu kenapa, Ya?”
“Nggak apa-apa, aku hanya mau mengagumimu.”
“Hah?! Mengagumi??”
“Iya, presentasimu sangat bagus! Aku ingin belajar banyak darimu.”
“Oh, Cahya-Cahya, presentasimu lebih baik dariku, buktinya kau dapat A+ sedang aku hanya dapat A.”
“Tapi kau sungguh mengagumkan.”
“Ehem. Dayat dan aku harus cepat pergi, dagh Cahya.”
Rio langsung menarik Dayat keluar, dan di luar Dayat tertawa sekencang-kencangnya, Rio langsung membekap mulut Dayat, tapi kini badan Dayat bergetar karna menahan tawa.
“Kau itu! Sudah, ayo ke restoran Jawa Rara!”
“Cieee.. Rio Cahya!” Ledek Dayat.
“Dasar Rara!”
Dayat dan Rio berlarian, sekilas mereka teringat masa SMA mereka yang indah, penuh putih abu-abu, dan penuh kejadian menarik. Dan semua itu membuat Rio lupa akan SMS yang diterimanya saat ia presentasi, sebuah pesan singkat yang mengatakan bahwa Dea sudah ada di Jakarta.

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini