Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - SEPULUH

Sepuluh


Angel…
Kenapa penampilanmu begitu kuno?
Kenapa prilaku seaneh penampilanmu?
Kenapa kau begitu lemah tanpa sahabat-sahabatmu?
Jawab aku dengan lantang.
Angel…

By Kiki_Egetan

Angel tak kuasa menahan amarahnya pagi itu, walaupun Gaby dan Zeze sudah menahannya, tapi Angel tetap berlari ke aula tempat Kiki biasa berlatih karate. Benar saja, di aula, anak-anak karate sedang berlatih untuk pertandingan Jabodetabek minggu depan.
Angel mempercepat langkahnya menuju Kiki, ia dengan penuh amarah menarik baju Kiki dari belakang dan mendorongnya. Angel tak pernah semarah ini.
“Udah gua bilang, nggak usah bikin puisi dengan nama gua!”
“Loe udah baca to? Gimana pendapat loe?”
“Loe itu mahluk paling buruk yang pernah gua kenal!”
“Kok nggak jawab pertanyaan gua? Oiya, bales dong puisi gua. Jawab dengan lantang.”
Gemeretak gigi Angel sedikit terdengar, wajahnya merah padam sampai mungkin bisa memasak telur diatasnya. Angel melangkah mundur hanya beberapa langkah, lalu menatap Kiki nanar.
“Kenapa penampilan gua kuno? Karena gua mau memunculkan Bunda gua yang udah nggak ada di depan Ayah gua!
“Kenapa prilaku seaneh penampilan gua? Karena gua nggak bisa ngelepasin bayangan Bunda gua dari hidup gua! Dia inspirasi gua! Untuk meyakinkan Ayah bahwa Bunda selalu ada untuknya, gua berprilaku seperti Bunda!
“Kenapa gua lemah tanpa sahabat-sahabat gua? Karena mereka jiwa gua! Gua lemah tanpa kehadiran mereka! Tapi gua berusaha kuat ngelawan loe! Mahluk paling buruk yang pernah gua kenal!”
Kiki terdiam mendengar jawaban itu, ia bungkam tak bisa membalas kemarahan Angel. Ia tak menyangka Angel akan semarah itu.
“Satu lagi, Ki. Jangan pernah loe bawa sahabat-sahabat gua dalam masalah kita!”
Angel berbalik lalu meninggalkan Kiki yang masih tertegun. Beberapa teman Kiki menyadarkan Kiki dari keterkejutannya.
“Loe nggak apa-apa, Ki?”
“Oh, nggak apa-apa, Ko.”
“Cewek itu bener-bener marah.”
“Ya, baru kali ini gua ngeliat dia semarah itu.”
***
_flashback_

“Gua kira loe nolongin gua, tulus.”
“Gua tulus kok, tapi karena duit gua ketinggalan, jadi boleh dong nebeng? Lagian kita kan sekompleks.”
“Sekompleks? Gua baru tahu kita sekompleks.”
“Apa sih yang loe tahu.”
“Hih.”
Dea langsung mengalihkan pandangan keluar, dan kesempatan itu digunakan Alvin untuk memandangi Dea.
“Kenapa loe harus buktiin ke gua sih kalau loe bisa lari 75 keliling?”
Perlahan ia memutar pandangan ke arah Alvin.
“Karena loe yang minta.”
“Jadi kalau orang lain yang minta, loe nggak akan nunjukin itu?”
“Nggak tahu deh.”
“Loe suka sama gua ya?”
Jantung Dea kembali berdegup kencang, ia tak menyangka Alvin bisa menanyakan hal seterbuka itu. Dea terdiam.
“Gu… gua…”
“Hahahahaha! Kena deh loe! Mana mungkin juga loe suka sama gua! Dasar-dasar.”
“Iya juga sih, gua nggak mungkin suka sama loe.”
Dea mengalihkan pandangan lagi, jantungnya masih berdegup kencang. Padahal ia sudah bilang tak suka pada Alvin, tapi sepertinya itu hanya ungkapan mulutnya, bukan hatinya.
***
Dea keluar dari indekosnya, ketika ia melihat Kevin yang menjemput Yuki seperti biasa Dea hanya tersenyum.
“Jadi gua akan selalu dicuekin kalau kalian lagi berduaan?”
“Ya nggaklah, De. kamu kan ada Rio.”
“Rio? Oiya, mana dia?”
“Gua lupa, De. Hari ini Rio nggak bisa kuliah, katanya dia mau balik ke Bogor. Ada urusan mendadak.”
“Kok dia nggak bilang gua?”
“Nggak tahu juga.”
Apa karena gua bohong ke dia kemarin, dan dia tahu? Batin Dea.
“De, kamu mau naik motor sama kita?”
“Wah, nggak deh makasih, Ki. Lagian loe kan pakai rok, nggak enak kalau motornya sempit.”
“Kamu nggak apa-apa berangkat sendiri?”
“Nggak papa kok.”
“Yaudah, kita duluan, ya.”
Selepas mereka pergi, Dea bergumam.
“Lagian kan kuliah-an deket, ngapain naik motor?”
Baru saja Dea melangkah, ponsel Dea bergetar tanda ada sms masuk.

De, maaf ya gua nggak sempet ngasih tahu loe tentang keberangkatan gua pagi ini, mendadak banget soalnya. Nenek gua masuk rumah sakit, doain ya supaya cepet sembuh.

Dea menghela nafas lega, ternyata Rio tidak marah padanya.
Iya, nggak apa-apa. Semoga nenek loe cepet sembuh. ^_^ . salam dari gua, ya.

Tak berapa lama Rio membalas lagi.

Makasih. Oiya, kemarin loe nggak kemana-mana kan? Kok loe bohong sih?

Dea tak lagi lega sekarang, ia harus memberikan alasan apa?

Uhm, maaf ya, Yo. Gua nggak maksud bohong sama loe kok. Tapi… ada beberapa hal yang nggak bisa gua bilang ke loe.

Benar, tidak semuanya bisa ia ungkapkan pada Rio.

Oke, no problem. Tapi loe masih nganggep gua sahabat kan?

Dea tersenyum lembut, lalu membalas.

Pasti, dan selamanya akan begini.

Rio tak bisa tersenyum lagi, setelah Dea membalas akan menganggapnya sahabat untuk selamanya. Ia merasa tak mungkin punya kesempatan mendapatkan hati gadis itu. Sebenarnya dulu Dea pernah suka pada Rio, tapi perasaan itu jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Dea pada Alvin. Sangat berbeda.
***
Rio meletakan ponselnya di meja belajarnya, pagi ini ia ingin sedikit berbohong pada Dea. Sekali ini saja, kebohongan yang mungkin akan mengantarkannya pada kebenaran. Ia berbohong bahwa ia pergi ke Bogor, ia juga bohong kalau ia tahu bahwa Dea tidak kemana-mana kemarin sore. Dan ia menemukan kebenaran itu. Dea membohonginya kemarin, tapi kenapa?
Rio langsung sadar, ini pasti ada hubungannya dengan sikap Rio yang tiba-tiba lari menghampiri Dea lalu mengajaknya jalan. Ya, pasti ada hubungannya, pikir Rio. Lelaki itu hanya bisa berspekulasi tanpa mempunyai bukti kuat.
“Maafkan gua, De. Yang nggak bisa sebaik orang itu.”
***
_flashback_

Sejak Dea pingsan, Alvin berfikir bahwa ia harus menjaga Dea bagaimanapun caranya. Ia tak mau melihat gadis itu sakit lagi. Apalagi karena dirinya. Cara Alvin menjaga Dea yang terkadang salah membuat Dea justru menyukainya. Seperti siang ini.
“2 minggu lagi… loe pergi ya, Kak.”
“Nggak sepenuhnya pergi.”
“Loe mau masuk SMA mana?”
“Kenapa? Loe mau ngikutin gua?”
“Ih, mulai lagi.”
“Hehe, iya-iya. Gua sih pengennya masuk SMA Global.”
“Global lagi?”
“Iya, soalnya Global itu menyenangkan sih.”
“Loe pasti masuk situ?”
“Mudah-mudahan, kalau loe mau masuk mana?”
“Gua belum tahu mau masuk mana.”
“Loe gimana sih, De! Loe harus punya rencana! Hidup harus penuh planning!”
Dea terdiam melihat Alvin yang membentaknya, ia tahu ini adalah cara Alvin menasihatinya. Tapi kali ini Dea benar-benar kesal.
“Biasa aja kali.”
“Ups, sorry, De. gua nggak maksud bentak loe kok, loe kan tahu gua kayak gimana.”
Sekali lagi, Alvin mengelus rambut Dea. ‘Untung gua udah keramas, jadi nggak malu-maluin amat,’ gumam Dea dalam hati.
“Ya ya ya, nggak apa-apa. Tapi menurut loe gua harus masuk mana ya?”
“Gua saranin sih loe masuk SMA Global aja, De. bagus kok di sana. Yakin deh sama gua.”
“Oke, gua usahain.”
“Tapi abis wisuda, apa kita bisa ketemu lagi, ya?”
“Bisa, di pertandingan karate misalnya? Loe pasti ikutan, kan?”
“Pasti.”
“Oiya, kalau nggak ada loe sama anak-anak kelas 3, nanti di klub karate pasti sepi.”
“Kan ada loe sama anak-anak.”
“Beda kali, Kak.”
“Sama kok, gua yakin sama aja. Bahkan gua yakin loe bisa lebih baik dari gua.”
“Yakin banget sih loe.”
“Karena gua percaya sama loe, De.”
Sejenak mereka terdiam, Dea tersenyum lembut walau hatinya tak tersenyum. Ia ingin menangis, tapi tak mungkin karena itu akan menyakiti Alvin. Ia tak tahu kapan lagi akan bertemu dengan Alvin setelah ini. Bagaimana jika mereka berdua tidak 1 sekolah lagi? Benar. Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua itu.
“De, loe mau nangis?”
“Dih, kenapa harus nangis?”
“Karena gua sama angkatan gua harus ninggalin sekolah ini.”
“Gua emang sedih, tapi gua nggak akan nangis.”
“Kenapa? Gua nggak pernah liat loe nangis lagi sejak loe pingsan, loe bisa nangis sekarang.”
“Nggak.”
“Kenapa, De?”
“Karena gua tetep pengen kuat di depan loe, gua nggak mau cengeng lagi kayak dulu.”
“Bagus, tetep kayak gini, ya.”
Dea tersenyum penuh kemenangan. Entah kenapa.
“Gua punya hadiah perpisahan, De.”
“Apa tu?”
“Tutup mata, deh.”
Dea menutup matanya, jantungnya berdegup kencang lagi. Ia merasakan Alvin mengangkat tangannya, lalu mendaratkannya tepat di dada Alvin.
“Buka.”
Dea bingung, dan Alvin hanya tersenyum.
“Apa maksudnya?”
“Hadiah buat loe adalah permintaan gua.”
Alvin tersenyum lebih lembut, dan tangan kiri yang tidak memegangi tangan Dea mengelus rambut Dea.
“Gua minta loe jangan lupain gua, walaupun suatu saat nanti gua harus pergi. Tapi gua minta, loe harus simpen gua di hati loe.”
Dea terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia sangat ingin menangis, ia menahannya dengan memgigit bibirnya.
“Seperti gua yang akan menyimpan loe di hati gua,” Alvin terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Loe bisa rasain detak jantung gua? Ini yang selalu gua rasain setiap loe di samping gua. Pertama kali loe masuk klub, sampai sekarang.”
“Gua masih nggak ngerti.”
“Gua… gua udah nganggep loe sebagai sahabat terbaik di hidup gua, gua nggak mau kehilangan loe, De.”
“Baik, gua nggak akan ngelupain loe. Apapun yang terjadi.”
***
Lihat ke langit luas, dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan, merangkai mimpi dengan khayalku, selalu bermimpi dengan hariku
Pernah kau lihat bintang, bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka, coba temani dekati aku
S’lalu terangi gelap malamku
Dan rasakan semua bintang, memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang

Lihat ke langit luas, dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan, merangkai mimpi dengan khayalku, selalu bermimpi dengan hariku
Pernah kau lihat bintang, bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka, coba temani dekati aku
S’lalu terangi gelap malamku
Dan rasakan semua bintang, memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang yang terindah
Meski terlupa akan selalu terangi dunia
Mereka-reka, hanya aku dan bintang

Sivia bernyanyi lagu “aku dan bintang” untuk Iel, lagi, di tempat yang sama. Dan lagi, Iel bertepuk tangan sekencang ia bisa, Iel mengagumi suara Sivia. Selama 3 hari ini mereka bersama, Sivia dapat sedikit melupakan kesedihannya tentang peralatan lukis yang dibuang Ayahnya.
“Sebenarnya aku mau tanya ini sejak awal kita bertemu, tapi aku takut menyinggung perasaanmu.”
Gabriel menggeleng dan menulis…

Tanyakanlah apa saja, aku takkan marah.

Dengan ragu, Sivia pun bertanya. “Sebenarnya kau berasal darimana? Maksudku, dimana tempat tinggalmu?”
Gabriel masih tersenyum mendengar pertanyaan Sivia.

Aku tinggal di Panti Asuhan Gemintang, kau tahu, Panti Asuhan yang berada beberapa blok dari sini? Ya, di situlah aku tinggal.

“Apakah anak-anak di sana tak mennyenangkan, jadi setiap sore kau selalu ke sini?”

Bukannya tidak menyenangkan, tapi terkadang aku jenuh di sana. 3 bulan yang lalu aku menemukan tempat ini, dan bertepatan dengan itu kau juga sering ke sini untuk melukis. Jadinya aku terbiasa sampai sekarang.

“Karena aku?”

Tidak juga, tapi sebagian karena kamu sih.

“Apa… tidak ada orang tua yang mengadopsimu?”

Para orangtua itu jarang memandang bagian anak-anak cacat, jikala mereka harus memilih, mereka lebih memilih anak normal paling badung daripada kita yang jelas-jelas penurut. Aku tak tahu alasan mereka mengesampingkan kami.

“Maaf jika aku menyinggung perasaanmu.”

Tidak kok, tidak sama sekali. Aku malah senang ada yang peduli padaku. Apalagi dia itu gadis cantik dan pandai bernyanyi sepertimu.

“Kau sebenarnya mengingatkanku pada 3 sahabatku.”

Ohya? Kau hanya punya 3 sahabat?

“Sebenarnya banyak, kau juga sahabatku. Tapi mereka bertiga memang segalanya untukku. Mereka tahu apa yang kurasa, aku pun bisa tahu apa yang mereka rasa. Yang pasti aku rindu mereka.”

Kenapa tak kau hubungi saja mereka?

“Tidak bisa, kami berjanji akan bertemu 5 tahun lagi, dan selama itu… aku harus hidup sendiri dulu.”

Jadi kau anggap apa aku? Sendiri?

“Oh, bukan itu maksudku! Maksudku, aku merasa sendiri karena mereka tak ada. Aku tetap senang kalau kau di sampingku.”

Terimakasih ya, sudah mau menemani seorang tuna wicara sepertiku.

“Sama-sama, terimakasih juga karena kau mau menemani gadis cengeng dan manja sepertiku.”

Kau tidak cengeng dan manja, kau kuat dan mandiri.

“Kau juga bukan seorang tuna wicara, buktinya kita selalu mengobrol setiap sore. Aku tak pernah menganggapmu tuna wicara, Iel.”

Terimakasih, oiya. Ngomong-ngomong Angel bilang padaku, bahwa hari ini kau cantik sekali dengan jepitan itu.

“Angel atau kau yang bilang begitu?”
Gabriel hanya terkekeh mendengar pertanyaan itu, kalau saja langit sore ini masih biru, pastilah warna semu merah di pipi Gabriel bisa terlihat.
***
Sore ini, sepulang kuliah rencananya Lintar ingin mengajak Ami ke taman ria yang baru dibuka. Ami sudah lama mengutarakan keinginannya untuk bermain di sana, tapi tak ada yang mau menemani Ami. Sibuk, alasan standar orang dewasa. Dan yang pasti, Ami takkan mengajak Lintar. Jadi Lintar-lah yang harus mengajak Ami. Lagipula momennya tepat, hari ini adalah hari terakhir Ujian Tengah Semester dan pastinya Ami ingin sekali jalan-jalan.
Lintar menunggu Ami muncul dari balik gerbang fakultas, dan setelah menunggu selama 15 menit barulah Ami muncul. Masih dengan tatapan ketus Ami bertanya,
“Ada apa menungguku?”
“Kamu mau ke taman ria bersamaku?”
Ami terdiam, ia melihat temannya yang tadi bersamanya sudah kabur entah kemana. Ami memang sangat ingin pergi ke taman ria, tapi bersama orang ini? Sepertinya bukan ide yang buruk juga.
“Oke, tapi jangan berfikir macam-macam, ya!”
“Macam-macam apanya?”
“Ah, lupakan saja. Ayo berangkat.”
“Hei, hari ini aku bawa motor, kita naik motor, yuk?”
“Sepertinya kau niat sekali mengajakku ke taman ria.”
“Memang.”
Lintar berlalu sebentar untuk mengambil motornya, sedangkan Ami hanya menggigit bibirnya karena gugup. “Ia benar-benar niat mengajakku ke taman ria?”
***
Kiki mengulurkan tangannya di hadapan Angel, semudah itukah Kiki meminta maaf pada Angel. Mungkin ia berfikir ia memang keterlaluan.
“Sorry ya soal puisi tadi,” ucapnya penuh aroganisasi.
“Masih bisa ketemu gua rupanya.”
“Sorry, dimaafin nggak?”
Angel melihat tangan Kiki menggantung di udara, demi permintaan maaf ia rela berlama seperti itu. Angel juga sebenarnya bukan gadis pendendam, walaupun ia sudah berkata bahwa Kiki adalah “Mahluk paling buruk yang ia kenal.” Tapi itu hanya angin lalu baginya.
“Iya deh.”
“Eh, yang ikhlas dong.”
“Iya-iya, gua maafin.”
“Thank’s.”
“Ya, sama-sama.”
“Lain kali, gua akan bikinin puisi yang lebih bagus dan menantang dibanding yang tadi, hahahahaha!!” Setelah berkata, Kiki langsung kabur meninggalkan Angel yang berfikir sebentar.
“Kiki!!”

Star from Heaven - SEMBILAN

Sembilan

LANGKAH kaki Ami terdengar nyaring di lorong fakultas. Membuat lorong sepi itu mengeluarkan bunyi gema yang cukup kencang. Sebenarnya jika langkah itu biasa saja, suaranya tak terlalu kencang, tapi ini karena langkahnya cukup cepat dan menunjukan kemarahannya. Dibelakang Ami, seorang lelaki mengejarnya, Lintar.
“Ami, tolong berhenti! Saya ingin menjelaskan semuanya!”
Tapi Ami terus berjalan, lebih cepat nyaris berlari. Semakin Ami mempercepat langkahnya, Lintar juga mempercepat langkahnya. Tangan Ami mengepal, urat-urat di lehernya muncul tanda ia benar-benar marah.
Setelah melewati gerbang fakultas, Ami berhenti begitu juga Lintar.
“Saya hanya ingin mengajak Anda keluar fakultas, agar Anda tidak mempermalukan saya di sana.”
“Tolong dengarkan penjelasan saya, saya tidak bermaksud untuk mengajar lagi. Tapi Ayah sedang sakit, ia terlihat sangat lemah. Saya tidak tega membiarkannya mengajar.”
“Saya tahu itu, tapi kenapa pengajaran Anda hari ini lebih membosankan, Ya? Apa karena Anda selalu menatap saya? Menunjuk saya jika Anda mengajukan pertanyaan, dan mencoba menenangkan teman-teman saya jika saya berbuat kesalahan? Anda ingin cari muka?”
“Saya hanya mengajar sebagai seorang asisten dosen, tidak ada yang salah dengan pengajaran saya hari ini.”
“Anda bisa bilang kalau itu tidak salah, tapi menurut saya, semua yang Anda lakukan salah!”
Lintar menatap Ami yang menatapnya nanar, gadis itu sangat marah.
“Ma… maafkan saya, berikan saya kesempatan untuk menebus semua yang salah di mata kamu tentang saya.”
“Anda mau tahu, kenapa saya tak pernah suka Anda?”
“Katakan, jika itu bisa membayar semuanya.”
***
Angel mengalihkan pandangannya dari lapangan basket ke arah dimana kawan-kawannya datang. Ia langsung berdiri dari kursi penonton lalu berlari menghampiri Gaby dan Zeze.
“Pagi,” sapa Angel berusaha mengalihkan pembicaraan yang tidak ia inginkan.
“Pagi, Njel. Tumben pagi-pagi udah di dekat lapangan?”
“Ze, jangan mulai deh,” ucap Angel.
“Jangan-jangan loe emang suka sama Kiki, Njel,” tebak Gaby.
“Kalian berdua ini, kayak tahu aja isi hati orang lain.”
“Kita emang tahu, apalagi pas Kiki ketahuan bikin puisi tentang loe.”
“Tentang gua?”
Zeze dan Gaby saling bertatap, baru kali ini kedua kawan Angel itu kompak.
“Iya, seperti yang di mading itu. Puisi buatan Kiki yang berjudul ‘Angel’.”
“So sweet banget…,” goda Zeze.
Angel langsung berlari menuju mading, tapi tak ada puisi berjudul Angel. Ia menatap kedua kawannya geram.
“Kalian ngerjain gua?”
“Tu kan, loe beneran suka kan sama Kiki?”
“Ya siapa yang nggak kaget kalau ada orang yang bikin puisi pakai nama orang lain?”
“Masuk akal,” setuju Gaby.
“Ish, loe gimana sih, Gab. Bales dong, nggak kompak banget.”
“Uhm, loe tahu nggak ekspresi muka loe pas kita bilang Kiki buat puisi pakai nama loe?”
“Emang gimana?”
Gaby memberikan tatapan pada Zeze–kau yang lanjutkan.
“Wajah loe itu bersemu merah, kayak orang seneng banget.”
“Masa’? Gua nggak ngerasa seneng.”
“Tapi kelihatan Angel,” tegas Gaby.
“Bohongan aja seneng, apalagi kalau beneran ya…,” ledek Zeze.
Kedua kawan Angel tertawa sepuasnya, sampai seseorang menghentikan tawa mereka.
“Gimana kalau beneran?”
***
Sepertinya permintaan Ayah Sivia tempo lalu menunjukan kebenarannya. Sivia sangat kaget saat melihat ruang lukisnya kosong, yang tersisa hanya beberapa lukisan pemandangan yang menurut Sivia kurang berkesan.
“Kemana Ayah keluarkan semua peralatan lukisku?!”
“Ke tempat yang kau tidak bisa menjangkaunya.”
“Ayah, tolong kembalikan semuanya. Aku tidak bisa hidup tanpa melukis.”
“Kau bisa hidup tanpa semua lukisan itu, mereka hanya khayalanmu, Via!”
“Ayah bahkan tak tahu, apa arti khayalan itu untukku.”
Bibir Sivia bergetar, ia hampir menangis.
“Kalau kau masih begini, sebaiknya kau pulang ke Bogor, tinggal bersama Tante Wanda.”
“Apa Ayah membuangku?”
“Tolong mengerti keadaan Ayah, Sivia.”
“Bagaimana keadaan Ayah?”
“Ayah tak bisa melihatmu terus melukis, karena jika kau seperti itu, akan mengingatkan Ayah pada Bundamu.”
“Lalu kenapa jika Ayah ingat Bunda? Ayah ingin menikah lagi? Jadi ingin cepat-cepat melupakan Bunda?”
Air mata Sivia mengalir begitu saja, ia tak kuat jikala mendengar pernyataan Ayahnya yang menakutkan.
“Ayah tak bisa mengatakannya sekarang, tapi cobalah hidup tanpa melukis.”
“Katakan sekarang, Ayah! Berikan aku kejelasan! Agar aku tak berharap seumur hidupku.”
“Suatu saat nanti, jika kau sudah melupakan lukisan sebagai prioritas hidupmu.”
***
_flashback_

Keesokan harinya…
“Nona Dea mau sekolah hari ini?”
“Iya, Mbok. Nggak betah di kamar terus.”
“Sekolah di sekolah umum itu berbeda banget ya, Non, dari sekolah keputrian.”
“Iya, lebih menyenangkan.”
“Apalagi kalau punya cowok seganteng yang kemarin gendong Non, ya.”
“Ih, panggilin Pak Aji dong, Mbok, nanti aku telat.”
---
Saat Dea berjalan, semua mata seakan tertuju padanya. Ia sampai berfikir apakah kejadian kemarin benar-benar heboh? Ia tahu sih, kalau Alvin itu cukup mengagumkan dan tak heran jika banyak gadis iri pada Dea yang digendong Alvin.
“Pagi, Dea!”
“Pagi, Gita.”
“Gimana keadaan loe?”
“Baik, kok.”
“Baguslah, berarti hari ini bisa dong full sekolahnya?”
“Ya biasanya kalau sehat pasti gua bisa full sekolah.”
“Bukan itu, hari ini kan ada pemilihan ketua osis.”
“Pemilihan ketua osis?”
“Iya.”
***
Bibir Ami bergetar, tanda ia sedang menahan tangis. Ia terus menggigit bibir untuk menahan perasaannya.
“Karena Anda selalu datang di kala yang tidak tepat. Saya membenci materi tentang alam, dan Anda mengajar Kimia Lingkungan. Ditambah, kenapa Ayah saya ingin menjodohkan Anda dengan saya? Saya punya jalan hidup sendiri!”
“Asalakan kamu tahu, saya juga tidak tahu kenapa Ayah kita ingin menjodohkan kita. Kalau disuruh memilih, saya juga tidak mau dijodohkan jika orang yang akan dijodohkan dengan saya nantinya membenci saya.”
“Bisakah Anda membicarakan ini dengan Ayah saya dan Ayah Anda?”
“Nanti malam, mari kita bicarakan.”
“Bagus.”
“Tapi… kenapa kamu tidak ingin dijodohkan dengan saya?”
“Karena kau bukan satu-satunya lelaki di dunia ini yang bisa kucintai.”
***
Dea membalik halaman buku ke halaman berikutnya, ia sedang menekuni buku tentang kejiwaan seorang anak dengan segala kelainan sejak bayi. Tapi ketekunannya terhenti saat Rio dengan berisiknya memanggil “Dea Dea!!”
“Loe nggak bisa santai aja, apa?”
“Sorry ya sorry, hehehehe.”
“Ada apa?”
“Hari ini… maksud gua, sore ini loe ada acara nggak?”
“Kayaknya ada.”
“Yah.”
“Emang mau ngapain? Gua bisa cancel semua kegiatan gua kalau loe mau.”
“Benarkah? Loe mau batalin kegiatan loe buat gua?”
“Apa sih yang nggak buat sahabat gua?”
Senyum yang tadi merekah hilang.
“Loe kenapa, Yo? Kok tiba-tiba murung?”
“Nggak apa-apa, masalah sore nanti… nggak jadi deh.”
“Lho? Kenapa?”
“Tenang aja, nggak ngaruh buat hidup loe kok.”
Sambil kembali tersenyum Rio memaksakan mengatakan keputusan itu. Menurutnya, ia tidak lebih baik dari orang itu.
***
_flashback_

“Kayaknya gua nggak bisa dateng ke acara itu deh, Git.”
“Kenapa emangnya, De? Loe ada acara sore ini?”
“Bukan gitu, tapi gua ngerasa nggak enak badan.”
Sore ini Dea memang tak enak badan, sepertinya ini karena ia tak makan sejak malam. Bubur ayam yang dibawakan oleh Mama Dea ternyata sudah tak bisa dimakan. “Bagaimana Mama bisa tak tahu?” gumamnya dalam hati.
“Muka loe pucat, De.”
Dea memegang pipinya, lebih hangat dari biasanya. Sepertinya ia benar-benar sakit.
“Gua anterin ke rumah yuk, De.”
“Nggak usah, Git. Bentar lagi juga Pak Aji datang.”
“Tapi gua mau nemenin loe, De.”
“Gua aja yang nemenin Dea.”
“Eh, Kak Alvin?”
Tangan Alvin menggenggam pergelangan tangan kiri Dea, Dea terkejut dan langsung menarik tangannya.
“Loe mau ngapain?!”
“Gua mau nebus kesalahan gua yang kemarin, De. Boleh, kan?”
“Dengan loe nganterin gua kemarin aja udah cukup kok.”
“Tetep aja, udah yuk gua temenin ke gerbang nunggu jemputan loe.”
Alvin kembali menggandeng Dea, kini tangannya tepat berada di telapak tangan Dea. Dan itu cukup membuat jantung Dea berdegup kencang.
“Aduh Pak Aji, cepetan dong…”
Dea cemas jika ia terus bersama Alvin, perasaannya akan semakin tak menentu.
“Mana? Kok nggak dateng?”
“Belum, bukannya nggak.”
“Loe udah nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok.”
“Tapi kenapa loe nggak mau ke acara itu?”
“Mungkin gara-gara gua nggak makan dari kemarin, jadi gua lemes.”
“Kan kemarin loe sakit, kenapa nggak makan?”
Alvin bertanya, tapi agak membentak dan itu membuat Dea kesal.
“Apa urusan loe?”
“Oh, bukan urusan gua. Sorry.”
“Jemputan gua udah dateng, thank’s ya udah mau nemenin gua.”
“Gua nebeng dong buat balesannya.”
“Hah?”
***
“Alvin, apakah kamu merasa lebih baik?”
“Belum, Mam. Kepalaku bertambah sakit setiap waktu, apalagi mataku, Mam.”
“Bertahanlah, Nak.”
“Mam, apa boleh aku … uhm, kembali ke Indonesia?”
“Tapi kamu sedang menjalani pengobatan, Nak.”
“Bisakah Mami merelakan Alvin? Jika memang ini jalan Tuhan, apa Mami akan ikhlas?”
“Kamu ngomong apa sih? Tentu kamu akan sembuh, Vin.”
“Jika setahun ini Alvin belum sembuh, bolehkah Alvin kembali ke Indonesia?”
“Untuk apa?”
“Untuk sebuah urusan yang ingin Alvin selesaikan.”
***
Sivia pergi dari rumah sore itu, ia tak bisa lebih lama di rumah itu, segalanya terasa berbeda karena Ayahnya membuang semua peralatan lukisnya.
“Dea, Ami, Angel… aku kangen kalian.”
Pandangan Sivia kosong, ia melamun.
‘Brakk’
Suara itu membuat ia sangat terkejut hingga terlompat sedikit.
“Si… siapa kamu?”
Orang yang baru saja loncat dari pohon itu hanya tersenyum, lalu ia duduk di samping Sivia.
“Kamu siapa?”
Orang itu mengambil buku yang ada di tasnya, lalu menulis…

Namaku Gabriel, namamu?

“Ka… kamu?”
Lelaki bernama Gabriel itu hanya mengangguk sambil terus tersenyum.
“Namaku Via, Sivia. Kamu udah lama di atas sana?”
Gabriel kembali menulis

Sudah, aku sering melihatmu di sini. Ketika kamu melukis di sini, aku sering melihat lukisanmu. Sangat indah, tapi kenapa kamu tidak melukis sore ini?

“Ayahku menyembunyikan peralatan melukisku, dia bilang aku tak boleh terobsesi keterlaluan pada lukisan.”
Gabriel mengeryitkan dahinya, heran

Bukankah seorang Ayah seharusnya mendukung bakat anaknya? Kecuali beliau punya alasan yang kuat untuk melarangmu.

“Ya, kupikir Ayah punya alasan yang kuat. Aku tak pernah melihatnya semarah itu.”
Gabriel hanya mengangguk sesekali, kemudian ia mengeluarkan secarik kertas. Berisi sebuah lagu.

Aku punya sebuah lagu, aku sangat suka lagu ini. Tapi aku tak bisa menyanyikannya, bisakah kau nyanyikan untukku?
“Bukankah ini lagu anak kecil? Kau suka lagu anak kecil?”
Gabriel mengangguk girang. Sivia tak punya pilihan lain selain bernyanyi.

Bintang di langit, kerlip engkau di sana.
Memberi cahayanya di setiap insan.
Malam yang dingin, kuharap engkau datang.
Memberi kerinduan di sela-sela mimpinya.

Gabriel bertepuk tangan dengan semangat, lalu menulis lagi…

Suaramu sangat indah! Benar-benar bagus! Seharusnya sejak awal aku mau berkenalan denganmu tanpa malu. Hehe. Bolehkah aku tahu kenapa kau sangat suka melukis?

“Aku melukis… karena dari situ aku dapat melihat sebuah dunia yang berbeda, dunia yang sangat ingin kumiliki. Dunia yang siapapun ingin menempatinya. Sebuah dunia yang abadi. Ada Ayah, Bunda, sahabat-sahabatku. Dan mereka semua tersenyum.”

Berharap pada lukisan? Bukankah itu aneh? Bahkan Allah juga melarangnya.

“Hanya berharap sejenak, karena aku tahu tak ada yang abadi di dunia ini.”

Jika Ayahmu melarangmu melukis, apa yang kau lakukan untuk menggantikannya?

“Aku belum tahu, kau punya pendapat?”

Bagaimana kalau kau bernyanyi saja? Datanglah ke sini setiap sore, aku akan membawa gitarku dan kita bernyanyi bersama!

“Ide yang bagus, tapi apakah kau akan menungguku setiap sore?”

Tentu, aku akan mengirim merpatiku untuk menjemputmu. Jika kau tak bisa datang tinggal balas saja suratku.

“Kau punya merpati?!”

Ya, dia adalah hewan yang sangat cantik. Namanya Angel, karena dia selalu menemaniku bagai bidadari.

“Nama yang indah, lalu mana merpati itu?”

Ia sedang sakit, tapi malam ini kuperkirakan ia sudah sembuh. Merpati itu walaupun cantik tapi ia tangguh. Oiya, panggil aku Iel saja.

“Baiklah, senang berkenalan denganmu.”
Sivia menjulurkan tangannya, sekarang ia bisa tersenyum setelah bertemu dengan Gabriel.
***
Sore ini sebenarnya Dea tak punya acara apapun, tapi ia sedang menghindari Rio. Ia tahu percakapan Yuki dan Rio tadi pagi, kalau tidak salah menyimpulkan. Rio sepertinya ingin menanyakan kebenaran pernyataan Yuki.
“Benar-benar deh anak itu.”
Rio… ia hanya menganggap Rio sebagai sahabatnya, tak lebih. Karena hanya seorang yang bisa ia cintai, Alvin. Tak pernah terpikir jika suatu saat nanti ia menyukai Rio, ia tak bisa. Hatinya memang tidak memaksa bahwa laki-laki itu hanyalah sahabat baginya. Tapi… Dea tak bisa menjelaskannya.
“Tadi pagi kamu ketemu Rio, nggak?”
“Gua kan 1 jurusan sama dia, Ki. Mana mungkin gua nggak ketemu dia.”
“Terus dia bilang apa?”
“Dia nggak bilang apa-apa.”
“Huh… kamu kok begitu sih sama aku, De? Kamu nggak terbuka sama aku layaknya sahabat. Padahal aku sayang banget sama kamu, De. Please percaya sama aku, sekali aja.”
Dea tertegun, ia ingat kata-kata itu. Persis dengan kata-kata yang ia lontarkan pada Angel di depan café four season.
“Gua sayang banget sama loe, Njel. Please percaya sama gua, sekali aja.”
Dea menatap Yuki, ia teringat 3 sahabatnya.
“Maafin gua, Ki. Tapi ini belum saatnya loe tahu masalah gua.”
“Tapi kapan, De?”
“Suatu saat nanti, oke?”
“Oke. Dan sekarang aku mau cerita, De.”
Tiba-tiba tingkah Yuki berubah menjadi seorang gadis yang sedang malu-malu. Dea langsung menangkap tingkah itu sebagai tingkah seorang gadis yang ditembak lawan jenisnya.
“Kevin?”
“Iya, dia nembak aku lagi.”
“Terus?”
“Aku terima.”
“Ohya?! Kalian udah jadian dong?!”
“I…iya,” ucap Yuki ragu.
Baru saja Dea mau senang, tapi ia langsung sadar bahwa Yuki masih ragu.
“Kok kelihatannya kamu masih ragu, Ki?”
“Bukan ragu, De. aku takut ngecewain Kevin.”
“Kok ngecewain Kevin?”
“Soalnya aku nggak tahu gimana itu pacaran, aku takut hubungan kita nggak awet.”
“Ya jangan berfikir kayak gitu, Ki. Ucapkanlah sesuatu yang bisa bikin hubungan kalian awet. Juga, kamu harus peka sama perasaan dia. Tapi nggak usah terlalu posesif, oke?”
“Kayaknya kamu udah berpengalaman, De.”
“Belum sebenarnya, tapi kalau liat temen-temen cowokku yang suka curhat, begitulah kuncinya kalau mau awet.”
“Makasih ya, De.”
‘Maafin gua ya, Ki. Gua belum bisa terbuka sama loe,’ sesal Dea dalam hati.
***
Angel dan kedua kawannya terkejut melihat Kiki dan teman-temannya berdiri di belakang mereka. Dengan tatapan mengejek, Kiki melihat puisi terbarunya.
“Gua bisa kok bikin puisi judulnya, Angel. Besok gua akan publis di mading.”
“Beneran, Ki?” Tanya Zeze dan Gaby bersamaan.
“Bener, tunggu aja besok pagi.”
“Nggak usah,” ucap Angel tiba-tiba.
“Lho? Nggak apa-apa to, Njel,” ucap Gaby.
“Kalau bukan karena Dea nggak ada di sini, apalagi alasan loe bisa ngerjain gua?”
“Gua nggak pernah takut sama sahabat loe itu.”
Angel tertawa meremehkan, lalu ia memandang Kiki seketus-ketusnya.
“Jadi loe bener nggak takut sama Dea? Atau liburan nanti gua undang Dea ke Bogor buat ngelawan loe?”
“Loe itu cuman cewek lemah yang bisanya berlindung sama temen-temen loe.”
“Daripada loe, pecundang yang takut sama cewek.”
Zeze dan Gaby langsung menarik Angel menjauh agar tak terjadi kejadian yang tak diinginkan.
***
Rio berjalan melewati koridor indekosnya sambil melamun, memikirkan kata-kata Yuki tadi pagi. “Gua lebih baik dari dia?” Sesekali ia menabrak kawan indekosnya. Setelah dimarahi ia kembali melamun. Sampai Kevin mengagetkannya.
“Rio!”
“Eh! Apa-apa?!”
“Loe bengong, ya?”
“Iya kayaknya.”
“Pantes aja, karena loe nggak sadar udah ngelewatin kamar loe.”
“Hah? Yaampun.”
Rio hendak kembali ke kamarnya sebelum Kevin menarik Rio untuk duduk di teras kamar Kevin.
“Jangan buru-buru, dong.”
“Mau ngapain loe? Gua ngantuk banget.”
“Ngantuk kok masih bisa bengong.”
“Yaudah, cepetan deh.”
“Sabar dikit kenapa sih,” keluh Kevin.
Rio hanya menggerutu sambil terus menguap.
“Gua udah jadian sama Yuki.”
Mata Rio langsung melebar, senyumnnya merekah.
“Akhirnya! Penantian loe selama 3 tahun kesampaian juga!”
“Tapi…”
“Tapi apa lagi sih, Vin? Jelas-jelas Yuki udah nerima cinta loe.”
“Bukan masalah terima nggak terima, Yo. Kalau itu sih gua yakin udah dari kemarin-kemarin Yuki nerima gua. Cuman masalahnya…”
“Please deh, Vin. Jangan kayak cewek gitu, bilang apa aja ke gua, yang penting jangan bikin gua penasaran.”
“Gua tahu dia masih takut nerima cinta gua.”
“Ah, sok tahu.”
“Rio!”
“Iya, Bos. Maaf-maaf, tapi darimana loe tahu?”
“Dari tatapannya ke gua, saat dia nerima cinta gua. Gua juga sebenernya takut, kalau misalnya nanti kita nggak bisa kayak sahabatan.”
“Loe harus yakin sama diri loe sendiri, Vin.”
“Apa gua bisa jagain Yuki…”
“Yuki pasti udah cerita ke Dea, dan Dea pasti udah kasih solusi kalau dia sama takutnya kayak loe. Loe kan anak jurusan psikologi, tentunya loe bisa kasih solusi buat diri loe sendiri, Vin.”
“Kalau tentang beginian gua nggak ahli, Yo. Loe ahli nggak?”
“Gua… uhm, nggak terlalu ahli, bukan berarti nggak ahli, Ya.”
“Terus gimana solusinya, Yo?”
Rio tampak berfikir keras, ia sebenarnya tak tega menasihati Kevin. Karena ia pun selalu berfikir ulang ketika ia berniat mengutarakan perasaannya lagi pada Dea. Ia juga berfikir, apakah ketika pacaran nanti keadaan mereka tak berubah seperti mereka masih bersahabat?
“Arghh! Jangan tanya gua dulu deh, Vin! Gua ngantuk!” Rio langsung lari ke kamarnya tanpa memerdulikan Kevin yang sepertinya ingin menahannya.
“Dasar kutu,” gerutu Kevin.
***
Lintar menatap gadis berkerudung di hadapannya dengan seksama. Gadis itu duduk di samping Ayah dan Ibunya. Begitu juga dirinya. Kedua orang tua mereka masih berbincang ria, Ami rupanya tak sabar melihat Lintar yang diam saja. Ia menunjukan tatapan–kau yang mulai. Lintar menghelakan nafas, lalu menelan ludah karena gugup.
“A…Ayah,” panggil Lintar dengan suara parau.
“Iya, Nak?”
“Li…Lintar ingin bicara tentang… perjodohan Lintar dengan Ami.”
“Oh tentu saja, ada apa, Nak?”
Lintar tak berani menatap wajah Ayahnya yang lembut, jadi ia mengalihkan pandangannya ke Ami. Sekali lagi ia menelan ludah.
“Ami mau bicara.”
Akhirnya Lintar mengalihkannya pada Ami. Ami yang ditunjuk pun terkejut, sambil salah tingkah ia mengambil cangkir tehnya, meneguk isinya lalu kembali menatap sekeliling.
“Se…sepertinya perjodohan ini bukan i…ide yang bagus.”
“Lho? Kenapa? Kalian tidak cocok?” Heran Ibu Ami.
“Bu…bukan begitu, Bu. Tapi aku sudah mempunyai orang lain yang kusukai.”
“Siapa? Kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Tanya Ayah Ami. Makin membuat Ami gugup.
“Orang yang dulu 1 SMA dengan Ami, iya kan, Mi?”
Ami menatap Lintar yang membelanya.
“Iya, sebenarnya Lintar sudah tahu kalau Ami sudah punya pacar, tapi Lintar dan Ami tidak berani bilang,” jelas Lintar.
“Siapa namanya, Ami?”
“Septian, ya. Lintar nggak sengaja membacanya di salah satu figura foto di kamar Ami.”
Mata Ami membesar, nafasnya sesak saat mendengar nama itu, matanya berkaca-kaca.
“Bukan, namanya bukan Septian. Tidak, sebenarnya aku tidak punya pacar sama sekali, dan sebenarnya ini hanya candaan kami. Iya kan, Lintar?”
Tatapan Ami memohon agar Lintar meng-iyakan ucapannya.
“Iya, ini hanya candaan kami.”
“Kalian ini tidak boleh bercanda seserius ini, hahahahaha.” Para orang tua tertawa, Lintar dan Ami pun berpura-pura tertawa.
“Ayah-ayah dan Ibu-ibu, Lintar ingin bicara dengan Ami di luar, boleh?”
“Boleh, Nak.”
Lintar berdiri dan langsung menarik Ami ke teras. Setelah beberapa menit berdiam diri, akhirnya Lintar membuka mulut.
“Apa yang kamu lakukan? Bukankah ini yang kamu inginkan? Membatalkan perjodohan kita.”
“Anda nggak pernah tahu, betapa sakitnya saya mendengar nama itu.”
“Siapa? Septian?”
“Dimana Anda menemukan nama itu?”
“Di figura yang berisi fotomu bersama seorang gadis bermata sipit.”
“Sivia…”
Ami berdiri lalu berlari ke kamarnya, mengambil figura itu lalu membawanya keluar. Di dekat Lintar ia mengambil fotonya bersama Sivia, kemudian memberikan bingkainya pada Lintar.
“Bisakah kamu membuangnya untukku?”
“Sekarang bisa berkata aku-kamu padaku?”
“Ini sebagai tanda terimakasihku karena kamu sudah membantuku tadi.”
“Jika kamu mau bercerita padaku, kapan saja aku siap menampungnya.”
“Terimakasih, jangan senang dulu. Yang pasti kamu tidak boleh mengajar di kelasku lagi.”
“Oke.”
Lintar menangkap sosok lain Ami, gadis yang suka marah-marah padanya itu bisa murung karena mendengar 1 nama. Tapi siapa Septian itu? Batin Lintar.

Star from Heaven - DELAPAN

Delapan

YUKI memandangi lampunya yang berbentuk bintang. Lampu yang dihadiahkan Kevin untuknya, beberapa tahun yang lalu. Sudah setengah jam ia memandangi lampu itu. Dea yang tak tahan melihatnya pun menepuk pundaknya.
“Yuki, loe mau sampai kapan mandangin lampu itu?”
“Emang udah berapa jam aku di sini, De?”
“Berapa jam? Jangan-jangan kalau gua nggak ingetin loe, loe bisa di sini lebih lama?”
“Iya, paling lama 2 jam.”
Mata Dea terbelalak, tapi ia langsung tenang. Dea duduk di samping Yuki dan ikut memandangi lampu bintang Yuki.
“Dari siapa, Ki?”
“Kevin…”
“Pantesan.”
“De, aku mau tanya. Tapi kamu jawab yang jujur, ya?”
Dea hanya mengangguk.
“Menurut kamu, Kevin bener-bener suka sama aku… eh, cinta sama aku nggak?”
“Wah, kalau ditanya kayak gitu sih gua nggak bisa langsung nyimpulin, Ki.”
“Menurut penglihatan kamu selama ini aja deh, De.”
“Sekarang gua aja deh yang tanya, yang loe rasain apa saat dia mandang mata loe?”
“Aku merasa, dia mau jagain aku.”
“Dan loe merasa dia sanggup?”
Wajah Yuki bersemu merah, tangannya bergetar ketika ia gugup.
“Aku maunya begitu, De, dan menurutku dia sanggup.”
“Jadi, jalanilah apa yang loe rasa, Ki.”
“Tapi nggak tahu kenapa, aku masih ragu.”
“Ragu kenapa?”
“Aku udah menganggap Kevin sebagai kakakku sendiri, mana mungkin aku bisa mencintai kakakku sendiri?”
“Turunkan sedikit rasa itu, anggap Kevin sebagai sahabat loe. Mungkin itu bisa membuat hati loe lebih terbuka menerimanya.”
“Apa begitu sebaiknya?”
“Gua mau tahu dong, apa aja pengorbanan dia buat loe?”
“Kevin belajar mati-matian demi masuk Universitas ini, dia bilang semua itu demi aku. Padahal semasa SMA, 20 besar pun dia tak pernah masuk.”
Dea terdiam, ingatannya berputar. Dulu ia juga begitu, belajar mati-matian demi masuk SMA Global. Semua itu juga demi Alvin. Dea langsung menggeleng, karena ia tak ingin memikirkan lelaki itu untuk waktu yang lama.
“Yakinlah apa yang ada di hati loe, dan loe akan menemukan jawaban itu dengan sendirinya.”
“De? Kamu nggak apa-apa?” Yuki panik melihat mata Dea berkaca-kaca. Dea langsung memeluk Yuki.
“Yakin, itu kuncinya, Ki.” Suara Dea bergetar, Yuki makin bingung. Tapi ia berusaha tenang agar Dea juga tenang.
“Cup cup cup, jangan menangis, De. Aku di sini akan terus bersamamu.”
“Apa sih salahnya suka sama orang, Ki? Apa sih yang salah saat kita menganggap orang itu segalanya dalam hidup kita?”
“Nggak ada yang salah, De. Mungkin hanya belum saatnya.”
“Gua boong sama orang itu, gua nggak pernah benci sama dia. Tapi gua benci karena gua ngerasa dia akan pergi ninggalin gua selamanya. Entah darimana perasaan itu datang, tapi gua yakin banget.”
“Coba cari orang itu, dan minta maaflah karena kau telah membohonginya. Bisa?”
“…”
***
_flashback_

“Satu, dua, satu, dua!”
“Lari 50 keliling lagi! Ini karena lari kalian melambat! 50 keliling lagi!”
Mendengar perintah itu, Dea menghentikan langkahnya. Mukanya geram, ia prihatin melihat wajah lelah adik-adik kelasnya. Dengan cepat ia memutar balik langkahnya menuju sang ketua klub.
“Loe gila atau sinting sih? Loe nggak bisa liat anak-anak baru itu? Mereka udah lari 25 keliling, dan sekarang loe tambah lagi? Gua nggak terima!”
“Loe atau anak-anak itu yang nggak terima? Sejak kelas 1 udah gua bilang, karate itu keras. Buat apa juga cewek ikutan.”
“Loe emang nggak pernah peka sama perasaan orang lain, ya!”
“Kalau loe mau keluar sekarang, keluar aja!”
Dea terdiam, tangannya mengepal hingga semua kekuatannya tertuju pada 1 titik. Ia ingin meninju anak lelaki di depannya ini, seandainya itu terjadi apakah anak itu akan menghargainya? Akhirnya ia urungkan niatnya dan kembali berlari. Alvin tersenyum tipis, tentu bukan senyum kemenangan.
Seperti yang diperkirakan Dea, beberapa anak tumbang di putaran ke 10. Bukannya lemah, tapi Alvin memang keterlaluan jika menyuruh anak SMP berlari 75 keliling, apalagi areanya adalah lapangan terbesar di SMP Global. Dari 20 peserta klub yang terdiri dari kelas 1 sampai kelas 3, kini tinggal 15 yang bertahan. Dea masih bertahan, ia ingin membuktikan pada anak lelaki itu bahwa dirinya tidak lemah. 30 putaran tinggal 12 orang, dan Dea masih bertahan.
“Vin, loe tega banget nyuruh kita lari 75 keliling. Sumpah parah banget,” ucap teman Alvin.
“Kita lihat, setangguh apa tu cewek.” Seraya menunjuk Dea yang wajahnya sudah pucat.
“Gua nggak habis pikir, katanya loe butuh anak cewek di klub kita, pas udah ada yang minat, loe malah perlakuin dia kayak gini.”
“Loe tahu kan, pas kelas 1, angkatan tu cewek banyak banget yang daftar, eh di tengah jalan malah berhenti. Gua heran kenapa tu cewek betah di klub ini, apa gara-gara dia suka sama gua, ya.”
“Dih, pede banget.”
“Biarin ajalah, menghibur diri.”
45 putaran, tersisa 9 orang. Nafas Dea semakin berat, ia melambatkan langkahnya, Dea mencoba untuk terus menstabilkan nafasnya yang mulai sesak. Dea memang penderita asma walau tidak parah.
“Tinggal 5 putaran, ayo Dea buktikan pada orang itu bahwa kau layak masuk klub ini,” ucapnya dalam hati untuk sekedar memotivasi niatnya.
“Vin, kayaknya tu cewek udah nggak kuat, udahan aja sih. Tinggal 5 putaran lagi ini.”
“Buktinya dia masih lari, kan?”
“Kalau anak orang kenapa-kenapa, gua nggak mau ikut campur!”
Alvin memerhatikan Dea, bukan sekedar memandang, tapi juga berfikir. “Dea pasti bisa. Gua tahu dia cewek yang kuat, itulah kenapa gua suka sama loe.”
***
Langit Singapura pagi ini agak mendung, Alvin memandang langit itu dengan senyuman. Alvin pun membenarkan letak kacamatanya, kacamata yang bulan lalu dibelikan orangtuanya karena mata Alvin perlu penyembuhan dengan kacamata itu.
“Gua jadi inget Dea, anak itu kan suka banget sama hujan dan bintang. Gua jadi bingung sendiri, bukannya kalau langit lagi mendung nggak akan ada bintang? Aneh…”
Alvin mengambil gitarnya, lagu ‘since I found you’ menghiasi ruangan itu, ruangan serba putih yang sudah ia tinggali beberapa bulan ini. Bau obat menyeruak setiap Alvin baru membuka mata, walau sudah diberi pengharum ruangan baunya tetap tak berubah, malah Alvin mual jika bau pengharum ruangan dengan obat bercampur.

since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you

Lagu ini menjadi kesukaannya bersama kawan-kawannya di Universitas, juga dengan Dea.
“Aish, kenapa gua mikirin cewek itu terus sih! Belum tentu Dea mikirin gua juga!”
Alvin kembali bernyanyi, tapi berhenti lagi karena tak bisa menghilangkan wajah Dea dari pikirannya.
“Apa dia bener-bener nggak mikirin gua, ya?”
Kepala Alvin mulai pusing, matanya terasa berdenyut. Ia berjalan gontai menuju kasurnya, lalu ia ambil sebuah obat yang bisa meredakan peningnya.
“Sampai kapan gua harus menderita kayak gini, kalau begini terus… apa gua masih bisa ketemu Dea?”
***
_flashback_

Dea terus berlari, “1 putaran lagi, Dea. Jika kau mengacaukan ini, Alvin akan terus mengejekmu!” tersisa 1 pemenang, ia Dea. Gadis itu terus berlari, padahal nafasnya sudah benar-benar sesak. Tekad mengalahkan semuanya, setelah mengalahkan penyakitnya, ia bertekad akan meninju Alvin.
“Cewek itu bersungguh-sungguh mau ngalahin loe.”
“Ya.” Alvin tersenyum, ia senang gadis itu sudah menjadi gadis yang kuat. Berbeda saat Dea pertama kali masuk klub karate, Alvin sangat kesal pada Dea yang sedikit-sedikit menangis, atau mengeluh lelah.
Putaran terakhir, dan Dea berhenti di titik dimana ia memulainya. Kakinya serasa akan lepas, kepalanya sangat pening, dan nafasnya masih sesak.
“Gua menang? Karena gua…” belum selesai Dea menyelesaikan kata-katanya, ia ambruk. Wajahnya yang pucat membuat Alvin sangat cemas, ia langsung menggendong Dea ke Poliklinik sekolah.
***
Tak seperti biasa, Dea ingin memandangi langit malam Jakarta. Ia duduk di teras indekosnya, membawa gitar dan beberapa kertas berisi lagu kesukaannya. Suasana yang sangat sunyi, dalam khayalan tentunya. Kalau sepi bukan Jakarta namanya. Dea coba memejamkan mata untuk merasakan udara di sekitar menyentuh lembut kulitnya. Ia coba menyamakan sentuhan udara itu dengan udara di Bogor. Sama, walau berbeda.
Setelah merasakan udara itu di kulitnya, kini ia menghirup udara itu sedalam-dalamnya, hingga ia tak bisa menghirupnya. Lalu ia hembuskan perlahan. “Dingin…,” desisnya. Tiba-tiba Dea tertawa kecil, mengingat Rio yang memberikan roti basi untuknya. Ia tak menyangka Rio bisa mengerjainya dengan roti basi, untung saja Kevin memboikot tangan Rio saat Rio memberikan roti itu pada Dea. Sambil berteriak “Basi-basi!!”.
“Dasar anak itu,” ucap Dea sambil menahan tawanya yang mulai pecah.
Teringat tentang Rio, ia mengambil sebuah benda dari saku bajunya. Sebuah pin winni the pooh yang Rio berikan bersamaan setelah Rio memberikan roti basi itu.
“Kadang aku berfikir… Rio lebih baik dari Kak Alvin. Setidaknya ia tak pernah menyuruhku melakukan hal yang tidak kusukai.”
Dentingan senar gitar mulai mengalun, mulut Dea membuka hendak melantunkan beberapa nada yang berarti.

since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you

“Lagu ini? Ah! Kenapa gua harus mikirin lelaki itu lagi! Belum tentu dia mikirin gua juga!”
Ia kembali bernyanyi, masih dengan lagu yang sama.
“Aish, apa dia nggak mikirin gua, ya? Arggh! Gua bisa gila!”
“Gila kenapa, De?”
“Eh, Yuki. Nggak apa-apa kok.”
“Wajahmu bersemu merah, kamu sakit?”
“Ohya? Muka gua beneran merah?”
“Tapi bohong. Hihi, abisnya kamu bilang lelaki-lelaki terus.”
Dea mengibaskan tangan kanannya–tak usah dipikirkan. Tapi Yuki tak semudah itu menyerah.
“Oiya, tadi siang kok pas aku dateng, kalian bertiga heboh banget?”
“Oh, itu… Rio mau ngerjain gua pakai roti basi, tapi dicegah Kevin. Eh, ternyata habis itu dia ngasih gua pin ini.” Seraya menunjukan pin beruang madu pada Yuki.
“Jadi lelaki itu Rio? Tadi sih aku denger ada nama Rio, tapi juga… siapa? Kak siapa?”
“Please jangan mulai lagi, Yuki.”
“Oke, tapi jawab ya pertanyaanku sejujur-jujurnya? Janji?”
“Nggak janji.”
“Dea.”
Dea diam saja sambil memetik senar gitarnya asal. Yuki hanya tersenyum jahil.
“Orang yang tadi pagi kita bicarakan itu siapa?”
“Yang mana?”
“Yang kamu suka.”
“Oh, itu. Bukan siapa-siapa.”
“Mata kamu bicara lho, De, serem. Dia bilang kalau kamu benar-benar merindukannya.”
“Loe sok tahu banget sih!”
Nada bicara Dea meninggi, karena ia tak suka membicarakan Alvin sejak pertandingan itu. Yuki tahu, bahkan sangat tahu Dea sedang marah.
“Ma… maaf, Dea.”
“Sorry, gua emosi.”
“Ba…baik, sekarang aku nggak akan mengungkit kejadian tadi pagi lagi.”
“Thank’s.”
Ternyata rasa ingin tahu Yuki harus kalah karena bentakan Dea. Ia tak menyangka gadis itu akan sangat marah. Tapi entah kenapa, Yuki masih menemukan hal tersirat dari perkataan Dea tadi.
“Ia benar-benar rindu pada lelaki itu,” gumam Yuki.
***
_flashback_

Dea tersadar dari pingsannya, sinar matahari yang hendak terbenam menembus jendela kamarnya dan membuat matanya sipit. Ia mencoba untuk turun dari tempat tidurnya, ia menggeleng sekali untuk menyadarkan pikirannya.
“Kok gua di sini?”
Kini yang ia ingat hanya, ia berlari 75 keliling di lapangan terbesar SMP Global, dan ketika ia berhenti di depan… “Oh, anak itu! Mana dia? Gua tinju juga tu orang!”
“Mau ninju siapa, De?” suara lembut Mamanya terdengar saat pintu kamarnya terbuka.
“Suara Dea gede banget ya, Ma? Sampai Mama bisa denger dari luar?”
“Iya.”
Mama Dea meletakan segelas air putih dan bubur ayam di meja belajar Dea.
“Oiya, Ma. Kenapa Dea bisa di sini ya? Seinget Dea, tadi Dea masih di sekolah?”
“Teman-teman kamu yang mengantar, pakaiannya kayak anak karate.”
“Mungkin itu anak klub karate, Ma. Lalu mereka bilang apa?”
“Nggak banyak, mereka bilang kamu terserang asma, dan setelah ditangani di UKS kamu langsung dibawa kesini.”
“Nggak banyak, Ma?”
“Iya, tapi ada 1 anak yang wajahnya paling pucat saat nganter kamu.”
“Pucet? Emangnya dia juga sakit?”
“Mungkin cemas, namanya siapa itu ya, pokoknya yang kulitnya paling putih dan matanya paling sipit.”
“Alvin?”
“Iya itu dia!”
“Dih.”
“Kenapa, De? Itu pacar kamu, ya?”
“Nggak mungkin…”
“Lho? Kenapa nggak mungkin? Buktinya kamu digendong sama dia ke kamar, dan dia ngasih nomor teleponnya ke Mama, dia bilang kalau ada apa-apa sama kamu langsung kabarin dia aja. Mungkin dia maklum karena di sini hanya ada perempuan. Paling cowok di rumah ini ya supir kamu itu, De. Tapi tadi pas kamu diantar ke rumah bukan Mama yang nerima, tapi Mbok.”
“Lalu kenapa Mama tahu kalau Alvin yang gendong Dea?”
“Mama langsung pulang saat Mbok menghubungi Mama, dan masih sempat ketemu Alvin. Masalah gendong itu sih diceritain Mbok. Saat Mama tiba, hanya Alvin lho yang setia nunggu Mama.”
“Jangan tertipu sama muka manisnya, Ma. Dia itu serigala berbulu domba.”
“Hahahaha, kamu masih aja inget dongeng itu. Oiya, ini nomor temanmu itu, Mama taruh di sini ya. Mama harus ke kantor lagi.”
“Lho? Kan Dea baru sebentar ketemu Mama.”
“Ada meeting sebentar lagi, Sayang.”
Setelah mengecup Dea, Mama Dea pun meninggalkan Dea sendiri lagi. Padahal Dea sangat senang saat melihat Mamanya menyiapkan makanan untuknya.
“Apa sih yang bikin Mama bisa nemenin gua?”
***
Keesokan paginya di tempat biasa Dea dan teman-temannya berkumpul, Yuki menyuruh Rio untuk datang lebih awal. Yuki ingin bertanya tentang lelaki yang dimaksud Dea.
“Yang bener loe, Ki? Dea bilang gua lebih baik dari cowok yang namanya siapa?”
“Aku juga nggak inget, Yo. Mungkin kamu tahu siapa cowok yang deket sama Dea selain kamu.”
“Dea sih deket sama semua cowok pas di SMA. Heum, masa’ Kiki? Nggak mungkin.”
Rio berpikir, mencoba mengingat lelaki yang dekat lebih dari teman biasa dengan Dea.
“Oh, cowok karate itu. Tapi gua juga nggak tahu namanya, seinget gua dia itu kakak kelas Dea pas SMP.”
“Hubungan Dea sama cowok itu gimana, Yo?”
Rio langsung teringat hari itu, sehari sebelum Dea tak masuk untuk latihan festival. Lelaki itu mengajak Dea pulang bersama, dan Rio tahu pasti ada yang tidak beres dengan hal itu. Pasalnya, aneh juga jika Dea tak masuk untuk menghindar dari lelaki itu? Kalaupun karena lelaki itu menyatakan cintanya pada Dea, Dea tak mungkin sampai menghindarinya.
“Yo?”
“Apa benar, Dea bilang gua lebih baik dari cowok itu?”
“Iya, Rio.”
“Oke, sampai jumpa!”
“Lho? Kok sampai jumpa?”
Rio tak menjawab kebingungan Yuki, ia terus berlari melewati anak-anak fakultasnya menuju kelas pertama.
***
_flashback_

Dea terus memandangi kertas putih berisikan nomor ponsel Alvin.
“Apa bener, ini nomor dia?”
Tak berapa lama dering sms ponsel Dea berbunyi, dengan cepat Dea lihat pengirimnya.
“Gita?”

Lu udah baikan, De?

Lalu Dea membalas

Udah, Ta.

Gita membalas lagi

Alhamdullilah ^^ gua pikir lu luka parah gara-gara tu cowok.

Dahi Dea mengeryit, tapi Dea terus membalas

Ah, gua dilawan. Dia pikir gampang ngeluarin gua dari klub? Ngomong-ngomong, lu liat gua digendong Alvin?

Dea menunggu Gita membalas sms-nya dengan was-was, was-was?

Iya, gua liat kok. Tu cowok langsung gendong lu ke UKS, terus dia tanya ke gua tentang alamat rumah lu, ya gua jawab. Dia bener nganter lu ke rumah? Soalnya gua pulang agak cepet tadi. Maaf ya, De, nggak bisa nganter lu pulang.

Jantung Dea berdegup kencang, ia tak bisa membayangkan kalau Alvin menggendongnya sampai ke UKS, bahkan mengantarkannya ke rumah. Mungkin Alvin bersama teman-temannya, tapi menggendong?

Gua mau tidur dulu ya, Git. Kepala gua pusing banget, bye.

Gita membalas lagi, cukup singkat.

Oke, cepet sembuh ya ^^

Dea hanya bisa tersenyum tanpa membalas sms itu. Kepalanya sekarang memang sedang pusing. Ia tak menyangka lelaki dingin itu bisa berbuat baik juga. Apa karena ia sudah memenangkan 75 putaran itu? Mungkin.

Star from Heaven - TUJUH

Tujuh

“Aku adalah gadis berumur 17 tahun yang sedang mencari sebuah bintang, sebuah bintang yang bersinar karena kasih sayang, sebuah bintang yang menyinari karena keinginan, keinginan seseorang untuk terus memberi kasih sayang. Sebuah bintang yang mungkin hanya ada di Surga. Sebuah bintang yang mungkin suatu saat nanti akan turun, turun menuju hatiku yang kosong, hatiku yang kini menginginkannya.”
Seperti itulah kata-kata yang Dea katakan saat ospek beberapa bulan lalu. Dan itu membuatnya langsung populer, siapa sangka gadis perawakan tomboy seperti Dea bisa mengatakan hal seromantis itu. Hanya Rio yang bisa percaya akan tindakan Dea, karena 3 tahun bersamanya sudah cukup untuk mengenal baik gadis itu. Ya, Rio dan Dea memang mengenyam pendidikan di Universitas yang sama, bahkan di jurusan yang sama. Ini bukan karena kebetulan, tapi memang Rio dan Dea punya bakat yang sama, dalam jurusan Psikologi yang menarik.
“Cie, yang dapet predikat cewek ter’cowok’ dan teromantis,” ledek Rio saat Dea sedang mengobrol dengan Kevin dan Yuki. Kevin adalah kawan 1 jurusan, sedang Yuki adalah teman 1 kos-an.
“Hah? Loe tahu darimana, Yo?” Dea terlihat antusias, dan itu membuat Rio girang sendiri.
“Itu, di mading utama. Tanpa kita sadari ternyata panitia ospek bikin awards tentang anak-anak ospek tahun ini.”
“Wah, kalau loe dapet predikat apa, Yo?”
“Gua jadi cowok terdiam, kurang lebih sama kayak pas kita SMA. Hahaha, sebelum loe berdua (sambil menunjuk Kevin dan Yuki) nanya, gua kasih tahu aja, ya. Yuki dapet predikat cewek terfavorit, keren banget dah! Sedangkan Kevin jadi cowok terjorok.”
“Aku jadi cewek terfavorit? Atas dasar apa?”
“Entahlah, mungkin karena loe anak yang paling nurut. Hahaha, kan kalau Dea bisa-nya ngelawan kakak kelas.”
“Lha gua? Kenapa jadi terjorok, kayaknya gua baik-baik aja deh belum buka aib gua pas ospek kemarin?” Kevin menunjukan ekspresi konyolnya lagi–baca : sok polos.
“Mana gua tahu, yang pasti pilihan para panitia ospek selalu bener, buktinya mereka tahu kalau loe emang jorok! Padahal loe belum nunjukin! Hahahaha!”
Gelak tawa menghiasi meja itu, meja yang berada di dekat taman fakultas. Tempat itu memang tempat paling cocok untuk mengobrol atau sekedar meregangkan otot otak yang penat akibat pelajaran. Suasananya damai dan udaranya sejuk. Sangat pas bukan? Apalagi di dekat meja putih panjang itu terdapat berbagai macam jenis bunga, membuat tempat itu menjadi nyaman dipandang.
“Oiya, ini jam berapa sih?”
“Jam 10, Ki.”
“Ya Allah! Aku lupa! Aku ada kelas jam 10! Aku cabut duluan, Ya! Bye semua!”
Dalam hitungan detik Yuki menghilang dari hadapan kawan-kawannya.
“Gile, cepet bener larinya,” gumam Rio.
“Nggak nyangka, padahal Yuki nggak setinggi loe, De. Tapi larinya ngalahin loe.”
“Kevin, loe nggak bisa nilai orang dengan melihat penampilannya aja.”
“Oke, Nyonya.”
“Ngomong-ngomong, kita nggak ada kelas jam segini?”
“Asem! Kita kan ada kelas jam segini juga!”
Ketiganya pun berlari ke kelas yang dituju, sama seperti yang Yuki lakukan.
***
“Seperti yang saya takutkan, Nyonya. Kekuatan mata Alvin melemah, kalau begini terus 2-3 tahun lagi Alvin bisa buta permanen.”
“Apakah tidak ada cara lagi untuk menyembuhkannya, Dok?”
“Kankernya bisa diminimalisir, tapi tak bisa disembuhkan. Maka dari itu Alvin bisa buta, Nyonya.”
“Saya berharap Dokter bisa melakukan apapun demi kesembuhan Alvin, saya akan bayar berapapun.”
“Kami hanya bisa membantu pada tahap itu, Nyonya. Maafkan kami.”
“Jadi, anak saya akan buta?”
Dengan ragu, dokter itu mengangguk. Kenyataan memang menyakitkan, tapi sebuah rahasia kecil pasti sudah Tuhan siapkan untuk Alvin. Sebuah rahasia kecil yang menyenangkan dan juga Alvin harapkan, mungkin.
***
Seni sudah menjadi jiwanya, darah seni terus mengalir demi siklus kehidupannya. Setiap goresan kuasnya adalah berharga, goresan itu menggambarkan seluruh ekspresi hatinya. Saat ia senang, maupun sedih. Ia benar-benar menikmatinya, seluruh hidupnya seperti ia abdikan untuk melukis. Hampir tak ada yang dapat menghiburnya kecuali melukis, hampir… karena ia menemukan sesuatu yang juga menghiburnya, sekaligus membuatnya sedih. Ini cerita tentang ketiga sahabatnya. Yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi Sivia.
Hampir semua lukisan yang ia buat menggambarkan persahabatannya dengan ketiga orang itu. Ia sangat mahfum ketika Ayahnya bertanya, apakah ia rindu pada teman-temannya atau hanya sekedar menuangkan inspirasi belaka. Walaupun Sivia tak pernah menganggap yang ia lakukan hanya angin lalu.
Lukisan itu benar-benar ia buat dengan sepenuh hati, tak ada yang dilebihkan atau dikurangkan. Semua mengalir alami, bahkan jika bosan ia menyempatkan diri untuk menggambar ketiga kawannya. Ilusi… ya, itu sedikit memberi ilusi menyenangkan bagi Sivia. Sivia sudah cukup senang dengan memandangi lukisan itu, walaupun ia masih sangat rindu pada ketiganya.
Saat ia melamun, sebuah suara engsel pintu tua berbunyi nyaring, tanda pintu dibuka. Ayah Sivia tersenyum lembut sambil menatap anak tunggalnya. Sivia sebenarnya senang berada di Bandung, karena Ayahnya punya lebih banyak waktu luang untuknya.
“Nak, apakah kau tidak ada kelas hari ini?”
“Maaf, Yah. Jam berapa sekarang?” maklum, karena rumah itu masih baru jadi balkon tempat Sivia biasa melukis belum terdapat jam dinding.
“Jam 10, Nak.”
“Tak apa, Yah. Kelasku dimulai jam 10.30, lagipula tempat ini dekat dengan fakultasku.”
Jurusan yang Sivia ambil adalah sastra Indonesia, pilihan yang tepat untuk seniman multitalenta seperti Via. Sivia sebenarnya tak berminat untuk menjarah bagian seni karang-mengarang fiksi, tapi setidaknya dengan memahami kalimat-kalimat tentang keindahan seni, yang mungkin akan lebih mudah jika ia mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar, Sivia bisa lebih memaknainya dan menghasilkan lukisan yang lebih indah lagi. Membaca memang kunci segalanya.
“Jangan kau berlama-lama di depan kanvasmu, Nak. Walaupun Ayah tak melarang sepenuhnya, tapi hargailah waktumu menjadi seorang Mahasiswi yang baik.”
“Via nggak suka dilarang, Ayah.”
“Ayah tidak melarang, tapi pikirkanlah baik-baik.”
Ayah Sivia pergi, setelah mencoba untuk tidak bertengkar dengan anak tunggalnya itu, ia akan pergi. Karena lebih baik ia pergi daripada membuat anaknya sakit hati.
“Ada apa dengan lelaki itu?” lelaki itu? Sivia tak biasa memanggil Ayahnya dengan sebutan Ayah jika ia sedang berdiri. Bagaimanapun di balik sifat manjanya itu, tersimpan rasa sakit yang dalam. Rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan Bundanya. Dan Sivia takkan bisa memaafkan lelaki itu.
***
Seusai kelas pendidikan alam berakhir, Dea, Rio, dan Kevin pergi ke kantin untuk makan siang. Di sana Yuki rupanya sudah menunggu, di tempat biasa. Yuki belum memesan apapun, ia setia menunggu Kevin, Dea, dan Rio. Ia tak berani memesan sendirian. Memang benar, Yuki itu anak yang penurut, juga pendiam. Menjadi peserta ospek terfavorit tentu saja membuatnya terkejut, setelah kelasnya selesai ia langsung melesat ke mading utama. Matanya terbelalak saat melihat namanya benar-benar tercantum sebagai peserta ospek terfavorit seperti kata Rio. Ia senang bukan main, bahkan ketika ketiga kawannya mendatangi Yuki, ia masih senyum-senyum sendiri.
“Loe kenapa, Ki?” Kevin bertanya.
“Nggak apa-apa, ayo makan.”
“Ada yang aneh ni,” selidik Dea.
“Jangan-jangan loe lagi dipede-kate-in, Ya? Sama siapa, Ki?”
“Idih, apaan sih kamu, Yo.”
“Cowok yang pertama kali pedekate sama Yuki hanya gua! Nggak boleh ada yang lain!” memang hal yang biasa melihat cowok tinggi putih seperti Kevin bilang hal itu pada Yuki dan teman-temannya. Dia memang menyukai Yuki sejak SMA, walaupun SMA mereka berbeda, tapi Kevin yang memang nakal ini berhasil mencuri kesempatan bertemu dengan gadis pendiam di depannya. Kesempatan? Kenal darimana? Dari sebuah kafe yang mempekerjakan Yuki. Yuki memang bukan orang kaya, yang harus mendapatkan uang dengan kerja paruh waktu. Dari sanalah Kevin melihat kegigihan seorang gadis di bawah umur, yang berjuang demi keluarganya.
“Kayaknya loe cuman pedekate aja, Vin. Mana hasilnya?”
“Belum saatnya, gua udah bilang suka kok sama Yuki, cuman Yuki-nya belum jawab.” Sambil melirik Yuki. Yuki yang awalnya senang, langsung berubah sikapnya menjadi gugup. Kata “I Love U” itu terus terngiang di telinganya, kata yang muncul 1 tahun yang lalu. Saat keduanya sedang jalan-jalan di Dunia Fantasi, tepatnya di halilintar. Begitu mudah. Begitu ringan. Begitu indah.
“Dan sekarang, loe mau jawab apa, Ki? Mumpung kita di sini.” Paksa Rio.
“Aku belum memikirkan ini lebih dalam,” jawab Yuki singkat.
“Nah, begitulah dia. Tapi gua akan tetap nunggu kok, nunggu bintang itu mau menyinari hati gua. Bintang dari Surga.”
Dea terpaku mendengar kata itu, bintang dari Surga. Kepalanya mendadak pening berat, ia kembali teringat pada sosok itu. Sosok yang membuatnya sangat senang, juga sangat marah.
“Kamu kenapa, De? Kok raut muka kamu mendadak pucat?”
“Oh, nggak apa-apa. Uhm, gua mau ke perpus dulu, ya.”
“Tumben ke perpus, De?”
“Ada yang harus gua cari, bentar ya. Sampai ketemu di kelas.”
***
Dea tidak bersungguh-sungguh saat ia mengatakan, “Gua mau ke perpus dulu.” Karena sebenarnya ia pergi ke kamar mandi. Mungkin ia akan lama di kamar mandi, dan lebih logis meninggalkan teman-temannya lama karena pergi ke perpus daripada kamar mandi.
“Sekarang gua bener-bener bingung, walaupun gua pernah bilang benci sama dia. Tapi gua yang ngerasain ini, gua masih sayang sama dia.”
***
_flashback_

“Ini sudah waktunya, loe bilang apa salah gua, Mi.”
Ami masih terdiam, ini memang sudah waktunya. 1 hari setelah pengumuman Universitas. Ia dan ketiga sahabatnya tak bisa bersama lagi, karena mereka masuk ke Universitas yang berbeda, di kota yang berbeda pula.
“Mungkin ini kesempatan kita yang terakhir untuk bertemu, sebelum akhirnya kita tak bisa bertemu lagi karena perasaan itu.”
“Ami, gua nggak mau ini jadi yang terakhir.”
“Gua bingung, Vi. Gua bener-bener takut saat gua harus menatap mata loe, karena mata loe itu memancarkan kesalahan gua. Kesalahan yang nggak bisa gua bayar dengan apapun.”
“Kalau loe bilang kesalahan loe nggak bisa dibayar, tolong bayar dengan kejujuran.”
Ami berusaha menatap mata Sivia, sahabatnya. Hatinya kembali sakit, benar-benar sakit.
“Kesalahan gua… gua nggak bisa percaya lagi sama loe.”
“Ke… kenapa?”
“Untuk sebuah perasaan bodoh, untuk seseorang yang kita suka, untuk semua ketertutupan loe sama gua. Gua susah buat percaya lagi sama loe.”
“Masalah Tian? Loe udah tahu semuanya?”
“Ya, gua cuman jadi pelarian cowok itu, dan juga gua udah jadi dinding pemisah loe sama dia.”
“Gua akan lupain semua perasaan gua sama dia, tapi tolong tetep percaya sama gua, Mi.”
“Apa gua bisa percaya lagi sama loe Vi… cuman waktu yang bisa menjawab.”
“Maafin gu…”
“Jangan minta maaf, please. Permintamaafan loe itu cuman bikin gua tambah sakit, Vi. Di sini.” Seraya menunjuk letak di mana semua perasaannya berkumpul.
“Jadi? Sekarang… gimana?”
“5 tahun, mungkin itu waktu yang cukup bagi kita merenungkan semuanya sebelum reuni angkatan. Semoga saja kita bisa melupakan semua… oh, kecuali kasih sayang kita.”
Sivia langsung memeluk Ami, berharap hari ini bukan waktu terakhir ia bertemu dengan Ami.
***
Ami terjatuh dari pangkuan tangannya, saat ia tersadar ia baru bangun dari mimpi, seseorang menepuk pundaknya agar ia lebih tenang.
“Kamu nggak apa-apa, Mi?”
“Nggak apa-apa, ko… eh, Kak.”
“Syukurlah, dengan begitu kamu masih bisa fokus kan sama pelajaran saya?”
“I…iya, Kak.”
Ini kali ke-empat ia tertidur di kelas orang ini. Bukan karena pengajarannya yang buruk, tapi pelajarannya yang ia tak suka. Membosankan, Kimia Lingkungan. Ami kembali mencoba berkonsentrasi mendengarkan penjelasan orang itu, seorang asisten dosen yang umurnya hanya berbeda 2 tahun dengannya. 2 menit… 3… 4… 5…
“Hoahmm…” Ami menguap kecil, ia benar-benar tak suka pelajaran ini. Sesuatu berbau alam selalu mampu membuatnya kesal. Apalagi jika ingat presentasi makalah ilmiah dulu, saat festival SMA Global.
“Rahmi Amalia,” panggil Lintar kembali membangunkan Ami yang mulai terkantuk lagi.
“Maaf bos! Kayaknya saya harus ke kamar mandi!” Dengan cepat Ami berlari menuju kamar mandi. Lintar hanya menggeleng maklum. Ia gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu tidak suka pelajaran ini.
Setibanya di kamar mandi, ia langsung membasuh mukanya. Ia benar-benar mengantuk, lebih baik dia pergi saja dari kelas itu.
“Gila, kenapa pikiran gua masih kacau aja sih setiap pelajaran itu!” Ia hanya bisa menggerutu, tak memperbaiki masalahnya.
Ia menatap wajahnya di cermin, bayangan Tian tiba-tiba muncul lagi, cermin menjadi hal yang paling ia benci sekarang. Entah benar atau salah, perasaan suka itu menjadi benci. Benci karna membuatnya berpisah dengan sahabatnya, benar-benar bodoh.
“Loe harus pergi dari pikiran gua!” Bentaknya.
Ami keluar dari kamar mandi, dan seseorang menunggunya di depan pintu.
“Kamu nggak apa-apa? Bener?”
“Lintar, saya nggak apa-apa. Dan jika Anda terus bertanya, itulah yang jadi apa-apa.”
“Nanti malam ada acara?”
“Acara khusus sih nggak ada, tapi kayaknya saya mau ngerjain tugas Kiling dari Anda deh.”
“Bisa nggak sih, kamu bicara sama saya lebih enak lagi kedengarannya?”
“Lebih enak gua-loe.”
“Saya juga nggak mau pakai bahasa saya-kamu, tapi Ayah kita memaksa.”
“Ayah kita… cih.”
“Bisa nggak kamu hormati saya sebagai orang yang lebih tua dari kamu?”
“Arogan loe mulai keluar, Ko.”
“Dan jangan keluarkan kata-kata loe-gua di depan saya.”
“Pemaksaan ini rupanya menjadi kebiasaan Anda, ya?”
“Saya hanya ingin dihargai.”
“Kalau Anda ingin dihargai, tolong bilang pada Ayahku dan Ayah Anda, agar tidak mencampuri masalah pribadi saya!”
Nada bicara Ami mulai meninggi. Lintar mundur selangkah, antisipasi jikala Ami benar marah dan melemparinya dengan isi tasnya, mungkin agak berlebihan. Tapi itu pasti terjadi, seperti 2 minggu yang lalu. Walau takut, Lintar masih menanggap gadis itu menarik.
“Ini di luar kuasa saya, Ami.”
“Betapa muaknya saya melihat Anda mengajar kelas saya, ini juga pasti karena orangtua kita kan? Kenapa sih orang dewasa selalu bertindak semena-mena!”
“Suatu saat nanti juga kau akan dewasa, menjadi orangtua.”
“Aha? Kau mulai berkata seakan kau yang paling benar.”
“Dan bukankah ucapan saya benar?”
“Melihat Anda benar-benar menyiksa saya, mengingatkan saya pada sosok yang tak boleh saya ingat lagi. Cukup untuk kelas minggu ini yang setiap harinya selalu melihat Anda! Saya tidak akan masuk jika Anda yang mengajar!”
“Kamu mengancam? Bukankah itu buruk bagi pendidikanmu juga?”
“Saya bisa belajar sendiri, pelajaran yang memuakan itu.”
“Baiklah, saya akan bilang Ayah untuk berhenti menjadi asistennya. Kamu puas?”
“Terimakasih.”
***
Angel menata rambutnya yang menjadi kecokelatan akibat sinar matahari kemarin siang. Ia menghabiskan waktunya di lapangan untuk melihat lelaki itu bermain basket. Menurutnya lelaki itu memang multitalenta, selain beladiri ia juga bisa basket dan yang paling penting juga paling Angel suka adalah, lelaki itu bisa bernyanyi. Ia masih ingat saat lelaki itu mengoloknya habis-habisan di depan teman-teman sekelas. Dan bagaimana Dea membelanya. Bentakan Dea sebenarnya membuat Angel takut, tapi tak berlangsung lama karena mereka sudah resmi menjadi sahabat. Yang 5 tahun lagi akan bertemu, entah di puncak atau di reuni angkatan.
“Ada yang beda sama rambut loe, Njel,” ucap Zeze kawan 1 fakultas Angel. Angel hanya tertawa kecil menanggapinya.
“Ini karena kemarin siang selama 4 jam aku berada di sisi lapangan yang terik.”
“Ohya? Maksud loe, loe ngeliatin Kiki?”
“Bukan cuman dia, Ze. Tapi seluruh anggota klub basket.”
“Oh, dikira gua, lu beneran naksir sama dia.”
“Nggak lah, nggak mungkin. Apalagi kalau gua inget saat dia ngejek gua dulu. Hih, ogah banget.”
“Sungguh, kata dan hati loe bener-bener berlawanan.”
“Hahahaha.”
“Hei, kalian udahan belum sih? Ngaca aja lama banget,” ucap Gaby, juga kawan baru Angel.
“Sory, Gab, kita kan cewek. Hahahaha.” Angel ikut tertawa mendengar candaan Zeze.
“Gua juga cewek, tapi nggak seganjen kalian!” kesal Gaby.
“Yaudah, ayolah ke kantin. Gua laper banget,” ucap Angel sambil memegangi perutnya.
Keluar dari kamar mandi, ketiga gadis itu melihat tim basket utama sedang melewati lorong fakultas. Tak peduli atau peduli?
“Ya… lumayan sih, tapi buat apa punya cowok kalau ujungnya kita disakitin,” ketus Gaby.
“Jadi loe nggak mau punya cowok seumur hidup loe, Gab?”
“Ya nggak gitu juga, Ze. Cuman sekarang kan gua masih muda, jadi gua pengen single aja. Kalau umur gua udah 23-an, baru gua pikirin.”
“Dasar cewek jadi-jadian,” celetuk Zeze.
“Apa loe bilang? Kalau gua cewek jadi-jadian, loe apa dong? Cewek ganjen?”
“Sekali lagi loe bilang gua cewek ganjen, nggak segan-segan gua lemparin sepatu gua ke muka loe,” ancam Zeze.
“Kalian berdua apaan sih? Udahlah, yuk ke kantin.”
Walaupun Angel berusaha tak peduli, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok itu.
***
Bagi Dea, bela diri adalah masa lalu. Sejak ia masuk Universitas, ia tak pernah mengungkit 2 kata itu lagi. Sudah cukup bidang itu membuatnya kecewa, bahkan Dea nyaris membenci bela diri. Terlalu berlebihan, tapi itulah kenyataan. Perhatiannya ia alihkan pada seni musik, setidaknya ia takkan ingat Alvin jika ia bernyanyi. Oh, salah. Ia bukan takkan mengingatnya, tapi belum mengingatnya.
Bagi Sivia, pergi ke bulan adalah masa lalu. Karena orang yang pertama kali menceritakan tentang indahnya bulan adalah Septian. Lelaki yang membuatnya benci setengah mati, Sivia tak mau menggambar atau mengingat bulan lagi. Cukup sekali seumur hidup ia merasakan benci seperti itu.
Bagi Ami, alam sungguh menyakitkan baginya. Meneliti lingkungan membuatnya kembali teringat air mata itu, perasaan itu, dan ia benci semuanya. Apalagi sekarang ada lelaki yang hendak dijodohkan dengannya, ahli lingkungan pula! Ami semakin muak pada alam sekarang. Walaupun ia tahu sebenarnya alam adalah segala jerih payahnya, segala kehidupannya. Ya, ia tak bisa begitu saja terlepas dari alam.

Star from Heaven - ENAM

Enam

“Kalau itu yang loe mau, gua nggak bisa menghalanginya…”
“Gua hanya ingin mendapat bintang yang murni, benar-benar bintang yang turun dari Surga. Hanya itu.”
“Ya, gua ngerti.”
***
Dea berlari mengelilingi lapangan basket dekat rumahnya, jika Dea berolahraga sore artinya ia ingin melepas semua penat di pikirannya. Semua sudah ia lewati, mungkin tidak semua, masih ada acara perpisahannya ke puncak bersama Sivia, Angel, dan Ami. Tapi rencana iu masih di ambang batas, Dea tak habis pikir dengan Ami dan Sivia. Dua anak itu padahal sudah bersahabat cukup lama bahkan sebelum Dea belum mengenal mereka. Tapi sekarang kenapa mereka berdua seperti membenci hati satu sama lain? Bertatap wajah pun tak mau. Dea sudah mencari penyebabnya mati-matian, tapi tak dapat ia temukan. Dea terus mendesak keduanya ikut berlibur ke puncak minggu depan. Jadwal yang sudah mereka rencanakan seharusnya besok, tapi sampai sekarang mereka belum bisa di satukan. Angel juga sedang mencari penyebabnya, tapi sama saja.
“Heuh…”
Desisan itu menunjukan bahwa Dea benar-benar bingung. Dea terus berlari, sudah 10 putaran ia mengelilingi lapangan itu. Di bangku lapangan Dea telah menyiapkan tali, untuk lompat tali jika lari tidak menunjukan efeknya yang paling menyakitkan–kaki pegal sepanjang malam yang akan mengalihkan pikiran Dea sementara.
Ponsel Dea yang ia tempatkan di kantung belakang celananya bergetar, Dea berhenti sejenak.
“Halo?” sapa Dea lalu melanjutkan olahraganya.
“Loe lagi olahraga sore?”
“Iya, kenapa, Njel?”
“Ketemuan yuk, De? Loe lagi di lapangan basket dekat kompleks, Kan?”
“Iya, ke sini aja, Loe.”
“Oke, 5 menit lagi gua nyampe. Tungguin, Ya.”
“Sip.”
Dea memasukan ponselnya kembali ke tempatnya, dan terus berlari sambil terus memikirkan kemenangan Kiki tempo lalu.
***
_flashback_

“Ini final, Ki. Loe harus menang apapun yang terjadi.”
“Pasti, De. Gua yakin kali ini gua bisa ngalahin Alvin.”
“Ya, gua yakin itu.”
“Lagipula loe juga udah kasih gua taktik biar bisa ngalahin dia.”
“Pakailah taktik itu.”
Kiki melangkah ke podium pertandingan, Gedong Olahraga Jakarta itu dipenuhi penonton, karena pertandingan ini adalah pertandingan final. Alvin rupanya telah siap di sisinya, ia memandang Kiki dengan tenang. Setelah memandang Kiki, tatapannya mengarah pada Dea. Gadis yang membuatnya ingin terus hidup, walau sekarang ia harus merelakan Dea jika ada lelaki lain yang ingin memilikinya. Ia benar-benar tak bisa menemani Dea dengan raganya, mungkin hatinya yang bisa menemani Dea beserta kenangannya.
Saat peluit dinyalakan, Kiki langsung menyerang Alvin dengan segala jurusnya. Dan yang aneh Alvin tidak melawan Kiki, ia terus diam dan pasrah akan serangan Kiki. Hanya sesekali ia melawan, tapi perlawanan yang tak berarti karena Kiki dapat menangkisnya. Hingga bunyi peluit berakhirnya round terakhir, yang mengeluarkan Kiki sebagai pemenang dibunyikan. Poin mereka sangat jauh perbedaannya. Banyak orang bertanya, ada apa dengan Alvin sang juara Nasional tahun lalu? Bisa kalah dengan anak yang baru lulus SMA? Memang hanya Dea dan Alvin yang tahu apa yang terjadi.
***
Dea masih berlari ketika Angel datang, Angel hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya stress. Padahal Dea bisa masuk ke Universitas Indonesia fakultas Psikologi. September mendatang ia dengan keberaniannya akan memulai ospek–sebutan Masa Orientasi Siswa untuk Mahasiswa.
“Dea!”
Dea berhenti, lalu tersenyum sejenak melihat Angel sudah duduk di bangku yang biasa diduduki pemain basket, dan di situ pula semua barang Dea bertempat.
“Tanggung, Njel!”
“Sudah berapa keliling?”
“15!”
“Ya Tuhan…”
Dea menepati janjinya, ketika ia berada tepat di titik ia memulai berlari ia pun berhenti. Lalu ia duduk dan langsung menegak minuman isotonik dingin yang ia bawa.
“Cape, De?”
“Lebih cape ngurusin 2 sahabat loe itu.”
“Bukan sahabat loe?”
“Mereka itu lebih dari sahabat buat gua, termasuk loe. Kalian saudara gua, saudara seperjuangan. Hahaha.”
“Loe paling bisa ya bikin kata-kata kayak gitu.”
“Kata-kata kayak gimana?”
“Kata-kata yang bisa buat gua nggak bisa benci sama loe.”
“Hahaha…”
Angel menepuk kepala Dea sekali, itu tandanya Angel sedang gemas pada Dea.
“Jadi, kenapa loe mau ketemu gua?”
“Cuman mau ketemu aja…”
“Sialan lu! Gua kan lagi enak-enak lari!”
“Hahahaha, ya nggak lah, De. Ada yang harus gua sampein ke loe.”
“Apa tu? Jangan bilang loe suka sama gua?”
“Yah, itu sih nggak usah ditanya, De. Gua udah suka sama loe sejak gua jadi sahabat loe, tapi bukan itu.”
“Jadi apa dong?”
“Ini…”
Angel menyerahkan sebuah album berwarna biru pada Dea. Sebuah album foto berukuran buku tulis ukuran sedang, Dea melihat nama di sampul album itu. Alisnya terangkat sebelah sambil mengulang membaca nama itu.
“Loe dapet darimana?”
“Pas gua ke rumah Ami, nggak sengaja gua nemu itu. Mungkin ada hubungannya kenapa Ami dan Via jadi nggak ngomong satu sama lain.”
“Loe udah liat isinya?”
“Belum, gua nggak berani. Setahu gua kan Ami suka sama Tian, jadi gua ambil aja tu buku. Kalau nggak ada apa-apanya gua balikin deh. Tapi sebelumnya gua mau loe periksa dulu album itu.”
“Mana mungkin mereka bisa bertengkar gara-gara ini? Sivia kan nggak suka Septian.”
“Firasat seorang sahabat nggak mungkin salah, De. Seenggaknya kita kan udah coba.”
“Oke.”
Dea membuka album itu, dan kedua gadis itu sangat terkejut.
“Sivia?”
***
_flashback_

“Kalau loe udah nggak bisa ngomong sama gua, gua terima, Mi. tapi tolong jangan di depan Angel dan Dea.”
“Kan udah gua bilang, gua akan bilang semuanya setelah pengumuman Universitas.”
“Oke, tapi tolong tetap senyum sama gua kalau ada mereka, Mi!”
“Susah, Vi. Nggak tahu kenapa.”
“Jadi persahabatan kita cuman sebatas nggak tahu kenapa?”
“Mungkin… oke gua duluan, Ya.”
“Gua benci sama loe! Gua nggak tahu apa salah gua ke loe! Tapi sikap loe itu bilang kalau gua punya dosa yang besar sama loe!”
“Bukan loe yang salah, tapi gua.”
“Maksud loe?”
***
Alvin duduk di kursi bandara, didampingi Mami dan Papinya ia menunggu pesawat keberangkatan menuju Singapura. Ia bersama keluarga akan pindah ke sana sementara waktu hingga penyakit Alvin bisa disembuhkan. Kanker mata yang diderita Alvin sejak kecil sudah berkembang pesat dan ia tak ingin pergi terlalu cepat. Ia masih ingin melihat pertandingan karate dengan baik, baik dalam artian ia bisa melihat gerakan karate dengan jelas. Dan yang terpenting ia ingin bertemu Dea, dan menyatakan semua perasaannya pada Dea.
“Kamu sedang memikirkan apa, Alvin?”
“Tidak ada apa-apa, Mam.”
“Apa kamu tak senang pergi ke Singapura?”
“Aku sangat senang, apalagi jika itu demi kesembuhanku. Kira-kira kapan kita bisa kembali, Mam?”
“Secepat mungkin setelah kesembuhanmu.”
“Apa aku bisa disembuhkan, Mam?”
“Selama kau terus mendengarkan nasihat dokter, kau akan sembuh.”
“Ya, semoga saja.”
***
Angel dan Dea masih terdiam, dan membaca dengan seksama kalimat pembuka album itu.
“Ini… apa karena ini mereka bersikap aneh?”
“Gua nggak tahu pasti, Njel. Tapi gua juga punya pikiran yang sama kayak loe.”
“Kita harus ketemu Tian besok, atau malam ini?”
“Malam ini.”
***
Seperti yang Dea katakan, ia dan Angel pergi ke rumah Septian malam itu juga. Tapi sayang ternyata Septian sedang tidak ada di rumah.
“Kapan ya kira-kira kita bisa bertemu Tian, Bi?”
“Wah saya kurang tahu, De’. Biasanya kalau Den Tian pergi sama Tuan dan Nyonya pasti lama, mungkin 2 minggu.”
“2 Minggu?”
Pembantu itu hanya mengangguk. Dea dan Angel berlalu dari rumah Tian dengan perasaan kecewa.
***
“Mereka pasti ingin menanyakan tentang Ami dan Via, gua males banget berurusan dengan mereka berempat…”
***
Septian terduduk di kasurnya, ia menatap sebuah benda berbentuk setengah bola yang terpajang di atas mejanya. Septian ingat betul hiasan itu dari siapa, karena itu ia sangat sedih saat mengingatnya.
“Kenapa sih, gua jadi orang pecundang banget? Gila, gua nggak nyangka semua jadi kacau gini.”
***
Menetap di hatimu memang bukan pilihanku, tapi kau pun tak bisa memilih apapun yang ada di hatiku. Mungkin ini adalah hal yang paling adil bagi kita, apapun yang terjadi… aku menyayangimu dengan sepenuh hatiku.
***
_flashback_

“Gua minta sama lu… tolong berikan semua jurusku pada Kiki, biarkan dia menang pada turnamen ini.”
Jantung Dea berhenti sejenak, ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. Dea tak pernah menyangka Alvin akan meminta hal sebodoh itu.
“Maksud lu? Gua harus bikin lu kalah dengan sengaja?”
“Iya, gua mau pertandingan kali ini menjadi pertandingan yang nggak terlupakan buat Kiki.”
“Tapi kenapa… kenapa loe jadi pengecut begini, Kak?”
“Sekarang gua belum bisa ceritain ke loe, gua mohon, De. bantu gua.”
“Kalau itu yang loe mau, gua nggak bisa menghalanginya…”
“Gua hanya ingin mendapat bintang yang murni, benar-benar bintang yang turun dari Surga. Hanya itu.”
“Ya, gua ngerti.”
***
SATU minggu kemudian…
“Loe udah siap, Njel?”
“Loe yakin nggak mau ajak Via sama Ami, De?”
“Nggak usah lah, mereka juga kan yang nggak mau.”
‘Aku tak mengerti, kenapa sekarang semua kawanku berubah menjadi orang yang cuek. Aku nyaris tak mengenal mereka. Apa karena kami sudah berpisah? Tapi kata Dea, ini bukan perpisahan yang sebenarnya.’
“Njel? Kok loe bengong?”
“De, gua boleh nanya sesuatu?”
“Boleh, tanya aja sesuka loe.”
“Sekarang perasaan loe gimana?”
“Gimana apanya?”
“Maksud gua, perasaan loe sekarang saat pergi ke puncak cuman sama gua.”
Dea terdiam. Ia juga tak yakin apa yang ia rasakan, perasaannya bercampur aduk. Tapi tak satupun perasaan yang bercampur itu adalah senang atau tenang. Semua pikirannya tercurah pada sebuah keraguan mendalam akan kepercayaan. Ia sudah tak percaya diri lagi menjadi orang yang berguna bagi kawan-kawannya. Sekarang saja ia sudah berlaku tak adil dengan hanya mengajak Angel untuk melihat bintang di puncak. Dan pasti perasaannya akan jauh berbeda dengan 3 tahun yang lalu, saat ia, Via, dan Ami melihat bintang. Bintang-bintang yang terus bercerita tentang kenangan mereka.
“Bisa nggak kita tunda keberangkatan ini sampai 5 tahun lagi?”
“Benar… sama seperti acara reuni angkatan kita, baiklah. Kutunda keberangkatan ini, sementara itu kita tenangkan dulu pikiran kita dan berkumpul lagi tepat 30 Desember 5 tahun lagi.”
“Sebaiknya beritahukan juga pada Ami dan Via.”
“Pasti, mau gua antar ke rumah?”
“Nggak usah, De. kita akan bertemu 5 tahun lagi, dari sekarang.”
“Gua bakal kangen banget sama loe, Njel.”
Angel sontak memeluk Dea, sangat erat.
“Gua juga, De.”
***
Sebenarnya makna 5 tahun itu bukan semata-mata bualan bagi Global. Pilihan 5 tahun ini karena itulah waktu rata-rata seorang manusia akan sangat merindukan seseorang lainnya. Mungkin ini hanya berlaku bagi Global, tapi ini hal yang sungguh berarti.
Dea membasuh wajahnya dengan air hangat, lalu ia menghelakan nafas cukup panjang, berharap di helaan itu sedikit perasaan gelisahnya bisa hilang. Kini ia akan memulai hidupnya sendirian, tanpa ketiga sahabatnya. Mungkin berat, tapi ia harus menjalaninya.
Tangannya mengepal dan ia meninju udara seraya berteriak “Semangat!”
***
Sivia merapikan semua barang pribadinya, semua berjumlah 2 koper. Satu untuk baju dan aksesoris, dan satu lagi untuk peralatan melukisnya. Hari ini ia akan pindah ke Bandung. Sangat jauh dari kediamannya sekarang, tapi kenapa Bandung? Karena Bandung mempunyai banyak penghargaan akan seni. Sekaligus juga karena Ayahnya mempunyai proyek besar di Bandung. Sivia akan menuntaskan kuliahnya di sana sambil belajar lebih dalam tentang seni lukis. Sivia pun meneliti lagi barang-barangnya.
“Tak ada yang kurang…” pandangannya melesat ke sebuah bingkai berisi fotonya bersama Ami, Dea, dan Angel. Ia ambil foto itu lalu dipandangnya.
“Ya, 5 tahun lagi. Tepat 30 Desember 5 tahun lagi, dan mungkin semua perasaan kesalku pada Ami hilang. Walau sebenarnya ini bukan rasa kesal, tapi ini hanya rasa ingin diperhatikan. Apakah Ami berpikiran sama denganku? Aku harap begitu.”
***
Menyediakan sebuah tempat di hati tentu tak begitu sulit bagi pemilik nama lengkap Rahmi Amalia itu. Tapi rasa geram dan cemburu pada salah satu sahabatnya itu kini menutup semua ruang hatinya, walau hanya untuk sedikit kata maaf saja sangat sulit.
“Kenapa akhir-akhir ini aku jadi lebih bodoh dari biasanya ya?” ia hanya bertanya pada diri sendiri, ya hanya pada dirinya. Karena ia sudah tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Angel atau Dea? Sepertinya sulit, jika mengingat apa yang ia lakukan pada keduanya saat mereka mengajaknya ke puncak, sepertinya memang tidak mungkin. Pada Sivia apalagi, karena ia terlalu banyak membisu di dekat Sivia, kini ia malah terbiasa. Daripada hatinya sakit lagi, lebih baik ia diam.
“Apakah waktu 5 tahun akan membuat aku dan mereka… uhm, maksudku sahabat-sahabatku bisa bersatu lagi?” ia bertanya lagi, kini sambil menatap cermin.
Dengan menatap dirinya, ia jadi teringat ucapan Ibunya untuk cepat kembali ke Yogyakarta. Dan akhirnya ia menyetujui permintaan Ibunya itu. Mungkin kuliah di sana bisa meringankan pikirannya, tempat kelahiran memang paling baik untuk saat-saat seperti ini. Ia sebenarnya bingung kenapa sejak lulus SD ia harus ikut Ayahnya ke Bogor. Tapi inilah takdir, jika tak ada kesempatan ini, mungkin ia tak bisa punya sahabat sehebat Sivia, Dea, dan Angel. Terutama Sivia, gadis yang membuatnya terus merasa bersalah, cemburu, dan marah. Ya, bukan marah sepertinya. Tapi lebih tepatnya kesal karena tak bisa menjelaskan isi hatinya pada Ami.
“30 Desember tepat 5 tahun lagi, kami akan berkumpul lagi di Puncak. Ya, 5 tahun lagi.”
***
Sementara ketiga sahabatnya berkelana di kota lain, Angel tetap berdiam di Bogor. Ia memutuskan untuk kuliah di sini saja. Inipun salah satu alasan karena ia baru tinggal 1 tahun di Bogor, ia ingin tak terlalu banyak pindah rumah, apalagi sekolah lagi. Lagipula ia ingin menunggu kawan-kawannya kembali menjadi seorang yang baru tapi sama. Baru karena mereka telah beranjak dewasa, tapi sama karena mereka tetap sahabat Angel yang terbaik.
“Aku akan merindukan kalian. Aku tak tahu apakah aku sanggup 5 tahun tanpa bersama kalian atau bahkan sebaliknya, aku akan meronta-ronta meminta kalian untuk kembali dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun? Aku tak tahu, tapi aku akan mencoba untuk menjadi gadis yang kuat. Seperti yang kalian inginkan.”

Star from Heaven - LIMA

Lima

ANGEL berlari sangat kencang menuju aula, rambutnya yang panjang agak terangkat karena gerak angin. Ia terus berlari dan berhenti di depan pintu aula. Ia pun masuk diam-diam agar Bu Ninda tidak melihatnya telat. Tapi sebuah tarikan agak keras di telinganya membuat ia harus putus asa, dengan pasrah ia tersenyum pada Bu Ninda.
“Darimana saja kamu?”
“Dari rumah, Bu.”
“Kenapa kamu bisa telat, hah?”
“Saya bangun kesiangan, Bu.”
Sebenarnya ini bukan hobi Angel, tapi pagi ini ia benar-benar harus telat. Ayahnya mengajak Angel ke pemakaman Bundanya sebentar, dan Angel terlalu senang berada di dekat kuburan Bundanya, jadi Angel menghabiskan waktu yang banyak untuk bercerita pada Bundanya sampai ia lupa masih ada latihan Padus sebelum besok libur.
“Paduan suara kelas 3 itu bukan kerja sendiri Angel, kamu harus memikirkan teman-temanmu!”
“Maafkan saya, Bu.”
“Yasudah, karena ini latihan terakhir dan kamu memang pertama kali telat, saya maafkan, duduklah.”
“Terimakasih, Bu.”
Angel duduk di samping Rio, di klub Padus Angel memang dekat dengan Rio, dan juga Dea sudah menitipkan Angel pada Rio, jadilah Rio mengemban tugas sebagai babysitter, ups babybro Angel?
“Loe kenapa telat?”
“Gua ke pemakaman Bunda gua dulu, Yo.”
“Oh, gua kira loe sama Dea.”
“Mikirin Dea aja loe, oiya, emang Dea kemana? Kayaknya nggak keliatan di klub karate,” ucap Angel seraya mencari Dea di kerumunan klub karate. Rio hanya mengangkat bahunya lalu menatap kerumunan itu. Pikirannya mulai menerawang, ke masa saat ia menyatakan perasaannya 2 tahun yang lalu, dan itu menjadi masa tersulit bagi Rio yang merasa sedikit malu pada Dea yang sedang berusaha mengejar mimpinya menjadi ketua klub karate SMA Global, sedangkan dirinya? Seorang yang pendiam sepertinya mana mungkin mendapat posisi terkenal itu.
***
_flashback_

Desember 2008…
Malam itu seharusnya menjadi malam yang indah bagi Dea, tapi dinginnya prilaku Rio hari ini membuat malam Dea menjadi malam yang sangat buruk. Di hari ulang tahunnya, Dea ingin Rio memberikan kejutan spesial untuknya, apalagi sudah 3 bulan mereka menjadi sahabat. Rio juga yang selalu mendukung Dea untuk menjadi ketua klub karate wanita. Rio memang anak yang tertutup, tapi jika didekat Dea ia bisa menceritakan semuanya. Dea pun mengajarkan segalanya pada Rio tentang keberanian, dan Rio sudah setengah terbangun dari ketertutupannya. Dan dari kedekatan tersebut tidak normal jika salah satu dari mereka tidak merasakan cinta. Mungkin Dea tidak, tapi Rio kini benar-benar menyukai Dea. Kejutan spesial sebenarnya akan Rio berikan pada Dea malam ini.
“Yo, ngomong dong sama gua, masa’ daritadi loe nggak mau ngomong sama gua.”
Rio masih terdiam.
“Ngapain juga loe ajak gua kesini? Kalau loe emang nggak mau ngomong, sebaiknya gua pergi.”
Sebelum Dea benar-benar akan pergi, Rio memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru tua dengan pita putih pada Dea. Dea terkejut dan memperhatikan kotak itu lekat-lekat.
“I…ini hadiah ulang tahun gua?”
Rio masih diam dan memajukan lengannya lebih panjang. Dea meraih kotak itu ragu, tapi ia merasa lega dan senang, lega karena ternyata ini hanya rencana Rio untuk mengejai dirinya, senang karena Rio memberikan kejutan yang sangat indah untuknya, lebih indah dari yang dibayangkan walau ia belum tahu isi kotak itu.
“Bukalah.”
Perlahan Dea melepas pita pengikat kotak itu, lalu mengangkat tutupnya, ia sangat gelisah saat membukanya. Tutup kotak terbuka, dan Dea langsung melempar kotak itu. Pekikannya melengking memekakan telinga, untung saja saat ini taman kota sepi. Dea langsung menutup muka, sedangkan Rio daritadi cekikikan melihat Dea yang ketakutan. Ular, hewan kecil itu ia selipkan di dalam hadiah Dea. Kejutan yang menegangkan.
“Hahaha! Ternyata loe benar-benar takut pada ular, gua kira loe cuman bercanda, hahahaha!”
Dea masih menutup muka, agak lama membuat Rio mulai khawatir.
“De? Loe kenapa?”
Suara tangisan terdengar pelan, memang ada beberapa hal yang mampu membuat Dea menangis, dan ular salah satunya. Ular telah membunuh kawannya saat TK. Alhasil segala jenis benda yang menggeliat seperti ular ia tak suka. Karena itu mampu membuka ingatan Dea pada teman TKnya.
“Loe nggak apa-apa, De?”
“Jauhin ular itu dari gua, atau gua nggak akan mau temenan lagi sama loe!”
“Ularnya udah pergi kok, De. Nggak usah khawatir lagi.”
Dea perlahan melepas kedua tangannya dari wajah, wajah Dea memerah karena tangis, Rio terkejut dan langsung merangkul Dea. Saat itu juga Dea menepis rangkulan Rio dan menatapnya tajam, tatapan yang tak biasanya.
“Loe marah, De?”
“Sangat,” geram Dea.
“Gua cuman mau ultah loe bareng gua berkesan aja kok, De.”
“Apaan yang berkesan! Gua paling benci sama yang namanya ular! Loe juga kan tahu!”
Melihat Dea yang marah-marah seperti itu membuat Rio tak kuasa menhan tawanya, alhasil tawa Rio mengalir renyah, Dea bingung sekaligus kesal melihat prilaku Rio.
“Loe itu, gua serius nih!”
“Serius loe itu sama sekali nggak nakutin gua,” ucap Rio sambil terus tertawa.
“Jadi loe ngajak gua kesini cuman buat ngerjain gua?”
“Lihat deh ke atas…”
Dengan sedikit kesal, Dea mendongak dan sontak matanya membesar melihat beribu bintang bertaburan di langit. Benar-benar pemandangan langka bagi Dea, pasalnya selama ia tinggal di Bogor, bintang-bintang selalu enggan muncul menghiburnya. Dea sangat terpesona dengan keindahan lukisan langit malam itu, sampai-sampai ia lupa kalau ia masih marah pada Rio. Dea mengangkat kedua tangannya, lalu telapaknya dihadapkan ke langit, kemudian diputarlah 45 derajat serupa mengusap embun di kaca.
“Indah sekali!!”
“Inilah hadiah gua yang sebenarnya, Dea…,” bisik Rio.
Dea menghentikan kegiatannya, pandangannya langsung mengarah pada Rio. Anak itu kini memegang bunga lili putih kesukaan Dea. Mata Dea makin berbinar melihat bunga tersebut Rio sodorkan padanya.
“Thank’s banget, Yo! Loe emang paling TOP deh!” seraya menyergap lili putih pemberian Rio.
“Ada 1 lagi, De.”
“Apa tu?”
Dengan sepenuh hati, Rio mengungkapkan perasaannya pada Dea, bagaimana ia merasa tenang saat mereka bersama, bagaimana ia bisa terbuka walau hanya pada Dea, bagaimana ia… bisa menyukai sosok tangguh di depannya. Dea tak bisa menjawab apapun saat Rio menyelesaikan ungkapannya dengan sebuah pertanyaan.
“Mau nggak loe jadi pacar gua?”
Dea merasa sangat gugup, tapi ia mencoba tenang. Kepalanya kembali mendongak menatap serbuan bintang.
“Ini jawabannya.”
Dea menggerakan tangannya seakan ia sedang menuliskan di langit tentang perasaannya pada Rio. Perlahan, agar Rio dapat membaca kumpulan tulisan udara itu. Seraya membaca, Rio juga mengucapkan tulisan itu.
“Best Friend Forever…”
Dea kembali menatap Rio, Rio hanya tersenyum karena ia sangat lega sudah mengungkapkan semuanya. Jika Dea hanya ingin berteman dengannya, tak apa… lagipula Rio masih bisa dekat dengan Dea walau tidak pacaran.
“No problem… gua seneng bisa deket sama loe.”
Malam itu memang menjadi malam paling indah bagi Dea dan Rio. Dan sejak malam itu, Rio mencoba untuk berani berorganisasi demi Dea, agar Dea dapat melihat betapa hebatnya Rio yang baru.
***
Disinilah pertandingan akbar persahabatan SMA Global diadakan, tapi lapangan Global hanya dipakai untuk pertandingan yang berbau olahraga, sedangkan pendidikan ada di kelas, dan kesenian di aula. Jadwal lomba sangat padat, hanya 2 hari dan setelah itu persiapan wisuda untuk kelas 3 akan diurus oleh adik kelas 1 dan 2. Wisuda akan berlangsung 1 hari setelah lomba persahabatan, padat sekali bukan? Tapi semua sudah diurus jauh hari agar tidak terlalu repot. Lalu ujian masuk Universitas dimulai 1 hari setelah Wisuda. Rencana liburan Dea dan kawan-kawan tepat setelah pengumuman Universitas, menurut mereka perpisahan yang sebenarnya tak pernah ada.
Kiki dan Dea berdiri di hadapan kawan-kawan karate penuh wibawa, mereka sangat sedih karena harus meninggalkan rekan karate terlalu cepat, apalagi hari ini Kiki harus ikut lomba karate Nasional dan diantar Dea. Jadi tak ada pengawas untuk klub karate, bukan tidak ada, tapi semua anak karate kelas 3 harus menjadi panitia lomba jadi tak ada waktu mengawas. Dea dan Kiki saja harus meminta izin kesana kemari demi lomba Nasional itu.
“Hari ini memang pertandingan antar kelas 1, 2, dan 3. Tapi karena semua perwakilan kelas 3 harus menjadi panitia, maka kami tidak bisa berpartisipasi, pertandingan antar kelas 1 dan 2 akan menjadi pertandingan yang luar biasa karena 2 kubu yang berbeda tapi 1 ini adalah andalan SMA Global. Maka dari itu kalian harus memperlihatkan kemampuan kalian semaksimal mungkin untuk mendapatkan piala itu,” seraya menunjuk sebuah piala klub Karate individu dan kelompok di meja utama penilaian. Klub karate akan menurunkan 10 orang (masing-masing 5 orang dari kelas 1 dan 2) untuk pertandingan individu, bisa saja antar kelas 2 atau 1 akan bertemu di final, dan 2 team yang terdiri dari 5 pemain dari masing-masing kelas 1 dan 2. Wajah berbinar terpancar dari masing-masing anak karate, inilah wajah yang pernah Dea dan Kiki miliki tahun lalu dan 2 tahun lalu. Saat mereka berdua mewakili angkatan, sungguh bangga rasanya ketika medali karate disematkan di leher mereka, sungguh indah piala yang mereka terima untuk perwakilan kelompok angkatan mereka. Sayang kelas 3 tidak bisa mengikuti lomba karate ini, semua anggota karate kelas 3 memang benar-benar sibuk menjadi panitia, begitupun beberapa anak kelas 3 yang tersebar di semua klub. Rio pun sebenarnya sibuk menjadi panitia, tapi ia berusaha untuk ikut lomba kelompok demi angkatan. Kalau saja Kiki tidak ikut lomba Nasional hari ini, ia dan Dea pasti ikut pertandingan.
“Saya sangat berharap pertandingan ini akan berjalan lancar, maksimal, dan jujur,” ucap Kiki.
“Baiklah, kami harus pamit. Besok saya akan mengumumkan pemenang dari pertandingan yang kami lihat lewat video dan penilaian dari panitia. Kami mohon maaf sebesar-besarnya karena tak bisa mengawas kalian dengan baik, apalagi saya pribadi yang meninggalkan kalian H-3. Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, Kak!” seru semua anggota karate yang akan bertanding maupun tidak.
“Good luck!” Kiki dan Dea pun pamit menuju GOR Jakarta menembus impian Kiki untuk mendapatkan piala nasional.
***
Kiki, Dea dan pelatih karate Kiki harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam menuju tempat ini. Pelatih Kiki menyuruh Kiki untuk pemanasan sebelum 1 jam lagi bertanding. Di gedung itu kini penuh dengan orang-orang berpakaian karate, Dea sampai bingung membedakan orang yang ia kenal dan tak dikenalnya. Tapi ada 1 sosok yang sangat ia kenal, Alvin. Alvin juga menatap Dea hingga kedua pandangan itu bertemu. Dea langsung memalingkan wajah dan pura-pura sibuk menyiapkan perlengkapan Kiki. Walaupun Dea mencoba untuk menghindar dari Alvin, tetap saja ia akan bertemu Alvin.
“Hai, Ki, De. Good luck ya untuk pertandingan hari ini sampai seminggu ke depan, bagaimana keadaan teman-teman Global?”
“Oh, hai, Kak. Makasih ya buat semangatnya, loe juga harus lucky kalau mau lawan gua!” ucap Kiki percaya diri.
“Ohya? Lihat saja nanti, hahaha.”
“Teman-teman karate baik-baik aja kok, mereka akan bertanding hari ini dan besok. Harusnya Dea nemenin mereka, tapi ternyata dia ngotot nemenin gua.”
“Ih, bukannya loe yang maksa gua ke sini? Takut gue, takut sendirian… iyek!”
“Iye, peace deh…”
Mata Alvin dan Dea kembali bertemu, tapi hanya sejenak karena Dea langsung membuang muka lagi dan menarik Kiki menjauh dari Alvin.
“Sory, kita duluan.”
“…”
***
Ami masih saja harap-harap cemas menunggu giliran presentasi makalah ilmiahnya. Ia terus menggigit kuku-kukunya karena gugup. Harus ada yang menenangkannya, tapi siapa?
“Loe nggak usah tegang gitu,” ucap sebuah suara lembut.
“Via?”
“Tenang aja, Mi. loe pasti menang!” semangat Via, seperti sudah lupa kejadian tempo lalu.
“Makasih, Vi.”
Hanya 1 kata singkat itu yang bisa dikatakan Ami, ia masih saja memikirkan masalahnya dengan Via. Walau Via tak merasa punya masalah, tapi secara tak langsung masalah itu terus menyelimuti keduanya. Ami masih canggung jika bertemu Sivia, karena ia benci pada Sivia yang tak berterus terang, juga benci pada dirinya yang tak menyadari sikap Sivia yang begitu jelas suka pada Tian.
“Bodoh…,” gumam Ami.
“Apa? Loe bilang apa?”
“Bisa kita bicara setelah pengumuman masuk Universitas? Selama belum masanya kita bisa nggak bertemu dulu?”
“Lho? Kenapa, Mi?”
“Maaf, gua nggak bisa bilang sekarang.”
Sebelum keadaan semakin buruk, Ami cepat-cepat menjauh dari Sivia. Sivia yang ditinggal begitu semakin bingung dan akhirnya pergi juga.
***
Lawan pertama Kiki bernama Andrian dari SMA Harapan, juara bertahan di setiap lomba antar kelas di sekolahnya. Bagi Kiki ia bukan lawan yang selevel. Sambil tersenyum tipis Kiki berjalan menuju podium pertandingan, menatap remeh lawan di depannya lalu menregangkan otot-otot tubuhnya. Pertandingan pertama ini harus–oh , pasti aku menangkan telak, pikir Kiki. Layaknya Kanken Toyama, Hironori Ohtsuka atau para master Karate lainnya, Kiki memasang kuda-kuda untuk mendapat poin tertinggi dalam 1 gerakan, yaitu tendangan. Karena gerakan ini menghasilkan nilai 3 setiap tendangan ke arah punggung.
“Ayo, maju duluan,” tantang Kiki.
“Jangan harap loe bisa menang!”
“Biasanya yang sok menang itu yang kalah.”
Kata-kata itu berhasil memancing kemarahan Andrian, membuat Andrian seperti kesetanan menyerang Kiki, tapi Kiki dengan lihainya menghindar, sepertinya ia menunggu sampai lawannya lelah. Taktik yang menakutkan. Sementara Kiki bertanding, Dea melihat pertandingan lain, ia akan membantu Kiki mendapat informasi instan akan lawan selanjutnya. Dea juga tahu Kiki tak begitu kesulitan dengan Andrian. Lawan Kiki yang sesungguhnya adalah Alvin, yang juga menjadi lawannya dimanapun ia berada.
Ternyata pertandingan yang diamati Dea adalah pertandingan antara Yuan dari SMA Santa Maria, dengan Angga dari SMAN 5 Jakarta. Dea tertegun melihat pesona Yuan, ia benar-benar tipikal lelaki ambisius tapi pikirannya dangkal, walau dangkal Dea suka tekadnya. Sebaliknya Angga, anak itu sangat sabar menghadapi Yuan, tapi Angga selalu berhasil membalas Yuan. Sekarang adalah pertandingan antara tekad dan kesabaran. Manakah yang akan menang? Dea mencatat semua gerakan andalan dari Yuan dan Angga, Dea memang lihai mencatat gerakan, tak salah ia mempunyai banyak jurus baru yang ia tiru dan padukan dengan jurusnya.
Sepuluh menit kemudian, 2 pertandingan itu berhenti. Sesuai prediksi Dea, Kiki menang nyaris telak, membuat Andrian harus terkulai lemas di sudutnya. Pertandingan yang Dea lihat mengeluarkan pemenang Angga. Ternyata kesabaran yang menang. Dea menyunggingkan senyum pada Kiki yang berdiri menunggunya.
“Udah dapet datanya?”
“Ya, ini jurus andalan lawan loe berikutnya.”
“Yah, yang begini sih bukan tandingan gue!”
“Jangan sombong dulu! Dia itu jago banget dalam hal strategi, loe harus berpikir panjang kalau mau nyerang dia!”
“Iya, Nyonya. Serahin catetan loe.”
Saat Kiki membaca catatan Dea, ia benar-benar seperti pemangsa, wajah penuh ambisi yang Dea benci walau Dea sudah biasa melihatnya, tapi ia tetap tak nyaman jika harus bersama pemangsa ini. Dea pun menjauh, keluar dari GOR adalah pilihan yang tepat menurutnya.
***
Suasana sekolah masih ramai, lalu lalang semua orang membuat gadis ini sakit kepala. Walaupun ia panitia yang harus setia di sekolah, tapi rasa lelah itu tak bisa disembunyikan. Sivia hanya bisa meminum sisa persediaan airnya. Sambil menguap hebat Sivia mengambil tasnya dan mencari sesuatu di dalamnya.
“Shit! Kenapa gua nggak sadar dari kemarin barang itu hilang!” kesalnya, ia memutar balik ingatannya lalu matanya tiba-tiba membesar. “Sial! Jangan-jangan Ami tahu tentang album itu!” Sivia mulai panik tapi seseorang dapat meredam kepanikannya.
“Loe kenapa, Vi?”
“Eh, Angel… loe bikin gua kaget aja.”
“Maaf, Vi. Gua cuman mau kasih ini, loe pasti belum makan.”
“Tau aja, Say…”
Sivia meraih kotak makanan berisi nasi dan ayam dari Angel, lalu langsung melahapnya mencoba untuk melupakan masalahnya.
“Makan yang banyak ya, Vi. Oiya, Ami mana?”
“Gua nggak tahu.” Masih kesal dengan sikap Ami tadi.
“Tadi pagi Ami lesu banget, apa karena ia gugup ya?”
“Mungkin…”
Perkataan Sivia berubah lunak, mengingat Ami memang sedang gugup tadi.
“Gua cuman pengen tahu, gimana ya hasil presentasinya tadi.”
“Menurut gua dia udah matang, kan Septian bantuin Ami beberapa hari yang lalu.”
“Ohya? Tian jalan sama Ami? Wah pasti Ami seneng banget ya!”
“Pasti.”
Sivia mencoba untuk menutupi kecemburuannya, lagipula dia juga yang salah sudah membuat Tian kesal. Dan mengenai sikap Ami padanya… ia hanya bisa menerka.
***
Septian duduk di samping Ami, ia ulurkan sebuah sapu tangan pada Ami. Mata Ami tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Ia ingat saat bagaimana ia mengacaukan presentasinya, saat tubuhnya tak berhenti bergetar, saat semua terjadi begitu saja…
“Maafin gua ya, latihan kita tempo lalu kacau gara-gara gua.”
Ami tak bergeming, ia bahkan tak mampu mengambil sapu tangan dari Tian. Perlahan Tian mengusap airmata Ami, dirangkulnya gadis itu.
“Maafin gua…”
***
Dea terus menghela nafas, firasat buruk menyergap pikirannya saat ia memikirkan sahabat-sahabatnya. “Kenapa ini? Kok perasaan gua jadi nggak enak, ya?” Tanpa pikir panjang Dea langsung menghubungi Angel untuk sekedar menanyakan keadaan ketiga sahabatnya.
“Halo, Dea?”
“Iya, Njel. Loe lagi dimana sekarang?”
“Gua lagi makan sama Via, kenapa emangnya, De?”
“Nggak apa-apa, Ami gimana?”
“Kita nggak ketemu Ami sejak tadi siang, nanti gua sama Via cari Ami kok.”
“Eh, gua mau langsung pulang!” terdengar suara Via yang menyahut pernyataan Angel.
“Lho? Kenapa, Vi?”
“Capek banget gua.”
“Yaudah, besok gua masuk kok, siap bertugas! Kalian nggak usah kangen berat ma gua ya hari ini.”
“Pede banget ni anak! Hahaha!” tawa Sivia dan Angel.
“Oke, kalau ada kabar dari Ami bilang ke gua ya, pulsa terbatas nggak bisa telepon Ami. Hehe, Bye!”
“Bye, De.”
Setelah memutus panggilan, Dea kembali ke dalam GOR. Dea masih saja gelisah memikirkan sahabat-sahabatnya. Ia merasa ada yang ganjil dari nada bicara Sivia tadi, karena tak biasanya Sivia malas mencari salah satu sahabatnya.
***

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini