Rabu, 07 November 2012

Star in My Heart - ONE_Reminiscence


Star in My Heart

ONE - “Reminiscence”




CINTA itu bisa kita sebut keajaiban karena hanya cintalah yang bisa membuat orang-orang terus tersenyum, menangis, bisa juga menjadikan orang jadi buta, bukan hanya buta mata, tapi juga buta hati. Seperti bintang-bintang yang menempel erat pada bahtera langit ciptaan Allah SWT Yang Maha Agung yang selalu menerangi hati ini, dengan pesona kerlap kerlip yang sungguh tak seindah senyuman cinta. Hanya cinta yang bisa membuat seorang anak merelakan apapun yang ia punya untuk kedua orang tuanya begitupun sebaliknya, hanya cinta yang bisa membuat seorang gadis menangis karena hati yang sudah susah payah dia jalin, akhirnya patah karena kerapuhan hubungan cinta, hanya cinta memang yang bisa. Hanya cinta yang bisa menerangi jalan hidup yang sungguh kelam ini, kurasa.
Kadang kala, jika kita pejamkan mata dan merasakan suara hati, maka pikiran kita akan berlari ke hal-hal indah, sekalipun kita sedang terpuruk, dan apa kau tahu ulah siapa itu? Cinta. Atau mungkin saat kita meresapi suatu bacaan, pasti semua pikiran kita akan berpusat di hati terlebih dahulu barulah sampai pada daya imajinasi. Imajinasi itu kian bersinar ketika hati ini terus berbicara, berbicara tentang cinta. Sekali lagi, cinta.
Begitu banyak orang berkata tentang cinta, padahal bisa saja semua itu hanyalah omong kosong belaka jika belum dirasakan sendiri oleh si pembicara, tapi siapa peduli? Yang penting itu cinta. Kalau dibilang cinta itu pasti ada di hati semua mahluk hidup, memang benar adanya, karena semua mahluk hidup pasti memerlihatkan cintanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan beberapa yang kadang terbilang dalam daftar kebencian seumur hidup pada cinta, takkan luput oleh cinta Tuhan yang tiada duanya.
Berbicara lagi tentang omong kosong tentang cinta dan ketidakpedulian kita pada omong kosong itu. Terkadang orang-orang yang suka omong kosong tentang cinta, malah di juluki sang pecinta sejati, padahal merasakan cinta sejati pun tak pernah. Karena apa? Karena pecinta sejati di sini, artinya senang mencintai tetapi itu berlangsung sesaat, jadi hal ini bukan cinta, melainkan angin lalu atau orang yang tahu cinta hanya karena ia banyak membaca teori tentang cinta.
Seperti yang dialami gadis ini, yang selalu berkata cinta, cinta, dan cinta. Tapi satu cinta sejatipun, ia tak punya, mungkin, dulu dia punya, tapi sekarang? Sungguh seperti terpendam di dasar bumi, karena sebuah alasan yang berat untuk diungkapkan.

***

The Story, begin...

Gadis bernama Tian itu masih saja sibuk dengan komputernya karena ia sedang mengerjakan makalah proyek yang akan ia berikan pada teman-teman perempuannya, makalah perawatan wajah agar tetap berseri di depan pasangan. Tian hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat ia membaca ulang tulisannya yang berasal dari berbagai sumber itu. Ia tak percaya makalah yang lebih tepat seperti majalah itu sudah menghabiskan lebih dari tiga puluh lembar kertas ukuran A4, margin masing-masing satu inci, dengan banyak gambar peragaan bertebaran hampir di setiap lembar, font bermacam-macam, mulai dari Calibri, Times New Roman, Batang, Bradley Hand ITC, dan banyak lagi, warnanyapun manis dipandang, dan pasti topik ‘makalah’ ini menarik dibaca. Ditemani secangkir susu coklat dan sepiring biskuit Oreo membuatnya semangat untuk menyelesaikan ‘makalah’ itu, padahal jam dinding bentuk hati di kamarnya sudah menunjukan pukul 21.00. Terkadang Tian mendesah kesal ketika ada kata yang salah ketik, atau salah pemahaman, karena ia ingin semua nyaris sempurna. Sebagai pakar cinta, ia ingin terlihat sebagai orang yang penuh cinta, dan salah satu syarat orang yang penuh cinta adalah selalu rapi dan hampir sempurna mengerjakan sesuatu.
Sebenarnya Tian tak usah bekerja keras untuk ini, ia bisa saja langsung tidur ssejak jam 7 tadi, ia juga bisa hanya asal-asalan mengerjakan artikel-artikel yang menurutnya membosankan ini, tapi ia menyukai kata ‘kepercayaan’. Dalam hidupnya, kata itu termasuk di daftar kata-kata ajaib yang mampu membuatnya semangat, asalkan mendengar kata-kata ajaib itu, ia akan rela melakukan hal yang mungkin di luar akal sehat tapi dibatasi oleh hukum. Dalam pikirannya, kata kepercayaan itu berada pada taraf nomor satu kehidupannya, karena bagaimanapun juga tindakan yang kita buat pada masa kini akan berdampak di masa depan. Terkadang Tian membayangkan akan membuat mesin waktu suatu saat nanti, karena ia ingin mengulang kejadian itu. Kejadian yang takkan pernah ia lupakan, kejadian bodoh yang berdampak hingga kini.
“Non Tian, tidur, Non, udah malam,” sahut seorang wanita paruh baya, yang selalu setia menemani Tian sampai gadis berumur enam belas tahun itu tidur, bernama Mbok Jami, “nanti dimarahin Nyonya dan Tuan lho, Non,” lanjutnya.
Tian hanya melirik Mbok Jami sekilas lalu kembali sibuk pada bacaannya, Mbok Jami hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena pusing menghadapi atasannya yang keras kepala ini, kalau sudah menyangkut hal yang berbau teman atau cinta, Tian memang susah dikendalikan.
“Bentar ya, Mbok. Jam sebelas-an juga udah kelar,kok.” Tian mengelus pundak Mbok Jami, “Mbok tidur duluan aja, Tian nggak apa-apa.” Mbok Jami mengangguk dan menyanggupi perintah Tian lagipula matanya yang sudah berat karena kantuk yang tak tertahankan. Tian tersenyum melihat kelakuan Mbok Jami yang berjalan sempoyongan sambil sesekali memejamkan matanya.

***

Tian tertidur di meja komputer yang berada di ruang tengah, Tian sudah sangat mengatuk ketika ia sedang asik membaca halaman terakhir makalahnya yang sudah di cetak. Mbok Jami yang biasa bangun jam 3 pagi hanya bisa geleng-geleng (lagi) melihat kebiasaan Tian.
“Non Tian, bangun, Non.”
Ah...suara itu lagi, batin Tian. Tian membuka matanya perlahan, sentuhan halus Mbok Jami telah menyadarkannya dari alam bawah sadar dengan bunga-bunga tidurnya yang abstrak. Tian memang bangun, tapi kenyataannya dia hanya menggeliat dan memejamkan kembali matanya.
“Lho? Kok bisa tidur lagi to, Non. Tadi sudah buka mata. Waduh-waduh.” Bingung Mbok Jami masih dengan logat jawanya yang kental. Terpaksa Mbok Jami menggendong tubuh berat Tian ke kamar, setelah menidurkan Nonanya itu, Mbok Jami mematikan komputer dan merapikan makalah mentah Tian. Tiba-tiba Mbok Jami tersenyum geli ketika melihat judul tumpukan kertas A4 bertinta itu.
“Dasar, Non Tian ini ada-ada saja, padahal masih SMA.”

***

“Putri, kamu janji ya, kita akan sama-sama terus?”
“Iya, Kal. Putri janji kok.”

***

“Ikal, maafin Tian ya...Tian udah ninggalin kamu diam-diam, tapi Tian janji, Tian udah netapin kamu sebagai satu-satunya lelaki di hati Tian, Tian nggak akan suka sama orang lain sampai kapanpun, cuma kamu satu di hati.”
Tian kembali mengucapkan kalimat wajibnya setiap subuh sehabis sholat subuh dan berdoa, ia pasti mengucapkan kata-kata itu, sampai-sampai Mbok Jami yang menemaninya sholat di mushola keluarga hapal kalimat itu
“Mbo’ yo dicari to, Non. Siapa namanya? Ikal?”
“Ih, Mbok dengar aja sih.”
“Yo denger to, Non. Wong Non Tian itu selalu mengucapkan kalimat yang sama setiap subuh, Mbok sampai hapal.”
“Hihihi, dasar Mbok Jami aneh!” Ledek Tian seraya lari dari mushola.
Tian duduk di dekat kolam renang, matahari belum sepenuhnya muncul, hanya sedikit sinarnya yang menerangi langit subuh, bulan pun masih terlihat cukup jelas di langit, walau tak ada bintang. Jauh dari keadaan alam, Tian punya bintangnya sendiri, bintang yang tersimpan di dalam hatinya, melekat di pikirannya, dan memenuhi seluruh kehidupannya. Bintang yang membuatnya merasa, bahwa ia adalah seorang manusia yang masih mempunyai cinta sejati. Bukan seperti yang dikatakan teman-temannya.
“Tian itu memang pakar cinta, tapi nggak pernah punya cinta!”
Ledekan teman-temannya itu terngiang kembali di telinganya, Tian bukannya tidak punya cinta, tapi untuk saat ini, dia tak mau mencintai orang lain kecuali cintanya pada “Bintang” yang pernah terkubur dan suatu hari nanti ia yakin akan muncul kembali
“Iya, suatu saat nanti..”
Ia celupkan kedua kakinya ke dalam kolam renang agar ia bisa merasakan dinginnya air itu menjalar naik dari ujung kaki hingga rambutnya, hatinya membeku sesaat, merasakan karunia Allah SWT yang telah memberinya kesempatan untuk memunyai keluarga, walaupun harus mengorbankan seorang anak kecil yang saat itu sangat ia sayang.
“Maafin aku, Ikal..”
Pagi yang begitu syahdu baginya dan ia tak  mungkin menyia-nyiakan pagi itu, ia bergegas mengambil kamera merk Canon kesayangannya lalu ia potret keadaan langit berbulan bulat sempurna walau samar itu. Ia tak lupa memotret keadaan sekitar yang kiranya menjadi saksi keagungan Tuhan. Tian tak henti-hentinya mengucap asma Allah, ia yakin Allah punya sebuah surat berisi takdirnya yang memang seharusnya terukir di dalam surat tersebut. Ia hanya harus menjalaninya dengan baik.

***

“Mama-Papa. Tian berangkat dulu, ya.”
Tian mengambil 1 lembar roti gandum kesukaannya lalu berlari ke luar. Saat tiba di samping mobil pribadinya, ternyata supir mobil itu, Pak Nandra, tertidur saat menunggu Tian. Tian mana tega membangunkan bapak dua anak ini. Jadi Tian diam-diam meninggalkan mobilnya dan memutuskan untuk berjalan kaki menuju jalan raya untuk naik angkutan umum saja, lagipula rumahnya tidak jauh dari jalan raya. Dia tahu Pak Nandra kemarin kerja lebih keras dari hari-hari sebelumnya, kemarin Pak Nandra mengantar Tian kesana kemari untuk mencari bahan makalah.
Tian terkekeh sejenak dan mulai berjalan. Biasanya, jika dia jalan kaki, Tian akan bertemu dengan anak sekolahan lain dan itu menyenangkan, karena dengan begini Tian bisa mendapat inspirasi untuk proyeknya yang lain, ada-ada saja. Tidak jauh dari tempatnya berada, Tian melihat seorang anak SMA Harapan, sekolah swasta untuk orang-orang berada, dan anak itu adalah kawan Tian semasa SMP.
“Gita!”
“Eh, Tian. Tumben nggak dianter?”
“Iya, Git. Pak Nandra lagi capek banget, itu juga gara-gara gue.”
“Kenapa memangnya?”
“Kemarin gue nyari sumber-sumber buat makalah ini.”
Tian memberikan makalah tersebut pada Gita dan gadis yang lebih kecil dari Tian itu langsung tertarik pada makalah Tian.
“Wah, keren nih. Biasa, loe pinter banget kalau bikin kayak ginian!”
“Kalau loe mau, nanti gue pinjemin soft copynya.”
“Mau-mau! Nanti sore gue ke rumah loe, ya?”
“Jangan hari ini, Git. Keluarga gue mau ke acara syukuran temen Papa,” jelas Tian, “gimana kalau besok pagi aja? Besok kan minggu.”
“Boleh deh, Yan.”

***

Hal yang paling disukai Tian salah satunya adalah memejamkan mata sambil membayangkan wajah lucu Ikal. Ia baru sadar kalau Ikal sebenarnya lucu, tapi dulu dia tak pernah mau mengakuinya.

“Aku imut kan, Ti?”
“Idih, nggak ah, Kal!”
“Hah, parah kamu.”
“Hehehe, aku kan bilang yang sebenarnya.”

Kalau sudah begitu, pasti Ikal mencubit pipi Tian sekencang-kencangnya dan Tian tak mau kalah dengan cubitan Ikal, diapun mencubit Ikal. Mereka berdua saling mencubit setelah itu pasti tertawa sekencang-kencangnya.
“Woy! Melamun aja, Ti!”
“Eh, loe, Ki.”
“Hahaha. Loe pasti ngelamunin tentang..teori-teori cinta ya?”
“Hah? Teori cinta?”
“Iyap, biasanya loe itu kalau udah melamun, pasti habis itu langsung ngambil secarik kertas dan mulai ngelukis wajah anak kecil, terus mulai terinspirasi bikin sesuatu yang berhubungan tentang cinta, atau nggak, loe ngambil kamera, terus motret hal-hal indah deh.”
“Tapi kan itu bukan teori.”
“Hehehe, tapi menurut gue, itu cara loe mendeskripsikan teori-teori yang loe baca. Iya, kan?”
“Ah, sok tahu loe.”
“Ahahaha, biarin aja gue sok tahu, daripada loe? Loe itu terlalu terobsesi sama cinta, tapi sampai sekarang, loe nggak pernah punya pacar. Kelas dua SMA men...”
Tian hanya terdiam menanggapi ledekan teman sekelasnya, yang lagi-lagi menyinggung cinta. Tian tidak pernah membalasnya karena hanya dia yang tahu, apa itu cinta dalam hatinya.

***

Ikal, atau lebih dikenal Haikal, saat ini bersekolah di Sekolah Tingkat Atas New York, tapi baru tahun pertama Haikal sudah tidak nyaman berpisah dengan keluarga barunya yang tinggal di Indonesia. Jadi ia putuskan tahun ini ia akan pindah lagi ke Indonesia. Walaupun kenangannya dengan Putri yang sudah dia kubur bisa saja kembali muncul, tapi Haikal berjanji akan berusaha menguburnya, sesulit apapun itu. Rasa marahnya pada Putri yang sudah meninggalkannya selama 10 tahun itulah yang akhirnya bisa Ikal lenyapkan satu persatu, kenangan yang seperti bagian kaca yang terbentuk kokoh karena rasa sayangnya pada Putri.
Haikal yang saat itu masih berumur 6 tahun, sama seperti Putri, hanya bisa menangis di dalam kamar ketika paginya, dia tidak menemukan Putri di ruang makan.

“Bunda, Putri kok nggak kelihatan? Apa masih tidur?”
“Putri udah pergi, Ikal. Putri udah punya keluarga baru.”

Bagai tersambar petir, Ikal langsug berlari ke kamar perempuan dan meneriaki nama “Putri”, tapi percuma, Putri yang ia sayang sudah tidak ada. Dia pergi berbahagia dengan keluarga barunya. Beberapa minggu setelah itu, Ikal diangkat oleh sebuah keluarga kaya dan langsung diberangkatkan ke luar negri untuk menempuh pendidikan hingga lulus perguruan tinggi. Di luar rencana, Ikal sudah lelah belajar di luar negri, bukannya tidak mampu, Ikal adalah anak yang pintar, dia pasti bisa menyelesaikan pendidikannya dengan luar biasa, tapi ini bukan masalah pendidikan, melainkan kasih sayang. Ikal merasa ada yang kurang jika keluarganya tinggal jauh darinya, ini sama saja Ikal hidup yatim piatu. Akhirnya setelah merundingkan semuanya, Haikal dibolehkan kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikannya di sana.
“Oke, gue nggak akan terpengaruh lagi sama yang namanya cewek. Gue adalah Haikal, bukan Ikal yang cengeng kayak dulu. Kalaupun gue harus ketemu lagi sama tu cewek, gue akan bikin dia sakit hati duluan.”

***

Walaupun guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajar adalah pelawak sejati, atau biasa anak-anak di sini panggil Pelawak 39 (SMA Tian bernama SMAN 39 Jakarta) Tian masih saja melamun tentang Ikal dan sepertinya guru bernama Bakri ini menyadari keganjilan pada seorang muridnya, yang memang satu-satunya tidak tertawa karena lawakannya.
“Putri Titian Asih,” panggil Pak Bakri dengan suara bassnya.
Mata Tian terbuka lebar, lengan yang menopang dagunya lepas hingga keseimbangannya terganggu, dia langsung duduk tegap karena ketahuan melamun oleh Pak Bakri.
“Eh, i-iya, Pak?”
“Kamu ini kenapa, Nak?”
“Nggak apa-apa, Pak.”
“Kalau lawakan Bapak nggak lucu, bagaimana kata dunia?!” Pak Bakri mulai mengeluarkan lawakannya tapi menurut anak-anak jaman sekarang sih lawakannya itu “garing”.
“Hahaha, Bapak tetep lucu kok!” Celetuk seorang anak bernama Esa.
“Hei Rere, kamu itu kok rambutnya makin serupa landak?” Tanya Pak Bakrie sambil menunjuk seorang gadis berambut ikal. Tawa pun memecah kelas, Tian hanya tersenyum karena mati kutu saat ketahuan memikirkan Ikal, eh, salah, ketahuan melamun.

***

Tian bersama para sahabatnya, Esa dan Yuki, saat istirahat selalu memakan bekal masing-masing di markas mereka, di atas pohon apel nan kokoh. Tempat yang mampu menampung semua isi hati mereka. Sebenarnya dulu ada satu anak lagi yang selalu bersama mereka, namanya Odi. Tapi semenjak Odi terang-terangan menyatakan perasaannya pada Tian, dan tentu Tian menolaknya, jadilah Odi merasa bahwa persahabatan mereka selama ini akan sukar. Sebaiknya dia dan Tian tidak terlalu dekat lagi. Sebenarnya Tian menyesal karena sudah menolak Odi, tapi bukan penyesalan akan cinta, melainkan akan pecahnya sebuah bagian persegi empat persahabatan ini.
“Hoaaahmmm..”
Tiga anak ini menguap bersamaan, Esa bahkan sudah tiduran di jaring tidur, sedangkan Yuki hanya duduk bersender seraya memakan bekalnya. Tian memandang taman belakang sekolah yang selalu lekang pengunjung. Bukan karena angker segala macam, tapi taman belakang sekolah hanya dibuka jam 12 siang, dan sekarang masih jam 10 pagi, pertanyaannya, kenapa Tian dan dua kawannya bisa masuk? Juga, kenapa mereka bisa punya markas di tempat ini? Jawabannya karena penyumbang dana terbesar sekolah ini adalah Ayah Yuki, Yuki benar-benar seorang putri di sekolah ini, banyak anak lelaki yang menyukainya, tapi Yuki belum bisa menerima mereka semua, untuk saat ini ia hanya menyukai satu anak lelaki yang sangat misterius untuknya.
“Yuki, loe tahu nggak tempat ngeliat bintang di Jakarta? Selain Planetarium lho.”
“Tempat ngeliat bintang? Di Jakarta? Mana ada...”
“Yah, padahal gue pengen banget ngeliat bintang...”
“Ke Bandung aja, ke Boscha maksud gue.”
“Dih, ini kan masih hari sekolah, lagian liburan masih lama kali.”
“Yaudah, tungguin aja sampe liburannya dateng.”
“Tapi gue pengen sekarang, Yuki.”
“Udah gue bilangin, Jakarta itu cuman punya Planetarium, Tian.”
“Ah, nggak seru. Kalau begini mending gue nggak pernah...eh, bohong ding, bercanda.”
“Nggak pernah apa?”
“Nggak-nggak, lupain aja.”
“Aneh deh mulai. Ini lagi, si Esa kerjaannya molor melulu.”
“Yaudah sih, dia capek banget kali, kemarin kan dia nemenin loe ngobrol semaleman, kan?”
“Lha, darimana loe tahu, Yan?”
“Dari Esa sendiri, kemarin dia sms gue, hahaha.”
“Ooh, jadi ceritanya dia nggak ikhlas?”
“Bukannya nggak ikhlas, nyong. Dia malah seneng banget.”
“E-eh, yang bener?”
Tian hanya membalas pertanyaan Yuki dengan senyuman, senyuman penuh arti.

***

Odi men-drible bola basket dan dengan lihai memasukannya ke ring. Pandangannya tiba-tiba pudar lalu akhirnya terduduk lemas di lapangan basket yang besar nan megah itu. Sekarang ruangan ini sepi, karena belum ada pertandingan besar melanda sekolah ini. Pemilik nama lengkap Jourast Jordi ini mengeluh lelah, lelah menunggu Tian yang tak kunjung mampu mencintainya.
“Kapan loe bisa suka sama gue sih, Ti?”
Tiba-tiba saat sedang melamun begitu, Odi merasakan dingin di pipinya, dia langsung terlonjak.
“Nih.”
Seorang gadis memberi Odi sebotol minuman isotonik dingin, Odi seperti melihat bayangan Tian pada gadis itu, tapi ia langsung sadar gadis itu bukan Tian, melainkan Chika, adiknya.
“Loe masih aja ya ngarep sama Kak Tian.”
“Loe nggak usah ikut campur,” ucapnya lalu meneguk minuman dingin itu.
“Kak, kalau loe nggak mau terpuruk kayak gini, deketin lagi dong Kak Tiannya.”
“Maksud, Loe?”
“Masa’ persahabatan kalian dari SMP harus pecah karena loe suka sama Kak Tian dan Kak Tian nggak suka sama loe? Menurut gue itu konyol.”
“Eh, loe nggak usah sok tahu gini ya!”
“Idih, gue cuman kasih saran, Kak. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, yang pasti gue setuju banget kalau Kakak jadian sama Kak Tian.”
“Hah? Kok?”
“Kak Tian itu orang yang gue kagumin selain Ayah dan Bunda, dia itu sosok Kakak yang gue idam-idamin deh.”
“Jadi loe kira, gue apa?”
“Kan beda, Kak. Cewek sama cowok.”
“Oh..”
“Jadi gimana?”
“Gimana apanya?” Odi mendelik heran melihat senyum jahil itu.
“Gimana, kalau gue bantuin loe jadian sama Kak Tian?”
Odi terdiam, dia sebenarnya tidak suka saat-saat seperti ini, di satu sisi dia ingin melupakan Tian, tapi di sisi lain… dia sungguh menyayangi gadis itu. Awalnya memang Odi tidak mau kehilangan Tian, tapi kalau memang Tian sudah memunyai orang lain di hatinya, siapa yang bisa menyangkal?
“Tapi Kak Odi harus jadi sahabat Kak Tian lagi kayak dulu.”
“Apa?”
“Jiah, nggak mau?”
“Gue sebenarnya masih mau kumpul lagi sama anak-anak, tapi gimana, rasanya tu kayak ada tembok pembatas antara gue sama mereka.”
“Hancurin aja tu tembok.”
“Susah oneng.”
“Demi Kak Tian, menurut loe ini susah?”
Odi kembali berfikir keras, tapi ia juga agak ganjil melihat prilaku Chika yang tiba-tiba baik padanya, apa mungkin dia juga mengincar Tian? Maksudnya, Chika sudah berulang kali minta tolong pada Tian soal percintaan, saking seringnya, lama kelamaan Chika jadi tidak enak hati untuk minta bantuan lagi pada Tian. Jadi mungkin ini rencananya supaya dia bisa lebih dekat dengan Tian.
“Loe mau bantuin gue, cuma-cuma?”
Chika tersentak dengan pertanyaan Odi, sepertinya Odi tahu dengan rencananya.
“Ih, yaudah deh kalau nggak mau juga nggak apa-apa!”
Chika langsung meninggalkan Odi, Odi tertawa kecil melihat prilaku adiknya itu. Ia kembali membayangkan Tian berada disampingnya, bercanda dengannya, main basket, berfoto ria, dan yang paling sering Tian lakukan berdua dengannya adalah Tian selalu bercerita tentang seorang anak bernama Ikal. Bahkan Odi sering melihat Tian yang melukis wajah Ikal. Selama ini Tian hanya 2 kali melukis Odi, itupun harus Odi yang minta.
“Ikal...jadi anak itu yang sudah merebut hati Tian.”
Nada bicara Odi mengucap nama itu agak meremehkan. Mungkin karena dia sudah terlewat cemburu pada Ikal, sosok yang tak pernah dia kenal. Tak berapa lama Handphone Odi bergetar, tanda ada SMS masuk.
“Haikal?”

From Haikal to Odi
Di, gue bakal pulang ke Jakarta, gue udah nggak betah di sini.

From Odi to Haikal
Beneran? Wah, gue seneng banget! Loe harus sekolah di sekolah gue!

From Haikal to Odi
Sekolah loe bagus nggak? Gue sih oke-oke aja.

From Odi to Haikal
Kalau buat sahabat SD gue, sekolah ini pasti keren, basket di sini udah terkenal dimana-mana!

From Haikal to Odi
Hahaha, sip lah, nanti gue bilang ke nyokap.

From Odi to Haikal
Sip, gue bakal tunggu loe. Kapan harus gue jemput?

Senin, 05 November 2012

A Fanfiction - Still here_Baekyeol/Chanbaek Chapter SEVEN (END)


Still here


Tittle: Still here
Author: Fie
Genre: Mystery, romance, Shounen-ai (Boys Love), drama
Rated: 15+
Pairing: Baekyeol/Chanbaek
Length: multichapter
Main Cast:
- Byun Baekhyun
- Park Chanyeol
- Cho Jinho (Jino)
- Lee Soonkyu (Sunny)
- Lee Sungmin
- Cho Kyuhyun

Support Cast:
- Kim Jongin (Kai)
- Oh Sehun
- Do Kyungsoo (D.O)
- Kim Joonmyun (Suho)
- Kim Minseok
- Xi Luhan



Summary:

Aku masih di sini dan akan menjadi orang yang bisa kau percaya sampai kapanpun.



TUJUH



_flashback_

“Namaku Lee Soonkyu.”

“Namaku Cho Jinho.”

“Apa kau menikmati acara yang dibuat orangtuaku?”

“Ne, orangtuamu benar-benar hebat membuat acara!”

“Hei, apa yang sedang kau bawa?”

“Oh, ini. Ini petasan,” ucap Jinho seraya mengangkat bungkusan yang ia bawa.

“Petasan itu apa?”

“Kau tidak pernah bermain petasan? Petasan ini bersuara sangat kencang dan bisa membuat kita kaget!”

“Benarkah? Aku tidak pernah mendengar suara yang mengagetkan.”

“Kalau begitu, kau mau dengar? Tapi tidak di sini.”

“Kenapa?”

“Karena kalau ketahuan yang lain, jadinya tidak menyenangkan. Ayo kita ke taman belakang panti asuhan.”

“Ayo!”

...

DARR

DARR

DARR

“Soon—“

Soonkyu memegangi dadanya setelah mendengar suara ledakan itu. Keadaan yang mereka kira akan menyenangkan berubah sebaliknya. Soonkyu terjatuh sambil terus memegangi dadanya.

“Soonkyu, kau kenapa?”

“Dadaku sakit sekali, Jinho.”

“Ke-kenapa...”

“Apa yang kalian lakukan di tempat ini?!”

Seorang anak lelaki mendatangi mereka dan langsung membentak. Dia, Sungmin, membantu Soonkyu berdiri sambil mengelus dada Soonkyu seperti menenangkan.

“Kau kenapa, Soonkyu?”

“Dadaku sakit, Oppa...”

“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”

“A-aku...”

Sungmin mendorong Jinho hingga namja kecil itu jatuh.

“Kau hanya anak panti asuhan yang mendapatkan hidup dari orangtuaku! Kau tidak pantas bermain dengan adikku!”

“Ma-maafkan aku...”

Airmata sudah menggenang di pelupuk mata Jinho, tapi Sungmin tidak berniat untuk mengakhirinya.

“Kau punya pikiran tidak, sih? Mengajak adikku ke taman yang sepi seperti ini dan bermain petasan! Permainan tidak jelas begitu tidak pantas untuk keluarga terhormat seperti keluarga kami! Kau jangan sekali-sekali menemui adikku lagi! Kalau kau  masih menemuinya, akan kukeluarkan kau dari panti ini dan kau akan menjadi gelandangan! Kau mau?”

“Sungmin-oppa, tolong...jangan marahi Jinho...”

“Oh, jadi namanya Jinho? Baiklah, akan kuingat namamu!”

Sungmin hampir saja menampar Jinho, tapi tangannya ditahan oleh seorang anak lelaki seumurannya, Cho Kyuhyun. Cho Kyuhyun menatap Sungmin dengan tatapan tajam seraya menggenggam tangan Sungmin sangat erat sampai Sungmin meringis kesakitan. Sungmin langsung melepas paksa pegangan itu.

“Hentikan,” ucap Kyuhyun sinis. Sudah cukup setelah kedua orangtuanya pergi sehingga dia dan adiknya harus berada di panti asuhan ini dan sekarang ada orang yang ingin menyakiti mereka, sekali lagi, sudah cukup.

“Siapa kau?” Tanya Sungmin tidak kalah sinis tanpa rasa takut karena bagaimanapun mereka adalah anak pemilik panti asuhan ini.

“Aku Hyungnya.”

“Oh, jadi kau kakak anak ini? Jaga adikmu baik-baik, jangan sampai dia menyentuh adikku! Ayo, Soonkyu. Kita pergi saja dari sini. Kedua namja kurang ajar ini memang seharusnya tinggal di panti asuhan ini. Kurasa kedua orangtua mereka meninggalkan mereka karena kebodohan mereka.”

Kyuhyun ingin sekali menghajar Sungmin, tapi dia masih punya akal sehat untuk meredam amarahnya. Kyuhyun membantu Jinho berdiri selepas kepergian Sungmin dan Soonkyu.

“Tenang saja, Jinho. Suatu saat nanti, kita akan membuat mereka merasakan apa yang kita rasakan sekarang. Kita akan mengambil kebahagiaan mereka. Dan kurasa...titik kebahagiaan mereka ada pada gadis cilik itu.”

“Apa yang Hyung bicarakan?”

“Sekarang kau harus belajar giat, ne? Agar kita mendapat keluarga yang bisa membantu kita membalas mereka. Keluarga Lee.”

_flashback end_

***

“Chanyeol-ssie, tolong aku...”

“A-ada apa, Sungmin-hyung?”

“Me-mereka...” (DARR)


Tut...


“Baekhyun, ayo! Kita harus ke rumah Sungmin-hyung!”

“Ada apa, Channie?”

“Mereka datang! Kyuhyun dan Jino datang!”

Chanyeol langsung menarik Baekhyun ke luar dan membuat motornya melesat sangat cepat. Chanyeol belum menjawab segala pertanyaan Baekhyun, tentang apa yang mereka bicarakan, atau kenapa Chanyeol bisa menyimpulkan kalau Kyuhyun dan Jino datang.

“Chanyeol-ssie! Aku butuh kejelasan secepatnya!”

“Baekhyun, tidak ada waktu untuk menjelaskannya!”

“Tolong sedikit saja!”

“Tadi aku mendengar suara tembakan dan panggilan Sungmin-hyung langsung terputus!”

“I-itu artinya...”

“Ne, itulah yang kutakutkan, Baekhyun! Aku takut mereka membunuh Sungmin-hyung dan Sunny!”

“Jino tidak mungkin melakukannya. Kami percaya padanya.”

“Sejauh apapun kalian memercayainya, tetap saja dia punya niat jahat!”

“Jino...Jino-hyung...”

***

Tidak lebih dari dua puluh menit, mereka telah tiba di depan gerbang kediaman Sungmin dan Sunny. Di sana begitu sepi dan itu semakin membuat Baekhyun dan Chanyeol cemas. Mereka biarkan motor Chanyeol terparkir sembarang karena di sana tidak ada petugas yang berjaga. Baekhyun dan Chanyeol langsung mendobrak pintu dan berlari menuju kamar Sungmin yang terhubung dengan kamar Sunny. Kamar Sungmin kosong, keadaannya tidak berantakan, menandakan Kyuhyun dan Jino melakukannya dengan baik tanpa bekas.

Baekhyun mencoba untuk membuka kamar Sunny, tapi kamar itu masih terkunci. Dia mendobrak pintu itu seperti orang kerasukan, Chanyeol yang masih memeriksa keadaan kamar Sungmin langsung berlari menghampiri Baekhyun.

“Apa yang kau lakukan, Baekkie?”

“Sunny ada di dalam, Channie! Sunny-ah! Bertahanlah!”

Chanyeol menjauhkan Baekhyun dan berganti mendobraknya. Setelah beberapa lama mendobrak, akhirnya pintu itu terbuka. Butuh perjuangan keras, karena pintu itu memang didesain sekuat baja, badan Chanyeol dan Baekhyun pasti memar-memar dibuatnya.

“Sun—“

Kamar itu juga kosong. Jendela kamar Sunny terbuka sehingga tirainya beberapa kali terbawa angin.

“Kemana mereka, Chanyeol?”

Chanyeol belum menjawab karena dia masih memandangi ponsel Sungmin yang pecah seperti ditembak.

“Chanyeol!”

“Aku tahu kemana mereka pergi.”

“Mwo?”

***

“Bukankah sama seperti dulu? Saat kau melindungi adikmu yang lemah itu?”

“Cho Kyuhyun, kau...,” ucapan Sungmin terputus-putus karena luka di kepalannya.

“Keadaannya sama bukan? Aku bertanya.”

Sungmin tidak bisa menjawab, karena dia sangat khawatir melihat keadaan Sunny yang semakin lemah. Jino tidak bisa menolong karena Kyuhyun sudah membuatnya tidur dan mengikatnya di pohon dekat mereka berada.

“Soonkyu-ah, Oppa akan membawamu ke rumah sakit, tolong bertahanlah sebentar lagi...”

“Bertahan? Sepertinya gadis itu akan mati sekarang juga.”

Kyuhyun mengarahkan pistolnya tepat ke jantung Sunny, sedangkan Sungmin masih bertahan untuk tidak pingsan lagi, padahal darah segar sudah keluar cukup banyak dari kepalanya.

***

_flashback_


Sunny mencoba untuk tidur, tapi perasaannya tidak bisa tenang, jadi dia hanya tidur tanpa memejamkan matanya. Dia pandang langit-langit penuh lukisan awan buatannya. Tiba-tiba, airmatanya menetes karena teringat sesuatu dari lamunannya itu.

“Apa kau akan datang, Jino?”

Sunny memegangi dadanya sambil menahan rasa sakit dari jantungnya yang berdetak semakin lambat. Dia terlalu lemah untuk melawan, tapi setidaknya dia bisa menahannya.

“Rasa sakit di jantung ini...tidak lebih sakit daripada hatiku.”


BRAKK


“Soonkyu-ah! Lari!”

“O-Oppa?”

“Lelaki itu datang! Kyuhyun-ssie datang! Aku yakin Jinho juga ada di belakangnya!”

“Jangan lari lagi, Oppa. Jangan lari...”

Sungmin memandangi Sunny lekat. Dia terdiam, begitu rapuhnya gadis yang berusaha kuat itu. Betapa jahatnya Sungmin yang sudah menimpakan seluruh kesalahannya pada Sunny. Betapa...


BUG


Sebuah balok menghantam kepala Sungmin hingga Sungmin terjatuh. Darah segar mengalir dari kepalanya yang terluka. Sunny bangun dari tempat tidurnya dan menghampiri Sungmin tanpa takut pada si pelaku, Kyuhyun.

“Kau masih menungguku, Sunny? Kau masih menungguku, kan?”

“Jika kau ingin membunuhku, tolong bunuh aku sekarang juga. Jangan sakiti Oppa atau keluargaku. Dan juga...jangan paksa Jino menjadi sepertimu.”

Melihat ada celah kecil, Sungmin langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Chanyeol.

“Chanyeol-ssie, tolong aku... Me-mereka...”


DARR


Ponsel itu seketika pecah karena tembakan Kyuhyun yang sangat jitu. Tangan Sungmin langsung gemetaran karena dia mengira peluru itu mengenai kepalanya juga.

“Kau menghubungi siapa, hah?”

“Aku menghubungi orang yang akan membuatmu masuk penjara!”

“Siapa? Namja manis itu? Atau pacarnya yang super tinggi?”


BUG


Sekali lagi, Kyuhyun memukul Sungmin dengan balok, seperti yang ia lakukan pada seluruh penjaga rumah ini, hingga pingsan.

“Oppa!”

“Sebaiknya kalian ikut aku, karena Jino sudah menunggu kalian di sana.”

“Apa yang kau lakukan pada Jino?”

“Kau peduli pada orang yang sudah membohongimu? Naif.”

“Dia tidak pernah membohongiku, dia mencintaiku.”

“Memangnya kau tahu perasaannya yang sebenarnya? Dia hanya menganggapmu sebagai sisa rokok yang harus di buang. Sesuatu yang harus dilenyapkan agar keluargamu tidak sombong dan merasakan apa yang kami rasakan.”

“Tolong jangan sakiti Jino...aku...aku yang salah...aku yang salah karena menjadi gadis yang lemah...aku...”


_flashback end_

***

Sunny harus menahan sakit di dadanya sekuat tenaga, karena kini hanya dia yang bisa menyelamatkan Sungmin, ya, hanya dia. Sunny tidak peduli jika Kyuhyun menembaknya saat dia mengangkat Sungmin dengan tubuh kecilnya itu, dia tidak peduli, karena sekarang yang dia pedulikan adalah nyawa Sungmin. Setidaknya jika dia harus tiada hari ini, dia masih bisa menyelamatkan Oppanya.

“Oppa, ayo kita ke rumah sakit dan mengobati lukamu.”

“Soonkyu-ah, kau tidak usah memedulikanku. Aku...aku akan membayar semuanya.”

“Ish, aku benci sekali melihat drama seperti ini. Untung saja adikku belum bangun, karena jika dia bangun, dia akan menjadi pemberontak lagi,” remeh Kyuhyun.

Sekarang kondisi Sunny lebih memungkinkan untuk membawa Sungmin pergi, ketimbang kondisi Sungmin yang sudah sangat lemah.

“Kalian kira aku akan mengizinkan kalian untuk lari? Sudah bertahun-tahun aku menunggu saat yang tepat seperti ini. Membawa kalian berdua ke taman belakang panti asuhan, mengintimidasi kalian, lalu...pada akhirnya aku akan membunuh salah satu dari kalian. Bukankah menyenangkan? Tidak setimpal dibanding apa yang sudah keluarga kalian lakukan pada keluargaku.”


“Itu bukan salah keluarga Lee atau siapapun, Cho Kyuhyun.”


Kyuhyun, Sunny, dan Sungmin menoleh ke sumber suara. Ternyata itu suara Chanyeol. Baekhyun juga ada di sampingnya. Sebenarnya Baekhyun ingin segera menyelamatkan Sunny dan Sungmin, tapi Chanyeol menahannya karena Kyuhyun belum tahu yang sebenarnya.

“Oh, pahlawan kesiangan datang.”

“Boleh kutahu apa alasanmu membenci keluarga Lee selain Sungmin-hyung yang memarahi adikmu?”

“Heuh...sebenarnya aku malas menceritakannya, tapi tidak apa-apalah untuk sekedar mengingatkan betapa kejamnya keluarga Lee. Kalian pasti tahu kenapa aku dan adikku masuk panti asuhan. Iya, karena kedua orangtua kami bunuh diri. Orangtua kami bunuh diri karena tekanan dari keluarga Lee. Cih, perusahaan kredit yang memalukan, mengintimidasi klien agar membayar hutang secepatnya. Mereka pergi karena orangtua kalian yang jahat itu mengintimidasi orangtuaku! Saat perayaan ke dua tahun panti ini, aku langsung tahu kalau dua orang itulah pemilik perusahaan kredit tempat orangtuaku meminjam. Kalau bukan karena mereka...mungkin sekarang orangtuaku masih ada, masih memeluk kami.”

“Benarkah seperti itu?” Chanyeol kembali bertanya.

“Lalu apa lagi? Sudah jelas di dekat TKP ada berkas-berkas hutang. Sudah pasti mereka memaksa orangtuaku untuk membayar sampai orangtuaku tertekan.”

“Begitu cepat seorang Cho Kyuhyun yang dinobatkan sebagai lulusan terbaik dari universitas di London mengambil kesimpulan.”

“Sebenarnya apa maumu, Park Chanyeol?”

“Baca ini.”

Chanyeol melemparkan sebuah buku dan buku itu jatuh tepat di hadapan Kyuhyun. Kyuhyun hanya memandang buku itu tanpa menyentuhnya.

“Kenapa? Kau takut jika kenyataan dari simpulanmu itu salah? Ayo baca.”

“Apa ini?”

“Aku tidak menyangka seorang yang rela mati untuk anaknya, memunyai anak sejahat ini.”

***

_flashback_


“Apa kau yakin jika kita menemukan buku diari Eommamu kita bisa menyelamatkan Sunny?”

“Semoga, Baekhyun.”

“Tapi bukankah kau bilang buku diari Eommamu ada banyak? Lalu kita harus mengambil yang mana?”

“Eomma selalu mengarsipkan semuanya dengan rapi, maksudku dia akan menulis kenangannya berdasarkan buku yang sudah dia beri judul. Jadi jika Eomma punya sahabat, dia pasti mengarsipkannya dalam buku tertentu.”

“Jadi...”

“Ah! Ini dia!”


_flashback end_

***

Kyuhyun meletakan pistolnya di saku lalu mengambil buku itu. Matanya membesar melihat semua tentang Eommanya ada dalam buku ini. Bahkan ketika dia baru dilahirkan atau saat Jino masuk TK, semuanya ada di sini. Kyuhyun mencari halaman yang dimaksud Chanyeol, tentang kesalahannya dalam membuat simpulan. Dia terus mencari sampai tangannya berhenti, dia ingat tulisan tangan Eommanya, iya, ini tulisan Eommanya. Ada kertas lain di halaman itu seperti tempelan, seperti pesan terakhir Eommanya pada sahabatnya itu.



Park Soojin. Apa kabarmu?

Maaf ya karena aku jarang menghubungimu lagi. Aku sedang sibuk mencari biaya pendidikan Kyuhyun dan Jinho. Kau ingat mereka, kan? Kalau Kyuhyun kau pasti tahu walaupun aku jarang membawanya ke rumahmu, tapi Jinho itu anak keduaku yang waktu itu berfoto bersama kita. Kau ingat kan sekarang? Sudah lebih dari tiga tahun aku menghilang, ya? Hahaha, aku juga bingung kenapa hidupku jadi seperti ini.

Ahiya, aku mau menceritakan sesuatu padamu. Ini kisah tentang orangtua yang juga bekerja keras demi anaknya yang sedang sekarat, Soojin. Aku meminjam uang pada perusahaan mereka, tapi belum bisa melunasinya. Aku bodoh, ya? Sudah tahu suamiku pasti tidak bisa bayar, tapi aku bersikeras meminjam. Aku tidak kuat melihat mereka yang berusaha menolong anak mereka, Soojin. Mereka begitu tulus meminjamkan pinjaman pada orang sepertiku, bahkan mereka tidak memaksaku untuk melunasinya setelah mendengar ceritaku. Hatiku seakan melemah melihat ketulusan mereka. Tapi apa kau tahu yang lebih menyakitkan? Suamiku belum sembuh juga dari penyakit judinya. Aku benci itu. Aku...ingin membunuh lelaki itu. Aku ingin membebaskan anak-anakku dari belenggunya. Tapi bukankah itu kejam? Bukankah kalau aku membunuhnya, posisiku sama sepertinya? Aku pasti akan membuat anak-anakku sedih.

Soojin...aku tidak punya pilihan lain...

Aku membunuhnya, Soojin...

Saat anak-anakku berkemah, aku membunuhnya...

Aku pembunuh, Soojin...

Aku tidak punya pilihan lain...

Daripada aku hidup sebagai pembunuh di mata anak-anakku, sebaiknya aku juga tiada...

Tolong jangan katakan ini pada anak-anakku kecuali mereka siap membacanya, Soojin.

Tolong biarkan mereka bebas dan hidup seperti anak-anak kebanyakan tanpa kami...

Tolong, Soojin...



Selesai membaca surat itu, tangan Kyuhyun melemas, semua dendamnya meluruh berganti penyelasan mendalam. Dia terlalu cepat mengambil simpulan. Bodoh...sangat bodoh...

“Aku telah mengubah adikku menjadi pembohong...aku menyakiti Sunny yang tidak tahu apa-apa...aku melukai Byun Baekhyun dan adiknya tanpa penyesalan...”

Tubuh Kyuhyun roboh, dia menyesali semuanya, dia...menyesal.


BUG


“Chanyeol!”

“Baekhyun, ini untuk kasus penyeranganmu. Bukankah waktu itu aku sudah pernah bilang, kalau aku akan memukul namja sialan yang sudah melukaimu? Hanya satu pukulan tidak setimpal dengan darah yang keluar dari tubuhmu yang tidak bersalah itu. Aku ingin sekali darah dibayar dengan darah, tapi aku masih punya akal sehat. Aku akan melaporkanmu dan adikmu ke kantor polisi.”

“Tolong tangkap aku saja, aku yang bersalah, adikku sama sekali tidak bersalah.”

“Mau bagaimanapun Jino membantumu dalam rencana ini, dia juga bersalah.”

“Jinho...maafkan Hyung...”

“Eommaku meninggal sebelum mengatakan semuanya padamu, andai saja aku tidak melewatkan diari itu, mungkin semuanya tidak akan rumit seperti ini. Heuh...aku juga bodoh nih.”

“Chanyeol-ssie, aku sekarang yakin, kau lelaki yang tepat untuk Baekhyun,” ucap Sunny tiba-tiba.

“Eh? Hahahaha, tentu saja. Aku mencintainya begitupun dia. Ahiya, ayo kita bawa Sungmin-hyung ke rumah sakit.”

Chanyeol mengangkat tubuh Sungmin dan memasukannya ke dalam mobil taksi yang Baekhyun pesan beberapa saat lalu, dia juga membantu Baekhyun untuk mengangkat Jino yang masih pingsan. Setelah memasukannya, Chanyeol menyuruh Baekhyun dan Sunny untuk ke rumah sakit duluan, karena ada yang harus dia urus sedikit lagi dengan Kyuhyun. Selepas kepergian taksi itu, Chanyeol kembali ke tempat Kyuhyun yang sedang membaca ulang isi surat terakhir Eomma Kyuhyun.

“Jangan salahkan Eommamu atau Appamu, Kyuhyun-ssie.”

“Cih, kau tahu apa, Detektif amatiran.”

“Dulu aku sempat membenci Eommaku karena dia terus-terusan menceritakan anak sahabatnya yang sangat pintar, tidak kusangka itu kau, tapi setelah kupikirkan lagi...untuk apa aku membenci orang yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkanku ke dunia ini. Begitu juga Eommamu, Kyuhyun-ssie. Eommamu melakukan ini karena terpaksa, dia hanya berfikir jika dia dan Appamu pergi, kehidupanmu akan lebih baik dari sebelumnya, karena dia tahu, kau memiliki potensi untuk lebih maju ketimbang Appamu yang gila judi itu. Eommamu rela membunuh dan juga meninggal karena kalian, Kyuhyun-ssie. Jadi jangan membenci mereka.”

“Aku...aku tidak pernah membenci mereka...aku tidak pernah membenci Appaku yang gila judi atau Eommaku yang bisa membunuh Appaku. Aku hanya membenci takdirku.”

“Takdir...kalau kau bilang kau membenci takdir, itu artinya kau membenci Tuhan yang sudah memberikan kehidupan untukmu, Kyuhyun-ssie.”

“Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Yang harus kau lakukan adalah melenyapkan kebencianmu.”

“Mwo?”

“Kebencian yang kau ciptakan di hatimu membuatmu salah dalam menarik simpulan, bukan? Maka dari itu, lenyapkan perasaan itu dan hiduplah tanpa beban setelah kau keluar dari penjara, Kyuhyun-ssie. Aku tahu beban tidak akan pernah hilang dalam hidup ini, tapi...tolong jangan campurkan dendam di dalamnya. Karena beban itu akan semakin berat jika kau mengasahnya dengan dendam dan kebencian.”

“Tidak salah jika dulu Eommaku begitu mengagumimu,” ucap Kyuhyun sambil tersenyum tipis dan berdiri.

“Nde?

“Seorang anak kecil yang mampu mengatakan hal-hal yang hanya mampu diucapkan oleh orang dewasa di depan orang banyak itu kau, kan?”

“Kapan ya? Aku lupa, hehehe.” Chanyeol menggaruk kepalanya bingung.

“Hahaha, kau orang yang menarik, Chanyeol. Kuharap setelah aku keluar dari penjara, aku bisa belajar banyak darimu tentang kehidupan. Kita sama-sama tidak punya orangtua, jadi mungkin kita akan cocok.”

“Kalau itu, aku sudah tidak memermasalahkannya, karena sekarang ada Baekhyun yang sudah kuanggap sebagai Eomma sekaligus Appaku. Dia benar-benar mengurusku seperti anaknya. Haduh...orang itu benar-benar cerewet. Tapi kalau bicara soal cocok, mungkin kita bisa cocok.”

“Ada satu rahasia lagi...”

“Ohya?”

“Aku juga mencintai Sunny, tapi aku tidak mungkin merebut senyum itu dari adikku sendiri. Takdir begitu kejam, bukan?”

***

Sungmin sudah melewati masa kritisnya, tapi dia belum siuman karena obat bius, sedangkan Jino sudah bangun setelah pengaruh obat bius dari Kyuhyun habis. Sunny dan Baekhyun sepakat untuk menemui Jino di kamarnya setelah mendapat izin dari dokter.

Saat Sunny dan Baekhyun masuk ke kamar Jino, lelaki itu tidak berani bertatap muka dengan keduanya, jadi dia hanya menunduk.

“Hya, Cho Jinho-ssie,” panggil Baekhyun, tapi Jino tidak bergeming dari posisinya semula.

“Jino...”

Baru setelah mendengar suara lembut Sunny, namja itu mengangkat kepalanya.

“Aigo...giliran Sunny yang memanggil kau langsung mengangkat kepalamu! Dasar ganjen!” Kesal Baekhyun.

“Byunnie, berhentilah menggoda Jino,” balas Sunny. Baekhyun hanya terkekeh aneh.

“Maafkan aku...,” lirih Jino tiba-tiba, “jeongmal mianhae...,” lirihnya lagi.

Sunny dan Baekhyun duduk mengapit Jino dan merangkul masing-masing sisi pundak Jino.

“Kenapa harus minta maaf?”

“Sunny-ah...”

“Hya, Jino-hyung! Kalau kau minta maaf dengan lemah begini, aku yakin Sunny tidak akan menyukaimu lagi.”

“Byunnie!”

“Ne-ne, Sunny.”

“Aku minta maaf karena sudah membohongi kalian tentang identitasku, dan terlebih padamu, Baekhyun, aku tidak menyangka Hyungku akan menggertakku dengan melibatkanmu dalam rencana ini.”

“Tidak apa-apa, itu seru,” hibur Baekhyun.

“Se-seru?”

“Ne! Aku tidak pernah merasakan sakit seperti itu! Aku juga tidak pernah merasakan marah yang sangat-sangat-sangat...marah seperti itu. Hahahaha.”

“Kau hampir mati dan kau masih menertawai itu?” Heran Jino.

“Aku santai begini karena percaya, uri Jino tidak mungkin melakukannya.”

“Tapi tetap saja...”

“Sudahlah, Jino.”

Jino menoleh ke arah Sunny yang tidak tahan dengan perdebatan kecil itu.

“Aku tidak pernah marah pada Hyungmu dan kau. Aku juga pasti akan melakukannya jika aku dalam posisimu.”

“Benarkah? Kau akan melukai orang juga?” Tanya Baekhyun jahil.

“Byunnie, kau ini benar-benar!”

“Hehehe, maafkan aku, Sunny.”

“Sunny, apa penyakitmu...” Jino bertanya saat ingat perkataan Kyuhyun tempo lalu mengenai penyakit Sunny.

“Aku bisa megatasinya, aku akan terus sehat karena kalian mau itu, kan?”

“Tentu saja, Sunny! Kau itu menanyakan hal yang konyol!” Seru Baekhyun yang sekarang sangat bersemangat untuk mem-bully sahabat-sahabatnya itu.

“Ngomong-ngomong, kalau aku masuk penjara nanti, kalian jangan melupakanku, ya,” pinta Jino.

“Ish, kau bica—“

Baekhyun menghentikan omongannya karena Sunny sudah menatap tajam Baekhyun.

“Kami akan selalu mengunjungimu. Kami masih di sini, Jino, dan akan selalu di sini untuk menjadi orang yang bisa kau percaya sampai kapanpun.”

“Gomawo, Sunny, Byunnie.”

“Aku juga akan menunggumu,” ucap Sunny tegas.

“Nde?”

“Aku akan menunggumu mengatakan hal itu lagi,” ucap Sunny sambil menunduk malu.

“Hal apa?”

“Jino bodoh!” Baekhyun sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan Jino yang lambat menangkap suasana.

“Ah, sudahlah, aku keluar dulu, ya. Kyungsoo dirawat di kamar sebelah, kalau kalian mau berkunjung, silahkan. Tapi sebelumnya kalian harus menyelesaikan urusan kalian dulu.”

“Dasar banyak omong,” ledek Sunny.

“Wee.” Baekhyun menjulurkan lidahnya dan berlari keluar.

***

Baekhyun menutup pintu kamar Jino sambil tersenyum. Senyum yang menandakan ia lega...sangat lega.

“Semoga kalian bisa terus bersama dan semoga...tidak ada lagi kesalahpahaman.”

“Salah paham itu wajar kalau di sana ada kasih sayang.”

Baekhyun sangat kaget dengan suara itu, suara bass Chanyeol memang menyeramkan kadang-kadang.

“Hya, kau mengagetkanku,” ucap Baekhyun sambil mengelus dadanya seperti kaget.

“Kau kan sudah sering mendengar suaraku, untuk apa kaget begitu?”

“Aku kan sedang melamun, kau tiba-tiba saja datang dan mengucapkan hal aneh begitu.”

“Hal aneh apa?”

“Pokoknya aku tidak suka yang namanya salah paham.”

“Ne-ne, kalau begitu bagaimana kalau sekarang kita tidur menemani malaikat kecilmu?”

“Sudah malam begini apa Kai masih di sana, ya?”

“Tentu saja dia masih di sana, kalau tidak, akan kuhajar lelaki itu.”

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan That’s news!, Channie?

“Aku akan mengurusnya besok bersama Suho-hyung. Kau hanya harus duduk tenang dan menungguku kembali dengan kabar baik. Aku juga baru tahu kalau perusahaan kita ditutup itu karena laporan palsu dari Kyuhyun.”

“Nde? Jadi Kyuhyun-ssie juga menyerang kantor kita?”

“Hehehe, tidak apa-apalah, kan dengan begitu kita bisa fokus pada permasalahanmu.”

“Jadi besok That’s news! dibuka lagi?”

“Sepertinya lusa baru bisa, kita kan belum punya berita untuk koran kita.”

“Fiuh...aku lega sekali semuanya sudah selesai.”

“Ne, besok kita ke tempat itu lagi, yuk?”

“Kemana?”

“Tempat kenangan kita yang pertama.”

“Apartemen?”

“Byun Baekhyun! Aish, chinca...kau ini lebih pelupa dariku.”

“Ke tempat apa sih?”

“Ah, sudahlah, malas deh.”

“Eh? Kau marah, Channie?”

“Huh.”

“Chanyeollie...pacarku tersayang...,” goda Baekhyun seraya menoel-toel(?) punggung Chanyeol dengan jahil.

“Hentikan, itu menggelikan,” ucap Chanyeol sambil menahan tawa.

“Hihihi, aku tidak lupa kok. Setelah mengantar Kyungie pulang dan kembali menyuruh Kai menjaganya, kita ke sana.”

“Jadi kau ingat?”

“Rumahmu, kan?”

“Hya! Dasar...”

Baekhyun hanya tertawa melihat ekspresi Chanyeol yang seperti kepiting rebus karena ulahnya, sedangkan Chanyeol terus mencubit pipi Baekhyun sepanjang jalan.

***

Pagi ini Baekhyun, Chanyeol, Sungmin, dan Sunny mengantar Kyuhyun dan Jino yang menyerahkan diri ke kantor polisi. Teman-teman Jino di kantor polisi sangat kaget melihat laporan penyerahan diri itu. Jino hanya tersenyum menanggapi pertanyaan teman-temannya. Awalnya Jino ingin melepas pekerjaannya juga selepas masa hukumannya, tapi pimpinan agensinya tidak mengizinkan Jino pergi, dia ingin Jino menjadi detektif yang lebih baik lagi setelah ini.

“Gomawo sudah mengantar kami, ya,” ucap Jino.

“Hei, kau sudah ingat apa yang akan kau katakan pada Sunny nanti, kan?” Bisik Baekhyun.

“Serahkan saja padaku, Baekkie. Hehe.”

“Oiya, aku masih penasaran dengan kata-kata terakhirmu di buku tahunan tentang kejutan spesial yang ingin kau berikan pada Baekhyun dan Sunny jika kalian bertemu lagi.”

“Ingatanmu hanya kuat dalam masalah seperti ini, Channie,” ucap Baekhyun dibalas tatapan sinis Chanyeol yang terkesan pura-pura.

“Ahiya, aku hampir lupa. Ini...”

Jino mengeluarkan kertas berisi gambar dari pensil, di gambar itu ada dirinya, Baekhyun, dan Sunny. Tapi...gambar itu benar-benar...err...

“Buff...”

“Kalau mau tertawa, tertawa saja.”

“Buahahaha! Kau yang menggambarnya? Je—, aw!” Sunny menginjak kaki Baekhyun sangat kencang untuk menutup mulut Baekhyun yang tergolong ceplas-ceplos.

“Kalau kau keluar nanti, aku akan mengajarimu menggambar lebih baik dari ini, eoh?”

“Ah...sudah kuduga gambar ini tidak bagus, aku selalu berusaha menggambar bagus seperti yang dilakukan Kyuhyun-hyung, tapi tetap saja bakatku bukan menggambar.”

“Itulah gunanya Sunny ada untukmu, Jino,” ucap Baekhyun yang mulai bisa mengontrol kata-katanya. Dia memang seperti itu jika berhadapan dengan dua sahabatnya.

“Ne, tunggu aku, ya.”

“Selalu.”

Jino dan Kyuhyun pun masuk ke dalam ruang tahanan. Mereka sama sekali tidak sedih, mereka justru senang karena penyesalan mereka terbayar. Semoga semua akan menjadi lebih baik setelah hukuman ini selesai.

***

Sesuai rencana, sore itu setelah mengantar Kyungsoo ke apartemen dan menyuruh Kai untuk menjaga Kyungsoo karena Kyungsoo belum sepenuhnya sembuh, Baekhyun dan Chanyeol pergi ke bangku hijau tua tempat mereka berbaikan dulu. Menurut mereka, kebersamaan kali ini sangat spesial, mengingat bagaimana mereka melewati semuanya bersama, melewati semuanya dengan airmata dan tawa, akhirnya...semua selesai, akhir yang bahagia.

“Akhirnya penantianku selesai sudah,” celetuk Baekhyun membuka pembicaraan.

“Penantian seperti apa?”

“Ya semuanya.”

“Semuanya itu seperti apa, Byunnie?”

“Kau juga pasti tahu, Chanyeol. Semuanya itu tentang perasaan kita,” tegas Baekhyun.

“Hihihi, aku jadi ingat pertama kali kita jadian. Waktu itu kita berdebat tentang telepon dari Sunny. Kukira dia benar-benar hantu,” kenang Chanyeol

“Ne, aku juga masih ingat wajah ketakutanmu saat melihat Sunny di depan pintu.”

“Aku tidak takut, hanya lengah.”

“Ih, dasar gengsian.”

“Biar saja, kan di depan pacarku sendiri.”

“Hei, kalau aku di posisi Sunny, kau akan mencelakaiku juga tidak?”

“Tidak,” jawab Chanyeol dengan yakinnya.

“Benar?”

“Ne, aku tidak akan melukaimu. Aku kan mencintaimu lebih dari apapun, wuahahaha.”

Baekhyun kaget mendengar tawa itu, yaampun, sepertinya Chanyeol sedang girang atau...gila?

“Jangan tertawa seperti itu dong! Aku kan kaget!”

“Memangnya tawaku kenapa?”

“Menakutkan! Kau tahu itu?”

“Seperti apa? Coba contohkan.”

“Wuahahaha.”

“Tidak, tawa itu sama sekali tidak menakutkan.”

“Itu kan aku yang tertawa! Oiya, aku baru ingat. Kenapa waktu Eommamu masih hidup, kau tidak kenal dengan Kyuhyun maupun Jino? Eommamu dan Eomma mereka kan bersahabat.”

“Kau kan tahu aku pelupa, mana mungkin aku ingat wajah orang lain yang sudah 15 tahun tidak bertemu.”

“Ne, kau sangat-sangat pelupa.”

“Ya...yang penting aku tidak akan melupakanmu.”

“Cih, gombal.”

“Gombal apanya? Itu kan sungguhan! Daripada kau, kau itu polos, atau mungkin aku bisa bilang kau bodoh?”

“Tega sekali sih! Dasar namja abnormal!” Kesal Baekhyun sambil melipat tangannya di depan dada.

“Hya! Kenapa abnormal?”

“Tinggimu abnormal! Gigimu abnormal! Rambutmu abnormal!”

“Haduh...aku frustasi sekali punya pacar sepertimu!”

“Kalau frustasi ya...jangan frustasi dong!”

“Nde?”

“Jangan frustasi, karena aku tidak mau kau frustasi.”

“Memangnya kenapa kalau aku frustasi?”

“Aku takut...kau meninggalkanku kalau kau frustasi.” Baekhyun menunduk malu karena tidak menyangka akan mengatakan hal seperti itu. Aigo...

“Makanya jangan buat aku frustasi.”

“Kalau kita membicarakan frustasi, aku yang akan frustasi menanggapi perkataan frustasimu.”

“Kau benar-benar menggemaskan, Byunnie.”

“Ciee, kata itu lagi! Aku sudah lama tidak mendengarnya. Kau benar-benar sudah frustasi, ya? Wuahahaha.”

Chanyeol memukul kepala Baekhyun pelan, karena kesal juga mendengar tawa Baekhyun sepanjang pembicaraan. Tiba-tiba Chanyeol memegang pundak Baekhyun seperti mengunci tubuh itu untuk diam. Chanyeol menatap Baekhyun lekat dan Baekhyun hanya tersenyum. Chanyeol ikut tersenyum lalu mengecup bibir Baekhyun lembut. Baekhyun memejamkan matanya dan merasakan setiap detail kelembutan yang Chanyeol berikan untuk hidupnya. Baekhyun berjanji akan menjadikan Chanyeol sebagai satu-satunya pendamping hidupnya. Karena Chanyeol masih di sini, masih di hatinya yang luas. Seperti yang dia bilang dulu, Chanyeol adalah bagian terpenting dalam hati itu dibanding yang lain.

“Aku mencintaimu, Baekhyun. Kau percaya, kan?” Tanya Chanyeol saat melepas ciumannya.

“Ne, aku percaya.”

“Sama, Baekhyun. Sangat sama dengan perkataan yang ingin kuucapkan.”

Chanyeol kembali menyentuh bibir Baekhyun dengan bibirnya, memberikan kehangatan di malam terakhir musim dingin.


Aku masih di sini dan akan menjadi orang yang bisa kau percaya sampai kapanpun.


END

A Fanfiction - Still Here_Baekyeol/Chanbaek Chapter SIX


Still here


Tittle: Still here
Author: Fie
Genre: Mystery, romance, Shounen-ai (Boys Love), drama
Rated: 15+
Pairing: Baekyeol/Chanbaek
Length: multichapter
Main Cast
- Byun Baekhyun
- Park Chanyeol
- Cho Jinho (Jino)
- Lee Soonkyu (Sunny)
- Lee Sungmin
- Cho Kyuhyun

Support Cast
- Kim Jongin (Kai)
- Oh Sehun
- Do Kyungsoo (D.O)
- Kim Joonmyun (Suho)
- Kim Minseok
- Xi Luhan



Summary:

Aku masih di sini dan akan menjadi orang yang bisa kau percaya sampai kapanpun.


ENAM



“Chanyeol! Hubungi ambulan!”
“Sial! Ini pasti perbuatan orang yang menyerangmu waktu itu, Baekhyun! Dia mengirimi Kyungsoo kue ini!”
“Orang itu...aku tidak akan melepaskannya lagi.”
Chanyeol segera menghubungi rumah sakit dan tidak lama kemudian ambulan datang. Baekhyun terus menggenggam tangan Kyungsoo sambil menatap wajah adiknya dengan raut dendam. Chanyeol yang menemaninya ingin menenangkan Baekhyun, tapi ia rasa ini bukan saat yang tepat. Suara gemeretak gigi Baekhyun terdengar jelas, menandakan Baekhyun sedang sangat marah.
“Byunnie, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit.”
“Selama Kyungie dirawat, tolong temani dia. Aku harus ke suatu tempat sebentar.”
“Kemana, Baekhyun?”
“Aku harus ke rumah Sunny, aku ingin menemui Sungmin-hyung.”
“Untuk apa?”
“Pokoknya aku harus menemuinya.”
“Apa kamu mau...”
“Tidak, untuk masalah seperti ini aku akan menyerahkan semuanya padamu.”
“Lalu?”
“Aku belum bisa mengatakannya, Channie. Aku yakin kau bisa menemukannya sendiri.”
“Baiklah, aku tidak akan mengekangmu, Byunnie. Lakukan semua keputusan terbaikmu. Aku hanya bisa mengingatkan, pakai hatimu, jangan amarahmu.”
“Gomawo, Channie. Tolong hubungi aku jika Kyungsoo sudah bangun, aku memegang ponselnya,” ucap Baekhyun sambil menimang ponsel Kyungsoo.
“Pasti, Byunnie. Kau juga, segera hubungi aku jika kau butuh bantuan.”
Baekhyun mengangguk dan berlalu. Dia kepalkan tangannya untuk menahan semua amarahnya, hentakan langkah Baekhyun terdengar berat tapi mampu menghasilkan bunyi nyaring di lantai rumah sakit. Dia benar-benar marah.
“Tidak ada yang boleh menyakiti adik kesayanganku.”
Chanyeol memandangi Baekhyun sampai kekasihnya itu menghilang dari hadapannya. Chanyeol tidak mencemaskan Baekhyun, karena dia tahu apa yang akan dilakukan Baekhyun.
“Aku akan membantumu, Baekhyun. Selalu.”

***

Baekhyun tiba di kediaman keluarga Lee. Dia langsung meminta penjaga memanggilkan Sungmin tanpa menerima ajakan masuk. Sesaat kemudian, sang pelayan keluar tanpa Sungmin.
“Tuan Sungmin sedang tidak ada di rumah, Tuan.”
“Aku tahu kau berbohong. Katakan, orang yang bertemu dengannya adalah Byun Baekhyun.”
“Tapi Tuan Sungmin benar-benar tidak ada, Tuan.”
“Kalau begitu biarkan aku masuk ke kamarnya.”
“Tidak boleh, itu menyalahi aturan, Tuan Byun.”
“Aku akan terus menunggunya. Pokoknya aku harus bertemu dengannya.”
“Silahkan Anda menunggunya.”
Pelayan lelaki itu masuk dan menutup pintu. Baekhyun terus berdiri di sana karena dia tahu, Sungmin ada di rumah.
“Aku akan menunggumu! Aku tidak akan pergi dari sini sebelum kau keluar!”

10 menit...
15 menit...
25 menit...
30 menit...

Krett

“Masuklah.”
“Akhirnya kau keluar, tidak sia-sia aku menunggumu.”
“Masuklah, Baekhyun.”
“Tidak, Hyung. Aku ingin bicara denganmu di sini.”
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Jangan sentuh adikku!”
“M-mwo?”
“Kalau kau berani menyentuh adikku, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!”
“Apa yang kau bicarakan, Baekhyun?”
Baekhyun tidak menjawab pertanyaan Sungmin dan langsung berlari pergi.
“Baekhyun! Apa maksudmu?!”
Baekhyun tersenyum kecil, sebuah senyum yang menyiratkan sesuatu. Seperti ada yang sedang dia rencanakan.

***

Ponsel Kyungsoo bergetar saat Baekhyun tiba di depan gerbang rumah sakit. Panggilan dari Chanyeol itu sengaja tidak dia angkat karena dia akan tiba di UGD sebentar lagi.
“Channie!”
“Ah, Baekhyunnie. Tadi Dokter bilang Kyungsoo sudah melewati masa kritisnya.”
“Jadi sekarang kita boleh masuk?”
“Kyungsoo akan dipindahkan ke kamar rawat inap dulu.”
“Kau yang memesan kamarnya?”
“Ne.”
Tak berapa lama Kyungsoo yang belum sadarkan diri dibawa ke kamar inap diikuti Baekhyun dan Chanyeol. Keduanya belum memberitahu pada yang lain karena malam sudah cukup larut, mungkin besok. Setelah mendapat izin dari dokter dan pihak rumah sakit untuk menginap di kamar Kyungsoo, Chanyeol menyuruh Baekhyun tidur karena hari ini adalah hari yang panjang untuk Baekhyun. Tapi Baekhyun menolak karena ingin terus menatap wajah Kyungsoo sambil memegangi tangannya. Chanyeol akhirnya tidak lagi menyuruh Baekhyun tidur, mungkin malam ini mereka bisa mengobrol.
“Chanyeol, apa kau menemukan perkembangan dari kasus Sunny?”
“Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
“Jawabanmu benar-benar menyebalkan.”
“Jika aku menceritakannya padamu, aku takut kau malah marah.”
“Ceritakan saja, Channie.”
“Uhm...sebelumnya aku ingin bertanya, menurutmu siapa orang yang benar-benar ingin tahu keberadaan Sunny?”
“Kita semua menginginkannya, Channie. Itu pertanyaan yang umum.”
“Coba dipikirkan baik-baik, Baekhyun. Kira-kira siapa orang yang dari awal pencarian sangat terobsesi menemukan Sunny?”
Sebenarnya Baekhyun tahu jawabannya, tapi dia terlalu takut untuk menjawab. Chanyeol tidak sadar pada perubahan sikap Baekhyun, dia kira itu hanya reaksi Baekhyun yang masih sedih melihat adiknya kritis. Malam semakin larut, tapi Baekhyun dan Chanyeol terus mengobrol. Di dalam obrolan itu begitu banyak penekanan pada perasaan Baekhyun, antara tidak percaya dan tidak mau percaya.
“Channie...”
“Ne, Byunnie?”
“Bagaimana jika...orang yang melakukan kejahatan adalah orang yang sangat kita sayang?”
Chanyeol terdiam, akhirnya Baekhyun menyadarinya. Dia yakin tadi Baekhyun menemui Sungmin untuk urusan itu.
“Bagaimana jika...aku tidak bisa membuktikan kalau dia tidak bersalah?”
“Baekhyunnie...”
“Aku melihat mata itu saat aku diserang. Walaupun itu bukan dia, tapi aku yakin mereka terikat. Sejak wisuda SMA dulu...aku tidak pernah percaya pada kenyataan itu, lebih tepatnya tidak bisa percaya, Channie.”
“Jika orang itu memang menyayangi kita, orang itu pasti akan segera mengaku.”
“Aku sangat menyayanginya, Channie...”
Baekhyun mengeratkan genggamannya pada tangan Kyungsoo. Walaupun hati Baekhyun begitu sakit, tapi tak sedikitpun airmata yang keluar. Karena dia begitu lelah.
“Kenapa harus dia, Channie, kenapa?”
Chanyeol memeluk Baekhyun erat. Chanyeol mencoba menghangatkan hati Baekhyun lewat pelukannya. Chanyeol kecup kening Baekhyun lembut lalu mengelus rambutnya.
“Aku akan mencoba untuk menyelesaikan semuanya, Baekkie. Kau juga...harus menyelesaikannya.”

***

Pagipun tiba, Chanyeol menggerak-gerakan lehernya seperti senam untuk kesekian kali, Chanyeol sengaja tidak tidur untuk menjadi sandaran Baekhyun yang sekarang sedang tertidur lelap di pundaknya. Kyungsoo juga belum sadar, sepertinya efek obat dari rumah sakit sangat kuat.
“Sudah pagi, sebaiknya kuhubungi yang lain.”
Chanyeol mengambil ponselnya dari saku kemejanya, kemeja yang dibelikan Baekhyun. Dia kirim pesan singkat pada Kai, Sehun, dan Suho. Mungkin ini masih terlalu pagi untuk mengabari mereka, tapi mau kapan lagi? Pikirnya. Lalu Chanyeol menatap Baekhyun yang tertidur sambil menggenggam tangan adiknya.
“Semua orang akan melakukan segalanya untuk orang yang mereka sayangi. Sama sepertiku. Aku juga akan memertahankan That’s news! Aku pasti akan mengambil izin itu lagi.”
Beberapa saat kemudian, Baekhyun mulai menggeliat, Chanyeol meregangkan rangkulannya untuk memberikan keleluasaan pada Baekhyun. Akhirnya Baekhyun bangun dengan menguap kecil. Ia usap matanya dengan tangan kiri sedangkan tangan yang lain masih menggenggam tangan Kyungsoo.
“Oh, aku tertidur, Channie.”
“Ne, kau kelihatan sangat lelah kemarin.”
“Kau tidak tidur?”
“Aku tidur sebentar.”
“Jangan berbohong padaku, Channie. Walaupun kau berbohong untuk menjaga perasaanku, aku tetap tidak suka. Tolong jujurlah padaku untuk semua hal, eoh?”
“N-ne, Byunnie.”
“Sekarang kau harus istirahat.”
“Aku tidur di sini saja, Byunnie. Tidak apa-apa, kan?”
“Kau kira ini hotel? Hanya anggota keluarga yang boleh menemani pasien, kau harus pulang, Channie.”
“Tapi saat kau sakit kan aku di sini.”
“Yasudah, terserah kau saja kalau mau terganggu dengan dokter yang mengobati Kyungie.”
“Tidak apa-apa, yang penting aku harus berada di sampingmu.”
“Ahiya, kau sudah menghubungi Kai dan yang lain, kan? Aku rasa Kai tidak keberatan jika dia kusuruh menemani Kyungie sampai aku kembali atau kau bangun.”
“Kau mau kemana?”
“Ada yang harus kuurus sedikit lagi. Kau tidak usah khawatir, bukankah kemarin kau kulumpuhkan dengan jurusku?”
“Itu karena aku lengah, bagaimanapun aku harus bersamamu, Byunnie.”
“Jangan, kau harus menjaga Kyungie sampai Kai datang.”
Chanyeol berfikir keras, cukup lama, membuat Baekhyun gemas pada sikapnya. Baekhyun tiba-tiba mengecup pipi Chanyeol untuk menyadarkan Chanyeol dari dunianya.
“E-eh, kau tidak minta izin dulu mau menciumku, ya.”
“Kau juga sering mengecup keningku tanpa izin. Sudahlah, kau tidak boleh tidur sebelum Kai dan yang lain datang. Kalau Kyungie bangun, bilang saja aku akan segera kembali.”
“Baiklah, kau masih bawa ponsel Kyungie, kan?”
“Ne.”
“Hati-hati, Baekhyun. Oiya, kau harus mandi dulu sebelum mengurusi urusanmu.”
“Hahaha, saat Kai datang kau juga harus mandi, ya.”

***

Pagi ini Baekhyun ingin menemui Jino di kantornya, sesibuk apapun lelaki itu, Baekhyun harus menemuinya. Sesampainya Baekhyun di kantor Jino, Jino kebetulan sedang merokok di luar karena di kantornya dilarang merokok.
“Jino-ssie.”
“Ba-Baekhyun, kenapa kau tiba-tiba datang ke sini?”
“Kyungsoo diracun.”
“Mwo? Kapan? Kenapa kau tidak langsung menghubungiku?”
“Bisakah kau ikut denganku ke apartemen? Ada yang harus kubicarakan.”
“Apa Chanyeol ikut?”
“Tidak, hanya kita berdua.”
“Tidak mau ah.”
“Ayolah, Jino...aku merindukanmu...,” goda Baekhyun sambil menarik tangan Jino.
“Hei-hei-hei, aku masih punya pekerjaan.”
“Sebentar saja, Jino.”
“Kau butuh bantuanku mengenai kasus Kyungie, kan? Jangan bohong.”
“Hehe, iya, aku membutuhkanmu untuk memeriksa rumahku. Aku lebih percaya padamu ketimbang namja tinggi itu.”
“Baiklah, tunggu sebentar, ya.”

***

Baekhyun dan Jino tiba di apartemen Baekhyun. Begitu Baekhyun membuka pintu, Jino membelalakan matanya, karena lantai ruangan itu masih tersisa darah Kyungsoo.
“I-itu darah Kyungie?”
“Ne.”
“Kejadiannya kemarin malam dan kau langsung pergi?”
“Tepat. Sebentar ya, kubersihkan dulu.”
“Ne. Aku akan memeriksanya setelah kau bolehkan, oiya, boleh aku duduk duluan?”
“Silahkan, Jino.”
Jino memandang darah itu sebentar lalu segera mengalihkannya pada Baekhyun yang datang dengan lap basah. Mata Baekhyun berkaca-kaca, menahan sesuatu yang terus menghantuinya. Begitu Baekhyun selesai, dia langsung ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jino.
“Ini, minum dulu.”
“Baiklah.”
Baekhyun terus menatap Jino. Dia belum percaya pada perkataan Sunny maupun Chanyeol tentang Jino. Sahabatnya ini bukan pembunuh, bukan.
“Jino-ssie, aku mau menutup kasusku.”
“Nde?”
“Kasus tentang penyeranganku dan Kyungie. Aku ingin menutupnya.”
“Kau tidak percaya padaku?”
“Tidak, bukan begitu, Jino. Tadi kan aku bilang, kalau aku sangat memercayaimu. Hanya saja...sebaiknya kau fokus pada kasus Sunny.”
“Oiya, aku hampir lupa, Byunnie. Aku menemukan petunjuk baru, kemungkinan Sungmin-hyung menyembunyikan Sunny di sekitar rumah.”
“Darimana kau tahu?”
“Beberapa hari yang lalu aku mengikuti Sungmin-hyung. Dia pergi ke toko pakaian, tapi itu toko pakaian wanita, bukankah aneh? Sungmin-hyung kan tidak punya pacar. Dan lagi, Sungmin-hyung membawanya ke rumah.”
“Itu untuk Eommanya mungkin.”
“Lho, Eomma dan Appa Sungmin-hyung kan masih tinggal di pinggiran Seoul seperti orangtua kita.”
“Mungkin saat Sungmin-hyung berkunjung ke rumah orangtuanya, dia akan memberikan baju-baju itu pada Eommanya.”
“Tapi baju-baju yang dibeli itu untuk wanita seumuran Sunny.”
“Ah, aku sedang tidak nafsu membicarakan perkara itu.”
“Eh? Tumben, biasanya kau yang paling gencar dalam kasus ini.”
“Aku atau...kau?”
“A-aku juga kan sahabat Sunny, aku pasti juga gencar.”
“Oiya, kemarin aku bertemu dengan lelaki yang mirip sekali dengan hyungmu, Jino.”
“H-Hyungku? Hyungku kan...”
“Sudah meninggal? Aku tidak lupa, kok.”
“Baekhyun, aku datang ke sini bukan untuk mengobrol. Kalau kau mau menutup kasusmu, sebaiknya kita selesaikan di kantor.”
“Mana boleh...seorang detektif menyerah dalam sebuah kasus walaupun korban yang memintanya?”
“Te-tentu saja boleh. Kami bukan pemaksa.”
“Chanyeol sudah cerita banyak, banyak sekali.”
“Kau percaya pada detektif amatiran itu?”
“Amatiran? Walaupun aku lebih memercayaimu, bukankah kau sendiri yang bilang kalau Chanyeol sebenarnya bisa menjadi detektif handal?”
“Jangan terlalu percaya pada omongan pacarmu itu, Baekkie.”
“Aku memang tidak percaya.”
“Nah, kalau begitu aku boleh pergi sekarang?”
“Untuk apa terburu-buru, Cho Jinho?”
“Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu.”
“Aku tidak pernah tahu alasannya karena aku takut kau marah jika aku menanyakannya. Tapi sekarang aku mau mendengar alasan kenapa kau tidak suka dipanggil dengan nama aslimu, Jino.”
“Kenapa sikapmu jadi aneh begini sih, Baekkie? Kau sudah mengenalku selama 6 tahun, sedangkan dengan Chanyeol? Paling-paling 2 tahun, kan?”
“Darimana kau tahu aku mengenalnya selama 2 tahun?”
“Aku hanya menebak, tebakanku jitu, bukan?”
“Iya, sangat-sangat tepat. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum kau jawab, Jino. Kenapa sih kau menyembunyikan semua jawaban itu?”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kenapa kau tidak mau dipanggil Cho Jinho?”
“Aku hanya tidak suka saja.”
“Kau tidak suka atau takut?”
“Takut? Kenapa aku harus takut pada namaku sendiri?”
“Mungkin kau takut jika identitas aslimu ketahuan?”
“I-identitas? Sebenarnya kau sedang membicarakan apa sih?”
“Kemarin aku pergi ke jalan raya yang sering kita lalui saat SMP.”
“Ohya? Apakah masih sama? Kursi hijau tua yang dulu sering kita pasangi stiker masih ada, kan?”
“Ne, bahkan pahatan yang kalian buat untukku masih ada.”
“Fiuh...syukurlah kalau begitu.”
“Aku...”
Baekhyun terdiam agak lama, membuat Jino kebingunan dan mulai mendekati Baekhyun.
“Ada apa, Byunnie?”
“Setiap aku ke sana, orang yang pertama kali kuingat adalah Jino, baru kemudian Sunny di belakangnya. Itu karena...aku sangat percaya pada semua omongan Jino.”
“Ba-Baekhyunnie.”
“Aku selalu melihat sosok Jino sebagai sosok hyung yang kuat dan bertanggung jawab. Berhubung aku anak pertama, jadi itulah pertama kali aku merasakan kasih sayang kakak. Kadang-kadang, kalau kita sedang bermain, aku akan diam-diam memanggilmu Jino-hyung, tapi sepertinya kau tidak sadar. Kau juga yang selalu membantuku dalam kesulitan, entah itu dalam pelajaran atau perasaan. Maka dari itu...aku sangat menyayangi Jino.”
“Aku juga menyayangi Byunnie.”
“Tapi...aku takut jika suatu saat nanti Jino yang kusayang berubah menjadi sosok yang sangat kubenci.”
Jino terdiam, dia menatap Baekhyun lekat, karena...rahasia itu hampir terbongkar.
“Aku takut jika Sunny yang kusayang akan pergi karena perbuatanmu.”
“Baekhyunnie, aku harus pergi.”
“Tolong jangan lakukan itu, Jino. Jangan bunuh persahabatan ini.”
“Bukankah Chanyeol yang menceritakan semuanya padamu? Si ahli hipotesa itu kan yang menceritakannya?”
“Bukan hanya dia, Jino.”
“Lalu?”
“Sunny juga...sudah mengetahuinya.”
“Kau bilang kau percaya padaku, jadi kau harus tetap percaya padaku.”
“Hyungmu yang menyerangku dan Kyungie, kan?”
“Jika aku bisa menemukan Sunny lebih cepat, mungkin kalian tidak akan diserang.”
“A-apa?”
“Aku harus pergi.”
“Jino-hyung.”
“Tolong panggil aku Jinho, Byunnie. Aku merindukan nama itu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Jika aku bisa menyelesaikan ini, aku akan menceritakannya padamu.”
“Jino...”
“Aku akan menemukan Sunny lebih dulu, Byunnie. Aku berjanji akan melindungi Sunny dengan nyawaku. Karena aku sudah terlanjur mencintainya. Dan setidaknya...kau mengerti perasaan Hyungku.”

***

FLASHBACK

Di malam mereka mengobrol, kemarin malam...

“Coba dipikirkan baik-baik, Baekhyun. Kira-kira siapa orang yang dari awal pencarian sangat terobsesi menemukan Sunny?”
“Aku tidak tahu.”
“Kau tahu, Byunnie. Aku yakin kau tahu.”
Baekhyun terus diam, tidak berani menjawab pertanyaan Chanyeol.
“Baekhyunnie, jawab.”
“Jino.”
“Baekhyun, aku bukannya mau menuduh Jino. Tapi...semua terasa ganjil setelah kau diserang seminggu yang lalu.”
“Ke-keanehan seperti apa, Chanyeol?”
“Tadi siang Sungmin-hyung yang menceritakannya padaku. Sebenarnya Jino itu adalah anak angkat keluarga Cho. Keluarga sebelumnya juga bermarga Cho, jadi tidak ada perubahan dalam namanya. Jino punya seorang hyung bernama...Cho Kyuhyun. Mereka berdua diadopsi saat Jino berumur 10 tahun, hanya sekitar 5 bulan setelah mereka masuk panti itu. Orang bernama Cho Kyuhyun itu juga dia selidiki, Kyuhyun adalah seorang mahasiswa di London dan baru lulus dua tahun yang lalu. Kyuhyun kembali ke Korea untuk bertemu dengan Soonkyu yang membuka galeri lebih dulu di Korea. Baru dua tahun kemudian atau dengan kata lain, tahun ini, Kyuhyun pulang ke London untuk mengejar strata 2 sekaligus mendirikan galerinya sendiri. Dua orang itu...mereka kakak-beradik.”
“Lalu apa penyebab kematian orangtua Jino?”
“Penyebabnya karena bunuh diri.”
“M-mwo?”
“Ne, modus bunuh diri itu tidak diketahui sebabnya sampai sekarang.”
“Lalu kenapa kau mencurigai Jino? Apa hubungannya dengan Sunny?”
“Apa kau tidak merasa aneh? Pertama, Jino selalu tahu keadaanmu tanpa kita beritahu. Kedua, Sungmin-hyung sama sekali tidak pernah menceritakan perihal kau bertemu dengan Sunny pada Jino. Lalu...kemana dia saat pemakaman Sunny? Apa dia bersembunyi untuk mencuri dengar pembicaraanmu dengan Sungmin-hyung?”
“Channie...”
“Ne, Byunnie?”
“Bagaimana jika...orang yang melakukan kejahatan adalah orang yang sangat kita sayang?”
“Bagaimana jika...aku tidak bisa membuktikan kalau dia tidak bersalah?”
“Baekhyunnie...”
“Aku melihat mata itu saat aku diserang. Walaupun itu bukan dia, tapi aku yakin mereka terikat. Sejak perpisahan itu...aku tidak pernah percaya pada kenyataan itu, lebih tepatnya tidak bisa percaya, Channie.”
“Jika orang itu memang menyayangi kita, orang itu pasti...akan segera mengaku.”
“Aku sangat menyayanginya, Channie...”
“Kenapa harus dia, Channie...kenapa?”
“Aku akan mencoba untuk menyelesaikan semuanya, Baekkie. Kau juga...harus menyelesaikannya.”

---

Tiga belas tahun yang lalu...

Baekhyun berkunjung ke rumah Jino bersama Sunny, tapi karena Sunny masih les, jadi Baekhyun datang pertama. Jino menyuruh Baekhyun menunggu di kamarnya. Saat Baekhyun melihat-lihat benda-benda di kamar Jino, tidak sengaja Baekhyun menemukan figura berisi foto Jino bersama seorang lelaki.
“Mirip sekali, apa ini hyung Jino?”

PRANG

Baekhyun terkejut mendengar bunyi gelas pecah dibelakangnya, tapi yang lebih mengagetkan saat Jino merebut figura yang sedang dia lihat.
“Siapa yang menyuruhmu untuk menyentuh barang-barangku?”
“Ma-maaf, Jino. Aku hanya penasaran pada figura itu. Dia hyungmu?”
“Ne.”
Jino memasukan figura itu ke laci meja kasar, seperti marah.
“Jeongmal mianhae, Jino. Aku benar-benar tidak tahu.”
“Sudahlah, lupakan saja.”
Baekhyun membantu Jino membersihkan gelas yang pecah tadi.
“Kemana hyungmu, Jino?”
“Dia sudah meninggal.”
“Ma-maaf, sekali lagi aku minta maaf.”
“Tidak apa-apa, Baekhyun. Tapi kau harus janji kau tidak akan mengatakannya pada Sunny, ne?”
“Ne, aku janji.”

***

FLASHBACK

Malam wisuda SMA

“Baekhyun, apa aku bisa bicara denganmu?” Bisik Sunny di sela-sela acara.
“Tentu saja, Sunny. Ada apa?” Baekhyun meletakan minumannya di meja dan balik berbisik pada Sunny.
“Tidak di sini, maksudku tanpa Jino.”
“Kenapa memangnya?”
“Sudahlah, ikut saja denganku.”
Sunny berjalan membelakangi Baekhyun, sedangkan Baekhyun berusaha mengimbangi langkah Sunny yang begitu cepat.
“Sunny-ah, tunggu aku.”
“Cepat, aku tidak mau ada yang mengikuti kita.” Nada bicara Sunny benar-benar menggambarkan kegelisahan dan ketakutan luar biasa.
“Ada apa sih sebenarnya?”
Sunny berhenti di halaman belakang sekolah yang memang jarang dikunjungi anggota sekolah.
“Nah, di sini mungkin tidak ada yang dengar.”
“Ada apa?”
“Baekhyun, jangan membenciku, ya.”
“Aku tidak mungkin membencimu, Sunny.”
“Jadi jika aku menceritakan hal ini, kau tidak akan marah padaku, kan?”
“Sunny, jangan buat aku bingung.”
Sunny tiba-tiba menunduk dan tubuhnya bergetar ketakutan, membuat gaun putih indahnya yang dengan mudah terbawa angin ikut bergetar.
“Aku...sebenarnya tidak mau memercayainya, Baekkie. Tapi...Jino...Jino-ssie...”
“Ada apa, Sunny?”
“Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak setahun yang lalu, saat aku berkunjung ke rumahnya. Aku menemukan fotonya bersama teman-teman panti asuhan.”
“Pa-panti asuhan?”
“Ne, ternyata sebelum menjadi anggota keluarga Cho, dia tinggal di panti asuhan bersama hyungnya. Dulu...aku pernah bertemu dengannya. Kami bermain petasan diam-diam, tapi Sungmin-hyung mengetahuinya dan langsung memarahi Jino. Aku sudah menyuruh Sungmin-hyung berhenti marah-marah, tapi dia tidak mau berhenti. Sampai hyung Jino yang seumuran dengan Sungmin-hyung datang dan melindungi Jino.”
“Lalu setelah itu?”
“Aku juga menemukan surat dari hyung Jino. Mereka berdua...ingin mencelakai Sungmin-hyung dan aku.”
“Ti-tidak mungkin, Sunny. Aku tidak percaya.”
“Aku juga tidak percaya, Baekhyun. Sekarang, aku ingin melupakan semuanya. Maksudku, ayo kita lupakan semua omonganku tadi. Sudah kuduga kau juga tidak percaya, kan? Aku sangat memercayai Jino, tapi aku lebih percaya padamu.”
“Kenapa saat kau tahu itu, kau tidak langsung memutuskan hubungan kalian?”
“Kau tahu kan, aku benar-benar mencintainya, Baekkie.”
“Aku mengerti, Sunny. Jadi sekarang apa yang mau kau lakukan?”
“Aku akan pindah ke London untuk melupakannya. Aku akan bersekolah di sana sesuai rencana.”
“Apakah Sungmin-hyung tahu masalah ini?”
“Tidak. Aku tidak akan memberitahunya. Kau juga, tolong rahasiakan ini dan terus percaya pada Jino, ya?”
“Ne. Dia sahabat kita juga, Jino tidak mungkin melakukan itu. Benar, Jino tidak mungkin mencelakaimu.”
“Ne, aku percaya.”
“Tapi ingatlah, Sunny. Kapanpun kau membutuhkan orang yang bisa kau percaya, segera hubungi aku. Aku masih dan selalu akan ada di sini, di hatimu.”
“Gomawo, Baekkie.”

***

Baekhyun kembali ke rumah sakit setelah mengambil beberapa keperluan menginap, karena Kyungsoo harus dirawat tiga hari lamanya. Saat Baekhyun kembali, Kai sedang berbincang dengan Kyungsoo, sedangkan Chanyeol masih tidur di sofa.
“Hyung! Kemana saja? Huaaa, aku mencari-cari Hyung! Tapi kau menghilang,” rengek Kyungsoo.
“Hya, kan sudah ada aku, Kyungie,” ucap Kai.
“Kau hanya membuatku pusing dengan semua omonganmu, Kai!”
“Hya!”
Baekhyun tertawa melihat kelakuan Kyungsoo dan Kai.
“Sudah-sudah, kan tadi aku sudah bilang ada yang harus kuurus sebentar.”
“Sebentar? Ini sudah jam satu siang! Aku sudah menunggumu sejak jam sembilan pagi!”
Baekhyun masih diam, dia meletakan barang-barangnya di dekat sofa tempat Chanyeol tidur. Kemudian Baekhyun mendekati Kyungsoo dan memeluknya erat sambil menitikan airmata, mengingat kejadian yang sudah dialaminya.
“Maafkan Hyung, Kyungie. Maafkan Hyung...”
“H-Hyung, maksudku bukan begitu, Hyung. Aku tidak benar-benar marah kok.”
“Anyeo, Kyungie. Hyung yang salah, semua salah, Hyung.”
“Hyung jangan menangis, kalau Hyung menangis, aku akan benar-benar marah.”
“Baekhyun-hyung, apa ini karena cerita Sungmin-hyung?” Tanya Kai.
“Sungmin-hyung? Kau menemuinya, Hyung?”
“Nanti saja aku ceritakan, ya. Sekarang kita makan siang dulu. Aku belikan spageti kesukaanmu.”
“Woaa, benarkah? Asik!!”

***

Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Kai sudah pulang karena Baekhyun yang menyuruhnya. Sebenarnya Kai ingin menginap juga, tapi Baekhyun melarangnya dengan alasan, rumah sakit bukan hotel. Ya, lagi-lagi alasan itu.
Baekhyun membuka jendela kamar lebar-lebar untuk memasukan udara musim dingin yang mulai pudar, karena musim dingin akan segera berakhir, gantinya musim semi yang selalu ditunggu semua mahluk hidup. Baekhyun menatap lapang pemandangan rumah sakit. Sambil tersenyum, dia menghirup udara dingin itu dalam-dalam lalu menghembuskannya. Akibat semua masalah yang menimpanya, hal yang dia sukai sekarang adalah bernafas dengan tenang.
“Hyung, Channie-hyung kenapa tidurnya lama sekali sih?”
“Biarkan saja, kemarin dia tidak tidur.”
“Lho? Kenapa bisa?”
“Dia menjadi bantalku kemarin. Hahaha.”
Baekhyun pun menutup jendela karena takut Kyungsoo kedinginan. Setelah menutup, Baekhyun duduk di samping Kyungsoo sambil merangkul adik kesayangannya itu.
“Maaf ya, tadi Hyung menangis. Hehehe.”
“Iya, tidak apa-apa, Hyung. Tapi tadi kau kenapa, Hyung?”
“Hyung sangat-sangat-sangat...takut kehilangan Kyungie.”
“Kyungie masih di sini, Hyung.”
“Ne, Hyung percaya kau masih di sini. Kau jangan sembarangan memakan kue lagi, ya?”
“Oiya, kemarin kue itu...”
“Sudah-sudah, tidak usah dibahas. Pokoknya sekarang Hyung ingatkan, kau tidak boleh terlalu percaya pada orang lain, kecuali orang itu memintanya dengan tulus.”
“Seperti Channie-hyung, ya?”
“Maksudnya?”
“Kemarin Channie-hyung rela menunggu sampai malam di luar kantor That’s news!, Hyung.”
“Ohya? Dia itu memang keras kepala, tidak usah dipikirkan.”
“Aku dengar, Byunnie.”
Chanyeol membuka penutup mukanya dan meregangkan otot tubuhnya.
“Hoahhmmm, siapa sih tadi yang membuka jendela? Udara dingin begini buka jendela.”
“Aku yang membukanya, kau mau apa?”
“Kalau kau membukanya, kau harus memelukku.”
“Orang yang akan kupeluk saat udara dingin hanya Kyungie!”
“Mwo? Aish...kau ini tidak tahu perjuangan pacar, ya.”
“Sudahlah, hentikan pembicaraan konyol ini. Kau belum makan siang, kan? Aku membelikan spageti untukmu. Makan dulu sana.”
“Oh, baiklah.”
Chanyeol kembali meregangkan otot tubuhnya lalu mengambil kotak berisi spageti di meja di dekatnya. Ia mulai melahap habis spageti itu lalu setelah selesai, ia menaruh tempatnya ke pelastik sampah, tidak sadar kalau Baekhyun sedang memandanginya.
“Kau tidak pernah lihat orang makan?”
“Tidak, aku tidak pernah melihat orang setampanmu makan.”
“Hei-hei.”
Chanyeol menghampiri Baekhyun dan mencubit hidung Baekhyun gemas.
“Apa tadi kau bertemu Jino?”
“Ssst, jangan keras-keras bicaranya, Kyungieku sedang tidur.”
“Hih, biarkan saja dia, umurnya kan sudah 23 tahun, tidak pantas dimanja seperti itu.”
“Aku dengar itu, Channie-hyung! Tadi kan aku tidak mengganggumu tidur! Sekarang jangan ganggu aku!”
“Hahahaha, yasudah tidur saja malaikat kecilnya Baekhyun,” ledek Chanyeol sambil mengacak-acak rambut Kyungsoo.
“Huh.”
Kyungsoo membalikan tubuhnya seperti marah, padahal dia tertawa cekikikan setelah mengomeli Chanyeol. Baekhyun merapatkan selimut pada Kyungsoo lalu mengecup pipi Kyungsoo sebagai ucapan selamat tidur.
“Kita mau mengobrol di mana?” Tanya Chanyeol.
“Di sofa itu juga cukup, aku tidak mau meninggalkan Kyungie sendiri.”
“Ah, benar juga.”
Chanyeol menggandeng Baekhyun menuju sofa dan duduk bersama. Chanyeol merangkul Baekhyun erat seperti menguatkan Baekhyun dari segala masalah yang menimpanya.
“Kau menemui Jino?”
“Ne.”
“Lalu apa yang kau bicarakan?”
“Semua yang kau ceritakan.”
“Lalu tanggapannya?”
“Kau benar, Channie. Jika orang itu menyayangiku, dia pasti akan segera mengaku.”
“Jadi dia yang menyerangmu?”
“Bukan, tapi Hyungnya.”
“Sudah kuduga, lalu sekarang di mana namja sialan yang sudah menyerangmu?”
“Dia masih mencari Sunny. Jino bilang, kalau saja dia bisa menemukan Sunny lebih cepat, mungkin aku dan Kyungie tidak akan diserang.”
“Jadi ini semacam gertakan?”
“Mungkin.”
“Tapi kenapa selain Sungmin-hyung, Jino juga diancam?”
“Ini karena Jino ingin melindungi Sunny, Channie. Dia tidak mau Kyuhyun menyakiti Sunny. Dia juga bilang, setidaknya aku mengerti perasaan Kyuhyun-ssie. Iya, aku sangat mengerti perasaannya.”
“Jadi sebenarnya ancaman itu ditujukan untukmu juga?”
“Tidak. Aku rasa secara tidak langsung aku bisa merasakan amarah Kyuhyun-ssie.”
“Besok, setelah menitipkan Kyungsoo pada Kai, kita pergi ke kediaman Sungmin-hyung.”
“Untuk bertemu dengan Sunny?”
“Ne. Bertemu dengan Sunny.”

***

Satu hari itupun terlewati begitu saja. Begitu cepat sampai Baekhyun sendiri bingung untuk mengingatnya lagi. Kemarin dia begitu lelah, sampai dia bangun kesiangan hari ini. Chanyeol sudah bangun duluan bahkan sudah mandi. Tidak biasanya Baekhyun bangun kesiangan, apalagi hari ini adalah hari yang sangat ditunggunya. Dia akan bertemu dengan Sunny dan kini bukan khayalan lagi.
“Aaa! Aku kesiangan! Kenapa kau tidak membangunkanku, Channie?”
“Aku tidak tega, Baekkie.”
“Jam berapa ini? Woaa, jam 10 pagi?!”
“Tenang, Baekkie, tenang.”
“Aku tidak suka bangun kesiangan, huft...mungkin karena aku memang kelelahan. Padahal kemarin aku tidak melakukan apa-apa.”
“Apanya yang tidak melakukan apa-apa? Kemarin emosimu meluap-luap, itu juga termasuk kegiatan yang menguras tenaga, Baekkie.”
“Untung kau memesan kamar VIP. Jadi aku tidak perlu keluar untuk mandi.”
“Ne, mandi sana.”
Chanyeol melempar pakaian pada Baekhyun dan Baekhyun langsung melesat ke kamar mandi.

---

Beberapa saat kemudian, Baekhyun keluar dan di sana Kai sudah datang rupanya.
“Tenang saja, Baekkie-hyung, aku akan menjaga Kyungie.”
“Ne, aku percaya padamu. Jangan lupa makan siang, aku sudah menyiapkan makan siangmu di kulkas, sedangkan Kyungie sepertinya harus makan makanan rumah sakit.”
“Kau tidak menyiapkan makanan untukku, Hyung?”
“Untuk sementara kau makan makanan rumah sakit dulu, ya. Nanti aku akan membelikan makanan enak untukmu.”
“Ne.”
“Sudah ya, Hyung dan Chanyeol harus segera berangkat.”
Baekhyun mengecup kening Kyungsoo dan refleks hampir saja mengecup Kai juga. Kai hanya cengar-cengir menanggapinya.
“Jaga Kyungie baik-baik, ne.”
“Ne, Hyung.”
Hari ini Baekhyun memang sedang buru-buru. Dia ingin segera melihat Sunny, juga memancing Jino dan Kyuhyun untuk mengikutinya. Mereka ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya. Tapi itu artinya...Kyuhyun akan terbukti bersalah dalam penyerangan Baekhyun dan...mereka akan dipenjara.
“Ini semua demi kebaikan mereka, Baekhyun.”
Chanyeol rupanya menangkap sikap gelisah Baekhyun selama perjalanan.
“Ne, untuk kebaikan mereka.”
“Sudah ya, tidak usah gelisah begitu.”
“Tapi kan aku sudah menutup kasus ini, jadi Kyuhyun-ssie bisa selamat dari hukuman.”
“Hukum tetap hukum, Baekhyun.”
“Channie...”
“Hei-hei, kita sudah sampai.”
“Ah, sudah sampai ternyata.”
Chanyeol menepikan mobilnya sesuai petunjuk petugas di sana. Sungmin memang berpesan pada petugas kalau Chanyeol akan datang. Chanyeol menggenggam erat tangan Baekhyun, seperti berkata, kau adalah milikku dan seterusnya begitu. Baekhyun htersenyum menanggapi sikap Chanyeol lalu membalasnya dengan mengeratkan lagi genggaman itu.
Kedua namja itu dipersilahkan masuk dan mereka langsung menuju kamar Sungmin. Pelayan bilang Sungmin sudah menunggu mereka di sana. Di kamar, Sungmin yang awalnya duduk langsung berdiri melihat kedatangan mereka.
“Selamat pagi, kalian telat sekali?”
“Maafkan aku, Hyung. Aku kesiangan.”
“Ah, Baekhyun-ssie. Kau sudah tidak apa-apa? Bagaimana dengan adikmu?”
“Dia sudah baikan, Hyung. Gomawo sudah bertanya.”
“Pacarmu itu sudah menceritakan semuanya, kan?”
“Ne.”
“Nah, sekarang kau siap untuk bertemu Sunny asli?”
“N-ne, oh, tidak juga, aku benar-benar gugup.”
“Sudahlah, ayo kita menemuinya. Dia juga sudah tidak sabar bertemu dengan kalian.”
Sungmin menggandeng tangan Baekhyun yang satunya lagi dan mengajak mereka ke sebuah ruangan tersembunyi tempat Sunny disembunyikan. Baekhyun dan Chanyeol ternganga melihat ruangan super indah itu. Benar-benar menyesakan mata, karena semua yang ada di sana adalah peralatan wanita, tapi semuanya sangat cantik. Tapi yang paling menarik perhatian Chanyeol dan Baekhyun adalah gadis yang duduk di kasurnya dengan baju tidur berwarna putih. Dia seperti putri yang menunggu pangeran.
Baekhyun tidak bisa lagi menyembunyikan rasa rindunya pada Sunny, dia berlari dan langsung memeluk Sunny. Sunny menepuk-tepuk punggung Baekhyun seperti dulu. Airmata Baekhyun luruh, setelah lama mencari dan beradu nyawa, akhirnya dia menemukan Sunny. Sahabatnya yang sangat dia rindukan. Baekhyun masih tidak percaya pada pertemuan ini walaupun dia senang. Dia mengelus rambut Sunny sekali lagi untuk memastikan.
“Sunny, apa ini benar-benar kau?”
“Benar, Baekkie. Ini aku.”
“Sunny-ah!”
Di dalam teriakannya, begitu banyak beban yang menghilang. Sekarang Baekhyun sudah cukup lega karena pertemuan ini. Sunny tersenyum sambil menitikan airmata, inilah pertama kalinya dia tersenyum setelah pertemuannya dengan Baekhyun tempo lalu. Chanyeol memandang Sunny dan Baekhyun lekat, sebenarnya ada rasa cemburu, tapi itu semua teredam karena sekali lagi, Baekhyun adalah miliknya.
“Aku....aku sangat merindukanmu!”
“Ne, aku juga merindukanmu, Baekkie. Sudah-sudah, sepertinya ada yang sedang cemburu melihat kita berpelukan begini.”
“Eh? Ti-tidak kok!” Seru Chanyeol.
“Hahaha, dengan gugup begitu saja sudah membuktikan kalau kau cemburu.”
Wajah Chanyeol mendadak merah padam akibat ledekan Sunny. Baekhyunpun melepaskan pelukannya tapi masih memandang Sunny lekat.
“Sekarang aku harus istirahat, Baekhyun. Maaf aku tidak bisa berlama-lama mengobrol denganmu. Jika kau ingin mengobrol, nanti malam saja lewat telepon, ya?”
“Kenapa, Sunny? Apa kau sakit?”
“Tidak, aku tidak sakit. Hanya saja...aku masih lelah karena acara semalam.”
“Kau melakukan apa semalam?”
“Aku terus melukis kebersamaan kita. Kau, Jino, dan aku. Karena Sungmin-hyung bilang hari ini kau akan datang.”
“Lalu mana lukisannya?”
“Aku akan memberikannya saat kita bertiga berkumpul.”
“Sunny-ah...”
“Aku tahu, Baekhyun. Aku rela tersakiti olehnya. Karena aku mencintainya, aku percaya dia sepenuhnya.”
“Tolong jangan serahkan apapun padanya, Soonkyu!”
“Oppa, kita sudah membicarakan ini matang-matang. Lagipula...aku...”
“Sudah kubilang kau akan hidup lama! Sangat lama!”
“Hanya Tuhan yang tahu sampai kapan aku hidup.”
“A-ada apa ini?” Baekhyun mulai merasakan keganjilan dalam pembicaraan ini.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku ingin tidur sekarang, bolehkah?”
“Ne, Sunny.”
Sungmin mengantar Chanyeol dan Baekhyun keluar ruangan. Saat Sungmin berbalik setelah mengunci pintu, matanya memerah, bukan karena marah, tapi karena menahan airmata.
“Sungmin-hyung, ada apa ini?”
“Baekhyun, Soonkyu memang selalu menyembunyikan penyakitnya.”
“Pe-penyakitnya?”
“Apa kau ingat ceritaku sebelumnya? Aku memarahi Jino saat mereka bermain di panti asuhan dulu, bermain petasan. Permainan yang dapat membuat penyakit Soonkyu kambuh.”
“M-mwo?”
“Inilah alasanku terlalu posesif menjaga Soonkyu. Aku tidak mau ada orang yang menyakitinya atau membuat penyakitnya kambuh. Mungkin pagi ini dia lelah karena semalaman dia terus melukis, tidak peduli pada keadaannya. Keinginannya hanya satu...memerlihatkan lukisannya pada kalian berdua. Soonkyu yakin Jino akan mengikutimu, Baekhyun. Makanya dia bilang akan menunjukan lukisannya saat Jino datang bersamamu.”
“Tapi kenapa Sunny tidak pernah mengatakannya?”
“Apa dia tega? Apa dia tega membuat sahabat-sahabatnya cemas?”
Baekhyun terdiam, melihat kegelisahan itu Chanyeol langsung merangkul Baekhyun.
“Kenapa dia harus mengenal mereka berdua? Kalau saja Soonkyu tidak berhubungan dengan—“
“Tidak, Hyung. Kalau Sunny tidak mengenal Jino dan hyungnya, mungkin Sunny tidak akan sebahagia ini. Pernahkah kau melihat Sunny tidak memedulikan kesehatannya? Sunny rela kesehatannya terganggu untuk Kyuhyun dan Jino.”
“Kau benar, Baekkie. Aku memang tidak pernah mengerti hatinya. Pantas saja dia percaya padamu, kau pintar menangkap perasaan gadis itu.”
“Kami harus pulang sekarang, Hyung. Nanti malam aku akan menunggu teleponmu. Ah iya, nomorku sedang tidak aktif, jadi hubungi nomor ini.”
Baekhyun menyerahkan kertas berisi nomor Kyungsoo pada Sungmin.
“Oiya, maaf ya karena waktu itu aku menabrakmu sampai ponselmu rusak.”
“Oh, jadi Hyung yang menabrakku?”
“Hehe, aku takut kau diikuti Jino. Tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi. Kalau mereka mau datang, aku akan menghadapinya.”
“Satu lagi, Hyung. Siapa orang yang ada di dalam mobil Sunny saat kecelakaan?”
“Dia itu sepupuku. Aku sudah memeringatinya kalau mobil Soonkyu sedang diperbaiki, tapi dia terus memaksa untuk memakainya. Tapi melihat kecelakaan itu aku jadi punya ide untuk mengalihkan identitas Soonkyu padanya. Keluarga gadis itu sudah kuhubungi dan kusuruh berpakaian seperti Appa dan Eommaku saat pemakaman agar media tidak curiga. Aku sangat jahat ya, mengalihkan kematian itu demi keselamatan Soonkyu? Aku benar-benar terpaksa melakukannya.”
“Masih ada satu misteri lagi, motif dari rencana untuk melukai Sunny. Bahkan mereka hampir membunuh Baekhyun dan Kyungsoo demi menemukan Sunny. Bukankah itu berlebihan?” Baekhyun dan Sungmin setuju pada perkataan Chanyeol.
“Apa Sungmin-hyung tidak menanyakannya pada pengurus panti asuhan tempat Jino tinggal dulu?”
“Aku juga sudah bertanya, tapi mereka tidak tahu apa-apa soal bunuh diri itu.”
“Yang tahu hanya Tuhan dan mereka berdua.”
“Ah, aku baru ingat, aku juga ingin bertanya padamu, Byunnie. Kenapa kemarin lusa kau mendatangiku dan marah-marah masalah Kyungie?”
“Oh, itu...aku hanya ingin mengelabui Jino agar besoknya aku bisa memintanya mengobrol denganku tanpa curiga.”
“Ah...jadi begitu.”

***

“Hanya menunggu waktu yang tepat. Ne, menunggu...”
“Kau sedang apa, Byunnie? Ayo masuk.”
“Suasana rumahmu sangat menenangkan, Chanyeol.”
“Mungkin karena aku merawat rumah ini dengan baik.”
“Itu karena cinta kedua orangtuamu, Chanyeol.”
“Hem...benar juga. Ayo cepat masuk, sebelum aku berubah pikiran.”
Baekhyun mengikuti Chanyeol ke dalam rumah Chanyeol. Ini pertama kalinya Baekhyun datang ke rumah Chanyeol, karena selama ini Chanyeol-lah yang selalu datang ke apartemennya. Rumah Chanyeol begitu sederhana, tapi sangat nyaman.
“Kalau rumahmu senyaman ini, kenapa kau sering datang ke apartemenku? Bahkan sebelum kita pacaran, kau selalu berkunjung. Sampai-sampai dulu aku sempat berfikir kau tidak punya rumah.”
“Rumah ini memang nyaman, tapi kalau sendirian, apa gunanya?”
“Jadi kau mau aku sering berkunjung? Aku kan masih punya Kyungie untuk kujaga.”
“Aku tidak memaksamu kok. Makanya, izinkan aku selalu berkunjung ke apartemenmu, ya?”
“Kau boleh ke apartemenku kapan saja. Apa kau mau kubuatkan kunci duplikat?”
“Boleh juga. Oiya, kau mau minum apa?”
“Terserah kau, Channie.”
“Baiklah, tunggu sebentar ya.”
Baekhyun menatap ruangan itu, ruangan minimalis dengan warna cokelat sebagai warna dominan barang-barang di sana. Matanya terus berkeliling sampai terhenti pada satu figura yang terletak di dekat jendela di depannya. Baekhyun berdiri, lalu menghampiri figura itu.
“Appa dan Eomma Channie...”
“Byunnie, kau sedang apa?”
“Oh, ini, aku sedang melihat Appa dan Eommamu.”
Tanpa ekspresi berati, Chanyeol meletakan minuman untuk Baekhyun di meja lalu duduk. Baekhyun membawa figura itu dan duduk di samping Chanyeol.
“Kau sangat mirip Appamu, tapi hidungmu mirip Eommamu.”
“Ne, aku sangat menyayangi mereka.”
Raut wajah Chanyeol berubah sendu, Baekhyun langsung merasa bersalah karena mengingatkan Chanyeol pada orangtuanya.
“Maafkan aku, Channie.”
“Tidak, kau tidak perlu minta maaf, sayang. Apa kau mau melihat foto yang lain?”
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja, kok. Mau tidak?”
“Boleh.”
Chanyeol mengambil sebuah album foto yang dia simpan di rak di bawah sofa tempat mereka duduk sekarang.
“Lho? Aku tidak sadar ada rak buku di sana.”
“Hahaha, Appaku orang jenius bukan? Dia yang membuatnya untuk buku-buku kesukaannya. Dia sering membaca buku di sofa ini.”
“Kau sangat mirip Appamu.”
Chanyeol hanya tersenyum dan mendekatkan tubuhnya pada Baekhyun. Chanyeol membuka sampul album dan terpampanglah banyak foto kenangan Chanyeol ketika kecil. Baekhyun tertawa kecil melihat sebuah foto yang berisi Appa Chanyeol yang sedang memasang wajah konyol untuk menghibur Chanyeol yang sedang menangis.
“Hahaha, wajah Appamu sangat konyol, tapi wajahmu lebih konyol, Channie!”
“Hya! Aku lucu bukan konyol!”
Chanyeol membuka lagi halaman album. Di halaman itu ada foto berisi Eomma Chanyeol bersama wanita lain dan anak kecil.
“Siapa anak kecil ini?”
“Aku tidak tahu, seingatku waktu foto ini diambil, aku sedang bersama Appa ke rumah saudaraku.”
“Anak ini memakai baju sekolah, sepertinya dia baru masuk sekolah.”
“Mungkin dia anak sahabat Eommaku, itu yang berdiri di samping Eommaku.”
“Kalau dilihat-lihat...dia mirip sekali dengan Jino, ya?”
“Hem, benar juga. Dia juga mirip denganmu, kau mirip Jino, kan?”
“Ne. Hei, tertulis nama anak itu dan Eommanya di foto ini.”
“Ohya? Aduh, tulisannya tidak jelas. Tidak usahlah, Baekkie.”
“Coba baca baik-baik, Channie. Aku penasaran.”
“Aish, kau ini, menyusahkan saja.”
Channie mencoba untuk membaca tulisan di foto itu. Matanya tiba-tiba membesar karena tidak percaya pada yang dia baca.
“C-Cho Jinho.”
“Mwo?”
“Apa jangan-jangan Eommaku itu...”
“Sahabat Eomma Jino!”
“Kalau begitu, mungkin kita bisa menemukan penyebab kematian orangtua Jino!”
“Ne! Apa kau menyimpan catatan-catatan Eommamu?”
“Yaampun, aku lupa menaruhnya di mana. Eommaku punya banyak sekali buku diari, tapi aku sudah membereskannya.”
“Kau tidak penasaran dengan isi diari Eommamu sendiri?”
“Kau kan tahu aku hanya suka membaca novel misteri atau koran.”
“Ish, dasar ‘kolot’.”
“Hya! Maksudmu apa?”
“Sudahlah, ayo kita cari buku-buku itu.”
Chanyeol mengangguk dan mengajak Baekhyun ke kamar orangtuanya. Sepertinya kamar itu tidak terpat untuk dibilang kamar tidur, karena kamar itu dipenuhi buku dan kertas yang tersusun rapi di rak yang terpasang menutupi seluruh dinding.
“Woaa, sepertinya keluargamu memang kutu buku, ya.”
“Ya...begitulah, kau juga pasti percaya aku gila buku begini karena mereka.”
“Ne.”
“Kau cari dari rak sebelah kanan, aku kiri.”
“Baik.”
Begitu Baekhyun membuka penutup rak yang terbuat dari kaca, debu langsung menyambut Baekhyun sampai Baekhyun batuk-batuk.
“Oiya, aku lupa tentang debunya. Hehe, aku sudah membaca semuanya semasa orangtuaku hidup, jadi wajar saja kalau buku-buku ini terbengkalai.”
“Ne-ne, aku mengerti.”
Baekhyun mulai membaca judul buku-buku itu, kebanyakan adalah novel misteri, buku filosofi, buku pengetahuan hukum, dan lainnya yang berhubungan dengan hukum. Tapi tiba-tiba jari Baekhyun berhenti mencari saat membaca judul sebuah buku yang dia tahu itu novel orang dewasa.
“Eh, kalau Chanyeol sudah membaca semuanya, itu artinya...”
Baekhyun melihat Chanyeol sekilas lalu kembali menatap buku itu.
“Kalau Chanyeol sudah membacanya, apa aku boleh, ya? Dulu kan Appa marah-marah saat aku ingin membaca novel ini.”
“Hya, Baekhyun-ssie! Kau sedang apa?”
“Ti-tidak. Hei, Chanyeol, kalau kau sudah membaca semua buku di rak ini, itu artinya kau sudah membaca novel dewasa ini, ya?”
Chanyeol masih memandangi Baekhyun bingung sampai tidak sadar kalau di depannya ada pembatas rak. Alhasil kepalanya terbentur cukup kencang sampai namja itu meringis.
“Appo...”
Refleks Baekhyun menghampiri Chanyeol dan mengelus-elus kepala Chanyeol yang terbentur tadi.
“Gwencanhayo?”
“Aku tidak akan apa-apa kalau kau tidak menanyakan pertanyaan konyol itu!”
“Memangnya itu konyol, ya?”
“Aish, sudahlah, ayo cari lagi.”
“Eh, pertanyaanku yang tadi belum dijawab. Kau sudah membacanya?”
“Novel yang mana sih?”
“Dari sekian banyak buku-buku di sini, pasti hanya itu novel non misteri punya Appamu.”
“Ooh...yang itu. Sudah, memangnya kenapa?”
“Kau membacanya?” Tanya Baekhyun tidak percaya.
“Me-memangnya kenapa sih?”
“Aku belum pernah baca.”
“Yasudah tidak usah.”
“Dulu Appa memarahiku karena aku hampir membacanya.”
“Yasudah, Baekkie. Tidak usah baca yang seperti itu. Kau terlalu polos.”
“Hem, memang sebaiknya tidak usah.”
“Hya! Kenapa kita jadi mengobrol tidak jelas begini sih? Ayo cari lagi.”
Baekhyun kembali mencari dan melupakan kejadian barusan. Baekhyun terus mencari begitupun Chanyeol, tapi sampai mereka berada pada titik temu, diari Eomma Chanyeol tidak ditemukan.
“Sebenarnya kau simpan di mana sih?”
“Benar deh, aku lupa.”
Chanyeol mengacak-acak rambutnya seperti frustasi.
“Aigo...”

PIP PIP PIP

“Teleponmu bunyi tuh,” ucap Baekhyun yang sepertinya masih kesal dengan sifat pelupa Chanyeol. Chanyeol tidak mau menanggapi Baekhyun dulu dan segera mengambil ponselnya.
“Yeoboseo, Sungmin-ssie?”
“Eh? Itu Sungmin-hyung?” Chanyeol hanya mengangguk dan Baekhyun berusaha untuk mencuri dengar pembicaraan itu.
“Chanyeol-ssie, tolong aku...”
“A-ada apa, Sungmin-hyung?”
“Me-mereka...” (DARR)

Tut...

“Baekhyun, ayo! Kita harus ke rumah Sungmin-hyung!”
“Ada apa, Channie?”
“Mereka datang! Kyuhyun dan Jino datang!”


TBC

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini