Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - ENAM BELAS

Enam Belas

‘tok-tok-tok’
Ketukan halus itu membangunkan Fay dari tidur. Ia terbangun tapi tak mau bergerak. Ia terlalu takut untuk mengetahui orang yang mengetuk pintu gudang.
“Fay? Kau di sini?”
Suara itu membuat hatinya makin tak tenang. Suara Dea.
“Sepertinya Fay tak di sini, Kak.”
“Kak? Apakah aku lebih tua darimu kalau boleh tahu?”
“Oh, mungkin. Aku hanya menghormati pemilik Panti ini.”
“Tidak usah sebegitunya, De. Panggil saja aku Alvin.”
“Bisakah kita mencari anak itu di tempat lain?”
“Aku yakin Fay ada di sini. Coba bicaralah dengannya.”
Dea tak bisa berbuat apa-apa jika Alvin sudah bicara seperti itu. Ia tak pernah ragu akan keyakinan Alvin. Karena ia memercayai Alvin. Rasanya ia ingin sekali memeluk Alvin, ia sangat rindu bersama Alvin sebagai dirinya sendiri.
“Fay, keluarlah Fay. Kami menunggumu di sini, menunggu keajaiban itu datang darimu. Karena kami yakin kamu punya kelebihan dibalik kesedihanmu. Kami akan selalu menyayangimu, jadi kau jangan cemas kehabisan kasih sayang. Kakak yakin, orangtuamu tetap menyayangimu, karena mereka selalu setia berada di sisimu. Kau masih ingat cerita bintang yang diceritakan Kak Iel? Kau harus yakin bahwa kau telah menemukan bintangmu, yaitu kasih sayang dari kedua orangtuamu yang selalu abadi. Sekarang bisakah kau keluar dan membuktikan bahwa kau juga masih mencintai mereka?”
Fay terdiam, ia belum mau bergerak. Tapi entah kenapa, hatinya memaksanya untuk bergerak. Ia pun berdiri dan membuka pintu gudang. Itu membuat Dea, Rio, dan Alvin yang mencarinya sangat terkejut melihat Fay yang langsung berlari meninggalkan tempat persembunyiannya.
“Fay!!”
“Sudah, De. Sebaiknya Fay memang sendirian dulu,” saran Rio.
“Fay kemana? Dia lari?” Tanya Alvin.
“Iya, Vin. Fay lari,” jawab Rio. Tiba-tiba Rio menggenggam tangan kiri Dea sangat erat, seperti tetap tak rela gadis itu berada di samping Alvin.
***
“Dea, gua bilang apa. Anak itu sama sekali nggak niat ikut drama ini!” seru Dayat.
“Gua yakin Fay mau!”
“Kenapa sih loe bersikeras banget?!”
“Karena gua percaya sama dia! Anak itu terluka, Day, dan gua mau ngobatin lukanya.”
“Sebenarnya, De. kamu belum memberitahu kami jalan cerita drama ini, sebenarnya bagaimana?” Tanya Yuki tiba-tiba.
“Ya, loe cuma suruh kita kasih komentar dan nilai dari masing-masing anak, sebenarnya jalan cerita drama ini gimana sih? Dan kenapa loe percaya banget kalau Fay bisa terobati dengan drama ini?” tanya Agni.
“Kalau semua peran sudah terkumpul, gua akan kasih tahu kalian.”
Dea pergi dari ruang pertemuan, Dayat langsung meninju meja. Terdengar gemeretak giginya menandakan ia marah sekaligus kecewa pada keputusan Dea yang bersikeras memasukan Fay ke dalam peran utama.
“Cih, dasar egois.”
Ternyata gumaman Dayat membuat Rio naik darah, ia menghampiri Dayat dan memukul meja di samping Dayat tak kalah kencang dari Dayat.
“Maksud loe apa bilang Dea egois? Bukannya hak semua anak sama? Mendapat kesempatan untuk mengikuti audisi.”
“Ya ya ya, tapi menurut gua Dea itu salah besar! Memasukan Fay sebagai calon pemain utama? Bicara saja anak itu sulit!”
“Loe nggak percaya sama Dea?”
Dayat terdiam, baru saja kemarin mereka saling berjanji untuk percaya satu sama lain. Dayat sebenarnya tak melarang Dea memaksa Fay untuk audisi, tapi jangan peran utama. Hanya itu. Tak berapa lama Dea masuk ke ruang pertemuan, lalu ia memberi isyarat pada Dayat untuk ikut dengannya. Dayat melirik sinis Rio sejenak, lalu pergi bersama Dea.
***
Angel memeluk Ami yang kini dapat ia lihat dengan sangat nyata. Bukan bayangan seperti 4 tahun ini ia rasakan.
“Gua nggak percaya sebentar lagi kita bisa berkumpul lagi,” ucap Angel.
“Iya, Njel. Gua juga nggak nyangka!”
“Nah, sekarang gimana kalau kita cepat-cepat menuju Panti Gemintang?”
“Ayo!”
***
Dayat dan Dea bersembunyi di balik semak dekat gudang tempat Fay ditemukan. Dayat bertanya dengan raut wajah bingung, Dea hanya memberitahu Dayat untuk memerhatikan Fay. Fay berdiri tegap, ia menghirup udara sedalam-dalamnya, lalu menghembuskannya.
Perlahan, anak itu melantunkan sebuah lagu berjudul “Senandung diatas awan” yang pernah dipopulerkan oleh Albert. Dayat terdiam, sangat indah. Sangat.
“Ini yang mau loe tunjukin ke gua?”
“Sekarang adalah audisi untuk Fay, silahkan loe yang menilai.”
“Suaranya sangat indah, dan gua bisa kasih dia nilai sempurna.”
“Bukan karena suaranya saja yang bagus, tapi dia menyanyi dari hati. Fay punya impian, Dayat. Sama seperti anak-anak yang lain, tapi lukanya terlalu dalam untuk bisa bangkit. Jadi gua bersikeras untuk mencalonkan dia menjadi salah satu peran utama di drama ini.”
“Memangnya berapa peran utama di drama ini?”
“3.”
***
Dea dan Dayat kembali ke Panti, semua heran saat melihat Dayat dan Dea sudah baikan. Malah tidak sedikit yang menyangka kalau Dea dan Dayat jadian. Dan itu sepertinya tidak mungkin, karena mereka juga tahu tentang perasaan Rio pada Dea.
“Kita sudah punya 3 peran utama di drama ini.”
“Ya, gua udah mantap sama keputusan Dea, dan gua harap kalian juga terima.”
“Pemeran utama drama ini adalah, Zaneta, Lilia, dan Fay.”
“Fay? Anak itu benar-benar loe masukin jadi pemeran utama?” Heran Oik.
“Iya, Ik. Kalian dengar juga kan Dayat yang awalnya nggak setuju bisa setuju banget.”
“Loe sogok pake apaan tu si Dayat?” Celetuk Riko.
“Hahahahahaha!!” gelak tawa memecah ruang pertemuan.
Mereka terus tertawa sampai Sivia datang dengan terengah-engah. Dea langsung mendekati Sivia.
“Ada apa, Vi?”
“Di…di luar, De. Ayo ikut gua!”
***
Tubuh Dea bergetar, airmatanya tak tertahankan. Seraya tangannya mengepal sangat kencang, mulutnya terbuka dan ia pun berteriak sekeras-kerasnya.
“Ami!! Angel!! Gua kangen banget sama kalian!!”
Teriakan Dea membuat anak-anak Panti, peserta KKN, bahkan Bunda Panti ikut keluar. Dea merangkul kedua sahabatnya sekaligus dengan kedua tangannya. Ia tak kuasa mengucapkan beribu syukur pada Tuhan karena telah mengembalikan ketiga sahabatnya lagi.
“Kita juga kangen berat sama loe, De,” ucap Angel.
“Gua nggak akan sia-siain pertemuan ini,” janji Ami.
Sivia melihat Ami agak ragu, apalagi jika ingat Ami yang dulu marah padanya karena Tian. Ini semua salah paham. Setelah berpelukan dengan Dea, Ami mendekati Sivia, ia tersenyum sangat lebar. Lalu Ami menjulurkan tangan kanannya.
“Gua tahu, perpisahan kita 4 tahun yang lalu sama sekali nggak enak dikenang, dan gua juga sama sekali nggak mengenang itu. Jadi, kita buka lembaran baru persahabatan kita, ya? Dengan penuh kepercayaan dan keterbukaan.”
Sivia menatap dalam ke dalam mata Ami, beberapa detik setelah Ami mengatakan penawarannya untuk bisa menjadi sahabat Sivia lagi, airmata Sivia mengalir perlahan. Amipun memeluk Sivia, lalu menepuk punggung Sivia beberapa kali hanya untuk menenangkan Sivia.
***
“Ami!! Angel!! Gua kangen banget sama kalian!!”
Alvin kaget mendengar teriakan itu, sambil terus mencoba merasakan ketiadaan Dea. Ia tahu itu suara Dea, dan Alvin yakin anak itu sedang kedatangan tamu istimewa. Ami, Angel? Sepertinya Alvin familiar dengan nama itu. Dea yang ia tunggu juga sering bercerita tentang nama itu, atau jangan-jangan Dea yang selalu berada di sampingnya adalah Dea?
Kepala Alvin tiba-tiba pening, ia tahu pemberhentian obat rutin itu bisa berakhir fatal, tapi Alvin sudah tak tahan dengan penyakit ini. Ia ingin hidup tanpa obat, menjadi manusia normal. Walaupun ia sudah menjadi orang tak normal karena kebutaannya. Toh, masih ada yang menganggapnya normal. Dea.
“Dea, kenapa kamu tak pernah mengatakan kalau kamu Dea? Apa kamu masih marah padaku?”
“Sepertinya Dea nggak pernah marah sama loe.”
“Siapa itu? Lelaki yang tadi menemani Dea?”
“Iya, gua Rio. Nama loe Alvin, kan?”
“Iya.”
“Pertama kali gua liat loe di SMA Global, loe masih sehat bugar, kenapa 4 tahun berlalu loe berubah drastis? Loe tambah kurus.”
“Oh, loe Rio yang waktu itu mau pulang sama Dea.”
“Ya, ingetan loe bagus juga.”
“Jadi Dea yang kita bicarakan itu adalah Dea yang tadi teriak?”
“Loe bener-bener nggak bisa kenal dari suara Dea yang udah jelas cempreng itu?”
“Hahahaha, walaupun suara Dea cempreng, tapi gua selalu rindu dengan suara itu.”
“Tapi kenapa Dea nggak mau ngaku kalau dia itu Dea yang loe maksud?”
“Gua juga nggak tahu, mungkin dia emang masih kesel sama gua.”
“Kesel karena kesalahpahaman kalian?”
“Kesalahpahaman?”
“Dea udah tahu masalah loe yang nyuruh Dea untuk ngasih kelemahan loe ke Kiki.”
“De…Dea tahu?”
“Katanya sih dari sahabat loe, Zahra namanya.”
“Zahra? Akh, dasar anak itu.”
“Harusnya loe seneng dong, karena sebenarnya Dea udah nggak marah sama loe, bahkan dia berusaha cari loe di Singapure.”
“Dea berusaha nyari gua?”
“Sebaiknya loe cepet nyatain perasaan loe ke dia, sebelum gua duluan.”
“Apa? Jadi loe suka sama Dea?”
“Lebih tepatnya gua sayang sama Dea. So, kita bersaing sehat, oke?”
Alvin terdiam, ia berfikir keras. Ia ingin terus hidup mendampingi Dea, tapi sepertinya umur Alvin memang sudah tak panjang. Apalagi saat ia memutuskan untuk berhenti meminum obat yang membuatnya semakin menderita.
“Loe harus terus hidup.”
Derap langkah Rio semakin kecil terdengar, tanda Rio sudah pergi meninggalkannya.
“Gua harus tetap hidup…walaupun gua udah nggak ada di dunia ini, gua mau Dea selalu menganggap gua ada di sisinya.”
Kepala Alvin semakin pening, kesadarannya memudar. Ia mengerang kesakitan, tapi ia menahannya, untuk bisa menyatakan persaannya pada Dea sebelum ia benar-benar pergi.
***
Dea bersama Ami, Sivia, dan Angel duduk melingkar. Hari sudah larut, tapi mereka tak mau melepas kebersamaan mereka terhalang oleh waktu lagi. Ami menghembuskan nafas lega, ia memang benar-benar lega melihat ketiga sahabatnya lagi.
“Tema kita hari ini, pelajaran dan pengalaman yang kita dapet selama kita berpisah,” ucap Dea seraya mengambil botol dari belakang punggungnya.
“Botol yang sama,” ucap Angel.
“Botol yang mengubah jalan hidup kita, percaya bahwa kejujuran selalu membawa keberanian,” ucap Sivia seraya melirik Ami yang terus tersenyum lembut.
“Baik, kita mulai?”
“Ya!”
Dea memutar botol itu, dan setelah 3 menit berputar, botol tanpa tutup itu menunjuk Angel menjadi orang pertama.
“Ok, Angel silahkan ceritakan hal menarik termasuk pelajaran yang loe dapet selama 4 tahun ini.”
“Makasih, Dea.”
Angel menggeser posisinya agak ke depan. Ia pandangin 3 wajah yang sangat ia rindukan itu, dan memulai ceritanya.
“Selama 4 tahun ini, gua belajar bagaimana menjadi gadis yang berani. Menjadi gadis seperti Bunda, selalu berusaha menjadi yang terbaik. Gua masih inget banget kejadian Kiki bikin malu gua di kampus dengan puisinya, dan gua langsung marah-marah ke dia, itu pertama kalinya gua berani melawan Kiki, sampai dia jatuh hati sama gua. Dan kami jadian deh.”
“Loe jadian sama Kiki?” kaget Ami.
Angel hanya mengangguk malu.
“Cieeeee!!!” seru Dea, Ami, dan Sivia bersamaan. Mereka pun tertawa bersama.
“Udah selesai, Njel?” tanya Dea.
“Gua rasa cukup.”
Angel memutar botol, dan Ami menjadi giliran kedua.
“4 tahun ini gua belajar tentang bagaimana untuk tidak melampiaskan luka masa lalu pada orang lain yang selalu berbuat baik pada kita. Walaupun awalnya gua masih sakit hati sama Tian, tapi lama kelamaan gua mikir, untuk apa sakit hati terus menerus jika ada orang yang bisa memerhatikan kita lebih baik? Akhirnya gua mau nerima cowok sabar itu, namanya Lintar. Tapi perasaan gua ke Patton nggak pernah berubah, walaupun gua sama dia selalu berantem semasa SMA, tapi gua sekarang bisa menyayangi dan menunggu dia pulang dari Jepang. Jadi gua memilih Patton.”
“Patton? Sama Ami? Keajaiban!!” Seru Angel.
“Ja…jadi loe sekarang nggak ada perasaan sama Tian, Mi?” Tanya Dea.
“Nggak ada, sekarang gua cuman anggap Tian sebagai teman baik gua.” Dan kontan jawaban Ami membuat Sivia tak tenang. Tian masih menyayangi Ami, tapi sekarang Ami lebih memilih Patton.
“Sudah, Mi?”
“Udah, De.”
Ami memutar botol tersebut, dan giliran ketiga adalah Sivia.
Dengan ragu, Sivia menatap Ami. Ia menggeleng sejenak, dan ia mengubah keraguannya menjadi keberanian. Ia harus berkata apa adanya tentang Tian.
“Saat gua putus asa tanpa kalian, dan Ayah gua melarang gua melukis terlalu sering. Iel datang, dengan penuh keceriaan dan semangat yang mampu menyihir gua menjadi seorang gadis yang lebih mandiri. Gua pernah bilang sama Dea, kalau gua mau bikin Iel bahagia dengan mendatangkan kalian ke Panti ini untuk teman-teman Panti. Dan sekarang gua melihat Iel lebih banyak tersenyum, dan itu membuat gua semakin semangat untuk membuatnya tersenyum. Dengan berkenalan dengan Iel, gua bisa melihat kehidupan ini lebih berarti. Lalu selanjutnya…karena kekurangan gua adalah selalu merahasiakan hal yang gua nggak bisa tanggung rahasia itu jika gua mengungkapkannya, jadi sekarang gua mau jujur sama loe, Mi. sebenarnya alasan Tian menjauhi gua, karena dia tahu kalau gua ini saudara dia. Tian nggak bisa suka lagi sama gua, tapi dia juga terlalu takut untuk bilang ke gua. Dan dia juga bilang, kalau dia masih sayang sama loe. Makanya gua nggak tenang saat loe bilang, loe memilih Patton.”
“Biarkan semua mengalir dengan sendirinya, Vi. Gua udah nggak bisa menerima Tian, dan gua yakin Tian akan mengerti.”
“Begitukah, Mi?”
“Kita harus percaya Allah bisa memberikan jalan terbaiknya.”
Sivia mengangguk pasti.
“Udah selesai, Vi?” Tanya Dea.
“Udah, De. Gua udah lega, lega banget.”
“Berarti yang terakhir gua?”
Ketiga sahabat Dea hanya tersenyum seraya memandangi Dea sangat lekat.
“Pelajaran yang gua dapet, adalah selalu percaya sama seseorang, walaupun orang itu berusaha untuk menutupi kelemahannya dengan kebohongan. Suatu hari gua menemukan kebenaran bahwa kebohongan itu demi gua, dan setelah gua bertemu orang yang berbohong sama gua, dia masih berbohong tentang kelemahan. Akhirnya gua juga harus berbohong demi mendapatkan kejujuran darinya. Padahal sekarang gua pengen banget bisa dekat dengannya tanpa ada kebohongan. Tapi…nggak mudah.”
Airmata Dea perlahan turun. Ami, Angel, dan Sivia langsung tahu siapa orang yang dimaksud Dea.
“Hah?! Udah jam berapa ini?!”
“Jam 11.50, De.”
Dea berdiri dan langsung berlari keluar, menuju taman belakang Panti. Di sana Alvin masih menunggu Dea yang sebenarnya. Padahal sudah lewat jam tunggunya. Dea seka airmatanya lalu berjalan perlahan menghampiri Alvin.
Dea duduk di samping Alvin dan terus memandangi wajah itu.
“Umurku semakin berkurang, apakah aku masih bisa mendengar tawa itu? Melihat senyum itu?”
Dea tertegun mendengar pernyataan Alvin, tangisnya langsung memecah.
“Dea…kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu adalah Dea yang kutunggu selama ini?”
Dea masih menangis dalam diam, bahkan ia tak berani menatap Alvin.
“Kamu menangis?”
“Dea nggak pernah bisa ngerti apa yang Kakak maksud, bahkan sekarang Dea berani membohongi kakak.”
“Mungkin jika kamu tidak berbohong, aku takkan pernah bisa mengatakan bahwa kamu adalah cinta pertamaku yang selalu abadi.”
Tangan Alvin menerka keberadaan Dea.
“Maafkan aku, karena aku harus berbohong waktu itu, aku ingin kau membenciku karena mungkin itulah cara agar kau tak pernah mau memikirkanku. Walaupun aku harus pergi.”
“Walaupun kakak membohongiku berkali-kali, perasaan itu nggak akan pernah hilang. Walaupun kakak harus pergi, Dea akan terus menyayangi kakak.”
“Tentang penglihatanku, aku ingin jujur padamu. Sebenarnya kebutaan ini diakibatkan oleh kanker mata yang kumiliki sejak kecil. Bahkan sekarang, karena aku menghentikan pemakaian obat, mataku mungkin akan semakin parah. Tapi aku tak memerdulikan itu, karena aku punya bintang yang akan terus menyinari impianku. Bintang yang selama ini kurindukan. Kamu.”
“Apa kakak tak mau menemaniku lagi? Jadi kakak menghentikan pemakaian obat?”
“Justru, aku ingin terus di sisimu. Walaupun suatu saat nanti ragaku tak bisa di sampingmu, aku harap kau akan terus mengingatku.”
Dea tak bisa mengatakan sepatah katapun, hanya tangis yang bisa mewakili perasaannya saat ini.
“Bolehkah aku mengecup keningmu?” tanya Alvin.
Dea terdiam, ia melihat wajah Alvin sangat pucat.
“Ya.” Hanya jawaban singkat yang bisa Dea katakan.
Alvin menyentuhkan telapak tangan kanannya di pipi Dea, lalu tangan kirinya mengelus rambut Dea. Kecupan itu ia berikan tepat di kening Dea, lalu perlahan ia berkata.
“Akhirnya aku bisa melihat senyummu lagi, dan juga aku akan terus menyayangimu selamanya, Bintangku.”
Seketika setelah mengatakan hal itu, tubuh Alvin terjatuh dan bersandar tepat di punggung Dea. Airmata Dea terjatuh makin deras.
“A…aku juga akan menyayangimu selamanya, walaupun suatu saat nanti ada lelaki yang bisa menyayangi seperti kamu menyayangiku, aku takkan merubah perasaanku padamu.”
Dea tersenyum lembut. Tepat jam 00.00 Alvin menyatakan perasaannya, dan itu sangat berarti untuk Dea.

Star from Heaven - LIMA BELAS

Lima Belas

Ami menunggu jemputan dari Lintar. Hubungannya dengan Lintar sudah cukup membaik, walau sejak ia mengutarakan maksudnya untuk membatalkan pertunangan itu, Lintar menjadi lebih menjauhinya. Tapi sekarang sudah lebih baik. Bahkan Lintar bersedia mengantar Ami ke Bandung untuk bertemu dengan Dea.
“Jadi kamu berangkat pagi ini?”
“Iya, Kak. Kamu jadi mau nganterin?”
“Ehem. Sepertinya nggak jadi deh, soalnya aku ada janji sama Nova.”
“Oh, pacar Kak Lintar, ya? Aku kenal Nova, Kak. Dia anaknya baik banget, kakak beruntung lho dapet dia!”
“Oiya dong. Bahkan lebih baik dari kamu.”
“Iya-iya. Ami berangkat sendiri deh, ya. Tapi anter aku ke bandara, ya?”
“Okelah. Kalau sampai bandara aja sih no problem.”
“Tapi… apa benar Nova lebih baik dari Ami?”
Lintar hanya tersenyum penuh arti.
***
Angel melihat lurus keatas, matanya menyipit, karena sinar matahari yang juga menghangatkan pipinya hingga bersemu merah. Kiki paling senang melihat posisi Angel yang seperti itu. Bahkan Kiki bisa menciptakan beratus puisi untuk Angel.
“Kenapa sih kamu harus ke Bandung sendirian?”
“Nggak sendirian kok, ada Ami yang akan nemenin aku. Makanya aku nunggu dia jam 3 sore nanti buat barengan ke Bandung.”
“Nanti aku gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana, emang mau apa yang gimana?”
“Biasa, pertanyaannya muter-muter. Dasar anak Matematika.”
“Yaelah, gitu aje ngambek. Aku di sana cuman sebulan kok, habis itu aku balik.”
“Yaiyalah Angel, aku juga percaya kamu pasti balik. Tapi waktunya itu lho… sebulan bo…”
“Dih, jadi banci lagi deh kamu.”
“Lama-lama kalau kamu sering pergi begini, aku beneran jadi banci.”
“Ya Tuhan, jangan dong. Gini aja udah ngerepotin, apalagi jadi banci!!”
“Cape deh… asem bener.”
“Hahahaha, tenang aja, Ki. Aku nggak akan direbut cowok lain kok.”
“Aku yang direbut cewek lain.”
“Apa!?”
“Hehehe, bercanda-canda. Okedeh, aku siap melepas kamu. Hati-hati ya beph.”
“Ih, geli!!”
***
Hari Ketiga

Dea sudah tak sabar menunggu kedatangan kedua sahabatnya itu. Sivia juga, ia tak sabar untuk memberikan penjelasan pada Ami tentang kejadian masa lalu yang memecah mereka. Banyak pertanyaan yang berputar di pikiran 4 sahabat ini. Mereka akan banyak bertanya tentang perasaan mereka masing-masing, dan akan melakukan permainan itu lagi. Sebuah permainan bernama jujur-berani, yang membuat mereka berempat hampir selalu terbuka akan perasaan.
Ohiya, hari ini akan menjadi hari yang menegangkan juga bagi teman-teman Panti Gemintang. Karena hari ini adalah hari audisi untuk peran mereka di drama berjudul “Star from Heaven”. Judul ini sudah didiskusikan, jadi tak perlu takut akan adanya ketidakadilan.
Para peserta KKN membuat sebuah tempat terbuat dari kardus bekas untuk tempat penjurian. Totalnya ada 3 tempat dengan masing-masing 2 panitia yang akan menjadi juri. Sedang lainnya sebagai penjaga agar 20 anak itu tetap tertib di luar.
Tempat penilaian pertama dijaga oleh Yuki dan Kevin, lalu kedua oleh Oik dan Dayat, tempat ketiga oleh Dea dan Rio. Artinya, nomor urut 1-6 ada di stand 1, 7-12 ada di stand 2, 13-20 ada di stand 3. Terlihat wajah antusias 20 anak itu. Apalagi di drama ini tak ada yang menjadi peran pembantu seperti hanya menjadi pohon atau tanaman yang menari-nari. Dua puluh anak ini menjadi peran utama. Tapi tentu hanya 1 orang yang menjadi peran paling utama, sebagai pemimpin drama ini.
Dayat menjagokan Lilia, sedangkan Oik menjagokan Zaneta. Sedangkan sang ketua KKN berdo’a untuk Fay. Jika anak itu menjadi pemeran utama, mungkin akan lebih mudah mendekatinya. Tapi Dea tak mungkin mengusahakan peran itu jika Fay tidak berusaha mendapatkannya.
Kebetulan juga, Fay mendapat urutan ke-20. Karena bisa ditebak, ia yang paling tak senang diajak bermain drama. Dea memutar otaknya agar Fay bisa menunjukan keinginannya dalam audisi ini. Dengan mengadakan tanya jawab untuk memancing bakat ke-20 anak ini.
---
#Lilia urutan 6, stand 1

Anak itu selalu terlihat pucat, walau ia sudah memaksakan senyumnya terus merekah. Tapi pagi ini Lilia berpenampilan sangat manis, rambutnya yang panjang dikuncir 2, lalu wajahnya tak sepucat biasanya, ia sangat ceria. Dayat senang melihat jelmaan adiknya itu ceria hari ini.
“Pagi Lilia,” sapa Oik ceria.
“Pagi kak Oik, pagi kak Dayat.”
“Pagi sayang, hari ini kamu terlihat sangat manis dan ceria nih. Kamu pasti sangat senang, ya?”
“Iya kak Dayat. Ini pertama kalinya Lilia ikut serta dalam acara panti, apalagi ini drama musikal.”
“Baiklah, sekarang kita mulai pertanyaannya. Kamu sangat suka musik?”
“Sangat, Kak. Setiap malam, anak panti Gemintang selalu bernyanyi bersama, walaupun ada beberapa teman Lilia yang hanya bisa menyanyi dalam hati, tapi kami semua senang.”
“Lilia bisa bernyanyi?”
“Suara Lilia tidak bagus, Kak Dayat. Tapi Lilia bisa membaca puisi.”
“Bagus, cobalah Lilia mulai.”
Lilia bangun dari kursi rodanya, Dayat was-was melihat Lilia yang hendak berdiri. Beberapa kali mencoba, akhirnya Lilia bisa berdiri tegap di atas karpet dingin ruangan kecil itu.

A poem, by Lilia

Kala malam itu, aku bermimpi
Sebuah sinar masuk ke relung hati
Membuat semua perasaan iri dan dengki
Hilang dan berganti senang hati

Kala malam tiba, aku berharap satu
Sinar itu datang padaku
Mengganti semua kesedihan menjadi kasih
Mengganti semua kerinduan menjadi sayang

Tapi kusadar sebuah kenyataan
Sinar itu hanya mimpi
Dan kutahu satu kenyataan lain
Sinar itu juga nyata

Sinar itu datang, untuk memaksaku kuat
Memaksaku untuk terus hidup
Terus tersenyum
Dan terus menyayangi

Sebuah sinar yang kutahu itu tak berasal dari manapun
Sebuah sinar yang kutahu itu selalu ada di sini
Di hati semua orang
Yang akan terus kuingat seumur cintaku

Oik dan Dayat terdiam.
Satu… dua… tiga detik mereka terdiam. Lalu Lilia mulai melangkah dan duduk di kursinya lagi. Ia masih tersenyum lalu sebuah kata menyadarkan keheningan itu.
“Terimakasih.”
Oik dan Dayat saling pandang, lalu kembali memandang gadis kecil di hadapan mereka. Oik menghelakan nafas panjang tanda ia baru saja menahan nafasnya karena kagum pada Lilia. Perlahan tapi pasti, tepukan tangan meriah pun tercipta.
“Kalau boleh tahu, seumur cinta Lilia itu selama apa?”
“Selama orang-orang mengingat Lilia juga. Dan Lilia yakin, ingatan itu akan abadi walaupun Lilia pergi.”
“Memangnya Lilia mau pergi kemana?”
“Lilia nggak akan pergi kemana-mana kok, Lilia akan terus hidup di hati semua orang yang mengenal Lilia.”
“Baiklah, sepertinya cukup untuk Lilia. Sekarang Lilia boleh keluar dan istirahat, besok akan kami umumkan peran Lilia.”
“Tunggu dulu. Apakah jika ada peran sebagai pemimpin, Lilia akan senang dan takkan melupakan kami seumur hidup Lilia?”
“Bahkan jika boleh, Lilia akan terus menyayangi kakak-kakak semua.”
“Baik, kamu boleh keluar sekarang.”
Lilia mendorong kursi rodanya perlahan. Dayat menyeka airmatanya, ini pertama kalinya sejak kepergian Gita ia bisa menitikan air mata.
“Loe nangis, Day?”
“Gua inget sama Gita, Ik.”
“Siapa gita, Day?”
“Gita itu adik gua. Dia juga sakit leukemia. Dulu impiannya menjadi pemimpin juga, nggak tercapai karena penyakit itu mampu mengalahkan keinginan Gita.”
“Jadi itu sebabnya loe mau Lilia yang dapet peran utama?”
“Iya.”
“Jangan marah, Day. Gua juga mau Neta mendapat peran utama. Karena suaranya yang bagus dan Neta juga bisa membuat orang disekitarnya senang, lebih dari yang kita lakukan pada semua anak Panti.”
“Oke, kita tunggu saja keputusan bersama.”
Oik tersenyum dan mengangguk berulang kali.
---
#Zaneta urutan 11, stand 2

Pagi ini, Zaneta tak secerah biasanya. Mungkin karena kondisi tubuhnya yang tiba-tiba memburuk karena musim pancaroba saat ini. Beberapa anak lain juga sakit. Yuki memandang gadis kecil itu seksama. Kondisinya tidak memungkinkan untuk ikut audisi hari ini, pikir Yuki.
“Neta, kamu tidak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Kak.”
Yuki melirik Kevin, dan Kevin langsung tahu maksud tatapan Yuki. Kevin berdiri lalu melangkah mendekati Zaneta.
“Wajah kamu agak pucat, Neta. Benar tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, Kak. Neta serius.”
Kevin mengelus punggung Neta lalu mengalihkan pandangannya ke Yuki. Yuki hanya mengangguk sambil memberi ekspresi maklum. Dan Kevin kembali ke tempatnya.
“Baiklah, jika Neta tetap bersikuku untuk ikut audisi ini. Maka akan kami mulai.”
“Kata teman-teman, suara Neta yang paling indah. Benarkah?”
“Tidak juga, Kak. Sebenarnya suara Fay yang paling bagus. Aku pernah mendengar Fay bernyanyi diam-diam, dan suaranya jauh lebih indah dari Neta. Tapi Fay tak pernah menunjukan keahliannya itu ke orang banyak. Jadi bakatnya selalu terkubur.”
“Jadi begitu… lalu kalau bukan Neta yang punya suara paling bagus, bagaimana Neta bisa mendapatkan peran utama itu?”
“Sebenarnya Neta sangat menginginkan peran utama itu. Tapi jika ada yang lebih baik dari Neta untuk memerankannya, seperti Fay atau Lilia. Neta tidak apa-apa. Bermain bersama teman-teman dalam drama ini sudah menjadi kesempatan terbaik yang Neta dapat.”
“Benar nggak apa-apa?”
“Benar, Kak. Neta mengatakan itu dengan penuh keyakinan. Neta nggak mau hanya karena peran itu Neta harus menjadi anak yang terlewat ambisius. Selalu ingin mendapatkan semuanya lebih dari yang seharusnya. Neta sudah cukup mendapat peran apapun. Yang penting Neta masih bisa mencintai teman-teman Neta. Dan mendapatkan orangtua seperti yang dijanjikan kakak-kakak.”
“Kata-kata Neta selalu indah didengar. Bahkan mungkin Fay tidak bisa mengucap kata-kata itu. Jadi apa Neta tidak berfikir, bahwa Neta bisa jadi yang lebih baik dari Fay atau Lilia?”
“Tidak, ada langit di atas langit. Walaupun Neta selalu berbicara dengan seni, tapi seni itu juga diajarkan oleh seseorang, Fay. Neta, Lilia, dan Fay bersahabat. Karena kami dimasukan ke Panti ini bersamaan. Tepat 2 tahun yang lalu. Saat kami sama-sama berumur 5 tahun.”
“Bisa kamu ceritakan bagaimana Neta bisa masuk ke Panti ini.”
“Baik. Dulu… Neta dibesarkan di antara anak-anak jalanan di Jakarta. Dulu Neta masih bisa berjalan. Tapi saat Neta tepat berumur 5 tahun, Neta mengalami kecelakaan yang menyebabkan Neta lumpuh permanen. Atasan Neta tak mau lagi mengurus Neta, dan Neta di usir dari pemukiman. Tak sengaja saat malam hari, Neta beristirahat di sebuah mobil truk yang Neta kira akan lama parkir di dekat Mall senayan. Ternyata saat Neta tertidur, truk itu mulai berangkat. Dan membawa kiriman ke Panti Gemintang. Sungguh takdir terindah yang pernah Neta alami.”
“Kami boleh mendengar suaramu? Sedikit saja.”
Zaneta mengangguk, lalu mulai menyanyikan reff “I Dreamed a dream”. Membuat Yuki dan Kevin terpesona. Selain kata-kata anak itu yang selalu membekas di hati mereka, suara Zaneta juga membuat mereka akan selalu mengingat Zaneta dan panti ini.
“Terimakasih karena kau sudah lahir untuk menghiasi kehidupan Panti Gemintang.”
---
Fay menatap ruang audisi dengan tatapan kosong penuh harapan. Raut wajahnya menunjukan bahwa ia sangat kesal, kesal karena ia tak pernah berani untuk menunjukan keahliannya. Ia takut untuk mencari bintang yang selalu diceritakan Iel. Ia takut… jika bintang itu hanya khayalan bagi anak tak berguna seperti anggapannya.
Fay berlari ke gudang belakang Panti, tempat biasa ia menyendiri. Matanya menitikkan airmata, sesuatu yang selalu ia keluarkan saat ia ingat kejadian malam itu, malam kecelakaan kedua orangtuanya.
***
_flashback_

“Mama, Papa. Boleh nggak Fay minta sesuatu?”
“Boleh, Nak. Apa itu?”
“Fay mau meminta kasih sayang Mama dan Papa. Boleh?”
“Tentu saja, Sayang. Kami akan selalu mencintaimu lebih dari apapun.”
“Walaupun suatu saat nanti, Papa dan Mama nggak di samping Fay, tolong tetap sayangi Fay, ya?”
“Selalu, Fay.”
***
Sore hari

“Kemana anak itu, De?”
“Gua nggak tahu, Yo. Menurut loe tempat persembunyian anak kecil itu dimana?”
Rio hanya menggeleng. Tak berapa lama Dayat kembali sambil terengah-engah.
“Gimana, Day?”
“Nihil, De. Yaudahlah, kayaknya dia emang nggak niat. Apa nggak cukup pemainnya? Banyak gitu, kok. Peran utama juga pasti gampang terpilih.”
“Nggak bisa, Day. Semuanya pas 20 orang.”
“Yaudah, dia suruh isi peran sisa aja.”
“Tetep nggak bisa, Day. Peran utama yang kosong.”
“Peran utama?”

Star from Heaven - EMPAT BELAS

Empat Belas

DEA masih tak bisa bergerak, tubuhnya membeku. Seakan kini aliran darah Dea berhenti, detak jantung Dea melambat, suara tak bisa lagi keluar. Ia benar-benar tak percaya. Setelah 4 tahun berpisah dengan orang itu, hari ini ia bisa bertemu dengannya. Di sebuah Panti yang indah, Panti Gemintang.
“Ma…maaf, aku nggak bermaksud mengelus rambutmu, aku hanya ingin tahu siapa yang ada di hadapanku?”
Dea terdiam, ia berpikir keras untuk menyimpulkan hal yang ia alami sekarang. Alvin buta?
“A…aku adalah orang yang akan melakukan KKN di tempat ini.”
“Oh, kamu yang namanya Dea? Ketua pelaksana kegiatan KKN?”
“Iya, dan kamu?”
“Namaku Alvin, namamu bagus. Mengingatkanku pada seseorang, tapi aku takkan mengungkitnya dengan orang lain. Jadi, berapa minggu kau di sini?”
“Sebulan.”
“Waw, cukup lama, ya. Kita lihat bagaimana kau membuat anak-anak luar biasa itu bisa mendapatkan orangtua.”
“Jadi kamu juga tahu rencananya?”
“Ya, Iel yang memberitahuku. Semoga kamu bisa, ya.”
Alvin buta, dan Dea tak mau mengaku dulu bahwa ia memang Dea yang dimaksud Alvin. Ada sebuah rahasia yang ingin ia ketahui. Menjadi orang lain untuk sementara mungkin adalah caranya.
“Ku dengar kelompokmu terpecah 2, ya? Kenapa? Apa karena ego mereka?”
“Mereka hanya belum siap, tapi aku akan menyatukan mereka.”
“Good luck selalu untukmu.”
“Terimakasih. Oiya, jika boleh. Aku ingin menjadi teman mengobrolmu selama sebulan ini, boleh?”
“Boleh. Tapi kau hanya punya waktu sejam mengobrol denganku, karena aku sedang menunggu orang di sini.”
“Siapa?”
“Untuk 1 orang saja mungkin tak apa aku mengungkitnya. Namanya Dea juga, ia cinta pertamaku saat SMP. Dan sampai sekarang aku ingin bertemu dengannya.”
“Kenapa kamu tak mencarinya?”
“Aku sudah meminta pada Tuhan untuk memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya di sini. Aku tahu itu mustahil, tapi aku tetap percaya Tuhan akan memberikannya.”
‘Dan sekarang kakak memang sudah diberi kesempatan olehNya.’
“Daritadi sepertinya kau sedang menahan sesuatu? Suaramu bergetar.”
“Oh, bukan sesuatu yang penting. Mungkin karena malam ini cukup dingin, jadi suaraku agak bergetar.”
***
Sivia merapihkan barang-barangnya, ia ingin menginap di Panti Gemintang bersama Dea selama Dea masih di Bandung. Ia ingin terus mendampingi Dea demi rencananya untuk Iel.
“Kamu mau kemana, Vi?”
“Via ingin menemani Dea di Panti, Yah. Dea dan teman-temannya sedang melaksanakan KKN. Boleh, ya?”
“Dea? Dea yang teman SMA kamu itu? Kenapa tidak diajak kesini?”
“Mungkin kapan-kapan, oke sekarang Via pergi dulu ya, Yah.”
“Kamu hati-hati, ya.”
“Oiya, satu lagi. Tolong sediakan waktu sendiri buat Via. Untuk menerima cerita Ayah tempo lalu.”
---
_flashback_

“I…ini foto siapa, Yah?”
Sivia menyodorkan sebuah foto pada Ayahnya, dan Ayah Via langsung merobek foto temuan Sivia.
“Darimana kamu temukan foto itu?”
“Dari buku diari Bunda.”
“Dia lelaki yang pernah membuat Bundamu tergila-gila. Karena ketampanannya, kekayaannya, kebaikannya, juga karena bakatnya yang sama dengan Bundamu.”
“Melukis?”
“Ya, tetapi lelaki itu meninggal sebelum Bundamu menikah dengannya, jadi Bundamu mau menikah dengan Ayah. Tapi Bundamu selalu bercerita tentang lelaki itu. Ayah tak bisa terima, jadi… semua yang berbau lelaki itu Ayah singkirkan. Termasuk seharusnya bakat melukismu, Via.”
***
Hari Pertama

Peserta KKN duduk melingkar di hadapan meja bundar. Hari ini rapat pertama mereka di Bandung. Dea memulai rapat itu dengan berdeham.
“Ehem-ehem.”
Lalu Dea melihat kawan-kawannya yang berpihak maupun tidak berpihak padanya. Wajah-wajah segar itu menjadi tanda bahwa mereka sudah melupakan kejadian kemarin.
“Ini hari pertama kita bertugas. Kita akan mengasuh anak-anak itu, bermain dan mengajar ilmu baru pada mereka. Yaitu ilmu kehidupan. Ilmu sosialisasi, bagaimana mereka harus bersikap pada orang-orang di luar Panti. Tanpa memerdulikan kekurangan mereka. Yakinkan pada mereka, bahwa dibalik kekurangan itu ada kelebihan. Baiklah, orasi saya pagi ini selesai. Kita masuk pada tugas masing-masing. Setiap orang bisa mengajar berapapun anak yang bisa mereka ajar. Oke, kita mulai… dari sekarang!”
Dengan berbekal sebuah tas berisi buku gambar, crayon, pensil warna, kotak musik, dan harmonika kecil. Dea berangkat ke Panti bagian anak luar biasa. Ia bersama 7 temannya plus Sivia masuk ke ruang itu. Terlihat 20 anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Sivia menyuruh Dea dan teman-temannya berbaris, lalu ia memanggil kawan-kawannya untuk berkumpul.
“Teman-teman, ini kakak-kakak yang kemarin Kak Via ceritakan. Ayo beri salam pada mereka.”
“Selamat pagi Kakak-kakak!!”
Dea ingin sekali memeluk mereka satu persatu. Jika ingat Sivia dan Alvin bisa hidup dengan mereka, kenapa ia tidak?
“Sekarang perkenalan dari kakak-kakak dulu, baru nanti kalian gantian, ya?”
“Iya, Kak Via!!”
“Silahkan.”
Dea maju selangkah, lalu ia tersenyum seraya mengamati anak-anak itu satu persatu.
“Selamat pagi juga teman-teman!” teriak Dea, dan ia kembali tersenyum.
“Kenalkan, nama kakak. Dea Christa Amanda. Panggil kakak, Dea.”
“Nama kakak, Rio!”
“Nama gu… eh, kakak, Kevin!”
“Namaku Yuki.”
“Nama kakak, Oik.”
“Nama kakak, Dayat.”
“Nama kakak, Agni.”
“Nama kakak, Riko.”
“Nah, itu nama masing-masing kakak baru kalian. Ada pertanyaan?”
Seorang anak yang duduk di kursi roda pun mengangkat tangan.
“Kak Dayat kok kulitnya item?”
“Nama kamu siapa, dek?”
“Ocha, Kak.”
“Kamu mau tahu jawabannya?”
Ocha mengangguk yakin.
“Karena kakak adalah atlet renang, tapi hanya pertandingan di laut. Alhasil kulit kakak jadi hitam begini.”
“Wahhh!! Hebat! Kakak atlet renang, to,” kagum seorang anak yang arah matanya tak menentu.
“Iya dong! Tapi bohong! Hahahaha, maaf ya maaf. Just Kidding. Kakak ini sebenarnya atlet lari, kerjaannya lari di lapangan terbuka, jadi item deh.”
“Dayat, cukup deh…,” ucap Agni.
“Iya-iya, ujungnya juga… itemnya turunan bapak. Hehe.”
“Huuuuu!!”
“Oke, sekarang kalian dong yang kenalin nama kalian.”
Sivia mengangguk untuk memberi semangat pada teman-temannya yang rata-rata berumur 10 sampai 15 tahun. Seorang anak maju, anak yang tadi bertanya pada Dayat. Dengan susah payah tapi juga dengan wajah berseri ia mendorong kursi rodanya agar ia ada di hadapan teman-temannya dengan gagah berani.
“Nama saya Zaneta…”
“Ceritakan bagaimana Zaneta selalu berwajah ceria seperti ini?” Dea bertanya lembut sambil mengelus pundak Zaneta.
“Neta selalu memikirkan orangtua Neta, Neta selalu membayangkan wajah orangtua yang berbeda-beda. Itu menyenangkan, Selain bersama teman-teman di sini karena memikirkan merekalah Neta tak pernah kesepian, sebelum tidur Neta akan membayangkan seorang Ayah atau Ibu menjemput Neta. Jadi Neta akan selalu bahagia menyambut mereka.”
Dea terdiam, semua peserta KKN terdiam. Yuki dan Oik membalik diri, airmata mereka sudah tak terbendung. Dea mendekati Zaneta dan mengecup keningnya.
“Kamu dan teman-teman semua akan segera mendapatkan orangtua. Kami janji.”
Seorang anak lelaki mengacungkan tangan, lalu ia berjalan agak terseok.
“Bagaimana caranya, Kak?”
“Nama kamu siapa?”
“Namaku Yoga.”
“Kamu tahu, sebuah kelebihan yang ada di dalam dirimu? Diri kalian maksud kakak.”
Yoga menggeleng.
“Kalian punya sebuah bintang yang suatu saat nanti akan kalian temukan, bintang yang akan menuntun kalian untuk sampai ke sebuah titik. Dimana kalian takkan pernah menyangka, apalagi menyerah untuk menggampainya. Yaitu cita-cita. Cita-cita kalian yang akan membuat kalian bersemangat untuk merengkuh semuanya. Betapapun sulitnya.”
“Bintang itu siapa, atau apa, dan kapan bintang itu akan muncul?”
“Kalian harus yakin untuk bisa menemukannya.”
Seorang anak yang terlihat paling normal di antara teman-temannya berdiri. Ia memasang muka geram untuk menunjukan ia benar-benar marah.
“Daridulu kami selalu yakin untuk menemukan orangtua! Tapi sampai sekarang sangat jarang ada orangtua yang mendatangi kami! Bahkan sampai keyakinan itu memuncak, semua akan pupus dengan pandangan mereka terhadap kami!”
Delapan remaja itu saling pandang. Sivia hendak mendekati anak itu, tapi anak itu menjauh.
“Kau yang membawa mereka! Mereka takkan pernah bisa membuat kami mendapatkan orangtua!”
“Fay… tenanglah.”
Anak bernama Fay itu berlari keluar dari ruang pertemuan. Yuki ingin mengejar, tapi Dea mencegahnya. Ia hanya menggeleng dengan arti, sebaiknya membiarkan anak itu sendirian. Iel menepuk pundak Dea, ia ingin bicara dengan Dea.
Seperti biasa, Iel menyiapkan sebuah papan tulis dan spidol untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Anak itu adalah anak normal secara fisik, tapi tidak pada kejiwaannya. Saat umurnya 5 tahun, ia harus melihat orangtuanya meninggal benar-benar di depan matanya. Jika kamu bisa menyembuhkan kejiwaannya, aku takkan melupakan jasamu.

Dea menatap Iel lekat, lalu senyumnya mengembang tipis, ia mengangguk pasti.
“Kami berjanji, kami akan membuat anak-anak itu lebih bahagia lagi. Dan mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.”
***
Malamnya

Setelah memberi tugas pada kawan-kawannya untuk membuat konsep perubahan di Panti ini, Dea bergegas menuju taman Dea kembali menunggu Alvin di taman belakang Panti. Tepat jam 8 malam, Alvin duduk di taman itu.
“Dea?”
“Iya, ini aku.”
“Kamu benar-benar ingin menjadi teman mengobrolku, ya.”
“Tentu.”
“Jadi, darimana kita memulainya?”
“Mulailah dengan, bagaimana kau bisa selalu ke panti ini. Apakah kau juga anak panti ini?”
“Hahaha, tidak-tidak. Aku tinggal di rumah di sebelah panti ini. Ayahku adalah pemilik Panti ini, jadi aku bebas bermain di Panti ini. Termasuk menemui Iel sahabatku.”
“Iel itu sahabatmu? Sejak kapan?”
“Kira-kira sejak SD. Tapi kami berpisah beberapa saat karena aku harus pindah ke Bogor bersama Ayahku. Satu sahabatku lagi, namanya Zahra. Ia juga berpisah denganku karena harus pindah ke Jakarta demi beasiswanya.”
“Lalu, kenapa kamu pindah ke Bandung lagi?”
“Karena aku ingin mendapatkan ketenangan. Juga mencari waktu yang tepat untuk menemui gadis itu.”
“Gadis bernama Dea?”
“Ya.”
“Seberapa besar kamu percaya, akan bertemu Dea?”
“Sebesar rasa sayangku padanya.”
“Kamu benar-benar menyayangi Dea?”
“Ya, aku sangat merindukannya. Ia cinta pertamaku. Dan aku berjanji akan menjaganya. Hidup ataupun tiada.”
“Tiada? Apa kau akan meninggalkannya?”
“Tidak, bukan meninggalkan sepenuhnya, hanya… oh, sudah 1 jam sepertinya. Sebaiknya kamu pergi, aku ingin kembali sendiri. Menikmati bintang-bintang malam.”
“Baiklah, besok aku akan datang lagi. Oiya, aku mau tanya sekali lagi, menurutmu anak-anak itu suka apa, ya?”
“Musik, mereka sangat antusias pada musik.”
“Terimakasih.”
Sebenarnya Dea masih ingin berlama-lama dengan Alvin. Tapi ia punya tugas yang lebih besar di depan mata.
***
“Lalu, kenapa kamu pindah ke Bandung lagi?”
“Karena aku ingin mendapatkan ketenangan. Juga mencari waktu yang tepat untuk menemui gadis itu.”
“Gadis bernama Dea?”
“Ya.”
“Seberapa besar kamu percaya, akan bertemu Dea?”
“Sebesar rasa sayangku padanya.”
“Kamu benar-benar menyayangi Dea?”
“Ya, aku sangat merindukannya. Ia cinta pertamaku. Dan aku berjanji akan menjaganya. Hidup ataupun tiada.”
Kepalan tangan Rio sudah mencapai batas, lelaki itu tak bisa menahan kecemburuannya pada Alvin.
“Dea sudah bertemu dengan Alvin. Seharusnya aku senang, tapi kenapa perasaanku menjadi lebih aneh? Apa karena aku tak bisa begitu saja melepas Dea?”
Rio pergi meninggalkan bekas luka yang mendalam saat ia melihat Dea bertemu dengan Alvin di taman itu. Ia tahu, posisinya jauh di bawah posisi Alvin di hati Dea. Tapi ia terus berpikir, apa benar Dea tak bisa mencintainya?
Di ruang tamu, Rio bertemu dengan teman-temannya yang sedang berdiskusi tentang konsep yang diperintahkan Dea.
“Hei, mau kemana loe, Yo?”
“Kamar.”
“Hidih, singkat amat jawabannya, kesini dulu dong. Diskusi sama kita.”
“Gua ngantuk.”
Tanpa menghiraukan timpalan Kevin, Rio bergegas masuk ke kamar.
---
Rio merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menerawang jelas menatap atap. Tak berapa lama ketukan halus membuyarkan lamunannya.
“Masuk aja, nggak dikunci kok.”
Pintu sedikit terbuka, terlihat Iel berdiri di depan pintu ragu untuk masuk.
“Oh, loe, Yel. Masuk aja.”
Iel mengangguk, dan masuk.

Kamu kenapa? Sepertinya suasana jiwamu sedang tak bagus.

“Nggak apa-apa, kok.”

Apa karena Dea sudah bertemu dengan Alvin?

“Darimana loe tahu tentang Dea dan Alvin?”

Karena aku adalah sahabat Alvin.

“Oh. Ehem, tak ada hubungannya dengan Alvin.”

Aku ingin minta sesuatu padamu.
Aku tahu, kamu punya perasaan yang sama dengan Alvin. Sama-sama ingin melindungi Dea. Lindungilah ia pada siang hari, dan berikan giliran pada Alvin walau hanya 1 jam untuk bersama Dea. Karena dengan begitu, Alvin bisa terus bertahan hidup.

“Apa sih yang sedang kau bicarakan?”

Ini rahasia, hanya aku, Zahra, Alvin, orangtua Alvin dan Tuhan yang tahu. Dan sebaiknya kau juga tahu demi kebaikan kita bersama. Alvin sejak kecil menderita kanker mata, ia dan keluarganya sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi kanker itu, tapi gagal. Alvin dan keluarganya pindah ke Singapura demi kesembuhan Alvin. Tapi itu juga percuma. Akhirnya ia kembali ke Bandung, tempat kelahirannya. Ia meminta pada orangtuanya untuk ikhlas jika ia harus pergi suatu saat nanti.
Sebenarnya ia bisa saja tinggal lebih lama di Singapura untuk pengobatannya, tapi menurutnya itu percuma. Ia takut jika ia harus meninggalkan semua sebelum menyatakan perasaannya pada Dea. Hanya itu keinginan terakhirnya di dunia ini. Juga sebelum ia menyerahkan Dea pada orang lain yang dapat menjaganya. Seperti kamu.

“Gua?”

Ya, Alvin pernah bilang, ia bertemu dengan seorang lelaki yang baik pada Dea saat ia pergi mengajar di sekolah Dea. Itu pasti kau.

“Loe salah, mungkin Kiki.”

Lelaki paduan suara yang selalu menunggu Dea pulang.

“Jadi… dia percaya gua?”
Iel mengangguk. Jantung Rio berdegup kencang. Ia menyesal telah membenci Alvin hanya karena kecemburuannya.
***
Angel duduk di depan laptopnya dengan secangkir mocca dan semangkuk kecil biskuit cokelat. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Angel membuka laptopnya dan langsung membuka Mozilla Firefox menuju alamat mail.yahoo.com. Matanya langsung membesar saat ia melihat sebuah email dari nama yang sangat ia rindukan.
“Dea?”
Dengan agak gugup, ia membuka email itu.

From : Dea_Camd94@gmail.com
To : AngelicaPie@yahoo.co.id, Amirahmi_lia@yahoo.com
Subject : need help

Hai Angel, Ami ^^
Sudah 4 tahun lebih kita tidak bertemu. Gua rindu banget sama kalian. Gimana kabarnya?
Gua doain semoga kalian baik-baik aja.
Hem, langsung aja ya?
Kalian pasti nggak percaya gua ada dimana sekarang. Gua lagi di Bandung, sama Via lho!
Janji gua sama Via gugur karena gua emang ada urusan sama dia dan teman-temannya 
Kalian masih ingat kan, gua masuk jurusan psikologi? Nah, sekarang ilmu gua akhirnya terpakai. Sivia meminta gua untuk mengurus 1 hal penting yang mungkin nggak akan gua lupain seumur hidup gua. Mengurus 20 anak luar biasa yang penuh kelebihan, tapi diabaikan. Itulah urusan gua saat ini.
Apa hubungannya sama kalian?
Gua butuh kalian untuk jadi referensi gua dan rekan-rekan gua.
Kami punya rencana, kami akan membuat drama musikal bertemakan “impian” untuk mereka saat pertemuan orangtua asuh bulan depan. Gua butuh lagu dan jalan cerita yang hebat dari kalian. Dan akan gua gabungkan dengan lagu-lagu dari para rekan gua
Gimana? Kalian setuju?


Reply: Dea_amd94@gmail.com
From: AngelicaPie@yahoo.co.id

Gua siap bantu loe, kapan mulainya?


Reply: AngelicaPie@yahoo.co.id
From: Dea_Amd94@gmail.com

Sekarang juga gua tunggu sampai batas waktu 1 minggu dari sekarang. ^^ makasih Angel.
***
Senyum Ami merekah setelah membaca email dari Dea, ia langsung menjawab email itu.

Reply: Dea_Amd94@gmail.com
From: Amirahmi_Lia@yahoo.com

Oke, gua siap bantu kapanpun. Kapan batas pengumpulan referensi? Apa butuh gua di sana?


Reply: Amirahmi_Lia@yahoo.com
From: Dea_Amd94@gmail.com

Batasnya seminggu, Mi. Kalau loe nggak sibuk, loe boleh kesini ^^ makasih Ami.
***
Sivia dan Dea saling memandang, senyum keduanya sangat cerah secerah langit pagi Bandung. Senyum yang penuh semangat dan impian. Semangat untuk menjalani semua masalah, dan impian untuk menjadi yang lebih berguna bagi kehidupan semua orang.
Tak lama kemudian Rio menghampiri keduanya dengan membawa setumpuk kertas berisi referensi drama.
“Ini semua referensinya?”
“Ya, dengan tema Impian yang loe bilang.”
“Thank’s, Yo.”
“Uhm, malam ini bisa nggak kita ngomong sebentar?”
“Malam ini? Em, kayaknya…”
“Setelah loe ketemu sama Alvin.”
“Darimana…”
“Nggak penting darimana gua tahu tentang itu, tapi gua minta loe temuin gua di gerbang Panti malam ini setelah loe bertemu Alvin.”
“Mau ngapain sih? Kok gaya loe hari ini dingin banget.”
Rio tak menjawab dan pergi meninggalkan Dea.
“Rio kenapa, De?”
Dea hanya menggeleng.
***
Hari kedua

Dayat menghampiri seorang anak yang ia ketahui namanya Lilia. Gadis ini berumur 7 tahun, sama seperti almarhumah adik bungsunya saat terakhir kali mereka bertemu. Gadis itu menderita leukemia, sama seperti adiknya. Jadi saat ia bertemu Lilia, ia benar-benar melihat bayangan Gita, adiknya, ada di belakang Lilia. Wajah pucat Lilia menyakiti hati Dayat, itu yang ia lihat saat Gita mengucapkan kata-kata terakhirnya.
“Kakak? Sedang apa disitu? Lilia tidak suka diperhatikan begitu, Lilia lebih senang diajak mengobrol.”
“Baiklah, kakak akan mengobrol denganmu.”
Dayat mendekat lagi. Lilia tersenyum lemah walau ia memaksakan senyum lebih baik dari itu.
“Sekarang Lilia sekolah dimana?”
“Lilia tidak sekolah, kata Bunda. Lilia harus banyak istirahat.”
“Benarkah? Seharusnya Lilia meminta untuk sekolah.”
“Tidak apa-apa, Kak. Kak Iel mengajari kami membaca dan berhitung. Kami yang tidak sekolah di sini masih bisa belajar.”
“Lalu, apakah Lilia senang kami mengajar di sini?”
“Lilia sangat senang! Apalagi tema Kak Dayat. Menjadi seorang pemimpin yang bersahaja. Lilia punya impian, Lilia ingin menjadi presiden Indonesia suatu saat nanti. Lilia ingin buktikan pada semua orang, bahwa seorang yang sakit-sakitan seperti Lilia bisa menjadi pemimpin yang lebih baik lagi dari presiden-presiden sebelumnya.”
“Kata-kata Lilia sangat bagus, siapa yang mengajarkan?”
“Fay, anak itu memang selalu terlihat kasar. Tapi aku tahu, dia adalah anak yang baik.”
“Fay? Benarkah?”
“Percayalah padaku, Kak.”
Dayat memalingkan wajahnya ke Dea. Anak itu seperti biasa, selain mengatur anak yang lain, tatapannya tidak pernah lepas dari Fay.
“Kamu percaya nggak, kalau teman kakak yang itu juga bersama kami bisa menyembuhkan trauma Fay juga membuat kalian punya orangtua?”
“Ya, Lilia percaya. Lilia yakin dari sinar mata kakak-kakak semua.”
“Ohya? Bisa Lilia jelaskan sinar mata itu?”
“Sinar mata kakak-kakak penuh keberanian, seperti bintang-bintang yang sering Lilia lihat. Setiap Lilia melihat bintang, Lilia melihat sebuah kekuatan masuk ke dalam hati Lilia. Sebuah kekuatan yang bisa membuat Lilia juga teman-teman Lilia ingin terus hidup untuk bisa melihat bintang-bintang itu bersinar dan bersinar lagi. Kak Iel pernah bilang pada kami, Tuhan sudah mengatur sebuah bintang untuk kami agar kami bisa mencapai impian yang kami inginkan. Dan Lilia melihat bintang itu di mata kakak-kakak. Jadi Lilia percaya kakak-kakak bisa membuat Lilia mencapai impian Lilia.”
“Percayalah, dan Lilia juga teman-teman Lilia akan mendapatkan bintang itu.”
Dayat tak percaya kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Padahal awalnya ia tak yakin untuk mengajar anak-anak luar biasa ini. Tapi ketika ia mendengar kepercayaan itu, ia menjadi percaya pada kemampuannya. Untuk apa semua ilmu psikologi yang ia miliki? Jika ia tak yakin bisa menyalurkannya di dunia nyata. Semua akan menjadi lebih indah jika ia merasa percaya diri. Ya, ia akan percaya!
***
Malam hari, di ruang pertemuan.

Seperti biasa, Dea duduk di antara kawan-kawannya untuk mendengar laporan pengajaran hari ini. Rasa gugup menjalar melewati urat syarafnya, tangannya bergetar, darahnya seakan membeku sesaat. Ia pegang tumpukan kertas laporan di hadapannya. Semua berisi laporan yang sangat luar biasa.
“Jadi ini pendapat mereka tentang kita?”
“Iya, De. Aku benar-benar kagum pada mereka. Anak yang kuasuh, Gea dan Hani memberikanku sebuah cahaya yang membuatku ingin selalu bersama mereka. Karena terasa hangat di sini,” ucap Yuki seraya menunjuk dadanya yang berarti hati.
“Gua juga, Ocha selalu membuat gua merasa nyaman. Dengan semua kekurangannya, dia bisa ngehibur gua, lebih dari yang gua lakuin buat dia,” dukung Agni.
“Jadi kalian mengerti kenapa gua menyarankan tempat yang luar biasa ini untuk tempat KKN kita?”
Hampir semua mengangguk, kecuali Kevin yang emang agak lola.
“Kenapa emang, De?”
“Karena di sini tersimpan sebuah kekuatan. Bahkan lebih besar dari kekuatan ultraman atau batman. Di sini ada impian dan kasih sayang. Mereka bisa ngalahin semuanya, selain kita bisa mengajarkan mereka kehidupan. Kita juga belajar tentang kehidupan dari mereka.”
“Benar! Gua setuju sama loe, De!” seru Riko.
“Oiya, besok kita kedatangan 2 tamu istimewa. Mereka adalah sahabat gua, namanya Angel dan Ami. Mereka akan membantu kita dalam pembuatan drama musikal yang kita rencanakan.”
Seketika suasana hening. Dea bertanya-tanya, ada apa ini?”
“Loe nggak percaya sama kemampuan kita, De?” Tanya Dayat.
“Iya, De. Apa kita nggak cukup bisa untuk ngebantu loe bikin proyek ini? Kita kan kerja bareng-bareng kali,” tambah Agni.
“Jangan pikirin diri loe sendiri dong, De! Kita di sini buat belajar! Bukan buat reunian!” Seru Oik.
“Bu-bukan gitu maksud gua, tapi…”
“Tapi apa?! Loe nggak percaya kan sama kita?! Jadi loe cuman ngasih tugas kita buat ngasuh dan ngasih laporan! Loe nggak pernah diskusiin apapun tentang drama ini ke kita!” kesal Riko.
Dea menggebrak meja di hadapannya.
“Kalian nggak pernah ngerti arti kerja sama! Apa artinya dengan tambah sahabat gua atau nggak? Gua akan atur seadil-adilnya agar kalian juga dapet bagian! Bukankah kemarin gua juga udah kasih tugas ke kalian untuk membuat sinopsisnya?! Dan gua pilih semuanya! Gua satupaduin! Kalian ngomong begitu karena kalian masih labil! Nggak pernah ngerti artinya kepercayaan! Gua selalu percaya sama kalian! Tapi kalau kalian nggak percaya sama gua, gua nggak janji bakal percaya lagi atau nggak sama kalian.”
Keadaan kembali hening. Semua diam, bahkan Rio yang ingin membela Dea pun terdiam. Ia tak menyangka Dea akan semarah itu.
“Gua bukan marah karena omelan kalian ke gua, tapi gua cuman takut kalian nggak bisa lagi gua percaya. Kalian harus tahu, sejak kalian menandatangani kontrak kesertaan kalian di KKN ini. Gua udah tetapin kalian semua menjadi sahabat gua, sahabat terbaik yang bisa gua percaya. Sahabat yang nggak akan pernah gua lupain selamanya. Itupun yang gua rasain sama 3 sahabat gua saat SMA. Gua mau, momen ini sebagai penyatu kami yang dulunya pecah hanya karena, ketidakpercayaan. Gua nggak mau kali ini proyek kita ancur karena kalian nggak percaya gua. Tolong percaya sama gua.”
Oik berdiri dan berjalan mendekati Dea. Senyumnya mengembang, lalu ia julurkan tangan kanannya pada Dea.
“Sudah gua duga, proyek ini akan berhasil. Seorang pemimpin kayak loe emang yang kita butuhin di sini.”
Dea tak mengerti, kenapa Oik tiba-tiba jadi lembut? Tak berapa lama Riko juga berdiri dan melakukan hal yang sama dengan Oik.
“Ya, kami akan percaya sama loe. Karena loe sahabat kami.”
“Kenapa kalian tiba-tiba jadi baik begini?”
“Karena kami cuman mau nguji loe, De! Sebenarnya loe beneran percaya nggak sih sama kami! Dan kami di sini jadi tahu, kalau loe emang percaya kami!” seru Dayat.
“Siapa dalangnya?”
“Rio!”
Tatapan tajam Dea menghilangkan bayangan indah Rio yang mengkhayal akan disalami Dea karena jasanya mengembalikan kepercayaan teman-temannya pada Dea.
“Loe!!”
***
Dea tak melihat Alvin di tempat biasa, apakah Kak Alvin sakit? Tanyanya dalam hati. Ia langsung terkejut saat bahunya ditepuk. Ia pun dengan cepat mencaritahu pelakunya. Rio.
“Loe ngagetin gua aja!”
“Nunggu Alvin?”
“Hem.”
“Dia katanya lagi demam.”
“Kata siapa?”
“Firasat.”
“Ih, Rio!”
“Iya-iya, kata Iel barusan. Jadi gua aja ya yang ngegantiin Alvin?”
“Loe bukan pengganti kali, Yo.”
“Terus apa?”
“Loe juga orang yang berharga, sama seperti Kak Alvin.”
“Benarkah? Tapi kok loe nggak bisa suka sama gua?”
“Dih, maksudnya berharga itu bukan masalah suka nggak suka. Tapi masalah pandangan gua ke loe.”
“Dan pandangan loe ke gua gimana?”
“Loe sahabat gua yang paling bisa ngertiin gua, bahkan lebih ngertiin dari Ami, Via, dan Angel.”
“Maca’ cih?”
“Alay loe.”
“Hahahahahaha.”
“Ngomong-ngomong, ngapain loe mau ketemu gua malam ini? Bukan maksud mau nembak lagi, kan?”
“Dih, ngarep amat sih loe, De.”
“Terus mau apa dong?”
“Gua cuman mau janji sesuatu sama loe, De.”
“Apa?”

Star from Heaven - TIGA BELAS

Tiga Belas

HARI ini tepat 3 tahun setelah Dea tahu kebenaran tentang Alvin. Walau ada 1 rahasia yang belum terungkap, kenapa Alvin ingin Dea membencinya. Tapi saat tahu Alvin juga menyukainya, Dea berharap ia bisa menemukan Alvin dan meminta maaf padanya. Selama 3 tahun ini ia terus mencari Alvin, semua koneksinya dengan teman-teman di Singapura pun ternyata tak cukup. Rio juga membantunya, dengan alasan pribadi ingin menyelesaikan urusannya dengan Alvin secara jantan.
“Udah selesai packing buat sebulan, De?”
“Udah kok, Ki. Loe?”
“Udah juga. Rio dan Kevin udah belum, ya?”
“Kurang tahu deh, coba aja tanya langsung ke mereka. Gua mau ke aula utama dulu ngurus anak-anak.”
Dea berjalan agak cepat ke aula utama, siang ini mau tak mau mereka harus segera berangkat ke Bandung untuk melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) bagi fakultas Psikologi dan MIPA.
Saat Dea masuk ke aula, sekitar 11 remaja tengah sibuk mengatur tas mereka masing-masing. Dea melempar senyumnya lalu menyapa kesebelas remaja itu.
“Selamat pagi, teman-teman.”
“Selamat pagi, De!”
“Udah siap belum, semuanya?”
“Siap lah, De,” jawab Riko.
“Semuanya berjumlah 15 orang, kan?” Oik bertanya.
“Iya, kita tunggu 3 orang lagi. Baru berangkat,” jelas Dea.
Kevin berlari dari pintu aula, lalu berbisik pada Dea.
“De, mobilnya udah siap.”
“Oh, yasudah. Ehem, teman-teman, bagi yang sudah siap dimohon memasukan tasnya masing-masing ke dalam bagasi mobil. 1 jam lagi kita berangkat.”
Dea memerhatikan kawan-kawannya keluar dari aula, lalu ia mengambil ponselnya dari saku belakang celananya. Ia cari nama itu di kontaknya, Sivia.
***
_flashback_

Beberapa bulan yang lalu, Dea tengah sibuk mencari tempat untuk KKN tahun ini. Tapi tiba-tiba ia bertemu dengan Sivia di restoran saat ia sedang istirahat.
“Sivia?”
“Dea?”
Keduanya yang sedang membawa baki makanan pun terdiam tanpa membiarkan kaki mereka bergerak sekedar untuk melangkah. Tak begitu lama memang, Dea langsung menyadarkan Sivia untuk segera mencari tempat duduk.
“Udah lama banget, ya?” Dea tertawa kecil, lalu membuka bungkus nasi kepalnya. Asap panas menyeruak hingga embunnya memenuhi kacamata Dea.
“Iya, udah hampir 4 tahun kita melewati semuanya sendiri.”
“Nggak sendiri, Via. Loe pasti punya sahabat selain gua, Ami, dan Angel.”
“Ya, ada 1 orang. Tapi sekarang jadi banyak.”
“Syukurlah.”
“Dan loe?”
“Loe inget Rio, kan? Dia satu fakultas sama gua.”
“Wow, kayaknya dia udah tergila-gila sama loe.”
“Dih, apa coba.”
“Ngomong-ngomong kenapa loe di Bandung?”
“Gua lagi survey buat tempat KKN.”
“Jadi loe KKNnya tahun ini?”
“Iyoi, loe kapan?”
“Udah dong!”
Keduanya tertawa bersama, tertawa yang sangat lega karena inilah tawa yang sudah mereka nantikan sekian lama.
“Gua… kangen banget sama loe, De.”
Dea terdiam, lalu senyumnya mengembang tipis.
“Gua juga, nggak disangka kita bertemu sebelum genap 5 tahun.”
“Apalah artinya janji, gua udah kangen berat sama kalian bertiga. Gua bisa gila kalau nunggu lebih lama lagi.”
Dea tak berkomentar, karena mungkin jika ia bicara, suaranya akan bergetar menahan tangis. Ia juga sangat rindu pada Sivia, Ami, dan Angel.
“Ngomong-ngomong, loe lagi cari tempat KKN kan, De?”
“Iya.”
“Gimana kalau di panti asuhan Gemintang? Panti asuhan itu cocok banget sama jurusan loe.”
“Ohya?”
“Iya, gua yakin banget.”
“Oke, akan gua pikirin lagi. Makasih banget, ya.”
***
“Tuan, apakah masih ada yang perlu saya bantu?”
“Nggak usah, Bi. Saya udah sering bilang, jangan ganggu saya saat malam hari.”
“Jika saya boleh tahu, sebenarnya apa yang Tuan lakukan setiap malam?”
“Saya sedang menatap bintang.”
“Bintang?”
“Bibi takkan mengerti, karena hanya saya yang bisa melihat bintang itu.”
***
Sivia duduk di antara teman-teman kecilnya, dan seperti biasa, ada Iel di sampingnya. Sivia mengatakan kedatangan Dea dan kawan-kawannya beberapa jam lagi.
“Teman-teman Kak Via itu akan menghibur kalian, mereka akan bermain bersama kalian.”
“Apakah mereka tidak keberatan menjaga anak-anak cacat seperti kita?”
“Tentu tidak, Ocha.”
“Kak Via selalu baik pada kita, kami yakin teman-teman Kak Via juga baik seperti Kak Via,” ucap Iyan.
“Ya, itu sudah pasti,” dukung Iel.
“Jadi, sekarang kita harus memersiapkan semuanya! Ayo!”
***
5 jam berlalu…
Dea dan kawan-kawan sudah sampai di Bandung. Dea kembali menghubungi Sivia, tapi belum sempat Dea menekan tombol hijau tanda panggil di ponselnya, terlihat Sivia berlari ke arahnya.
“Maaf ya, De, gua telat!”
“Nggak telat-telat banget kok, Vi.”
“Kenalannya nanti aja, ya. Kita langsung berangkat aja ke Panti Asuhan,” saran Rio yang wajahnya sudah kusut karena lelah.
“Oke, gua akan jadi pemandu sementara.”
“Loe kira kita mau wisata, hah?”
“Hahaha, ayolah.”
Sivia mengantar Dea dan kawan-kawannya ke Panti Asuhan Gemintang. Di dalam mobil Sivia menceritakan bagaimana guru di sana mengajar anak-anaknya agar mereka bisa patuh pada orang baru. Termasuk cerita tentang bagian anak normal dan anak cacat yang di bedakan.
“Untuk apa membedakan mereka?” Yuki bertanya.
“Alasan sebenarnya agar tidak merusak batin antar 2 bagian itu.”
“Bukannya itu malah merusak? Kita harus berusaha untuk menyatukan 2 bagian itu!” Seru Kevin seakan mendukung pertanyaan Yuki.
“Mungkin ini tugas kalian untuk membantu teman-teman Panti itu.”
Mendengar ucapan Sivia, semua langsung saling pandang. Suatu tugas besar ada di tangan mereka, sekarang saatnya mereka kerahkan ilmu eksakta dan kejiwaan.
***
Ami menatap Toganya, pakaian wisuda yang akan ia kenakan beberapa minggu lagi. Semakin dekat wisuda, itu artinya waktu semakin banyak berlalu. Dan juga reuni Angkatannya makin dekat.
“Tinggal 1 tahun lagi…,” gumamnya.
Helaan nafas Ami makin panjang, ia buka laci meja belajarnya, lalu dikeluarkannya sebuah album foto. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat kenangannya dengan Dea, Angel, dan Sivia. Apalagi Sivia, ia ingin cepat-cepat bertemu Sivia. Permintamaafan itu ingin segera ia ungkapkan, menembus hati Sivia paling dalam agar berbekaslah kasih sayang Ami.
“Aku sudah tak sabar menunggu reuni itu.”
***
Angel melingkari tanggal di kalendernya, 15 Oktober 2015. Bersamaan dengan itu, senyumnya merekah lebar. Ia juga sadar, 1 tahun lagi ia akan bertemu dengan sahabat-sahabat terbaiknya lagi. Kotak cinta yang berpisah karena kesalahpahaman. Dan akan bersatu karena kerinduan.
“Kenapa aku merasa, bahwa 1 tahun lagi akan terjadi besok? Aku sangat tidak sabar.”
***
Sivia, Dea, dan teman-teman kuliah Dea tiba di gerbang Panti Asuhan Gemintang. Udara dingin Bandung membasuh kesadaran Dea yang terkantuk.
“De, dalam sebulan kita akan tinggal di sini,” bisik Yuki. Dea hanya mengangguk.
Tak berapa lama, seorang lelaki membuka gerbang Panti. Lalu lelaki itu berlari menuju kerumunan peserta KKN. Ia menulis sesuatu di sebuah papan.

Selamat datang di Panti Asuhan Gemintang

Dea termasuk kawan-kawannya terdiam, Sivia hanya tersenyum lembut. Dan sebagian besar peserta KKN memahami Iel, ia seorang tuna wicara.
“Jadi ini nyata?” tanya Oik.
“Tentu, Ik.”
“Ada 15 anak, loe harus bagi 2 golongan. Sesuai dengan bagian Panti ini. Dan gua harap, gua bisa masuk ke golongan anak normal,” ucap Aya, salah satu peserta dari jurusan MIPA.
“Maksud loe apa sih, Ay?”
“Gua nggak mau ngurus anak-anak cacat itu, dan gua yakin yang cacat lebih banyak, karena mana ada orangtua yang mau mengadopsi mereka?”
“Tapi tugas kita emang ngurus bagian anak cacat, Ay. Mereka tetap 1 walau terpisah.”
“Benar kata Dea, loe nggak boleh egois gitu deh, Ay,” bela Rio.
“Loe berdua sama aja, sekarang gini aja deh. Siapa yang mau ikut gua ngurus anak normal aja?”
Beberapa detik tak ada tanggapan, tapi 6 orang akhirnya maju. Mereka Tio, Rega, Jean, Fanny, dan Mega. Sisanya, Dea, Rio, Oik, Kevin, Yuki, Agni, Dayat dan Riko.
“Ya, 7 lawan 8. Tak apa,” ucap Aya penuh kemenangan karena ternyata masih ada orang yang ada di pihaknya.
“Kalian ini kenapa sih? Jean, Rega. Kalian ini anak psikolog, kenapa nggak bisa ngerti perasaan anak-anak kayak mereka?”
“Sekali-sekali nggak paham boleh, nggak?”
“Kalian egois!”
“Kenapa loe nggak pernah bilang tentang hal ini? Loe ketua yang menjerumuskan tahu, nggak!?”
“Menjerumuskan? Membantu anak-anak itu kau bilang menjerumuskan?”
“Menurut kami, iya.”
“Lakukan apa yang kalian mau, gua sama teman-teman gua akan buktikan, membantu mereka itu tidak menjerumuskan.”
Dea hendak masuk tanpa menghiraukan teman-temannya, tapi dengan gerakan cepat Kevin menghalau langkah Dea.
“Ini nggak sehat, De. Kita ini 1 tim, kenapa harus berpisah?”
“Ini mau mereka, Kev. Gua nggak bisa ngalangin orang-orang yang seharusnya bisa berfikir dewasa!”
“Jadi loe mau biarin mereka?”
Dea terdiam, lalu melirik ke arah 7 anak yang berlainan tujuan dengannya.
“Kalau kalian mau pisah, gua biarin. Tapi kalau kalian ingin gabung lagi ngebantuin kita, gua buka kesempatan itu. Kapanpun kalian mau. Untuk sekarang, kita pisah 2 bagian.”
Dea menatap Sivia yang wajahnya pucat pasi, seperti khawatir.
“Maafin gua, ya. Kami semua minta maaf,” ucap Dea sambil menepuk pundak Sivia.
“Maafin gua juga udah ngajak kalian ke tempat ini.”
Dea menggeleng tanda tak apa. Mereka pun masuk ke Panti, tepatnya ke tempat penginapannya dulu. Berkenalan dengan para Bunda Panti ini lalu merapihkan pakaian.
“Kita akan berkenalan dengan anak-anak besok saja. Perkenalan untuk bagian anak normal akan dibimbing oleh Bunda Junia, sedangkan untuk anak luar biasa oleh Bunda Nina,” jelas Dea.
“Anak luar biasa? Sebutan yang menarik,” komentar Riko.
“Terimakasih. Mereka memang anak-anak yang luar biasa, dari keahlian juga kejiwaan. Mereka hanya perlu kasih sayang.”
“Oke, sekarang waktunya istirahat. Kamar cowok sebelah kiri, kamar cewek sebelah kanan. Walaupun kamarnya nggak terlalu besar, tapi kita harus menghargai para Bunda yang rela tidur di kamar Panti yang kosong demi kita,” orasi singkat Dea.
Sivia mengenggam tangan Dea, ia ingin bicara berdua dengan Dea, dan Dea mengerti. Setelah peserta KKN masuk ke kamar, Dea mengikuti Sivia ke taman depan Panti. Mereka berdua duduk di bangku taman, di bawah langit malam yang hitam kelam, di antara perasaan rindu yang terus berputar menyelimuti mereka.
Mata Sivia berkaca-kaca, ia tak percaya sahabat yang sangat ia rindukan kini berada di hadapannya. Ia tak kuasa langsung memeluk Dea, sangat erat karena ia merindukannya.
“Gua… gua benar-benar nggak percaya. Sekarang, malam ini loe ada di sini.”
Dea tak bisa bicara, untuk masalah seperti ini bisa dibilang Dea yang paling lelah perasaannya, walau ia terus berusaha kuat, tapi rasa lelah itu juga terus membayangi pikirannya. Ia lelah berpisah dengan ketiga sahabatnya, ia lelah harus menunggu begitu lama untuk bertemu ketiganya. Ditambah ia lelah mencari seseorang yang ia cintai, seseorang yang akan selalu menjadi bintang paling terang bagi Dea.
“Loe belum kasih tahu gua alasan, kenapa loe mau gua bantuin anak-anak itu.”
“Loe lihat cowok yang membuka gerbang tadi? Namanya Iel. Ia sudah berada di sini selama lebih dari 20 tahun. Walaupun ia anak tertua di Panti ini, tapi ia selalu berusaha tegar mendidik adik-adiknya. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya akan pandangan sebelah mata orang-orang itu. Orang-orang yang menganggap anak-anak tidak normal sebagai pengganggu. Ia selalu terlihat kuat agar ada 1 orang saja yang ingin mengadopsinya, tapi entah kenapa itu begitu sulit. Saat umurnya 15 tahun dan adik-adiknya berdatangan, ia berpikir untuk tidak meninggalkan adik-adiknya, ia sudah tak peduli pada pandangan itu. Kini ia hanya berusaha mendapatkan orangtua untuk adik-adiknya. Usahanya membuahkan hasil, beberapa anak luar biasa itu setiap tahun bisa mendapatkan orangtua. Walau hanya 1 orang dalam setahun, ia sudah sangat senang. Tapi tidak untuk gua, De. Menurut gua, orang-orang itu buta. Mereka hanya melihat kesempurnaan, padahal anak-anak luar biasa itu punya kesempurnaan yang lebih dibalik kekurangan mereka,
“Pertama kali gua ketemu sama Iel, Iel ngasih gua 1 lagu untuk dinyanyikan. Judulnya “Bintang”. Lagu yang sederhana, menyenangkan, tapi bermakna. Itulah yang gua tangkap dari sosok Iel. Ia sederhana, menyenangkan, tapi bermakna. Maka dari itu gua ingin ngebantu dia, karena ia bermakna untuk semua orang. Jadi gua pengen, sekali aja… gua bisa bermakna buat dia.”
“Akan gua bantu semampu gua, dan kemampuan gua akan gua kerahkan semaksimal mungkin.”
***
Hari masih menunjukan pukul 8 malam. Dea juga belum mengantuk, ia pun berjalan-jalan mengelilingi Panti. Ia ingin beradaptasi dengan lingkungan Panti yang akan menjadi rumahnya selama 1 bulan. Setelah lama berkeliling, tempat terakhir yang ia kunjungi adalah taman belakang. Ia duduk di bangku taman dan mendongak.
“Tak ada bintang…”
Ia pandang sekelilingnya, beberapa menit ia terdiam di sana. Merasakan aroma taman bunga yang ada di sekitarnya. Matanya pun terpejam, rupanya ia sudah mengantuk. Tapi tiba-tiba saja ia terbangun, karena ia merasakan rambutnya dielus. Tubuhnya bergetar, matanya mulai panas.
“Sentuhan ini?”
Kepalanya memutar ke arah orang yang mengelus rambutnya. Ia benar-benar terkejut melihat orang itu ada di sampingnya. Alvin?!

Star from Heaven - DUA BELAS

Dua Belas

AMI masih menatapnya tajam, tangannya mengepal karena kesal. Kesal karena apa? Kesal karena orang itu kembali, kembali ke hidupnya yang harusnya sudah tenang. Lelaki itu juga menatap Ami dengan tatapan–aku tak percaya.
“Ngapain loe kesini?”
“Lintar itu sahabat gua, nah, loe? Kenapa loe bisa bareng Lintar?”
“Dia… dia.”
Terasa susah, Ami merasa untuk mengatakan Lintar adalah temannya cukup sulit. Ia merasa Lintar memang bukan temannya, melainkan seorang kakak yang ia impikan.
“Kalian tetap mau berkelahi? Ami, kamu mau kuantar pulang aja?”
“Yaudah, pulang aja, Kak. Aku juga udah cape banget.”
“Bentar-bentar! Ami, sejak kapan loe pakai aku-kamu? Sama… oh, kalian jadian to?”
“Bukan urusan loe Otlivio!”
“Aish, kenapa sih loe nggak panggil gua Patton?”
“Udah yuk, Kak.”
Patton menarik tangan Lintar, bersamaan dengan itu Ami juga berusaha menarik Lintar.
“Gua mau main!!” rengek Patton.
“Ih!! Gua mau pulang!!” rengek Ami.
Lintar jadi bingung sendiri, lalu ia melepas kedua tangannya dari genggaman Ami dan Patton.
“Aku bukan mainan yang bisa ditarik-tarik! Kalian main berdua aja!”
Baru saja Lintar mau pergi, Ami dan Patton menghalanginya lagi.
“Yaudah, kita ke taman ria,” ucap Ami.
“Yes, gua menang.”
“Jangan seneng dulu Otlivio, loe pergi main sendiri, gua sama Kak Lintar.”
“Enak aja! Gua sama Lintar itu baru ketemu hari ini, loe kan udah sering sama dia, gantian dong!”
“Oke, gua main sendiri!”
“Eits, aku nggak mungkin ninggalin cewek sendirian. Patton, kamu harus setuju kita main bertiga.”
“Nanti gua ganggu orang pacaran, lagi.”
“Gua sama Kak Lintar itu nggak pacaran, Patton. Kita cuman temen.”
“Tapi kenapa loe sama Lintar pakai aku-kamu?”
“Kak Lintar kan lebih tua dari gua, jadi gua harus sopan.”
“Ya ya ya. Sudahlah, ayo kita main sepuasnya malam ini!”
***
Sesuai rencana, Dea dan ketiga kawannya pergi ke taman yang dimaksud. Malam ini agak mendung, jadi bintang enggan menampakan sinarnya.
“Kalian tahu nggak? Ada 1 bintang yang bersinar di antara langit malam itu.”
“Apa tu, De?”
“Bintang yang ada di hati kita.”
Ketiganya saling pandang, sepertinya bingung dengan pernyataan Dea. Dea terus mendongak, wajahnya berubah gusar. Matanya yang berair terlihat bekilat terkena sinar lampu taman.
“De? Kamu nangis?”
“Gua bersyukur, sampai sekarang gua masih diberi sahabat seperti kalian. Gua nggak bisa bayangin gimana jadinya gua tanpa kalian.”
“Aku juga beruntung bisa kenal kamu, De.”
Dea menatap Yuki lekat, lalu kedua tangannya mendekap dadanya sendiri. Seperti mencari kehangatan cahaya seperti yang ia katakan, bintang yang ada di hatinya.
“Bintang di hati gua, adalah bintang yang dikirimkan Tuhan dari Surga buat gua. Biar gua bisa terus tersenyum dalam kesedihan, biar gua tetap tenang dalam gelisah, biar gua bisa memaknai semua anugerahnya. Langit mendung itu adalah selimut para bintang, karena ada waktunya bintang-bintang itu perlu kehangatan. Gua nggak salah dong kalau gua suka hujan dan bintang?” sambil melirik Rio. Rio yang dipandang hanya tertawa kecil.
“Gua sekarang ngerti, De.”
Dea hanya tersenyum, lalu ia memandangi langit lagi. Sebenarnya ia tak melihat langit, melainkan sedang memikirkan sebuah kenangan. Kenangan yang ia miliki bersama ketiga sahabatnya.
***
Sivia dan Gabriel membantu Oma bersiap-siap. Pagi ini akan menjadi pagi yang tak terlupakan bagi keduanya, juga Oma. Perpisahan ini hanya sementara, yakin mereka.
“Oma akan menjadi donatur tetap Panti Gemintang, agar seluruh anaknya bisa bersekolah. Kamu harus memanfaatkannya, Iel,” ucap Oma sambil mengelus rambut Iel.
Iel menatap Sivia karena ia gugup. Sivia seakan mengerti perasaan Iel, akhirnya ia yang menjawab ungkapan Oma.
“Iel bilang, terimakasih untuk semuanya, Oma. Dan… kami menyayangi Oma.”
Oma memeluk Iel dan Sivia lalu mengelus pundak masing-masing, hingga sebuah suara klakson mobil menghentikan kejadian itu.
“Itu pasti cucu Oma, mari kalian berkenalan dulu.”
Iel dan Sivia mengikuti Oma keluar sambil mengangkat barang-barang Oma.
“Oma? Oma Rina?”
“Kemari, Septian. Berkenalan dulu dengan cucu-cucu asuh Oma.”
“Septian?”
“Sivia?”
Iel menatap keduanya, perasaannya jadi tak keruan melihat kedua insan itu bertatap heran. Iel merasa, cemburu? Entah bagaimana ia menggambarkan perasaannya saat ini, yang pasti perasaan itu akan datang ketika ia kesal, atau iri.
“Jadi loe pindah ke sini?”
“Udah setahun nggak ketemu, malah ketemu di sini.”
“Jadi kalian sudah kenal satu sama lain?” Tanya Oma.
“Kami teman–“
“Dia Sivia, Ma. Cucu Oma juga.”
“Hah?”
Septian menarik Sivia menjauh dari kebingungan itu.
“Loe sepupu gua, Vi. Tapi loe nggak pernah tahu karena Ayah loe selalu menutupinya. Loe nggak pernah merasa kalau loe nggak pernah kumpul sama keluarga besar Ayah atau Bunda loe?”
Sivia terdiam. Sepertinya itu alasan kenapa Septian selalu menjauhinya. Saat SMP dulu Septian tahu kalau Sivia menyukainya, maka dari itu ia menjauhi Sivia. Ya, pasti seperti itu.
“Thank’s. Karena loe nggak terbuka sama gua, gua sama Ami…”
“Maaf, maaf banget, Vi.”
“Bisa loe balikin kepercayaan Ami ke gua?”
Septian menatap dalam ke mata Sivia. Tergambar perasaan bersalah di mata itu.
“Gua… gua sayang banget sama Ami. Dan gua nggak tahu harus cari dia kemana.”
“Suatu saat nanti, kalau gua kumpul sama sahabat-sahabat gua. Temuilah dia.”
“Jadi loe nggak marah lagi sama gua?”
“Nggak, masa’ gua mau terus-terusan marah?”
“Makasih, Vi.”
***
Patton memutuskan untuk pergi ke Jepang besok. Dan itu sebenarnya membuat Ami lega. Tapi tidak untuk Patton. Ia merasa akan menjadi pecundang seumur hidup jika ia tak menyatakan perasaannya pada Ami sesegera mungkin. Jadi di sinilah keduanya, di halilintar taman ria. Ami awalnya tak mau, tapi Patton memaksanya. Lintar pun menganjurkan agar Ami mengikuti permintaan Patton.
“Ngapain sih loe ajak gua ke sini? Nggak penting tahu, nggak?”
“Tapi ini penting buat gua, Mi.”
“Ada apa sih?”
“Gua akan ke Jepang besok, dan itu artinya gua nggak akan ketemu loe lebih lama lagi.”
“Lha, terus?”
“Loe jangan aneh ya kalau gua jadi manis gini ke loe.”
Ami hanya mengangkat bahunya–tak masalah.
“Sebenernya gua… gua suka sama loe, Mi.”
“Hah? Loe jangan ngerjain gua lagi, deh.”
“Kalau masalah perasaan kayaknya gua nggak bisa bercanda, Mi.”
“Kenapa tiba-tiba?”
“Nggak tiba-tiba kok, Mi. Gua suka sama loe sejak tahun pertama SMA.”
Ami terdiam, ia sangat kaget dan tak menyangka lelaki itu akan suka padanya.
“Loe masih inget kejadian loe ditolong Septian dari atas pohon, pas loe mau menyelamatkan kucing yang tersangkut itu?”
“Ya, dan itu juga pertama kalinya gua suka sama dia. Lalu?”
“Sebenarnya yang bilang sama Tian soal loe itu… gua.”
Keadaan hening sejenak.
“Gua bodoh karena nggak berani nolong loe cuman gara-gara gua takut kalau gua malah nyakitin loe. Gua bodoh karena membiarkan cewek yang gua suka diselametin sama cowok lain. Gua bodoh… karena gua harus menghina loe dengan alasan… gua cemburu sama Tian.”
“Dan gua akan lebih bodoh lagi kalau gua ngelepasin loe sekarang. Padahal gua udah cari loe kemana-mana, dan gua seneng banget Tuhan mau kasih gua kesempatan untuk ada di sini sama loe. Sekarang terserah loe, mau tungguin gua 4 tahun sampai gua balik ke Indonesia untuk… untuk menyatakan perasaan gua lagi, atau loe langsung tolak gua sekarang.”
Keringat dingin mengalir melewati leher Ami lembut, tubuhnya membeku, jantungnya berdegup kencang. Anehnya, perasaan yang sekarang ia rasakan tidak seperti saat Septian menyatakan perasaan padanya. Ia merasa lebih bahagia. Bahagia? Ya, ia seperti menunggu pernyataan ini selama bertahun-tahun, dan itulah pernyataan yang paling ia inginkan. Rasa itu kembali muncul. Rasa yang sama saat sebelum ia suka pada Septian. Rasa yang sama saat ia belum mengenal Patton sebagai seorang yang selalu menghinanya. Patton banyak membantunya saat Masa Orientasi SMA, saat Patton membantunya, Ami merasa ia telah menemukan cinta pertamanya. Tapi hinaan Patton membuat Ami sadar, sepertinya itu hanya kagum pada sikap kepahlawanan Patton saat MOS. Dan sekarang ia tahu, anggapan kagum itu juga salah. Ia sebenarnya memang menganggap Patton sebagai cinta pertamanya.
“4 tahun? Apakah saat reuni nanti. Loe akan datang dan menyatakan perasaan lagi ke gua?”
Patton yang daritadi menunduk langsung mengangkat wajahnya dan menatap Ami lekat.
“Loe mau nunggu gua?”
Dengan pasti Ami mengangguk.
Refleks, Patton memeluk Ami, ia ingin mendekap gadis yang ia cintai itu seerat-eratnya. Ia tak ingin melepas gadis itu lagi. Ia tak ingin menjadi seorang pecundang lagi.
“Tunggu aku.”
***
Zahra melewati beberapa anak fakultas demi mendekatkan jaraknya dengan keberadaan Dea yang kini sedang berjalan menuju kantin.
“De, Dea!”
Dea menoleh ke sumber suara, terlihat Zahra sedang mengatur nafasnya.
“Ada apa, Kak?”
“Ada waktu nggak?”
“Ini kan bukan hari latihan, Kak.”
“Bukan untuk latihan, tapi untuk berbicara tentang… Alvin.”
---
Tangan Dea bergetar setiap mendengar kata itu, seperti siang ini. Zahra mengajaknya untuk berbicara tentang Alvin. Itulah sebabnya Dea tak bisa memegang gelas tehnya dengan benar. Zahra menangkap kegelisahan Dea sebagai tanda bahwa Dea takut memikirkan Alvin lagi. Itu sudah sepantasnya. Apalagi setelah Alvin bercerita bahawa kemenangan Kiki kemarin hanya rekayasa, dan berhubungan kuat dengan Dea.
“Aku tahu masalahmu dengan Alvin. Ia sudah menceritakan semua padaku.”
“Semua?”
“Ya, termasuk masalah pertandingan Nasional 1 tahun yang lalu.”
“Memangnya ada lagi?”
“Ada 1 lagi. Alvin sudah pindah ke Singapura sejak pertandingan itu berakhir.”
“Apa?!”
“Dia tidak memberitahumu?”
Dea menggeleng.
“Mungkin memang hanya aku dan Iel yang tahu.”
“Iel?”
“Ohiya, Iel itu adalah sahabat Alvin. Ia tinggal di Bandung. Kami bertiga memang dekat sejak SD. Boleh dibilang sahabat karib. Tapi sejak aku pindah ke Jakarta, dan Alvin pindah ke Bogor, kami tidak sering bertemu lagi. Walaupun tidak bertemu, kami selalu bercerita lewat surat dengan merpati kami masing-masing. Suatu saat Alvin mengirimiku sebuah surat, tentang bagaimana cara memperlakukan gadis dengan baik. Ia pun mengirimkan fotomu. Lalu aku memberinya nasihat. Tak kusangka gadis itu kini di depanku.”
“Aku?”
“Iya, sebenarnya aku tak boleh mengatakannya padamu. Tapi karena Alvin tak ada di sini, sebaiknya kukatakan. Sebenarnya cinta pertama Alvin adalah kamu.”
“Tapi kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku?”
“Karena Alvin terlalu takut. Ia takut jika ia akan kehilangan kamu, jika kamu tahu yang sebenarnya.”
“Terlalu sinetron, Kak.”
“Tapi itulah kenyataan, Dea.”
Dea masih diam, sesekali ia meminum seteguk es tehnya.
“Alasan rekayasa kemenangan itu ada 2. Yang pertama, ia ingin Kiki bisa menang melawannya karena mungkin itu pertandingan terakhir Kiki dengannya. Ia ingin melihat ekspresi bahagia Kiki ketika mengangkat piala itu, karena menurutnya Kiki memang benar-benar hebat. Jika saja Kiki tidak dengan sengaja memukul pelipis Alvin, mungkin Kiki yang akan menang pada pertandingan pertama mereka. Dan kau tahu? Itu juga kenapa aku bisa kalah darimu,” jelas Zahra. Lalu ia menunjuk pelipis Dea.
“Dariku? Kamu?”
“Ya, aku lawanmu di pertandingan nasional 2 tahun lalu. Kamu benar-benar tak ingat?”
“Bagaimana bisa ingat? Setelah memukul pelipisku, aku pingsan dan ingatanku terhapus sebagian, termasuk lawanku sendiri. Kamu benar-benar menyakitiku.”
“Hahahaha, maaf, ya.”
“Lalu alasan kedua?”
“Alasan kedua… karena ia ingin kamu melupakannya. Ia sangat mengenalmu, kamu bisa membenci seseorang yang menyuruh hal yang nggak kamu suka. Benar, kan?”
“Tapi kenapa aku harus membencinya? Karena dia akan pindah ke Singapura? Apakah lama?”
“Aku tak tahu berapa lama ia di sana. Mungkin sangat lama.”
“Aku… aku ingin bertemu dengannya!”
“Berdo’alah pada Allah. Aku pikir hanya Allah yang bisa memberimu kesempatan untuk bertemu dengan Alvin. Dengan segala macam cara tentunya.”
“Aku akan terus meminta kesempatan itu.”
“1 lagi rahasianya. Alvin pernah bilang padaku, setiap dia bertemu denganmu, dia akan merasa bahwa ia sudah menemukan bintangnya. Bintang yang ia cari sejak kecil. Ia percaya, jika Tuhan akan memberikan 1 bintang untuk setiap orang di dunia ini jika orang itu terus mencarinya. Sebuah bintang yang akan menyinari langkahnya menuju impiannya. Ia sudah bilang bahwa itu kau, dan aku yakin ia takkan benar-benar meninggalkanmu sebelum ia sendiri yang mengatakan itu.”
Pernyataan terakhir Zahra membuat Dea merasa, bahwa ia juga telah menemukan bintangnya.
***
Septian dan Oma Rani pun meninggalkan Bandung. Sivia hanya melambai sebagai tanda, bahwa ia akan memulai hidupnya yang baru tanpa bayang-bayang Septian. Hanya 1 yang masih menjadi bayangannya, rasa bersalahnya pada Ami karena telah membohongi Ami. Sivia berharap Septian akan segera menemukan Ami dan mengatakan semuanya. Atau ia yang akan menghadapi Ami suatu saat nanti.
Iel menyentuh punggung Sivia dengan jari telunjuknya. Sivia menoleh dan memberi tatapan_ada apa? Iel menunjukan kertas bertuliskan…

Siapa dia?

“Oh, dia sepupuku. Aku baru tahu ia sepupuku.”

Sebelumnya kamu menganggapnya apa?

“Hanya teman.”
Berbohong lagi, Sivia kini akan terus merasa bersalah jika ia terus-terusan berbohong.
“Maaf, sebenarnya bukan sekedar teman. Tapi ia orang yang spesial untukku. Aku menyukainya, dan aku tahu itu tak boleh.”

Kenapa? Apa karena ia sepupumu?

“Tentu, sesama saudara tak boleh saling menyukai. Apalagi ia sepupu dari Bundaku.”

Apakah jika aku sudah menjadi cucu angkat Oma Rina, kau juga tak boleh menyukaiku?

“Apa?”

Aku menyesal menerima permintaan Oma untuk menjadi cucunya.

“Tak ada yang perlu kau sesalkan, karena Oma hanya menganggap, tak meresmikan. Jadi aku akan tetap menyukaimu.”
Saat itu juga wajah Iel merona, senyumnya merekah. Ia berjanji akan terus menjaga Sivia.
***
Alvin baru saja turun dari pesawat, tapi ia sudah menghirup udara sedalam-dalamnya.
“Udara Indonesia…”
***
Ami dan Lintar duduk berhadapan. Tapi Ami sama sekali tak berani menatap mata Lintar. Tangan Lintar hendak mengelus pundak Ami, tapi Ami langsung menjauh.
“Ada apa, Ami? Sepertinya sejak pagi kamu agak aneh.”
“Aku… aku ingin kita berdua bilang pada Ibu dan Ayah. Kalau kita nggak setuju sama perjodohan ini.”
“Lho? Ada apa ini, Mi?”
“Aku menganggap Kakak hanya sebatas Kakak kandung. Nggak lebih.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
“Tapi apa hanya itu alasannya?”
Ami tak bisa menjawabnya, karena ia takut pernyataannya akan merusak persahabatan Patton dan Lintar. Cukup persahabatannya saja yang hancur karena seseorang.
“Apa karena Patton? Ia memintamu untuk memutuskan perjodohan ini?”
“Bukan, Kak. Kau tahu sendiri kan kalau aku selalu ribut dengannya, tidak mungkin aku percaya sama omongan dia.”
“Baik, jika ini yang kau mau. Aku akan menerimanya. Padahal aku kira, aku sudah menemukan bintangku. Bintang yang selama bertahun-tahun kuminta pada Tuhan untuk menyemangati hidupku.”
“Masih banyak, Kak. Bintang-bintang yang bisa menyemangati hidup Kakak. Aku yakin.”
“Ya, terimakasih.”
***
Rio menghampiri Dea yang sedang melamun di taman fakultas. Sebenarnya bukan melamun, tapi Dea sedang memikirkan darimana ia harus memulai untuk menemukan Alvin.
“Hayo! Melamun aja!”
“Eh! Gua kaget tahu!”
“Hehehe, sorry-sorry. Abisnya loe ilang gitu aja sih dari kelas, eh sekarang malah di sini. Melamun pula.”
“Gua nggak melamun.”
“Terus ngapain?”
“Nggak lagi ngapa-ngapin, sih.”
“Itu artinya loe melamun.”
“Ya, mungkin.”
“Loe nggak apa-apa, De?”
“Kayaknya gua emang lagi stress karena ujian deh.”
“Baru kali ini loe sebegininya ngadepin ujian.”
“Nggak terasa udah setahun kita ninggalin SMA, ya.”
“Loe mikirin temen-temen loe?”
Dea masih diam, ia seka keringat yang terus menggenang di dahinya.
“Mungkin.”
“Atau loe mikirin pelatih karate itu?”
Dea langsung menatap Rio, ia terkejut karena Rio berani mengungkit tentang Alvin.
“Apa maksud loe?”
“Gua cuman nanya, nggak boleh?”
“Loe kok jadi jutek gitu, sih?”
“De. Loe bilang loe nggak akan suka lagi sama orang yang nyuruh hal yang nggak loe suka. Tapi buktinya? Loe masih suka kan sama tu orang?”
“Entahlah, gua juga nggak yakin ini perasaan apa. Yang pasti gua nyesel karena udah salah paham sama dia.”
“Kalau loe mau ketemu dia, gua akan bantu.”
“Benarkah?!”
“Ya, itulah gunanya sahabat.”
Rio tak bersungguh-sungguh mengatakan itu, yang ia inginkan hanya menjauhkan Dea dari orang itu. Orang yang dengan mudahnya membuat Dea jatuh cinta, yang dengan mudahnya juga mengalahkan Rio hanya karena ia lebih dulu mengenal Dea.
***
Alvin masih menunggunya di bangku taman, ia menatap langit yang kini tak bisa ia lihat. Semua gelap, tapi bersinar. Karena ia terus memikirkan gadis itu. Seseorang yang bisa membuatnya terus menunggu sekian lama bahkan seumur hidupnya.
“Mungkin Tuhan akan memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu. Aku tak tahu kapan, tapi aku akan terus menunggu. Karena aku telah meminta. Mungkin kedengarannya bodoh jika hanya menunggu. Tapi aku akan tetap di sini hingga kau datang.”

Star from Heaven - SEBELAS

Sebelas

ENAM bulan berlalu…
“Ya, tak cukup buruk untuk pemula sepertimu.”
“Terimakasih, Kak. Kalau boleh tahu, kita latihan setiap jam berapa, Kak?”
“Dea, kamu masih pemula untuk belajar bidang ini. Tak usah terburu-buru.”
“Uhm, baiklah. Mungkin aku memang bersemangat, tak ada kegiatan lain habisnya.”
“Ohya? Sewaktu SMA dulu kegiatanmu selain belajar apa?”
“Hanya bermain bersama teman-temanku, dan… berlatih karate.”
“Karate? Kamu bisa karate?”
“Bisa. Ups, sudah jam 4. Aku harus pulang, Kak.”
“Yasudah, latihan akan diadakan seminggu sekali, tepat di aula utama setiap hari sabtu jam 10 pagi. Kami adalah klub yang tepat waktu, ingat itu.”
“Okelah, duluan ya Kak Zahra!”
“Sudah kubilang, panggil aku Rara!”
“Oke!” seru Dea seraya berlari keluar dari aula. Rara hanya tersenyum melihat Dea yang kini sudah menghilang dari pintu aula.
“Dea itu, punya kemampuan. Tapi kenapa Dea baru ikut klub seni di tingkat ini?”
Seraya mengangkat kedua bahunya, “Ia punya alasan yang kuat untuk itu. Dan sebaiknya aku tak mencampuri urusannya. Ya, sebaiknya tak usah.” Rara menata buku-bukunya lalu memasukannya ke tas, kepalanya yang tertunduk pun terangkat, tanda ia ingat sesuatu.
“Dea itu anak SMP Global! Kenapa aku bisa lupa! Dea itu gadis yang disukai Alvin! Ah, dasar pelupa! Sabtu nanti aku harus bicara banyak padanya.”
***
Sangat jarang, bahkan nyaris tak pernah 2 orang ini jalan bersama. Di dalam fakultas, lagi. Beberapa mata mencuri pandang dengan keduanya, Ami sebenarnya risih dengan kejadian ini, tapi ia mencoba tenang. Alasan Ami mau berjalan berdampingan dengan Lintar adalah, karena Lintar berjanji jika mereka bisa terlihat akur di fakultas, Lintar takkan bertanya tentang masalah pribadinya. 1 minggu yang lalu mereka memang bertengkar hebat, sebenarnya seperti biasa, hanya Ami yang marah. Hal itu terjadi karena Lintar terus bertanya tentang masa SMA Ami. Ingin sekali Ami mencekik leher Lintar kala itu, tapi ia juga punya akal, tak mungkin ia menyakiti lelaki yang sudah berbaik hati selalu mengajarinya pelajaran-pelajaran kuliah. Pantas saja Lintar menjadi mahasiswa terbaik di angkatannya, IPnya saja 3,80 3 tahun berturut-turut. Belum ada yang bisa menandingi nilai itu.
“Sepertinya semua melihat kita, Mi.”
“Ya… biarin aja. Kamu nggak suka?”
“Malah aku yang mau tanya kamu, apa masa SMA kamu sangat rahasia ya? Sampai kamu rela jalan berdampingan denganku.”
“Sangat rahasia.”
Maksud Lintar menanyakan masa SMA Ami hanya untuk tahu siapa sebenarnya Septian. Kalau ia tahu, ia akan memberi pelajaran pada Septian. Memberi pelajaran? Untuk apa?
“Ini udah sampai kelas kamu, aku duluan ya.”
“Ya, pergilah dariku.”
Lintar hanya tertawa kecil melihat tingkah Ami, walaupun Ami tak suka padanya tapi ia akan berusaha menjadi seseorang yang berarti dalam hidup Ami. Ia berjanji.
“Ohiya, Mi. Sore ini aku ingin mengenalkan seseorang padamu, dia temanku saat aku di Jakarta dulu. Ia benar-benar asyik kok orangnya, mau ya?”
“Nggak janji, ya…”
“Yah, ayolah, Mi. Anggap aja sebagai balas budi kamu karena kemarin tugas kamu dapat nilai A karena bantuanku.”
“Ini yang nggak aku suka kalau minta bantuan kamu. Oke, tunggu aku di gerbang kampus jam 3 sore, uhm… pokoknya nanti kuhubungi lagi.”
“Siap, Bos!”
***
Rio menunggu Dea keluar dari aula, ia menunggunya dengan sabar karena hari ini ia akan meminta Dea untuk mengajari tentang kejiwaan anak yang mengalami kelainan sejak lahir. Dea memang sudah mempelajari materi sejak ia masuk kuliah. Menurutnya, seseorang tidak bisa dilihat sebelah mata hanya karena ia tak seperti manusia normal pada umumnya. Dea merasa mereka bahkan lebih sempurna dari orang normal. Masih ingat dengan Hellen Keller? Seorang penderita penyakit misterius yang menyebabkannya harus buta dan tuli, tapi ia juga seorang dosen, penulis, juga aktivis politik ternama di Amerika. Dea tak pernah lupa kutipan wanita itu “Hadapilah masalah hidup dirimu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan dirimu di kuasainya. Biarkanlah dirimu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna.” Benar-benar bermakna, wanita itu bisa karena ada yang membimbingnya, Dea ingin suatu saat nanti ia bisa jadi psikolog sekaligus guru yang dapat membantu orang lain layaknya Anne Sullivan, guru Helen.
Langkah Dea akhirnya terdengar oleh Rio, Rio berdiri dan menyambut Dea dengan senyuman. Gadis itu mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah buku setelah Alqur’an ia angkat sekuat tenaga.
“Ini, kita akan memperlajari buku ini.”
“Hah? Nggak salah, De?”
“Loe mau dapet A+ nggak buat ujian psikolog semester 2 ini?”
“Mau deh mau.”
“Gua nggak nyangka tema ujian dengan proporsi nilai tertinggi bakal ngambil tema ini, gua seneng banget.”
“He’eh.”
“Jadi kita mau belajar dimana?”
“Perpus udah tutup, ya?”
“Seinget gua sih udah, ini kan hari sabtu.”
“Hum, kita ke taman aja yuk? Kuliahan juga nggak terlalu rame kalau sore begini.”
“Oke.”
“Sini gua bawain.”
Tanpa ba-bi-bu Rio mengambil buku tebal itu dari Dea, cukup berat hingga membuat Rio hampir terjatuh karena keberatan.
“Loe yakin kita bisa pelajarin semua dari sini dalam waktu 1 minggu?”
“Sebenernya bab yang penting udah gua rangkum di buku lain.”
“Yah… bilang dong! Mending pakai rangkuman loe aja, De.”
“Hehehe, iya-iya.”
“Dasar jahil.”
Dea masih saja terkekeh, sedangkan Rio sudah meletakan buku itu di bangku.
“Lho? Kok ditaro situ?”
“Katanya pakai buku loe.”
“Rio tulalit!!”
***
Angel sudah bilang pada Kiki untuk tidak membuat puisi bertemakan dirinya, tapi Kiki terus mengirimi Angel puisi buatannya. Sepertinya kemarahan Angel beberapa bulan yang lalu berpengaruh besar pada sikap Kiki pada Angel. Kiki bisa dibilang… jadi tergila-gila pada Angel, kok bisa? Ini karena usaha Angel merubah dirinya agar Kiki tak lagi mengerjainya. Pernah suatu waktu Kiki kembali mengerjai Angel (dengan mencampurkan bubuk cabe di minuman Angel), dan dewi fortuna (lambang keberuntungan) sepertinya sedang bersama Angel, minuman yang diberikan oleh Kiki langsung diminum temannya sendiri yang kepedasan. Dengan santai Angel berkata pada Kiki,”Jika kau terus begini padaku, sepertinya kau takkan punya teman.” Walaupun Angel hanya sekali mengatakannya, tapi Kiki percaya itu, buktinya sejak Angel marah-marah padanya di aula, beberapa anak menjauhi Kiki sampai akhirnya Kiki meminta maaf pada Angel dan semuanya kembali normal. Kejadian kedua itu makin memperkuat Kiki untuk tidak lagi mengganggu Angel.
“Hoi, apa loe nggak ada kerjaan lain selain ngebuntutin gua, apa?”
“Gua kan cuman mau cari inspirasi, Njel.”
“Ish, kalau mau inspirasi kenapa harus deket-deket gua sih?”
“Kan loe tahu, sebagian besar puisi gua temanya loe.”
“Cari tema lain, kenapa!”
“Yaampun, pelit banget, Njel. Gaby sama Zeze aja nggak keberatan gua gabung sama loe pada.”
“Tapi gua risih, Kiki.”
“Masa’ sama cowoknya sendiri risih?”
“Oiya, gua lupa kita udah jadian.”
“Yah. Cape deh, padahal udah 3 bulan jadiannya.”
“Iya, sorry-sorry. Tapi besok gua mau ke Jakarta.”
“Mau ngapain, Njel? Gua ikut, ya?”
“Nggak usah, gua sama Ayah gua, kok.”
“Iya nggak apa-apa, biar gua bisa lebih deket sama Ayah.”
“Heh, loe panggil Ayah gua apa?”
“Ayah.”
“Kiki!!”
***
Hari ini hujan terus mengguyur Bandung sejak pagi tadi, Sivia hanya memandangi pemandangan luar dari balkon kamarnya, sebenarnya alasan Sivia memilih kamar di lantai 2 adalah untuk merasakan indahnya pemandangan alam, dari atas akan terlihat lebih indah. Sesekali ia bersenandung, tapi ia terlihat cemas. Jika merpati itu datang, apa yang akan ia jawab pada Iel? Tapi bagaimana merpati itu datang? Hujan semakin deras saja, dan jam sudah menujukan pukul 4 sore, waktu dimana merpati itu harusnya datang. Sivia tahu bahwa Iel tak mungkin datang ke tempat biasa mereka bersama. Tapi berharap apa salahnya?
Setengah jam kemudian Sivia mulai putus asa menunggu, telat artinya Iel tak datang. Atau lebih buruk lagi jika Iel menunggu hujan reda di tempat itu untuk menerbangkan merpati kesayangannya. “Arghh!” Geram Sivia.
Sivia pun menyerah dan masuk ke kamarnya, tapi baru saja ia memegang buku pelajaran jendela kamarnya berbunyi. Seperti bunyi ketukan yang diakibatkan benda keras.
“Iel!!”
Sivia girang saat melihat Iel berada di depan gerbang rumahnya, Iel melambai pada Sivia dan Sivia membalasnya. Tak lama Angel, merpati Iel menghampiri Sivia dengan sebuah surat tentunya. Sivia menangkap merpati itu sambil sesekali ia belai. Lalu baru ia ambil suratnya.

Ayo kita bermain hujan-hujanan! Aku yakin kau tak pernah berhujan-hujanan kan?

Lidah Sivia keluar sedikit seperti mengejek, tanpa membalas, Sivia segera turun menemui Iel. Untung saja Ayah Sivia sedang tak ada, jadi Sivia bisa bebas keluar saat hujan.
“Ayo! Aku memang tidak pernah hujan-hujanan!”
Iel langsung menggapai tangan Sivia dan menarik Sivia untuk berlari menembus terpaan air, Sivia memejamkan matanya saat berlari, karena ia yakin Iel akan terus menjaganya. Ia merasakan air itu sudah membasahi sekujur tubuhnya, dingin, tapi menyenangkan. Ia terus berlari sampai Iel berhenti. Mereka ada di tempat biasa mereka bertemu, di dekat pohon apel milik seorang nenek tua yang kesepian. Nenek itu tak keberatan dengan kedatangan Sivia dan Iel, ia malah senang jika makin banyak orang yang bermain di pohon itu. Di dekat pohon itu sudah di dirikan sebuah gubuk kecil agar Sivia dan Iel makin nyaman bermain di sini. Iel sendiri yang membuatnya semalaman saat beberapa minggu lalu ia tak bisa datang karena banyak ujian.
Saat mereka tiba di gubuk, ternyata nenek tua yang mereka panggil Oma Rina itu sudah menunggu keduanya. Ia sedang duduk sambil membaca buku dongeng yang entah sudah berapa tahun ia baca. Ia bilang ia tak bosan membacanya.
“Oma, kami datang lagi.”
“Kalian lama sekali datangnya, sebentar ya Oma bawakan makanan kesukaan kalian.”
“Oma, kami ingin di sini untuk menemani Oma sampai malam, kami… kami pasti akan merindukan Oma…”
Gabriel dengan cepat menulis,

Ya, apalagi dengan apel-apel Oma.

“Da…darimana kalian tahu kalau besok Oma akan pindah?”
“Semua orang di desa ini tahu, Ma.”
“Terimakasih banyak sudah menemani Oma selama 6 bulan ini. Oma sangat senang.”
Sivia dan Gabriel langsung memeluk Oma Rina. Besok cucu Oma Rina akan menjemput Oma agar tinggal bersamanya.
“Oma akan memberikan pohon apel ini untuk kalian, kalian harus menjaganya.”
“Dengan senang hati, Oma.”
“Kalau tidak keberatan, apakah kalian bersedia tetap menganggap Oma menjadi Oma kalian, sampai kapanpun.”
“Bolehkah?”
Sivia melirik Iel, seperti dugaannya, Iel terdiam mendengar hal itu. Ia melangkah mundur, tapi Sivia berhasil menahannya dengan ia menggenggam tangan Iel. Sangat dingin, bukan karena hujan, tapi karena keterjutan itu.
“Iya, tapi Oma hanya bisa membiayai sekolah kalian, Oma tidak bisa mengajak kalian ke rumah anak Oma. Mereka takkan setuju.”
“Jangan biayai sekolahku, Oma. Ayahku akan marah bila tahu, tapi Iel dan teman-temannya mungkin membutuhkan itu.”
“Baiklah, Oma akan menjadi donatur tetap di Panti Asuhanmu, Iel. Kamu tidak keberatan, kan?”
Iel tak bisa menulis, tubuhnya bergetar, ia sangat gugup. Tapi dengan cepat Sivia mengambil bukunya yang basah, lalu menulis,

Iel akan menjadi cucu Oma yang paling baik. Terimakasih, Oma.

Iel langsung menatap Sivia–apa maksudmu? Dan Sivia membalas dengan tatapan–apa salahnya?
Oma mengelus rambut Iel yang basah. Elusan seorang Ibu yang diinginkan Iel, Iel pun tak kuasa langsung memeluk Oma Rina. Iel memang sudah kuliah, di sekolah umum malah. Maka dari itu Sivia yakin keputusan ini baik untuk Iel. Sebenarnya Iel punya cita-cita menjadi penulis lagu, tapi ia bingung bagaimana menyampaikan isi lagu itu pada orang lain. Dan sejak ia bertemu Sivia, ia bisa melakukan segalanya layaknya anak normal.
Gabriel menulis sesuatu untuk Sivia,

Kata terimakasih itu juga kupersembahkan untukmu. Sebuah bintang yang kuimpikan, sebuah bintang yang dikirim Tuhan dari Surga untukku. Terimakasih, Via.

Sivia hanya tersenyum lembut.
***
Dea menjelaskan semua yang sudah ia pelajari pada Rio, Rio juga mencatat poin penting yang Dea ajarkan. Sudah 1 jam mereka belajar, dan Dea akan segera menutupnya.
“Jadi intinya kita nggak boleh membedakan antara anak normal dan anak yang punya kelainan, atau kata lain yang tepat kita nggak boleh memandang rendah anak-anak itu, karena aku yakin Allah punya rahasia sendiri untuk mereka.”
“Iya, makasih ya, De, buat pelajaran hari ini. Dan sebagai tanda terimakasih gua, gua mau ajak loe makan.”
“Benarkah? Traktir nggak?”
“Traktir dong!”
“Let’s go!!”
---
Rio dan Dea tiba di kafe dekat indekos mereka, sederhana tapi menyejukan. Kafe ini bernuansa putih seperti warna kesukaan Dea. Dan itu juga sebabnya Rio sering mengajak Dea kesini. Dea dan Rio sama-sama memesan bakso dan jus apel.
“De, loe bener-bener nggak hubungan lagi sama 3 sahabat loe itu?”
“Belum, bukannya nggak.”
“Oh, kalau sama cowok itu?”
“Cowok siapa?”
“Itu lho, yang dulu pernah gantiin Pak Haru selama seminggu.”
Dea tak menggubris pertanyaan Rio, dan Rio sadar akan kegelisahan Dea. Mereka pun melanjutkan makan dalam diam.
“De, Dea.”
“Hem?”
“Loe mau nambah?”
“Nggak, makasih.”
“Loe marah?”
“Nggak.”
“Kalau loe nggak marah, loe mau nggak temenin gua ke taman dimana kita lihat bintang dulu?”
“Uhm…”
“Mumpung besok hari minggu, De.”
“Gua juga mau sekalian balik ke rumah, mau minta doa restu.”
“Buat apa?”
“Kelancaran ujian gua.”
“Wah, sama deh kalau begitu.”
“Sekalian mau ke SMA Global, yuk?”
“Emang malem buka?”
“Inget Pak Gino, kan?”
“Iya. Malam ini, ya?”
“He’eh. Sama Yuki dan Kevin boleh?”
“Mereka kan bukan orang Bogor, De.”
“Yuki nginep di rumah gua, Kevin di rumah loe. Gimana?”
“Boleh deh.”
Sebenarnya masih ada 1 lagi alasan, kenapa Dea takut menyukai Rio. Ia takut, hal yang terjadi padanya dan Alvin terulang. Jadi untuk saat ini sepertinya Dea belum bisa membuka hatinya pada siapapun.
***
Tepat jam 3, dan sesuai permintaan Ami, ia menunggu gadis itu di gerbang. Tak berapa lama Ami muncul. Setelah Say good bye pada kawannya, Ami menghampiri Lintar.
“Ketemuan dimana?”
“Di taman ria.”
“Aku lagi nggak semangat ke taman ria, Kak.”
“Ayolah, Mi. Daripada malam minggu nggak melakukan apapun.”
“Yaudah deh. Tapi kenapa sih teman kamu pengen ke taman ria?”
“Katanya dia udah lama nggak liburan bareng temen-temennya, biasa orang sibuk.”
“Orang sibuk?”
“Iya, dia belajar mati-matian deh buat dapet beasiswa itu.”
“Beasiswa kemana?”
“Jepang.”
“Waw, keren!”
“Bahkan kamu nggak pernah bilang keren ke aku, padahal aku kan asisten dosen, di UGM, lagi.”
“Hahahaha.”
“Baru sekarang aku denger kamu ketawa.”
Ami terdiam, getaran itu datang lagi. Sudah beberapa bulan terakhir Ami merasa ada yang aneh di dirinya, ia jadi lebih sering berdandan jika Lintar akan menemuinya. Jantungnya juga berdegup kencang ketika Lintar ada di dekatnya. Tapi Ami menolak perasaan itu, ia tak mau terlalu gampang menyukai orang seperti dulu.
“Mi? Kamu bengong?”
“Eh, nggak kok.”
“Yaudah, ayo naik.”
---
Setibanya di taman ria, Lintar dengan sigapnya menggenggam pergelangan tangan Ami. Dan anehnya Ami tak menepis itu. Mereka masuk ke taman ria, dan Lintar melepas genggamannya. Ia mengambil ponsel, mungkin mau menghubungi temannya. Ami menatap sekeliling, tapi tiba-tiba matanya langsung membesar. Karena ia melihat seseorang yang ia kenal. Mimik wajahnya berubah menjadi orang heran, kesal? Tercampur begitu saja.
“Oh, kau di sana to!” seru Lintar. Dengan cepat Ami mengalihkan pandangannya ke Lintar dan dengan cepat pula beralih kembali.
“Hai… hah? Loe?”
“Kenapa loe bisa di sini?”
“Loe juga, kenapa loe bisa sama temen gua?”
“Jadi kalian udah kenal, ya?”
“Udah!” seru keduanya.

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini