Lima
ANGEL berlari sangat kencang menuju aula, rambutnya yang panjang agak terangkat karena gerak angin. Ia terus berlari dan berhenti di depan pintu aula. Ia pun masuk diam-diam agar Bu Ninda tidak melihatnya telat. Tapi sebuah tarikan agak keras di telinganya membuat ia harus putus asa, dengan pasrah ia tersenyum pada Bu Ninda.
“Darimana saja kamu?”
“Dari rumah, Bu.”
“Kenapa kamu bisa telat, hah?”
“Saya bangun kesiangan, Bu.”
Sebenarnya ini bukan hobi Angel, tapi pagi ini ia benar-benar harus telat. Ayahnya mengajak Angel ke pemakaman Bundanya sebentar, dan Angel terlalu senang berada di dekat kuburan Bundanya, jadi Angel menghabiskan waktu yang banyak untuk bercerita pada Bundanya sampai ia lupa masih ada latihan Padus sebelum besok libur.
“Paduan suara kelas 3 itu bukan kerja sendiri Angel, kamu harus memikirkan teman-temanmu!”
“Maafkan saya, Bu.”
“Yasudah, karena ini latihan terakhir dan kamu memang pertama kali telat, saya maafkan, duduklah.”
“Terimakasih, Bu.”
Angel duduk di samping Rio, di klub Padus Angel memang dekat dengan Rio, dan juga Dea sudah menitipkan Angel pada Rio, jadilah Rio mengemban tugas sebagai babysitter, ups babybro Angel?
“Loe kenapa telat?”
“Gua ke pemakaman Bunda gua dulu, Yo.”
“Oh, gua kira loe sama Dea.”
“Mikirin Dea aja loe, oiya, emang Dea kemana? Kayaknya nggak keliatan di klub karate,” ucap Angel seraya mencari Dea di kerumunan klub karate. Rio hanya mengangkat bahunya lalu menatap kerumunan itu. Pikirannya mulai menerawang, ke masa saat ia menyatakan perasaannya 2 tahun yang lalu, dan itu menjadi masa tersulit bagi Rio yang merasa sedikit malu pada Dea yang sedang berusaha mengejar mimpinya menjadi ketua klub karate SMA Global, sedangkan dirinya? Seorang yang pendiam sepertinya mana mungkin mendapat posisi terkenal itu.
***
_flashback_
Desember 2008…
Malam itu seharusnya menjadi malam yang indah bagi Dea, tapi dinginnya prilaku Rio hari ini membuat malam Dea menjadi malam yang sangat buruk. Di hari ulang tahunnya, Dea ingin Rio memberikan kejutan spesial untuknya, apalagi sudah 3 bulan mereka menjadi sahabat. Rio juga yang selalu mendukung Dea untuk menjadi ketua klub karate wanita. Rio memang anak yang tertutup, tapi jika didekat Dea ia bisa menceritakan semuanya. Dea pun mengajarkan segalanya pada Rio tentang keberanian, dan Rio sudah setengah terbangun dari ketertutupannya. Dan dari kedekatan tersebut tidak normal jika salah satu dari mereka tidak merasakan cinta. Mungkin Dea tidak, tapi Rio kini benar-benar menyukai Dea. Kejutan spesial sebenarnya akan Rio berikan pada Dea malam ini.
“Yo, ngomong dong sama gua, masa’ daritadi loe nggak mau ngomong sama gua.”
Rio masih terdiam.
“Ngapain juga loe ajak gua kesini? Kalau loe emang nggak mau ngomong, sebaiknya gua pergi.”
Sebelum Dea benar-benar akan pergi, Rio memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru tua dengan pita putih pada Dea. Dea terkejut dan memperhatikan kotak itu lekat-lekat.
“I…ini hadiah ulang tahun gua?”
Rio masih diam dan memajukan lengannya lebih panjang. Dea meraih kotak itu ragu, tapi ia merasa lega dan senang, lega karena ternyata ini hanya rencana Rio untuk mengejai dirinya, senang karena Rio memberikan kejutan yang sangat indah untuknya, lebih indah dari yang dibayangkan walau ia belum tahu isi kotak itu.
“Bukalah.”
Perlahan Dea melepas pita pengikat kotak itu, lalu mengangkat tutupnya, ia sangat gelisah saat membukanya. Tutup kotak terbuka, dan Dea langsung melempar kotak itu. Pekikannya melengking memekakan telinga, untung saja saat ini taman kota sepi. Dea langsung menutup muka, sedangkan Rio daritadi cekikikan melihat Dea yang ketakutan. Ular, hewan kecil itu ia selipkan di dalam hadiah Dea. Kejutan yang menegangkan.
“Hahaha! Ternyata loe benar-benar takut pada ular, gua kira loe cuman bercanda, hahahaha!”
Dea masih menutup muka, agak lama membuat Rio mulai khawatir.
“De? Loe kenapa?”
Suara tangisan terdengar pelan, memang ada beberapa hal yang mampu membuat Dea menangis, dan ular salah satunya. Ular telah membunuh kawannya saat TK. Alhasil segala jenis benda yang menggeliat seperti ular ia tak suka. Karena itu mampu membuka ingatan Dea pada teman TKnya.
“Loe nggak apa-apa, De?”
“Jauhin ular itu dari gua, atau gua nggak akan mau temenan lagi sama loe!”
“Ularnya udah pergi kok, De. Nggak usah khawatir lagi.”
Dea perlahan melepas kedua tangannya dari wajah, wajah Dea memerah karena tangis, Rio terkejut dan langsung merangkul Dea. Saat itu juga Dea menepis rangkulan Rio dan menatapnya tajam, tatapan yang tak biasanya.
“Loe marah, De?”
“Sangat,” geram Dea.
“Gua cuman mau ultah loe bareng gua berkesan aja kok, De.”
“Apaan yang berkesan! Gua paling benci sama yang namanya ular! Loe juga kan tahu!”
Melihat Dea yang marah-marah seperti itu membuat Rio tak kuasa menhan tawanya, alhasil tawa Rio mengalir renyah, Dea bingung sekaligus kesal melihat prilaku Rio.
“Loe itu, gua serius nih!”
“Serius loe itu sama sekali nggak nakutin gua,” ucap Rio sambil terus tertawa.
“Jadi loe ngajak gua kesini cuman buat ngerjain gua?”
“Lihat deh ke atas…”
Dengan sedikit kesal, Dea mendongak dan sontak matanya membesar melihat beribu bintang bertaburan di langit. Benar-benar pemandangan langka bagi Dea, pasalnya selama ia tinggal di Bogor, bintang-bintang selalu enggan muncul menghiburnya. Dea sangat terpesona dengan keindahan lukisan langit malam itu, sampai-sampai ia lupa kalau ia masih marah pada Rio. Dea mengangkat kedua tangannya, lalu telapaknya dihadapkan ke langit, kemudian diputarlah 45 derajat serupa mengusap embun di kaca.
“Indah sekali!!”
“Inilah hadiah gua yang sebenarnya, Dea…,” bisik Rio.
Dea menghentikan kegiatannya, pandangannya langsung mengarah pada Rio. Anak itu kini memegang bunga lili putih kesukaan Dea. Mata Dea makin berbinar melihat bunga tersebut Rio sodorkan padanya.
“Thank’s banget, Yo! Loe emang paling TOP deh!” seraya menyergap lili putih pemberian Rio.
“Ada 1 lagi, De.”
“Apa tu?”
Dengan sepenuh hati, Rio mengungkapkan perasaannya pada Dea, bagaimana ia merasa tenang saat mereka bersama, bagaimana ia bisa terbuka walau hanya pada Dea, bagaimana ia… bisa menyukai sosok tangguh di depannya. Dea tak bisa menjawab apapun saat Rio menyelesaikan ungkapannya dengan sebuah pertanyaan.
“Mau nggak loe jadi pacar gua?”
Dea merasa sangat gugup, tapi ia mencoba tenang. Kepalanya kembali mendongak menatap serbuan bintang.
“Ini jawabannya.”
Dea menggerakan tangannya seakan ia sedang menuliskan di langit tentang perasaannya pada Rio. Perlahan, agar Rio dapat membaca kumpulan tulisan udara itu. Seraya membaca, Rio juga mengucapkan tulisan itu.
“Best Friend Forever…”
Dea kembali menatap Rio, Rio hanya tersenyum karena ia sangat lega sudah mengungkapkan semuanya. Jika Dea hanya ingin berteman dengannya, tak apa… lagipula Rio masih bisa dekat dengan Dea walau tidak pacaran.
“No problem… gua seneng bisa deket sama loe.”
Malam itu memang menjadi malam paling indah bagi Dea dan Rio. Dan sejak malam itu, Rio mencoba untuk berani berorganisasi demi Dea, agar Dea dapat melihat betapa hebatnya Rio yang baru.
***
Disinilah pertandingan akbar persahabatan SMA Global diadakan, tapi lapangan Global hanya dipakai untuk pertandingan yang berbau olahraga, sedangkan pendidikan ada di kelas, dan kesenian di aula. Jadwal lomba sangat padat, hanya 2 hari dan setelah itu persiapan wisuda untuk kelas 3 akan diurus oleh adik kelas 1 dan 2. Wisuda akan berlangsung 1 hari setelah lomba persahabatan, padat sekali bukan? Tapi semua sudah diurus jauh hari agar tidak terlalu repot. Lalu ujian masuk Universitas dimulai 1 hari setelah Wisuda. Rencana liburan Dea dan kawan-kawan tepat setelah pengumuman Universitas, menurut mereka perpisahan yang sebenarnya tak pernah ada.
Kiki dan Dea berdiri di hadapan kawan-kawan karate penuh wibawa, mereka sangat sedih karena harus meninggalkan rekan karate terlalu cepat, apalagi hari ini Kiki harus ikut lomba karate Nasional dan diantar Dea. Jadi tak ada pengawas untuk klub karate, bukan tidak ada, tapi semua anak karate kelas 3 harus menjadi panitia lomba jadi tak ada waktu mengawas. Dea dan Kiki saja harus meminta izin kesana kemari demi lomba Nasional itu.
“Hari ini memang pertandingan antar kelas 1, 2, dan 3. Tapi karena semua perwakilan kelas 3 harus menjadi panitia, maka kami tidak bisa berpartisipasi, pertandingan antar kelas 1 dan 2 akan menjadi pertandingan yang luar biasa karena 2 kubu yang berbeda tapi 1 ini adalah andalan SMA Global. Maka dari itu kalian harus memperlihatkan kemampuan kalian semaksimal mungkin untuk mendapatkan piala itu,” seraya menunjuk sebuah piala klub Karate individu dan kelompok di meja utama penilaian. Klub karate akan menurunkan 10 orang (masing-masing 5 orang dari kelas 1 dan 2) untuk pertandingan individu, bisa saja antar kelas 2 atau 1 akan bertemu di final, dan 2 team yang terdiri dari 5 pemain dari masing-masing kelas 1 dan 2. Wajah berbinar terpancar dari masing-masing anak karate, inilah wajah yang pernah Dea dan Kiki miliki tahun lalu dan 2 tahun lalu. Saat mereka berdua mewakili angkatan, sungguh bangga rasanya ketika medali karate disematkan di leher mereka, sungguh indah piala yang mereka terima untuk perwakilan kelompok angkatan mereka. Sayang kelas 3 tidak bisa mengikuti lomba karate ini, semua anggota karate kelas 3 memang benar-benar sibuk menjadi panitia, begitupun beberapa anak kelas 3 yang tersebar di semua klub. Rio pun sebenarnya sibuk menjadi panitia, tapi ia berusaha untuk ikut lomba kelompok demi angkatan. Kalau saja Kiki tidak ikut lomba Nasional hari ini, ia dan Dea pasti ikut pertandingan.
“Saya sangat berharap pertandingan ini akan berjalan lancar, maksimal, dan jujur,” ucap Kiki.
“Baiklah, kami harus pamit. Besok saya akan mengumumkan pemenang dari pertandingan yang kami lihat lewat video dan penilaian dari panitia. Kami mohon maaf sebesar-besarnya karena tak bisa mengawas kalian dengan baik, apalagi saya pribadi yang meninggalkan kalian H-3. Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, Kak!” seru semua anggota karate yang akan bertanding maupun tidak.
“Good luck!” Kiki dan Dea pun pamit menuju GOR Jakarta menembus impian Kiki untuk mendapatkan piala nasional.
***
Kiki, Dea dan pelatih karate Kiki harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam menuju tempat ini. Pelatih Kiki menyuruh Kiki untuk pemanasan sebelum 1 jam lagi bertanding. Di gedung itu kini penuh dengan orang-orang berpakaian karate, Dea sampai bingung membedakan orang yang ia kenal dan tak dikenalnya. Tapi ada 1 sosok yang sangat ia kenal, Alvin. Alvin juga menatap Dea hingga kedua pandangan itu bertemu. Dea langsung memalingkan wajah dan pura-pura sibuk menyiapkan perlengkapan Kiki. Walaupun Dea mencoba untuk menghindar dari Alvin, tetap saja ia akan bertemu Alvin.
“Hai, Ki, De. Good luck ya untuk pertandingan hari ini sampai seminggu ke depan, bagaimana keadaan teman-teman Global?”
“Oh, hai, Kak. Makasih ya buat semangatnya, loe juga harus lucky kalau mau lawan gua!” ucap Kiki percaya diri.
“Ohya? Lihat saja nanti, hahaha.”
“Teman-teman karate baik-baik aja kok, mereka akan bertanding hari ini dan besok. Harusnya Dea nemenin mereka, tapi ternyata dia ngotot nemenin gua.”
“Ih, bukannya loe yang maksa gua ke sini? Takut gue, takut sendirian… iyek!”
“Iye, peace deh…”
Mata Alvin dan Dea kembali bertemu, tapi hanya sejenak karena Dea langsung membuang muka lagi dan menarik Kiki menjauh dari Alvin.
“Sory, kita duluan.”
“…”
***
Ami masih saja harap-harap cemas menunggu giliran presentasi makalah ilmiahnya. Ia terus menggigit kuku-kukunya karena gugup. Harus ada yang menenangkannya, tapi siapa?
“Loe nggak usah tegang gitu,” ucap sebuah suara lembut.
“Via?”
“Tenang aja, Mi. loe pasti menang!” semangat Via, seperti sudah lupa kejadian tempo lalu.
“Makasih, Vi.”
Hanya 1 kata singkat itu yang bisa dikatakan Ami, ia masih saja memikirkan masalahnya dengan Via. Walau Via tak merasa punya masalah, tapi secara tak langsung masalah itu terus menyelimuti keduanya. Ami masih canggung jika bertemu Sivia, karena ia benci pada Sivia yang tak berterus terang, juga benci pada dirinya yang tak menyadari sikap Sivia yang begitu jelas suka pada Tian.
“Bodoh…,” gumam Ami.
“Apa? Loe bilang apa?”
“Bisa kita bicara setelah pengumuman masuk Universitas? Selama belum masanya kita bisa nggak bertemu dulu?”
“Lho? Kenapa, Mi?”
“Maaf, gua nggak bisa bilang sekarang.”
Sebelum keadaan semakin buruk, Ami cepat-cepat menjauh dari Sivia. Sivia yang ditinggal begitu semakin bingung dan akhirnya pergi juga.
***
Lawan pertama Kiki bernama Andrian dari SMA Harapan, juara bertahan di setiap lomba antar kelas di sekolahnya. Bagi Kiki ia bukan lawan yang selevel. Sambil tersenyum tipis Kiki berjalan menuju podium pertandingan, menatap remeh lawan di depannya lalu menregangkan otot-otot tubuhnya. Pertandingan pertama ini harus–oh , pasti aku menangkan telak, pikir Kiki. Layaknya Kanken Toyama, Hironori Ohtsuka atau para master Karate lainnya, Kiki memasang kuda-kuda untuk mendapat poin tertinggi dalam 1 gerakan, yaitu tendangan. Karena gerakan ini menghasilkan nilai 3 setiap tendangan ke arah punggung.
“Ayo, maju duluan,” tantang Kiki.
“Jangan harap loe bisa menang!”
“Biasanya yang sok menang itu yang kalah.”
Kata-kata itu berhasil memancing kemarahan Andrian, membuat Andrian seperti kesetanan menyerang Kiki, tapi Kiki dengan lihainya menghindar, sepertinya ia menunggu sampai lawannya lelah. Taktik yang menakutkan. Sementara Kiki bertanding, Dea melihat pertandingan lain, ia akan membantu Kiki mendapat informasi instan akan lawan selanjutnya. Dea juga tahu Kiki tak begitu kesulitan dengan Andrian. Lawan Kiki yang sesungguhnya adalah Alvin, yang juga menjadi lawannya dimanapun ia berada.
Ternyata pertandingan yang diamati Dea adalah pertandingan antara Yuan dari SMA Santa Maria, dengan Angga dari SMAN 5 Jakarta. Dea tertegun melihat pesona Yuan, ia benar-benar tipikal lelaki ambisius tapi pikirannya dangkal, walau dangkal Dea suka tekadnya. Sebaliknya Angga, anak itu sangat sabar menghadapi Yuan, tapi Angga selalu berhasil membalas Yuan. Sekarang adalah pertandingan antara tekad dan kesabaran. Manakah yang akan menang? Dea mencatat semua gerakan andalan dari Yuan dan Angga, Dea memang lihai mencatat gerakan, tak salah ia mempunyai banyak jurus baru yang ia tiru dan padukan dengan jurusnya.
Sepuluh menit kemudian, 2 pertandingan itu berhenti. Sesuai prediksi Dea, Kiki menang nyaris telak, membuat Andrian harus terkulai lemas di sudutnya. Pertandingan yang Dea lihat mengeluarkan pemenang Angga. Ternyata kesabaran yang menang. Dea menyunggingkan senyum pada Kiki yang berdiri menunggunya.
“Udah dapet datanya?”
“Ya, ini jurus andalan lawan loe berikutnya.”
“Yah, yang begini sih bukan tandingan gue!”
“Jangan sombong dulu! Dia itu jago banget dalam hal strategi, loe harus berpikir panjang kalau mau nyerang dia!”
“Iya, Nyonya. Serahin catetan loe.”
Saat Kiki membaca catatan Dea, ia benar-benar seperti pemangsa, wajah penuh ambisi yang Dea benci walau Dea sudah biasa melihatnya, tapi ia tetap tak nyaman jika harus bersama pemangsa ini. Dea pun menjauh, keluar dari GOR adalah pilihan yang tepat menurutnya.
***
Suasana sekolah masih ramai, lalu lalang semua orang membuat gadis ini sakit kepala. Walaupun ia panitia yang harus setia di sekolah, tapi rasa lelah itu tak bisa disembunyikan. Sivia hanya bisa meminum sisa persediaan airnya. Sambil menguap hebat Sivia mengambil tasnya dan mencari sesuatu di dalamnya.
“Shit! Kenapa gua nggak sadar dari kemarin barang itu hilang!” kesalnya, ia memutar balik ingatannya lalu matanya tiba-tiba membesar. “Sial! Jangan-jangan Ami tahu tentang album itu!” Sivia mulai panik tapi seseorang dapat meredam kepanikannya.
“Loe kenapa, Vi?”
“Eh, Angel… loe bikin gua kaget aja.”
“Maaf, Vi. Gua cuman mau kasih ini, loe pasti belum makan.”
“Tau aja, Say…”
Sivia meraih kotak makanan berisi nasi dan ayam dari Angel, lalu langsung melahapnya mencoba untuk melupakan masalahnya.
“Makan yang banyak ya, Vi. Oiya, Ami mana?”
“Gua nggak tahu.” Masih kesal dengan sikap Ami tadi.
“Tadi pagi Ami lesu banget, apa karena ia gugup ya?”
“Mungkin…”
Perkataan Sivia berubah lunak, mengingat Ami memang sedang gugup tadi.
“Gua cuman pengen tahu, gimana ya hasil presentasinya tadi.”
“Menurut gua dia udah matang, kan Septian bantuin Ami beberapa hari yang lalu.”
“Ohya? Tian jalan sama Ami? Wah pasti Ami seneng banget ya!”
“Pasti.”
Sivia mencoba untuk menutupi kecemburuannya, lagipula dia juga yang salah sudah membuat Tian kesal. Dan mengenai sikap Ami padanya… ia hanya bisa menerka.
***
Septian duduk di samping Ami, ia ulurkan sebuah sapu tangan pada Ami. Mata Ami tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Ia ingat saat bagaimana ia mengacaukan presentasinya, saat tubuhnya tak berhenti bergetar, saat semua terjadi begitu saja…
“Maafin gua ya, latihan kita tempo lalu kacau gara-gara gua.”
Ami tak bergeming, ia bahkan tak mampu mengambil sapu tangan dari Tian. Perlahan Tian mengusap airmata Ami, dirangkulnya gadis itu.
“Maafin gua…”
***
Dea terus menghela nafas, firasat buruk menyergap pikirannya saat ia memikirkan sahabat-sahabatnya. “Kenapa ini? Kok perasaan gua jadi nggak enak, ya?” Tanpa pikir panjang Dea langsung menghubungi Angel untuk sekedar menanyakan keadaan ketiga sahabatnya.
“Halo, Dea?”
“Iya, Njel. Loe lagi dimana sekarang?”
“Gua lagi makan sama Via, kenapa emangnya, De?”
“Nggak apa-apa, Ami gimana?”
“Kita nggak ketemu Ami sejak tadi siang, nanti gua sama Via cari Ami kok.”
“Eh, gua mau langsung pulang!” terdengar suara Via yang menyahut pernyataan Angel.
“Lho? Kenapa, Vi?”
“Capek banget gua.”
“Yaudah, besok gua masuk kok, siap bertugas! Kalian nggak usah kangen berat ma gua ya hari ini.”
“Pede banget ni anak! Hahaha!” tawa Sivia dan Angel.
“Oke, kalau ada kabar dari Ami bilang ke gua ya, pulsa terbatas nggak bisa telepon Ami. Hehe, Bye!”
“Bye, De.”
Setelah memutus panggilan, Dea kembali ke dalam GOR. Dea masih saja gelisah memikirkan sahabat-sahabatnya. Ia merasa ada yang ganjil dari nada bicara Sivia tadi, karena tak biasanya Sivia malas mencari salah satu sahabatnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?