SATU – Bukan
akhir, tapi awal.
Sore
ini masih sama, masih di tempat tidur yang sama, di samping nakas yang sama,
dengan selimut yang sama, di ruangan yang sama. Aku duduk termenung seraya
menatap lurus ke depan. Dengan tatapan kosong, membayangkan sebuah senyum yang
terlukis indah, tawa yang terdengar asri.
Lelaki
yang datang setiap aku membutuhkannya kembali hadir dalam pikiranku. Aku egois,
ya, aku sangat egois karena selalu ingin dia di sampingku, tapi semua berbeda,
sangat berbeda saat kini aku kembali memikirkannya.
Kuputuskan
untuk bangkit dari tempat tidur dan berdiri terpaku menatap hujan yang membuat
langit sore, yang seharusnya indah, menjadi suram. Airmataku turun bersamaan
dengan hujan itu, hujan yang turun dari surga.
***
Angin dingin menyeruak ke dalam
ruangan, menyentuh kulit-kulit orang Indonesia ini, membuat mereka, termasuk
aku, agak menggigil. Akan tetapi, tak peduli sedingin apapun udara yang menyelimuti
kami, kami akan tetap latihan karena kami benar-benar mencintai seni. Aku
berdiri dan mengeluarkan suaraku sekuat tenaga.
“Aku hanyalah seorang manusia tanpa
hati. Jadi, kau tak usah mengaturku dengan omonganmu yang tak bermutu itu!”
Seorang anak lelaki seumuranku
berdiri, dia lebih tinggi dariku, mulutnya terbuka lebar hendak mengucapkan
sesuatu yang telah dipendamnya dalam hati.
“Walaupun kau berkata seperti itu, aku
tidak akan membiarkan sahabatku sendirian! Aku akan berusaha untuk mengajaknya
keluar dari kesendirian itu menuju dunia luar yang lebih baik! Jadi kumohon,
ikutlah bersamaku.”
Semua orang di ruangan itu
terkagum-kagum mendengar ucapan Lintar yang sangat tegas dan meyakinkan. Kami
terdiam bahkan aku lupa pada dialogku selanjutnya. Sebelum aku mempermalukan
diriku sendiri, guruku langsung menghentikan latihan ini.
“Bagus-bagus, ya sudah, sekarang
kita istirahat dulu,” ucapnya.
Lintar menggulung naskahnya dan
menghampiriku yang masih mencari dialogku selanjutnya. Dia menepuk kepalaku
dengan gulungan naskahnya, membuatku meringis seraya mendenguskan hidungku.
“Aktingmu bagus seperti biasa,”
pujiku sedikit kesal.
“Sebagai seorang seniman, itu sudah
sepantasnya, De, hahaha.”
“Ya ya ya, lihat sampai siapa di
antara kita berdua yang pergi ke Jakarta duluan.”
“Pasti aku dulu, De.”
Aku hanya terkekeh melihat Lintar
yang sangat percaya diri. Aku mengagumi anak itu. Dia memang berbakat dan penuh
percaya diri. Aku selalu ingin menjadi seperti Lintar, tapi kurasa tidak
mungkin. Bakat yang dimilikinya itu, istilah kasarnya, sudah ada sejak dia lahir,
sedangkan aku baru menyukai seni, terutama musik dan drama, saat aku kelas tiga
SD.
Aku masih ingat bagaimana aku mulai
menyukai seni. Saat itu, aku sedang berjalan-jalan di taman desa sendirian.
Kemudian, aku tidak sengaja mendengar seseorang bernyanyi di balik semak-semak.
Aku penasaran untuk melihat siapakah orang yang bernyanyi bukan sekedar bagus,
tapi juga penuh perasaan. Saat aku menyibak semak-semak itu, seorang anak
lelaki, yang sampai sekarang aku tidak tahu namanya, menyanyi lagu berjudul
Bunda yang sangat kusukai dengan sangat indah. Aku duduk di samping semak-semak
itu dan menikmati nyanyian itu sambil berpikir kalau ternyata bernyanyi dapat
membuat semua orang senang. Mulai saat itulah aku ingin bernyanyi agar semua
orang senang.
Terlepas dari masa lalu itu, aku
berusaha untuk lebih serius menggapai cita-citaku menjadi musisi. Lintar
bercerita padaku jika kami bisa pergi ke Jakarta, lebih tepatnya sekolah khusus
seni terbaik di sana, kami akan menjadi musisi yang sangat hebat. Sebenarnya
aku tidak peduli apakah aku bisa menjadi hebat atau tidak, yang penting aku
bisa bernyanyi untuk semua orang yang membutuhkannya.
“Eh, Dea, kamu bener nggak mau ikut tes itu?”
“Aku nggak tahu, Lin...”
Ah, masih ingat percakapanku dengan
Ibu dua minggu yang lalu, walau sedikit, bahkan sangat mengejutkan bagiku...
Hujan
itu turun menebarkan pesonanya yang begitu indah, di padu warna langit yang
agak kekuningan menandakan matahari akan segera menghilang berganti bulan. Aku
duduk merenung di depan jendela melihat keajaiban Tuhan ini. Air-air langit itu
bagai turun untuk menghiburku, menggerakan daun agar mereka bisa menari
naik-turun menenangkan hatiku yang sedang sangat cemas dengan keputusanku.
Tanganku
bergetar saat aku gugup, bibirku juga bergetar dan telapak tanganku basah.
Degup jantungku berdetak cukup kencang dan mulai menyakiti rongga dadaku.
Membuat seluruh tubuhku lemas saat aku merasakan kecemasan luar biasa. Anak
umur 11 tahun sepertiku memang sangat lemah jika harus menanggung penyakit
seberat ini. Ya, aku adalah penderita gagal jantung, aku tahu itu, dan aku
tidak peduli. Yang penting, aku masih bisa hidup sampai sekarang itu sudah
cukup.
Kembali
lagi pada kegugupanku tadi, ini masalah tes beasiswa untuk masuk ke Sekolah
Seni Indonesia yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Cita-citaku menjadi
musisi mungkin akan lebih mudah tercapai jika aku mengemban pendidikan di sana.
Memang belum tentu aku akan diterima disana, tapi setidaknya nilai akademisku
cukup memuaskan untuk mendapatkannya. Tak pernah terpikir olehku kesempatan itu
datang untuk kami, Lintar dan aku. Akan teapi aku takut, apakah aku diijinkan
Ibu mengikuti tes itu.
Sebenarnya,
selain ke Jakarta untuk menggapai mimpiku, aku juga ingin bertemu dengan
seorang anak lelaki Jakarta yang pernah bermain bersamaku dan Lintar saat kami
masih kelas 3 SD. Aku tidak tahu namanya, tapi aku masih ingat paras wajah
manisnya yang membuatku terkesima. Beda dengan semua anak desa disini. Kulitnya
bersih dan tak terlalu legam seperti kami. Hm. Pokoknya aku kagum padanya, dia
juga pernah menolongku saat aku tidak bisa turun dari pohon, tapi nanti saja
aku menceritakan kisah masa kecilku ini.
‘Kreeekk’
Suara
pintu kamarku yang sudah sangat tua terbuka, seorang wanita paruh baya muncul
dari balik pintu, ialah Ibuku. Ternyata sudah banyak rambut putih yang tumbuh
di sana. Ia tersenyum lembut padaku, begitu indah senyum itu, membuatku ingin
meneteskan lebih banyak airmata untuk menunjukan kasih sayangku padanya. Tuhan,
kenapa aku harus mempunyai pikiran untuk meninggalkan Ibu seorang diri? Aku
menyesal Tuhan.
Ibu
berjalan ke arahku tanpa menutup kembali pintu kamar. Kini Ibu sudah berada
disampingku, menatapku lekat. Aku semakin ingin menangis melihat wajah Ibu yang
sangat menyayangiku. Apalagi jika aku harus mengatakan rencanaku pada Ibu.
Tangannya menyergap punggung tanganku tanpa aba-aba, membuatku terkejut
setengah mati.
“Apa
yang ingin Dea katakan pada Ibu siang tadi?”
Pertanyaan
Ibu barusan menyadarkanku tentang sebuah mimpi anak yang baru lulus SD ini, tak
tahu rencananya ini benar atau salah.
“Tak
apa, Bu, aku hanya ingin mengingatkan Ibu, bahwa aku telah lulus dengan nilai
terbaik di sekolah.”
Aku
tersenyum bangga saat menceritakan prestasi yang kudapatkan. Menjadi seorang
lulusan terbaik di SDNku tidaklah mudah, Sobat. Aku harus bersaing dengan
beberapa anak super cerdas lain. Termasuk Lintar, sahabatku.
“Tidak,
Ibu yakin, Dea ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari itu.”
Sinar
mata Ibu merasuk hingga memukul hatiku, terasa perih. Sangat perih. Aku tak
tega Ibu, jangan paksa aku. Aku mohon.
“Ayo
Dea, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan.”
Aku
tak bisa menahan tangisku. Langsung kupeluk Ibu agar tangisku dapat sedikit
tertahan. Tapi rasa ini bukannya reda, malah menjadi-jadi ketika ku cium bau
mawar kesukaan Ibu di bajunya. Tuhan, tolong aku.
“Ibu
tahu, Sayang, kamu berniat ikut tes beasiswa ke Jakarta kan?”
Aku
sedikit terkejut mendengar pertanyaan Ibu barusan, langsung kulepas pelukanku.
Kutatap paras cantik yang terbentuk di wajahnya, walau segurat kulit keriput
telah menyatu di pelipisnya, tapi cantik wajah dan hati Ibu tak pernah sirna.
“Maafkan
aku, Bu.”
“Apa
kau ingat, saat Ayahmu meninggal karena dia ke Jakarta. Penyakitnya bertambah
parah disana, dan sejak saat itu, Ibu nggak pernah percaya dengan rumah sakit
di Jakarta.”
Ya.
Memang begitulah kiranya sekilas kisah Ayahku yang meninggal akibat di
pindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Penyakit Ayah saat itu kambuh tiba-tiba
dan harus di operasi. Akan tetapi tak ada peralatan yang cukup di desa kami.
Maka dari itu, Ayah harus ke Jakarta, tapi...biaya pengobatan dan operasi Ayah
sangat mahal, kami tidak mungkin bisa membayarnya. Ayah di telantarkan begitu
saja hingga Ayah tak tertolong lagi. Begitu kejam orang-orang kedokteran itu,
membuat Ibu dendam pada Jakarta, tapi tidak sama denganku, aku sangat ingin ke
Jakarta, karena sejak kecil Lintar telah menceritakan padaku tetntang gemerlap
dan keindahan Jakarta.
“Tapi,
Bu, rumah sakit itu saja yang memperlakukan pasiennya yang nggak wajar, aku
yakin. Nggak semua rumah sakit di Jakarta seperti yang Ibu bayangkan.”
Ibu
menatap mataku penuh arti, aku tak kuat menatapnya. Langsung saja ku palingkan
wajahku dari Ibu, menatap air hujan yang masih deras turun mengguyur desaku
tercinta. Desa Summer. Memang aneh desa ini, dinamakan desa Summer, padahal
musim terus berganti. Mungkin agar kami selalu ceria seperti musim semi.
“Apa
kamu tidak percaya pada Ibumu sendiri?”
“Bukan,
Bu, bukan aku nggak percaya...tapi, Bu, tolonglah ijinkan aku ikut tes itu, aku
ingin menggapai mimpiku.”
“Apa
Dea nggak mau menemani Ibu yang sudah tua renta ini?”
“Ibu...,”
lirihku.
“Tidak,
Ibu takkan mengijinkanmu”
“Dea
mohon, Bu. Dea janji, Dea akan membahagiakan Ibu dengan prestasi Dea. Lagipula,
ada Lintar yang bisa menjaga Dea”
“Tak
cukupkah kamu menyakiti hati Ibu dengan permintaanmu, De!”
“De-Dea
cuman ingin mengejar mimpi Dea, Bu. Dea juga ingin membuat Ibu nggak berpikir
seperti itu lagi pada Ibu kota kita. Karna Dea berjanji, Dea akan menjadi
bintang paling terang di SMP Betha Melody, sekolah seni yang mengadakan
beasiswa itu, Bu.”
Ibuku
terdiam beberapa saat, membuatku menunggu dengan cemas. Suara hujan makin
kencang terdengar, mengiringi detak jantungku yang berdegup lebih keras dari
yang tadi. Ibu kembali menatapku penuh arti, air matanya telah turun deras
melalui matanya yang sudah rabun senja.
Sebuah
anggukan pelan tergambar di depan mataku, anggukan tersebut berasal dari
seorang wanita yang sangat ku cintai. Senyumku langsung terkembang lebar bak
bulan sabit yang menerangi bumi ini. Ku peluk erat-erat tubuh kurus Ibu,
kehangatan kasih sayangnya menyatu dengan hatiku. Jantungku berdegup begitu
berirama bagai sedang menari balet untukku.
Lintar menyentuh tanganku,
menggoyang-goyangkannya seperti kuas kesayangannya yang sudah usang akibat sifat
keras kepalanya yang tidak mau mengganti kuas itu apapun alasannya.
“Kamu ngapain sih?”
Lintar tertawa girang, dia menatapku
dengan sinar matanya yang selalu cerah bagai matahari.
“Bukannya Ibumu sudah mengijinkanmu
untuk ikut tes itu?”
“Iya sih, tapi aku bingung, Lin.
Walaupun nanti aku bisa ke Jakarta, tapi aku juga nggak mungkin membiarkan
Ibuku hidup sendiri.”
“Kata siapa Ibumu akan sendirian?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, Bundaku akan menemani
Ibumu, De. Tenang aja, Ibumu akan
tinggal di rumahku selama kamu sekolah di Jakarta.”
“Serius?”
“Duarius
deh!”
Senang bukan main aku mendengar
pernyataan Lintar barusan, kupeluk tubuh kecil sahabatku yang satu ini. Semua
anak spontan berteriak menyoraki kami dengan ledekan-ledekan kecil khas desa
kami.
***
Sebuah mobil Lamborghini berwarna
silver menepi di depan gerbang sekolah bertuliskan, ‘SMP BETHA MELODY’. Seorang
anak lelaki keluar dan menutup pintu mobil itu dengan keras seperti orang yang
sedang kesal. Anak itu berjalan dengan wajah ditekuk, membuat beberapa anak
yang dia lewati memandangnya heran.
“Hai, Yo, udah lama nggak bertemu...haha,” ucap seorang anak yang langsung
menghampiri anak lelaki yang cemberut tadi.
“Nggak lucu.”
“Yo, gue cuman mau ngehibur loe aja kok. Habisnya dari
kemarin loe cemberut terus, sih.”
“Nggak ada apa-apa kok, latihan
lagi, yuk.”
“Ehm, Alvin sama Iel belum dateng,
Bro,” ucap seorang lagi.
“Yaudah, kita cek alat dulu aja.”
Seraya mengajak kedua temannya, Rio
sekali lagi memandang gerbang sekolah dan meghela nafas lelah. Dia tidak berfokus
pada gerbang sekolah itu, melainkan anak-anak yang dilewatinya tadi. Setiap
melewati lorong sekolah selama satu tahun ini, perasaan Rio selalu sama, lelah.
Rio sangat lelah melihat orang-orang yang tersenyum padanya bukan karena mereka
mengenal Rio atau benar-benar ingin menjadi temannya, tapi karena Rio adalah
anak pemilik sekolah seni ini.
Selama ini, Rio tidak pernah
mempercayai kenalannya, termasuk teman-teman dekatnya sekarang. Walaupun Rio
bersama sepupu dan tiga temannya sudah membuat band, yang seharusnya membuat
Rio mempunyai orang kepercayaan, tapi Rio tetap tidak bisa mempercayai mereka.
Membingungkan saat membedakan orang yang benar-benar tulus atau penjilat, pikir
Rio.
Terlepas dari ketidakpercayaan Rio
pada 4 temannya, semua berjalan baik. Band yang mereka dirikan cukup berhasil
di sekolah maupun antar sekolah di Jakarta. Band bernama KING itu beranggotakan
Rio sebagai vokalis, Patton, orang yang barusan menghibur Rio, sebagai pemain
keyboard, Obiet, anak satunya lagi, sebagai pemain biola, Alvin, teman Rio
sejak SD, sebagai drummer, dan Gabriel, sepupu Rio, sebagai gitaris.
Rio bersama Patton dan Obiet masuk
ke dalam ruangan yang super besar seperti aula. Akan tetapi, mereka tidak
benar-benar ingin masuk ke sana, melainkan ke sebuah ruang lebih kecil yang
terletak di pojok aula itu. Ruangan itu, di pintunya terdapat tulisan ‘KING’,
dan itu artinya hanya anggota dan penanggung jawab band ini yang diperbolehkan
masuk.
“Lagu apa ni yang akan kita bawakan,
Yo?” tanya Obiet seraya membenarkan kacamata minusnya. Rio menatap Obiet
sejenak, lalu mengambil gitarnya.
“My Immortal aja, liriknya cukup
remaja.”
“Eh, tapi itu lagu sedih, Yo, nggak
apa-apa?”
“Nggak apa-apa Patt.”
Kedua kawan Rio hanya menaikkan bahu
mereka tanda terserah. Ingatan Rio kembali melayang saat pertama kali
menyanyikan lagu ‘My Immortal’. Saat dia masih kelas 6 SD. Lagu yang hingga
kini terus diingatnya, lagu yang pertama kali di ajarkan kakaknya, yang kini
telah meninggal sejak dia lulus kelas 6.
Dulu, saat Rio masih berumur lima
tahun, Rio masih bisa tertawa lepas, tapi kini, senyum itu menjadi semakin
sulit dilihat. Semenjak kepergian kakaknya, Rio merasa tawa dan senyum itu juga
pergi. Dia seperti orang lain yang kehidupannya sedang dikendalikan oleh
lingkungan, yang memaksanya untuk menjadi Rio yang sempurna, Rio yang tidak
peduli pada ketulusan cinta, Rio yang lain.
“Ketika
hujan turun, coba kamu julurkan tanganmu untuk merasakan tetesan hujan itu
seraya memejamkan matamu, Rio. Kakak yakin, kamu bisa merasakan ada cinta di setiap
tetes hujan itu. Kakak ingin saat kamu melihat hujan, kamu bisa percaya kalau
kakak selalu sayang sama Rio.”
Ucapan terakhir kakak Rio kembali
terngiang dalam pikiran anak itu, membuatnya terdiam sejenak. Ada sebuah
dorongan yang memaksanya untuk melupakan itu semua karena menurutnya kata-kata
itu sudah tidak berguna. Setiap Rio menjulurkan tangannya untuk merasakan
hujan, Ayahnya selalu menarik tangan Rio untuk tidak melguekannya. Jadi, tidak
ada kesempatan lagi untuk Rio merasakan tetesan cinta itu. Akan tetapi, Rio
percaya kalau suatu saat nanti dia bisa merasakannya lagi, bukan hujan, tapi
dari orang yang mungkin akan mencintainya dengan tulus. Walaupun dia sudah
tidak percaya pada ketulusan, tapi di bagian hatinya yang lain Rio masih
berharap bisa menemukannya.
***
“Hei,
turun saja! Nanti aku tangkap kamu!”
Teriakan
itu begitu jelas ku dengar di tengah derasnya hujan yang saat itu sedang turun
menyirami seluruh pelosok desa Summer. Oh, Tuhan, apakah benar, dia akan
menangkap tubuhku? Apakah aku masih bisa menemani semua orang yang kucintai?
Pertanyaan-pertanyaan ketidakpercayaanku itu kini berkeliling dalam ketakutanku
akan kematian.
“Benarkah?”
“Iya!
Loncat saja!”
Aku
mulai percaya akan intonasi ucapannya yang membuatku berani mengambil beribu
resiko yang pasti akan terjadi.
“Ya,
aku akan coba loncat, tapi tetap di bawah ya!”
“Pasti!”
Dengan
keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku pun bisa loncat, dan...’brukk’
begitulah suaraku saat tubuhku ditangkap oleh penyelamat hidupku, wajahnya bak
pangeran dari negeri dongeng.
“Kamu
nggak apa-apa?”
“E..enggak,
makasih”
Hujan
pun berhenti, dan pelangi yang sejak tadi kutunggu terpancar terang menerangi
pertemuan kami yang pertama. Inilah malaikat penolongku.
“Ah! Apa sih yang aku pikirin siang
bolong begini? Err...udah, De,
udah...”
“Kamu kenapa, De?”
“Nggak apa-apa, kok.”
Dea mengalihkan pandangannya ke luar
jendela kamar seraya membuang khayalanya yang tadi. Dea sendiri bingung kenapa
bayangan itu kembali muncul, semakin sering apalagi menjelang ujian beasiswa ke
Jakarta.
“Kalau ada yang mau kamu ceritain ke
aku, cerita aja, De.”
“Nggak ada, kok, Lin.”
“Bener? De, aku tu udah temenan sama
kamu selama 10 tahun, masa’ kamu masih bohong sih sama aku?”
“Hahaha, ketahuan deh. Nanti, Lin,
suatu saat nanti aku pasti cerita ke kamu.”
“Oke, aku tunggu.”
***
Alvin meletakan tas punggung
kesayangannya di meja dekat kursi yang diduduki Rio, lalu duduk di kursi di
seberang tempat Rio.
“Loe kenapa, Vin?”
“Nggak apa-apa.”
“Bohong, emangnya 10 tahun gue kenal
loe, gue nggak bisa bedain loe lagi apa-apa atau nggak?”
“Nanti ada, deh, Yo. Ohiya, kita mau
menampilkan lagu apa ni di acara MOS nanti?”
“My Immortal!”
Celetukan Obiet rupanya membuat
Alvin membulatkan mata sipitnya. Sejenak, tapi pasti, Alvin menatap Rio penuh
arti, mencoba mengingat arti lagu itu untuk Rio, maksudnya, kehidupan masa lalu
Rio.
“Apa nggak terlalu sedih, Yo?”
“Nggak.”
“Ah, sudah kubilang, Yo, lagu itu
lagu cengeng. Nggak pantes di nyanyikan di acara bahagia seperti itu.”
Rio langsung naik pitam pada ucapan
Patton. Dia berdiri dan menghampiri Patton. Menarik baju si kecil dari Makassar
ini dengan kasarnya.
“Gue nggak suka loe bicara seperti
itu pada lagu ini!”
Bentakan Rio membuat semua anggota
‘KING’ ikut berdiri, Alvin melepas pegangan Rio pada kerah baju Patton. Obiet
menarik Patton menjauh dari Rio. Iel yang baru saja datang langsung bertanya
‘Apa yang terjadi’. Alvin langsung menyuruh Iel untuk diam sementara waktu
karena suasana masih genting.
“Maksud loe apa sih, Yo? Jangan mentang-mentang loe itu anak pemilik
sekolah, ya, loe bisa berlgue seenaknya padgue?!”
“Gue bahkan nggak pernah mau jadi
anaknya!”
Semua terdiam, Obiet yang sejak tadi
memegangi Patton melepas pegangannya karena terkejut dengan pernyataan Rio.
Alvin mendekati Rio dan membisikan sesuatu pada Rio.
“Ketika loe berbuat jahat, tetesan
cinta untukmu akan mulai berkurang, Yo. Ingat pesan lain dari kakakmu.”
Rio menunduk mendengar bisikan
Alvin. Ternyata Alvin masih ingat pada kakak Rio. Suasana mendadak hening, tapi
akhirnya Patton menghampiri Rio dan mengulurkan tangannya.
“Maafin gue, Yo, gue tahu, lagu itu
sangat berharga buat loe.”
Rio terdiam dan memandang wajah Patton
tanpa dosa, tapi cukup untuk membuatnya berpikir kalau apa yang dilguekannya
tadi itu salah. Rio beralih pada tangan Patton, dan memutuskan untuk menggapai
tangan itu.
“Gue juga minta maaf, Patt. Gue
nggak maksud kasar sama loe.”
Barulah Alvin mau menceritakan
kejadian yang baru saja terjadi pada Iel. Iel mengangguk dan maklum dengan
keadaan sepupunya. Iel mendekati Rio, tersenyum padanya. Senyum tulus yang
paling disukai Rio hanya di miliki oleh Iel, Alvin, dan kakaknya. Karena dengan
senyum itu, Rio masih bertahan untuk hidup di dunia yang sudah terlanjur
membuatnya mencatat masa lalu yang kelam di dalamnya.
“Loe akan tetap jadi sepupu
terbaikku.”
Kekurangan Iel membuat Rio makin
bersemangat untuk hidup dan melindungi Iel. Digenggamnya kalung berbentuk
bintang yang sama dengan kepunyaan Alvin dan Iel. Kalung yang sangat berharga
untuknya.
***
Rio menatap langit-langit kamarnya
yang berwarna abu-abu dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar menatapnya,
karena yang ada dalam pikiran Rio bukan langit-langit itu, melainkan kakaknya.
Kejadian siang tadi rupanya membuat Rio menyesal karena membuat Kakaknya menjadi
alasan keegoisannya memilih lagu. Obiet benar, lagu yang dipilih Rio terlalu
sedih untuk ditampilkan dalam acara pembukaan MOS tahun ini. Rio harus mencoba
untuk merubah sikapnya, jika tidak, mungkin harapannya untuk mendapatkan
ketulusan dari teman-temannya harus pupus.
“Maafin gue, Kak.”
Alvin yang malam ini menginap di
rumah Rio dengan Iel rupanya mendengar itu. Alvin segera bangkit dari tidurnya,
membuat Rio kaget setengah mati karena dia mengira Alvin sudah tidur.
“Loe lagi apa, Yo?”
“E-eh, kukira loe udah tidur, Vin.”
“Gue emang udah tidur, tapi kebangunan gara-gara loe.”
“Oh, maaf...”
“Hahaha, bercanda kali, Yo! Gue
belum tidur karena malam ini panas banget.
ACnya nggak nyala, ya, Yo?”
“Nyala,
kok. Gue rendahin aja suhunya, ya?”
“Oke, thanks, ya.”
Alvin memang pandai membaca situasi.
Dia tahu kalau Rio sedang memikirkan kejadian tadi siang, jadi Alvin mencoba
untuk mengalihkan perhatian Rio sejenak dan juga mencairkan suasana.
Setelah Rio merendahkan suhu AC,
Alvin bangkit dari kasur lalu mencari foto tua yang disimpan Rio di laci meja
belajarnya. Setelah menemukan foto itu, Alvin mendekati Rio yang kini duduk di
dekat jendela. Foto itu berisi gambar Rio bersama seorang gadis manis yang
berumur kira-kira 4 tahun di atas mereka.
“Kakakmu cantik banget, ya, Yo?”
“Itu sudah pasti.”
“Eh, tapi loe nggak mirip sama dia.”
“Heh, loe ngomong apa, sih, Vin,” ucap Rio seraya mengeryitkan dahinya, tidak
terima dengan perkataan Alvin barusan.
Alvin hanya tertawa melihat ekspresi
Rio, sedangkan Rio memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke jendela,
walaupun tidak ada yang bisa dilihatnya di luar saat gelap.
“Yo, mau kuceritain sesuatu, nggak?”
“Cerita apa?”
“Dongeng.”
“Emangnya gue bocah, harus diceritain dongeng sebelum tidur?”
“Hahaha, bukan begitu, Yo, tapi—“
“Udah,
ah, gue mau tidur.”
“Yah, loe kok gitu, sih? Gue kan mau
cerita, Yo.”
“Lain kali aja, Vin, gue ngantuk.”
“Bohong, ini masih jam berapa, sih?”
“Heh, ini udah jam 11 malam, Vin. Kurang larut apa coba? Sssh, jangan sampai
Iel juga bangun. Kasihan dia, daritadi siang sibuk banget.”
“Heuh...yaudah, deh.”
Dengan wajah cemberut yang terkesan
dibuat-buat, Alvin menyerahkan foto itu pada Rio dan kembali ke tempat
tidurnya. Rio hanya tertawa kecil kemudian memandang foto tua itu sambil
tersenyum.
“Gue kangen sama loe, Kak.”
***
Pagi itu, Rio mengibas-ngibaskan
rambut basahnya saat keluar dari kamar mandi, membuat dua temannya terkena cipratan air dari rambutnya.
“Eh, seenaknya loe, Yo,” gerutu
Alvin.
Rio hanya terkekeh sambil mengambil
handuknya lalu membalut rambut basahnya. Kemudian, Rio duduk di samping Gabriel
yang sedang sibuk membaca proposal MOS yang akan diserahkannya pada Bu Ucie,
ketua Pembina pelaksana MOS tahun ini. Sebenarnya Gabriel sangat lelah, tapi
dia mencoba untuk menutupinya agar Rio dan Alvin tidak menyadari itu. Kalau
mereka sadar, Rio dan Alvin akan melarangnya untuk berlama-lama di ruang OSIS.
“Sudah selesai, Yel?”
Rio bertanya sambil mengancingkan
kemejanya.
“Oh, udah, kok. Hari ini gue mau serahin
proposal ini ke Bu Ucie, tenang aja.”
“Beneran?”
“Yo, please,” kata Gabriel sedikit kesal.
“Hahaha, bercanda kali, Bang.”
Kring...Kring...
Ponsel Rio yang berada di atas meja
belajarnya berdering keras. Rio bergegas mengambilnya dan melihat siapa yang
menghubunginya. Raut wajah Rio segera berubah masam melihat si pemanggil.
“Siapa, Yo?” Tanya Alvin.
“Loe mau angkat teleponku, nggak,
Vin?”
“Emangnya siapa?”
“Udah deh, gue males nerima,” ucap
Rio seraya memberikan ponselnya pada Alvin.
“Ooh...keponakannya Bu Ucie, toh.”
“Kesel nggak sih, kalau ada orang
yang setiap hari nelpon, tapi nggak penting banget keperluannya,” gerutu Rio.
“Hahaha, lagian loenya juga sih
diladenin. Jadi, mau diangkat nggak, nih?”
“Terserah loe, gue mau cari hair dryer,” ucap Rio seraya keluar.
Alvin mengalihkan pandangannya pada
Gabriel, meminta saran apa yang harus dia lguekan.
“Angkat aja, Vin. Mungkin ada
keperluan yang penting.”
“Oke.”
Alvin menekan tombol hijau ponsel
itu dan menempelkannya di telinganya.
“Halo?”
“Halo?
Ini Kak Rio?”
“Oh, bukan, Dek, ini Alvin. Rionya
lagi keluar.”
“Oh,
yaudah kalau gitu, gue cuman mau bilang kalau KING sedang ditunggu sama Tante
sekarang. Kalau dalam 15 menit kalian belum datang, mungkin hak tampil kalian
dicabut.”
“He?! O-oh, iya-iya, kami segera ke
sana! Makasih, ya, Ik.”
“Iya,
sama-sama, Kak.”
Tut...tut...
“Ayo, Yel! Kita harus cepet ke
sekolah!”
“Kenapa, deh?”
“Bu Ucie bilang, kalau kita nggak
datang dalam 15 menit, hak tampil kita bisa dicabut!”
“Ha, yang bener?”
“Bener, tadi Oik yang bilang.”
“Aish, si Rio itu perasangka buruk
terus dipelihara.”
“Udah, deh, nggak usah nyalahin
siapa-siapa. Mending sekarang kita siap-siap. Gue kasih tahu Rio dulu, ya.”
“Iya.”
Alvin berlari keluar untuk
memberitahu Rio kalau mereka harus sampai ke sekolah dalam 15 menit. Alvin
menemukan Rio di kamar Kakak Rio yang sudah tiga tahun kosong. Rio terlihat
sedang mencari sesuatu, selain hair dryer
yang diletakkan Rio di atas kasur.
“Eh, Yo, loe lagi apa?”
“Kalungku, Vin.”
“Aish, itu bisa nanti, Yo. Sekarang
kita harus ke sekolah!”
“Kenapa?”
“Tadi Oik bilang, kalau kita nggak
di sekolah dalam 15 menit, hak tampil kita bisa dicabut sama Bu Ucie!”
“Lho? Kok bisa gitu?”
“Waduh, nggak tahu, deh. Yang pasti,
kita harus cepat-cepat ke sana!”
Tanpa menunggu jawaban Rio, Alvin
kembali ke kamar untuk bersiap. Rio merasa janggal dengan keputusan Bu Ucie
yang tiba-tiba dan tidak seperti biasanya. Dia yakin ada yang tidak beres, tapi
daripada berpikir terlalu lama, Rio segera bersiap juga.
***
Setelah mengirim sms pada Patton dan
Obiet, Rio dan dua temannya segera bergegas menuju SMP Betha Melody.
Sesampainya di sana, mereka bertiga langsung berlari menuju ruang guru untuk
menemui Bu Ucie. Akan tetapi, saat mereka tiba di sana, hanya ada Oik yang
sedang bermain-main dengan kursi putar milik Bu Ucie.
“Ik, Bu Ucie kemana?” Tanya Alvin.
“Tante? Dia belum sampai.”
“Lho? Loe bilang...”
“Ini hukuman buat Kak Rio karena
nggak mau jawab teleponku.”
“Ik, maksud loe apa?” Alvin mulai
meninggikan nada suaranya. Dia berani seperti itu karena tidak ada guru lain di
sana.
“Gue cuman bercanda, kok,” ucap Oik
tanpa rasa bersalah, membuat tiga anak lelaki itu semakin geram.
“Bercanda loe itu nggak lucu, Ik,”
ucap Rio kesal.
“Tapi menurutku itu lucu, hahahaha!”
“Loe jangan pernah telepon gue lagi,
apalagi bercanda nggak jelas kayak gini. Inget itu! Vin, Yel, ke aula.”
“Yakin Kakak ngancem gue kayak
gitu?”
Pertanyaan Oik membuat Alvin, Rio,
dan Gabriel menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Oik kembali.
“Maksud loe?” tanya Rio.
“Nggak apa-apa. Gue juga nggak
berani buat masalah sama anak pemilik sekolah ini. Bisa-bisa gue nggak
diterima.”
“Jaga omonganmu, ya,” ucap Gabriel
yang sudah kesal daritadi, tapi baru bisa berbicara.
“Kan udah Oik bilang, Oik cuman
bercanda. Kenapa semuanya serius banget, sih?”
“Hah, udahlah, jangan meladeni anak
kayak dia,” ucap Rio seraya menarik Alvin dan Gabriel untuk benar-benar keluar.
Saat keluar, mereka bertemu dengan
Obiet dan Patton yang berlari dan hampir bertabrakan dengan mereka.
“Guys,
gimana-gimana? Kenapa Bu Ucie tiba-tiba berpikir mau mencabut hak tampil kita?”
Tanya Patton dengan nafas terengal.
“Itu cuman akal-akalan keponakan Bu
Ucie buat ngerjain kita, Patt,” jelas Alvin.
“Hah? Kita udah lari-lari kayak
gini, dan ini cuman...aish...,” keluh Obiet.
“Udahlah, nggak usah dipikirin lagi.
Sekarang mumpung kita udah kumpul, ada yang mau gue omongin sama kalian. Ke
ruang latihan, yuk?” Rio mencoba menenangkan teman-temannya, karena
bagaimanapun sebagian kecil penyebab masalah ini adalah dirinya.
Sesampainya anggota KING di ruang
latihan. Rio menghela nafasnya hati-hati sebelum memulai pembicaraannya dengan
keempat anggota KING itu. Obiet meletakkan tasnya dan duduk di samping Patton
yang sedang memeriksa keyboardnya, sedangkan Alvin dan Gabriel duduk di sudut
ruangan, menunggu Rio memulai pembicaraannya.
“Temen-temen. Sebelumnya, gue minta
maaf soal kejadian tempo lalu, saat gue menarik kerah kemeja Patton cuman
gara-gara nggak setuju sama lagu pilihanku. Gue bener-bener minta maaf. Gue
sadar kalau gue nggak boleh egois walaupun gue ini ketua KING, atau karena gue
anak pemilik sekolah. Mulai sekarang, gue akan mendengarkan usulan dari kalian
dan akan memikirkannya dengan bijak sebelum keputusan dibuat.”
“Yel, Rio udah bener-bener berubah,”
bisik Alvin pada Gabriel.
“Jadi, gue udah putusin kalau lagu
My Immortal terlalu sedih buat acara yang harusnya menyenangkan ini. Nah, ada
yang punya usul?”
“Yo, loe yakin?” tanya Patton
sedikit sangsi.
“Kenapa harus nggak yakin, Patt? Loe
nggak percaya sama gue?”
“Wah...gue suka Rio yang kayak gini,
nih,” celetuk Obiet.
“Heh, loe suka sama Rio? Loe homo?”
ledek Gabriel.
“Enak aja loe, Yel!”
Mereka berlima tertawa puas, seperti
melepas beban yang selama ini mereka pendam masing-masing. Terutama Rio, dia
merasa sangat lega karena bisa mendengar tawa ini lagi.
***
Hari ini, kusiapkan mentalku
menghadapi ujian yang kuyakin akan menentukan masa depanku. Kupandang wajah Ibu
yang menemaniku. Terlihat Bunda Lintar duduk di samping Ibuku yang sudah
berumur hampir setengah abad. Aku tersenyum tipis menyapa Ibu yang sepertinya
cemas dengan tes ini. Tenanglah, Ibu, aku akan melakukan yang terbaik untukmu.
Lintar menepuk punggungku sekali,
dia tersenyum lebih cerah daripada langit pagi hari ini. Membuatku mengumpulkan
lebih banyak kepercayaan diri untuk mengikuti tes ini.
“Gugup, De?”
“Pasti, Lin”
“Tetaplah semangat, Sahabatku, walau
nanti kita tidak di terima di SMP yang sama, aku tetap akan menjadi sahabat
sejatimu, kok.”
“Kita pasti bisa masuk SMP itu
sama-sama!”
Semangatku pada Lintar tak mau ku
kendurkan, karna aku sedikit cemas melihat wajah Lintar yang sudah tidak
bersemangat lagi. Aku berganti menepuk punggung Lintar, sekaligus merangkulnya
untuk sekadar memberikan semangat yang biasa dia beri padaku. Senyum cerianya
kembali terkembang bahkan lebih lebar dari yang tadi.
“Nah, gitu dong. Ini baru Lintar
yang kukenal.”
“Terimakasih, De.”
Di dalam ruang tes, aku melihat
seorang gadis yang tingginya di bawahku, dia duduk tepat di samping bangkuku.
Aku tersenyum padanya, tapi dia tidak membalasnya, aku sendiri tidak masalah
dengan itu. Kulihat plat namanya, Nova, ya, itu namanya. Entah kenapa, ada
perasaan aneh saat aku melihatnya, aku merasa untuk kehidupanku yang
selanjutnya, Nova akan berada di sana.
Bunyi bel tanda ujian dimulai,
seluruh anak, termasuk aku, sibuk dengan soal masing-masing. Tidak ada waktu
sama sekali untuk sekedar menoleh ke samping apalagi menyontek. Soal terdiri
dari 20 soal matematika, 20 soal bahasa Indonesia, 15 soal bahasa Inggris, dan
45 soal IPA. Soal yang pertama kali kukerjakan adalah soal bahasa Inggris,
karena aku sangat menyukainya jadi aku yakin bisa mengerjakannya dengan baik.
Oh, ayolah, bukankah jika kita menyukai sesuatu, sesuatu itu akan terasa mudah
untuk kita? Hehehe...
Setelah tiga jam berkutat dengan soal-soal
itu, akhirnya aku dapat menyelesaikannya, tidak semua, tapi poinnya lumayan
jika semua jawabanku benar. Perasaan takut tidak diterima langsung menyergapku
saat lembar jawabanku diambil oleh pengawas. Aku tahu itu tidak baik, tapi
perasaan seperti itu memang susah dihilangkan seyakin apapun aku
mengerjakannya.
Setelah semua lembar jawaban diambil
oleh pengawas, para peserta diperbolehkan keluar. Aku mencari Lintar di antara
kerumunan peserta yang akan keluar, tapi aku tidak menemukannya. Jadi
kuputuskan untuk keluar duluan karena mungkin dia sudah keluar. Nah, benar
saja, Lintar sudah keluar dan sedang mengobrol dengan Bundanya. Aku sedikit
berlari menghampirnya.
Lintar yang melihatku langsung
memasang wajah terkejut dan mengajakku menjauh dari Ibu dan Bundanya. Aku yang
masih bingung hanya bisa mengikutinya.
“Kenapa kamu ngajak aku ke sini, Lin?”
“Nggak apa-apa, De.”
“Bohong.”
“Aku cuman nggak mau Bunda dan Ibumu
mendengar percakapan kita.”
“Emang
kenapa?”
Lintar tidak menjawab, dan juga
matanya tidak lagi melihatku, dia tidak fokus. Akhirnya, kuputuskan untuk
mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana, Lin, tesnya?”
Lintar tersentak, dia kaget
mendengar pertanyaanku, dan jelas terlihat kalau dia tidak menyukainya.
“Ehm...jika Tuhan masih berbaik hati
padaku, mungkin aku bisa masuk, De.”
“Kok kamu ngomongnya begitu, sih, Lin? Allah itu baik, sudah pasti.”
“Allah emang baik, De, tapi
kalau...”
“Hus-hus, aku nggak mau kamu ngomong yang aneh-aneh. Sekarang kita balik, yuk?”
“Maaf, De...,” lirih Lintar, dan aku
berpura-pura tidak mendengarnya.
***
Seminggu kemudian, pengumuman tes
beasiswa itu akhirnya keluar juga. Lintar dan aku segera pergi ke balai kota
dengan sepeda sederhana kami. Papan pengumuman terlihat dipenuhi oleh anak-anak
dan orangtua yang mempunyai impian hampir sama denganku dan Lintar. Dengan
lincah, kami berdua masuk ke dalam kerumunan melalui celah-celah kerumunan.
Akhirnya, setelah beberapa saat harus merasakan sesak tidak keruan karena ada
beberapa orang yang tidak sabaran mendorong satu sama lain, kami bisa sampai ke
depan papan pengumuman dengan selamat.
Peserta yang lolos tes beasiswa ini
hanya 20 orang untuk 4 sekolah seni berbeda. Aku langsung mencari namaku di
deretan nama peserta yang lolos ke SMP Betha Melody, SMP tujuanku dengan
Lintar.
“Dea Amanda...Dea...ha! Ada!
Alhamdulillah!”
Rasanya ingin menangis melihat
namaku terpampang di sana, aku lolos!!
Tunggu dulu, ada yang aneh. Kenapa
nama itu tidak ada? Nama Halilintar Morgen tidak ada. Nama sahabat terbaikku
tidak ada dimanapun. Ke-kenapa...
Sebuah tarikan halus membuatku yang
masih terkejut menjauh dari kerumunan. Orang yang menarikku keluar adalah
Lintar. Anak itu hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. Walau tersirat,
aku tahu kalau Lintar sangat kecewa. Lintar, sahabatku, dia kecewa tanpa
menitikkan sedikitpun air mata. A-aku...aku...
“Selamat, ya, De. Aku akan
mendukungmu dari sini, kamu tenang aja.”
“Li-Lin—“
Ucapanku terpotong saat tiba-tiba
saja kesadaranku hilang.
***
Mataku terbuka perlahan, dan
terlihat Lintar sedang duduk di sampingku. Saat kesadaranku sudah mulai
kembali, airmataku mengalir tanpa kuperintah.
“Lintar...”
Kulihat Lintar langsung
menghampiriku dan memegang tanganku. Dia menggenggamnya sangat erat seperti
tidak mau melepasnya, tidak mau melepasku.
“Aku nggak mau ke Jakarta kalau nggak
sama kamu, Lin...”
Lintar mengelus rambutku dengan
hati-hati, tidak ingin lebih menyakitiku.
“Jangan, De. Aku nggak mau kamu
melepas beasiswa ini cuman karena aku.”
Aku tidak tahu perkataannya barusan
adalah hiburan atau gambaran kekecewaan Lintar yang tidak ditunjukannya
terang-terangan padaku.
“Nggak, Lin, aku nggak mau.”
“Kamu nggak boleh kayak gini, De!
Aku akan semakin kecewa jika kamu nggak pergi ke Jakarta cuman gara-gara aku!”
Mata Lintar berbicara lebih banyak
daripada mulutnya. Dia sangat takut kehilanganku, tapi tidak ada yang bisa dia
lakukan untuk mencegahku apalagi melarangku untuk pergi ke Jakarta walau dia
ingin. Lintar ingin terus menjagaku di sini, ataupun di Jakarta. Bukan, aku
yakin dia bukan kecewa tidak lolos dalam tes beasiswa ini, tapi dia kecewa
karena tidak bisa menjagaku jika aku benar-benar pergi ke Jakarta.
“Kamu harus pergi ke Jakarta, De.
Bukankah ini impianmu dari dulu? Pergi ke Jakarta, sekolah di sekolah khusus
seni terbaik di sana, terutama impianmu untuk meyakinkan Ibumu kalau Jakarta
nggak seburuk yang beliau kira.”
“Nggak, Lin. Aku nggak siap.”
“Kamu harus siap, De. Dengan atau
tanpa aku, kamu harus berani, kamu harus siap.”
“Kalau kita nggak ketemu lagi,
gimana?”
“Kamu nggak boleh berpikir seperti
itu, De. Kita akan tetap bertemu saat kamu liburan semester, pegang janjiku.”
Aku tidak lagi menanggapi pernyataan
Lintar karena sekarang aku masih belum siap pergi ke Jakarta tanpa Lintar.
Jujur, bukan karena aku tidak berani, tapi aku tidak bisa membuat Lintar
semakin sedih karena kepergianku.
“Inget, De. Aku akan sangat kecewa
kalau kamu menyia-nyiakan beasiswa ini. Dan juga, aku nggak akan pernah bisa
maafin diriku sendiri kalau kamu nggak jadi pergi ke Jakarta.”
Perkataan Lintar barusan seperti
kilat bagiku. Setegar apa sebenarnya sahabatku ini sampai dia bisa berbicara
seperti itu?
“Jika hari ini hujan turun, aku
ingin mereka mewakili kesedihanku melepasmu, De. Aku sedih, tapi rasa banggaku
padamu menutupinya hingga aku tidak sedih lagi. Sejak dulu sampai sekarang, dan
untuk ke depannya, aku nggak akan berhenti menyayangimu, Dea. Aku nggak akan
pernah lupa kalau aku mempunyai sahabat sehebat kamu, dan aku nggak akan pernah
merasa iri ataupun dendam sama kamu. Mungkin kita hanya akan bertemu setahun
dua kali, tapi dua kali itu akan menjadi pertemuan yang sangat menyenangkan
untuk kita, aku janji. Aku juga janji akan menjaga Ibumu dengan baik selagi
kamu di Jakarta.”
“Lintar, kamu adalah sahabat
terbaikku.”
“Ini bukan akhir, De, tapi awal
perjuangan kamu.”
“Makasih, Lin.”
“Nah, sekarang karena hujan kesukaan
kamu udah turun rintik-rintik, gimana kalau aku bantu kamu bangun dan kita
duduk di dekat jendela untuk menikmati hujan?”
Aku mengangguk lemah, dan Lintar
membantuku untuk bangkit. Kami berdua duduk di dekat jendela dan menikmati
hujan yang turun sangat indah. Benar kata Lintar, ini bukan akhir, tapi awal
perjuanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?