Jumat, 11 April 2014

Rain from Heaven (Remake)_SATU - Bukan akhir, tapi awal.


SATU – Bukan akhir, tapi awal.



Sore ini masih sama, masih di tempat tidur yang sama, di samping nakas yang sama, dengan selimut yang sama, di ruangan yang sama. Aku duduk termenung seraya menatap lurus ke depan. Dengan tatapan kosong, membayangkan sebuah senyum yang terlukis indah, tawa yang terdengar asri.
Lelaki yang datang setiap aku membutuhkannya kembali hadir dalam pikiranku. Aku egois, ya, aku sangat egois karena selalu ingin dia di sampingku, tapi semua berbeda, sangat berbeda saat kini aku kembali memikirkannya.
Kuputuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan berdiri terpaku menatap hujan yang membuat langit sore, yang seharusnya indah, menjadi suram. Airmataku turun bersamaan dengan hujan itu, hujan yang turun dari surga.


***

Angin dingin menyeruak ke dalam ruangan, menyentuh kulit-kulit orang Indonesia ini, membuat mereka, termasuk aku, agak menggigil. Akan tetapi, tak peduli sedingin apapun udara yang menyelimuti kami, kami akan tetap latihan karena kami benar-benar mencintai seni. Aku berdiri dan mengeluarkan suaraku sekuat tenaga.
“Aku hanyalah seorang manusia tanpa hati. Jadi, kau tak usah mengaturku dengan omonganmu yang tak bermutu itu!”
Seorang anak lelaki seumuranku berdiri, dia lebih tinggi dariku, mulutnya terbuka lebar hendak mengucapkan sesuatu yang telah dipendamnya dalam hati.
“Walaupun kau berkata seperti itu, aku tidak akan membiarkan sahabatku sendirian! Aku akan berusaha untuk mengajaknya keluar dari kesendirian itu menuju dunia luar yang lebih baik! Jadi kumohon, ikutlah bersamaku.”
Semua orang di ruangan itu terkagum-kagum mendengar ucapan Lintar yang sangat tegas dan meyakinkan. Kami terdiam bahkan aku lupa pada dialogku selanjutnya. Sebelum aku mempermalukan diriku sendiri, guruku langsung menghentikan latihan ini.
“Bagus-bagus, ya sudah, sekarang kita istirahat dulu,” ucapnya.
Lintar menggulung naskahnya dan menghampiriku yang masih mencari dialogku selanjutnya. Dia menepuk kepalaku dengan gulungan naskahnya, membuatku meringis seraya mendenguskan hidungku.
“Aktingmu bagus seperti biasa,” pujiku sedikit kesal.
“Sebagai seorang seniman, itu sudah sepantasnya, De, hahaha.”
“Ya ya ya, lihat sampai siapa di antara kita berdua yang pergi ke Jakarta duluan.”
“Pasti aku dulu, De.”
Aku hanya terkekeh melihat Lintar yang sangat percaya diri. Aku mengagumi anak itu. Dia memang berbakat dan penuh percaya diri. Aku selalu ingin menjadi seperti Lintar, tapi kurasa tidak mungkin. Bakat yang dimilikinya itu, istilah kasarnya, sudah ada sejak dia lahir, sedangkan aku baru menyukai seni, terutama musik dan drama, saat aku kelas tiga SD.
Aku masih ingat bagaimana aku mulai menyukai seni. Saat itu, aku sedang berjalan-jalan di taman desa sendirian. Kemudian, aku tidak sengaja mendengar seseorang bernyanyi di balik semak-semak. Aku penasaran untuk melihat siapakah orang yang bernyanyi bukan sekedar bagus, tapi juga penuh perasaan. Saat aku menyibak semak-semak itu, seorang anak lelaki, yang sampai sekarang aku tidak tahu namanya, menyanyi lagu berjudul Bunda yang sangat kusukai dengan sangat indah. Aku duduk di samping semak-semak itu dan menikmati nyanyian itu sambil berpikir kalau ternyata bernyanyi dapat membuat semua orang senang. Mulai saat itulah aku ingin bernyanyi agar semua orang senang.
Terlepas dari masa lalu itu, aku berusaha untuk lebih serius menggapai cita-citaku menjadi musisi. Lintar bercerita padaku jika kami bisa pergi ke Jakarta, lebih tepatnya sekolah khusus seni terbaik di sana, kami akan menjadi musisi yang sangat hebat. Sebenarnya aku tidak peduli apakah aku bisa menjadi hebat atau tidak, yang penting aku bisa bernyanyi untuk semua orang yang membutuhkannya.
“Eh, Dea, kamu bener nggak mau ikut tes itu?”
“Aku nggak tahu, Lin...”
Ah, masih ingat percakapanku dengan Ibu dua minggu yang lalu, walau sedikit, bahkan sangat mengejutkan bagiku...



Hujan itu turun menebarkan pesonanya yang begitu indah, di padu warna langit yang agak kekuningan menandakan matahari akan segera menghilang berganti bulan. Aku duduk merenung di depan jendela melihat keajaiban Tuhan ini. Air-air langit itu bagai turun untuk menghiburku, menggerakan daun agar mereka bisa menari naik-turun menenangkan hatiku yang sedang sangat cemas dengan keputusanku.
Tanganku bergetar saat aku gugup, bibirku juga bergetar dan telapak tanganku basah. Degup jantungku berdetak cukup kencang dan mulai menyakiti rongga dadaku. Membuat seluruh tubuhku lemas saat aku merasakan kecemasan luar biasa. Anak umur 11 tahun sepertiku memang sangat lemah jika harus menanggung penyakit seberat ini. Ya, aku adalah penderita gagal jantung, aku tahu itu, dan aku tidak peduli. Yang penting, aku masih bisa hidup sampai sekarang itu sudah cukup.
Kembali lagi pada kegugupanku tadi, ini masalah tes beasiswa untuk masuk ke Sekolah Seni Indonesia yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Cita-citaku menjadi musisi mungkin akan lebih mudah tercapai jika aku mengemban pendidikan di sana. Memang belum tentu aku akan diterima disana, tapi setidaknya nilai akademisku cukup memuaskan untuk mendapatkannya. Tak pernah terpikir olehku kesempatan itu datang untuk kami, Lintar dan aku. Akan teapi aku takut, apakah aku diijinkan Ibu mengikuti tes itu.
Sebenarnya, selain ke Jakarta untuk menggapai mimpiku, aku juga ingin bertemu dengan seorang anak lelaki Jakarta yang pernah bermain bersamaku dan Lintar saat kami masih kelas 3 SD. Aku tidak tahu namanya, tapi aku masih ingat paras wajah manisnya yang membuatku terkesima. Beda dengan semua anak desa disini. Kulitnya bersih dan tak terlalu legam seperti kami. Hm. Pokoknya aku kagum padanya, dia juga pernah menolongku saat aku tidak bisa turun dari pohon, tapi nanti saja aku menceritakan kisah masa kecilku ini.
‘Kreeekk’
Suara pintu kamarku yang sudah sangat tua terbuka, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu, ialah Ibuku. Ternyata sudah banyak rambut putih yang tumbuh di sana. Ia tersenyum lembut padaku, begitu indah senyum itu, membuatku ingin meneteskan lebih banyak airmata untuk menunjukan kasih sayangku padanya. Tuhan, kenapa aku harus mempunyai pikiran untuk meninggalkan Ibu seorang diri? Aku menyesal Tuhan.
Ibu berjalan ke arahku tanpa menutup kembali pintu kamar. Kini Ibu sudah berada disampingku, menatapku lekat. Aku semakin ingin menangis melihat wajah Ibu yang sangat menyayangiku. Apalagi jika aku harus mengatakan rencanaku pada Ibu. Tangannya menyergap punggung tanganku tanpa aba-aba, membuatku terkejut setengah mati.
“Apa yang ingin Dea katakan pada Ibu siang tadi?”
Pertanyaan Ibu barusan menyadarkanku tentang sebuah mimpi anak yang baru lulus SD ini, tak tahu rencananya ini benar atau salah.
“Tak apa, Bu, aku hanya ingin mengingatkan Ibu, bahwa aku telah lulus dengan nilai terbaik di sekolah.”
Aku tersenyum bangga saat menceritakan prestasi yang kudapatkan. Menjadi seorang lulusan terbaik di SDNku tidaklah mudah, Sobat. Aku harus bersaing dengan beberapa anak super cerdas lain. Termasuk Lintar, sahabatku.
“Tidak, Ibu yakin, Dea ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari itu.”
Sinar mata Ibu merasuk hingga memukul hatiku, terasa perih. Sangat perih. Aku tak tega Ibu, jangan paksa aku. Aku mohon.
“Ayo Dea, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan.”
Aku tak bisa menahan tangisku. Langsung kupeluk Ibu agar tangisku dapat sedikit tertahan. Tapi rasa ini bukannya reda, malah menjadi-jadi ketika ku cium bau mawar kesukaan Ibu di bajunya. Tuhan, tolong aku.
“Ibu tahu, Sayang, kamu berniat ikut tes beasiswa ke Jakarta kan?”
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Ibu barusan, langsung kulepas pelukanku. Kutatap paras cantik yang terbentuk di wajahnya, walau segurat kulit keriput telah menyatu di pelipisnya, tapi cantik wajah dan hati Ibu tak pernah sirna.
“Maafkan aku, Bu.”
“Apa kau ingat, saat Ayahmu meninggal karena dia ke Jakarta. Penyakitnya bertambah parah disana, dan sejak saat itu, Ibu nggak pernah percaya dengan rumah sakit di Jakarta.”
Ya. Memang begitulah kiranya sekilas kisah Ayahku yang meninggal akibat di pindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Penyakit Ayah saat itu kambuh tiba-tiba dan harus di operasi. Akan tetapi tak ada peralatan yang cukup di desa kami. Maka dari itu, Ayah harus ke Jakarta, tapi...biaya pengobatan dan operasi Ayah sangat mahal, kami tidak mungkin bisa membayarnya. Ayah di telantarkan begitu saja hingga Ayah tak tertolong lagi. Begitu kejam orang-orang kedokteran itu, membuat Ibu dendam pada Jakarta, tapi tidak sama denganku, aku sangat ingin ke Jakarta, karena sejak kecil Lintar telah menceritakan padaku tetntang gemerlap dan keindahan Jakarta.
“Tapi, Bu, rumah sakit itu saja yang memperlakukan pasiennya yang nggak wajar, aku yakin. Nggak semua rumah sakit di Jakarta seperti yang Ibu bayangkan.”
Ibu menatap mataku penuh arti, aku tak kuat menatapnya. Langsung saja ku palingkan wajahku dari Ibu, menatap air hujan yang masih deras turun mengguyur desaku tercinta. Desa Summer. Memang aneh desa ini, dinamakan desa Summer, padahal musim terus berganti. Mungkin agar kami selalu ceria seperti musim semi.
“Apa kamu tidak percaya pada Ibumu sendiri?”
“Bukan, Bu, bukan aku nggak percaya...tapi, Bu, tolonglah ijinkan aku ikut tes itu, aku ingin menggapai mimpiku.”
“Apa Dea nggak mau menemani Ibu yang sudah tua renta ini?”
“Ibu...,” lirihku.
“Tidak, Ibu takkan mengijinkanmu”
“Dea mohon, Bu. Dea janji, Dea akan membahagiakan Ibu dengan prestasi Dea. Lagipula, ada Lintar yang bisa menjaga Dea”
“Tak cukupkah kamu menyakiti hati Ibu dengan permintaanmu, De!”
“De-Dea cuman ingin mengejar mimpi Dea, Bu. Dea juga ingin membuat Ibu nggak berpikir seperti itu lagi pada Ibu kota kita. Karna Dea berjanji, Dea akan menjadi bintang paling terang di SMP Betha Melody, sekolah seni yang mengadakan beasiswa itu, Bu.”
Ibuku terdiam beberapa saat, membuatku menunggu dengan cemas. Suara hujan makin kencang terdengar, mengiringi detak jantungku yang berdegup lebih keras dari yang tadi. Ibu kembali menatapku penuh arti, air matanya telah turun deras melalui matanya yang sudah rabun senja.
Sebuah anggukan pelan tergambar di depan mataku, anggukan tersebut berasal dari seorang wanita yang sangat ku cintai. Senyumku langsung terkembang lebar bak bulan sabit yang menerangi bumi ini. Ku peluk erat-erat tubuh kurus Ibu, kehangatan kasih sayangnya menyatu dengan hatiku. Jantungku berdegup begitu berirama bagai sedang menari balet untukku.




Lintar menyentuh tanganku, menggoyang-goyangkannya seperti kuas kesayangannya yang sudah usang akibat sifat keras kepalanya yang tidak mau mengganti kuas itu apapun alasannya.
“Kamu ngapain sih?”
Lintar tertawa girang, dia menatapku dengan sinar matanya yang selalu cerah bagai matahari.
“Bukannya Ibumu sudah mengijinkanmu untuk ikut tes itu?”
“Iya sih, tapi aku bingung, Lin. Walaupun nanti aku bisa ke Jakarta, tapi aku juga nggak mungkin membiarkan Ibuku hidup sendiri.”
“Kata siapa Ibumu akan sendirian?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, Bundaku akan menemani Ibumu, De. Tenang aja, Ibumu akan tinggal di rumahku selama kamu sekolah di Jakarta.”
“Serius?”
Duarius deh!”
Senang bukan main aku mendengar pernyataan Lintar barusan, kupeluk tubuh kecil sahabatku yang satu ini. Semua anak spontan berteriak menyoraki kami dengan ledekan-ledekan kecil khas desa kami.
***
Sebuah mobil Lamborghini berwarna silver menepi di depan gerbang sekolah bertuliskan, ‘SMP BETHA MELODY’. Seorang anak lelaki keluar dan menutup pintu mobil itu dengan keras seperti orang yang sedang kesal. Anak itu berjalan dengan wajah ditekuk, membuat beberapa anak yang dia lewati memandangnya heran.
“Hai, Yo, udah lama nggak bertemu...haha,” ucap seorang anak yang langsung menghampiri anak lelaki yang cemberut tadi.
“Nggak lucu.”
“Yo, gue cuman mau ngehibur loe aja kok. Habisnya dari kemarin loe cemberut terus, sih.”
“Nggak ada apa-apa kok, latihan lagi, yuk.”
“Ehm, Alvin sama Iel belum dateng, Bro,” ucap seorang lagi.
“Yaudah, kita cek alat dulu aja.”
Seraya mengajak kedua temannya, Rio sekali lagi memandang gerbang sekolah dan meghela nafas lelah. Dia tidak berfokus pada gerbang sekolah itu, melainkan anak-anak yang dilewatinya tadi. Setiap melewati lorong sekolah selama satu tahun ini, perasaan Rio selalu sama, lelah. Rio sangat lelah melihat orang-orang yang tersenyum padanya bukan karena mereka mengenal Rio atau benar-benar ingin menjadi temannya, tapi karena Rio adalah anak pemilik sekolah seni ini.
Selama ini, Rio tidak pernah mempercayai kenalannya, termasuk teman-teman dekatnya sekarang. Walaupun Rio bersama sepupu dan tiga temannya sudah membuat band, yang seharusnya membuat Rio mempunyai orang kepercayaan, tapi Rio tetap tidak bisa mempercayai mereka. Membingungkan saat membedakan orang yang benar-benar tulus atau penjilat, pikir Rio.
Terlepas dari ketidakpercayaan Rio pada 4 temannya, semua berjalan baik. Band yang mereka dirikan cukup berhasil di sekolah maupun antar sekolah di Jakarta. Band bernama KING itu beranggotakan Rio sebagai vokalis, Patton, orang yang barusan menghibur Rio, sebagai pemain keyboard, Obiet, anak satunya lagi, sebagai pemain biola, Alvin, teman Rio sejak SD, sebagai drummer, dan Gabriel, sepupu Rio, sebagai gitaris.
Rio bersama Patton dan Obiet masuk ke dalam ruangan yang super besar seperti aula. Akan tetapi, mereka tidak benar-benar ingin masuk ke sana, melainkan ke sebuah ruang lebih kecil yang terletak di pojok aula itu. Ruangan itu, di pintunya terdapat tulisan ‘KING’, dan itu artinya hanya anggota dan penanggung jawab band ini yang diperbolehkan masuk.
“Lagu apa ni yang akan kita bawakan, Yo?” tanya Obiet seraya membenarkan kacamata minusnya. Rio menatap Obiet sejenak, lalu mengambil gitarnya.
“My Immortal aja, liriknya cukup remaja.”
“Eh, tapi itu lagu sedih, Yo, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa Patt.”
Kedua kawan Rio hanya menaikkan bahu mereka tanda terserah. Ingatan Rio kembali melayang saat pertama kali menyanyikan lagu ‘My Immortal’. Saat dia masih kelas 6 SD. Lagu yang hingga kini terus diingatnya, lagu yang pertama kali di ajarkan kakaknya, yang kini telah meninggal sejak dia lulus kelas 6.
Dulu, saat Rio masih berumur lima tahun, Rio masih bisa tertawa lepas, tapi kini, senyum itu menjadi semakin sulit dilihat. Semenjak kepergian kakaknya, Rio merasa tawa dan senyum itu juga pergi. Dia seperti orang lain yang kehidupannya sedang dikendalikan oleh lingkungan, yang memaksanya untuk menjadi Rio yang sempurna, Rio yang tidak peduli pada ketulusan cinta, Rio yang lain.
“Ketika hujan turun, coba kamu julurkan tanganmu untuk merasakan tetesan hujan itu seraya memejamkan matamu, Rio. Kakak yakin, kamu bisa merasakan ada cinta di setiap tetes hujan itu. Kakak ingin saat kamu melihat hujan, kamu bisa percaya kalau kakak selalu sayang sama Rio.”
Ucapan terakhir kakak Rio kembali terngiang dalam pikiran anak itu, membuatnya terdiam sejenak. Ada sebuah dorongan yang memaksanya untuk melupakan itu semua karena menurutnya kata-kata itu sudah tidak berguna. Setiap Rio menjulurkan tangannya untuk merasakan hujan, Ayahnya selalu menarik tangan Rio untuk tidak melguekannya. Jadi, tidak ada kesempatan lagi untuk Rio merasakan tetesan cinta itu. Akan tetapi, Rio percaya kalau suatu saat nanti dia bisa merasakannya lagi, bukan hujan, tapi dari orang yang mungkin akan mencintainya dengan tulus. Walaupun dia sudah tidak percaya pada ketulusan, tapi di bagian hatinya yang lain Rio masih berharap bisa menemukannya.

***

“Hei, turun saja! Nanti aku tangkap kamu!”
            Teriakan itu begitu jelas ku dengar di tengah derasnya hujan yang saat itu sedang turun menyirami seluruh pelosok desa Summer. Oh, Tuhan, apakah benar, dia akan menangkap tubuhku? Apakah aku masih bisa menemani semua orang yang kucintai? Pertanyaan-pertanyaan ketidakpercayaanku itu kini berkeliling dalam ketakutanku akan kematian.
            “Benarkah?”
            “Iya! Loncat saja!”
            Aku mulai percaya akan intonasi ucapannya yang membuatku berani mengambil beribu resiko yang pasti akan terjadi.
“Ya, aku akan coba loncat, tapi tetap di bawah ya!”
“Pasti!”
Dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku pun bisa loncat, dan...’brukk’ begitulah suaraku saat tubuhku ditangkap oleh penyelamat hidupku, wajahnya bak pangeran dari negeri dongeng.
“Kamu nggak apa-apa?”
“E..enggak, makasih”
Hujan pun berhenti, dan pelangi yang sejak tadi kutunggu terpancar terang menerangi pertemuan kami yang pertama. Inilah malaikat penolongku.




“Ah! Apa sih yang aku pikirin siang bolong begini? Err...udah, De, udah...”
“Kamu kenapa, De?”
“Nggak apa-apa, kok.”
Dea mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamar seraya membuang khayalanya yang tadi. Dea sendiri bingung kenapa bayangan itu kembali muncul, semakin sering apalagi menjelang ujian beasiswa ke Jakarta.
“Kalau ada yang mau kamu ceritain ke aku, cerita aja, De.”
“Nggak ada, kok, Lin.”
“Bener? De, aku tu udah temenan sama kamu selama 10 tahun, masa’ kamu masih bohong sih sama aku?”
“Hahaha, ketahuan deh. Nanti, Lin, suatu saat nanti aku pasti cerita ke kamu.”
“Oke, aku tunggu.”

***

Alvin meletakan tas punggung kesayangannya di meja dekat kursi yang diduduki Rio, lalu duduk di kursi di seberang tempat Rio.
“Loe kenapa, Vin?”
“Nggak apa-apa.”
“Bohong, emangnya 10 tahun gue kenal loe, gue nggak bisa bedain loe lagi apa-apa atau nggak?”
“Nanti ada, deh, Yo. Ohiya, kita mau menampilkan lagu apa ni di acara MOS nanti?”
“My Immortal!”
Celetukan Obiet rupanya membuat Alvin membulatkan mata sipitnya. Sejenak, tapi pasti, Alvin menatap Rio penuh arti, mencoba mengingat arti lagu itu untuk Rio, maksudnya, kehidupan masa lalu Rio.
“Apa nggak terlalu sedih, Yo?”
“Nggak.”
“Ah, sudah kubilang, Yo, lagu itu lagu cengeng. Nggak pantes di nyanyikan di acara bahagia seperti itu.”
Rio langsung naik pitam pada ucapan Patton. Dia berdiri dan menghampiri Patton. Menarik baju si kecil dari Makassar ini dengan kasarnya.
“Gue nggak suka loe bicara seperti itu pada lagu ini!”
Bentakan Rio membuat semua anggota ‘KING’ ikut berdiri, Alvin melepas pegangan Rio pada kerah baju Patton. Obiet menarik Patton menjauh dari Rio. Iel yang baru saja datang langsung bertanya ‘Apa yang terjadi’. Alvin langsung menyuruh Iel untuk diam sementara waktu karena suasana masih genting.
“Maksud loe apa sih, Yo? Jangan mentang-mentang loe itu anak pemilik sekolah, ya, loe bisa berlgue seenaknya padgue?!”
“Gue bahkan nggak pernah mau jadi anaknya!”
Semua terdiam, Obiet yang sejak tadi memegangi Patton melepas pegangannya karena terkejut dengan pernyataan Rio. Alvin mendekati Rio dan membisikan sesuatu pada Rio.
“Ketika loe berbuat jahat, tetesan cinta untukmu akan mulai berkurang, Yo. Ingat pesan lain dari kakakmu.”
Rio menunduk mendengar bisikan Alvin. Ternyata Alvin masih ingat pada kakak Rio. Suasana mendadak hening, tapi akhirnya Patton menghampiri Rio dan mengulurkan tangannya.
“Maafin gue, Yo, gue tahu, lagu itu sangat berharga buat loe.”
Rio terdiam dan memandang wajah Patton tanpa dosa, tapi cukup untuk membuatnya berpikir kalau apa yang dilguekannya tadi itu salah. Rio beralih pada tangan Patton, dan memutuskan untuk menggapai tangan itu.
“Gue juga minta maaf, Patt. Gue nggak maksud kasar sama loe.”
Barulah Alvin mau menceritakan kejadian yang baru saja terjadi pada Iel. Iel mengangguk dan maklum dengan keadaan sepupunya. Iel mendekati Rio, tersenyum padanya. Senyum tulus yang paling disukai Rio hanya di miliki oleh Iel, Alvin, dan kakaknya. Karena dengan senyum itu, Rio masih bertahan untuk hidup di dunia yang sudah terlanjur membuatnya mencatat masa lalu yang kelam di dalamnya.
“Loe akan tetap jadi sepupu terbaikku.”
Kekurangan Iel membuat Rio makin bersemangat untuk hidup dan melindungi Iel. Digenggamnya kalung berbentuk bintang yang sama dengan kepunyaan Alvin dan Iel. Kalung yang sangat berharga untuknya.

***

Rio menatap langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar menatapnya, karena yang ada dalam pikiran Rio bukan langit-langit itu, melainkan kakaknya. Kejadian siang tadi rupanya membuat Rio menyesal karena membuat Kakaknya menjadi alasan keegoisannya memilih lagu. Obiet benar, lagu yang dipilih Rio terlalu sedih untuk ditampilkan dalam acara pembukaan MOS tahun ini. Rio harus mencoba untuk merubah sikapnya, jika tidak, mungkin harapannya untuk mendapatkan ketulusan dari teman-temannya harus pupus.
“Maafin gue, Kak.”
Alvin yang malam ini menginap di rumah Rio dengan Iel rupanya mendengar itu. Alvin segera bangkit dari tidurnya, membuat Rio kaget setengah mati karena dia mengira Alvin sudah tidur.
“Loe lagi apa, Yo?”
“E-eh, kukira loe udah tidur, Vin.”
“Gue emang udah tidur, tapi kebangunan gara-gara loe.”
“Oh, maaf...”
“Hahaha, bercanda kali, Yo! Gue belum tidur karena malam ini panas banget. ACnya nggak nyala, ya, Yo?”
Nyala, kok. Gue rendahin aja suhunya, ya?”
“Oke, thanks, ya.”
Alvin memang pandai membaca situasi. Dia tahu kalau Rio sedang memikirkan kejadian tadi siang, jadi Alvin mencoba untuk mengalihkan perhatian Rio sejenak dan juga mencairkan suasana.
Setelah Rio merendahkan suhu AC, Alvin bangkit dari kasur lalu mencari foto tua yang disimpan Rio di laci meja belajarnya. Setelah menemukan foto itu, Alvin mendekati Rio yang kini duduk di dekat jendela. Foto itu berisi gambar Rio bersama seorang gadis manis yang berumur kira-kira 4 tahun di atas mereka.
“Kakakmu cantik banget, ya, Yo?”
“Itu sudah pasti.”
“Eh, tapi loe nggak mirip sama dia.”
“Heh, loe ngomong apa, sih, Vin,” ucap Rio seraya mengeryitkan dahinya, tidak terima dengan perkataan Alvin barusan.
Alvin hanya tertawa melihat ekspresi Rio, sedangkan Rio memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke jendela, walaupun tidak ada yang bisa dilihatnya di luar saat gelap.
“Yo, mau kuceritain sesuatu, nggak?”
“Cerita apa?”
“Dongeng.”
“Emangnya gue bocah, harus diceritain dongeng sebelum tidur?”
“Hahaha, bukan begitu, Yo, tapi—“
Udah, ah, gue mau tidur.”
“Yah, loe kok gitu, sih? Gue kan mau cerita, Yo.”
“Lain kali aja, Vin, gue ngantuk.”
“Bohong, ini masih jam berapa, sih?”
“Heh, ini udah jam 11 malam, Vin. Kurang larut apa coba? Sssh, jangan sampai Iel juga bangun. Kasihan dia, daritadi siang sibuk banget.”
“Heuh...yaudah, deh.”
Dengan wajah cemberut yang terkesan dibuat-buat, Alvin menyerahkan foto itu pada Rio dan kembali ke tempat tidurnya. Rio hanya tertawa kecil kemudian memandang foto tua itu sambil tersenyum.
“Gue kangen sama loe, Kak.”

***

Pagi itu, Rio mengibas-ngibaskan rambut basahnya saat keluar dari kamar mandi, membuat dua temannya terkena cipratan air dari rambutnya.
“Eh, seenaknya loe, Yo,” gerutu Alvin.
Rio hanya terkekeh sambil mengambil handuknya lalu membalut rambut basahnya. Kemudian, Rio duduk di samping Gabriel yang sedang sibuk membaca proposal MOS yang akan diserahkannya pada Bu Ucie, ketua Pembina pelaksana MOS tahun ini. Sebenarnya Gabriel sangat lelah, tapi dia mencoba untuk menutupinya agar Rio dan Alvin tidak menyadari itu. Kalau mereka sadar, Rio dan Alvin akan melarangnya untuk berlama-lama di ruang OSIS.
“Sudah selesai, Yel?”
Rio bertanya sambil mengancingkan kemejanya.
“Oh, udah, kok. Hari ini gue mau serahin proposal ini ke Bu Ucie, tenang aja.”
“Beneran?”
“Yo, please,” kata Gabriel sedikit kesal.
“Hahaha, bercanda kali, Bang.”

Kring...Kring...

Ponsel Rio yang berada di atas meja belajarnya berdering keras. Rio bergegas mengambilnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Raut wajah Rio segera berubah masam melihat si pemanggil.
“Siapa, Yo?” Tanya Alvin.
“Loe mau angkat teleponku, nggak, Vin?”
“Emangnya siapa?”
“Udah deh, gue males nerima,” ucap Rio seraya memberikan ponselnya pada Alvin.
“Ooh...keponakannya Bu Ucie, toh.”
“Kesel nggak sih, kalau ada orang yang setiap hari nelpon, tapi nggak penting banget keperluannya,” gerutu Rio.
“Hahaha, lagian loenya juga sih diladenin. Jadi, mau diangkat nggak, nih?”
“Terserah loe, gue mau cari hair dryer,” ucap Rio seraya keluar.
Alvin mengalihkan pandangannya pada Gabriel, meminta saran apa yang harus dia lguekan.
“Angkat aja, Vin. Mungkin ada keperluan yang penting.”
“Oke.”
Alvin menekan tombol hijau ponsel itu dan menempelkannya di telinganya.
“Halo?”

“Halo? Ini Kak Rio?”

“Oh, bukan, Dek, ini Alvin. Rionya lagi keluar.”

“Oh, yaudah kalau gitu, gue cuman mau bilang kalau KING sedang ditunggu sama Tante sekarang. Kalau dalam 15 menit kalian belum datang, mungkin hak tampil kalian dicabut.”

“He?! O-oh, iya-iya, kami segera ke sana! Makasih, ya, Ik.”

“Iya, sama-sama, Kak.”


Tut...tut...


“Ayo, Yel! Kita harus cepet ke sekolah!”
“Kenapa, deh?”
“Bu Ucie bilang, kalau kita nggak datang dalam 15 menit, hak tampil kita bisa dicabut!”
“Ha, yang bener?”
“Bener, tadi Oik yang bilang.”
“Aish, si Rio itu perasangka buruk terus dipelihara.”
“Udah, deh, nggak usah nyalahin siapa-siapa. Mending sekarang kita siap-siap. Gue kasih tahu Rio dulu, ya.”
“Iya.”
Alvin berlari keluar untuk memberitahu Rio kalau mereka harus sampai ke sekolah dalam 15 menit. Alvin menemukan Rio di kamar Kakak Rio yang sudah tiga tahun kosong. Rio terlihat sedang mencari sesuatu, selain hair dryer yang diletakkan Rio di atas kasur.
“Eh, Yo, loe lagi apa?”
“Kalungku, Vin.”
“Aish, itu bisa nanti, Yo. Sekarang kita harus ke sekolah!”
“Kenapa?”
“Tadi Oik bilang, kalau kita nggak di sekolah dalam 15 menit, hak tampil kita bisa dicabut sama Bu Ucie!”
“Lho? Kok bisa gitu?”
“Waduh, nggak tahu, deh. Yang pasti, kita harus cepat-cepat ke sana!”
Tanpa menunggu jawaban Rio, Alvin kembali ke kamar untuk bersiap. Rio merasa janggal dengan keputusan Bu Ucie yang tiba-tiba dan tidak seperti biasanya. Dia yakin ada yang tidak beres, tapi daripada berpikir terlalu lama, Rio segera bersiap juga.

***

Setelah mengirim sms pada Patton dan Obiet, Rio dan dua temannya segera bergegas menuju SMP Betha Melody. Sesampainya di sana, mereka bertiga langsung berlari menuju ruang guru untuk menemui Bu Ucie. Akan tetapi, saat mereka tiba di sana, hanya ada Oik yang sedang bermain-main dengan kursi putar milik Bu Ucie.
“Ik, Bu Ucie kemana?” Tanya Alvin.
“Tante? Dia belum sampai.”
“Lho? Loe bilang...”
“Ini hukuman buat Kak Rio karena nggak mau jawab teleponku.”
“Ik, maksud loe apa?” Alvin mulai meninggikan nada suaranya. Dia berani seperti itu karena tidak ada guru lain di sana.
“Gue cuman bercanda, kok,” ucap Oik tanpa rasa bersalah, membuat tiga anak lelaki itu semakin geram.
“Bercanda loe itu nggak lucu, Ik,” ucap Rio kesal.
“Tapi menurutku itu lucu, hahahaha!”
“Loe jangan pernah telepon gue lagi, apalagi bercanda nggak jelas kayak gini. Inget itu! Vin, Yel, ke aula.”
“Yakin Kakak ngancem gue kayak gitu?”
Pertanyaan Oik membuat Alvin, Rio, dan Gabriel menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Oik kembali.
“Maksud loe?” tanya Rio.
“Nggak apa-apa. Gue juga nggak berani buat masalah sama anak pemilik sekolah ini. Bisa-bisa gue nggak diterima.”
“Jaga omonganmu, ya,” ucap Gabriel yang sudah kesal daritadi, tapi baru bisa berbicara.
“Kan udah Oik bilang, Oik cuman bercanda. Kenapa semuanya serius banget, sih?”
“Hah, udahlah, jangan meladeni anak kayak dia,” ucap Rio seraya menarik Alvin dan Gabriel untuk benar-benar keluar.
Saat keluar, mereka bertemu dengan Obiet dan Patton yang berlari dan hampir bertabrakan dengan mereka.
Guys, gimana-gimana? Kenapa Bu Ucie tiba-tiba berpikir mau mencabut hak tampil kita?” Tanya Patton dengan nafas terengal.
“Itu cuman akal-akalan keponakan Bu Ucie buat ngerjain kita, Patt,” jelas Alvin.
“Hah? Kita udah lari-lari kayak gini, dan ini cuman...aish...,” keluh Obiet.
“Udahlah, nggak usah dipikirin lagi. Sekarang mumpung kita udah kumpul, ada yang mau gue omongin sama kalian. Ke ruang latihan, yuk?” Rio mencoba menenangkan teman-temannya, karena bagaimanapun sebagian kecil penyebab masalah ini adalah dirinya.
Sesampainya anggota KING di ruang latihan. Rio menghela nafasnya hati-hati sebelum memulai pembicaraannya dengan keempat anggota KING itu. Obiet meletakkan tasnya dan duduk di samping Patton yang sedang memeriksa keyboardnya, sedangkan Alvin dan Gabriel duduk di sudut ruangan, menunggu Rio memulai pembicaraannya.
“Temen-temen. Sebelumnya, gue minta maaf soal kejadian tempo lalu, saat gue menarik kerah kemeja Patton cuman gara-gara nggak setuju sama lagu pilihanku. Gue bener-bener minta maaf. Gue sadar kalau gue nggak boleh egois walaupun gue ini ketua KING, atau karena gue anak pemilik sekolah. Mulai sekarang, gue akan mendengarkan usulan dari kalian dan akan memikirkannya dengan bijak sebelum keputusan dibuat.”
“Yel, Rio udah bener-bener berubah,” bisik Alvin pada Gabriel.
“Jadi, gue udah putusin kalau lagu My Immortal terlalu sedih buat acara yang harusnya menyenangkan ini. Nah, ada yang punya usul?”
“Yo, loe yakin?” tanya Patton sedikit sangsi.
“Kenapa harus nggak yakin, Patt? Loe nggak percaya sama gue?”
“Wah...gue suka Rio yang kayak gini, nih,” celetuk Obiet.
“Heh, loe suka sama Rio? Loe homo?” ledek Gabriel.
“Enak aja loe, Yel!”
Mereka berlima tertawa puas, seperti melepas beban yang selama ini mereka pendam masing-masing. Terutama Rio, dia merasa sangat lega karena bisa mendengar tawa ini lagi.

***

Hari ini, kusiapkan mentalku menghadapi ujian yang kuyakin akan menentukan masa depanku. Kupandang wajah Ibu yang menemaniku. Terlihat Bunda Lintar duduk di samping Ibuku yang sudah berumur hampir setengah abad. Aku tersenyum tipis menyapa Ibu yang sepertinya cemas dengan tes ini. Tenanglah, Ibu, aku akan melakukan yang terbaik untukmu.
Lintar menepuk punggungku sekali, dia tersenyum lebih cerah daripada langit pagi hari ini. Membuatku mengumpulkan lebih banyak kepercayaan diri untuk mengikuti tes ini.
“Gugup, De?”
“Pasti, Lin”
“Tetaplah semangat, Sahabatku, walau nanti kita tidak di terima di SMP yang sama, aku tetap akan menjadi sahabat sejatimu, kok.”
“Kita pasti bisa masuk SMP itu sama-sama!”
Semangatku pada Lintar tak mau ku kendurkan, karna aku sedikit cemas melihat wajah Lintar yang sudah tidak bersemangat lagi. Aku berganti menepuk punggung Lintar, sekaligus merangkulnya untuk sekadar memberikan semangat yang biasa dia beri padaku. Senyum cerianya kembali terkembang bahkan lebih lebar dari yang tadi.
“Nah, gitu dong. Ini baru Lintar yang kukenal.”
“Terimakasih, De.”
Di dalam ruang tes, aku melihat seorang gadis yang tingginya di bawahku, dia duduk tepat di samping bangkuku. Aku tersenyum padanya, tapi dia tidak membalasnya, aku sendiri tidak masalah dengan itu. Kulihat plat namanya, Nova, ya, itu namanya. Entah kenapa, ada perasaan aneh saat aku melihatnya, aku merasa untuk kehidupanku yang selanjutnya, Nova akan berada di sana.
Bunyi bel tanda ujian dimulai, seluruh anak, termasuk aku, sibuk dengan soal masing-masing. Tidak ada waktu sama sekali untuk sekedar menoleh ke samping apalagi menyontek. Soal terdiri dari 20 soal matematika, 20 soal bahasa Indonesia, 15 soal bahasa Inggris, dan 45 soal IPA. Soal yang pertama kali kukerjakan adalah soal bahasa Inggris, karena aku sangat menyukainya jadi aku yakin bisa mengerjakannya dengan baik. Oh, ayolah, bukankah jika kita menyukai sesuatu, sesuatu itu akan terasa mudah untuk kita? Hehehe...
Setelah tiga jam berkutat dengan soal-soal itu, akhirnya aku dapat menyelesaikannya, tidak semua, tapi poinnya lumayan jika semua jawabanku benar. Perasaan takut tidak diterima langsung menyergapku saat lembar jawabanku diambil oleh pengawas. Aku tahu itu tidak baik, tapi perasaan seperti itu memang susah dihilangkan seyakin apapun aku mengerjakannya.
Setelah semua lembar jawaban diambil oleh pengawas, para peserta diperbolehkan keluar. Aku mencari Lintar di antara kerumunan peserta yang akan keluar, tapi aku tidak menemukannya. Jadi kuputuskan untuk keluar duluan karena mungkin dia sudah keluar. Nah, benar saja, Lintar sudah keluar dan sedang mengobrol dengan Bundanya. Aku sedikit berlari menghampirnya.
Lintar yang melihatku langsung memasang wajah terkejut dan mengajakku menjauh dari Ibu dan Bundanya. Aku yang masih bingung hanya bisa mengikutinya.
“Kenapa kamu ngajak aku ke sini, Lin?”
“Nggak apa-apa, De.”
“Bohong.”
“Aku cuman nggak mau Bunda dan Ibumu mendengar percakapan kita.”
Emang kenapa?”
Lintar tidak menjawab, dan juga matanya tidak lagi melihatku, dia tidak fokus. Akhirnya, kuputuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana, Lin, tesnya?”
Lintar tersentak, dia kaget mendengar pertanyaanku, dan jelas terlihat kalau dia tidak menyukainya.
“Ehm...jika Tuhan masih berbaik hati padaku, mungkin aku bisa masuk, De.”
“Kok kamu ngomongnya begitu, sih, Lin? Allah itu baik, sudah pasti.”
“Allah emang baik, De, tapi kalau...”
“Hus-hus, aku nggak mau kamu ngomong yang aneh-aneh. Sekarang kita balik, yuk?”
“Maaf, De...,” lirih Lintar, dan aku berpura-pura tidak mendengarnya.

***

Seminggu kemudian, pengumuman tes beasiswa itu akhirnya keluar juga. Lintar dan aku segera pergi ke balai kota dengan sepeda sederhana kami. Papan pengumuman terlihat dipenuhi oleh anak-anak dan orangtua yang mempunyai impian hampir sama denganku dan Lintar. Dengan lincah, kami berdua masuk ke dalam kerumunan melalui celah-celah kerumunan. Akhirnya, setelah beberapa saat harus merasakan sesak tidak keruan karena ada beberapa orang yang tidak sabaran mendorong satu sama lain, kami bisa sampai ke depan papan pengumuman dengan selamat.
Peserta yang lolos tes beasiswa ini hanya 20 orang untuk 4 sekolah seni berbeda. Aku langsung mencari namaku di deretan nama peserta yang lolos ke SMP Betha Melody, SMP tujuanku dengan Lintar.
“Dea Amanda...Dea...ha! Ada! Alhamdulillah!”
Rasanya ingin menangis melihat namaku terpampang di sana, aku lolos!!
Tunggu dulu, ada yang aneh. Kenapa nama itu tidak ada? Nama Halilintar Morgen tidak ada. Nama sahabat terbaikku tidak ada dimanapun. Ke-kenapa...
Sebuah tarikan halus membuatku yang masih terkejut menjauh dari kerumunan. Orang yang menarikku keluar adalah Lintar. Anak itu hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. Walau tersirat, aku tahu kalau Lintar sangat kecewa. Lintar, sahabatku, dia kecewa tanpa menitikkan sedikitpun air mata. A-aku...aku...
“Selamat, ya, De. Aku akan mendukungmu dari sini, kamu tenang aja.”
“Li-Lin—“
Ucapanku terpotong saat tiba-tiba saja kesadaranku hilang.

***

Mataku terbuka perlahan, dan terlihat Lintar sedang duduk di sampingku. Saat kesadaranku sudah mulai kembali, airmataku mengalir tanpa kuperintah.
“Lintar...”
Kulihat Lintar langsung menghampiriku dan memegang tanganku. Dia menggenggamnya sangat erat seperti tidak mau melepasnya, tidak mau melepasku.
“Aku nggak mau ke Jakarta kalau nggak sama kamu, Lin...”
Lintar mengelus rambutku dengan hati-hati, tidak ingin lebih menyakitiku.
“Jangan, De. Aku nggak mau kamu melepas beasiswa ini cuman karena aku.”
Aku tidak tahu perkataannya barusan adalah hiburan atau gambaran kekecewaan Lintar yang tidak ditunjukannya terang-terangan padaku.
“Nggak, Lin, aku nggak mau.”
“Kamu nggak boleh kayak gini, De! Aku akan semakin kecewa jika kamu nggak pergi ke Jakarta cuman gara-gara aku!”
Mata Lintar berbicara lebih banyak daripada mulutnya. Dia sangat takut kehilanganku, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegahku apalagi melarangku untuk pergi ke Jakarta walau dia ingin. Lintar ingin terus menjagaku di sini, ataupun di Jakarta. Bukan, aku yakin dia bukan kecewa tidak lolos dalam tes beasiswa ini, tapi dia kecewa karena tidak bisa menjagaku jika aku benar-benar pergi ke Jakarta.
“Kamu harus pergi ke Jakarta, De. Bukankah ini impianmu dari dulu? Pergi ke Jakarta, sekolah di sekolah khusus seni terbaik di sana, terutama impianmu untuk meyakinkan Ibumu kalau Jakarta nggak seburuk yang beliau kira.”
“Nggak, Lin. Aku nggak siap.”
“Kamu harus siap, De. Dengan atau tanpa aku, kamu harus berani, kamu harus siap.”
“Kalau kita nggak ketemu lagi, gimana?”
“Kamu nggak boleh berpikir seperti itu, De. Kita akan tetap bertemu saat kamu liburan semester, pegang janjiku.”
Aku tidak lagi menanggapi pernyataan Lintar karena sekarang aku masih belum siap pergi ke Jakarta tanpa Lintar. Jujur, bukan karena aku tidak berani, tapi aku tidak bisa membuat Lintar semakin sedih karena kepergianku.
“Inget, De. Aku akan sangat kecewa kalau kamu menyia-nyiakan beasiswa ini. Dan juga, aku nggak akan pernah bisa maafin diriku sendiri kalau kamu nggak jadi pergi ke Jakarta.”
Perkataan Lintar barusan seperti kilat bagiku. Setegar apa sebenarnya sahabatku ini sampai dia bisa berbicara seperti itu?
“Jika hari ini hujan turun, aku ingin mereka mewakili kesedihanku melepasmu, De. Aku sedih, tapi rasa banggaku padamu menutupinya hingga aku tidak sedih lagi. Sejak dulu sampai sekarang, dan untuk ke depannya, aku nggak akan berhenti menyayangimu, Dea. Aku nggak akan pernah lupa kalau aku mempunyai sahabat sehebat kamu, dan aku nggak akan pernah merasa iri ataupun dendam sama kamu. Mungkin kita hanya akan bertemu setahun dua kali, tapi dua kali itu akan menjadi pertemuan yang sangat menyenangkan untuk kita, aku janji. Aku juga janji akan menjaga Ibumu dengan baik selagi kamu di Jakarta.”
“Lintar, kamu adalah sahabat terbaikku.”
“Ini bukan akhir, De, tapi awal perjuangan kamu.”
“Makasih, Lin.”
“Nah, sekarang karena hujan kesukaan kamu udah turun rintik-rintik, gimana kalau aku bantu kamu bangun dan kita duduk di dekat jendela untuk menikmati hujan?”
Aku mengangguk lemah, dan Lintar membantuku untuk bangkit. Kami berdua duduk di dekat jendela dan menikmati hujan yang turun sangat indah. Benar kata Lintar, ini bukan akhir, tapi awal perjuanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini