Minggu, 26 Desember 2010

Rain from Heaven 21

Takdir yang Manis

Waktu adalah hal terpenting dihidupku, karna setiap detik, setiap menit, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun yang kupunya begitu berharga, semua pesan haru dan bahagia selalu menyapaku dengan mentari yang menyinarinya. Tak lupa kulihat tetesan waktu yang mengiringi sekaligus menyelimuti orang-orang yang kusayang itu menyapa dengan senyumnya. Sahabat tak ubahnya waktu, mereka menerkam cintaku, memilikinya agar aku bisa merasakan terkaman cinta dari mereka. Agar aku bisa tersenyum seindah langit biru dan seanggun langit malam.
---
10 April 2015
‘Dak-dak-dak’
“Dea!!” Teriakan itu menghentikan langkah gadis bernama Dea bersama teman-temannya. Dea dan tiga temannya langsung berkeringat dingin, gadis berambut panjang itu menoleh ke sumber suara.
“Kalian ini sudah kelas 3, tetap saja tidak bisa diatur!” Bentak orang bersuara keras tadi. Dea dan kawan-kawan hanya bisa menunduk.
“Yasudah, kalian tidak boleh mengikuti pelajaran pertama, kalian berempat harus dihukum hormat di hadapan tiang bendera!”
Mata keempat orang ini langsung melebar, hingga kacamata Dea agak merosot.
“Pelajaran pertama adalah matematika, Pak. Jika kita tidak ikut, nilai matematika kita di UN nanti akan merosot.” Jelas Dea.
“Ini semua karna kesalahan kalian sendiri! Sekarang cepat hormat pada Bendera!”
‘Tak-tak’ suara langkah seseorang langsung menghentikan langkah Dea dan teman-temannya.
“Sebaiknya pak Burhan tidak menghukum mereka di pelajaran saya.”
“Tapi, Bu.”
“Dea, Icha, Melisa, Emil. Cepat ke kelas.”
Dengan wajah sumringah Dea, Icha, Melisa, dan Emil pun berlari menuju kelas mereka.
“Ibu Mery terlalu baik pada semua siswa.”
“Mereka itu sudah kelas 3 Pak, tentu saya mengutamakan pelajaran mereka ketimbang menghukum mereka.”
Pak Burhan selaku guru BP pun pergi dengan terus mendumal, Bu Mery kembali ke kelas dengan senyumannya yang khas. Suara sepatunya terdengar menggema di lorong SMAN 1 Summer, sekolah Dea dan teman-temannya bersekolah. Bu Mery memasuki kelas berlabel 12-3. Dea yang duduk bersama Emil segera merapihkan buku mereka masing-masing, mereka kini siap belajar matematika.
“De, kamu nyadar nggak sich? Bu Mery tambah cantik.”
“Mil, kamu nyadar nggak sich? Bu Mery itu selalu cantik.”
“Hahahaha.”
Semua mata langsung tertuju pada Emil dan Dea, Bu Mery memberi isyarat jangan berisik, lalu Dea dan Emil pun terdiam.
“Kamu sich, De.”
“Jeh, kamu sendiri yang mulai.”
“Dea, Emil.” Kata Bu Mery.
“Maaf, Bu.” Kata kedua anak berkacamata ini.
Pelajaran berlangsung serius, membahas soal-soal persiapan Ujian Nasional sangat mengasyikan bagi semua anak 12-3, termasuk Dea. Ia punya sebuah impian, masuk ke Universitas Indonesia jurusan kedokteran dengan beasiswa penuh, walau itu tidak mungkin untuk seorang anak desa seperti Dea.
“Pelajaran hari ini cukup sampai di sini, ingat perkataan Ibu, teruslah melangkah hingga kau dapat menggapai semua impianmu, teruslah mempunyai impian walaupun impian itu mustahil di jangkau oleh akal sehatmu, kalahkan akal sehatmu dengan semua impianmu.”
Kata-kata Bu Mery selalu membuat Dea semangat untuk kembali ke Jakarta, memenuhi janjinya pada Bunda Romi, gurunya semasa SMP dulu, dan menimba ilmu lebih dalam untuk focus menjadi dokter.
“Bu Mery!” Panggil Dea ketika Bu Mery baru saja keluar dari kelasnya. Bu Mery dengan kerudungnya yang asri dan senyumnya yang teduh membuat Dea menyayangi Bu Mery seperti Ibunya sendiri,
“Ada apa nak?”
“Dea mau bertanya pada Bu Mery, tapi tak pernah berani mengutarakan ini.”
“Apa Dea terburu-buru?”
“Emm..”
“Jika Dea tidak terburu-buru, kita bisa bicara nanti sepulang sekolah.”
“Benarkah Ibu mau menemaniku pulang sekolah nanti?”
“Iya sayang, Ibu sudah berjanji padamu, dan Ibu akan menepatinya.”
“Janji..”
“Iya, sudah ya De, Ibu mau ke kelas kedua.”
“Iya, Bu. Mari.”
Janji, sesuatu yang membuat Dea merasakan hidup ini, janji yang takkan ia lupakan adalah janji penyelamat hidupnya, Rain from Heaven. Melisa menepuk pundak Dea pelan, Dea menoleh.
“Ada apa, Mel?”
“Antar aku ke kantin yuk, aku belum sarapan.”
“Ayo, lagipula pelajaran kedua adalah Bahasa Indonesia, Pak Yudi sungguh orang yang baik.”
“Tapi kau yang bilang ya?”
“Iya Mel.”
Dea dan Melisa atau lebih sering dipanggil Meli, berjalan menemui Pak Yudi yang selalu ada di Perpustakaan. Setelah pamit keduanya pun menyanggupi perut Meli yang kosong. Meli memesan sepiring bubur sedang Dea hanya membeli roti isi coklat.
“Hari ini hujannya indah lho De.”
“Hujan selalu indah untukku.”
“Kamu tak pernah berubah, sejak kelas 1 kau selalu membicarakan Hujan. Sebenarnya ada apa dengan Hujan?”
“Nothing special.”
“Ah, bohong ni Dea.”
Dea hanya tersenyum menanggapi tuduhan Meli, ia kembali melahap rotinya, hujan memang hal yang berharga untuk Dea, kara setiap tetes hujan meruntuhkan sedikit demi sedikit perasaan bersalah Dea yang selama 5 tahun sama sekali tak memberitahu kabarnya pada sahabat-sahabatnya di Jakarta.
“Kau ini akan menjadi orang yang sukses, De.”
“Hah? Kenapa kau bilang seperti itu, Mel?”
“Nggak tahu kenapa, kalau lihat semangat kamu tu, aku jadi bahagia.”
“Bahagia gimana maksudnya Mel?”
“Semangat kamu itu selalu menjadikan orang-orang disekitar kamu seperti melihat cahaya, De. Seperti melihat bintang.”
“Ahaha, daya imajinasi kamu bagus Mel.”
“Nggak, De. Aku serius kok, impian kamu sebagai dokter, akan ku dukung selama aku masih ada di dunia ini, aku akan tunggu kamu jadi dokter.”
“Mel..”
“Inget, De. Aku menunggumu.”
“Aku pegang janji ini sekuat aku mampu menahannya, dan akan kukeluarkan jika memang itulah saatnya. Aku akan merindukanmu, jika kita sudah lulus nanti.”
“Aku juga, aku bahagia mendapat sahabat sebaik dan seberani kamu, De.”
“Kamu lebih baik Mel, kau sahabat yang sangat kusayangi karna kau sudah mengajariku tentang kehidupan.”
“Jika kau berhasil kuliah dan sukses di Jakarta, jangan pernah lupakan aku, haram hukumnya. Hehe.”
“Iya, Mel. Aku akan mengingatmu, juga Icha dan Emil.”
Dea dan Meli kembali melahap makanan mereka, sebuah janji kembali menghampiri Dea, begitu banyak janji yang ia pegang, dan ia tak pernah tahu, apakah ia bisa menepati semuanya? Semoga bisa, pikir Dea.
15 menit berlalu, dan keduanya telah menyelesaikan sarapan mereka, Dea dan Meli pun bergegas masuk kelas Bahasa Indonesia yang ternyata baru saja berlangsung, Dea dan Meli mengambil 2 kertas soal berkode 11 dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Meli masih menggenggam tangan Dea dan beru melepasnya ketika mereka berpisah duduk.
Emil pun menyenggol lengan Dea,
“De, kamu habis darimana?”
“Dari kantin.”
“O iya benar, tadi kata Meli dia belum sarapan.”
“Yap, itu kamu tahu, baru sampai nomor berapa?”
“Nomor 5, De.”
“Makasih, Mil.”
“Sip, De.”
Pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung cukup lama, karna setiap nomor dibahas mendetail, soal yang paling lama adalah soal tentang paragraph, penerapannya cukup sulit, karna di dunia baca terdapat banyak paragraph dengan berbagai jenisnya. Siswa/I kembali disuguhkan oleh pertanyaan. “Apa jenis paragraph di atas?” Dan murid-murid tak sedikit yang salah menjawab, bacaan yang cukup menguras waktu untuk satu soal pun membuat para murid agak lelah untuk menjawab soal. Tapi itu dapat di atasi jika para murid rajin membaca.
“Bacalah apapun bacaan yang positif, rasakan bahwa kau adalah bacaan yang kau baca, ketika kalian sudah bersatu, izinkan otakmu untuk berimajinasi mengimbangi semua bacaan itu, bahkan pernyataan ilmiah bisa kau arungi dengan lancar asalkan kau gunakan kedua sisi otakmu jangan memakai hanya 1 sisi, walau agak sulit, tetap berusaha karna semua unsur kehidupan berujung pada sinar kejelasan yang diantarkan usaha dan yang terpenting, Do’a.”
Kata-kata Pak Yudi pun mengiang di telinga Dea ketika ia hendak membaca apapun jenis bacaan itu, dan buktinya berhasil. Semua tak terasa sulit jika ada usaha. Dan juga yang penting, Do’a. Allah SWT memang terus menghadapi kehidupan ini, berputar-putar dengan tujuan sebuah sinar, titik terang ke-ridha-annya selalu diidamkan semua umatnya. Menuju Surganya yang indah menawan.
Dea selalu berusaha mengimbangi kedua sisi otaknya, otak kanan dan kiri, awalnya sulit, tapi benar saja. Usaha memberikan keringanan dalam hidup, kini ia tak terlalu lelah dalam membaca soal-soal Bahasa Indonesia dari Diknas, ia malah senang ketika mengerjakan semua soal persiapan UN mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menarik saat dibaca, dan Mudah untuk dijawab. Begitulah harusnya prinsip semua Murid Indonesia menghormati Bahasanya sendiri.
Tak ubahnya pelajaran Bahasa Inggris, atau sering juga disebut dengan nama aslinya, English. Hampir semua murid SMAN 1 Summer menyukai mata pelajaran ini, karna selain guru Bahasa Inggris yang menyenangkan, juga karna English mempunyai tingkat kesulitan yang menantang, murid tak harus menghapal semua arti Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia, Murid hanya perlu memahaminya (khusus untuk mengerjakan soal tulisan), salah satu kunci English adalah Vocabulary, semakin banyak kita membaca artikel English dan mengartikannya, Insya Allah kita semakin mahir pada mata pelajaran ini, beberapa kata di Indonesia pun ada yang sama dengan English, seperti Radio = Radio, lalu yang hampir serupa Ball = Bola. Dan satu lagi, grammar. Sama halnya Bahasa Indonesia dengan EYDnya, Bahasa Inggris pun harus mempunyai EYD yang disebut Tenses. Pelajaran Bahasa sebenarnya hanya permainan kata yang perlu di pahami juga di aplikasikan di kehidupan sehari-hari. Maka dari itu SMAN 1 Summer mengadakan 2 hari Bahasa, hari kamis dinamakan ‘berbahasa Indonesia yang baik’ dan hari Jum’at ‘let’s talk in English!’.
“Mungkin ini memang takdir yang manis, bukan seperti yang kupikirkan sebelumnya.” Gumam Dea.
‘kringgggg’ suara bel pulang berbunyi sangat nyaring mengagetkan setiap orang yang masih belajar. Begitu juga untuk anak-anak kelas 12-3 yang sedang asyik belajar Bahasa Inggris, guru Bahasa Inggris khusus kelas 3 yang bernama Pak Janet pun berdiri dan berucap sesuatu dalam Bahasa Inggris.
“Let’s get the star in your heart, and give it to our loved person.”
Walau pendek, beberapa kata dalam bahasa asing itu mampu menyihir orang-orang yang sedang kelelahan dengan perasaannya, orang-orang yang kita sayangi memang selalu memberikan energi tersendiri untuk hati. Sungguh luar biasa hal yang dinamakan, kasih sayang.
Dea merapihkan barang-barangnya, ia hampir saja lupa akan janjinya dengan Bu Mery, jika bukan karna Meli yang mengingatkannya ia mungkin sudah pulang dan membuat Bu Mery kecewa. Dea pun pamit dari sahabat-sahabatnya dan berjalan tenang menuju ruang guru, ruangan yang membuat para murid nakal ketakutan tetapa menyenangkan bagi murid berprestasi.
“Dea? Kamu mau cari siapa nak?” Tanya guru Kimia satu-satunya di sekolah ini, Bu Dinda.
“Saya mau bertemu Bu Mery, Bu.”
“O, Bu Mery, ia belum kembali dari kelas, kau bisa menunggunya di mejanya saja.”
“Baik Bu, terimakasih.”
“Sama-sama sayang, Ibu duluan ya, De.”
“Iya, Bu.”
Dea pun masuk ke ruang guru dan duduk di bangku yang ada di depan meja bertuliskan nama ‘Siti Mery Nandya’ nama yang cantik untuk wanita muslimah seperti Bu Mery. Tak berapa lama Bu Mery datang dan menyambut kedatangan Dea masih dengan senyuman yang teduh.
“Dea benar menepati janjinya, mari De, bicarakan hal yang mengganjal di hati Dea. Tapi sebelumnya, apakah kamu mau minum teh?”
“Oh, nggak usah, Bu. Terimakasih.”
“Baiklah, kita mulai saja.”
Tangan kanan Dea menggaruk lengan atas tangan kirinya, itu artinya Dea sedang gugup, Bu Mery mengambil tangan kanan Dea dan menggenggamnya erat, Dea bisa merasakan kehangatan seorang Ibu dari Bu Mery yang ia kagumi.
“Ceritakanlah Dea, tak usah ditahan lagi.”
“Aku ingin sekolah di Jakarta dengan jurusan kedokteran, Bu. Tapi..”
“Tapi aku hanyalah anak miskin yang bisanya hanya bermimpi.” Sambung Dea.
Bu Mery tersenyum dan mengelus tangan Dea.
“Jika itu keinginanmu, Ibu akan bantu.”
“Hah? Yang benar, Bu?”
“Iya, De. Asalkan nilai kamu mempunyai rata-rata minimal 9,00.”
“9,00? Itu sungguh nilai yang sulit didapatkan murid sepertiku.”
“Walaupun mimpi itu sulit dijangkau akal sehat, kalahkan akal sehatmu dengan semua impianmu.”
“Kata-kata itu membekas dihatiku, aku selalu mengagumi Bu Mery luar dalam, Bu Mery hampir sempurna di mataku, tapi akal sehatku terlalu kuat, Bu.”
“De, jika ini memang impianmu, Ibu yakin Tuhan akan memberikan jalan terangnya untukmu, ingat. Bersinarlah seperti Bintang, kau harus yakin sayang.”
“Aku..”
“Ibu berjanji akan menghadiahimu seluruh biaya kuliahmu di Jakarta maupun di tempat lain, asalkan kau bisa mencapai cita-citamu.”
“9,00..”
“Bagaimana Dea?”
“Baik, Bu. Deal!”
“Deal? Ok, Ibu akan membantumu untuk menjadi Dokter.”
“Terimakasih Bu!”
Dea memeluk Bu Mery erat, Bu Mery kembali mengelus rambut Dea penuh kasih sayang.
---
Seorang lelaki berada di sebuah ruangan bernuansa klasik Paris, ia memang menyukai Ibu kota Negara Prancis yang anggun itu, music begitu indah jika berada di Paris, selain terkenal dengan parfumnya, Paris juga mempunyai keistimewaan dalam bidang kesenian, terutama music.
Ia mulai memegang gitarnya, dan bernyanyi satu lagu yang berharga di hidupnya.
“Takkan pernah habis, airmataku, bila kuingat tentang dirimu. Mungkin hanya kau yang tahu, mengapa sampai saat ini ku masih sendiri. Adakah disana kau rindu padaku, meski kita kini ada di dunia berbeda. Bila masih mungkin waktu kuputar dan kutunggu dirimu. Biarlah kusimpan, sampai nanti aku khan ada disana tenanglah dirimu dalam kedamaian, ingatlah cintaku. Kau tak terlihat lagi, namun cintamu abadi.”
Air bening keluar dari matanya yang indah, ia mengingat seseorang saat menyanyikan lagu ini, sudah 5 tahun setelah kepergian orang yang ia sayangi, dan sudah 1 tahun ia coba untuk melupakan sosok itu dengan bersekolah di Paris. Ini sungguh sulit baginya, karna sosok itu terus mengelilinginya, dan tak jarang ia berkhayal sosok itu berada disampingnya, bernyanyi dengannya.
“De, kamu terlalu cepat meninggalkanku.” Gumam lelaki itu.
‘ting-tong’ suara bel kamarnya berbunyi, lelaki itu meletakan gitarnya lalu membukakan pintu, seorang pegawai Apartemen yang ia tempati selama di Paris tersenyum padanya.
“Mr. Alvin Jonathan?” (Tuan Alvin Jonathan?)
“Ya”
“Ini ada kiriman dari Indonesia.”
“Grace” (Terimakasih)
Sang pelayan berwajah manis khas Paris pun pergi meninggalkan Alvin yang termangu dengan kiriman tersebut, karna ia sangat jarang menerima kiriman dari Indonesia, hanya uang yang sering ia terima, itupun melewati rekening banknya. Alvin menaikan kedua bahunya bersamaan dan masuk kembali seraya menebak-nebak isi kotak besar berbalut sampul buku coklat.
---

Dea mengayuh sepedanya dengan perasaan sangat tenang, ia bisa merasakan bahwa Tuhan kembali memberikannya jalan untuk pergi ke Jakarta, menepati janjinya pada Bunda Romi dan teman-teman, juga janjinya pada Ibunya. Memberikan sebuah sinar kehidupan yang nyata hanya untuk meyakinkan Ibunya, bahwa Jakarta tak seburuk yang ia kira. Tapi ditengah jalan ia terhenti untuk sebuah urusan yang juga penting bahkan melebih janji-janjinya. Yaitu, Ibu.
“Aku takkan melepas semua janjiku, aku hanya menundanya.” Kalimat itu yang selalu ada di benaknya ketika rasa bersalah selama 5 tahun lalu menyelinap masuk ke relung hatinya.
“Dea!!” Teriakan itu menghentikan laju sepeda Dea, Dea menoleh ke sumber suara, rambutnya yang panjang terlihat sedikit terbang ketika ia menoleh, matanya yang penuh cahaya kehidupan bagai terpancar, membuat orang-orang di sekitarnya dengan mudah menebak perasaan Dea, sedang sedih, senang, maupun bingung.
“Ada apa, Mil?”
“Aku hanya mau memberikan ini padamu.”
Emil menyodorkan sebuah buku berwarna biru laut, tak bergambar.
“Apa ini?”
“Ini, ehem.. ini soal-soal latihan UN yang ku copy dari berbagai sumber.”
“Wah! Terima kasih banyak, Mil!”
“Aku.. aku, De.”
“Kamu kenapa?”
“Aku mendengar percakapanmu dengan Bu Mery tadi.”
“Hah? Kau dengar semuanya?”
“Iya, De. Maafkan aku.”
“Nggak apa-apa kok, Mil.”
“Tapi aku boleh Tanya sesuatu nggak, De?”
“Tanya aja, Mil.”
“Apa aku boleh ikut dalam perjanjian itu?”
“Hah?!”
---
‘bukk’
“Aww!”
“Aduh, maaf-maaf, Njel! Aku nggak sengaja!”
Tangan gadis yang berteriak tadi langsung memukul seorang lelaki yang baru saja meminta maaf padanya, dengan tatapan cukup tajam membuat lelaki tadi ketakutan.
“Khan sudah kubilang, jika kamu mau main basket, jangan dekat-dekat aku!” Omelnya.
“Maaf dech, Njel. Aku janji nggak akan deket-deket kamu kalau aku main basket.”
“Eh tapi Ki, aku jadi ingat seseorang.”
“Siapa?”
“Kamami dan Dea..”
“Iya ya, Njel. Aku masih ingat saat kepala Dea terkena bola basket dan Kamami menantang Keke dkk. Mempertaruhkan persahabatan abadi.”
“Dulu kita berlima, tapi Dea hilang begitu saja, lalu Kamami sekolah di Bosnia. Kini kita tinggal bertiga ditambah Lintar, sahabat Dea yang tak pernah mau memberi tahu keberadaan Dea.”
“Tuhan berkata lain, Njel.”
“Ya.”
Angel dengan tatapannya yang kosong, menatap lapangan basket asrama sekolahnya yang basah setelah hujan deras mengguyur tempat itu.
“Apa suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi dengan mereka ya, Njel?”
“Semoga saja, Ki. Amin.”
Di tahun ketiga tingkat SMA ini Kiki dan Angel juga 2 teman lainnya, Debo dan Lintar bermaksud untuk masuk ke Universitas yang sama, walau pilihan mereka berbeda. Angel memilih jurusan Kimia Murni, Kiki dan Lintar mengambil jurusan Hukum, dan Debo mengambil Psikologi. Tak terlalu sulit untuk anak-anak mantan penerima beasiswa masuk SMP Betha Melody (kecuali Lintar), ini masuk ke Universitas ternama, otak mereka telah terprogram untuk terus rajin menggapai impian-impian mereka, tapi tak ambisius dalam menggapainya.
Apalagi Angel, sebagai seorang gadis yang kuat, ia selalu berusaha mengatur kehidupan 3 sahabat lelakinya agar lebih berimbang, antara pikiran dan tindakan, Angel sudah seperti Ibu bagi Lintar, Kiki, dan Debo. Walau mereka sudah punya Bunda Romi yang masih mau membiayai sekolah mereka hingga Universitas, Angel tetap bersikap bijaksana seperti Bunda Romi. Agar kelak ia tak menjadi Ibu yang egois bagi anaknya.
Sebenarnya Angel berniat untuk masuk ke jurusan Psikologi sama seperti Debo, tapi Kimia tak bisa terlepas di benaknya, dan guru. Pekerjaan mulia itu ingin ia dapatkan, lebih tepatnya guru Kimia, tak apa menjadi guru Honorer, yang penting ia mendapat kesempatan untuk mengamalkan ilmunya, bahkan Angel punya satu mimpi yang mulia, mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu, pastinya bukan hanya Kimia yang diajarkan, tapi semua pelajaran, Angel merasa dirinya mampu mengajar ilmu-ilmu dasar untuk SD-SMA. Insya Allah.
Debo pun kini menjadi anak yang sangat kuat pendirian, bukannya keras kepala, jika ia merasa pendapatnya benar, ia akan menjaga pendapatnya, dan pendapat Debo memang sering berguna disbanding tak bergunanya. Debo ingin menjadi dokter psikologi seperti Bunda Romi, ia ingin membantu orang-orang yang putus asa seperti dirinya semasa remaja dulu, semangat Kamami untuk membuat sinar Debo kembali bersinar akhirnya berdampak pada kehidupan Debo, Debo jadi lebih menghargai orang lain, walau terkadang sifat pemarahnya muncul, ia tetap berusaha meminimalkannya.
Lintar, anak ini tetap ceria seperti Mentari, sinarnya memang menyilaukan, ya menyilaukan hati semua orang yang mengenalnya, ia semakin semangat ketika ia mampu lulus dari SMP Pelita Bangsa dengan peringkat pertama di angkatannya, awalnya Lintar memang sedih karna tak di terima di SMP Betha Melody, tapi karna semangat dari temannya Dea maka ia berusaha dengan hasil yang cukup memuaskan, ia mulai bergabung dengan anak-anak BM ketika kelas 1 SMA, sebelum Kamami pergi untuk persiapan sekolah di Universitas Sarajevo,Bosnia. Kamami mengajak Lintar untuk menggantikan posisinya sebagai anak rumah Bunda. Bahkan Kamami berharap jika adanya Lintar di antara teman-teman BM, mereka bisa menemukan Dea, walau mereka harus bersabar.
Lalu Kiki, anak ini masih masih sama seperti yang dulu, ceria dan penyayang, ia sosok yang ideal sebagai pendamping Angel, karna jiwa kepemimpinan yang ia bina sejak SMP menjadi orang yang sifatnya hampir sama dengan Angel, bijaksana dalam memimpin, alasannya mengambil Hukum, agar ia tetap bisa memimpin di jalan yang benar. Diantara yang lain pun Kiki termasuk yang paling sabar, semua bisa ia atasi dengan kepala dingin, tapi satu yang bisa membuatnya marah, yaitu jika ada orang yang menyakiti orang-orang yang ia sayangi, ia bahkan bisa marah melebihi marah-nya Lintar. Diam-diam menghanyutkan.
Mengenai Seni, semua itu sudah melekat di hati masing-masing dari mereka, itu sudah menjadi bakat bahkan bagian hidup mereka.
---
“Hah?!” Pekik Dea.
“Boleh nggak, De?”
Dea langsung teringat kejadian 6 tahun yang lalu, saat sahabatnya Lintar juga berusaha mendapatkan beasiswa ke SMP Betha Melody, dan Lintar tak bisa mencapainya, Dea trauma besar akan hal itu. Akankah Emil juga akan mengalami hal yang sama dengan Lintar? Itulah yang ada di pikiran Dea sekarang, tubuhnya bergetar, ia ketakutan, wajahnya berubah pucat, Emil kebingungan dengan sikap Dea.
“Kamu kenapa, De?”
Tanya Emil seraya mengoyang-goyangkan tubuh Dea, Dea pun tersadar dari lamunannya dan langsung pamit pada Emil. Emil pun bergegas pulang.
Dea cepat mengayuh sepedanya, air matanya bercucuran ketika ia teringat Lintar juga kawan-kawannya di Jakarta, penyesalan ini dating lagi, “Apakah aku bisa menepati janjiku Tuhan?!” Teriak Dea dalam hati.
Dea telah tiba di rumahnya, Ibunya sedang merajut di teras rumah, Dea mencium kening Ibunya lalu masuk ke dalam rumah, perasaannya gelisah, akhirnya ia buka laci usang di ruang tamu rumahnya, lalu ia ambil telepon seluler berwarna hitam dari lacinya, ia ambil SIM cardnya yang lama dan ia pasang ke Hp tersebut, SIM card pemberian Bunda Romi masih ia aktifkan, entah sudah berapa ratus ribu pulsa yang ia beli untuk mengaktifkan nomor itu hingga 5 tahun lamanya. Tangannya bergetar ketika menyalakan Hp nokia 3110nya itu, keringat bercucuran di dahinya, ia sangat ketakutan ketika membuka Hp itu.
---
Alvin membuka bingkisan yang ia terima dari Indonesia, sebuah album foto membuat matanya berbinar, album foto ketika ia masih bersekolah di SMP Betha Melody, ia ingin tahu pengirim album ini, ia cari identitasnya, ternyata pengirimnya adalah sahabatnya sendiri, Mario Stevano, atau Rio. Ada sepucuk surat juga di dalam kotak itu.
---
Untuk sahabatku Alvin.
Hei vin, aku rindu padamu, oh… bukan aku saja, semua sahabat PRINCE merindukanmu lho, setelah kau menyelesaikan study seni mu di Universitas Paris itu sebaiknya kau langsung pulang ya. Hehe, yaiyalah.. bagaimana kabarmu? Baik khan?
Ehem, sebenarnya aku sengaja mengirimkan album foto kenangan Betha Melody bukan semata-mata iseng lho, tapi aku mau kau coba hubungi Dea. Kau masih ingat Dea khan? Putri masa lalu Cakka, semoga kau masih ingat vin.
Sebenarnya aku sangat menyayangi gadis itu, tapi aku tak pernah berani lagi mencintainya, karna ia adalah milikmu. Aku ikhlas, maka dari itu aku ingin kau tetap menjaga perasaanmu, walau sudah 5 tahun berlalu, kau sebaiknya mencari Dea lagi, aku ingin melihat kalian bersama lagi, seperti dulu, seperti di album itu. Entah mengapa, walau aku ikhlas, aku sedih ketika kau bersamanya, tapi aku sadar, aku lebih tidak ikhlas jika kau tidak bersamanya. Hubungan kalian tidak boleh putus begitu saja, jika kau masih mencintainya, tetaplah mencarinya. Tuhan akan mengiringimu mencari Dea. Aku dan yang lain akan coba membantumu juga, pokoknya. Good luck ya!
Sudah dulu ya Vin, kami merindukanmu.
---
Pesan singkat yang diterima Alvin mengingatkannya akan Dea, hati Alvin tergerak untuk menghubungi nomor lama Dea yang lama. Nomornya yang sekarang adalah nomor baru, nomor orang Paris. Jadi mungkin jika tersambung ke nomor Dea, Dea akan mengangkatnya. Dan ketika ia tekan ‘call’ ternyata memang nomor itu sudah tak bisa dihubungi lagi. Tapi entah mengapa Alvin ingin menelpon Dea berulang kali, hingga mungkin ada keajaiban dari Tuhan untuknya.
---
Dea pun menghidupkan telepon selulernya, dan tiba-tiba sebuah nomor asing menghubungi nomor lama Dea, Dea gugup untuk mengangkatnya, tapi ia ragu, kenapa ada nomor asing menghubungi nomornya? Ataukah ini operator?
“Mungkin ini Operator, khan nomor ini tidak pernah diaktifkan.”
“Halo?”
Jantung Alvin seperti terhenti sesaat, ini suara Dea, ini benar-benar suara gadis itu, Dea. Perasaannya sangat kacau, ia tidak bisa berbicara apapun lagi, seluruh organ tubuhnya membeku. Ia tak berdaya mendengar suara Dea.
“Halo? Apa ini Operator?”
“De.. Dea..”
Akhirnya nama itu bisa keluar dari mulut Alvin, Dea yang mendengar suara halus dari sebrang sana langsung diam terpaku, wajahnya kembali pucat, tangannya bergetar, karna ia bisa mengenali suara ini. Suara Alvin, orang yang memegang janji “Rain from Heaven”

Rain from Heaven 19-20

Chapter 19
Promise, Rain from Heaven

Aku terus berlari mencari dimana kak Alvin dirawat, airmataku terus mengalir tapi langsung kuusap agar tak menghalangi pandanganku. Kak Rio berlari di depanku, ia juga sibuk mencari, aku bertanya pada seorang suster.
“Anak lelaki yang baru saja masuk rumah sakit ini? Ada! Anak itu langsung dilarikan ke UGD.”
UGD? Ah, kenapa aku tak berfikir kesana!? Bodoh!
“Terimakasih sus”
Aku langsung berlari dan menarik kak Rio ke ruang UGD. Kami bertanya kepastian bahwa kak Alvin ada disana, dan benar.
Kak Rio mengajakku untuk duduk, tubuhku lemas airmataku kembali turun. Kak Alvin, maafkan aku. Maafkan, tolong tetaplah hidup. Tolong kak. Jangan meninggalkanku seperti kak Cakka meninggalkanku. Tolong.
Tuhan, berikan kesempatan untukku, melihat senyum kak Alvin yang sangat tulus. Melihat bayangan kak Cakka. Hah? Kak Cakka? Bodoh! Sekarang yang ada dihadapanmu itu kak Alvin! Hanya kak Alvin! Tak ada yang lain! Tolong De, lihat kak Alvin sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai kak Cakka!
Tak berapa lama, teman-teman rumah Bunda dan PRINCE datang, mereka banyak bertanya dan aku tak bisa menjawabnya, kak Rio mengajak teman-teman ke lain sisi untuk menjelaskannya. Sedang aku tetap ingin sendiri menenangkan diri juga berdoa demi kak Alvin.
“Kak Alvin.. tetaplah hidup” lirihku.
Seseorang mengelus rambutku, dan kutatap ia. Kak Cakka?! Ini nggak mungkin! De, bangun De!
“Tetaplah berdo’a untuk Alvin, kau akan menemukan semua jawaban janjiku darinya”
Setelah mengucapkan hal itu, kak Cakka menghilang. Apa ini nyata Tuhan?
---
Alvin berjalan lunglai, ia terlihat sangat lelah, matanya sayu, dan akhirnya ia terduduk. Di padang putih yang sangat asri.
“Dimana aku?”
“Rain from Heaven adalah hujan cinta vin.”
“Hah? Kak Cakka?”
Cakka tersenyum lembut pada Alvin, ia menggenggam tangan Alvin, terasa sangat hangat untuk Alvin.
“Hujan cinta?”
“Ketika kau bertemu dengan Dea, tolong jagalah Dea dengan kasih sayangmu. Aku akan terus menatapmu dari atas langit, langit yang akan terus mengeluarkan air cinta padamu.”
“Itulah jawaban janjimu kak? Kasih sayang?”
Cakka kembali tersenyum, dan menghilang.
Bersamaan dengan itu, jantung Alvin berdegup cukup kencang, membuat semua orang disekitarnya sangat senang.
“Anak ini hidup, Alhamdulillah!” Seru seorang suster.
Sang dokter bersemangat untuk membuat Alvin melewati masa kritisnya.
---
Jantungku berdegup sangat tenang, apakah kak Alvin selamat? Dan jawabanku keluar dalam waktu yang singkat, seorang dokter yang menangani kak Alvin tersenyum lebar padaku, aku ikut tersenyum tapi air mataku terus mengalir dan mulutku tak berhenti berucap syukur pada Tuhan. Kontan aku langsung memeluk kak Rio, ia mengelus rambutku, sangat hangat. Perasaanku sangat tenang, airmata ini dapat kukeluarkan kembali untuk kembalinya bayangan penyelamat hidupku, kak Alvin. Tuhan, terimakasih.
Kak Alvin dipindahkan ke kamar rawat, kami mengiringinya dan langsung menemuinya. Ia sudah sadar, dan tersenyum pada kami. Aku menatapnya dengan tatapan teduh, sangat teduh hanya untuk anak ini. Kak Alvin membalas senyumku, tak kalah menenangkan.
“Kau ini, hati-hati dong kalau naik motor” kata kak Obiet.
“Haha, habisnya aku memang sedang kepikiran sesuatu”
“Apa tu?” kata kak Iel.
“Dea…”
Semua mata langsung tertuju padaku, mereka sangat terkejut begitupun aku. Aku?
“Maksudmu vin?” Tanya kak Rio.
“De, kau memang putri kak Cakka”
Wajahku bersemu merah, kenapa? Karna aku malu mendapat panggilan putri dari kak Alvin, semua langsung tersenyum dan meneriaki wajahku yang malu.
“Cieee.. jadi putri Cakka itu kamu to, De!” Seru kak Patton.
“Iya, dan sekarang aku siap menunaikan janji kak Cakka.” Kata kak Alvin.
“Hah? Apa janjinya vin?” Tanya kak Obiet.
“Rain from Heaven.”
“Kakak sudah tahu jawabannya?” Tanyaku.
“Kasih sayang, De. Aku punya tugas menjagamu.”
“Ciee.. jaga-jagaan!” Seru kak Iel.
Kak Rio tiba-tiba saja keluar dari kamar kak Alvin, aku hendak menyusulnya tapi tangan kak Alvin erat menggenggam tanganku, ia tersenyum lagi akupun tak bisa berbuat apa-apa selain menunggui kak Alvin.
“Sekarang aku ingin berdua dulu dengan Dea, boleh?”
Semua hanya senyum-senyum dan meninggalkan kami berdua, kak Alvin menyuruhku duduk disampingnya, aku berhasil gugup dibuatnya. Ya Tuhan, kendalikan hatiku agar aku bisa menerima kak Alvin sepenuhnya, tanpa melihat bayang-bayang kak Cakka.
---
“Mungkin memang inilah takdir, aku bukan Cakka, maupun Alvin, aku sama sekali tak punya hubungan dengan Dea. Aku tak pernah mengenal Dea sebelumnya. Andai takdir ini bisa diulang, aku ingin bisa bertemu dengan Dea di masa lalu, menyelamatkannya seperti kejadian di rumah Bunda tempo lalu.” Gumam Rio, ia duduk di taman rumah sakit, menatap langit mendung yang mulai ia sukai selain hujan.
“Gadis beribu cinta, haha. Aku hanya banyak berharap pada ucapan kakak. Semua itu hanya omong kosong. Nggak ada gunanya buat hidupku.”
Sebuah tepukan halus dirasakan Rio di pundaknya. Iel tersenyum halus pada Rio, Patton dan Obiet langsung duduk di samping kanan-kiri Rio.
“Sepertinya Dea sangat… aww!” Belum Patton menyelesaikan ucapannya, Obiet menginjak kaki Patton.
“Heh, Dea tadi masih ngobrol sama Alvin, dia hanya khawatir. Nggak lebih.” Kata Iel.
“Bukankah Alvin pernah bilang pada kita, jika ia menemukan putri kak Cakka, ia takkan melepasnya. Dongeng kisah nyata itu masih membekas di hatiku, karna dongeng pangeran dan putri hujan itu kini ada dihadapanku.”
“Kamu ngomong apa sich yo, nggak kok. Alvin khan tahu kamu suka Dea. Nggak mungkin lah dia..” Obiet berhenti.
“Dia suka Dea? Kenapa nggak mungkin?” Tanya Rio kembali dingin, seperti saat ia belum bertemu dengan Dea.
“Itu.. emm” kata Obiet gugup.
“Udahlah, kita khan masih kecil. Ngapain coba cinta-cintaan, cinta monyet tu.”
Iel, Rio, dan Obiet menatap sinis Patton.
“Cih, buktinya kau mau berpacaran dengan adikku.”
“Iya, buktinya kau selalu mendukung hubunganku dengan Via, kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?”
“Haha, bercanda”
Patton mengaku kalah, dan terus menatap Rio yang kembali murung.
“Mungkin jika kau mau tahu, hal yang terpenting dalam hidup memang adalah kasih sayang, tapi jika kau terpuruk akan hal itu, sebaiknya kau bangkit dan menatap masa depan. Semua takdir telah dicatat di buku Tuhan.”
“Ternyata Patton kecil ini bisa mengatakan hal yang bermanfaat!” Ledek Obiet.
Rio tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum tulus yang biasa ia berikan untuk Dea.
---
Kak Alvin masih terdiam seraya memandangiku seksama, lalu tangan kanannya mengelus rambutku, aku sangat terkejut sekaligus. Hatiku kembali berdesir.
“Kau memang putri kak Cakka.”
Aku masih terdiam.
“Kasih Sayang, aku akan menyayangi layaknya kak Cakka menyayangimu.”
“Hah? Maksud kakak?”
“Maukah kau menjadi seseorang di hatiku?”
“Di hati kakak?”
“Menjadi orang yang ada didekatku, saat sedih maupun senang.”
“Aku akan terus ada disamping kakak, saat sedih maupun senang, sebagai sahabat kakak.”
“Sahabat? Bukan De.”
“Lalu?”
“Aku sadar diri De, kau menyukai Rio, bukan aku.”
“Aku nggak ngerti kak.”
Kak Alvin tersenyum tipis, ia menatapku dingin, sangat dingin. Hingga mungkin tatapannya menusuk hatiku, masuk ke lubang kecil yang telah di buat oleh kak Cakka, sekarang tubuhku seperti melayang dan seakan ada seorang yang membisikiku.
“Alvin memang menyayangimu, lebih dari adik atau sahabatnya.”
Deg, jantungku mulai bernyanyi, menyanyikan melody yang indah menghibur hatiku yang sedang mengeluarkan Air hujannya. Air mataku tiba-tiba meleleh, kak Alvin heran melihatku mengeluarkan airmata.
“Kenapa kau menangis, De?”
“Aku juga nggak tahu kak, aku merasa ini semua mimpi. Semuanya kak, dari pertemuanku dengan kak Cakka, pertemuanku dengan Lintar, beasiswaku, pertemuanku dengan semua sahabatku di sini, dan juga pertemuanku dengan kakak sebagai pengganti kak Cakka.”
“Jika kau menganggapku sebagai pengganti kak Cakka, pernahkah kau menyukai kak Cakka?”
“Aku nggak tahu kak, aku hanya menunggu ia menepati janjinya lewat kakak.”
Kami kembali terdiam, kak Alvin pun kembali menatapku lekat.
“Aku ingin menepati janjiku, jika kau mengerti hal yang kukatakan barusan.”
“Bisa kakak jelaskan lagi?”
Sebenarnya aku mengerti kak, tapi aku ingin memastikan perasaanku lagi.
“Takkan pernah habis, airmataku, bila kuingat tentang dirimu. Mungkin hanya kau yang tahu, mengapa sampai saat ini ku masih sendiri. Adakah disana kau rindu padaku, meski kita kini ada di dunia berbeda. Bila masih mungkin waktu kuputar dan kutunggu dirimu. Biarlah kusimpan, sampai nanti aku khan ada disana tenanglah dirimu dalam kedamaian, ingatlah cintaku. Kau tak terlihat lagi, namun cintamu abadi.”
Aku terdiam, tak menyangka kak Alvin akan menyanyikan lagu itu.
“Mungkin kak Cakka akan menyanyikan lagu ini untukmu, jika ia bisa bernyanyi dari langit sana. Aku menyayangimu, De. Aku akan terus menjagamu.”
“Aku takut kak, aku takut jika kakak meninggalkanku lagi seperti yang kak Cakka lakukan.”
“Nggak, De. Aku berjanji padamu, aku akan terus menjagamu dan juga menjaga hujan cinta kita.”

Chapter 20
It’s My Time

Semenjak kejadian hari itu, semenjak kak Alvin berikrar akan terus menjagaku, aku semakin merasakan hidupku sampai aku lupa pada penyakitku. Hanya Tuhan yang bisa mengingatkanku.
Hari ini adalah hari terakhir pemilihan waka OSIS, beruntung aku masuk 3 besar karna dukungan teman-teman. Hari ini aku akan menunjukan kemampuanku berorganisasi.
“Saudari Dea, apa sajakah program yang akan anda lakukan ketika anda menjadi waka OSIS tahun ini mendampingi Rio?”
“Saya akan…”
Tiba-tiba hati dan pikiranku berkata lain, mereka menolak keinginanku untuk menjadi waka OSIS, dan jantungku terasa nyeri, hingga mataku pudar, aku pun terjatuh di atas podium pidato. Semua langsung panic dan aku sudah tak tahu lagi apa yang mereka lakukan untuk menyelamatkanku.
---
Mata Kamami dan Angel terlihat sebam, mereka seperti habis menangis. Aku jadi merasa bersalah, sekarang wajahku sangat pucat seperti mayat hidup.
“Kenapa kau tak pernah memberi tahu kami, bahwa kau punya penyakit bodoh ini?” Protes Angel.
Aku hanya tersenyum semampuku, aku rasa saat ini aku bukan takut mereka mengetahuinya, tapi kini aku takut penyakit ini menggerogoti umurku untuk meninggalkan sahabat-sahabatku. Kak Alvin duduk di sofa kamar rawatku, matanya juga sebam.
“Maafkan aku.”
“Kami harus meninggalkanmu dengan kak Alvin. Ia terus khawatir saat kau tak sadar tadi.” Kata Angel, mereka berdua meninggalkanku berdua dengan kak Alvin.
Kak Alvin menatapku dari sofa, ia dingin menatapku. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Kenapa kau tak pernah bilang hal ini padaku?”
Aku terdiam dan menunduk, hingga kak Alvin mendekatiku, ia kembali mengelus rambutku, aku menyesal kawan. Aku menyesal tak berterus terang padanya.
“Maafkan aku kak.”
“Aku akan terus menjagamu, tapi tolong, De. Jujurlah padaku tentang semua yang ada di hidupmu.”
Kak Alvin menyuruhku kembali berbaring, ia bernyanyi untukku, lagu kak Cakka. Rain From Heaven. Perasaanku pun kembali tenang, sekarang ia ada disampingku, takkan meninggalkanku hingga bertahun-tahun kemudian. Aku yakin itu.
---
10/Desember/2021-Sore. 17.00 WIB.
“Uhuk-uhuk.”
Aku tak tahu seberapa pucat wajahku saat ini, apakah sama seperti kejadian 10 tahun yang lalu? Saat di podium pidato pemilihan waka OSIS? Atau lebih pucat? Tuhan, tolong bantu aku sebentar lagi. Aku ingin menyelesaikan buku harianku, agar aku bisa membacanya walau aku sudah berada di dunia lain. Dan satu lagi, tolong izikan aku bertemu dengan kak Alvin, walau untuk terakhir kali. Aku sangat merindukannya.
Pintu kamar rawatku terbuka, seorang gadis berambut panjang tersenyum padaku. Angel.
“Sore, De.”
“Sore, Njel.”
“Bagaimana keadaanmu bu Dokter?”
“Haha, sepertinya sebutan Dokter sudah tak pantas untukku yang sakit-sakitan ini.”
“Kenapa nggak pantas? Justru kau adalah dokter sejati, De. Kau selalu berusaha tersenyum untuk semua pasienmu, walau kau sendiri sedang menderita.”
“Ah, sudahlah tak usah terlalu memujiku. Ngomong-ngomong, ada kabar dari Kamami?”
“Belum, De. Kita berdoa saja agar Kamami bisa kembali saat kejutan ultahmu.”
“Iya, tapi aku aneh lho, masa’ kejutan bilang-bilang.”
“Nggak apa-apa dong, biar kamu tambah penasaran!”
“Hahaha.”
“Wajahmu tambah pucat, De.”
“Nggak apa-apa kok njel.”
“Aku pulang dulu ya de, ini bunga untuk menyegarkan pikiranmu.”
“Makasih ya njel.”
---
Princess, band ini meledak saat penghujung semester 2, ketika Pensi terbesar Smp Betha Melody di adakan di Taman Prisma Bintang.
“Sukses, sangat sukses!” Seru kak Via.
“Iya kak.” Setuju Angel.
Kami pun merayakan keberhasilan kami di Café Aurora. Bersama Prince yang senantiasa mendampingi kami. Tuhan, terimakasih untuk semua anugerahmu.
Semua berjalan lancar, Keke, ia telah merelakan kak Rio untuk seorang pasangan yang telah dipilihkan orantuanya. Dan kak Rio tetap memilih untuk menunggu, aku tak tahu kak Rio menunggu apa atau siapa.
---
Janji, aku jadi ingat janjiku pada Ibu. Bagaimana keadaannya sekarang ya? Aku harus menemui Ibu di libur semester ini.
“Kamami, Angel. Liburan semester ini kita habiskan di desa yuk?”
“Boleh-boleh! Aku sudah sangat rindu pada Mama!” Seru Angel.
“Boleh, De. Tapi aku tinggal di rumahmu ya?”
“Lho kenapa mi?”
“Karna Oma khan sudah pindah kesini.”
“Iya, dengan senang hati.”
“Apa kita ajak teman-teman Prince dan Princess?” Tanya Angel, kami langsung saling pandang dan tersenyum lebar. Kami pun kompak menjawab “PASTI!”
Setelah mengkonfirmasi semua teman-teman, lengkap sudah 16 orang, kak Rio, kak Patton, kak Obiet, kak Alvin, kak Iel, kak Via, kak Zeze, kak Shilla, Oik, Kamami, Kiki, Debo, Gaby, Oliv, Angel dan aku kini berada di pelabuhan Tanjung-Periok. Bunda mengawasi kami, tapi kami menolak untuk merepotkan Bunda, kami ingin Bunda bisa melepas kami dan melihat Bunda bersantai.
“Apa benar nggak apa-apa?”
“Benar Bunda, kami bisa jaga diri kok.” Jelasku.
“Benar?”
Kami tertawa bersama, melihat kecemasan Bunda yang terlalu berlebihan ini sungguh membuat kami semakin menyayanginya.
“Benar Bunda.” Kata Kamami masih dengan senyum teduhnya.
Bunda pun bersedia melepas kami, perasaan lega menyapa lembut di hati kami, akhirnya Bunda percaya pada kami.
Ini adalah kali kedua aku bersama teman-teman Desa Summer naik kapal laut, aku masih ingat saat pertama kali naik kapal laut, aku belum mengenal Angel dan Kiki, juga Kamami. Sekarang mereka adalah sahabat terbaikku. Takdir yang manis rasanya, oh iya. Lintar. Apa ia tak liburan di Desa Summer?
“De, melamun aja.”
“Nggak kok mi, aku nggak percaya aja kalau kita akan menginjakan kaki di Desa Summer, dan semua sahabatku akan menginap di Desa Summer.”
“Iya, De. Oh iya, jadinya kita akan menginap di Villa Angel lho, jadi aku nggak jadi tinggal di rumahmu.”
“Hehe, iya nggak apa-apa kok mi. Tapi untuk 3 hari kedepan aku akan tinggal di rumah, membantu Ibu, aku sudah sangat rindu dengannya.”
“Siplah, tapi lihat saja, pasti ada yang sangat merindukanmu.”
“Siapa?”
“Kak Alvin lah de..” kata Angel yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.
“Eh, dasar.”
“Tapi kau janji, 3 hari selanjutnya kau harus liburan dengan kami.”
“Pasti Angel.”
Janji, sekarang aku punya banyak janji. Ini adalah waktuku, waktu untuk membahagiakan orang-orang disekitarku. Waktu yang sangat berharga.
---
Aku pamit pada teman-teman untuk kembali ke rumah, dan baru saja aku berbalik untuk meninggalkan teman-teman.
“Dea!”
Itu suara Lintar, kulihat ia berjalan bersama Nova dan Oma Nova, Kamami langsung merangkul Nova dan Omanya.
“Lho? Kamu liburan disini juga lin?” Tanyaku.
“Iya dong, De. Ayo mau pulang khan?”
Lintar langsung menggandeng tanganku dan menarikku pergi, kulambaikan tanganku pada teman-teman. Ku lihat senyuman kak Alvin sebelum 3 hari penuh tak melihatnya.
Lintar memboncengku dengan sepeda sewaan dari pelabuhan, sudah setahun lamanya aku tak dibonceng sahabatku ini, bau Linatr seperti biasa, minyak nyong-nyong yang selalu ia pakai bersama almarhumah Ayahnya. Aku cukup menyukainya, bau yang menusuk hidung tapi menenangkan jiwa.
“Bagaimana, De? Penyelamat hidupmu itu?”
“O iya Lin, aku lupa menceritakannya padamu, kak Cakka atau penyelamat hidupku ternyata sudah meninggal.”
“Hah?!”
Lintar mendadak menghentikan sepeda dan berbalik ke arahku. Ia membelalakan matanya heran juga kaget dengan pernyataanku. Aku hanya tersenyum dan menepuk pundaknya.
“Sudah, ayo jalan.”
“Lalu, janji Cakka untukmu?”
“Sudah dititipkan.”
“Dititipkan?”
“Iya, dititipkan pada saudaranya, kak Alvin.”
“Oh.”
“Jeh, responmu itu menyebalkan.”
“Haha, maaf-maaf, De. Aku nggak maksud kok.”
Kami pun banyak bercerita sepanjang perjalanan, dan singkat waktu kami telah tiba didepan rumahku, Lintar pamit untuk pulang, padahal rumahnya bersampingan dengan rumahku.
“Dagh Dea.”
“Dagh Lintar.”
Aku gugup kawan, aku gugup saat tahu. Ini waktuku untuk bertemu Ibu, wanita yang akan kusayangi selamanya. Tak ada satu orang pun yang kusayang selain Ibu. Ibu, aku pulang.
“Aku, aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku. Karna aku berjanji. Aku akan menjadi bintang paling terang di Smp Betha Melody, Smp seni yang mengadakan beasiswa tersebut bu”
Perkataanku satu tahun yang lalu kembali terngiang, membayangkan wajah Ibu yang membuatku mengenal arti Hujan dari Surga, sama seperti perkataan kak Cakka.
“Ibu..” panggilku lirih seraya membuka pintu rumah yang seperti biasa selalu bersuara berisik ketika digerakan. Di tanganku terdapat 2 buah semangka kesukaan Ibu.
“Siapa itu?” Tanya Ibu dari dalam, suaranya tak berubah sama sekali, ia masih Ibu yang kukenal.
“Ibu, ini Dea..”
“Dea? Dea siapa?”
“Dea anakmu bu.”
“Dea?”
Aku mulai aneh dengan perkataan Ibu yang seperti tak kenal denganku, apa waktu 1 tahun begitu lama membuat Ibu melupakanku?
Pintu rumah tiba-tiba terbuka dan terlihat Bunda Lintar terengal dan panic, Lintar menyusul beberapa detik kemudian.
“Dea.”
“Ibu kenapa Bun? Kok,”
“Ibumu, De.. ayo temui Ibumu.”
Entah kenapa, perasaanku mendadak sangat gelisah dan takut menyergap bersamaan. Kami bertiga masuk ke kamar Ibu, terlihat Ibu duduk di kursi roda menghadap ke jendela yang sering kami pergunakan untuk melihat Hujan. Ibu asyik membaca sebuah buku, seperti buku dongeng.
“Ibu Dea, ini Dea bu. Anakmu.” Kata Bunda Lintar, tubuhku bergetar karna aku sangat takut, Lintar menggenggam tanganku.
“Dea? Putri dalam buku ini?” Tanya Ibu.
“Iya bu.” Kata Bunda Lintar lagi, aku hendak protes tetapi Lintar menahanku.
“Putri Dea, kesini Putri.”
Bunda Lintar mengisyaratkan padaku, agar aku mendekati Ibu, Ibu membelai rambutku aku melihat paras manis wajahnya, airmataku kembali merembes, airmata yang berasal dari relung hatiku aku tak tahu menahu dengan keadaan Ibu selama 1 tahun ini, aku begitu jahat meninggalkan Ibu.
“Bunda akan ceritakan padamu, kenapa Ibumu menjadi seperti itu.”
Aku, Lintar, dan Bunda Lintar duduk di teras, Bunda mulai bercerita.
“Tabahkan hatimu, De. 6 bulan yang lalu, Bundamu bersikeras ingin menyusulmu, ia sudah sangat rindu padamu, akhirnya kami mengantarnya ke pelabuhan dengan mobil, tapi inilah takdir, mobil yang ditumpangi Ibumu mengalami kecelakaan, dan Ibumu amnesia.”
“Amnesia? Ibu takkan mengingat apapun, apakah selamanya? Tidak khan bun!”
“Bunda kurang tahu, De. Sebaiknya selama liburan ini kau terus bersama Ibumu, mungkin dengan kau ada disampingnya, ia bisa pulih.”
“Baik bun, aku akan berusaha keras menyembuhkan Ibu, tapi kenapa Bunda tak memberi tahuku?”
“Ini keinginan Ibumu sebelum ia amnesia, ia bilang jangan pernah mengatakan apapun pada Dea hingga kamu ingin ke Desa dengan sendirinya.”
Aku terus menunduk, Bunda mengelus rambutku.
“Bagaimana dengan teman-temanmu, De?” Tanya Lintar.
Aku teringat janjiku pada Angel, dan satu janji ini tak bisa kutepati. Mungkin aku akan terus menemani Ibu selama liburan, aku harus konsentrasi pada Ibu, tak boleh dengan yang lain. Pokoknya hanya Ibu. Jika Tuhan tahu yang terbaik untukku, mungkin Tuhan akan membantuku menyembuhkan Ibu. Dan jika memang harus, aku ingin terus ada disamping Ibu, walaupun aku harus keluar dari Smp Betha Melody.
“Bunda, bolehkah aku menemani Ibu hingga ia sembuh?” Kataku di telepon.
“Ibumu kenapa De?” Tanya Bunda.
“Ibu terkena amnesia bun, mungkin jika waktu penyembuhan Ibu tak cukup di liburan semester ini, aku minta izin. Untuk..”
“Untuk apa sayang? Katakan pada Bunda.”
“Untuk berhenti dari Smp Betha Melody dan sekolah di sini.”
“Apa?! Mungkin ada cara lain sayang, selain berhenti Dea.”
“Nggak bun, aku sudah sangat berdosa pada Ibu, aku ingin terus ada disamping Ibu.”
“Mungkin Ibumu bisa disembuhkan di Jakarta.”
“Nggak bun, aku ingin menyembuhkannya disini, dengan tanganku sendiri bun.”
“Apa kau tidak menyesal De?”
“Tidak, tidak sama sekali.”
“Dea, Bunda minta tolong pada Dea, pikirkan ini baik-baik, ini menyangkut masa depanmu.”
“Dea akan lebih berusaha, jika Ibu sudah sembuh, Dea akan belajar tekun disini.”
“Apakah teman-temanmu sudah tahu?”
“Belum bun, dan jangan beritahu mereka, sebab aku berhenti.”
“Mereka akan terus mencarimu, De.”
“Aku akan memutus komunikasiku dengan mereka bun, tolong bun. Aku ingin sekali focus pada Ibu.”
“Kau yakin, De?”
“Yakin Bunda.”
“Bunda tak bisa berbuat banyak, selain mendoakan Ibumu untuk cepat sembuh.”
“Terimakasih Bunda.”
Kututup percakapan kami, ku lepas kartu SIM dari Handphone pemberian Bunda, dan kusembunyikan Handphone itu di dalam lemari usang peninggalan kakek. Ku tatap Ibu yang sedang tidur. Sebenarnya aku tak mau melihat teman-teman sedih karna kepergianku, aku tak ingin lari seperti ini, tapi apa daya. Aku tahu ini sulit, tapi jika aku bertemu dan mengatakan perpisahanku pada mereka, mereka pasti menahanku dengan berbagai cara. Maafkan aku semua, karna aku adalah pengecut yang paling menjijikan di dunia ini. Lari seperti penjahat yang sudah mengambil hati kalian. Maafkan aku.
Jika memang ini takdir yang manis, aku ingin bertemu dengan mereka sebelum aku tiada Tuhan.
---
Angel dan Kamami terus menatap halaman rumah Angel dengan tatapan hampa, mereka sedang cemas dengan keberadaan Dea, karna sudah lewat seminggu setelah kepergian Dea. Angel mencoba untuk menghubungi Dea, tapi tak berhasil. Alvin dan Rio terus mencari tahu keberadaan Dea, atau paling tidak alamat rumah Dea.
“Bagaimana jika kau coba hubungi Dea lagi.” Saran Kamami.
“Ya.”
Angel menghela nafas panjang-panjang, baru kemudian menghubungi Dea untuk kesekian kalinya. Setelah menunggu lama, percuma. Hanya ada suara “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.” Dan Angel pun menggeleng. Kamami kembali menghela nafas yang sudah tercekat di tenggorokannya akibat cemas.
“Dea, kemana kamu?” Gumam Angel.
“Apa Dea nggak akan pernah kembali lagi ya mi.”
“Huss! Kamu jangan bilang begitu njel, aku nggak suka ya!”
“Tapi mi, kita udah cari Dea selama 4 hari penuh, tapi nihil.”
“Kita nggak boleh putus asa demi sahabat kita njel. Kita harus tetep berusaha.”
Kamami memeluk Angel erat, Angel menangis cemas.
“Seharusnya kita menahan Dea waktu itu.” Kata Angel.
“Kita harus tetap berdo’a njel.”
---
Ini sudah seminggu setelah aku meninggalkan teman-teman, dan tak ada kemajuan dari Ibu. Ingatannya belum juga pulih, sikapnya semakin seperti anak kecil, ia menganggap akulah Ibunya. Ibu, aku harus bagaimana lagi? Aku ingin menyembuhkan Ibu, tapi seminggu lagi aku harus kembali menjadi siswa Smp BM. Apa Tuhan memang menyuruhku untuk terus disamping Ibu? Jika benar, aku ikhlas Tuhan.
Aku akan mencoba untuk menelpon Bunda lagi, meyakinkannya bahwa aku akan berhenti dari Betha Melody.
“Bunda..”
“Dea, bagaimana keadaanmu dan juga keadaan Ibumu?!”
“Ibu tidak mungkin sembuh dalam waktu seminggu kedepan Bun, aku akan berhenti dari Betha Melody. Aku harap semua bisa mengerti keadaanku.”
“Tetaplah kejar mimpimu menjadi dokter Dea, Bunda selalu mendukungmu.”
“Terimakasih Bunda.”
Itulah percakapan terakhir kami, begitu banyak SMS yang masuk ke handphoneku saat ku hidupkan lagi telepon mini itu. Aku akan tetap menyayangi kalian. Suatu hari nanti, aku akan kembali. Menjadi Dea yang akan membahagiakan kalian dengan Hujan Cintaku. Rain From Heaven.
---
Kamami dan Angel terus menghubungi Dea, tapi percuma. Kini mereka hanya berharap takdir bisa mempertemukan mereka kembali. Bunda menyuruh anak-anak BM untuk kembali, mereka bersikeras ingin mencari Dea, tapi Bunda berbohong bahwa Dea sudah pulang dengan sendirinya beberapa hari yang lalu.
“Benarkah bun?” Tanya Kamami setengah percaya.
“Iya, percayalah pada Bunda.”
“Baiklah, kami akan pulang demi Dea. Dasar anak itu.”
Setelah percakapan itu, anak-anak BM pun pulang ke Jakarta, tapi Rio menolak untuk pulang.
“Aku yakin, Dea masih ada di Desa ini.”
“Kau jangan bercanda yo. Bunda sendiri yang bilang lho.” Kata Obiet.
“Aku mau telepon Bunda.”
“Untuk apa?” Tanya Kamami.
“Untuk memastikan bahwa Dea ada di Jakarta.”
Rio dengan kasar mengambil handphonenya yang berada di atas meja. Hingga beberapa anak disekitarnya terkejut.
“Bunda.”
“Ya, Rio? Ada apa?”
“Aku ingin berbicara dengan Dea.”
Bunda terdiam beberapa saat, ia memikirkan alasan lain untuk terus mengajak anak-anak untuk pulang dan meninggalkan Dea.
“Dea sedang sakit, Yo. Kalian harus segera pulang, keadaannya sangat lemah.”
“Apa?!”
Telepon seluler Rio terjatuh, pembicaraan langsung terputus. Semua bingung dengan kelakuan Rio, mata Rio berkaca-kaca.
“Malam ini, kita harus pulang.”
“Kenapa, Yo?” Tanya Sivia.
“Pokoknya, kita harus pulang!” Kata Rio dengan nada tinggi. 15 anak Smp BM pun pulang ke Jakarta tanpa tahu rencana Bunda dengan Dea.

Rain from Heaven 18

Princess

Kini aku hanya bisa berharap, bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Semua memang butuh proses, begitupun kesuksesan diri. Aku sadar kelakuanku ini salah, karna aku hanya menginginkan kesuksesan. Bukan ilmu yang sebenarnya, aku sangat salah jika ilmu yang asli adalah nilai akademik yang baik. Dulu Lintar berkata padaku.
“Ilmu itu akan terasa indah ketika kita menerapkannya pada dunia ini. Manis terasa, indah terlihat, dan asri dipikir. Jalani ilmu itu sebagaimana kau menjalani hidupmu”
Sebagian perkataannya bisa ku terima dengan baik, tapi sebagian lagi aku belum bisa menafsirkannya.
---
Siang ini ada pendaftaran untuk menjadi anggota OSIS 2010/2011. Aku ingin mendaftar, karna aku ingin menguji keberanianku. Dan ada pula kesempatan untuk menjadi wakil ketua OSIS tahun ini. Aku harus ikut, aku bisa belajar banyak tentang kehidupan memimpin dari kegiatan ini.
Pertanyaannya adalah, kenapa hanya sampai wakil kedudukan untuk anak kelas 1? Dan jawabannya, kak Rio masih menjadi ketua OSIS untuk periode kali ini, semua masih sangat percaya pada kepemimpinan kak Rio. Aku salut padanya.
Ku ajak Kamami dan Angel ikut seleksi ini, dengan alasan PRINCE juga ikut. Tapi ternyata alasanku tak bisa membuat kedua sahabatku ini ikut seleksi. Tapi yasudahlah, keputusanku sudah bulat. Aku akan ikut seleksi pemilihan anggota OSIS Smp Betha Melody.
Pendaftar siang ini sudah mencapai 30 orang, dan mayoritas gadis-gadis, ini pasti karna kak Rio juga teman-teman PRINCE, hehehe, aku nggak boleh buruk sangka dulu ya. Saat pendaftaran banyak juga teman-teman gadisku yang membicarakan kak Rio. Ada yang berkata.
“Aku ingin sekali jadi wakil ketua OSIS tahun ini, pasti waktuku akan lebih banyak dengan kak Rio”
“Enak saja, aku yang jadi wakil ketua OSIS!!”
Terkadang memang ada yang sampai berkelahi, membuatku sangat gugup untuk mendaftar, untung saja yang menjaga stand pendaftaran, kak Sivia. Oh iya, di Smp ini memang untuk menjadi anggota OSIS harus kemauan sendiri, tak ada istilah “Dicalonkan” keren juga.
“Siang de, kamu mau daftar juga?”
“Iya kak”
“Wah, banyak sekali gadis-gadis yang mendaftar ya.”
“Memangnya kenapa kak?”
“Haha, ini artinya semua gadis angkatanmu sangat tangguh ”
“Terimakasih kak”
“Ayo, tulis namamu di sini”
Ku tulis nama lengkapku di kolom ke31 yang ditunjukan kak Via. Selesai menulis nama, aku pamit diri pada kak Via dan kembali kekelas, tapi aku tahu pelajaran selanjutnya sedang kosong, karna ada rapat guru siang ini. Jadi kuputuskan untuk ke Perpustakaan saja, kuyakin Kamami juga ada di sana. Aku juga ingin menceritakan tentang kejadian kemarin, kejadian yang membuatku hampir meninggalkan dunia ini.
Singkat perjalanan, kini aku sudah berada di perpustakaan, tapi Kamami tak ada di perpustakaan, hanya ada beberapa anak yang ku kenal. Tapi baru saja aku duduk di sofa ingin membaca buku, sebuah tarikan halus mengajakku keluar perpustakaan, ku lihat orang yang menarikku adalah kak Shilla.
“Mau kemana kak?”
“Ikut saja denganku”
Pikiranku langsung melayang ke kejadian di hari terakhir MOS dulu, saat seorang anak lelaki mengajakku menemui Keke, rambutku hilang begitu saja, banyak luka tergores di wajahku, dan ancaman beasiswa itu kuhadapi. Tapi perasaan itu kutepis, karna yang mengajakku adalah orang yang kukenal, lagipula ancaman itu sudah dihapus Keke setelah Kamami mengalahkan tiga anak ambisius itu di pertandingan Basket dadakan.
Kak Shilla berhenti di ruang padus. Ia langsung mencari sesuatu di tumpukan alat-alat musik.
“Nah, ini dia!” Seru kak Shilla, lalu berjalan mendekatiku. Ia menggenggam tanganku dan mengajakku menuju sebuah keyboard yang waktu di gudang lalu sangat kukagumi.
“Lho? Apa maksudnya kak?”
“Katanya kamu mau belajar keyboard, ada yang mau mengajarimu”
“Kakak kah?”
“Bukan, tapi dia..”
Seorang gadis manis berdiri dari tempat duduk, ia tersenyum padaku. Ia kak Zeze.
“Aku yang akan mengajarimu de, ayo duduk di depan keyboard itu.”
“A..aku..” aku sangat gugup melihat paras ayu kak Zeze, sangat mengagumkan, tubuh kak Zeze yang tinggi membuatku agak mendongak, walau tingginya tak berbeda jauh dari tinggiku.
“Ayo de,” ajak kak Zeze.
“Tapi aku sama sekali tak bisa bermain keyboard kak, nanti malah menyusahkan.”
“Semua yang mau belajar tentu tak masalah jika sama sekali tak tahu” kata kak Shilla, kak Zeze mengangguk setuju pada kak Shilla.
“Tapi, darimana kak Shilla dan kak Zeze tahu keinginanku?” Tanyaku.
Mereka langsung terkejut, dan gugup harus menjawab apa. Tapi itu hanya sementara, keduanya langsung kembali tenang.
“Dari seorang malaikat berhati lembut yang senantiasa ingin melihatmu bermain keyboard mendampingi duo kami.” Kata kak Zeze.
“Duo kakak?”
“Iya de, kami ingin kamu menjadi keyboardist di duo kami, kami ingin mendirikan band Princess, salah satu anggota barunya adalah Sivia.” Kata kak Shilla.
“Kak Via?”
“Via menjadi vokalis bersamaku” kata kak Shilla.
Kini aku sangat gugup ketika dipilih menjadi anggota band ini.
“Tapi kenapa harus aku kak? Bukankah kak Ify lebih jago dariku?" Tanyaku.
“Ify, aku tak suka dengannya. Aku takut ia menjadi besar kepala jika akhirnya band ini terkenal” kata kak Zeze.
“Sudahlah ze, tak usah kau kenang masalahmu dengan Ify-Ify itu.” Kata kak Shilla.
“Ya.. sebaiknya kejadian itu ku kubur dalam-dalam”
Sebenarnya aku penasaran dengan percakapan kedua kakak ini, tapi sebaiknya aku diam dan tetap tenang.
“Ayo de, kamu khan bisa bermain piano, tentu kamu bisa memainkan benda ini” kata kak Zeze seraya menggenggam tanganku, tangannya hangat penuh kasih. Aku bingung, kenapa kak Zeze agak dijauhi? Padahal khan kak Zeze ini anak yang sangat baik. Apa hanya karna kak Zeze orang paling sederhana di sekolah ini?. Tapi khan aku juga miskin, bahkan lebih miskin dari kak Zeze. Sebenarnya ada rahasia apa lagi dibalik kehidupan kak Zeze? Apa ada hubungannya dengan kak Ify?
Kak Zeze menggenggam tanganku, tangannya hangat dan menenangkan perasaanku, ia mengajariku sedikit demi sedikit tehnik memakai keyboard. Begitu seksama dan detail, beberapa menit kemudian seorang masuk ke ruang musik. Kak Sivia.
“Bagaimana tempat pendaftaran vi?” Tanya kak Shilla.
“Sangat ramai shil, bagaimana dengan Dea?”
“Baik, ia cepat belajar. Kau memang pintar memilih anggota baru.”
“Iya dong. Hehehe”
Satu lagi pertanyaanku, bukankah kak Via dengan kak Shilla itu tak terlalu akrab? Atau mereka selama ini hanya berpura-pura tak akrab? Aku jadi makin bingung. Tapi tak apa, aku senang mereka seperti ini.
“Ayo de, lanjut” kata kak Zeze.
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan pembelajaran kami. Tapi baru saja akan menekan not keyboard, seorang kembali masuk ke ruangan ini. Ia kak Tian.
“Aduh, siapa sich yang main keyboard seburuk ini?” Tanyanya, aku langsung menunduk karna malu.
“Ye, siapa yang nggak bisa main keyboard!? Dea khan sedang belajar, jadi wajar saja jika kau sang mr. perfect mendengar permainannya kurang nyaman” bela kak Zeze.
“Ohahaha, sedang belajar to. Maaf ya Dea, aku yakin kau bisa” kata kak Tian.
“Terimakasih kak” kataku. Kini di hadapanku sedang berdiri orang-orang hebat nan cerdas, seperti impian-impianku. Bisa bersandar dengan orang-orang seperti mereka.
Aku pun kembali belajar keyboard.
---
Sebuah kenyataan menarik ku temui hari ini, akhirnya kak Zeze mau menceritakan perihal tentang perseteruannya dengan kak Ify. Ini ada hubungannya dengan orang tua kak Zeze, terutama ayah kak Zeze yang telah meninggal. Ayah kak Ify adalah seorang dokter bedah, ia tak bisa mengobati penyakit ayah kak Zeze, malahan memperburuk keadaan ayah kak Zeze hingga ayah kak Zeze meninggal. Maka dari itu, Zeze membenci kak Ify dan keluarganya. Walau kak Ify tak tahu hal ini. Kak Ify tak tahu hal ini? Ya, kak Ify tak pernah tahu bahwa ayahnya yang telah membuat ayah kak Zeze tiada. Walau kurasa, ini bukan kesalahan ayah kak Ify, umur seseorang memang sudah di tentukan oleh Tuhan. Tak ada yang bisa menentang takdirnya, begitupun umur kak Cakka yang begitu singkat. Ini semua takdir kawan, takdir yang telah ditulis di catatan Surga dan Neraka.
Kak Zeze asyik mengobrol dengan kak Shilla dan Kak Via, sedang aku hanya duduk menyaksikan pemandangan di luar BM yang sangat indah, langit begitu mendung menunjukan pesona Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku teringat Ibu, apakah ia baik-baik saja? Ataukah ia merindukanku? Atau ia tak peduli? Tuhan, tolong jaga Ibu. Aku sangat menyayanginya.
O iya, rencananya Princess akan merekrut anggota baru, 2 gitarist, 1 drummer dan 1 violinist. Aku mengusulkan Kamami dan Angel untuk ikut ke band ini. Kak Shilla menimbang-nimbang dan setuju mengambil Kamami sebagai Violinist, dan Angel sebagai pengganti Vokalist menggantikan kak Via. Sedang kak Via menjadi Gitarist, wow kak Via multitalent. Dan yang paling membuatku senang, Oliv menjadi drummer.
“Aku akan mencari 1 gitarist lagi kak, izinkan aku.”
“Boleh de, tapi sebenarnya kakak sudah punya 1 pilihan.”
“Siapa kak Shilla?”
“Namanya Oik, ia manis bukan? Ia pun lumayan mahir memainkan gitar.” Kata kak Shilla, fiuh.. untung saja bukan salah satu dari Keke dkk.
“Iya kak, Oik mahir memainkannya” kataku meyakinkan kak Shilla.
“Ya, besok kita mulai latihan” kata kak Zeze, kami para anggota baru hanya mengangguk lalu pulang. Hari ini kami pulang dengan jalan kaki, karna sepeda Kamami sedang di servis, dan Angel juga aku takkan membiarkan Kamami sendirian.
Di perjalanan, kak Obiet dan kak Patton menghadang kami. Kamami seperti ketakutan ketika melihat kak Obiet, apa ia masih trauma?
“Sore girls” sapa kak Patton, kami hanya mengangguk menunjukan rasa sopan pada orang yang lebih tua dari kami.
“Apakah benar kalau kalian berdua sudah pacaran?” Tanya kak Obiet dingin.
Kamami terus menunduk, tak mau melihat ke arah kak Obiet, aku dan Angel kompak menggenggam tangan Kamami. Sekedar memberi energy pada Kamami.
“Jawab saja mi.” Kata kak Patton.
“Iya.” Jawab Kamami, aku mendengar gemeretak gigi kak Obiet dengan jelas, matanya me-merah saat menatap Kamami, tangannya mengepal kuat seakan ingin meninju siapapun yang menghalanginya.
“Sudah kubilang, kau tak usah berpacaran dulu di Jakarta! Kau harus belajar dengan giat Kamami! Sekarang, kalian harus putus!” Bentak kak Obiet, Kamami masih saja menunduk dan semakin kikuk.
“Apa maksudmu? Kau tak setuju? Ini hak Kamami!” Cerca kak Patton.
“Ini juga hakku! Karna ia adikku! Adik KANDUNGku!” Bentak kak Obiet lebih keras dari yang tadi.
“Sampai saat ini, aku nggak bisa bohong pada diriku sendiri. Bahwa aku menyukai kak Obiet, bahkan lebih dari saudara. Maka dari itu, aku takut menatap kak Obiet, karna aku takut mencintai kakakku sendiri. Lebih baik aku tak pernah punya kakak seperti kak Obiet!!” Kamami langsung menunduk, karna baru saja ia berbicara tak pantas pada kakaknya sendiri.
Kak Obiet mendekati Kamami, tangan Kamami masih ku pegang, sedang Angel sudah tak tega. Kak Obiet menjulurkan tangannya pada Kamami.
“Kau adalah adikku, adik kesayanganku. Untuk saat ini sebaiknya kau focus pada pelajaranmu, tak usah memikirkan cinta atau semacamnya, kau masih punya sahabat sebaik Dea juga Angel, juga kakakmu. Obiet” jelas kak Obiet, membuat Kamami berhasil mendongak demi melihat paras kakaknya yang teduh.
“Kita bersaudara mi, mungkin rasa ini hanya rasa kagum. Tapi kumohon, kau tak boleh pacaran dulu.” Kata kak Obiet sekali lagi menentang hubungan Kamami dengan kak Patton. Sedang kak Patton tak bisa berbuat apapun, karna ia tahu ini hanya hubungan pura-pura, agar Kamami bisa melupakan kak Obiet, aku tahu itu. Karna Kamami hanya menyukai 1 orang saja, kak Obiet.
Kamami meraih tangan kak Obiet, ia tersenyum pada kak Obiet begitupun sebaliknya.
“Aku senang jika kita menjadi saudara saja, tak usah kau pikirkan rasa yang ada di hatimu. Ok?”
“Iya kak.”
Sore ini pasti menjadi sore terindah bagi Kamami, aku bisa tersenyum melihat senyum gadis berkerudung itu. Kamami.
---
Ya, benar ucapan kak Obiet, sebaiknya Kamami serta kami semua harus belajar dengan giat, aku juga harus menepis pikiranku ingin mengetahui semua hal tentang kak Cakka, aku harus focus, ok de? Focus!
“Aku akan membawa hujan terindah sepanjang masa untukmu, De.”
Tapi ya Tuhan! Kata-kata kak Cakka selalu mengiang, sebelum ia menepati janjinya padaku, “Rain from Heaven”
---
Alvin menaruh jaketnya di gantungan pintu, ia rebahkan tubuhnya di kasurnya yang usang, karna ia jarang sekali pulang ke rumah, jadi sudah lama kasurnya tak terawat, sudah berdebu. Membuat Alvin bersin-bersin. Setelah puas meregangkan otot tubuhnya sejenak, ia langsung membuka laptopnya, dan membuka folder bernama ‘princess’. Setelah dibuka, terdapat banyak foto seorang, Dea.
“Mungkin aku sudah terlanjur menyayangi gadis ini, gadis yang disayangi juga oleh sahabat terbaikku.”
Alvin tersenyum tipis seraya melihat hasil potretannya beberapa hari ini, jantungnya sangat tenang berdetak, tak terasa sakit setelah sekian lamanya. Setelah kakaknya menghadiahi jantung pada Alvin.
“Aku hanya berharap, putri kak Cakka adalah kau de, tapi jika itu terjadi, aku bisa dibilang pembunuh kelas dunia, karna aku menikam sangat dalam hati sahabatku sendiri.”
Alvin lalu teringat sebuah janji yang masih menjadi misteri baginya.
“Apa maksudnya, ‘rain from heaven’?”
Ia menggeleng tak mengerti, satu janji yang membuatnya tak bisa konsentrasi dalam bermusik, tak bisa tidur, dan yang paling penting, tak bisa melihat dunia ini. Sudah dibutakan oleh kebingungan.
“Andai kau memberi tahuku kak.”
Alvin pun menutup laptopnya, dan tidur.
---
Aku berjalan tenang menuju kelas, Kamami sedang ke kamar mandi, di tengah lorong aku berpapasan dengan kak Alvin, aku tersenyum padanya. Ia pun tersenyum padaku, sungguh tampan orang itu. Seperti kak Cakka.
“Eh de,”
“Iya kak?’
“Aku ingin mengajakmu ke café Aurora”
“Untuk apa kak?”
“Nggak apa-apa kok, aku lagi suntuk ni. Pengen ke Café sama orang baru”
“Ehem, maaf kak, tapi..”
Belum aku menolak ajakannya, kak Rio muncul dari belakang tubuh kak Alvin.
“Ide bagus tuh vin, aku juga mau ikut ya”
“Hah? Ikut? Emm. Boleh lah”
“Aku kak, aku..”
Aku sangat bimbang, karna ini kesempatanku untuk bertanya banyak pada 2 orang terdekat kak Cakka. Tak terasa kepalaku mengangguk, tanda aku setuju pergi bersama kak Alvin dan kak Rio.
“Nanti kami jemput di kelasmu ya” kata kak Alvin.
“Apa aku boleh mengajak Kamami dan Angel?” Tanyaku.
“Nggak usah de, kita pergi bertiga aja, aku malah tambah suntuk kalau terlalu ramai”
“I..iya deh”
Aku kembali berjalan melewati mereka, dengan perasaan yang sangat was-was.
---
“Apa?! Kamu pergi bertiga sama kak Rio dan kak Alvin?!” kaget Kamami.
“Dih, kamu lebay banget sich mi, dasar..”
“Khan nanti kita ada latihan Princess”
“Hah? Yang bener mi?”
“Jah, kamu lupa..”
“Aku lupa sama sekali mi. Gimana dong?”
“Kamu sih, terlalu senang kencan sama 2 orang.”
“Enak aja, aku khan lupa!”
“Hehe, iya-iya. Yaudah, kamu khan hanya sekali tempo jalan sama dua anggota PRINCE itu, jadi nanti aku yang urus absenmu”
“Benar mi? Boleh-boleh..”
Dan semoga urusanku pun selesai dengan lancar.
---
Sesuai janji kak Alvin, ia menjemputku di depan kelas, aku pun berjalan berdampingan dengannya, persis seperti sepasang kekasih. Hehe.
Kulihat kak Rio sudah menunggu kami di depan gerbang, kak Alvin memberi isyarat padaku untuk ikut kak Rio saja, ya aku menurut saja.
"Ke Café Aurora?" Tanya kak Rio demi memastikan.
"Iya yo."
Tak berapa lama, kami bertiga tiba di Café Aurora, agak sepi rasanya, mungkin karna ini hari Sabtu kebanyakan siswa/I BM menghabiskan waktu di tempat lain.Kami bertiga memesan menu yang sama, tiramishu dan kentang goreng, dengan coklat panas sebagai penyegarnya.
“Sabtu ini sepi juga ya..” gumam kak Rio memulai pembicaraan.
“Iya kak.” Setujuku.
“Lagu di Café ini menyentuh banget ya.” Puji kak Alvin.
“Iya kak.” Setujuku lagi.
Kedua kakak itu pun menatapku, lalu tertawa bersama.
“Kamu gugup ya, jalan sama kita?” Goda kak Rio.
“Nggak kok kak.”
“Daritadi jawabanmu itu, iya kak.” Lanjut kak Alvin.
Mereka berdua ini mau apa sich? Ngalor-ngidul, sepertinya memang hanya aku yang punya niat penting bertemu keduanya.
“Kak..”
“Ya?” Keduanya langsung merespon panggilanku.
“Aku ingin tanya,”
“Tanya apa de?” Tanya kak Alvin serius.
Aku terdiam, karna agak ragu untuk mengucapkannya. Aku pun menatap luas ke jendela Café yang berembun, udara sore ini cukup dingin, untung saja di tanganku kini ada coklat panas yang mampu menghangatkan tubuhku. Bayangan wajah kak Cakka terbentuk apik di hatiku, menyapa pikiranku agar aku segera bertanya tentangnya.
“Kak Cakka..”
Kak Rio dan Kak Alvin serentak langsung terkejut, aku ikut terkejut melihat tingkah mereka. Tapi berusaha tenang dengan memakan tiramishuku. Keduanya langsung saling pandang, baru kemudian menatapku lekat.
“Apa urusanmu dengan kakakku?”
“Aku hanya bertanya kak.”
“Banyak gadis yang menyanyai kak Cakka, dan mengaku dirinya sebagai putri masa lalu kak Cakka, apa kau juga mau mengaku seperti itu de? Aku kecewa padamu”
“Daritadi kak Alvin terus bicara, tolong berikan kesempatan padaku.”
Ucapanku membuat kak Alvin yang agak naik darah kembali tenang dan ia langsung menyeruput coklat panasnya. Kak Rio tak kalah lekat menatap ke arahku, jika aku bilang aku memang putri kak Cakka secara langsung, mungkin keduanya takkan percaya. Jadi aku akan pelan-pelan mengutarakannya dengan caraku sendiri.
“Jika awan itu bisa berbicara, mungkin aku akan memintanya untuk menemui kalian, berkata semua kebaikan kak Cakka 5 tahun yang lalu.”
“Basi.” Kesal kak Alvin, aku jadi kesal juga. Tapi demi kak Cakka, aku akan berusaha.
“Jika hujan juga bisa bernyanyi, kuyakin mereka lah yang mengantarkan melody suara minta tolongku pada kak Cakka.”
“Kau ini, mau berpuisi terus?”
“Vin, sabar dong.” Kata kak Rio.
Aku menghela nafasku yang telah kuhirup dalam-dalam, kutatap kak Alvin. Kini mata kami beradu, sangat dalam mengingatkanku pada kak Cakka, air mataku tiba-tiba saja menetes, mengingat wajah kak Cakka membuatku sakit, sakit karna takkan pernah bisa menemuinya lagi.
“Semua gadis yang mengaku pun menangis pura-pura karna ingin mendapatkan perhatianku, busuk”
“Kau memang bukan kak Cakka, hatimu pun bukan milik kak Cakka, matamu yang indah itu masih kalah drastis dari kak Cakka, aku sama sekali tak mau kau perhatian padaku kak, aku hanya ingin bertanya, apakah kak Cakka sama sekali tak menitipkan janjinya padamu?”
“Janji? Kau tahu apa tentang janji kak Cakka?!”
Aku sudah kesal dituduh oleh kak Alvin, aku pun berdiri dan mengucapkan 2 kalimat terakhir sebelum aku pergi.
“Rain From Heaven. Hujan terindah sepanjang masa”
Aku pamit pada keduanya, lalu pergi tanpa peduli dengan perkataan lain dari kak Alvin. Aku hanya mau tenang karna telah mengutarakan maksudku.
---
Alvin terdiam mendengar perkataan Dea barusan, ia terus mengingat ucapan terakhir Dea, “Rain from Heaven. Hujan terindah sepanjang masa”, Rio mengejar Dea sekaligus meninggalkan Alvin yang masih sangat terkejut. Tapi tiba-tiba senyumnya terurai lebar, ia tersenyum karna senang telah menemukan putri kak Cakka.
“Ternyata kau mendengar do’aku kak, kau sangat baik bahkan setelah kau pergi.”
Alvin berdiri dan berlari menyusul Rio dan Dea.
---
Kini aku kembali berada di motor kak Rio, perasaanku lebih tenang ketika berada di dekat kak Rio, seperti semua kejadian yang baru saja terjadi sudah hilang. Aku bisa tersenyum kembali, apalagi kak Rio mentraktir eskrim dan bernyanyi untukku.
“Terimakasih untuk eskrimnya kak, nyanyiannya juga.”
“Sama-sama de, kau itu nggak usah berpura-pura jika kau suka Alvin”
“Lho? Nggak kok kak, aku hanya berkata yang sebenarnya.”
“Jadi benar kau putri Cakka?”
“Iya.”
“Ini malah yang membuatku khawatir.”
“Khawatir? Kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
Kak Rio memandang ke arah lain, matanya kosong. Aku merasa perkataan Angel ada benarnya, walaupun aku nggak boleh terlalu percaya diri, tapi aku bisa melihat sinar mata kak Rio yang begitu kecewa saat ia tahu, aku benar-benar putri kak Cakka. Aku hanya bisa tersenyum seraya memakan kembali eskrim rasa coklat pemberian kak Rio, di lain sisi aku sadar, kak Alvin tak sebaik kak Cakka maupun kak Rio, ia mempunyai sisi jelek juga. Terlalu berprasangka buruk, walau aku tahu, karna sudah terlalu banyak gadis yang mengaku sebagai putri kak Cakka.
“Kak.”
“Ada apa, De?”
“Sebenarnya, sudah berapa gadis yang mengaku sebagai putri kak Cakka?”
“Heum, berapa ya? Banyak dech, De. Ada sekitar 20 orang mungkin”
“Hah?”
“Kenapa, De? Kamu kecewa ya?”
“Nggak, pantas saja kak Alvin bersikap seperti itu.”
“Iya, hahaha”
Kembali kuingat kejadian barusan, kak Alvin memang marah, tapi matanya tetap berharap. Apa aku kembali terlalu percaya diri? Aku tak bergitu kawan, jika bisa dibilang aku memang bisa melihat suasana hati seorang hanya dengan melihat sinar matanya. Itulah keistimewaanku selama ini, maka dari itu aku ingin menjadi dokter yang selalu sabar dan mengerti keadaan seseorang.
Ku dongakan kepalaku ke langit, langit masih saja mendung. Kenapa kau tak ceria sedikit? Hiburlah aku, dengan matahari yang bersinar tenang. Aku pun berfikir, apakah hujan akan memperbaiki keadaan jiwa orang? Aku sich mungkin bisa, tapi orang lain? Aku tak bisa menjaminnya. Buktinya Gaby pernah sangat benci pada hujan.
Kak Cakka, apa sebenarnya maksudmu Rain From Heaven? Hingga kini aku belum bisa menemukan jawabannya, bahkan setelah aku sudah bertemu dengan kak Alvin.
Tak berapa lama, kak Rio mengajakku pulang, aku setuju dengannya karna aku sudah sangat lelah.
---
Putri, kata itu terus mengiangi pikiran Alvin, ia tak bisa menemukan Rio dan Dea jadi ia putuskan untuk pulang. Pikiran Alvin masih tak tenang, karna ia melepas putri kakaknya yang selama ini ia cari, ia mengendarai motor dengan perasaan kacau.
Sebuah mobil besar tiba-tiba saja melaju cepat dari arah yang berlawanan dari arah Alvin. Dan..
---

Rain from Heaven 17

Love

10/Desember/2021-siang. 12.30 WIB.
Kak Rio menatapku dengan seksama, menyaksikanku asyik di depan laptopku sedang aku masih sakit.
“Kamu itu, kenapa masih saja mengetik?”
“Tak apa kak, aku hanya bernostalgia”
“Nostalgia?”
“Ya kak, semua masa lalu kita akan kutulis di laptopku, dan beberapa hari lagi jika sudah selesai. Akan kuperlihatkan pada kakak.”
“Ada aku khan?”
“Pastilah kak! Hehe”
“Besok jam 00.00 akan ada kejutan untukmu de.”
“Besok? Harusnya hari ini kak.”
“Tidak, sebaiknya kau selesaikan kisah-kisahmu itu. Baru besok kita rayakan kejutan untukmu”
“Boleh-boleh..”
“Yasudah, aku pergi dulu ya.”
“Mau kemana kak? Ngobrol dulu dong kak, masa’ aku sendirian terus daritadi”
“Tak apa, haha.. sudah ya, bye!”
“Bye..”
Heuh, selama beberapa minggu terakhir ini, aku selalu merasa sendiri. Sebenarnya mau semua orang itu apa sich? Aku juga sangat merindukan kak Alvin.
---
Seperti ucapanku kemarin, aku akan menyelidiki prilaku kak Obiet dengan Kamami, tak ada yang membatuku. Karna aku ingin melakukan ini diam-diam. Semua demi kelancaran hidup kami. Hari ini Kamami akan makan berdua saja dengan kak Obiet, mereka pergi ke Café Aurora, Café yang paling sering di datangi anak-anak BM. Kenapa mereka harus berdua saja? Aku khan ingin ikut juga. Hihihi.
Pukul 16.00 WIB, kak Obiet dan Kamami memasuki Café Aurora dengan tawa menderai, membuatku semakin penasaran ingin tahu yang akan mereka lakukan di dalam Café, hanya mengobrol kah? Atau bercanda juga? Makan malam? Atau bahkan.. kencan?
Ku rapatkan jaket coklatku dan menutup sebagian wajahku dengan topi. Lalu aku masuk perlahan ke dalam Café. Kak Obiet bersama Kamami duduk di bangku dekat jendela bagian kanan Café, Café Aurora sangat mengagumkan. Suasananya sangat menenangkan hati, desain yang sangat anak muda tergambar di Café ini, ku lihat beberapa anak Smp BM juga duduk di beberapa sisi Café. Aku memilih duduk di bangku yang berbeda 2 bangku dengan letak Kamami duduk.
“Mau pesan apa?” Tanya seorang waitress.
“Jus jeruk saja mbak”
“Baik, wait me five minutes.”
“Makasih mbak”
Aku tetap mengamati Kamami yang sangat asik bercanda dengan kak Obiet, hingga 5 menit menunggu pesananku datang pun mereka masih sebatas bercanda. Tak ada kelakuan yang menunjukan mereka saling suka. Tapi suatu kejadian yang kutunggu terjadi setelah aku menghabiskan 2 gelas jus jeruk.
“Kamami, kata Dea. Kau menyukaiku?”
“Ah, ia hanya bercanda.”
“Oh, begitu.. aku cukup kecewa”
“Maksud kakak?”
“Kau tak menyukaiku?”
“Aku sayang kakak sebagai kakak terbaik di hidupku.”
“Aku juga sayang Kamami.”
“Kak..”
“Apa mi?”
“Bagaimana keadaan Mama dan Papa?”
“Untuk apa kau menanyakan dua orang yang sudah membuangmu?”
“Karna aku menyayangi mereka”
“Kau hanya boleh menyayangiku!”
Ucapan kak Obiet agak mengeras ketika Kamami menyinggung orang tua mereka, hingga aku tersendak dibuatnya.
“Aku menyayangi semua keluargaku!”
“Mereka sudah membuangmu! Dan sekarang kau hanya punya aku!”
“Aku sangat merindukan Papa dan Mama! Apa kau mau terus menyiksaku kak?!”
“Menyiksa apa?!”
“Menyembunyikan keberadaanku dari Mama dan Papa!”
Kak Obiet terdiam, ia terus memandangi Kamami. Aku merasakan ketegangan yang luar biasa dari mereka. Apa aku terlalu berlebihan melihat hubungan mereka yang sangat akrab? Maafkan aku mi, kak Obiet, karna aku telah berburuk sangka pada kalian.
Kamami berlari meninggalkan kak Obiet yang masih saja memandangi Kamami, hal itu berlangsung sangat cepat. Ku langkahkan kakiku menemui kak Obiet.
“Ketika cintamu berpaling pada yang lain, berikan ia kesempatan untuk kembali berpaling padamu..” kataku menghibur kak Obiet.
“Dea?”
“Maaf kak, aku melihat semua yang terjadi barusan. “
“Tak apa, duduklah bersamaku”
Aku duduk berhadapan dengan kak Obiet, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya seperti tak berdaya. Aku tahu, ia sangat sedih sudah menggertak Kamami hingga Kamami pergi.
“Apa salah, jika aku menyukai adikku sendiri de?”
“Hah?! Suka?!”
“Ya, menyukainya lebih dari adik kandungku..”
“Itu.. ehem..”
“Jawab de..”
“Aku tak berani menjawabnya kak”
“Jawab saja de, tak apa jika jawaban itu menyakitkan untukku.”
“Itu tak boleh terjadi kak, kalian ini sedarah..”
“Iya, itulah yang kupikirkan.. Jika aku berhenti jadi anak Mama dan Papaku, apakah larangan itu masih berlaku?”
“Masih kak.”
“Kenapa?”
“Karna ini takdir kak Obiet bersama Kamami, menjadi kakak-adik yang saling menjaga.”
“Aku.. mencintai Kamami”
“Jangan kak, jaga perasaanmu dengan Kamami sebatas adikmu sendiri. Tolong, bahagiakan Kamami dengan statusmu sebagai kakak, bukan sebagai pacar.”
“Doakan, agar aku bisa menjaganya sebagai adikku sendiri.”
“Aku akan terus berdoa”
Kak Obiet mengajakku pulang dengan motornya, sempat kutanyakan bagaimana dengan Kamami? Ia menjawab bahwa Kamami anak yang berani, ia pasti bisa pulang sendiri. Aku percaya saja.
---
Kamami memandang hampa ke langit di Taman Prisma Bintang, sore ini terasa sangat kelam baginya. Walaupun kenyataannya, langit sore saat ini sangat indah. Ia ambil satu bunga mawar putih yang memang boleh diambil, ia hirup wangi mawar yang sangat menyejukan hatinya yang sesak.
“Ya Allah, apakah aku salah menyukai kakakku sendiri? Apakah aku salah, telah dilahirkan Mama ke dunia ini? Apakah aku salah, jika aku ingin menemui kedua orang tuaku sendiri..”
Seseorang duduk disampingnya, tapi Kamami tak sadar akan hal itu. Hingga orang itu berbicara padanya.
“Tak ada yang salah pada dirimu mi”
“Kak Patton?”
Patton tersenyum pada Kamami, senyuman yang sangat tulus dari hati untuk sahabatnya sendiri.
“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kak”
“Jadikan semua beban di hatimu sebagai awan-awan hitam yang kemudian akan luntur menjadi hujan. Menangislah Kamami.”
Kamami kembali menunduk. Patton hendak mengelus kerudung Kamami yang asri, tapi ia tak punya cukup keberanian untuk melakukannya.
“Terimakasih kak”
“Tidak, kau sama sekali tak usah berterimakasih padaku. Karna aku ingin sekali menjadi sahabatmu di setiap saat hidupmu.”
“Iya kak.”
“Ceritakan keluh kesahmu padaku mi”
“Aku.. aku salah lahir ke dunia ini kak”
“Kenapa?”
“Karna aku lahir, hanya untuk menyusahkan semua orang di keluargaku.”
“Kata siapa?”
“Menurutku begitu kak”
“Ucapanmu sangat salah mi, semua yang kau lakukan sangat berharga untuk orang-orang di sekitarmu, maupun untuk keluargamu.”
“Aku tak yakin kak”
“Yakinlah mi, semua pengorbanan yang kau lakukan, ketika kau mengajarkanku hal indah itu, tinta putih dan kertas hitam. Kalung biola buatanmu yang penuh kasih, keteguhanmu menyelamatkan bintang yang bersinar itu, Debo. Dan keteguhanmu mempertahankan sahabatmu Dea.”
“Tapi aku sudah membuat kesalahan yang sangat besar kak”
“Apa itu?”
“Menyukai kakak kandungku sendiri”
“Apa?!”
“Kakak kaget bukan? Aku pun kaget ketika mendapat desiran itu..”
“Jangan mi, itu tak boleh”
“Iya, aku tahu..”
“Lebih baik kau menyukai orang lain saja.”
“Siapa?”
“Siapa saja..”
“Aku merasa, hanya kak Obiet yang terbaik di dunia ini”
“Tidak mi, masih banyak!”
Kamami hanya tersenyum tipis, lalu Patton pun mengantarkan Kamami ke rumah Bunda.
---
Aku bingung bagaimana mengatakan hal yang dikatakan kak Obiet barusan. Aku ingin semua tak jadi masalah, tapi menurutku jika kak Obiet masih saja menyukai Kamami, semua akan menjadi masalah besar.
Ku tunggu Kamami di teras rumah Bunda, Angel, Kiki, dan Debo sedang asyik menonton film terbaru yang dibeli Bunda. Tak berapa lama, Kamami datang dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Kamami pulang diantar kak Patton.
“Kak Patton, dan Kamami?” Batinku dalam hati.
Kamami menghampiriku, wajahnya muram, aku tahu. Ia sedang sangat sedih.
“Kau kenapa mi?” Tanyaku.
“Nanti saja kuceritakan de.. sekarang aku mau istirahat dulu. Kak Patton, terimakasih ya sudah mengantarku pulang”
“Iya, sama-sama mi, ingat kata-kataku tadi ya.”
“Iya kak, terimakasih sekali lagi.”
Kak Patton pun tersenyum pada kami berdua dan pamit. Kini tinggal aku dan Kamami yang masih berada dalam keadaan kacau, aku menyimpan rahasia kak Obiet, dan Kamami yang sudah digertak kak Obiet.
“Mi, mau kau ceritakan kejadian hari ini padaku?”
“Sepertinya nanti malam saja de, nanti malam akan kuajak kau mengarungi kisahku.”
“Ok, sekarang mari kuantar kau ke kamar.”
“Mari.”
Kami berdua berjalan melewati teman-teman yang sedang sangat senang melihat kelucuan dvd “Madagascar” pemberian Bunda, aku hendak mengajak Kamami menonton juga, tapi sepertinya ia sedang sangat lelah. Buktinya ia hanya melewati teman-teman tanpa tersenyum.
“Kamami kenapa de?” Tanya Angel.
“Aku juga nggak tahu njel, tapi nanti malam kita harus menghiburnya”
“Iya, akan kuhibur semampuku.”
“Sipp”
Aku pun menyusul Kamami ke kamar, aku ingin mengerjakan tugas sekolahku agar tak terlalu membebaniku seminggu kedepan.
---
Obiet masuk ke markas (rumah Rio) dengan perasaan sangat kacau, ketika ia bercerita pada Dea juga saat sebelumnya, saat ia membentak Kamami. Ia sangat takut kehilangan Kamami, ia tak mau Kamami menjadi saudara kandung yang seutuhnya baginya. Karna satu rahasia yang takkan pernah boleh ia lakukan. Obiet duduk di bangku santai PRINCE, tak lama Patton datang dan duduk di sampingnya.
“Sore biet, nggak pulang?”
“Nggak ah, aku malas pulang. Rio dan yang lain mana?”
“Mereka sedang cari makan.”
“Oh.”
Patton memandangi Obiet dengan seksama, kebencian terpancar dari pandangannya. Ia tak ingin Kamami mencintai lelaki seperti Obiet, yang hanya bisa membuat Kamami muram.
“Tadi kau menemui Kamami ya?”
“Darimana kau tahu?”
“Hanya menebak biet, nggak boleh?”
“Oh..”
Patton tak tahan lagi, ia menarik kerah baju Obiet dan mendorong Obiet hingga Obiet terhempas cukup jauh dari tempatnya berasal. Obiet meringis kesakitan akibat prilaku Patton. Ia bangkit dan menarik kerah baju Patton lalu menghantam pipi kanan Patton.
“Sudah cukup Papaku memukulku, dan sekarang kau juga memukulku!”
“Aku yakin Papamu memukulmu karna satu pemikiran denganku, tentang Kamami!”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah membuat Kamami sedih”
“…”
“Kau sama sekali bukan sahabatku lagi, jika kau berani menyakiti gadisku”
“Gadismu?”
“Ya, aku sudah berpacaran dengan Kamami”
“Hah?!”
“Kau kaget bukan? Tak usah berlebihan, aku akan menjaga adikmu seumur hidupku”
“Aku takkan rela jika Kamami pacaran denganmu!”
“Kenapa? Lalu siapa yang pantas mendampinginya? Kau?”
“…”
Patton menjulurkan tangannya pada Obiet, ia prihatin melihat kakak-beradik yang ia kagumi harus menerima kenyataan seberat ini. Untuk umur mereka yang terbilang sangat muda, harusnya kenyataan ini tak pantas menerpa mereka. Tapi inilah takdir kawan.
---
Sesuai janji Kamami, ia mengajakku dan Angel ke taman belakang rumah Bunda yang tak pernah terjamah olehku maupun teman-teman se-rumah kecuali Kamami. Di taman itu terdapat beberapa ayunan dan sebuah rumpun bunga mawar putih yang sangat indah dan harum. Kamami memetik satu bunga mawar putih dan menghirup baunya, perasaannya kembali tenang. Ia mengisyaratkan pada kita agar kita duduk di salah satu ayunan yang muat untuk 3 orang.
“Mi, sudahlah. Jangan kau ciumi bunga itu lama-lama. Nanti kau pusing sendiri” kataku.
“Haha, iya-iya”
Kamami pun duduk menghadap ke kami. Ia tersenyum walau itu sangat dipaksakan.
“Tadi saat bersama kak Patton, ia menyatakan perasaannya padaku.”
“Hah?!” Seruku dan Angel.
“Ya, aku sudah resmi pacaran dengan kak Patton, walaupun aku tak mau.”
“Tak mau?” Tanya Angel.
“Iya, karna hanya ada satu lelaki di hatiku”
“Kak Obiet?” Tanyaku agak ragu.
Kamami memandangku lekat, seperti jiwanya sudah merasuk ke hatiku.
“Ya”
“Apa?!” Angel sangat tak menyangka ucapan itu akhirnya dikatakan Kamami.
“Aku memang sangat berdosa, jadi ku putuskan untuk sedikit demi sedikit melupakan lelaku itu.”
“Apa akan berhasil dengan kau memacari lelaki yang tak pernah kau sukai?” Tanyaku.
“Doakan saja.”
“Lalu kenapa kau muram mi?” Tanya Angel.
“Karna kak Obiet sepertinya juga menyukaiku bukan sebagai adiknya”
“Iya, ucapanmu benar mi. Kak Obiet menyukaimu.”
“Darimana kau tahu de?”
“Tadi tak sengaja aku bertemu dengan kak Obiet, dan ia menceritakan semuanya padaku. Sebaiknya memang begini, mendapatkan cinta memang penuh pengorbanan, dan menghapus cinta juga perlu ekstra pengorbanan.”
“Sebaiknya begini ya.” Kata Angel.
“Satu lagi, njel. Apa benar kamu telah melepas kak Alvin?” Tanya Kamami.
“Tahu darimana mi?”
“Dari suratmu yang kubaca kemarin malam, aku ingin mengatakannya langsung padamu. Tapi nggak sempat”
“Iya mi, aku tahu. Kak Alvin hanya menyukai Dea, tapi mungkin ini sulit untukmu de..”
“Sulit apanya njel?”
“Karna aku tahu, kak Rio juga menyukaimu.”
“Ya Tuhan, kalian khan tahu. Aku hanya menyukai seorang.”
“Siapa?” Tanya dua sahabatku bersamaan.
“Seorang penyelamat hidupku yang kini tinggal di Surga. Membawa tetesan air Surga untukku suatu hari nanti”
“Yaudah, sekarang kita harus tetap fokus pada pelajaran sekolah, tak usah terlalu memikirkan Cinta!” Seru Kamami.
“Ya. Benar itu!” Seru Angel.
Aku tersenyum bahagia, lalu kami bertiga saling merangkul, kembali mengikrar. Bahwa kami sahabat, sahabat yang dilandasi kasih sayang yang mendalam di hati kami masing-masing.

Rain from Heaven 15-16

Chapter 15
Sahabat Selamanya

“Ada apa de?!” Tanya Kamami menghampiriku, karna teriakanku barusan.
“Keyboard yang sangat cantik!” Kataku.
“Hahahaha, dasar kamu de. Kakak kira kenapa.”
Aku hanya terkekeh melihat kecemasan kedua kawanku itu. Tapi aku bersumpah kawan, keyboard itu sangat cantik, walaupun aku cinta piano. Tapi aku tertarik belajar keyboard. Sepertinya keren.
“Kau suka de?” Tanya seorang yang kukenal. Kak Rio.
“I..iya kak”
“Kau bisa memainkannya?”
“Belum kak, tapi aku sangat tertarik untuk mempelajarinya”
“Sebaiknya kau mempelajarinya dengan Alvin, ia sangat mahir memainkan Keyboard”
“Uhm..”
Aku ragu untuk berkata “Iya” pada usulan kak Rio, karna ku tahu. Angel pasti sangat kecewa jika aku berduaan dengan kak Alvin hanya untuk mempelajari benda elektonik itu.
“Mau nggak de?”
“Aku akan memikirkannya kak”
Kak Sivia dan Kamami mendekatiku, mereka tersenyum seraya menatap kak Rio, kak Sivia mengelus pundakku.
“Ya, sebaiknya kau belajar dengan Alvin. Ia mahir memainkan keyboard. Bahkan lebih ahli daripada Patton.” Kata kak Sivia.
“Sahabatku tak mungkin mengecewakanmu Dea” kata kak Rio mulai meyakinkanku.
“Oh iya, yo. Kamu ngapain disini?” Tanya kak Sivia.
“Hehe, aku mau ambil gitarku yang tertinggal kemarin. Hanya itu, tapi ternyata aku menemukan lebih dari yang kuinginkan”
“Maksudmu?”
“Pacar Iel! Hahahahaha!”
Kak Sivia memukul pundak kak Rio, karna ia malu. Mereka bertiga tersenyum, tapi aku bingung, cemas. Atau apapun yang dapat menggambarkan ketakutan seorang yang tak mau menyakiti sahabatnya sendiri.
“Jadi bagaimana de? Kau mau belajar dengan Alvin?” Tanya kak Rio lagi.
“Aku.. ehem”
Kamami merangkulku, dan berbisik padaku.
“Ikuti isi hatimu sayang, jika ini memang bukan terbaik untukmu. Kau tak usah berkata iya”
Kata-kata Kamami cukup menenangkanku, aku mulai berfikir keras. Berperang dengan 2 pilihan. Sahabat dan .. adik kembar kak Cakka. Dan ku putuskan.
“Terimakasih kak, lebih baik aku menjadi pemain piano saja. Hehe”
Itulah jawabanku kawan, karna kini aku hanya ingin membahagiakan sahabatku. Dan satu alasan lagi, kini aku hanya menunggu waktu untuk menyusul penyelamat hidupku.
Deg .. deg
Jantungku mulai berirama tenang, aku bisa merasakan adanya kak Cakka di dekatku. Ia memang selalu bersamaku.
---
Alvin menatap Dea dari balik pintu ruang music, ia tersenyum tipis mendengar pernyataan Dea. Tapi ia juga tak bisa menerima keputusan Dea, itu agak tak masuk akal. Dea mempunyai potensi besar untuk memainkan berbagai instrument macam piano dan lainnya. Kenapa ia tak mau di ajarinya? Pasti ada satu alasan kuat, Dea menolak tawaran Rio. Pikir Alvin.
Tangan Alvin memegangi dadanya, ia merasakan jantungnya berdetak sangat teratur, dan anehnya. Ia hanya menemukan kejadian ini ketika ia berada di dekat Dea. Hanya karna Dea.
“Kak, apakah putrimu itu adalah Dea? Kalaupun bukan, apa kau mau memberikan perasaanmu pada Dea? Apa kau ikhlas membiarkanku memakai jantungmu yang telah bersatu dengan hatiku untuk menyayangi Dea, bukan putrimu?”
---
Karna aku yakin, kak Alvin adalah adik kak Cakka. Aku ingin menanyai semua tentang kak Cakka padanya. Hanya itu, tak lebih.
‘Bukk’
Sebuah bola basket menimpa kepalaku, sangat sakit.
“Eh, Dea. Kamu nggak apa-apa?” Tanya Kamami yang sedang berjalan disampingku.
“Nggak apa-apa kok mi” kataku bohong.
“Hei! Siapa yang sudah melempar kepala Dea dengan bola basket!?” Teriak Kamami.
Ku dengar, langkah sepatu yang cukup kukenal. Karna saat aku mendengar langkah itu pertama kali, aku langsung menghapalnya, trauma hebat kualami saat itu. Langkah 3 anak yang telah memotong rambutku.
“Kami” kata Keke seraya menatap Kamami tajam.
“Mau kalian apa?” Kamami maju selangkah, demi melindungiku.
“Kami hanya mau berurusan dengan Dea” kata Silvi.
“Apa salah Dea?” Tanya Kamami lagi.
“Yang pasti, sangat besar. Dan tak ada urusannya denganmu” kata Aren.
“Dea adalah sahabatku, dan semua urusannya adalah urusanku!” Seru Kamami, aku ingin mencegahnya berurusan dengan mereka, tapi kepalaku saat ini sangat sakit.
“Kau ini sangat mengesalkan!” Bentak Keke.
“Jika kalian mau mengganggu Dea, hadapi aku dulu!”
“Sil, ambil bola basket itu. 3 lawan 1. Jika kau kalah, kau tak boleh menjadi sahabat Dea. Selamanya” kata Keke.
Kamami dan aku langsung terdiam, dan saling pandang. Aku menggeleng pada Kamami, aku takut Kamami menyanggupi tantangan Keke.
“Aku, akan, menjadi, sahabat, Dea, untuk, SELAMANYA” Kamami mengucapkan itu dengan penuh keyakinan, setiap kata yang ia ucapkan merasuk ke tubuhku hingga membuat seluruh organnya mati seketika, pandanganku mulai pudar, kakiku tak bisa digerakan. Bahkan seluruh bagian tubuhku tak bergerak. Karna, Kamami adalah sahabatku. Selamanya. Bahkan jika aku sudah berbeda dunia dengannya. Kami tetap sahabat, Selamanya.
---
“Pertandingan itu sangat seru, kau menyesal tak melihat gadis berkerudung itu bermain sendirian. Dan mengalahkan tiga anak yang sangat ambisius itu”
Perkataan itu jelas ku dengar, saat jantungku mulai normal dan kesadaranku sudah 90 % kembali, air mataku meleleh lagi ketika aku membuka mata. Dan mendapat kabar bahwa Kamami bisa mengalahkan Keke dkk. Aku tak menyangka Kamami bisa bermain basket dengan mahirnya, dan ia tetap menjadi sahabatku selamanya.
“Hai, kau anak yang barusan bertanding khan? Mau menjenguk temanmu yang pingsan ya?”
“Iya kak, terimakasih ya sudah menjaga Dea”
Itu suara Kamami, aku melihatnya. Kerudungnya agak kumal, mungkin ia banyak jatuh saat pertandingan tadi.
“Dea, kau sudah bangun?”
“Iya mi, ku dengar. Kau menang?”
“Ahaha, kau tak usah memikirkan hal itu dulu, yang penting. Kau harus sehat dulu”
“Aku ingin kau menceritakannya mi”
“Ayo, kita pulang dulu. Aku akan memboncengmu hingga rumah Bunda.”
“Kau sahabatku selamanya?”
“Ya, pasti.”
Aku senang mendengarnya Kamami, aku sangat senang.
Tangannya menggapai pundakku, membantuku untuk bangun. Lalu ia menuntunku menuju lapangan parkir, mengambil sepeda dan memboncengku penuh kasih sayang. Menuju istana kami.
---
Setelah mengantarkan Dea ke UKS. Kamami diajak Keke dkk menuju lapangan basket luar, semua anak memperhatikan gerak-gerik mereka, Kamami mengepalkan tangannya erat, ia memandang benci pada ketiga anak antagonis yang siap menerkamnya apapun yang terjadi. Tak pernah Kamami membenci orang lain, tapi ini berbeda. Mereka mengganggu sahabatnya, yang seminggu dua minggu terakhir telah menyapa hatinya dengan kasih sayang. Dan ia takkan membiarkan siapapun menyakiti sahabatnya.
“Ingat, 1 lawan 3. Kau kalah, pergi dari kehidupan Dea untuk selamanya”
Kamami menatap tajam Keke, ia sibak kerudungnya yang menjulur. Kebelakang. Tanda ia menyanggupi tantangan Keke.
“Dan jika aku menang, kalian bertiga tak boleh mengganggu Dea sekecil apapun perbuatan itu!”
Keke dkk mengangguk setuju, karna mereka yakin. Mereka bisa mengalahkan Kamami yang hanya seorang diri.
“Ayo, kita mulai!”
Bola pun dilempar, tanda pertandingan dimulai. Sebenarnya Kamami sama sekali tak mahir memainkan bola orange itu, tapi demi sahabatnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga. Oliv yang mengetahui hal itu langsung berlari menuju kelas Obiet.
“Kak Obiet! Kamami kak!”
“Ada apa dengan Kamami liv?!”
“Kamami bertanding basket 3 vs 1 dengan Keke dkk!”
“Untuk apa Kamami bertanding seperti itu?”
“Mungkin ini ada hubungannya dengan masuknya Dea ke UKS kak”
Obiet pun geram, ia pun berlari menuju lapangan basket disusul Patton dan Iel, sedang Alvin dan Rio, mereka menuju UKS menemui Dea.

Obiet terpaku melihat Kamami yang jatuh bangun akibat permainan kasar Keke dkk. Dilihatnya, sikut Kamami yang terbalut seragam berdarah, membuat Obiet bergetar hatinya. Cemas.
“Kamami!” Panggil Obiet, menghentikan permainan itu.
“Kembalilah! Jangan kau hadapi 3 gadis berandal itu!” Kata Obiet.
Kamami tersenyum tipis, dan meletakan tangannya di dadanya. Seolah mengatakan suatu hal pada Obiet melalui hatinya.
“Ini demi sahabatku kak”
“Janganlah kau paksa”
“Sahabat selamanya”
Kamami kembali ke permainannya, entah berapa luka memar akibat adu siku dengan ketiga anak yang telah merenggut kebahagiaan Dea lewat rambutnya. Dan memang sebenarnya Kamami sudah tahu tentang pemotongan rambut Dea, ia tahu dari semua gerak-gerik Dea, saat Dea ingin menjauhi Rio, dan ketika ia sangat terkejut sekelas dengan Aren.
Waktu pertandingan hanya dipatok 45 menit saja, dan keluarlah Kamami sebagai pemenangnya, teriakan untuk Kamami bergema, Obiet pun berlari dan langsung memeluk Kamami sejenak, membuat teriakan anak-anak semakin bergema.
“Aku takkan membiarkanmu tersakiti oleh siapapun”
Kamami tersenyum, dan berpaling dari Obiet. Ia menatap Keke dkk yang kalah.
“Sebaiknya kalian tepati janji kalian”
Keke dkk pun berlari meninggalkan Kamami.

Alvin bersama Rio masuk kedalam UKS, melihat keadaan Dea.
“Aku begitu menyayanginya vin”
“Kenapa yo?”
“Karna ia gadis beribu cinta, seperti yang pernah kau katakan”
Alvin terdiam.
“Bantu aku vin.”
“Bantu apa yo?”
“Bantu aku menjaganya”
Alvin tetap diam. Rio langsung merangkul sahabatnya, dan mengajaknya keluar. Demi tak mau mengganggu Dea.
“Aku juga punya sebuah amanah dari kak Cakka yo, walaupun mungkin. Dea bukan putri kak Cakka, tapi..” kata Alvin dalam hati, dan tersenyum tipis mengingat Cakka.
---
Senyuman, hanya itu yang kini bisa ku suguhkan hangat untuk sahabatku selamanya ini. Dan aku sekarang menemukan kenyataan bahwa abadi itu ada. Yaitu Sahabat. Kamami menuntunku berbaring di tempat tidur. Ia terus bercerita sepanjang perjalanan tadi, membuat aku harus meminta maaf pada kak Cakka.
“Maaf kak, untuk saat ini aku tak bisa menemanimu.”
---
10/Desember/2021-pagi. 7.30 WIB.
Musim hujan memang sudah mulai menghadapi keusaiannya, ingatanku masih tertata apik dalam otakku. Semua sudah kurekam, dimulai dari test masuk itu, hingga 11 tahun berlalu. Semua ku tulis di laptop pemberian Bunda, dan kini aku ingin membuat riwayat pengalamanku. Sebelum akhirnya aku harus menyusul sosok itu. Kak Cakka. Ok, akan kulanjutkan saja kejadian yang membuatku harus dan pasti menjadikan Kamami sebagai sahabatku selamanya.
---
Kubuka mataku, sejuk terasa menerpa wajahku akibat angin suhu hujan itu. Kini kupandangi angan-angan, dan merasakan angan-angan yang nyata. Kasih sayang yang selalu setia di dalam hati.
“Pagi Dea, bagaimana keadaanmu?”
“Baik njel, sangat baik malah”
“Kau dan Kamami memang takkan terpisahkan”
“Iya, semoga saja njel, kau juga sahabat kami kok”
Angel hanya mengangguk dan mengambil baju seragamnya, menuju kamar mandi. Kulangkahkan kakiku pasti menuju almari Angel. Aku baru ingat, kotak musikku terbawa di tas Angel tempo lalu.
“Angel, aku ingin mengambil kotak musikku di almarimu, boleh khan?”
“Hemhem”
Deheman itu kuanggap adalah persetujuannya, lagipula ada Kamami yang sebagai saksi mata bahwa aku tak mencuri apapun dari almari Angel.
“Sudah ketemu barangnya de?”
“Sudah mi”
Tak sengaja ketika hendak menutup lemari, lenganku menjatuhkan sebuah benda lain, seperti satu set kamera dan hasilnya.
“Hah?!”
Aku setengah berteriak melihat hasil potretan itu, karna apa?
“Ada apa de?”
Kamami mendekatiku, tapi matanya juga langsung melotot melihat benda yang kupegang.
“Angel mi..”
“Kau dan kak Rio pada malam itu.”
“Tapi ini mustahil mi, untuk apa Angel memotretku?”
“Keke, apa mungkin ini ada hubungannya dengan anak itu?”
Kamami menelan ludahnya sendiri, dan berpandangan denganku. Kami berdua langsung berfikir cepat dan mencari hal lain yang mungkin ada hubungannya dengan foto-foto ini.
---
Dibawah showernya, Angel menepuk pipinya yang agak kurus akibat tinggal di Jakarta. Ia teringat ucapan Keke beberapa hari lalu padanya.
“Kami bisa membuat kak Alvin menjadi milikmu, asalkan kau mau menjadi mata-mataku”
Dan har I itu, ia resmi menjadi teman Keke secara backstreet. Sebenarnya ia tak mau, tapi Angel inggin Dea bisa iri padanya. Bukan ia saja yang iri pada Dea.
---
Selesai mandi, Angel pun berjalan santai menuju kamar, dan dihadapannya. Kamami dan aku menatap Angel tajam.
“Kalian berdua kenapa? Tak biasanya.”
“Kami takkan biasa, jika sahabat yang kami percayai ternyata sudah mengkhianati kami” Kamami angkat suara.
“Maksudmu apa mi?”
“Apa maksud foto ini?”
Tenggorokan Angel langsung seperti tercekat, ia membelalakan matanya saat menatap 2 gambar ku bersama kak Rio sudah tersentuh tanganku.
“A..aku”
“Ada apa njel?” Tanyaku.
“Maaf, aku tak bisa menjadi sahabat kalian lagi”
“Tapi kenapa njel?” Tanya Kamami.
“Karna aku ini egois, aku tak ingin kalah darimu Dea! Atau kau, Kamami!”
Keadaan mendadak hening, aku merasa persahabatan kami diuji mulai dari kejadian ini.
“Kau tak ingat perjuangan untuk mendapatkan persahabatan ini njel?” Tanya Kamami halus.
Aku tahu maksud Kamami, kulanjutkan perkataannya.
“Saat 100 soal itu disuguhkan untuk kita, 4 pelajaran ujian Nasional santapan kita. Pengumuman menyakitkan yang kuterima. Saat sahabatku tak bisa menemaniku. Awal ku berfikir, takkan ada sahabat seperti Lintar. Tapi pikiranku salah njel, aku menemukan kalian. Kamami, kau, Debo, dan Kiki”
“Saat aku harus melukai tanganku dengan pecahan kaca, demi menghidupkan cahaya bintang Debo, demi menyatukan persahabatan kita.” Kata Kamami.
“Saat aku harus melawan rasa sayangku pada kak Alvin, demi menyelamatkan persahabatanku denganmu.” Kataku.
“Langkah demi langkah kita hadapi bersama njel” kata Kamami.
“Kau adalah sahabat kami” kataku.
Hatiku berdesir, aku sangat cemas kawan, karna aku tak mau kehilangan sahabatku. Angel. Angel terus menunduk, kenyataan ini ada didepan mata. Lalu ia tersenyum dibalik perasaannya yang tersayat halus.
“Dosa apa yang kulakukan? Aku begitu bodoh, iri pada dua sahabatku. Termakan omongan Keke. Aku. Aku sangat bodoh, karna aku rela melepas dua sahabat terbaikku.”
Angel masih mencoba untuk tersenyum, tapi senyum indahnya tertelan tangisnya, ia terduduk. Kedua tangannya menyentuh lantai, air mata hangat masih menetes sehingga tercipta bintik-bintik air di lantai berkarpet coklat itu.
Kamami dan aku mendekatinya, mengelus rambut sahabat kami penuh kasih sayang, kini hatiku makin utuh. Karna sahabat-sahabatku telah kembali. Dan kami akan menjadi sahabat selamanya.



Chapter 16
Believed

Air mata sepertinya tak berharga untuk beberapa orang di dunia ini, tapi menurutku, air mata adalah segala-galanya. Karna aku merasa satu tetes air mata yang ku jatuhkan, adalah ungkapan perasaanku. Akan cinta dan persahabatan yang akan selalu ku pegang teguh selama-lamanya.
Hingga sebuah kenyataan itu akan menemuiku, saat jiwa ini sudah rapuh bersama ragaku. Aku ikhlas Tuhan, jika air mataku kau keluarkan untuk semua orang kau kasihi, tapi aku tidak ikhlas, jika Engkau jatuhkan air mata orang-orang yang kau kasihi hanya untukku, aku sama sekali tak ikhlas. Biarkan mereka tersenyum untukku, karna senyuman itu. Adalah energi terbesar di hatiku. Akan kudekap tawa itu, ketika perasaanku sudah tak tertahan lagi. Tak tahan untuk terus menyayangi mereka.
Aku ingin mereka bahagia didekatku, izinkan aku Tuhan. Izinkan aku untuk membuat mereka terus tersenyum padaku, izinkan aku untuk terus melihat wajah mereka yang berseri bagai matahari. Izinkan aku memberi seperti yang dikatakan Kamami. “Tinta putih di hidupmu yang hitam.”
---
Pagi esoknya, detak jantungku sangat teratur, apalagi ketika Angel merangkulku dengan penuh kasih. Ia tersenyum padaku, dan berkata.
“Kau dan Kamami adalah 2 hal yang sangat tak ternilai harganya di hidupku, jika Tuhan mau mengizinkan padaku, aku ingin terus menemani kalian. Bahkan jika aku sudah memiliki pendamping hidupku sendiri.”
“Aku juga akan berdo’a sama sepertimu njel.”
Kamami, Kiki, dan Debo mengeluarkan tiga sepeda pemberian Bunda, kali ini aku ingin membonceng Angel, Angel senang bukan main, dan ia langsung naik di tempat duduk penumpang belakangku, pagi ini aku ingin menjadi supir pribadi sahabatku. Kamami naik sendiri, sedang Kiki bersama Debo. Kamami, aku, dan Angel tersenyum bersama. Seraya menikmati udara dingin kota Jakarta yang langitnya dihiasi lukisan awan-awan kelam.
Kami melaju dengan perasaan yang benar-benar tenang. Syukurlah Tuhan. Kau telah membangkitkan jiwaku kembali.
---
Obiet mengenakan setelan seragam baru yang ia beli kemarin, bersama adiknya Kamami. Sebuah ketukan halus menyadarkannya bahwa ia harus cepat sarapan dan berangkat sekolah.
‘tok-tok-tok’
“Anakku, ayo sarapan. Nanti kau terlambat,” kata suara lembut itu, suara Mama Obiet.
Obiet cepat membenarkan dasinya, lalu mengambil tasnya. Barulah ia berjalan tenang menuju sumber suara.
“Iya, Ma. Obiet sudah siap kok, tinggal sarapan lalu berangkat.”
“Ayo sayang, Mama membuatkan bubur ayam kesukaanmu.”
Mama Obiet merangkul Obiet penuh kasih sayang, ia mengecup kepala Obiet halus, Obiet bisa merasakan cinta Mamanya merembes hingga pikirannya. Tapi pikiran itu langsung ia hapuskan ketika ia mengingat Kamami. Apakah adiknya juga mendapat kasih sayang seperti yang ia dapatkan? Jika iya, Obiet akan semakin menyayangi Mama juga Papanya. Tapi jika tidak, mungkin Obiet akan mencoba untuk membujuk kedua orang tuanya untuk menerima Kamami kembali ke keluarganya.
Obiet dan Mamanya berjalan perlahan menuju meja makan, di sana sudah ada Papa Obiet, seorang lelaki yang dikagumi juga dibenci Obiet. Kagum karna lelaki itu sudah bertanggung jawab akan kehidupannya bersama keluarga. Benci karna lelaki itu orang yang membenci Ibunda Mama, alias Oma Obiet yang saat ini tinggal bersama Kamami. Obiet sebenarnya ingin tahu alasan Papanya ini membenci Oma, apa karna Oma tak mau merestui hubungan Papa dan Mama? Tapi semua itu sangat tak masuk akal, bagaimana bisa seorang anak membenci Ibunya sendiri? Walau ikatan antara keduanya menantu dengan mertua, tapi alamiahnya. Papa tetap anak Oma. Atau, apa karna Papa tak menyukai anak perempuan? Kalau itu alasannya, Obiet akan membela Kamami habis-habisan, ia takkan melepas lagi adik kandungnya itu.
Itulah yang kini ada di pikiran Obiet saat ia menatap Papanya, selalu saja begitu.
Obiet duduk berhadapan dengan sang Mama, suasana rumah Obiet sangat tenang. Walau ada banyak pelayan di rumah ini, semua menjaga ketenangan majikan. Obiet hidup bagai Pangeran yang sesungguhnya. Belum tentu teman-teman PRINCEnya mendapat hidup seperti Obiet, dan mempunyai kedua orang tua yang senantiasa mendampingi Obiet. Tapi tetap saja Obiet tak bisa merasa bahagia, jika Kamami belum mendapatkan semua yang ia miliki.
“Obiet, ini buburnya,” kata Mama Obiet seraya menyerahkan sepiring bubur ayam kesukaan Obiet.
“Terimakasih mam”
“Obiet, baju seragammu baru?”
“Iya mam, aku membelinya kemarin”
“Dengan uangmu sendiri?”
“Iya mam”
“Anak yang baik.” Gumam Papa, membuat Obiet agak tersipu.
“Ya…”
Obiet tak bisa berkata apa-apa, karna saat ini ia merasa sangat canggung dengan orangtuanya. Ia merasa jauh dengan mereka semenjak kedatangan Kamami ke Jakarta. Obiet merasa lebih nyaman bersama Kamami ketimbang bersama orangtuanya.
“Mam, Pap.” Panggil Obiet, menghentikan gerak kedua orangtuanya.
“Ada apa sayang?” Tanya Mama.
“Obiet ingin mengatakan hal yang penting, tapi tolong jangan marah”
“Kami takkan marah sayang, katakanlah” kata Mama.
“Apa kalian ingat dengan Rahmi?”
Obiet memanggil Kamami dengan nama aslinya, karna kedua orang tuanya tak pernah tahu akan nama Kamami.
“Rahmi? Kami tak yakin mengenal nama itu,” kata Papa.
“Bukan kami, tapi hanya kau pap,” kata Obiet seraya memandangi Mamanya yang terbingung-bingung.
“Rahmi, anak itu. Apakah ia baik-baik saja…” lirih Mama, matanya berkaca-kaca.
“Mama masih ingat Rahmi?” Tanya Obiet sangat bersemangat.
“Ya, ia anak perempuan satu-satunya yang Mama sayangi.”
“Anak itu lebih memilih Bundamu lis, mana mungkin kau masih menyayanginya? Jelas-jelas Bundamu sudah meracuni pikiran Rahmi untuk ikut bersamanya.”
“Ya, mungkin Rahmi memang lebih menyayangi Omamu biet”
“Sejak lebih dari 6 tahun, aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi aku tahu, Ia tak pernah sedikitpun berfikir, kenapa ia tak ditahan saat Oma menariknya ke Medan. Ia tak pernah berfikir, kenapa kedua orangnya tega untuk membiarkannya kesepian, dan ia tak pernah berfikir, bahwa kedua orangtuanya tak pernah menyayanginya.”
Papa dan Mama Obiet serentak memperhatikan Obiet yang terus menunduk, Mama tak bisa menahan air matanya, air mata yang amat berharga itu luluh lantah menyentuh pakaian mahalnya. Papa meletakan garpu dan sendok yang sejak tadi ia pegang, dan ikut menunduk. Ia sangat geram, bukan pada keadaan ataupun pada Obiet. Ia geram pada dirinya sendiri, karna ia tak mau jujur. Jika dirinya sangat merindukan Kamami.
“Darimana kau tahu semua itu nak?” Tanya Papa.
“Aku tahu karna aku selalu berhubungan dengannya pap, dan kini ia sudah berada didekatku.”
“Didekatmu?” Tanya Mama ragu.
“Ya, sangat dekat. Ia bersekolah di Jakarta, Mam, Pap.”
“Dimana biet? Dimana?” Mama sangat antusias menanyakan Kamami.
“Di Smp Betha Melody.”
Hati Papa Obiet bergetar, ia merasa kerinduan, kebencian, dan buruk sangkanya pada Kamami runtuh, hancur lebur menjadi serpihan-serpihan batu yang pada akhirnya menjadi pasir halus yang akan hilang di terpa angin. Ia merasakan perasaan tenang luar biasa, begitupun Mama Obiet. Ia terus menangis, karna ia sangat rindu memeluk Kamami.
“Pertemukan Mama dan Papa dengannya nak!” Kata Mama.
Obiet menggeleng,
“Ini belum saatnya Mam”
“Kenapa nak?” Tanya Mama lagi.
“Biarkan Rahmi tenang dengan hidupnya di Smp BM, jangan ganggu adikku dulu.” Kata Obiet penuh benci, karna ia sangat benci jika kedua orang tua yang angkuh ini dengan gampangnya menemui Kamami dan melimpahkan rasa cinta keduanya pada Kamami. Ia ingin, hanya dirinya yang berada disamping Kamami saat ini, hingga Kamami siap untuk bertemu dengan Orangtuanya lagi.
“Kenapa harus begitu nak? Bukankah Rahmi akan senang jika bertemu kami?” Tanya Mama.
“Aku harap, kalian berdua mengerti yang kukatakan barusan.”
“Obiet!” Papa Obiet berteriak dengan penuh amarah.
Obiet pun berdiri dengan tenang, tanpa sedikitpun takut pada Papanya yang marah.
“Jangan pernah kau membawa anak itu ke rumah ini!”
Mata Obiet dan Mamanya langsung membesar karna sangat terkejut, tas yang di bawa Obiet seketika jatuh tak berdaya. Obiet diam mematung, begitupun Mamanya.
“Kenapa, Pap?!” Protes Mama.
“Anak itu sudah punya kehidupan sendiri. Buktinya ia bisa sekolah di Smp elite itu.”
“Asalkan Papa tahu, Kamami bersekolah di sana karna beasiswa! Ia terus berlajar, untuk apa? Untuk mengejar impiannya, menjadi musisi terkenal. Dan bertemu dengan keluarga yang pernah meninggalkannya!”
Setelah gertakan Obiet barusan, semua hening. Hanya suara sesenggukan Mama Obiet yang sedikit terdengar. Papa berdiri, dan menampar pipi Obiet hingga Obiet tersungkur dengan mulut mengeluarkan darah. Mama Obiet sedikit menjerit, dan bersamaan dengan itu. Kamami yang bersepeda sendiri merasa pikirannya terganggu, keseimbangannya hilang dan akhirnya sepedanya oleng. Lalu menabrak tiang lampu dekat Taman Prisma Bintang.
“Aku sangat menyayangi Kamami!” Seru Obiet dan langsung mengambil tasnya lalu berlari meninggalkan keheningan itu.
---
Kamami terjatuh, dan kakinya terkatuk batu. Aku dan yang lain langsung menolongnya. Ku lihat darah segar keluar dari kaki Kamami, Angel memekik pelan dan langsung mengambil handphone, sepertinya ia ingin menelpon seseorang, aku menahannya.
“Jangan njel, kita saja yang menangani Kamami, ayo antar Kamami ke sekolah,” saranku. Semua setuju dengan saranku, kami pun mengantar Kamami ke sekolah lalu kami langsung menuju poliklinik sekolah.
“Sekarang Debo dan Kiki sebaiknya melaporkan ke kelas Angel dan aku, katakan kami sedang mengurus teman kami yang kecelakaan.” Kataku.
“Baik!” Seru Debo dan Kiki besamaan.
Saat ini sekolah masih sepi, pengurus UKS pun baru seorang yang datang. Ia kak Ify, kak Ify langsung menangani kaki Kamami yang cukup banyak mengeluarkan darah. Aku dan Angel tetap menunggui Kamami, hingga kak Ify selesai membalut dengkul Kamami.
“Kakinya terluka cukup dalam, benturan yang diakibatkan kejadian tadi mebuat tulang kaki Kamami sedikit retak, tapi tidak apa, 4-5 hari juga retakan itu sembuh. Asal Kamami bisa menjaga aktivitasnya.”
“Terimakasih kak” kataku dengan Angel bersamaan.
“Iya, sama-sama. Aku keluar dulu ya. 10 menit lagi bel.”
“Sekali lagi, terimakasih kak” kata Angel.
Kak Ify mengangguk dan meninggalkan kami bertiga. Angel dan aku langsung menemui Kamami yang senyum-senyum.
“Dih, kami khawatir kenapa kamu masih bisa senyum-senyum?” Tanya Angel, aku hanya tersenyum.
“Masa’ hari ini aku nggak masuk sih? Hanya terkatuk batu biasa.” Kata Kamami santai.
“Woo, nggak bisa begitu dong mi, kakimu harus membaik dulu. Minimal sehari ini kau harus terus tidur. Hari ini kami akan menemanimu, jadi kami izin tak masuk.” Jelasku.
“Benarkah? Heuh, jika kalian tak masuk. Siapa yang mencatatkan materi hari ini? Kalian sekolah saja sana” kata Kamami.
“Bagaimana denganmu mi?” Cemas Angel.
“Aku akan pulang diantar Bunda.”
“Sebaiknya dengan kak Obiet” saranku.
“Jangan de, sebaiknya kak Obiet jangan tahu dulu. Jika ia menanyakanku, katakan padanya bahwa ia boleh menemuiku pulang sekolah nanti”
Kamami memang anak yang mengagumkan, ia sama sekali tak mau merepotkan orang lain. Berbeda denganku yang hanya bisa menyusahkan orang disekitarku.
“Kalian harus memegang kepercayaanku ini, I Believe you, guys.”
“Baik, kami akan memanggil Bunda untuk mengantarmu” kata Angel. Aku menggandeng tangan Angel menuju ruang guru.
---
Obiet berjalan menuju kelasnya dengan perasaan tak keruan, beberapa anak yang berpapasan dengannya langsung menanyai sebab pipi Obiet yang memar. Seperti yang dilakukan Oik saat ia menghadang Obiet.
“Pagi kak Obiet, lho? Kenapa pipimu?”
“Pagi juga ik, nggak apa-apa kok”
“Bohong ya, memar begitu dibilang nggak apa-apa. Heuh”
“Haha, yasudahlah.”
“Sini kulihat dulu kak”
“Benar, aku nggak apa-apa. Kamu lihat Kamami?”
“Kamami? Aku belum melihatnya kak, tapi tadi kulihat Dea sudah masuk kelas”
“Dea nggak sama Kamami?”
“Nggak kak”
“Yasudah, makasih ya”
Obiet langsung berlari menuju kelas 7F.
---
Aku hampir terlambat masuk kelas, kelas pun sudah ramai, hanya beberapa bangku yang masih kosong. Aren menatapku tajam, sepertinya ia sangat membenciku, sebenarnya kesalahanku apa sih ke Aren dan teman-temannya itu? Lama-lama aku kesal juga, tak kutanggapi tatapan matanya. Dan ku sapa Agni.
“Pagi Agni.”
“Pagi de, Kamami mana?”
“Kamami sedang sakit.”
“Sakit apa?”
“Tadi ia menabrak tiang lampu saat bersepeda. Hihi”
“Dasar anak itu, tidak hati-hati.”
“Doakan saja Kamami cepat sembuh”
“Amin..”
Ku tepuk pundak Oliv yang sedang sangat serius mengobrol dengan Ray.
“Eh, Dea. Aku nggak sadar kamu udah datang. Kamami dimana?”
“Haha, serius banget ngobrol sama Ray.. hihi, Kamami sakit, tadi tertabrak tiang lampu”
“Idih, dasar! Hehe, tadi pagi tertabraknya?”
“Iya”
“Nggak hati-hati banget tu anak”
“Doain aja deh liv, Gaby mana?”
“Tadi sih ke kamar mandi.”
“Ok,”
Baru saja mengobrol sejenak, kak Obiet memanggilku. Benar dugaan Kamami, kak Obiet akan menanyakan keberadaannya. Aku langsung keluar menemui kak Obiet.
“Kamami kemana de?”
“Tadi Kamami tertabrak tiang lampu kak, tulang kakinya sedikit retak. Mungkin pulih 4-5 hari lagi”
“Hah?! Kamu bawa kemana?”
“Ke UKS kak. Tapi baru saja diantar pulang oleh Bunda”
“Aku akan menyusulnya”
“Eits kak, kata Kamami. Kak Obiet baru boleh menemuinya pulang sekolah nanti, nanti Kamami marah lho kak”
“Begitukah?”
“Iya kak”
“Yasudah, terimakasih ya de. O iya, mau Tanya satu hal lagi, apakah Kamami sudah mulai menyukai seseorang?”
Aku diam terpaku mendengar pertanyaan kak Obiet, seingatku selama ini Kamami hanya bilang, bahwa anak lelaki yang ia sayangi hanya kak Obiet. Kata Suka dengan Sayang itu sama nggak ya? Heum..
“De?”
“Eh, iya kak. Kamami tak pernah menyebut siapapun kecuali kakak.”
Senyum kak Obiet terurai lebar, perasaannya langsung senang bukan main, dan tak biasanya pipinya me-merah rona karna malu. Kenapa harus malu disayang adik sendiri? Dasar kak Obiet.
“Syukurlah,” gumam Kak Obiet, tapi aku masih bisa mendengarnya. Kenapa ia bersyukur? Oh mungkin karna kak Obiet bahagia adiknya juga menyayanginya.
“Pulang sekolah nanti, PRINCE akan main ke rumah Bunda, pulang bareng ya!”
“Iya kak, dengan senang hati”
Kak Obiet pun berlalu, meninggalkanku yang penuh tanda Tanya akan sikapnya.
---
Aku merasa sangat bosan hari ini, pelajaran Bahasa Inggris yang kusukai pun seperti hanya angin lalu dimataku. Ada apa ini? Apa karna Kamami tak ada disampingku? Wah-wah, syndrom sahabat sih ya. Dan karna aku sudah sangat bosan, aku pun minta diri untuk ke kamar mandi. Menyegarkan wajahku yang mungkin kini cukup kusam juga kusut.
Aku berjalan agak cepat, karna walaupun aku bosan. Aku tak boleh tertinggal pelajaran, catatanku akan dibawa Kamami nantinya. Tapi sesampainya di kamar mandi, sebuah tangan mendekap hidungku, membuatku lemas dan akhirnya … pingsan.
---
Keke tertawa puas melihat gadis dihadapannya tersungkur lemas tak berdaya, Silvi pun begitu. Ia tertawa paling licik, sedang Aren hanya tersenyum licik. Ketiga orang itu terus memandangi kemenangan mereka. Meremehkan gadis berkerudung yang melawan mereka tempo lalu, karna sekarang Kamami tak ada di sekolah, jadi tiga orang itu bisa mengerjai Dea habis-habisan.
“Dasar gadis Desa yang takkan pernah sukses di Jakarta.” Kata Keke.
“Ya benar, ia terlalu banyak mengkhayal” kata Silvi.
“Mau dibawa kemana gadis ini ke?” Tanya Aren.
“Ke gudang lah, tempat itu selalu sepi.” Kata Keke, ketiga orang itupun mengangkat tubuh Dea menuju gudang.
Sessampainya di gudang, mereka langsung melemparkan tubuh Dea ke tumpukan kardus-kardus bekas, sekali lagi mereka tersenyum licik lalu meninggalkan Dea dengan pintu gudang yang dikunci.
---
Nafasku terengal karna sekapan tangan biadab itu, sebenarnya siapa yang sudah membuatku sampai pingsan begini? Aku takkan melepas orang yang berbuat hal ini padaku, aku bukanlah Dea yang lemah lagi. Dan aku yakin orang itu adalah Keke bersama kawan-kawannya. Dasar 3 orang yang tak pernah punya hati. Sekarang aku harus keluar dan berbuat perhitungan pada 3 anak itu, tapi.. hah?! Aku disekap di dalam gudang! Ya Tuhan, tolong aku..
Aku terus menggedor pintu gudang, supaya ada orang yang mendengar pukulan-pukulanku, ya Tuhan. Tolong aku, di sini sangat gelap. Banyak kecoa yang sangat kubenci. Tuhan, aku sangat takut. Aku takut, sudah hampir 10 menit memukul-mukul pintu gudang, tapi hasilnya nihil. Gudang memang terletak cukup jauh dari gedung sekolah, tapi apakah tak ada orang yang lewat sini? Apa aku takkan bisa keluar? Akankah aku berada di sini hingga ajalku tiba? Tuhan, aku ingin bertemu Kamami, kak Rio, Angel, kak Alvin, kak Obiet, kak Patton, kak Iel, kak Via, kak Ify, kak Shilla, kak Zeze, terutama.. Ibu.
Keadaan di sini sangat berantakan dan menyesakan nafasku, aku sudah sangat susah bernafas, jantungku makin perih terasa, ternyata penyakit itu merambat ke kepalaku. Kepalaku langsung pening, sangat pening jika aku bertambah panik. Tuhan, tolong aku.. tolong..
---
Obiet menunggui Dea di depan kelasnya, ia mengomando bahwa teman-teman PRINCE dan rumah Bunda untuk menunggunya di depan gerbang, ia ingin banyak bertanya pada Dea. Tapi hingga Oliv dan Gaby keluar, Dea tak terlihat sama sekali.
“Liv, by. Dea mana?” Tanya Obiet.
Oliv dan Gaby langsu ng saling pandang, mereka menunjukan raut wajah khawatir.
“Kami tak tahu kak, tadi tiba-tiba saja Dea menghilang.” Jelas Oliv.
“Menghilang? Bagaimana bisa?”
“Sejak istirahat tadi, kami sudah mencarinya. Tapi Dea tetap tak ada. Dea menghilang ketika ia pamit ke kamar mandi sebelum istirahat pertama” kata Gaby.
“Aduh, bagaimana ini jika Kamami tahu. Ia tak bisa beristirahat dengan tenang..” gumam Obiet dalam hati. Ia pun pamit diri dari Oliv dan Gaby, dan langsung berlari menuju gerbang sekolah.
---
“Dea mana biet?” Tanya Rio.
“Menurut keterangan Oliv dan Gaby, Dea menghilang”
“Hilang?!” Seru semua anak.
“Hilang kemana biet?” Tanya Alvin cemas.
“Aku nggak tahu vin, sebaiknya sekarang kita cari Dea saja. Daripada berlama-lama cemas” kata Obiet, semua mengangguk setuju akan usulan Obiet. Angel, Kiki, Patton, dan Iel tak ikut mencari. Dengan alasan ingin menenangkan Kamami. Sebenarnya Obiet juga ingin menemui Kamami, tapi ia lebih memilih untuk mencari Dea, agar ia bisa melihat Kamami dalam keadaan tenang.
---
“Tolong..” lirihku, suaraku sudah hampir habis, nafas pun sangat sulit. Tuhan.. tolong. Aku terus berusaha menggedor pintu, tapi tetap saja tak ada yang mendengarnya. Aku sudah sangat putus asa saat ini.
“Dea!!”
Ada suara yang memanggil namaku! Itu suara kak Rio! Ia mencariku, ya Tuhan!
“Kak Rio!!” Aku berteriak sejadi-jadinya, seraya makin semangat menggedor pintu. Detak jantungku langsung merasa tenang, sepertinya kak Cakka sedang berada didekatku.
“De? Kamu disini?” Tanya kak Rio dari luar.
“Iya kak, Dea disini..” perkataanku sudah sangat lemah, tubuhku semakin lemas. Aku sudah tak kuat lagi untuk sadar, jantungku sangat sakit.
“Kamu menjauh de, kami akan mendobrak pintu ini”
Aku menyeret tubuhku paksa, seperti suster ngesot di film-film horor. Sebuah dobrakan kencang terdengar dari pinru kayu gudang, setelah beberapa kali. Barulah kak Rio bersama 2 orang lainnya berhasil membuka pintu gudang, mataku sudah agak pudar untuk melihat kak Rio.
“De, kamu nggak apa-apa?” Tanya kak Rio panik, ia langsung mengelus jidatku. Setelah melihat dengan jelas, ternyata yang bersama kak Rio itu, kak Alvin dan kak Obiet.
“Kepalaku sangat sakit kak”
Kak Rio pun menggendongku dan mengantarku ke UKS.
---
Setelah menanganiku, kak Rio mengantarku dengan sepeda Bunda. Ku peluk erat pinggangnya, karna aku merasa seorang malaikat datang menyelamatkanku untuk kedua kalinya. Ialah penyelamat hidupku yang kedua, kak Rio.
“Kamu sudah sehat de?” Tanya kak Rio.
“Sudah lumayan kak, walau tubuhku masih sedikit lemas”
“Kamami pasti senang melihatmu de” kata kak Obiet.
“Iya kak”
Ku lirik kak Alvin yang mengendarai sepeda bersama kak Obiet sebagai supirnya, ia diam saja. Tak menunjukan kecemasannya padaku, rasa sayang memang tak usah terlalu ditunjukan, tapi aku ingin sekali kak Alvin sedikit mengkhawatirkan keadaanku, sedikit saja. Ia memang tak sama dengan kak Cakka, ia terlalu dingin.
Tak berapa lama, kami tiba di rumah Bunda, Kamami dengan susah payah langsung menyambutku, Angel ingin membantu tapi Kamami tak membolehkan Angel membantunya. Ia ingin berusaha sendiri, memelukku dalam kecemasannya.
“Aku percaya, kau akan selamat.”
“Iya mi, maafkan aku membuatmu cemas”
“Kata siapa aku cemas? Aku ini kesal!”
“Kesal?”
“Kesal karna kau seenaknya menghilang. Kau bawa pula kakakku ini.”
“Hahaha”
Kami tertawa bersama, senang sekali Tuhan. Terimakasih Tuhan, kau telah memberikan kebahagiaan ini kembali.
---
Keke menatap wajahnya di cermin, ia tersenyum tipis lalu lama kelamaan melebar, menunjukan paras manisnya pada cermin. Seakan berkata, “Siapakah yang paling cantik di dunia ini? Pasti kau akan menjawab, aku.” Keke usap peluh di pipinya, langsung ia tepuk-tepuk kedua pipinya. Agar ia sadar, itu tak mungkin terjadi. Karna ia masih kalah cantik dari Mamanya, Neneknya, maupun semua gadis Holywood di luar negri sana. Ia pun meringis kesakitan, dan ia memegangi pundaknya. Darah segar menyentuh tangan kecilnya.
“Luka sialan.”
Luka yang ada di pundaknya adalah perbuatan kakaknya sendiri, Lisa namanya. Kakak perempuan yang sangat ia sayangi, tapi Lisa adalah seorang psikopat yang dapat membunuh siapa saja yang ada didekatnya. Kedua orang tua Keke memasukan Lisa ke sebuah sel tersembunyi di bawah tanah, dan Keke selalu menangis jika melihat kakaknya menangis di dalam sel.
Keke sangat ingin mengeluarkan kakaknya, tapi tangannya selalu tersengat listrik yang menyelubungi jeruji sel tersebut, ia hanya bisa menangis bersama kakaknya, sore ini ia mengunjungi kakaknya, dan saat ia mengunjungi kak Lisa, kak Lisa sedang sangat mengamuk karna tak tahan oleh semua tekanan yang menerpanya. Kak Lisa melempar benda yang cukup tajam pada Keke. Alhasil benda itu merobek kulit pundak Keke yang halus nan indah. Tapi Keke menahan itu semua, karna ia percaya. Kakaknya selalu mencintainya, penyakit itu yang membuat kakaknya menjadi seorang iblis pembunuh. Keke akan tetap percaya pada kakaknya. Sampai kapanpun.
Keke melekatkan perban pada pundaknya, tanpa dibantu seorangpun. Karna walaupun ia ingin dibantu, ia ingin anggota keluarganya sendiri yang membantunya. Tapi itu mustahil, kedua orang tua Keke walaupun sangat sayang pada Keke, keberadaan mereka kini sulit dirasakan Keke.
Keke sebenarnya anak yang manis, tapi karna ia melihat begitu banyak penyiksaan yang dilakukan kakaknya ataupun yang dilakukan pada kakaknya, Keke menjadi anak yang sedikit psikopat juga ambisius. Ia ingin mendapat semua yang ia inginkan, agar suatu saat ia mempunyai kemampuan untuk membebaskan kakaknya. Dan jika suatu saat nanti ia bisa bertunangan dengan Rio, itu kemungkinan kuasa di rumah menjadi lebih dekat dengannya. Karna Mamanya pernah bilang, sangat menginginkan Keke mendapat pendamping hidup yang berkuasa, maka semua kekuasaan akan tercapai. Mungkin keke terlalu dini untuk memikirkan hal ini, tapi ini semua ia pikirkan demi kakaknya. Ya, demi kak Lisa.
---
Kulepas jaket yang telah lama menempel di tubuhku, lalu ku lentangkan tubuhku sambil menatap langit-langit. Kata Percaya mengiang-ngiang di pikiranku, kata yang begitu dahsyat untuk manusia biasa. Kepercayaan itu sulit didapat dan diterima. Ketika kau yakin akan mempercayai seseorang dalam hidupmu, kau harus melihat kelakuannya dulu. Baru kau akan menerima kepercayaan itu, dan ketika kau melakukan hal yang dapat diterima oleh orang lain, maka kau akan mendapat kepercayaan dari orang lain. Aku ingin mendapat kepercayaan penuh dari semua sahabatku, kepercayaan yang dapat ku pertanggungjawabkan suatu saat nanti.
Kamami dan Angel mendekatiku, mereka tersenyum lebar padaku. Aku tak mengerti dengan kelakuan mereka.
“Bagaimana rasanya dibonceng sekaligus digendong pujaan hati?” Tanya Angel meledek.
“Lho? Maksudmu pujaan hati?”
“Hihi, kak Rio lah de! Siapa lagi?!” Kamami meledekku habis-habisan.
“Idih, dasar kalian ini. Bisanya meledek saja!” Kesalku.
“Hahahahahaha” kami tertawa bersama, lalu aku teringat percakapanku dengan Kak Obiet tadi pagi.
“Kamami, kak Obiet tadi pagi menanyai hal yang aneh”
“Apa-apa de?”
“Kak Obiet bertanya padaku, apakah kau sudah menyukai seseorang atau belum.”
“Lalu kau menjawab apa?”
“Sudah.”
“Jah! Kapan aku suka sama orang lain??”
“Sama kak Obiet khan?”
“Eh..”
Kamami terdiam, sama seperti kak Obiet, pipinya merona. Seperti orang malu ketika disinggung orang yang disukai.
“Kamu juga, pipimu merona malu.”
“Ah, nggak kok de! Sok tahu!”
Ada sesuatu yang aneh pada Kamami juga kak Obiet, apakah mereka benar-benar saling menyukai? Bukankah itu tak boleh terjadi? Aku harus menyelidikinya. Jika hal itu benar, aku akan menghentikan perasaan mereka.

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini