Minggu, 26 Desember 2010

Rain from Heaven 9-10

Chapter 9
Sunset with Love

Kabar baiknya, aku tak perlu di rawat inap. Dan aku pun bisa langsung pulang setelah mengurus obat-obatku. Perjalanan pulang pun cukup menyenangkan, karna kak Alvin ada di sampingku. Huss! Aku tak boleh mengkhianati Angel, Angel adalah sahabatku. Aku tak boleh menyukai kak Alvin.
“De, nanti sesampainya di rumah bunda, aku akan mengajakmu jalan-jalan.” Tawar kak Rio.
“Boleh kak, jika bunda mengizinkan” kataku.
“Boleh khan bun?”
“Iya, tapi hanya sampai maghrib” setuju bunda.
“Yes!”
Aku tersenyum lagi, dan melirik sedikit ke kak Alvin, ia ternyata sedang memperhatikan alam luar, aku tak begitu paham kemanakah sinar mata kak Alvin. Yang pasti, ia tak serius menatap alam. Dan bisa ku pastikan, tatapannya kosong. Aku bertekad akan menjauhi kak Alvin, jika aku tetap ada di dekatnya. Aku akan semakin suka padanya. Dan itu artinya, persahabatanku dengan Angel akan berakhir konyol.
---
Sesampainya di rumah Bunda. Kak Rio dengan semangat mengambil kursi rodaku di bagasi. Aku tertawa kecil melihatnya.
“Ayo de, kita jalan-jalan menghirup udara segar!”
“Hei, khan baru sampai rumah, kita minum atau makan dulu” saran bunda.
“Nggak usah bunda, aku ingin jalan-jalan saja” kataku, kak Rio jingkrak-jingkrak mendengar ucapanku. Dasar kakak yang aneh. Ia begini hanya di depanku dan semua anggota rumah Bunda.
“Jika boleh, aku ingin mengajak Dea melihat matahari terbenam di taman Prisma Bintang bun” kata Rio.
“Boleh, tapi jam setengah tujuh malam. Kalian harus pulang” pesan bunda, kak Rio cepat mengangguk dan memegang gagang untuk pendorong kursi rodaku. Dan ia mulai mendorong kursi rodaku pelan.
“Aku ingin ikut yo” kata kak Alvin.
“Wow, nggak enak juga sih kalau hanya berdua. Boleh deh” kata kak Rio, aduh. Gawat ini, bagaimana dengan Angel? Ku lihat, ia sedang memandangiku dengan tatapan sinis. Aku tahu, ia pasti marah dengan usul kak Alvin.
“Ehem, ka..kak Alvin, aku sedang sakit, dan perlu teman curhat. Jika boleh, aku ingin berdua saja dengan kak Rio” bodoh, alasan paling tak logis yang pertama kali terlontar dari mulutku. Tapi, apa boleh buat.
“Oh, yaudah. Hati-hati aja ya sama Rio” canda kak Alvin.
“Heh, maksud kamu apa?!” Protes kak Rio.
Aku tersenyum tipis pada keputusan kak Alvin, sebenarnya aku hanya ingin jalan-jalan bersama kak Alvin untuk menanyakan, apakah ia masih ingat pertemuannya denganku beberapa tahun silam?
“Sudah sana ajak Dea” kata kak Alvin.
Kak Rio memukul punggung kak Alvin pelan, tanda persahabatan mereka yang sangat erat. Biarlah ucapan tak logis itu membuat semua serba salah, yang penting Angel tak marah padaku.

Iel membantu anak-anak panitia membereskan ruang aula untuk persiapan esok hari, acara MOS yang sesungguhnya. Iel sesekali tersenyum pada Sivia, tapi itu hanya di tanggapi biasa oleh Sivia. Tak ada sedikitpun rasa istimewa yang di tunjukan Sivia pada Iel. Tapi Iel cukup senang dengan prilaku Sivia, setidaknya masih ada senyum untuknya. Prilaku Iel ini belum bisa di bilang pendekatan. Karna Iel hanya bisa senyum-senyum pada Sivia, yang Sivia pikir itu hanya kelakuan sebagai teman biasa.
“Via, kamu tahu nggak jam berapa biasanya sunset paling indah muncul di Jakarta?” Tanya salah seorang teman Sivia, namanya Ify.
“Aku tak pernah lihat sunset di Jakarta fy, tapi menurut teori fotografi, sunset yang paling indah itu sekitar jam 18-18.30 WIB. Memangnya kenapa?”
“Riko mau ajak aku lihat sunset, katanya sih buat bahan lukisan”
“Cie. Kayaknya Riko serius sama kamu fy”
“Serius apaan? Pedekate? Idih, nggak lagi vi. Aku tahu kok cewek yang lagi dia suka. Dan lukisan sunset itu bakal di kasih buat cewek yang dia suka”
“Ya kamu lah fy”
“Ets, bukan aku nyong. Hahaha, aku tahu kok. Ehem, duluan ya.”
“Sipp, dagh”
Iel yang mendengar percakapan itu langsung bereaksi, ia jadi punya ide. Matahari terbenam pasti jadi momen yang pas untuk pengutaraan isi hatinya. Dengan sigap, ia memasang alarm pengingat di handphonenya ‘Utarakan isi hati pada Via’ begitu isi pengingatnya, yang akan ia setting setiap 15 menit sekali.
“Vi, aku tahu tempat yang bisa ilangin penat kita” kata Iel yang tiba-tiba muncul di samping Sivia.
“Eh, kamu ngagetin aku aja yel, emang dimana?”
“Ikut aku yuk!”
“Tapi aku masih ada tugas, bagian atas belum di bersihkan”
“Itu sih tugas Zeze dan Shilla, atau! Mereka menyuruhmu untuk membereskan balkon juga?!”
“Nggak kok yel, yaudah. Aku ganti baju dulu ya”
“Sipp, ku tunggu di depan gerbang ya”
“Iya”
Iel hampir tak percaya, ajakannya langsung di terima oleh Sivia. Dan sore ini, ia akan ikrarkan janji cintanya pada Sivia, di Taman Prisma Bintang.
---
Lintar rupanya sudah mempersiapkan semua persiapan MOSnya besok sejak tadi pagi, sedangkan Nova. Ia masih bingung barang apalagi yang harus di bawa.
“Nov, kamu udah siapin semua peralatan MOS untuk besok?” Tanya Lintar. Nova menggeleng dan menunjukan isyarat bingung yang mudah di baca anak Halilintar ini.
“Apa yang belum?”
Nova kembali menggeleng, Lintar sekarang sangat memahami keadaan Nova, trauma melihat kedua orang tuanya yang meninggal benar-benar di hadapannya pasti sangat melekat di hatinya, merenggut senyum dan keceriaan anak ini. Tapi Lintar akan terus menghibur Nova, ia sudah menganggap Nova sebagai pengganti Dea.
Lintar mengambil tas Nova, lalu mengeluarkan semua isinya.
“Apa yang kau lakukan?” Protes Nova.
“Tenang saja adekku cantik, abangmu ini akan me-list semua barang bawaanmu dan membandingkannya dengan punya abang. Jadi kita tahu barang yang kurang”
Nova hanya diam dan melihat tindakan-tindakan Lintar, ia tersenyum tipis melihat Lintar, baginya. Lintar memang sosok kakak ideal baginya. Anak polos ini menyayangi Lintar sebagai kakak sejak mereka di Jakarta, ia teringat kedua orang tuanya yang selalu mengasihinya. Dan Nova yakin, Lintar di kirim orang tua Nova untuk Nova. Sebagai sahabat dari Surga.
“Nah! Lampu senter dan baju hangat saja kok yang kurang. Good job Nova!” kata Lintar mengagetkan Nova yang sedang melamun.
“Te..terimakasih bang”
Lintar tersipu malu di panggil abang, padahal umurnya hanya beda 2 bulan dengan Nova, paras manis dan imut pada wajah Nova terlihat begitu merekah membuat Lintar makin malu menatap wajah Nova.
“Sip adek”
---
Alvin melihat Dea dan Rio dari kejauhan, ia pun mohon pamit untuk pulang, bersama Patton dan Obiet.
“Eh Obiet, kamu enak-enakan ngobrol sama Kamami, ayo pulang” kata Patton.
“O iya, eh Patton. Nggak mau kenalan sama sahabat pena?” Ledek Obiet.
“Sahabat pena?” Tanya Alvin.
“Iyap, sini Patt” kata Obiet seraya menarik tangan Patton untuk menghadap Kamami.
“Aku duluan, besok cerita-cerita ya Bye” kata Alvin seraya memanaskan motornya, lalu melesat meninggalkan Rumah Bunda. Padahal rencana Alvin bukan pulang, tapi mengikuti Rio juga Dea ke taman Prisma Bintang.
Patton di tarik ke depan Kamami, Kamami tersenyum pada Patton. Tapi Patton tak bisa tersenyum pada Kamami, ia malah gemetaran.
“Lho? Kok gemetaran??” Tanya Obiet dengan logat yogyanya yang khas.
“Kak Patton sahabat penaku?” Tanya Kamami.
“I..iya mi”
“Takdir memang benar adanya, masih ingat janji kita setahun yang lalu?”
“Ya..yang mana ya?”
Obiet memukul punggung Patton agak keras, karna ia geli melihat temannya ini gugup menghadapi adiknya.
“Eiii.. jangan gugup lah, biasa aja”
“I..iya biet”
“Janjiku untuk ke Jakarta, sekarang nyata bukan?” Kata Kamami.
“O..o..o i..iya”
“Hahaha, kak Patton lucu sangat” kata Kamami.
“Hehehe” Patton terkekeh karna malu di bilang lucu.
“Dasar” gerutu Obiet seraya menggoyang-goyangkan kepalanya seperti bandul jam kuno yang setiap jam 00.00 berbunyi ‘teng-teng-teng’.
---
Jarak taman Prisma Bintang dengan rumah Bunda tak terlalu jauh, jadi ku harap kak Rio tidak terlalu lelah mendorongku. Panorama alam sore membuatku sangat kagum, lukisan awan-awan tipis menghiasi langit sore, sepertinya akan hujan. Tapi pesona cerah yang di berikan alam untuk kami sama sekali tak hilang. Warna kuning keemasan agak orange menambah pesona langit sore, apalagi jika di padu dengan matahari yang hampir terbenam. Nantinya warna langit akan semakin me-merah, kemudian berhenti di batas orange sedikit merah, burung-burung gereja yang paling banyak beterbangan disini. Dan sesekali kami melihat burung-burung merpati membuat barisan segitiga sempurna, dengan di pandu raja merpati, pasukan merpati akan menggunakan naluri dan perintah rajanya untuk menjaga keindahan mereka, warna abu-abu yang kontras dengan warna langit membuat lukisan langit menjadi semakin indah. Angin sore menambah kenikmatan sore ini, hujan pun akan terasa sangat indah jika terjadinya pada sore hari.
“Dea, sore di Jakarta tak kalah dengan desamu khan?” Tanya kak Rio.
“Iya kak”
“Bagus-bagus”
“Kak, tadi. Penampilan kakak bagaimana?”
“Hah? Kamu nggak lihat? Wah, jahat!”
“Ehehehe, kakak. Khan aku..”
“Iya-iya cantik, heum. Nanti ku ceritakan di taman.”
“Ok”
10 menit kemudian, kami sudah berada di depan gerbang taman Prisma Bintang, kak Rio dengan semangat mendorong kursi rodaku ke dalam taman. Dan di dalam, ku lihat beberapa keluarga juga sedang menikmati sore.
“Sore nak Rio!” Sapa seorang penjaga taman.
“Sore pak!” Balas kak Rio.
“Sama siapa yo?”
“Sama adik kelas pak”
“Wah, semangat untuk MOS besok ya”
“Iya pak” kataku.
“Duluan ya pak” kata kak Rio dan melanjutkan mendorong kursi rodaku.
Kak Rio menghentikannya di bawah pohon rindang, di depan air mancur yang menjadi pusat taman. Indah, itulah kata yang pertama ku ungkapkan ketika melihat pemandangan taman ini.
“Indah bukan?” Tanya kak Rio, aku mengangguk.
Kak Rio berdiri di hadapanku, mengacak-acak rambutku. Lalu menyeimbangkan tingginya denganku dengan memijakan dengkulnya pada tanah.
“Aku, ingin duduk di rumput kak” kataku dan mencoba untuk berdiri.
“Sini kakak bantu”
Dan kini, aku duduk di tanah bersama kak Rio.
“Ayo kak, ceritakan penampilan kakak yang tadi”
“Haha, tadi tu benar-benar seru de!”
“Serunya seperti apa kak?”
“Seru sekali, hingga aku nggak bisa menceritakannya”
“Huh”
“Hehehe, sebenarnya.. PRINCE belum tampil”
“Lho? Kenapa kak? Bukannya penampilan terakhir?”
“Kakak nggak bisa de, karna kakak menunggu seseorang yang nggak datang”
“Kalau orang itu nggak datang, nggak usah di tunggu kak”
“Tapi besok ia akan datang kok, jadi kakak bisa nyanyi besok. Kamu datang yang pagi ya!”
“Siap kak. Aku jadi penasaran sama orang di tunggu kakak, hemm. Boleh ku tahu ciri-cirinya?”
“Untuk apa?”
“Agar tahu orang yang bisa di sayang kakak tu seperti apa..”
“Memangnya kamu mau ku sayang?”
“Tentu, aku mau jadi adik kakak. Hehe” kataku.
“Orang itu, punya beribu cinta.”
“Hanya itu?”
“Ya,”
“Hahaha, dasar kakak. Tapi bagus juga, beribu cinta..”
Kak Rio menatap jamnya, sudah hampir jam 18.00. Itu artinya, sunset indah akan segera terlihat.
“De, sebenarnya tujuanmu sekolah di Jakarta tu apa sih?”
“Untuk menjadi musisi kak.”
“Hanya itu?”
“Nggak juga sih kak, ada 2 tujuan lagi.”
“Boleh kakak tahu? Katanya tadi mau curhat”
“Boleh kok kak, yang pertama. Aku ingin menjadi dokter juga. Dan kedua, mencari penyelamat hidupku”
“Penyelamat hidup?”
“Ya, satu-satunya lelaki yang ada di hatiku selama 5 tahun”
Kak Rio terdiam, ia kembali dingin dan tak mau menatapku. Aku bingung dengan kelakuannya, tapi ku ikuti saja. Aku ikut cuek dan memandang ke arah lain, mataku terbelalak. Sebuah bola basket mengarah ke wajahku! Aku hanya bisa memejamkan mataku menerima nasibku terkena bola basket tersebut. Tapi lama, kenapa bola itu tak menimpaku? Saat ku buku mataku, sebuah tangan memegang bola tersebut, aku menoleh ke kak Rio, itu bukan tangan kak Rio. Melainkan tangan.. kak Alvin?
“Kau ini bagaimana sih yo, katanya mau menjaga Dea” gerutu kak Alvin pada kak Rio, kak Rio spontan berdiri dan mengambil bola tersebut dari kak Alvin.
“Aku hanya nggak ngeh. Maafkan aku de”
“Iya, nggak apa-apa kak” kataku.
“Kamu mau apa mengikuti kami?” Tanya kak Rio.
“Enak saja, aku hanya ingin melihat sunset kok!” Elak kak Alvin dan duduk di sampingku. Kak Rio melempar bola tersebut ke pemiliknya dan duduk juga di sampingku.
“Heuh, sudah kesal tambah kesal” ketus kak Rio.
“Dea berbuat salah pada kakak? Maaf ya kak”
“Oh, nggak kok de. Nggak salah. Uhm.. bentar lagi sunset. Kita lihat dulu”
Benar saja, tak berapa lama. Aku melihat indahnya matahari terbenam. Hingga mataku berkaca-kaca melihat keindahan anugerah Tuhan itu. Tak sadar air mata kekaguman itu mengalir. Sebuah sentuhan halus mengusap pipiku, reflex aku menjauh dari tangan itu.
“Maaf de, aku kira kamu menangis” kata kak Alvin.
“Iya kak, nggak apa-apa.” Kataku, wajahku langsung merona merah. Tapi tak terlalu mencolok, karna di tutupi warna suasana yang semakin orange.
Kak Alvin tersenyum padaku, aku membalasnya juga dengan senyuman. Belum pernah aku di perhatikan anak lelaki sampai seperti ini, tentu perhatian Lintar berbeda dengan kedua kakak di sampingku.
---
Sesuai ucapannya, Iel mengajak Sivia ke Taman Permata Bintang, taman yang akan berkilauan jika terkena cahaya matahari tenggelam. Mata Sivia berbinar melihat matahari tenggelam dari pondok di taman tersebut, berada jauh dari keberadaan Rio-Dea-Alvin.
“Vi, aku nggak pernah melihat wajah kamu sesenang ini”
Sivia menoleh dan menatap Iel, senyumnya terkembang lebar.
“Ya, semenjak hatiku tinggal separuh”
“Separuh?”
“Hatiku yang separuh telah hilang, di curi seorang anak lelaki yang tak pernah mengerti perasaanku.” Mata Sivia yang berkaca-kaca terlihat mengkilat karna cahaya matahari.
“Ka..kamu jangan nangis vi”
“Nggak kok yel, aku nggak nangis”
“Kamu boleh bebas bercerita padaku, aku akan setia bersamamu disini vi, karna aku.”
Iel menghentikan ucapannya, karna ia lupa yang akan ia katakan pada Sivia. Tapi, ‘Kring-kring-kring’ alarm di handhone Iel berbunyi, dan ia membacanya. ‘Utarakan isi hati pada Via’
“Karna aku suka kamu”
“Itulah yang ku tunggu darimu sejak dulu yel”
Iel membelalakan matanya, keringat dingin memenuhi lehernya. Ia sama sekali tak percaya, sama sekali tak percaya.
“Kenapa kau bisa lupa pada janjimu 5 tahun yang lalu yel?”
“5 tahun yang lalu?”
Kepala Iel tiba-tiba saja pening, sangat pening hingga pandangannya buyar, ia ambruk bersamaan dengan kecemasan Sivia.
“Kamu kenapa yel?”
“Jangan pegang aku vi, aku nggak apa-apa.”
“Kau yakin?”
Iel memandangi Sivia, keringat masih bercucuran. Ia menelan ludah beberapa kali.
“Zi?”
Sivia menatap Iel ketakutan, Iel memanggil nama kecilnya, nama kecil yang penuh kenangannya bersama Iel. Sebuah janji yang di sampaikan Iel untuknya. Untuk Zi, gadis buta yang telah lama Iel tinggalkan. Janji yang di berikan Iel begitu suci. Tapi sayang. Iel tak pernah menepatinya.



Chapter 10
Promise

Iel terdiam, ia terus memandang matahari yang lama kelamaan menghilang, langit orange itu telah berganti jadi hitam kebiruan. Sivia pun tak dapat banyak mengeluarkan kata-kata, ia tetap duduk dan terus menunduk.
“Kenapa kamu nggak pernah menemuiku lagi yel?” Akhirnya Sivia tak kuat di siksa dalam kesunyian oleh Iel. Iel tersentak, ia tak menyangka cinta pertamanya yang telah lama ia lupakan ada di sampingnya. Menagih janji masa lalu.
“Aku tak pernah ingat pada apapun yang telah kulakukan di masa lampau Zi, maaf”
“Tapi apa kau bisa melupakan cinta pertamamu?”
“Ya, termasuk itu.”
Sivia menghelakan nafasnya, ia kembali menunduk. Tapi ia langsung terkejut, karna tangan Iel menggenggam tangannya.
“Maafkan aku, tapi aku tak pernah lupa pada nama Zi. Hanya itu, aku memang manusia paling bodoh dan pelupa yang pernah kau temui. Jadi, aku ingin kau membunuhku. Membunuh semua masa lalu kita. Jika kau mau tentunya” kata Iel.
“Nggak yel, dulu. Saat aku belum bisa melihat wajahmu sejelas ini. Aku belum bisa merasakan rasa ini hinggap di hatiku. Menyapa hidupku, dan menyadarkanku. Bahwa kau adalah Iel, Gabriel. Cinta pertamaku”
“Maafkan aku vi, karna aku lupa janji itu”
“Nggak apa-apa yel”
“Jadi, maukah kau menjadi cinta pertamaku lagi?”
Sivia tersenyum, ia memalingkan wajahnya ke Iel, lalu mengangguk.
“Aku janji, mulai sekarang. Semua janjiku padamu takkan pernah ku lupakan. Seumur hidupku.”
~~~
“Aku akan memberikan sepasang mata untukmu Zi, aku janji”
“Aku akan menunggunya”
“Dan suatu saat nanti, aku berjanji akan berkata. Aku menyayangimu”
“Dan suatu saat nanti, aku berjanji akan berkata. Aku juga menyayangimu”
“Hingga kau bisa melihat wajahku, aku ingin kau menyimpan rasa ini di hatimu. Agar ia bisa menyapa hidupmu dan menyadarkanmu, bahwa aku Iel, Gabriel.”
“Hingga aku bisa melihat wajahmu, aku akan menyimpan rasa ini di hati, agar rasa ini bisa menyapa hidupku, dan menyadarkanku. Bahwa kau adalah Iel, Gabriel”
~~~
Tuna netra, gelar yang di sandang Sivia 5 tahun yang lalu selalu berhasil membuatnya menitikan air mata. Putus asa, dan tak mungkin seperti sekarang, hanya satu yang dapat membuatnya kuat. Iel. Pertemuannya dengan Iel selalu menjadi pusat kekuatannya. Janji yang telah di lupakan Iel membuatnya dapat bersimpuh di hadapan maha kuasa selama berjam-jam.
Mata, ia mendapatkan mata yang sekarang ia gunakan dari seorang wanita yang berbaik hati mendonorkannya pada Sivia. Ibunya. Maka dari itu, Sivia mempunyai mata seindah permata dan sebersih hati Ibunya.
Pertemuan Sivia dengan Iel 5 tahun yang lalu pun bukanlah kebetulan, melainkan takdir cinta.
Saat itu kiranya, Iel sedang melukis pemandangan sore seperti biasa di halaman rumahnya, Sivia selalu saja duduk di bangku rumahnya yang terletak tak jauh dari rumah Iel.
Iel selalu melukis Sivia setiap sore, dan lama kelamaan. Mereka jadi sering mengobrol. Dan di hari terakhir Iel di Makassar, Ikrar itupun terucap.
Menurut Sivia, Iel adalah penyelamat hidupnya. Penyelamat hidup yang ia tunggu kesetiaannya. Penyelamat hidup yang menyemangatinya, untuk menunggu cinta abadi dalam hidup Sivia.
2 tahun kemudian, Sivia mendapatkan sepasang mata itu. Walau bukan dari Iel, tapi Sivia tak menyesal. Karna ia bertekad untuk mencari Iel di Jakarta selepas SD nanti.
Namanya tercantum sebagai penerima beasiswa di Smp Betha Melody, bersama sahabatnya Ify, dan ia hampir tak percaya. Gabriel, nama itu ia temukan kembali di papan nama siswa/I Smp Betha Melody.
---
“Aku berjanji, aku akan menjadi cinta abadimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini