Minggu, 12 September 2010

Rain from Heaven chapter 04

FATAMORGANA

Rio menundukan kepalanya. Mengingat ucapan bu Ucie barusan, bagai ingin mati saja! Pikir Rio. Alvin rupanya paham dengan keadaan Rio, ia mendekati Rio.
"Ini memang sulit yo"
"Bu Ucie itu, ia hanya menyusahkan"
"Tapi, ku kira itu baik untukmu yo"
"Baik? Kau tahu, apa yang lebih baik untukku?"
Alvin mengangkat kedua bahunya bersamaan. Tanda ia tak tahu jawaban pertanyaan Rio. Rio mengambil Handphonenya, mencari sebuah contact.
"Oma, minggu ini Oma ada dirumah khan? Rencananya Rio ingin kesana untuk seminggu kedepan"
Alvin membulatkan matanya, langsung ia rebut BB Rio yg menempel di kuping kanan Rio.
"Gila kamu yo!"
Rio memandang sinis Alvin, Alvin langsung memutus pembicaraan Rio dengan Omanya. Alvin tertawa, melihat kecemasan Rio yang tak biasa.
"Tertawa di atas penderitaan orang lain"
Alvin makin mengeraskan tawanya ketika ia mendengar pernyataan Rio barusan.
"Tapi, yo. Lari dari masalah itu bukan kebiasaanmu sama sekali"
Rio merenungkan ucapan Alvin. Benar juga, pikir Rio. Ia menatap Alvin sebentar, lalu berdiri mengambil jaket dan kunci motornya.
"Kamu nggak berniat melarikan diri khan yo?"
Rio tak menghiraukan pertanyaan Alvin. Ia berlari meninggalkan ruangan.
---
Setelah menempuh perjalanan penuh polusi dan kepanasan luar biasa, walau hari sudah hujan. Angel, Kiki dan aku tiba di rumah dinas.
"Wah.. Tak pernah aku melihat rumah selebar ini!"

Kata 'Lebar' yang di ucapkan Kiki barusan membuatku cekikikan. Mungkin kata lebar yang di ucapnya barusan jika diubah jadi 'Besar' lebih enak di dengar.
"Hahahaha, kata-katamu barusan aneh Kiki!"
Angel meledek Kiki seraya melingkarkan lengan kanannya ke leher Kiki. Aku tersenyum melihat keduanya. Jika saja Lintar ada disini. Jika saja..
"Kalian bertiga, bantu Bunda mengangkat barang-barang ini"
Kami pun saling pandang, dan langsung berlari menuju wanita yang mungkin lebih tua 3 tahun dengan Ibuku.
---
Seraya duduk di tempat berteduh, melihat hujan yang amat deras sedang mengguyur Jakarta. Kamami dan Obiet banyak mengobrol tentang masa mereka masing-masing.
"Apakah di desa, kau bahagia?"
"Tentu kak"
"Kau masih memakai nama pemberianku Kama"
"Aku takkan melupakan nama ini"
"Hahaha.. Tapi, bukankah Kamami itu nama yang konyol?"
"Nggak kak! Sama sekali tak konyol! Malahan, jika aku merindukan kakak. Dan ada yang memanggil namaku, aku dapat sedikit melepas rinduku pada kakak"
Obiet tersenyum, ia memandang adik perempuan yang umur Kamami hanya berbeda 8 bulan dengannya.
"Bagaimana dengan kakak? Jakarta nyaman?"
"Lumayan mi, disini aku bisa mengeksplore semua bakatku"
"Bagaimana dengan biola buatanku? Masih kakak pakai?"
Obiet tersentak. Ia teringat biola kecil buatan Kamami yg Kamami kerjakan selama berbulan-bulan. Biola yg di kirimkan Kamami 3 tahun lalu. Biola itu sebenarnya hilang. Dan ia sungguh tak tahu benda mungil itu berada. Sebenarnya, bukan biola sungguhan. Tapi kalung berbandul biola. Kamami tahu, bahwa kakaknya sangat senang bermain biola. Maka dari itu, dengan belajar mengenai replika biola. Ia ciptakan kalung biola penuh cinta untuk Obiet.
"Ehem, Kama, maafkan Obiet ya.. Kalung Kama hilang"
Kamami menatap Obiet dengan matanya yang indah, ia pun tersenyum tulus
"Tak apa kak, aku bisa membuatkannya lagi untuk kakak"
“Benar?"
"Ya"
"Nanti, di rumah kita buat bersama-sama ya?"
"Kakak lupa rupanya"
Mata Obiet berkaca-kaca. Sebuah bayangan fatamorgana terbesit di hadapannya. Saat Oma mengambil Kamami. Saat sebuah pilihan harus di tentukan Kamami. Saat Kamami memilih untuk tinggal bersama Oma yang tak pernah setuju hubungan kedua orang tua Obiet-Kamami. Semenjak itulah, Obiet menjadi seorang anak tunggal. Tapi keduanya tak pernah lupa satu sama lain.
---
Aku membawa barang bawaanku ke dalam kamar no.10, kamarku bersama Kamami dan Angel. Sedang Kiki dikamar sebelahnya. Bersama seorang anak asuh bunda Romi. Debo namanya. Anak yang sangat pendiam.
Tak banyak yang ia lakukan saat kami datang, ia hanya menjabat tangan kami tapi tak tersenyum. Selesai menjabat tangan kami, ia berlari bersembunyi ke belakang bunda Romi. Aku belum mengenalnya banyak. Tunggu Kamami datang, baru aku berani berkenalan dengan Debo.
"Wah, luas sekali kamar ini untuk ukuran tiga orang ya de!"
"Iya njel"
Ya. Kamar yang kami tempati ini sangat luas. Untunglah kami menempatinya bertiga. Bisa lelah kami, jika 1 orang menempati kamar yang seperti ini. Aku keluar ke teras kamar ini. Cukup luas pula terasnya. Nyaman untuk memandang hujan.
Ku sipitkan mataku, melihat sebuah sekolah super megah yang jaraknya cukup dekat dengan rumah bunda Romi.
"Besarnya sekolah itu de, rumahku pun tak sebesar itu"
"Iya njel"
Kamar kami ada di lantai dua. Jadi kami bisa puas memandang keadaan alam sekitar. Dan aku bisa berteman dengan alam. Seperti kata Kamami.
Angel kembali masuk karna tak tahan dengan dinginnya udara di luar. Tapi aku yang sudah terbiasa dengan udara dingin karna hujan bertahan di luar. Ku tarik udara dingin di sekitarku dengan hidung yg kumiliki. Sejuknya!
Suara bel nyaring terdengar dari pintu utama. Aku ingat, bunda Romi sedang tak ada dirumah. Beliau sedang mengambil seragam kami.
"Aduh, bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu itu?"
Angel keluar dan menarik tanganku. Sepertinya, pikiran Angel sama denganku.
"De, bagaimana ini? Bunda Romi khan tak ada dirumah!"
"Yasudah njel, ayo kita buka saja pintunya"
Angel sedikit tenang mendengar ajakanku. Ia berjalan disampingku masih menggandeng tanganku.
Ku ketuk pintu kamar anak lelaki. Debo dan Kiki keluar, ku lihat raut cemas juga tergambar di wajah mereka.
"A..ayo, kita bersama-sama buka pintu”
"Kamu berani?"
Aku mengangguk pada Kiki yang baru saja bertanya padaku.
Kami berempat jalan berdampingan, Angel mempererat pegangannya padaku.
Hingga kami sampai di depan pintu utama. Angel, Kiki, Debo berjalan mundur menjauhiku. Dasar mereka ini. Pelan-pelan ku gerakan gagang pintu tersebut. Suara bel terus berbunyi memekikan telinga. Aku sudah tak tahan lagi, maka kupercepat proses pembukaan pintu.
Sosok anak lelaki ku lihat berlari. Mataku terbelalak dan..
‘Brukk'
Ia menimpa tubuhku. Hingga aku dengan jelas dapat melihat lekuk wajahnya. Ya Tuhan. Apa aku bertemu seorang pangeran? Ya Tuhan, ia tampan sekali!
---
Patton hilir mudik. Terlihat jelas gurat cemas melekat dan terpancar dari matanya.
"Kamu kenapa sih Patt?"
"Aduh vin, bukan saatnya kamu bertanya"
"Heeh deh"
Alvin berjalan mendekati Iel yang sedang serius membaca buku lagu milik Patton.
"Yel, serius amat"
"I..iya vin"
"Kok kamu jawabnya gugup?"
"Oh, nggak apa-apa kok. Hehe"
Iel menyembunyikan handphonenya, tapi Alvin menyadari kelakuan Iel barusan. Dengan cepat, Alvin mengambil hp Iel dari kantong belakang Iel.
"Hei vin!"
Alvin mengacungkan telunjuk dan menggoyangkannya ke kiri-kanan. Agar Iel tak menghalangi aksinya.
"Ternyata daritadi kamu nggak baca buku ya. Kamu lagi ngapain sih yel?"
"A..aku baca buku kok!"
Tapi Alvin tak terpengaruh dengan sangkalan Iel. Beberapa detik kemudian. Hp Iel bergetar.
"Via?"
Iel langsung merebut hpnya dari Alvin. Alvin menaik-turunkan alisnya. Bersiap meledek Iel.
"Ternyata!"
Alvin menunjuk Iel dengan pasti, ia tertawa sekencang-kencangnya bak monster yang sedang menangkap mangsanya.
Patton yang sedang bingung mencari sebuah benda, kesal dengan prilaku Alvin. Ia pun menghardik Alvin.
"Dih, jelek sekali tawamu!"
"Sewot die"
Iel tertawa melihat wajah konyol Patton yang ingin melawan ucapan Alvin. Tapi ia tahan. Iel hanya geleng-geleng.
---
Jika kali ini aku hanya bermimpi, aku tak ingin mimpi ini berakhir dengan cepatnya, anak lelaki ini. Kenapa aku merasa tenang di dekatnya? Apakah ia memang sengaja diturunkan Tuhan untukku?
"Hei, kalian berdua kenapa malah diam?"
Ucapan Angel membuat kami berdua langsung bangun dan memisahkan diri. Aku berdiri disamping Kiki, ia mengelus punggungku untuk menenangkan jiwaku yang pasti sangat kaget.
"So..sory, aku nggak sengaja. Aku mau bertemu dengan bunda Romi. Ada?"
"Bunda Romi sedang tak ada"
Angel menjawab pertanyaan itu, ia menjauh juga dari anak lelaki tak bernama itu. Anak itu menatapku, tak ada senyum terlukis di wajahnya. Heuh, minta maaf tanpa senyuman itu terasa hambar kawan.
"Siapa namamu?"
Anak itu menatap Debo, tapi langsung ia palingkan wajahnya dari Debo ke aku. Aku sangat gugup menatap wajahnya. Ia sangat tampan kawan.
"Rio, namaku Rio, boleh ku tahu nama kalian?"
"A..aku Dea, ini Kiki, Debo, dan Angel"
"Dea.. ehem, maaf ya tadi aku menabrak dan sekaligus menimpamu. Tadi aku sebenarnya ingin mendobrak pintu karna tak sabar. Eh, malah keburu kamu buka pintunya"
"Oh, iya nggak apa-apa kak"
Aku memanggilnya kakak, karna menjaga kesopanan sebagai orang baru di rumah ini.
"Kalian, sebenarnya siapa?"
"Kami anak penerima beasiswa BM kak"
Angel menyahut karna ia melihatku yang sudah tak bisa menjawab pertanyaan anak bernama Rio itu. Rio masih menatapku, tanpa senyum sedikitpun. Aku merapatkan diriku ke samping Kiki. Karna sebenarnya aku masih takut menatap mata kak Rio. Ku perhatikan dia, jantungku bagai berhenti berdetak, nafasku sesak, perasaanku meluap tak tertahan ingin mengeluarkan air mata. Mulutku bergetar, karna aku melihatnya kawan. Melihat kalung bintang itu melingkar di leher kak Rio. Apakah, ia adalah?
"Tanganmu dingin de, kamu kenapa?"
Kiki mengusap tanganku yang mendadak dingin. Wajahku berubah pucat seperti mayat hidup. Sekarang jantungku berdetak sangat kencang, terasa sangat perih kawan! Aku, aku terjatuh. Mataku terpejam. Dan aku tak sadarkan diri.
---
Sebuah keadaan yang tak biasa tergambar di pandanganku, semua putih. Tak ada kehidupan disana. Tapi beberapa detik kemudian, aku melihat seorang anak perempuan dan anak lelaki sedang saling berteriak. Aku dekati mereka, betapa terkejutnya diriku, melihat anak perempuan itu adalah aku. Dan.. Penyelamat hidupku sedang berusaha menyelamatkanku.
Bayangan apa ini Tuhan? Apakah aku bermimpi? Aku berlari mendekati mereka agar aku dapat mengenali penyelamat hidupku. Tapi semakin aku mendekat, kenapa mereka semakin menjauh? Dan kini, hilang sama sekali.
"De, Dea!"
Teriakan itu memecahkan gelembung fatamorgana yang ku lihat barusan, ku buka mataku pelan-pelan, Angel menggoyangkan tubuhku seraya memanggil-manggil namaku berulang kali. Kepalaku pening, tak kuat untuk bangun walau sekadar duduk.
"Dimana aku?"
"Masih di ruang tamu de, kamu pingsan. Tapi kami tak berani membawamu ke kamar, jadi kami berusaha menyadarkanmu"
Penjelasan Kiki menyadarkanku, tadi aku syok hingga aku pingsan. Jantungku sudah tak terlalu sakit, walau belum terkontrol.
"Obatku ada dikamar njel, aku ke atas dulu ya"
"Kamu ini bodoh atau apa sih?!"
Kak Rio menghardikku dengan pertanyaan yang pasti kalian tahu, menyakitiku.
"Maksud kakak apa?"
Kiki maju dan mendorong kak Rio, membelaku. Tapi Kak Rio berdiri lagi, ia menatap kami satu persatu. Dan matanya terakhir tertuju padaku. Ia mendekatiku, lalu membungkuk. Melakukan hal yang tak pernah kuduga, menggendongku!
"Kak, nggak usah di gendong"
Kak Rio tak mendengarkan aku, ia tetap berjalan seraya membawaku ke lantai dua.
"Dimana kamarmu?"
"Nomor 10 kak"
Ia berjalan lagi, mencari kamar dengan plat nomor 10. Dari sini, aku bia menatap wajah manisnya. Detak jantungnya berirama indah menenangkanku, tapi. Aku tak yakin, ia adalah penyelamat hidupku. Karna aku tak bisa merasakan hal yang sama persis dengan kejadian masa laluku bersama penyelamat hidupku. Memang, saat itu sama dengan saat ini. Tapi, hati ini tak bisa dibohongi kawan, ia bukan penyelamat hidupku. Aku tahu itu.
Kak Rio berhenti di depan kamarku, ia membuka pintu kamar dan meletakan tubuhku di kasur yang memang benar, itu kasurku. Aku tersenyum padanya, tapi ia masih memandangku dingin. Kenapa sih dengannya? Apa ia tak bisa tersenyum sedikit?
"Terimakasih kak"
"Dimana obatmu?"
"Oh, nggak usah kak, aku saja yang ambil sendiri"
"Lalu untuk apa, aku mengantarmu hingga disini?"
Aku terdiam, sebenarnya aku tak mengerti yang ia tanyakan. Karna jelas-jelas ini tak murni kesalahannya, aku hanya syok melihat kalungnya. Dan juga, sejak tadi aku memang sudah tak enak badan. Mungkin mabuk laut.
"Dimana?"
Ia bertanya lagi, jadi ku jawab saja. Aku menunjuk ke tas kecilku yang berwarna merah marun. Terletak di atas lemari utama kamar itu. Kak Rio berjalan santai dan mengambil tasku.
“Ini”
Ku ambil tas pemberian kak Rio dengan tangan masih gemetaran, aku sudah tak peduli kata yang ada di dalam otak kak Rio. Pokoknya saat itu aku ingin menangis. Mimpi apa aku semalam? Bertabrakan dengan orang yang tak dikenal, di gendong dan di bentak orang tampan seperti kak Rio. Huft.
Kak Rio masih menatapku, sepertinya ia ingin tahu obat yang akan kuminum, sebenarnya kawan. Aku malu jika ada orang lain yang tahu penyakitku. Jadi, dengan posisi telapak tanganku masih di dalam tas, aku ambil sebutir dua butir obat bulat dari botolnya dan langsung ku masukan ke dalam mulut, tapi kawan. Apa kalian tahu perbuatan bodoh yang telah kulakukan? Aku lupa meminta air! Ya Tuhan, pahitnya obat ini. Aih, tapi coba ku tahan sejenak. Seraya menghelakan nafas, langsung ku kerahkan kemampuanku menelan obat pahit itu tanpa air. Keringat dingin bercucuran melewati dahiku. Masa-masa terburukku dimulai saat ini, jam ini, detik ini. Pare pun lebih baik rasanya ketimbang obat penenang jantung ini. Senyum kak Rio terkembang, ia mulai menunjukan rasa geli di depanku. Dan perlahan tapi pasti.
“Hahahahahahahahahahaha”
Ia tertawa sangat keras volumenya, aku mendengus kesal akan perbuatannya. Apa ia tak tahu aku sedang kepahitan? Ku pukul lengannya pelan agar ia bisa mengecilkan volume suaranya, tapi bukannya mengecil ia makin mengencangkan volume tawanya. Hingga Kiki, Angel, dan Debo berlari masuk kamar.
“Ada apa?”
Angel bertanya dengan ekspresi sangat cemas, aku menggeleng. Kami berempat menatap kak Rio yang tak berhenti tertawa. Dengan heran tentunya, seorang yang awalnya sangat dingin bisa tertawa hingga seperti ini.
“Kak Rio!”
Aku berteriak kesal, Kak Rio mulai mengembalikan kondisi jiwanya. Wajahnya masih merah karna terlalu banyak tertawa, aku majukan bibirku kesal menerima sikap anehnya.
“Maaf ya de! Tapi aku nggak tahan. Melihatmu kepahitan menelan obat tanpa air! Hahahaha”
Kini kak Rio bicara dengan senyum yang manis. Ia lebih tampan dibanding tadi, sangat tampan. Ya Tuhan, inikah senyum malaikat?
“Lagipula, kamu kenapa harus takut minum obat di depanku?”
“Uhm..”
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, ia berdiri dan mengambilkan segelas air hangat dari dispenser untuk mengatasi lidahku yang kini mati rasa karna pahitnya obat yang tadi kuminum.
“Minum dulu de.. hehehe”
Ia memang baik padaku, tapi kenapa ia harus tetap tertawa saat aku kini sedang sangat kesal akibat sikapnya? Langsung ku masukan cairan hangat itu ke tubuhku. Melewati pusat lidah yang menjadi indra rasa pahit. Lega rasanya, ketika air itu membantu tenggorokanku karna ternyata obat tadi sedikit menyumbatnya.
“Terimakasih kak”
“Iya, sama-sama”
Kak Rio masih tersenyum padaku, ia mengelus poniku. Aku merasa dekat dengannya. Aku rasa, aku menemukan penyelamat hidupku yang kedua. Tapi, aku takkan melupakan penyelamat hidupku yang pertama. Takkan seumur hidupku.
---
Patton membayangkan benda itu. Benda mungil, sebuah kalung dengan bandul biola miliknya. Yang ia terima dari seorang sahabat penanya. Kira-kira 3 tahun yang lalu ia dapatkan benda itu. Benda yang sangat indah, menggambarkan wajah sang sahabat yang sebenarnya ia tak tahu sama sekali. Patton hanya bisa membayangkannya lewat penjelasan sahabatnya itu. Nama sahabatnya adalah Kamami. Ia hanya tahu nama itu, tak tahu nama asli Kamami.
Hanya ada satu di asa, sebuah pertemuan di dunia yang ia impikan. Bertemu dengan sahabatnya Kamami. Karna ketika ia surat-menyurat dengan Kamami, sinar bintang selalu mengiringinya, ia seperti berada dalam sebuah tempat yang terang. Ada suara hujan yang menenangkan jiwa Patton. Surat-surat dari Kamami penuh arti, kata demi kata yang Kamami digoreskan seperti memberi pelajaran bagi Patton. Apalagi, Patton paling suka jika ingat ciri khas Kamami, kertas hitam dan tinta putih. Tak pernah terfikir memang oleh Patton memakai 2 hal ajaib dalam dunia ini. Ia yakin, Kamami bukan anak biasa. Kamami adalah sahabat Patton. Sahabat pena Patton.
Terkadang pula, Patton membayangkan Kamami ada disampingnya. Karna saat membaca surat dari Kamami, ia bisa merasakan keberadaan Kamami dengan jelas. Seperti fatamorgana yang menyenangkan untuk Patton.
Patton mengambil salah satu surat Kamami, dari kantung suratnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Tangan Patton terkatuk oleh sebuah benda asing yang ada di dasar kantung surat, ia penasaran. Apa itu? Langsung saja, Patton ambil. Dan matanya langsung membulat.
“Yeah!! Kamami! Aku menemukannya! Benda berharga yang kau berikan padaku, aku menemukannya!!”
Alvin yang sedang mencemaskan keberadaan Rio langsung melonjak mendengar teriakan Patton, sedangkan Iel. Ia masih sibuk berkirim pesan singkat dengan kawannya yang bernama ‘Via’. Alvin melirik jam besar di ruangan itu, 13.00 WIB. Ternyata sudah lebih dari 2 jam ia menunggu kedatangan sang ‘King of Melody’, leader band ini.
“Kemana sih anak itu? Handphone pun tak ia bawa”
Alvin melirik Iel, melempar sahabatnya itu dengan gumpalan kertas bekas. Menyadarkan Iel dari dunianya sendiri.
“Apaan vin?”
“Sepupu kamu tu, kemana dia?”
Bola mata hitam indah Iel berpindah letak dari tengah menuju tempat di atas ruang matanya. Berfikir sejenak, lalu kembali menatap Alvin.
“Ke rumah bunda Romi mungkin! Kalau nggak ada, ya di rumah Oma”
“Sialan anak itu, Patt. Kamu hubungi Obiet ya? Bilang padanya, cepat kesini untuk latihan”
Patton hanya mengangguk, karna ia masih senang menemukan benda yang telah berbulan-bulan hilang dari lehernya. Alvin hanya geleng-geleng dan mengambil kunci motor Iel.
“Eits, mau kemana kamu? Jangan menghilang juga vin”
“Aku mau jemput Rio, yel. Setengah jam lagi, aku kembali. Jika Rio mulai keras kepala, mungkin akan lebih lama”
“Hati-hati aja ya”
Alvin mengangguk lalu mengambil jaketnya juga kunci motor Iel, menyusul sahabatnya. Rio.
---
Setelah mengobrol cukup banyak, Kamami meminta Obiet untuk mengantarnya ke rumah dinas. Obiet mengangguk pasti, karna mulai saat ini dan seterusnya. Kamami takkan lepas dari penjagaannya.
“Mana alamatnya, kulihat dulu”
Kamami menyodorkan kertas dari bunda Romi, Obiet membacanya sejenak lalu menggenggam tangan Kamami.
“Ayo, akan ku antar adik pangeran ke kerajaannya yang jauh dari kerajaan kakaknya”
Kamami tertawa mendengar perkataan Obiet, tapi memang itulah kenyataannya.
---
Kak Rio banyak mengobrol dengan kami, menerangkan tentang Smp Betha Melody, tentang kehidupan disana. Ia bilang, kami ini anak-anak yang sangat beruntung. Bisa bersekolah gratis dengan fasilitas lengkap di Smp BM. Ku tatap raut wajah yang sedang berseri-seri itu, senyumnya masih terbentuk apik menenangkan hati. Sesekali ia bernyanyi satu dua lirik lagu kesayangannya, tapi ia tak menyebutkan judulnya. Ia hanya berjanji pada kami, akan menyanyikan lagu ini di acara MOS nanti. Aku tak sabar mendengarnya, 2 hari lagi MOS akan dimulai. Persiapan sana-sini, super sibuk tergambar indah di Smp BM. Semua sibuk menyambut kedatangan siswa/I baru Smp Betha Melody. Dan kamilah termasuk anak-anak beruntung itu.
Lintar, aku kesepian. Walaupun ada Kamami, Angel, Kiki, Debo dan sekarang. Kak Rio, aku tetap kesepian. Tak ada lagi senyummu yang tulus dari hati, tak ada lagi suaramu yang lantang bagai halilintar. Seperti namamu Lintar, Halilintar Morgen. Jika ku dengar suaramu sekali saja saat ini, mungkin jantungku akan menyanyi bersamanya. Tak cepat kambuh seperti tadi.
“Yo, kamu ternyata disini!”
Seruan itu menghancurkan bayangan fatamorgana yang ku lihat sekilas, Lintar ada di depanku.
“Eh vin, ngapain juga kamu susul aku?”
“Ye, kapan kita latihan kalau kamu sesantai ini?”
“Memangnya, Obiet sudah datang?”
“Ya, ehem.. sedang dalam perjalanan”
Wajah kak Rio mendadak kelam lagi, ia dingin seperti awal aku bertemu dengannya. Kenapa berubah begitu cepat kak?
“Yasudah, sepertinya bunda Romi masih lama, aku pamit ya”
“Weits, nggak mau kenalin aku ke mereka?”
Kak Rio menghelakan nafas yang telah ia tarik panjang-panjang, menahan kesalnya yang tak nyata. Aku masih memperhatikannya tak melepaskan pandangan ke siapapun.
“Adik-adik, ini Alvin kawanku”
Ucapan kak Rio juga tak selebar tadi, aku kecewa melihatnya seperti ini. Tapi aku janji, aku akan mengembalikan sinar bintang di hidupnya lagi. Agar ia bisa tertawa lepas seperti tadi.
“Sudah?”
“Iya Rio”
Kak Alvin dan kak Rio berjalan meninggalkan kami, tapi sebuah pikiran yang ingin menahan mereka langsung keluar dari mulutku.
“Kak Rio!”
Kak Rio menoleh ke arahku, begitupun kak Alvin. Aku mendekati mereka. Jantungku kembali berdegup kencang.
“Tadi, kakak memanggil nama, Obiet?”
“Iya, Obiet adalah salah satu anggota bandku”
“Boleh aku..”
Belum sempat aku mengutarakan maksudku, seorang anak lelaki masuk bersama Kamami. Kami menoleh ke arah anak itu, melihat Kamami disampingnya, aku yakin ialah kak Obiet.
“Eh biet, kukira kamu sudah ke studio”
“Waduh, maaf ya vin aku tadi mau mengantar adikku ini ke kerajaannya”
“Kak Obiet mulai”
Nada bicara Kamami terkesan ia sedang sangat bahagia. Dengan sebuah tekanan lucu di kata ‘Mulai’ membuatku tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, tadi kamu mau bilang apa tentang Obiet?”
“E..enggak kak, tadi aku mencari Kamami yang sedang bersama kak Obiet”
“Kamu kangen aku?”
“Sedikit mi”
“Hahahai”
Obiet mengelus kerudung Kamami, lalu pamit. Ketiga anak lelaki bak pangeran itu meninggalkan kerajaan kami. Dan kini, aku masih menunggu tetes hujan dari Surga mengantarkan penyelamat hidupku.
---
Aku menarik tangan Kamami menuju kamar kami bertiga, Kamami menahanku di depan pintu kamar.
“Apakah kamar itu luas?”
“Tentu Kamami!”
Air mata Kamami mengalir, tapi senyumnya masih terkembang, ku genggam tangan kanannya lebih erat. Agar aku bisa membuatnya tenang.
“Ayo de, kita masuk”
Belum sempat kuputar gagang bulat ajaib itu, Kamami mengeluarkan air matanya. Aku merasa tak biasa melihatnya seperti ini.
“Kenapa kamu menangis mi?”
“Aku.. mimpiku, hanya ingin mengukir garis putih yang sangat banyak di hidupku. Dan di kamar ini, akan kuciptakan keajaiban-keajaiban dengan bantuan Allah!”
“Keajaiban seperti apa?”
“Malam ini, bantu aku ya”
“Untuk apa?”
“Lihat saja nanti!”
Kamami merencanakan sesuatu yang pastinya gila, di luar logika, menakjubkan. Aku tak sabar menanti malam pertama kami di Jakarta. Kamami, ajarkan aku lebih banyak unsure kehidupan ini. Ajarkan aku sesuatu yang bahkan itu di luar akal. Tapi hati dapat menerimanya. Ajarkan aku mengenai, cinta dan persahabatan.
Ku buka pintu kamar, mata anak bernama lengkap Rahmi Amalia ini membesar, mulutnya ternganga kecil, kertas yang sejak tadi ia pegang jatuh karna ketidaksadarannya. Aku sudah menyangkanya, untuk seorang anak desa. Pastinya kamar ini bagai rumah baginya, seperti yang kupikirkan tadi. Lintar, suatu saat nanti. Aku akan mengajakmu kesini.
“Luasnya”
Gumaman itu membuatku tertawa kecil, Kamami yang sedang tercengang sangat unik wajah dan kelakuannya. Apa aku seperti dirinya tadi? Sepertinya, iya. Ku ambil kertas yang dijatuhkan Kamami dengan tangan kiriku. Sedang, tangan kananku masih memegang erat tangan Kamami. Aku menariknya untuk masuk ke dalam.
Kamami berjalan menuju kasurnya. Ia elus nama yang terpajang jelas di setiap dahan kasur itu. Air mata Kamami keluar lebih deras, ia kepal tangannya dan berdiri.
“De, mulai dari sini, kau, Angel, Kiki, Debo, aku dan semua hujanmu. Pasti meraih satu bintang tersembunyi di balik awan malam dan siang, bertempat di samping bulan. Dan berpusat di hati kita”
“Tapi mi, bintang itu ada satu”
“Tapi bintang itu punya 5 sisi tajam dan akan menancap di hati para pemenang, seperti kelima anak itu”
Ku ikuti arah telunjuk Kamami, sebuah figura foto kokoh terpajang di dinding kamar yang kini ku tempati bersama dua anak luar biasa sahabatku. Lima anak itu tersenyum lebar, dan mereka membawa satu bintang kecil di masing-masing tangan mereka. Aku tersenyum, langsung kupeluk tubuh Kamamu yang berbalut kain ungu warna kesukaannya, terasa hangat saat aku menyentuhnya dengan hatiku. Semua ucapanmu Kamami. Akan selalu kuingat sepanjang hidupku.
---
Malamnya, kami bertiga Angel, Kamami, dan aku mencoba pakaian baru kami, pakaian yang akan kami kenakan 3 tahun kedepan sebagai siswi Betha Melody. Setelan seragam yang sangat manis, kemeja putih dipadu dasi biru agak kehitaman, rok rampel biru tua kotak-kotak, dan yang paling kusukai. Adalah jas Smp BM yang berwarna biru tua, membuat manis siapapun yang memakainya, jasnya seperti model mantel orang-orang luar kebanyakan, dengan 4 kancing membentuk segiempat, bukan garis lurus seperti anak lelaki. Kami juga diberikan sepasang sepatu yang biasa dikenakan oleh paskibraka Indonesia ‘pantopel’, juga 3 pasang kaus kaki putih. Setelan semacam ini membuat kami lebih dewasa, tapi tak mengurangi sedikitpun esensi remaja kami. Mungkin biasa disebut, berwibawa.
“Mi, njel. Aku mau cerita sesuatu”
“Masalah tadi siang sama kak Rio de?”
“Hehe, bukan njel. Tapi ini masalah Debo”
“Lho? Kenapa dengan Debo de? Menurut Angel, tak ada masalah dengannya”
“Angel, Kama, kalian merasa nggak? Debo itu terlalu pendiam, dan ia nggak terlalu suka dengan orang baru”
“Benar-benar de! Debo itu seperti.. trauma?”
Kamami terdiam, ia terlihat berfikir. Dan aku yakin sebuah ide luar biasa sudah hinggap di otaknya. Kami menunggu Kamami mengatakan idenya.
“Seperti yang kukatakan tadi siang, bantu aku”
Kamami dengan cueknya merapihkan seragam yang bergeletakan disekitarnya. Memasukan sekaligus semua seragam kami juga ke dalam kantung baju kotor. Kamami berlari keluar. Meminta 20 bohlam pada Bunda Romi.
“Untuk apa bohlam sebanyak itu Kama?”
Terkadang Kamami juga dipanggil Kama.
“Untuk cahaya hati, Bunda.. bekas pun tak apa"
“Yasudah, ambilah bohlam-bohlam yang kau butuhkan di gudang barang”
Ami mengajak Angel dan aku menuju gudang, ia mengambil kotak untuk tempat bohlam dan menyuruh kami memilah bohlam yang masih bagus dalam menyala. Aku mengambil 10 begitu juga Angel. Kamami menghilang dari pandang, Angel dan aku mulai ketakutan.
“Kamami dimana?”
Angel berteriak memanggil Kamami, sebuah wajah muncul dari atas tumpukan Koran bekas.
“Maaf ya teman-teman, aku sedang cari Koran-koran bekas, kalian bawa bohlam biar aku bawa kertas-kertas ini”
Kami mengangguk, Kamami meloncat dari anak tangga nomor 10 yang dipijaknya. Nekat sekali anak itu. ia kembali tersenyum, tangan kirinya telah ia bentuk huruf ‘L’ dan ia tempelkan di dagu.
“Hem, ok! Sudah siap, ayo ke kamar!”
“Sebenarnya untuk apa semua barang ini mi?”
“Pertanyaan bagus njel, hem.. kita akan buat bintang!”
Angel dan aku langsung saling pandang, ada apa dengan anak itu? Kamami terus tersenyum di sepanjang perjalanan kami ke kamar. Angel menyenggol sikutku.
“De, Kamami kenapa?”
“Aku juga tak tahu njel, tapi aku yakin. Sesuatu yang hebat akan terjadi malam ini"
Angel mengangguk tanda ia setuju akan pemikiranku. Karna ia juga mengagumi Kamami. Kamami pernah mengucapkan suatu hal penting untuk hidup Angel dan juga Kiki.
“Harta hanyalah formalitas kehidupan, karna inti sari kehidupan ini adalah hati. Tanpa ini, takkan ada kehidupan. Hadapi semua dengan perasaan, tapi ingat. Jangan masukan hal negative kedalam perasaan. Dan juga.. dengan ini, kita akan bersahabat selamanya”
Angel menghafal huruf demi huruf yang di ucapkan Kamami di kapal. Ia menceritakan dengan lancar hal itu padaku, aku tersenyum mendengarnya. Karna itulah yang diucapkan Kamami sepanjang waktu, ia berikan asupan energy pada kami.
---
Setibanya di kamar, Kamami mengeluarkan sekotak penuh baterai juga kabel. Di kantungnya ia keluarkan 3 sakelar dan banyak balon tiup.
“Sejak kapan kamu mempunyai ini semua Kama?”
“Sejak tadi siang njel”
“Dengan kak Obiet?”
“Tebakanmu tepat de”
Kamami memisahkan baterai, bohlam, kertas, kabel, dan sakelar di atas lantai kamar.
“Kalian tahu bentuk bintang khan?”
Kami mengangguk, Kamami menyuruhku untuk membuat pola bintang seukuran jarak antara ujung telapak tangannya dengan siku-siku tangan. Ku gores dengan seksama, ku bentuk sisi tajam di kelima sudutnya, seperti yang selalu diceritakan Lintar.
“Iyap, sekarang Angel. Tugasmu membuat bulatan sebesar isi bintang yang digambarkan Dea”
Angel membuat bulatan sempurna dengan cepat, Kamami terlihat puas dengan pekerjaan kami. Ia pun minta bantuan kami untuk membuat jiplakanna sebanyak 40 buah masing-masing. Sedang ia, membuat rangkaian lampu untuk semua bohlam yang tadi kami kumpulkan. Tak lupa ia mengajari kami, agar kami bisa membantu jika pekerjaan jiplak-potong sudah selesai.
---
Pukul 10 PM kami dapat menyelesaikan semuanya, dari pola, lampu, balon dan kabel yang dipasang ke sakelar.
“Nah, sekarang tugas kita. Menyatukan ini semua”
Kami dengan telaten mengerjakan proyek gila tapi menyenangkan ini. Aku menatap wajah Kamami yang berseri terang, bagai bintang. Ialah bintang yang tersembunyi itu, walau ia tak sadar. Aku akan terus membuatnya seperti bintang. Kamami, sahabatku. Untunglah ini bukan mimpi, bertemu dengannya adalah kenyataan diluar kenyataan. Terimakasih Tuhan.
“Yep! Sudah jadi, tak usah pakai kerangka kawat khan untuk menjadikan pola bintang seindah ini?”
“Ya Kamami, keren!”
Angel dan aku melonjak girang. Hasil pekerjaan kami selama 5 jam ternyata sangat memuaskan.
“Sekarang, ayo kita taruh 10 bintang di kamar bunda, 5 di kamar Debo-Kiki, dan 5 di kamar kita”
Kamami menaruh 5 bintang yang ringan akibat tekanan udara pada balon tersebut di setiap sudut dinding kamar, dan sakelar sebagai pusat tenaganya di kolong kasur Kamami.
Kami bertiga mengendap-endap berjalan ke kamar bunda Romi untuk memasang 10 bintang di kamar beliau. Dan terakhir di kamar anak lelaki. Ada sebuah kejadian aneh di kamar ini. Debo tak bisa tenang saat ia sedang tertidur. Ia mengigau.
“Jangan ambil ibuku, aku mohon..”
Kamami mendekati Debo, ia tersenyum lembut. Bak seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, ia mengelus Debo penuh kasih sayang, aku yakin Kamami memang sudah terbiasa melakukannya pada Nova atau Omanya.
Angel dan aku hanya melihatnya dengan seksama, melihat cinta Kamami yang sedang terpancar dan tersalur dari elusannya. Kami juga merasakannya, cinta itu begitu nyata. Kamami mulai bernyanyi, suaranya begitu indah saat ia menyanyikan lagu ‘Hanya satu’ untuk menenangkan Debo. Ia sahabatku, sahabatku sepanjang masa.
---



Debo




Kiki




Angel




Rio, Dea, Alvin




Rahmi dan Obiet

Rabu, 08 September 2010

Asli editan aku

1. ICIL DIVA pilihan aku ^^


2. Dea sama alvin


3. Dea sama Alvin


4. Dea sama Rahmi


5. Dea sama Alvin lagi ^^


6. Yodea lagi telponan >_<


7. Rio ma Deeaa


8. Rio, Dea, Alvin ^^


9. Rio Dea lagi ^^


10. Rahmi, Dea, Sivia

Selasa, 07 September 2010

Rain from Heaven chapter 03



KAMAMI

Sebuah goresan tinta putih menodai kertas warna hitam di atas meja kayu usang. Di lipat kerudungnya ke belakang agar tak terlalu menutupi pandangannya akan tulisan yang kini akan ia buat.
“Hem”
Dehemnya menandakan bahwa ia sedang berfikir keras, hingga kertas hitam itu kini berisi sebuah tulisan dengan tinta putih. Senyumnya terkembang, tulisan tersebut telah hampir ia selesaikan. Kini ia pandangi kertas hitam itu. Ia tertawa kecil. Menatap puas hasil jerih payahnya semalaman. Aku yang sejak malam kemarin memperhatikannya sebenarnya bingung. Apa yang ia perbuat? Kenapa ia begitu senang? Karna aku penasaran, aku coba menghampirinya. Tapi ia selalu menolak kedatanganku dengan alasan.
“Aku ingin sendirian dulu de”
Darimana pula, ia tahu namaku? Padahal aku tak tahu namanya. Sedikit ku intip tulisan anehnya. Seperti rencana hidup rupanya. Dan mungkin aku boleh melihatnya suatu saat nanti.
Hingga pagi ini, kiranya sudah 7 jam perjalanan, kami menuju Jakarta. Desaku memang jauh dari peradaban kawan, tapi itu tak menghalangi kami untuk menatap dunia lewat buku-buku luar biasa yang ada di perpustakaan balai desa yang cukup lengkap. Aku dan Lintar hampir menyelesaikan semua buku di tempat itu. Dan kini, sepertinya Lintar akan mengalahkanku.
Ku rapihkan rambutku agar tak terlalu berantakan. Sepertinya tinggal 3 jam lagi kami tiba di kota impianku bersama Lintar. Jakarta. Bayanganku terus mengikutiku, aku bosan melihatnya. Aku ingin melihat bayangan Lintar saja. Aku ingin bayangan Lintar mengikutiku, agar aku tak bosan. Aku melihat seorang anak lelaki dan perempuan tak ku kenal sedang mengobrol dengan riangnya. Lupa ku ceritakan, setelah terkumpul 6 anak terpilih, kami berenam juga harus mengikuti seleksi lebih lanjut. Menjadi 4 anak.
Ku gerakan bibirku menjadi agak konyol sebagai orang normal, aku bosan. Menunggu anak berkerudung itu menyelesaikan pekerjaannya. Aku agak malas berkenalan dengan 2 anak yang ku tahu mereka berasal dari SDN Mekar. Sebuah SD Negri nomor 3 di Desa tempat tinggalku. Karna aku tahu, semua anak SDN Mekar hanya memikirkan kekayaan. Sebenarnya aku tak boleh berburuk sangka pada keduanya. Tapi, sepertinya ku tunda saja dulu.
Perhatianku hanya tertuju pada anak itu, anak berkerudung yang sangat manis wajahnya, entah perasaan aneh hinggap di hatiku. Aku merasa, anak itu mirip dengan Lintar. Ramah dan penuh semangat. Jadi aku nyaman didekatnya walau aku tak mengobrol dengannya.
“Hei, kamu sudah selesai belum menulisnya?”
Anak itu menoleh padaku, ia mengacungkan 5 jarinya tanda tunggu sebentar lagi untukku.
“Yap! Selesai! Maaf ya Dea, ehem-ehem. Namaku Rahmi Amalia. Tapi panggil aku Kamami!”
“Kamami?”
Nama aneh itu berputar di otakku, nama konyol apa itu? Sudah bagus bukan namanya? Rahmi amalia. Kamami?
Ia berdiri mendekatiku, ia mencoba berbisik padaku seraya menyodorkan kedua benda aneh yang dimiliknya.
"Ini"
"Apa?"
"Apa kau punya rencana hidup?"
"Ehem.. em"
"Ah, dasar aneh kau ini! Ayo, tulis rencana hidupmu sekarang! Aku akan menunggumu"
Dasar anak ini, aku belum 100% memahami jalan pikirannya. Tapi aku coba untuk tersenyum, untuk menghargai sikapnya yg selalu membuatku penasaran.
Aku mulai berfikir keras, memikirkan apa yg akan ku lakukan untuk masa depanku pribadi. Ya, minimal 10 deh.
"Sudah?"
"Belum Kamami"
"Iyap-iyap"
Kamami yg sedang menungguku, ia mengisi waktunya dg mendekati 2 anak dari SDN Mekar yg ku pikir sombong. Mereka pasti menyakiti Kamami. Itulah presepsiku yg pertama. Lalu ku lanjutkan tulisanku. Hatiku menetes titik-titik hujan. Saat itulah perasaanku mulai tenang. Dan rasa itu rupanya memperlancar tanganku. Apalagi ketika aku mengingat anak lelaki yg telah menyelamatkan hidupku. Haduh, apa harus ku tulis di daftar impianku?
"Hahahahahaha"
Suara tawa itu mengagetkanku, membuatku agak melonjak. Ku cari sumber suaranya, amat terbelalak mataku melihat kejadian yg tak pernah ku duga sebelumnya.
"Mereka.. Tertawa bersama?"
Apakah Kamami anak ajaib? Atau, apakah aku yg terlalu buruk sangka pada keduanya? Huft, aku bingung. Dengan cepat ku palingkan pandanganku dari mereka. Ku percepat gerak tanganku. Karna kawan, sebenarnya.. Aku cemburu, aku iri pada mereka. Aku juga ingin bercanda dengan mereka.
"Kamami!"
Kamami berhenti tertawa dan mengontrol suaranya, setelah menghirup nafas sepanjang-panjangnya. Ia tersenyum pada kedua anak Mekar itu, lalu berjalan santai mendekatiku.Ia berdiri tegap disampingku. Tersenyum lagi, lalu mengambil kertas hitam yg berisi tulisanku.
"Subahanallah! Dea, tak pernah ku pikirkan mimpi seindah ini!"
Apa maksud ucapannya itu? Apakah Kamami meledekku? Aku mendengus kesal dan berdiri mengimbanginya.
"Kamu menyindirku ya?"
"Lho? Nggak de, aku bersungguh-sungguh. Bahkan 10 rencana ini mewakili semua rencana omong kosongku"
"Boleh ku baca rencanamu?"
"Tidak! Aku belum bisa memperlihatkannya padamu Dea, aku tak pantas bangga dengan rencana-rencanaku, tapi suatu saat nanti. Aku janji, aku akan memperlihatkannya padamu. Ketika aku sudah menemukan titik terang dihidupku"
"Kamu curang!"
"Haha, sudahlah jangan marah Dea. Sekarang, ayo ku ceritakan kisah-kisah hidupku"
Walau kesal, aku coba mengendalikan perasaanku. Ok, untuk kali ini. Aku maafkan dia.Kamami duduk bersila, aku mengikutinya.
"Kamami, ada satu janji lagi yang belum kamu selesaikan padaku"
"Apa itu?"
Aku menunjukan dua benda yg cukup rancu dalam hidupku. Kertas hitam dan pena putih.
"Ohaha.. Itu to"
Kamami mengambil dua benda itu, dan memandangnya seraya tersenyum.
"Aku ingin.. Masa laluku yg hitam, bisa menjadi putih lagi dengan rencana-rencana hidupku"
Ia menghelakan nafasnya, dan kembali melanjutkan.
"De, pernahkah kau merasakan rindu mendalam pada anggota keluargamu?"
Wajah Ayah yang samar-samar mulai terbayang di benakku. Aku mengangguk sedikit.
"Ah, sudahlah tak usah berlarut dalam kesedihan"
Aku setuju dengan ucapan Kamami. Kamami menunjuk ke jendela kapal laut, aku melihat beberapa burung camar bertengger di balkon kapal. Mataku langsung bersinar, langsung saja ku berlari menuju jendela, menatap burung-burung camar yang ku hitung ada 10 ekor.
"Wah! Kamami, burung-burung Camar itu indah ya!"
Kamami tersenyum lembut padaku, ia berjalan menghampiriku dan membuka jendela tersebut. Ia masukan tangannya ke saku baju sebelah kanan miliknya. Mengeluarkan sekantung pelastik berisi remah-remah biskuit. Ternyata Kamami sengaja mempersiapkannya untuk memberi makan burung-burung itu. Karna ia tahu persis. Burung camar pasti akan hinggap di kapal mereka.
"Ini, kau juga beri makan mereka"
Aku mengangguk dan dengan sigap mengambil remah itu. Ku ulurkan tanganku dengan takut seperti yang dilakukan Kamami. Beberapa burung Camar mendekati tanganku. Dan kini bertengger di lenganku. Aku hanya bisa mengeluarkan tanganku hingga siku-siku tangan. Karna kalian pun tahu besar jendela kapal laut.
"Hahahaha! Geli Kamami"
"Itulah pesonanya Dea. Jika kau mau menggapai impianmu, kau harus belajar dari Alam. Berteman dan rasakan alam Allah ini Dea. Dan kamu akan dg mudah menyelesaikan seluruh impian yang telah kau goreskan di kertas itu"
Tangan kiri Kamami menunjuk ke kertas berisi mimpiku. Aku menitikan air mata bahagia. Terimakasih Tuhan. Engkau telah memberikan Kamami di hidupku.Kamami..
---
Handphone Obiet bergetar, membuat lamunannya akan kenangan bersama Kamami pecah.
"Mengagetkanku saja.. Rio?"
"Halo yo? Ada apa?"
"Obiet, kita dipanggil Bu Ucie ke sekolah. Sekarang"
"Apa?! Sekarang? Kira-kira lama nggak ya yo?"
"Kalau masalah itu. Aku tak tahu biet"
"Wah.. Gawat yo"
"Kenapa memangnya?"
"Aku ada janji sama seseorang yang aku sayang yo"
"Kamu lebay dech biet. Kalau memang lama, kamu bisa izin di tengah-tengah pertemuan. Yang penting, sekarang kita harus cepat ke sekolah"
"Hum. Ok lah"
Pembicaraan tadi membuat Obiet cemas. Ia takut tak bisa menjemput Kamami.
---
Setelah selesai memberi makan burung camar. Kamami dan aku duduk di dekat jendela.
"Kamami, kamu sudah pernah ke Jakarta?"
"Iya de. Bahkan keluarga kandungku tinggal disana"
"Keluarga kandung?"
"Ya"
"Kamami tinggal dengan siapa di desa?"
"Dengan Oma dan saudara angkatku"
"Siapa nama saudara angkatmu? Mungkin aku kenal"
"Nova, ya. Nova namanya"
"Nova! Ia duduk sebelahan denganku saat test"
"Wow, dunia memang sempit ya! Hahahaha"
Tawa itu, Tuhan tolong jangan ambil tawa tulus itu terlalu cepat. Aku ingin selalu bersamanya.Kamami. Sahabatku.
"Boleh ku tahu, kenapa Kamami pilih tinggal di desa Summer. Ketimbang di Jakarta?"
"Aku hanya ingin menghabiskan masa SD ku bersama Oma, karna aku takut. Aku tak bisa melihat senyum Oma jika aku di Jakarta"
"Hanya itu?"
"Yap!"
"Kamami, bisa kau ceritakan. Apa itu Jakarta?"
"Jakarta itu.. Kota penuh penduduk, mata pencaharian, polusi"
"Tapi yang paling penting de"
Aku mendekati Kamami, ia kembali tersenyum tulus.
"Disanalah kita memulai mimpi kita. Juga bahkan. Persahabatan kita"
Aku langsung memeluk Kamami, air mataku mengalir pelan. Ialah sahabat yg diturunkan dari Surga untukku.
---
Patton menyiapkan tas berisi buku-buku lagu dan sebotol jus jeruk. Agar selama latihan nanti, ia bisa siap dan tak mudah lelah. Tapi tiba-tiba jidatnya mengerut. Merasa ada satu benda yang hilang. Ia membungkuk dan mencari benda itu dengan susah payah. Hingga ia masuk ke kolong kasurnya.
'Bring me, to life'
Suara handphonenya berdering kencang. Membuat kepalanya tak sengaja terbentur kayu kasur.
"Ya Tuhan.. Sakit!"
Dengan kepalanya yang memar, ia keluar dari kolong juga sambil meringis.
"Rio? Haduh, dasar anak ini!"
Patton masih mengelus kepalanya. Dan dengan kesalnya, menekan tombol hijau di hp yg terus berdering itu.
"Halo, kenapa yo?"
"Kamu yg kenapa Patt? Nada bicaramu tak enak didengar"
"Aih-aih yo, kepalaku memar karna teleponmu"
"Hem. Maaf deh. Tapi walaupun kepalamu memar, kamu harus cepat ke sekolah. Kalau perlu, sekarang juga"
"Memangnya, ada apa sih yo? Buru-buru banget"
"Bu Ucie mau bicara sesuatu sama 'Prince'."
"Wokelah kalau begitu"
Patton menutup pembicaraan, ia masih celingak-celinguk mencari 'Benda' itu.
---
Bau Kota metropolitan itu hinggap sejenak di ujung hidungku. Lalu masuk merasuk hingga bau itu memenuhi organ tubuhku. Inilah bau Jakarta, penuh polusi walau hari masih pagi. Menurut Kamami, ini tak seberapa.
Kami tiba di Pelabuhan Tanjung-periok pukul 09.00 WIB. Kamami yang paling pertama keluar untuk melepas rindunya pada Jakarta. Seperti yg telah ia ceritakan padaku. Ia dan keluarganya pernah tinggal di Jakarta, ia juga punya kakak kandung yg kini tinggal di Kota ini.
"De! Tahukah kamu?"
Ucapan Kamami menggantung, membuatku mengerutkan dahi. Air mukaku berubah jadi orang penuh tanda tanya. Kamami ternyata puas melihat kebingunganku.
"Tahu apa mi?"
Benar saja, Kamami tertawa mendengar pertanyaanku. Dasar anak aneh.
"Aha! Nanti saja ku ceritakan"
Aku hanya mendengus kesal. Ia selalu menggantungkan kisah-kisah menakjubkannya padaku.
"Huh. Kau ini!"
Ehem. Lupa ku ceritakan pada kalian. Nama 2 anak dari SDN Mekar adalah Kiki dan Angel. Mereka amat baik ternyata. Maafkan aku yg sudah berburuk sangka pada kalian ya.
"Ki, njel, mi. Setelah kita di Jakarta, apa yg pertama akan kalian lakukan?"
Pertanyaanku ternyata membuat ketiga kawanku ini kebingungan. Apalagi Kiki, wajahnya terlihat paling bingung. Bulat wajahnya membuat banyak orang pasti ingin memeluknya, termasuk aku.
Kiki sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak ia masih bayi, ia tinggal hanya dengan Pamannya. Kini pun Paman Kiki sudah sering sakit-sakitan. Aku prihatin padanya, tapi ia tak pernah mau di kasihani orang. Maka dari itu, Kiki selalu melakukan hal indah dalam hidupnya, salah satunya. Bernyanyi. ia tak mau melihat orang lain sedih disampingnya, dengan modal suaranya yg super halus dan menengangkan jiwa. Ia membuat orang disekitarnya selalu tersenyum. Dan juga, Paman Kiki termasuk orang kaya di Desa. Memungkinkan Kiki untuk membuat lebih banyak orang tersenyum karnanya.
Lalu Angel, anak ini jika di lihat sekilas, dan belum mengenalnya. Ia seperti pribadi arogan yg bisa mencengkram kebahagiaan sang penglihat. Tapi! Semua itu dapat di hilangkan Angel dg senyumnya yg luar biasa cerah nan manis.Angel mengacungkan tangannya paling pertama. Kami bertiga langsung menatapnya.
"Aku akan bernyanyi tentang Jakarta untuk kalian, jika kita sudah tiba di rumah Dinas"
"Ide yang bagus njel! Aku akan membantumu"
"Kalian berdua ini"
Kamami tertawa mendengar percakapan kami bertiga. Tapi terlihat jelas di wajah Kamami. Ia sedang mencari seseorang. Ia memandang luas ke seluruh pelosok Pelabuhan. Sambil menyipitkan matanya, ia menggerakan kepalanya. Dari kiri ke kanan, dan sebaliknya. Aku mendekati Kamami.
"Kamami cari siapa?"
"Nggak, bukan siapa-siapa de"
"Yasudah, kita ke bunda Romi yok. Hari ini khan pertama kalinya kita ke rumah dinas"
"Ehem. Ayo"
Kami berdua berdiri di dekat bunda Romi sambil memasukan semua barang bawaan kami ke mobil. Kamami masih terlihat sangat cemas. Ia sesekali menoleh ke belakang.
"Jika kamu mau mencari seorang. Biar aku aja yang membereskan barang bawaanmu mi"
"Oh, nggak kok de. Tenang saja"
Tenang? Sepertinya bukan kata itu yg menggambarkan wajahnya saat ini.
"Sudah mi, cari saja orang itu"
Aku memegang lengannya agar ia bisa berhenti memaksakan perasaannya.
"Tapi de"
"Persahabatan kita dipertaruhkan disini mi"
"Terimakasih de"
Kamami memelukku. Detak jantungnya berdegup kencang sekali. Aku bisa merasakannya. Ia sangat cemas.
"Bunda, bolehkah aku tetap di Pelabuhan untuk beberapa jam lagi? Nanti Bunda berikan alamat rumah dinas padaku. Aku akan kesana bersama saudaraku yang juga bersekolah di BM"
"Tapi Kamami, kamu masih sangat muda. Tak baik sama sekali untuk Bunda meninggalkanmu"
"Tak apa Bunda, kakakku sangat mengenal Jakarta"
"Apa kamu yakin ia akan datang? Jika ia tahu kamu ke Jakarta pagi ini, pasti sekarang kakakmu sudah tiba"
Kamami terdiam sejenak, walau cemas. Ia tetap tersenyum dari hati. Ya Tuhan. Manusia seperti apakah Kamami ini? Kenapa ia masih bisa tersenyum tulus saat ia tahu. Orang yang ia rindukan belum dan tak tentu datang? Apakah ia malaikat? Bukan, ia adalah Kamami. Sahabatku.
"Aku yakin Bunda, kak Obiet pasti datang"
"Obiet? Ia kakakmu? Anak 'Prince' itu kakakmu?"
"I..iya bund"
"Kenapa Obiet tak pernah mengungkitmu ketika sesi psikologi?"
'Karna sebuah alasan yg tak bisa ku katakan, sekalipun itu adalah Bunda'
Kamami tersenyum, lalu mencium tangan Bunda. Kini ia benar-benar ingin menunggu kakaknya yang bernama Obiet.
Bunda Romi juga tak bisa menghalangi Kamami. Walau ia memaksa Kamami untuk tidak menunggu Obiet, ia yakin Kamami tak bisa menurutinya. Ia yakin, Kamami sangat merindukan Obiet. Dan ingin menagih janji Obiet yg sudah berumur mungkin lebih dari 6 tahun."Hati-hati ya Kamami
"Kamami mengangguk, kami bertiga. Angel, Kiki, dan aku. Masuk ke dalam mobil. Masih ku lihat senyum sahabat baruku itu. Ia melambaikan tangannya padaku.
"Aku ingin, Kamami ke rumah dinas bersama kak Obiet"
Kamami mengangguk dan mengacungkan jempolnya padaku.
"Pasti!"
---
Kini. Kelima personil 'Prince' telah berada di hadapan bu Ucie yg sedang memandangi mereka dengan tajamnya.
"Kalian tahu, kenapa aku memanggil kalian?"
Semua terdiam. Oik yang duduk disamping bu Ucie pun tak berani memandang bu Ucie yang sedang terlihat marah.
"Ketika kalian berada di hadapan mereka. Anak-anak yg menjadi adik kelas kalian. Apa yang akan kalian lakukan?"
"Bernyanyi bu"
Bu Ucie memandang tajam Alvin yang baru saja menjawab pertanyaannya.
"Bernyanyi? Kalian sangat bangga dengan prestasi kalian?"
"Tentu bu"
Patton mulai angkat bicara.
"Ternyata kalian memang anak PRINCE yang hanya mengenal harta"
Dengan penekanan nada di kata 'Prince' membuat sang leader Prince mengangkat kepalanya. Dan berganti menatap tajam bu Ucie.
"Sebenarnya, apa maksud ibu menyuruh kami datang sepagi ini? Jadwal kami khan tengah hari"
Rio menarik nafas dan menghelakannya, karna ia mulai takut melihat bu Ucie yang mulai menggerakan kaki ke arahnya.
"Apakah pantas, kau bertanya dengan intonasi yg sangat menyebalkan itu?"
"Tidak bu.. Maaf"
"Oke. Ibu hanya ingin berpesan. Selain bernyanyi, kalian harus ramah dengan senyum kalian di acara MOS nanti"
Rio memundurkan dirinya selangkah menjauh dari Bu Ucie.
"Keberatan?"
"Bu, apakah Obiet boleh pamit duluan? Obiet ada janji dengan adik Obiet"
"Hum. Yasudah, nggak apa-apa"
"Terimakasih bu!"
Obiet segera berlari keluar dari ruang pengawas studio. Tapi ia terlupa satu hal. Ia pun kembali.
"Patt, aku pinjam motormu. Boleh?"
"Ok"
Patton melempar kunci motornya ke Obiet. Obiet tersenyum sekilas, dan segera berlari kembali.
---
Kamami duduk di kayu tepi pelabuhan. Tempat semua kapal terikat dengan tali di tanggulnya. Ia tenggelamkan tangannya ke dalam laut yg berwarna biru kehitaman. Bayangan air laut membuatnya bergetar. Tapi ia ingin melawannya, tak mau ia trauma dg kejadian 6 tahun silam. Ia ambil air laut itu, menggenggamnya hingga air asin itu mengalir lembut melewati celah tangannya. Ia tertawa kecil.
---
Dalam pikiran Obiet hanya ada Kamami. Adik perempuannya yg lebih tinggi darinya. Sepucuk surat yg ia terima 3 hari lalu membuatnya kembali bersemangat. Satu paragraph banyaknya surat dari Kamami yg menggugah hatinya.
* Jika lautan itu tersenyum padaku, aku akan menyambutnya dengan ikhlas. Tapi, jika lautan itu marah padaku. Apakah aku bisa ikhlas kak? Aku tak yakin. Aku bisa terus tersenyum karnanya. Kak, setelah 6 tahun lamanya kita berpisah karna lautan itu. Memisahkan pulau kita kak. Tapi tak apa, karna tepat tanggal 25 Juni nanti, aku akan ke Jakarta. Mengisi hari-hari mu lagi. Walau aku tak bisa bersama lagi dengan mami papi. Aku ingin bisa bersamamu. Jemput aku di Pelabuhan Tanjung-periok tanggal 25 Juni. Aku akan menunggumu seharian. Aku akan tetap setia padamu kak *
Hari ini adalah tanggal 25 Juni. Dan Obiet tak sabar bertemu dg Kamami.
---
Di benakku kini hanya ada Kamami. Bagaimana dengan keadaannya kini? Apakah ia sudah bertemu dengan kak Obiet? Arrgh! Ia membuatku cemas.
"Dea, kamu sedang mencemaskan Kamami ya?"
"Iya njel"
"Tenang saja Dea. Kamami anak yang kuat, takkan terjadi apapun padanya"
"Semoga Ki"
Ku pandangi jajaran gedung tinggi Jakarta. Kenapa begitu banyak gedung tinggi disini? Bagaimana caranya mereka, anak-anak Jakarta melihat bintang? Begitu banyak memang pertanyaanku pada Jakarta.
---
Setelah setengah jam ia naik motor ke Pelabuhan. Akhirnya, ia tiba di Pelabuhan yang akan mempertemukannya dengan Kamami.
Obiet berlari ke tempat biasa kapal menepi.
Air mata bagai hujan menerpa pipi Obiet. Langsung ia seka air matanya agar Obiet bisa melihat adiknya dengan jelas.
"Kamami, kakak ada disini untuk Kamami"
Begitu lirih ucapan yg mengiringi langkah Obiet menuju Kamami.
"Terang saja, aku mendambanya.. Karna Kama, Karena Kamami begitu indah"
Senandung Obiet mengagetkan Kamami, air mata Kamami mengalir juga. Menghangatkan pipi yang sejak tadi merona merah panas karna terik matahari.
"Kamami, kakak sudah menepati janji kakak"
"Terimakasih kak"
Kamami berdiri dan berbalik. Kedua anak ini tersenyum.
"Aku hanya ada satu, dan Kamami disini kak. Akan menggoreskan tinta putih di kehidupan kakak"
"Kakak telah menunggu 6 tahun lamanya. Kini kakak akan menjaga Kamami selamanya"
Kamami tak kuat menahan rindunya. Ia berlari dan memeluk Obiet erat. Air mata keduanya terus mengalir. Diiringi gemericik hujan yang kini menetes sedikit demi sedikit.
---
Entah mengapa Tuhan? Hatiku merasa tenang saat memikirkan Kamami. Kini aku yakin. Kamami telah bertemu dengan Obiet.
Terimakasih Tuhan.
Dan kini, aku juga ingin bertemu dengan penyelamat hidupku. Apakah mungkin? Semoga bisa. Amin

Sabtu, 04 September 2010

Rain from Heaven chapter 02



Pertemuan dan Perpisahan

“Hei, turun saja! Nanti akan ku tangkap tubuhmu!”
Teriakan itu begitu jelas ku dengar di tengah derasnya hujan yang saat itu sedang turun menyirami seluruh pelosok desa Summer. Aku cemas mendengar teriakannya. Apakah benar, ia akan menangkap tubuhku? Apakah aku masih bisa menemani semua orang yang ku cintai? Pertanyaan-pertanyaan ketidak percayaanku itu yang kini berkeliling dalam ketakutanku akan kematian.
“Apa benar kau akan menangkapku?”
“Ya! Loncat saja!”
Aku mulai percaya akan intonasi ucapannya yang membuatku berani mengambil beribu resiko yang pasti akan terjadi.
“Ya, aku akan coba loncat. Tapi tetap di bawah ya!”
“Pasti, aku akan melindungimu!”
Dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku pun bisa loncat, dan .. ‘Brukk’ begitulah suaraku saat tubuhku di tangkap oleh penyelamat hidupku, wajahnya bak pangeran dari negeri dongeng. Mengantarkanku ke suasana yang sangat elok terpancar. Seperti wajah cerianya yang terus menenangkanku saat pertama kali aku membuka mataku.
“Kamu nggak apa-apa?”
“E..enggak, makasih”
Pelangi yang sejak tadi kutunggu tiba-tiba terpancar terang menerangi pertemuan kami yang pertama, memang benar kata Ibu, hujan mengantarkanku ke Surga impianku. Inilah malaikat penolongku. Lelaki dari Jakarta yang akan ku temui suatu saat nanti. Petunjuknya hanyalah kalung bintang yang selalu kulihat ia gunakan. Bersinar seperti wajahnya.
---
Alvin meletakan tas punggung kesayangannya di meja dekat kursi yang diduduki Rio, ia duduk di samping Rio.
“Kamu kenapa vin?”
“Nggak apa-apa”
“Bohong, apakah 12 tahun aku kenal kamu. Aku tak tahu semua tentang kamu?”
“Ya, hem. Nanti saja ku ceritakan yo, judul lagu apa yang akan kita mainkan di acara MOS nanti?”
“My Immortal!”
Celetukan Obiet rupanya membuat Alvin membulatkan mata sipit yang ia miliki, cowok chiness ini tahu tentang masa lalu kelam Rio. Alvin langsung menepuk-nepuk punggung Rio.
“Apa nggak terlalu sedih yo?”
“Nggak”
“Ah, sudah kubilang yo, lagu itu lagu cengeng. Tak pantas di nyanyikan pada acara bahagia seperti itu”
Rio langsung naik pitam akan ucapan Patton, ia berdiri dan menghampiri Patton. Menarik baju si kecil dari Makassar ini dengan kasarnya.
“Aku tak suka, kamu bicara seperti itu pada lagu ini!”
Bentakan Rio membuat semua anggota ‘Prince’ ikut berdiri, Alvin melepas pegangan Rio pada kerah baju Patton. Obiet menarik Patton menjauh dari Rio. Iel yang baru saja datang bertanya ‘Apa yang terjadi’. Alvin langsung menyuruh Iel untuk diam sementara waktu, karna suasana masih genting.
“Maksud kamu apa sih yo? Jangan mentang-mentang kamu itu anak pemilik sekolah ini. Kamu berlaku seenaknya padaku?!”
“Aku bahkan tak pernah mau jadi anaknya!”
Semua terdiam, Obiet yang sejak tadi memegangi Patton melepas pegangannya karna terkejut dengan pernyataan Rio. Alvin sedikit berbisik pada Rio.
“Ketika kamu berbuat jahat, tetesan cinta untukmu akan mulai berkurang yo. Ingat pesan lain dari kakakmu”
Rio menunduk mendengar rangkaian kata yang di nyatakan Alvin. Ternyata Alvin masih ingat pada kakak Rio. Semua pesan dari kakak Rio di hafalkan oleh Alvin agar ia bisa dengan mudah menenangkan Rio. Patton menghampiri Rio, ia mengulurkan tangannya.
“Maafin aku yo, aku tahu. Lagu itu sangat berharga untukmu”
Rio memandang wajah kawan se-band nya itu, hitam manis, terkesan genius, kesetiaan persahabatan terpancar dari wajah Patton. Langsung ia rangkul tubuh Patton.
“Aku juga minta maaf Patt, aku nggak maksud kasar sama kamu”
Barulah Alvin mau menceritakan hal yang baru saja terjadi pada Iel, Iel mengangguk dan maklum dengan keadaan sepupunya. Rio. Iel mendekati Rio, tersenyum padanya. Senyum tulus yang paling disukai Rio hanya di miliki oleh Iel, Alvin, dan kakaknya. Karna dengan senyum itu, Rio masih bertahan untuk hidup di dunia yang sudah terlanjur membuatnya mencatat masa lalu yang kelam di dalamnya.
“Kamu akan tetap jadi sepupu terbaikku”
“Terimakasih yel”
Kekurangan Iel membuat Rio makin bersemangat untuk hidup dan melindungi Iel, membuatnya makin erat menjaga sepupu yang amat berarti di hidupnya. Ia genggam kalung bentuk bintang yang sama dengan kepunyaan Alvin dan Iel. Yang akan bersinar menerangi hatinya.
---
Aku menyiapkan mentalku menghadapi ujian singkat yang akan menentukan masa depanku. Ku pandang wajah Ibu yang menemaniku dalam mengikuti test ini, terlihat Bunda Lintar duduk di samping Ibuku yang sudah berumur hampir setengah abad. Aku tersenyum tipis menyapa keheningan Ibu yang sepertinya cemas dengan test ini. Tapi Ibu tak melihat senyumku. Seluruh anak desa Summer yang kini berkumpul di balai desa membuatku makin bersemangat sekaligus grogi. Pasalnya, mereka pasti anak-anak yang mempunyai mimpi lebih hebat dariku.
Lintar menepuk punggungku sekali, ia tersenyum lebih cerah daripada langit pagi hari ini. Membuatku mengumpulkan lebih banyak kepercayaan diri untuk mengikuti test ini.
“Apa kau gugup de?”
“Pasti Lin”
“Tetaplah semangat sahabatku, walau nanti kita tidak di terima di Smp yang sama. Tapi hati kita akan bersatu selamanya”
“Kita pasti bisa masuk Smp BM bersama!”
Semangatku pada Lintar tak mau ku kendurkan, karna aku sedikit cemas melihat wajah Lintar yang sudah tak semangat lagi. Aku berganti menepuk punggung Lintar, sekaligus merangkulnya untuk sekadar memberikan semangat yang biasa ia beri padaku. Senyum cerianya kembali terkembang bahkan lebih lebar dari yang pertama ia berikan padaku.
“Nah, gitu dong Lintar. Ini baru Lintar yang kukenal”
“Terimakasih Dea”
Di dalam ruang test, aku melihat seorang gadis yang tingginya 5 atau 10 cm di bawahku, ia duduk tepat di samping bangkuku. Aku tersenyum padanya, tapi ia tak membalasnya. Sepertinya anak ini sangat pemalu. Ku lihat plat namanya. ‘Nova’. Ya, nama itu akan terus ku ingat. Teman baruku yang satu ini harus mendapatkan wejangan semangat dari Lintar. Alih-alih ia bisa jadi sahabatku.
Bel untuk memulai mengisi lembar jawaban test ini. Aku berfikir keras dalam menjawabnya, pengumuman test ini akan di umumkan nanti sore. Di balai ini juga. Ruangan antar perempuan dengan lelaki di pisah, agar mudah untuk mendata siswa/I yang masuk.
Setelah 3 jam aku berkutat dengan 100 soal yang terdiri dari 50 soal matematika, 20 soal IPA, 10 soal Bahasa Indonesia, dan 20 soal Bahasa Inggris. Akhirnya aku menyelesaikannya, perasaan was-was di hatiku terus berputar-putar seperti gelombang tsunami yang menggulung-gulung menghapus semua kebahagiaan. Begitulah sedikit aku bisa menjelaskan perasaanku saat ini.
Di luar ruangan, aku melihat Lintar yang wajahnya amat kusut dan lesu. Aku menghampirinya, menepuk punggungnya seperti biasa.
“Kamu bisa mengerjakannya Lin?”
“Aku kurang bisa de”
Sangat lesu ucapan Lintar, tak biasanya ia seperti ini. Apa karna perasaannya yang sangat gugup? Aku mengelus rambutnya dengan mudah, karna tinggi tubuhnya hampir sama dengan gadis yang kutemui tadi. Aku luaskan pandanganku mencari gadis itu, rupanya Nova sedang duduk di samping wanita tua renta yang ku taksir umurnya sekitar 80 tahun. Nova terlihat sangat lesu, sama seperti Lintar. Aku menarik tangan Lintar dan ku ajak untuk berkenalan dengan Nova.
---
Rio memandangi sebuah figura foto, ada sosok gadis cantik bersama dirinya tersenyum, wajah gadis yang sekaligus kakaknya itu tersenyum tulus walaupun itu adalah senyum terakhirnya pada Rio. Senyum terakhir yang dilihat Rio adalah senyum paling tulus untuk Rio, Rio tersenyum tipis melihatnya. Pagi ini, pukul 03.00 WIB, dan ia belum mau beranjak tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan kakaknya, ia sangat merindukan kakaknya.
“heuh”
Desahannya ternyata di dengar Alvin yang sedang menginap di rumah Rio, memang mereka bertiga (dengan Iel) sering bergantian menginap, karna keadaan mereka bertiga juga hampir sama, tak di perhatikan orang tua masing-masing.
“Kamu masih ingat kakakmu yo?”
“Iya vin”
Alvin mengambil foto yang dipegang Rio, memperhatikannya sejenak lalu tersenyum, Rio sedikit curiga dengan senyum Alvin dan gerak alis Alvin yang naik-turun membuat Rio agak menjauh dari Alvin.
“Mau kuceritakan sebuah kisah?”
“Boleh, asal jangan dongeng”
“Hem. Tapi ini dongeng di kehidupan nyata lho”
“Ah, aku malas dengar. Sudahlah, ayo tidur! Jangan sampai Iel juga bangun. Kasihan dia, otaknya berfikir keras hari ini”
“Yasudah, padahal cerita ini sangat menarik lho”
“Tak mau”
Alvin tertawa kecil melihat polah Rio, lalu kembali tidur.
---
Aku dan Lintar menghampiri Nova, aku coba tersenyum lagi pada Nova, kali ini Nova hanya melihatku sejenak. Dan sepertinya Lintar sudah tahu permasalahan yang sedang ku hadapi. Maksudku, ia sudah tahu untuk tujuanku mempertemukan Nova dengan Lintar.
“Hai, namamu?”
Seperti biasa, nada bicara Lintar saat ia berkenalan dengan orang tipe Nova, Nova memperlihatkan plat namanya.
“Hem. Nova to, nama yang sangat bagus lho”
Ku biarkan Nova dan Lintar mengobrol berdua, aku pamit untuk menemui Ibu. Lintar hanya mengangguk dan terus mengobrol dengan Nova. Walaupun hanya Lintar yang bicara. Aku tertawa kecil melihatnya.
Pandanganku bergerak ke kiri-kanan, kanan-kiri dan seterusnya. Hingga ku temukan wanita itu. Ibu. Aku langsung berlari menemui Ibu yang terkantuk-kantuk menungguiku. Ku elus punggungnya untuk member ketenangan dalam kantuknya. Tapi ia malah terbangun dan agak terkejut melihatku sudah ada di hadapannya. Duduk bersamanya.
“Bagaimana testnya Dea?”
“Baik bu, doakan saja”
“Kamu sudah makan?”
“Belum bu”
“Ayo kita cari makan dulu”
“Ayo bu”
Ku gandeng tangannya yang lembut bak gelembung yang sering timbul ketika Ibu sedang mencuci pakaian-pakaian dirumah. Dan sahabat, aku sering mengumpamakan awan lembutnya seperti itu.
Setelah berjam-jam kami menunggu, pengumuman kelulusan test itu akhirnya di tempel. Aku langsung menyeruak masuk, kuhitung orang yang lulus. Hanya 3 orang saja dari beratus anak desa ini. 3 lelaki dan 3 gadis.
Ku lihat namaku berada di urutan pertama dari kelima anak terpilih! Dea Christa Amanda! Aku di terima!! Saking senangnya, aku loncat-loncat dan sedikit menghalangi anak lain untuk melihat pengumumannya. Aku ingat, Nova. Ya! Apakah anak itu juga diterima? Ku cari namanya di deretan anak-anak yang mendapat beasiswa. Tapi tak kutemukan namanya, harapanku menjadi sahabatnya seketika sedikit pupus. Aku keluar dari kerumunan.
Lintar sudah duduk di dekat pohon bersama Bundanya, air mata bercucuran dari mata indahnya. Bundanya mengelus Lintar penuh kasih, kakiku lemas untuk menghampirinya. Tapi tetap ku kuatkan kakiku ini. Menemui sahabat terbaikku sepanjang masa.
“Lintar..”
“Dea, de.. aku nggak bisa temenin kamu ke Jakarta sekarang..”
Ucapannya barusan membuat hatiku seperti pecah, harapanku bersama Lintar harus sirna saat itu juga. Sahabat terbaikku ini tak bisa menemaniku ke Jakarta, menggapai mimpi bersama. Tapi aku tak percaya dengan omongan Lintar, ku gerakan kakiku dengan cepat menuju forum pengumuman anak laki-laki, ku cari nama Halilintar Morgen, tapi tak kutemukan namanya. Kemudian ku cari ulang, hingga 5 kali mencari, memang tak tercantum namanya. Nama Halilintar Morgen. Tenggorokanku kelu, air mataku mengalir, jantungku terasa sangat sakit, hingga aku pingsan saat itu juga.
---
Rio sebenarnya penasaran dengan cerita yang ingin diceritakan Alvin padanya ‘Dongeng kisah nyata? Apa maksudnya?’ Kata hati Rio, ia berbalik menatap Alvin.
“Heuh, sudah tidur rupanya”
Akhirnya, ia lupakan rasa penasarannya.
---
Aku buka mataku agak berat, melihat Ibu, Lintar, dan Bunda Lintar sudah mengelilingiku, aku terbaring di tempat tidur puskesmas dekat rumahku.
“Lintar..”
Lintar langsung menghampiriku, ia memegang tanganku. Menggenggam tanganku penuh arti seperti sinar matanya yang menenangkan hati.
“Kamu..”
Telunjuknya menutup mulutku untuk tak meneruskan perkataan yang mungkin ia sudah tahu.
“Jangan berhenti hanya karna aku tak mungkin ada disampingmu untuk beberapa tahun yang akan datang ya de”
Aku tak tahu, perkataan Lintar barusan menghiburku atau bahkan membuatku terlarut dalam kesedihan.
“Tidak Lin, aku takkan kemana-mana, aku akan……”
“sssst, kamu jangan pernah mengecewakanku de! Kalau kamu tak mengambil beasiswamu, aku takkan mau jadi sahabatmu lagi!”
Aku menatap keyakinan Lintar saat mengucapkan kalimat tadi, yang aku resap menjadi ‘Jika aku tak mengambil beasiswaku, aku takkan menjadi sahabatnya selamanya, walau aku berada disampingnya’
“Kamu harus menggapai mimpimu, dan melanjutkannya denganku suatu hari nanti. Ingat ya, seperti yang kau ucapkan padaku bertahun-tahun yang lalu. Tetes hujan yang kau lihat itu, datangnya dari Surga. Dan tetes hujan yang kau lihat itu mengantarkan kita ke mimpi kita”
“Ya, itulah yang dulu ku ucapkan.. tapi ini lain Lin”
“Hei, ini sama Dea! Lihat hujan itu!”
Lintar menunjuk ke luar untuk memperlihatkan betapa indahnya fenomena Tuhan itu.
“Tetes hujan itu, mengantarkan mimpi kita yang telah Allah SWT simpan di Surga de!”
“Terimakasih Lin, bahkan kamu yang menghiburku saat aku yang ingin menghiburmu”
Lintar kembali tersenyum bangga padaku. Untukku, dan aku pun tersenyum padanya. Tak pernah ku bayangkan, aku akan mengalami perpisahan dengan Lintar. Walau aku tahu, perpisahan itu pasti ada.
---
Rio menyiapkan segala keperluan yang akan ia bawa ke tempat latihan. Matanya masih mengantuk luar biasa. Ketika ia lihat Alvin, ia teringat ucapan Alvin yang membuatnya penasaran 'Dongen kisah nyata' apaan sih? Tanya Rio dalam hati. Telepon genggamnya bergetar membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Halo?"
"Ini kak Rio?"
"Ya, Oik. ini Rio"
"Kak Rio, kakak dan band kakak harus cepat datang ke sekolah! Bu Uci sepertinya marah besar pada kalian!"
Rio langsung menekan tombol merah pemberhenti pembicaraannya dengan adik kelas bernama Oik.
"Alvin, Iel!"
Teriakan Rio barusan sangat mengagetkan kedua anak tampan yang sedang terlelap dalam tidur mereka. Alvin membersihkan kotoran mata yang sudah bersarang dimatanya, membuat ia tak nyaman untuk membuka mata. Sedang Iel hanya celingak-celinguk mencari sumber suara yang telah membangunkannya.
"Kamu yang bangunin kami yo?"
"Iya yel, kita harus cepat ke sekolah. Bu Uci ingin bicara dengan kita"
"Wah, ada job lagi bukan?"
"Nggak tahu juga vin, sudahlah. Ayo cepat bersiap. Biar aku yang beri tahu Obiet dan Patton"
"SIPLAH"
Setelah berseru, keduanya berlari menuju kamar mandi. Rio tersenyum tipis melihatnya, tak lama. Telepon genggamnya bergetar lagi.
"Halo?"
"Kau akan mendapatkan cintamu sebentar lagi"
"Siapa ini?"
"..."
Pembicaraan tiba-tiba terputus, Rio bingung dan memandangi layar Hp nya selama beberapa menit. Tak ada yang istimewa, hanya salah sambung. Batin Rio.
“Eh yo, kamu lihat kalungku nggak?”
Alvin muncul dari balik pintu kamar mandi, Rio menggeleng tanpa menatap Alvin. Alvin hanya mendesah dan masuk lagi ke kamar mandi. Rio menggerakan handphonennya karna telepon mini itu mendadak ‘mati’. Setelah puas menggoyangkan hpnya, Rio kesal dan melemparkan hp BB silver miliknya ke kasur. Rio menatap dirinya di cermin besar, matanya yang kecil tajam, tingginya yang ideal seorang anak lelaki 12 tahun, dan rambutnya yang agak berdiri menambah pesonanya sebagai leader ‘Prince’.
“Kau, hanyalah bayanganku! Jangan kau tatap aku selayaknya kau adalah aku!”
“Kamu ngapain sih yo?”
“Nggak kok yel, aku nggak ngapa-ngapain”
“Yo, kamu benar nggak lihat kalungku?”
“Hem, yasudah. Ayo kita cari dulu”
---
Terimakasih Lintar, walau kau tak bisa menemaniku di Jakarta tahun ini. Mungkin kau bisa menyusulku bahkan lebih sukses dari aku. Tanpa Jakarta.
Perpisahan ini hanyalah sementara Dea. Batinku, ku peluk Lintar tanda perpisahan sementara kami. Terlihat Nova berdiri di samping Lintar. Aku tersenyum padanya, ia hanya tersenyum tipis padaku. Meningkat juga kadar keramahan Nova. Ku yakin, Nova dan Lintar bisa menjadi sahabat. Seperti aku dengan Lintar.
"De, kamu mau mencari anak itu?"
"Ya Lin, mungkin aku akan mencarinya"
"Hati-hati ya"
"Pasti Lintar, susul aku ya?"
"Tentu!"
Dan untuk perpisahan kami, aku tersenyum pada Lintar, ia membalasnya dan menenangkan hati juga pikiranku dengan senyumnya. Aku akan pergi untuk kembali Lintar. Akan ku bawa bintang bersama dengan irama air langit yang turun dari Surga itu.
---

Jumat, 03 September 2010

Rain from Heaven chapter 01

Chapter 1



My Memory

Senyumnya masih terukir di benakku, hujan itu yang mempertemukanku dengannya. Dalam kecemasanku, aku bertemu dengannya, seorang lelaki penyelamat jiwaku.
Diriku terkapar di rumah sakit selama beberapa bulan terakhir ini, mari, ku ceritakan kenapa aku berada di sini.
-------------------------------------------------------------------------------------
Angin dingin menyeruak ke dalam ruangan, menyentuh kulit-kulit orang Indonesia ini, membuat mereka termasuk aku agak menggigil. Tapi tak peduli sedingin udara yang menerjang kami, kami tetap akan latihan semampu kami. Aku berdiri dan mengeluarkan suaraku sekuat tenaga
“Aku hanyalah seorang manusia tanpa hati! Jadi, kau tak usah mengaturku dengan omonganmu yang tak bermutu itu!”
Seorang anak lelaki seumuranku berdiri, tingginya lebih rendah dariku, mulutnya terbuka lebar hendak mengucapkan sesuatu yang telah ia pendam dalam hati.
“Tapi kau tetaplah bagian dari hidupku!”
Semua cukup tercengang dengan ucapan lelaki itu, namanya Lintar. Sahabatku dari Padang, begitu tegas ucapannya membuat semua orang yang mendengar ucapannya akan ternganga seketika. Tapi tetap, ucapan yang baru saja ia katakan hanyalah acting belaka.
“Bagus-bagus, ya sudah, sekarang kita istirahat dulu”
Aku yang tengah duduk di antara para teman gadisku, langsung berjalan menghampiri Lintar.
“Actingmu bagus seperti biasa”
“Sebagai seorang seniman, aku harus seperti itu de!”
“Ya ya ya, lihat sampai di antara kita berdua yang bisa ke Jakarta lebih dulu”
“Pasti aku dulu Dea”
Aku hanya tersenyum melihat polah Lintar, dari dulu ia memang tak pernah berubah. Selalu ceria. Kami berdua punya mimpi, akan ke Jakarta bersama-sama, walau aku tahu pasti Lintar lah yang akan dengan mudah berada di Kota metropolitan itu. Lintar lebih berpengalaman dariku, dan rencananya setelah drama musical perpisahan SD kami. Ia akan ikut test beasiswa di Smp swasta khusus seni di Jakarta. Sebenarnya aku sangat menginginkan beasiswa itu, tapi Ibu ku tak pernah mengizinkanku ke Jakarta, sejak kepergian Ayahku kira-kira larangan itu di dirikan. Aku hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Tak ada gunanya memang mengeluh terus menerus. Tapi.. hm.
“Hei Dea, kamu benar tak mau ikut test itu?”
“Aku tak bisa memikirkan hal itu dulu Lin”
Masih ingat percakapanku dengan Ibu dua minggu yang lalu, walau sedikit, bahkan sangat mengejutkan bagiku, aku tak bisa gegabah, kira-kira percakapan tersebut berlangsung saat aku sedang menatap hujan nan indah hobiku.
-------------------------------------------------------------------------------------
Hujan itu turun menebarkan pesonanya yang begitu indah, di padu warna langit yang agak kekuningan menandakan matahari akan segera menghilang berganti bulan.
Aku duduk merenung melihat keajaiban Tuhan yang telah menurunkan hujan ini untuk manusia, air-air langit itu bagai turun untuk menghiburku, menggerakan daun agar mereka bisa menari naik-turun menenangkan hatiku yang sedang sangat cemas dengan keputusanku.
Tanganku bergetar tak keruan saat aku gugup, bibirku juga bergetar dan telapak tanganku basah. Karna aku memang mempunyai penyakit jantung keturunan Ayahku yang telah meninggal 6 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas 1 SD, saat aku belum mengerti tentang kata ‘Kematian’. Degup jantungku cukup kencang berdetak dan mulai menyakiti rongga dadaku. Membuat seluruh tubuhku lemas saat aku merasakan kecemasan luar biasa. Anak umur 11 tahun sepertiku memang sangat lemah jika harus menanggung penyakit seberat ini, tapi akan kulalui dengan sekuat tenagaku yang masih tersisa.
Mungkin memang inilah keputusan bulat yang ku buat, mengikuti test masuk Smp favorite di Jakarta dan bersama dengan Lintar menjadi musisi terkenal di Indonesia. Memang belum tentu aku akan diterima disana, tapi setidaknya nilai akademis ku cukup memuaskan untuk mendapat satu beasiswa. Tak pernah terpikir olehku kesempatan itu datang untuk kami, Lintar dan aku. Tapi aku cemas, apakah aku di izinkan oleh Ibu mengikuti test tersebut.
Sebenarnya, selain ke Jakarta untuk menggapai mimpiku, aku juga ingin bertemu dengan seorang anak lelaki Jakarta yang pernah bermain bersama ku dan Lintar saat kami masih kelas 4 SD. Aku tak tahu namanya, tapi aku masih ingat paras wajah manisnya yang membuatku terkesima. Beda dengan semua anak desa disini. Kulitnya bersih dan tak terlalu legam seperti kami. Hm. Pokoknya aku kagum padanya, ia juga pernah menolongku saat aku tak bisa turun dari pohon. Tapi nanti saja aku menceritakan kisah masa kecilku ini.
‘Kreeekk’
Suara pintu kamarku yang sudah sangat tua terbuka, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu, ialah Ibuku. Ternyata sudah banyak rambut putih yang tumbuh di atas tempat penyimpan otak syaraf pengendali tubuh ini. Ia tersenyum lembut padaku, begitu keibuan senyumnya padaku. Tuhan, kenapa aku harus mempunyai pikiran untuk meninggalkan Ibu seorang diri? Aku menyesal Tuhan. Ibu berjalan ke arahku tanpa menutup kembali pintu kamar.
Kini Ibu sudah berada disampingku menatapku lekat, aku ingin menangis melihat wajah Ibu yang sangat menyayangiku, hatiku kini mengeluarkan air dengan derasnya hanya karna melihatnya. Apalagi jika aku harus mengatakan rencanaku pada Ibu. Tangan Ibu menyergap punggung tanganku, Jantungku berdegup kencang. Tapi tetap terkontrol. Tak membuatku sakit hingga hampir mati rasa.
“Apa yang ingin Dea katakan pada Ibu siang tadi?”
Pertanyaan Ibu barusan menyadarkan aku tentang sebuah mimpi anak yang baru lulus SD ini, tak tahu rencananya ini benar atau salah.
“Tak apa bu, aku hanya ingin mengingatkan Ibu, bahwa aku telah lulus dengan nilai terbaik di sekolah”
Aku tersenyum bangga tapi normal tentang prestasi yang kudapatkan. Menjadi seorang lulusan terbaik di SDN ku tidaklah mudah sahabat. Aku harus bersaing dengan beberapa anak super cerdas lain. Termasuk Lintar, sahabatku.
“Tidak, Ibu yakin, Dea ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari itu”
Sinar mata Ibu merasuk hingga memukul hatiku, terasa perih. Sangat perih. Aku tak tega Ibu, jangan paksa aku. Aku mohon.
“Ayo Dea, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan”
Aku tak bisa menahan tangisku. Langsung ku peluk Ibu agar tangisku dapat sedikit tertahan. Tapi rasa ini bukannya reda, malah menjadi-jadi ketika ku cium bau mawar kesukaan Ibu di bajunya. Tuhan, tolong aku.
“Ibu tahu. Sayang, kamu berniat ikut test beasiswa ke Jakarta khan?”
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Ibu barusan, langsung ku lepas pelukanku. Ku tatap paras cantik yang terbentuk di wajahnya, walau segurat kulit keriput telah menyatu di pelipisnya. Tapi cantik wajah dan hati Ibu tak pernah sirna.
“Maafkan aku Ibu”
“Apa kau ingat, saat Ayahmu meninggal karna ia ke Jakarta. Penyakitnya bertambah parah disana, dan sejak saat itu. Ibu tak pernah percaya dengan rumah sakit di Jakarta”
Ya. Memang begitulah kiranya sekilas kisah Ayahku yang meninggal akibat dirinya di pindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Penyakit Ayah saat itu kambuh tiba-tiba dan harus di operasi. Tapi tak ada peralatan yang cukup di desa kami. Maka dari itu, Ayah harus ke Jakarta. Tapi.. biaya pengobatan dan operasi Ayah sangatlah mahal, kami tak mungkin bisa membayarnya. Ayah di terlantarkan begitu saja. Hingga Ayah tak tertolong lagi. Begitu kejam orang-orang kedokteran itu, membuat Ibu dendam pada Jakarta. Tapi tak sama denganku. Aku sangat ingin ke Jakarta, karna sejak kecil. Lintar telah menceritakan padaku gemerlap dan keindahan Jakarta.
“Tapi bu, rumah sakit itu saja yang memperlakukan pasiennya tak wajar, aku yakin. Tak semua rumah sakit di Jakarta seperti yang Ibu bayangkan”
Ibu menatap mataku penuh arti, aku tak kuat menatapnya. Langsung saja ku palingkan wajahku dari Ibu, menatap air hujan yang masih deras turun mengguyur desaku tercinta. Desa Summer. Memang aneh desa ini, dinamakan desa Summer. padahal musim terus berganti. Mungkin agar kami selalu ceria seperti musim semi.
“Apa kau tak percaya pada Ibumu sendiri?”
“Bukan bu, bukan aku tak percaya.. tapi bu, tolonglah izinkan aku ikut test itu, aku ingin menggapai mimpiku”
“Apa kau tak mau menemani Ibu yang sudah tua renta ini?”
“Ibu..”
“Tidak, Ibu takkan mengizinkanmu”
“Dea mohon bu, Dea janji. Dea akan membahagiakan Ibu dengan prestasi Dea. Lagipula, ada Lintar yang bisa menjaga Dea”
“Tak cukupkah kau menyakiti hati Ibu dengan permintaanmu De!”
“Aku, aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku. Karna aku berjanji. Aku akan menjadi bintang paling terang di Smp Betha Melody, Smp seni yang mengadakan beasiswa tersebut bu”
Ibuku terdiam beberapa menit, membuatku menunggu dengan cemas. Suara hujan makin kencang terdengar mengiringi detak jantungku yang berdegup lebih keras dari yang tadi. Ibu kembali menatapku penuh arti, air matanya telah turun deras melalui matanya yang sudah rabun senja.
Sebuah anggukan pelan tergambar di depan mataku, anggukan tersebut berasal dari seorang wanita yang sangat ku cintai, senyumku langsung terkembang lebar bak bulan sabit yang menerangi bumi ini. Ku peluk erat-erat tubuh kurus Ibu, kehangatan kasih sayangnya menyatu dengan hatiku. Jantungku berdegup begitu berirama bagai sedang menari balet untukku.
-------------------------------------------------------------------------------------
Lintar menyentuh tanganku, menggoyang-goyangkannya seperti kuas kesayangannya yang sudah usang dan sering ia gunakan untuk melukisku.
“Kamu ngapain sih?”
Lintar tertawa girang, ia menatapku dengan sinar matanya yang selalu cerah bagai matahari pagi sumber kehidupan bumi.
“Dea harusnya sadar, bukankah Ibumu telah mengizinkanmu untuk ikut test itu?”
“Ya, tapi aku bingung memilih Lin, walaupun aku dengan mudahnya ke Jakarta, aku tak mungkin juga membiarkan Ibuku sendiri”
“Kata siapa Ibumu akan sendirian?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, Bundaku akan menemani Ibumu Dea. Tenang saja, Ibumu akan tinggal di rumahku selama kamu pergi meninggalkannya”
“Serius?”
“Duarius deh!”
Senang bukan main aku mendengar pernyataan Lintar barusan, ku peluk tubuh kecil sahabatku yang satu ini. Semua anak spontan berteriak menyoraki kami dengan ledekan-ledekan kecil khas desa kami.
-------------------------------------------------------------------------------------
Seorang anak lelaki menutup pintu mobilnya dengan keras, menghampiri beberapa anak lelaki lain. Tak ada senyum terukir di wajahnya, dingin memang menjadi ciri khasnya. Sedikit senyum darinya menjadi sebuah hal langka bagi semua orang di sekitarnya. Tapi itulah yang membuatnya menjadi King of Melody. Di Smp BM (Betha Melody).
“Hai yo, sudah lama tak bersua.. haha”
“Tak lucu”
“Rio, kami hanya ingin menghiburmu, dari kemarin wajahmu selalu muram”
“Nggak apa-apa kok, latihan lagi yuk”
“Alvin dan Iel belum datang yo”
“Yasudah, kita bertiga cek alat saja dulu”
Seraya mengajak kedua temannya yang lain, Rio menoleh ke gerbang sekolah, tak terasa sudah 1 tahun ia berada di sekolah ini. Ia masih ingat dengan masa-masa saat ia pertama masuk sekolah ini. Ayahnya adalah pemilik Smp swasta yang kini ia bersekolah di dalamnya. Tak suka memang ia melihat kekuasaan ayahnya menjadi tameng baginya untuk disukai di sekolah ini. Jadilah ia sebagai anak paling dingin Smp BM.
Karna dorongan sepupu dan sahabatnya (Iel dan Alvin), mereka bertiga mendirikan sebuah band yang kini menjadi band paling terkenal di Smp BM. Bersama kedua teman Rio yang lain, Patton dan Obiet.
Mereka juga punya gelar masing-masing. Seperti Rio sebagai ‘King of Melody’ karna ia memang bagaikan raja pemimpin Smp ini. Walaupun sikap cueknya tak ada yang menandingi. Tapi ternyata ia di percayakan oleh BM untuk menjadi ketua OSIS selama 1 tahun ia sekolah disini, tanpa hambatan sedikitpun. Malahan, ia berhasil membuat Smp BM menjadi Smp swasta nomor 1 di Jakarta berkat kinerjanya. Lalu, Alvin. ‘Prince of winter’ sahabat Rio ini juga cuek, tapi tak secuek Rio. Seperti yang dikatakan barusan “Cueknya tak ada yang menandingi”, Alvin punya satu keistimewaan. Ia bisa bermain semua alat music kecuali satu, biola. Yang menjadi keahlian Obiet, ‘Prince of love’ pangeran yang satu ini memang sangat penuh kelembutan, romantis, suaranya yang sangat lembut juga mendukung gelarnya sebagai pangeran cinta. Lalu ‘Prince of Summer’ yang di sandang oleh Iel. Karna di antara kelima anak ini, Iel lah yang paling ceria bagai musim semi yang sangat bersinar. Sepupu Rio yang satu ini punya keterbatasan dalam syarafnya, menjadikan ia sebagai anak paling pelupa di BM. Tapi ia terus mengatasi kekurangannya dengan keseriusannya belajar dan mencatat semua yang ia lakukan agar tak mudah lupa lagi. Dan ia berhasil menjadi anak teladan kedua setelah personil terakhir di band ini. Patton sang ‘Prince of genius’. Patton adalah bintang di BM. Bintang ilmu bak encyclopedia di BM. Kepintarannya bermain keyboard pulalah yang menarik perhatian Rio merekrutnya menjadi salah satu bagian di bandnya. ‘Prince’ itulah nama band Rio. Rio sebagai vokalis, Alvin sebagai gitaris, Iel sebagai drummer, Obiet sebagai vionis, dan Patton sebagai keyboardis. Walau terkadang mereka bergantian posisi sebagai vokalis.
Rio duduk di bangku elegan studio besar milik BM yang berfungsi untuk latihan semua band BM setiap harinya, rencananya. Band ‘prince’ akan tampil di acara penyambutan siswa/I baru BM.
“Lagu apa ni yang akan kita bawakan yo?”
Obiet bertanya seraya membenarkan kacamata minusnya. Rio menatap Obiet sejenak, lalu mengambil gitarnya.
“My Immortal aja, liriknya cukup remaja”
“Tapi itu lagu sedih yo, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa Patt”
Kedua kawan Rio hanya menaikkan bahu mereka tanda terserah pada Rio sang leader. Ingatan Rio kembali melayang saat ia pertama kali menyanyikan lagu ‘My Immortal’. Saat ia masih kelas 6 SD. Lagu yang hingga kini terus ia ingat, lagu yang pertama kali di ajarkan kakaknya, yang kini telah tiada sejak ia lulus kelas 6 karna sebuah penyakit.
Paras manis wajah kakaknya terus terukir di pikirannya, hanya pada kakak, Alvin, dan Iel lah ia bisa tersenyum lepas. Tapi kini, senyum itu menjadi semakin sulit di lihat. Semenjak kepergian kakak perempuannya, semakin tak berarti kehidupannya. Kasih sayang yang ia dapatkan makin berkurang dari masa ketika kakaknya masih ada di sampingnya.
“Ketika kamu lihat hujan yang mengalir dari langit. Percayalah, tetes demi tetes airnya, membawakan beribu cinta untukmu”
Itulah kiranya ucapan terakhir kakaknya ketika nafasnya yang terakhir berhembus. Bersama hujan yang kini juga mengalir di hati Rio. Membuatnya terpaksa harus mengeluarkan air tersebut dari hatinya, karna sudah tak terbendung lagi rupanya.
“Aku akan mengingat ucapan kakak”
Bahkan hingga di saat terakhir kakaknya hidup di dunia ini, kedua orang tua Rio sama sekali tak datang hanya untuk menjenguk. Dendam telah memuncak di hatinya, bahkan ia tak pernah mau menyebut atau mengingat nama kedua orang tuanya.

Rabu, 01 September 2010

Rain from Heaven Prolog



Langit itu begitu tinggi, begitu indah.
Tak ada satupun mahluk yang dapat membuat keagungan tersebut dengan mudahnya mereka merusaknya.
Langit itu menangis, menurunkan banyak air yang dapat menyuburkan manusia. Juga dapat membahayakan manusia dengan mudahnya.
Begitu banyak air yang telah di keluarkan oleh Allah SWT.
Begitu banyak benda berharga kehidupan tersebut menyegarkan hati ini.
Begitu banyak air langit itu telah memberikan kehidupan untuk kita.
Tapi apa yang kita balas? Hanya kerusakan yang ada dimana-mana.
Maka langit pun menangis, menangis deras hingga air yang ia tumpahkan sangat banyak melebihi kekuatan manusia untuk menampungnya.
Tapi semua itu, dapat di netralkan dengan larutan keajaiban dari hati.
Cinta..
Hanya kata itu yang kini ada di genggaman semua orang yang ingin menenangkan bumi ini.
Hanya satu kata itu yang kini ada di benak semua orang yang ingin mencintai dan dicintai.
Hanya satu kata itu yang kini dapat menenangkan langit untuk tak perlu menangis terus karna ia menyaksikan begitu banyak kejahatan.
Ketika Cinta tersebut bersemi, semua akan menjadi indah.
Hujan dari Surga pun datang menghiasi cinta dengan butir demi butir air lonjong nan dingin alami itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Tak dapat ku ubah garis hidup ini kecuali Tuhan yang mengubahnya untukku.
Bintik-bintik bening di pipimu ingin ku hilangkan dengan telapak tanganku sendiri.
Ingin ku usap pipimu hanya untuk memberikan sedikit sinar hidup untukmu.
Tak ingin ku melihatmu menangis hanya karna cinta. Karna ku tahu, ada sebuah cinta suci seperti yang sering kau katakan.
Cinta yang ingin kau gapai melalui tetesan hujan yang sejuk. Aku ingin mewujudkannya, walaupun itu sulit. Bagiku tidak!
Cinta ini akan ku genggam hingga kau akan ku antarkan ke Surga hatiku dengan hujan air mataku sendiri.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Suara-suara itu terus mengangguku, ketika ku rapuh melihatmu beredih. Mereka sangatlah egois. Membiarkanmu sendiri, tapi karna itulah takdir kita di atur.
Menjadi sebuah kisah manis seperti yang biasa kau ceritakan untukku, tentang kisah masa kecil mu dengan anak itu. Saat hatiku terbakar, dan disanalah aku tahu.
Aku mencintai mu karna hujan.
Hujan yang sering kau bilang, "Hujan dari Surga" atau "Rain from Heaven"

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini