Sabtu, 04 September 2010

Rain from Heaven chapter 02



Pertemuan dan Perpisahan

“Hei, turun saja! Nanti akan ku tangkap tubuhmu!”
Teriakan itu begitu jelas ku dengar di tengah derasnya hujan yang saat itu sedang turun menyirami seluruh pelosok desa Summer. Aku cemas mendengar teriakannya. Apakah benar, ia akan menangkap tubuhku? Apakah aku masih bisa menemani semua orang yang ku cintai? Pertanyaan-pertanyaan ketidak percayaanku itu yang kini berkeliling dalam ketakutanku akan kematian.
“Apa benar kau akan menangkapku?”
“Ya! Loncat saja!”
Aku mulai percaya akan intonasi ucapannya yang membuatku berani mengambil beribu resiko yang pasti akan terjadi.
“Ya, aku akan coba loncat. Tapi tetap di bawah ya!”
“Pasti, aku akan melindungimu!”
Dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku pun bisa loncat, dan .. ‘Brukk’ begitulah suaraku saat tubuhku di tangkap oleh penyelamat hidupku, wajahnya bak pangeran dari negeri dongeng. Mengantarkanku ke suasana yang sangat elok terpancar. Seperti wajah cerianya yang terus menenangkanku saat pertama kali aku membuka mataku.
“Kamu nggak apa-apa?”
“E..enggak, makasih”
Pelangi yang sejak tadi kutunggu tiba-tiba terpancar terang menerangi pertemuan kami yang pertama, memang benar kata Ibu, hujan mengantarkanku ke Surga impianku. Inilah malaikat penolongku. Lelaki dari Jakarta yang akan ku temui suatu saat nanti. Petunjuknya hanyalah kalung bintang yang selalu kulihat ia gunakan. Bersinar seperti wajahnya.
---
Alvin meletakan tas punggung kesayangannya di meja dekat kursi yang diduduki Rio, ia duduk di samping Rio.
“Kamu kenapa vin?”
“Nggak apa-apa”
“Bohong, apakah 12 tahun aku kenal kamu. Aku tak tahu semua tentang kamu?”
“Ya, hem. Nanti saja ku ceritakan yo, judul lagu apa yang akan kita mainkan di acara MOS nanti?”
“My Immortal!”
Celetukan Obiet rupanya membuat Alvin membulatkan mata sipit yang ia miliki, cowok chiness ini tahu tentang masa lalu kelam Rio. Alvin langsung menepuk-nepuk punggung Rio.
“Apa nggak terlalu sedih yo?”
“Nggak”
“Ah, sudah kubilang yo, lagu itu lagu cengeng. Tak pantas di nyanyikan pada acara bahagia seperti itu”
Rio langsung naik pitam akan ucapan Patton, ia berdiri dan menghampiri Patton. Menarik baju si kecil dari Makassar ini dengan kasarnya.
“Aku tak suka, kamu bicara seperti itu pada lagu ini!”
Bentakan Rio membuat semua anggota ‘Prince’ ikut berdiri, Alvin melepas pegangan Rio pada kerah baju Patton. Obiet menarik Patton menjauh dari Rio. Iel yang baru saja datang bertanya ‘Apa yang terjadi’. Alvin langsung menyuruh Iel untuk diam sementara waktu, karna suasana masih genting.
“Maksud kamu apa sih yo? Jangan mentang-mentang kamu itu anak pemilik sekolah ini. Kamu berlaku seenaknya padaku?!”
“Aku bahkan tak pernah mau jadi anaknya!”
Semua terdiam, Obiet yang sejak tadi memegangi Patton melepas pegangannya karna terkejut dengan pernyataan Rio. Alvin sedikit berbisik pada Rio.
“Ketika kamu berbuat jahat, tetesan cinta untukmu akan mulai berkurang yo. Ingat pesan lain dari kakakmu”
Rio menunduk mendengar rangkaian kata yang di nyatakan Alvin. Ternyata Alvin masih ingat pada kakak Rio. Semua pesan dari kakak Rio di hafalkan oleh Alvin agar ia bisa dengan mudah menenangkan Rio. Patton menghampiri Rio, ia mengulurkan tangannya.
“Maafin aku yo, aku tahu. Lagu itu sangat berharga untukmu”
Rio memandang wajah kawan se-band nya itu, hitam manis, terkesan genius, kesetiaan persahabatan terpancar dari wajah Patton. Langsung ia rangkul tubuh Patton.
“Aku juga minta maaf Patt, aku nggak maksud kasar sama kamu”
Barulah Alvin mau menceritakan hal yang baru saja terjadi pada Iel, Iel mengangguk dan maklum dengan keadaan sepupunya. Rio. Iel mendekati Rio, tersenyum padanya. Senyum tulus yang paling disukai Rio hanya di miliki oleh Iel, Alvin, dan kakaknya. Karna dengan senyum itu, Rio masih bertahan untuk hidup di dunia yang sudah terlanjur membuatnya mencatat masa lalu yang kelam di dalamnya.
“Kamu akan tetap jadi sepupu terbaikku”
“Terimakasih yel”
Kekurangan Iel membuat Rio makin bersemangat untuk hidup dan melindungi Iel, membuatnya makin erat menjaga sepupu yang amat berarti di hidupnya. Ia genggam kalung bentuk bintang yang sama dengan kepunyaan Alvin dan Iel. Yang akan bersinar menerangi hatinya.
---
Aku menyiapkan mentalku menghadapi ujian singkat yang akan menentukan masa depanku. Ku pandang wajah Ibu yang menemaniku dalam mengikuti test ini, terlihat Bunda Lintar duduk di samping Ibuku yang sudah berumur hampir setengah abad. Aku tersenyum tipis menyapa keheningan Ibu yang sepertinya cemas dengan test ini. Tapi Ibu tak melihat senyumku. Seluruh anak desa Summer yang kini berkumpul di balai desa membuatku makin bersemangat sekaligus grogi. Pasalnya, mereka pasti anak-anak yang mempunyai mimpi lebih hebat dariku.
Lintar menepuk punggungku sekali, ia tersenyum lebih cerah daripada langit pagi hari ini. Membuatku mengumpulkan lebih banyak kepercayaan diri untuk mengikuti test ini.
“Apa kau gugup de?”
“Pasti Lin”
“Tetaplah semangat sahabatku, walau nanti kita tidak di terima di Smp yang sama. Tapi hati kita akan bersatu selamanya”
“Kita pasti bisa masuk Smp BM bersama!”
Semangatku pada Lintar tak mau ku kendurkan, karna aku sedikit cemas melihat wajah Lintar yang sudah tak semangat lagi. Aku berganti menepuk punggung Lintar, sekaligus merangkulnya untuk sekadar memberikan semangat yang biasa ia beri padaku. Senyum cerianya kembali terkembang bahkan lebih lebar dari yang pertama ia berikan padaku.
“Nah, gitu dong Lintar. Ini baru Lintar yang kukenal”
“Terimakasih Dea”
Di dalam ruang test, aku melihat seorang gadis yang tingginya 5 atau 10 cm di bawahku, ia duduk tepat di samping bangkuku. Aku tersenyum padanya, tapi ia tak membalasnya. Sepertinya anak ini sangat pemalu. Ku lihat plat namanya. ‘Nova’. Ya, nama itu akan terus ku ingat. Teman baruku yang satu ini harus mendapatkan wejangan semangat dari Lintar. Alih-alih ia bisa jadi sahabatku.
Bel untuk memulai mengisi lembar jawaban test ini. Aku berfikir keras dalam menjawabnya, pengumuman test ini akan di umumkan nanti sore. Di balai ini juga. Ruangan antar perempuan dengan lelaki di pisah, agar mudah untuk mendata siswa/I yang masuk.
Setelah 3 jam aku berkutat dengan 100 soal yang terdiri dari 50 soal matematika, 20 soal IPA, 10 soal Bahasa Indonesia, dan 20 soal Bahasa Inggris. Akhirnya aku menyelesaikannya, perasaan was-was di hatiku terus berputar-putar seperti gelombang tsunami yang menggulung-gulung menghapus semua kebahagiaan. Begitulah sedikit aku bisa menjelaskan perasaanku saat ini.
Di luar ruangan, aku melihat Lintar yang wajahnya amat kusut dan lesu. Aku menghampirinya, menepuk punggungnya seperti biasa.
“Kamu bisa mengerjakannya Lin?”
“Aku kurang bisa de”
Sangat lesu ucapan Lintar, tak biasanya ia seperti ini. Apa karna perasaannya yang sangat gugup? Aku mengelus rambutnya dengan mudah, karna tinggi tubuhnya hampir sama dengan gadis yang kutemui tadi. Aku luaskan pandanganku mencari gadis itu, rupanya Nova sedang duduk di samping wanita tua renta yang ku taksir umurnya sekitar 80 tahun. Nova terlihat sangat lesu, sama seperti Lintar. Aku menarik tangan Lintar dan ku ajak untuk berkenalan dengan Nova.
---
Rio memandangi sebuah figura foto, ada sosok gadis cantik bersama dirinya tersenyum, wajah gadis yang sekaligus kakaknya itu tersenyum tulus walaupun itu adalah senyum terakhirnya pada Rio. Senyum terakhir yang dilihat Rio adalah senyum paling tulus untuk Rio, Rio tersenyum tipis melihatnya. Pagi ini, pukul 03.00 WIB, dan ia belum mau beranjak tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan kakaknya, ia sangat merindukan kakaknya.
“heuh”
Desahannya ternyata di dengar Alvin yang sedang menginap di rumah Rio, memang mereka bertiga (dengan Iel) sering bergantian menginap, karna keadaan mereka bertiga juga hampir sama, tak di perhatikan orang tua masing-masing.
“Kamu masih ingat kakakmu yo?”
“Iya vin”
Alvin mengambil foto yang dipegang Rio, memperhatikannya sejenak lalu tersenyum, Rio sedikit curiga dengan senyum Alvin dan gerak alis Alvin yang naik-turun membuat Rio agak menjauh dari Alvin.
“Mau kuceritakan sebuah kisah?”
“Boleh, asal jangan dongeng”
“Hem. Tapi ini dongeng di kehidupan nyata lho”
“Ah, aku malas dengar. Sudahlah, ayo tidur! Jangan sampai Iel juga bangun. Kasihan dia, otaknya berfikir keras hari ini”
“Yasudah, padahal cerita ini sangat menarik lho”
“Tak mau”
Alvin tertawa kecil melihat polah Rio, lalu kembali tidur.
---
Aku dan Lintar menghampiri Nova, aku coba tersenyum lagi pada Nova, kali ini Nova hanya melihatku sejenak. Dan sepertinya Lintar sudah tahu permasalahan yang sedang ku hadapi. Maksudku, ia sudah tahu untuk tujuanku mempertemukan Nova dengan Lintar.
“Hai, namamu?”
Seperti biasa, nada bicara Lintar saat ia berkenalan dengan orang tipe Nova, Nova memperlihatkan plat namanya.
“Hem. Nova to, nama yang sangat bagus lho”
Ku biarkan Nova dan Lintar mengobrol berdua, aku pamit untuk menemui Ibu. Lintar hanya mengangguk dan terus mengobrol dengan Nova. Walaupun hanya Lintar yang bicara. Aku tertawa kecil melihatnya.
Pandanganku bergerak ke kiri-kanan, kanan-kiri dan seterusnya. Hingga ku temukan wanita itu. Ibu. Aku langsung berlari menemui Ibu yang terkantuk-kantuk menungguiku. Ku elus punggungnya untuk member ketenangan dalam kantuknya. Tapi ia malah terbangun dan agak terkejut melihatku sudah ada di hadapannya. Duduk bersamanya.
“Bagaimana testnya Dea?”
“Baik bu, doakan saja”
“Kamu sudah makan?”
“Belum bu”
“Ayo kita cari makan dulu”
“Ayo bu”
Ku gandeng tangannya yang lembut bak gelembung yang sering timbul ketika Ibu sedang mencuci pakaian-pakaian dirumah. Dan sahabat, aku sering mengumpamakan awan lembutnya seperti itu.
Setelah berjam-jam kami menunggu, pengumuman kelulusan test itu akhirnya di tempel. Aku langsung menyeruak masuk, kuhitung orang yang lulus. Hanya 3 orang saja dari beratus anak desa ini. 3 lelaki dan 3 gadis.
Ku lihat namaku berada di urutan pertama dari kelima anak terpilih! Dea Christa Amanda! Aku di terima!! Saking senangnya, aku loncat-loncat dan sedikit menghalangi anak lain untuk melihat pengumumannya. Aku ingat, Nova. Ya! Apakah anak itu juga diterima? Ku cari namanya di deretan anak-anak yang mendapat beasiswa. Tapi tak kutemukan namanya, harapanku menjadi sahabatnya seketika sedikit pupus. Aku keluar dari kerumunan.
Lintar sudah duduk di dekat pohon bersama Bundanya, air mata bercucuran dari mata indahnya. Bundanya mengelus Lintar penuh kasih, kakiku lemas untuk menghampirinya. Tapi tetap ku kuatkan kakiku ini. Menemui sahabat terbaikku sepanjang masa.
“Lintar..”
“Dea, de.. aku nggak bisa temenin kamu ke Jakarta sekarang..”
Ucapannya barusan membuat hatiku seperti pecah, harapanku bersama Lintar harus sirna saat itu juga. Sahabat terbaikku ini tak bisa menemaniku ke Jakarta, menggapai mimpi bersama. Tapi aku tak percaya dengan omongan Lintar, ku gerakan kakiku dengan cepat menuju forum pengumuman anak laki-laki, ku cari nama Halilintar Morgen, tapi tak kutemukan namanya. Kemudian ku cari ulang, hingga 5 kali mencari, memang tak tercantum namanya. Nama Halilintar Morgen. Tenggorokanku kelu, air mataku mengalir, jantungku terasa sangat sakit, hingga aku pingsan saat itu juga.
---
Rio sebenarnya penasaran dengan cerita yang ingin diceritakan Alvin padanya ‘Dongeng kisah nyata? Apa maksudnya?’ Kata hati Rio, ia berbalik menatap Alvin.
“Heuh, sudah tidur rupanya”
Akhirnya, ia lupakan rasa penasarannya.
---
Aku buka mataku agak berat, melihat Ibu, Lintar, dan Bunda Lintar sudah mengelilingiku, aku terbaring di tempat tidur puskesmas dekat rumahku.
“Lintar..”
Lintar langsung menghampiriku, ia memegang tanganku. Menggenggam tanganku penuh arti seperti sinar matanya yang menenangkan hati.
“Kamu..”
Telunjuknya menutup mulutku untuk tak meneruskan perkataan yang mungkin ia sudah tahu.
“Jangan berhenti hanya karna aku tak mungkin ada disampingmu untuk beberapa tahun yang akan datang ya de”
Aku tak tahu, perkataan Lintar barusan menghiburku atau bahkan membuatku terlarut dalam kesedihan.
“Tidak Lin, aku takkan kemana-mana, aku akan……”
“sssst, kamu jangan pernah mengecewakanku de! Kalau kamu tak mengambil beasiswamu, aku takkan mau jadi sahabatmu lagi!”
Aku menatap keyakinan Lintar saat mengucapkan kalimat tadi, yang aku resap menjadi ‘Jika aku tak mengambil beasiswaku, aku takkan menjadi sahabatnya selamanya, walau aku berada disampingnya’
“Kamu harus menggapai mimpimu, dan melanjutkannya denganku suatu hari nanti. Ingat ya, seperti yang kau ucapkan padaku bertahun-tahun yang lalu. Tetes hujan yang kau lihat itu, datangnya dari Surga. Dan tetes hujan yang kau lihat itu mengantarkan kita ke mimpi kita”
“Ya, itulah yang dulu ku ucapkan.. tapi ini lain Lin”
“Hei, ini sama Dea! Lihat hujan itu!”
Lintar menunjuk ke luar untuk memperlihatkan betapa indahnya fenomena Tuhan itu.
“Tetes hujan itu, mengantarkan mimpi kita yang telah Allah SWT simpan di Surga de!”
“Terimakasih Lin, bahkan kamu yang menghiburku saat aku yang ingin menghiburmu”
Lintar kembali tersenyum bangga padaku. Untukku, dan aku pun tersenyum padanya. Tak pernah ku bayangkan, aku akan mengalami perpisahan dengan Lintar. Walau aku tahu, perpisahan itu pasti ada.
---
Rio menyiapkan segala keperluan yang akan ia bawa ke tempat latihan. Matanya masih mengantuk luar biasa. Ketika ia lihat Alvin, ia teringat ucapan Alvin yang membuatnya penasaran 'Dongen kisah nyata' apaan sih? Tanya Rio dalam hati. Telepon genggamnya bergetar membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Halo?"
"Ini kak Rio?"
"Ya, Oik. ini Rio"
"Kak Rio, kakak dan band kakak harus cepat datang ke sekolah! Bu Uci sepertinya marah besar pada kalian!"
Rio langsung menekan tombol merah pemberhenti pembicaraannya dengan adik kelas bernama Oik.
"Alvin, Iel!"
Teriakan Rio barusan sangat mengagetkan kedua anak tampan yang sedang terlelap dalam tidur mereka. Alvin membersihkan kotoran mata yang sudah bersarang dimatanya, membuat ia tak nyaman untuk membuka mata. Sedang Iel hanya celingak-celinguk mencari sumber suara yang telah membangunkannya.
"Kamu yang bangunin kami yo?"
"Iya yel, kita harus cepat ke sekolah. Bu Uci ingin bicara dengan kita"
"Wah, ada job lagi bukan?"
"Nggak tahu juga vin, sudahlah. Ayo cepat bersiap. Biar aku yang beri tahu Obiet dan Patton"
"SIPLAH"
Setelah berseru, keduanya berlari menuju kamar mandi. Rio tersenyum tipis melihatnya, tak lama. Telepon genggamnya bergetar lagi.
"Halo?"
"Kau akan mendapatkan cintamu sebentar lagi"
"Siapa ini?"
"..."
Pembicaraan tiba-tiba terputus, Rio bingung dan memandangi layar Hp nya selama beberapa menit. Tak ada yang istimewa, hanya salah sambung. Batin Rio.
“Eh yo, kamu lihat kalungku nggak?”
Alvin muncul dari balik pintu kamar mandi, Rio menggeleng tanpa menatap Alvin. Alvin hanya mendesah dan masuk lagi ke kamar mandi. Rio menggerakan handphonennya karna telepon mini itu mendadak ‘mati’. Setelah puas menggoyangkan hpnya, Rio kesal dan melemparkan hp BB silver miliknya ke kasur. Rio menatap dirinya di cermin besar, matanya yang kecil tajam, tingginya yang ideal seorang anak lelaki 12 tahun, dan rambutnya yang agak berdiri menambah pesonanya sebagai leader ‘Prince’.
“Kau, hanyalah bayanganku! Jangan kau tatap aku selayaknya kau adalah aku!”
“Kamu ngapain sih yo?”
“Nggak kok yel, aku nggak ngapa-ngapain”
“Yo, kamu benar nggak lihat kalungku?”
“Hem, yasudah. Ayo kita cari dulu”
---
Terimakasih Lintar, walau kau tak bisa menemaniku di Jakarta tahun ini. Mungkin kau bisa menyusulku bahkan lebih sukses dari aku. Tanpa Jakarta.
Perpisahan ini hanyalah sementara Dea. Batinku, ku peluk Lintar tanda perpisahan sementara kami. Terlihat Nova berdiri di samping Lintar. Aku tersenyum padanya, ia hanya tersenyum tipis padaku. Meningkat juga kadar keramahan Nova. Ku yakin, Nova dan Lintar bisa menjadi sahabat. Seperti aku dengan Lintar.
"De, kamu mau mencari anak itu?"
"Ya Lin, mungkin aku akan mencarinya"
"Hati-hati ya"
"Pasti Lintar, susul aku ya?"
"Tentu!"
Dan untuk perpisahan kami, aku tersenyum pada Lintar, ia membalasnya dan menenangkan hati juga pikiranku dengan senyumnya. Aku akan pergi untuk kembali Lintar. Akan ku bawa bintang bersama dengan irama air langit yang turun dari Surga itu.
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini