Selasa, 07 September 2010

Rain from Heaven chapter 03



KAMAMI

Sebuah goresan tinta putih menodai kertas warna hitam di atas meja kayu usang. Di lipat kerudungnya ke belakang agar tak terlalu menutupi pandangannya akan tulisan yang kini akan ia buat.
“Hem”
Dehemnya menandakan bahwa ia sedang berfikir keras, hingga kertas hitam itu kini berisi sebuah tulisan dengan tinta putih. Senyumnya terkembang, tulisan tersebut telah hampir ia selesaikan. Kini ia pandangi kertas hitam itu. Ia tertawa kecil. Menatap puas hasil jerih payahnya semalaman. Aku yang sejak malam kemarin memperhatikannya sebenarnya bingung. Apa yang ia perbuat? Kenapa ia begitu senang? Karna aku penasaran, aku coba menghampirinya. Tapi ia selalu menolak kedatanganku dengan alasan.
“Aku ingin sendirian dulu de”
Darimana pula, ia tahu namaku? Padahal aku tak tahu namanya. Sedikit ku intip tulisan anehnya. Seperti rencana hidup rupanya. Dan mungkin aku boleh melihatnya suatu saat nanti.
Hingga pagi ini, kiranya sudah 7 jam perjalanan, kami menuju Jakarta. Desaku memang jauh dari peradaban kawan, tapi itu tak menghalangi kami untuk menatap dunia lewat buku-buku luar biasa yang ada di perpustakaan balai desa yang cukup lengkap. Aku dan Lintar hampir menyelesaikan semua buku di tempat itu. Dan kini, sepertinya Lintar akan mengalahkanku.
Ku rapihkan rambutku agar tak terlalu berantakan. Sepertinya tinggal 3 jam lagi kami tiba di kota impianku bersama Lintar. Jakarta. Bayanganku terus mengikutiku, aku bosan melihatnya. Aku ingin melihat bayangan Lintar saja. Aku ingin bayangan Lintar mengikutiku, agar aku tak bosan. Aku melihat seorang anak lelaki dan perempuan tak ku kenal sedang mengobrol dengan riangnya. Lupa ku ceritakan, setelah terkumpul 6 anak terpilih, kami berenam juga harus mengikuti seleksi lebih lanjut. Menjadi 4 anak.
Ku gerakan bibirku menjadi agak konyol sebagai orang normal, aku bosan. Menunggu anak berkerudung itu menyelesaikan pekerjaannya. Aku agak malas berkenalan dengan 2 anak yang ku tahu mereka berasal dari SDN Mekar. Sebuah SD Negri nomor 3 di Desa tempat tinggalku. Karna aku tahu, semua anak SDN Mekar hanya memikirkan kekayaan. Sebenarnya aku tak boleh berburuk sangka pada keduanya. Tapi, sepertinya ku tunda saja dulu.
Perhatianku hanya tertuju pada anak itu, anak berkerudung yang sangat manis wajahnya, entah perasaan aneh hinggap di hatiku. Aku merasa, anak itu mirip dengan Lintar. Ramah dan penuh semangat. Jadi aku nyaman didekatnya walau aku tak mengobrol dengannya.
“Hei, kamu sudah selesai belum menulisnya?”
Anak itu menoleh padaku, ia mengacungkan 5 jarinya tanda tunggu sebentar lagi untukku.
“Yap! Selesai! Maaf ya Dea, ehem-ehem. Namaku Rahmi Amalia. Tapi panggil aku Kamami!”
“Kamami?”
Nama aneh itu berputar di otakku, nama konyol apa itu? Sudah bagus bukan namanya? Rahmi amalia. Kamami?
Ia berdiri mendekatiku, ia mencoba berbisik padaku seraya menyodorkan kedua benda aneh yang dimiliknya.
"Ini"
"Apa?"
"Apa kau punya rencana hidup?"
"Ehem.. em"
"Ah, dasar aneh kau ini! Ayo, tulis rencana hidupmu sekarang! Aku akan menunggumu"
Dasar anak ini, aku belum 100% memahami jalan pikirannya. Tapi aku coba untuk tersenyum, untuk menghargai sikapnya yg selalu membuatku penasaran.
Aku mulai berfikir keras, memikirkan apa yg akan ku lakukan untuk masa depanku pribadi. Ya, minimal 10 deh.
"Sudah?"
"Belum Kamami"
"Iyap-iyap"
Kamami yg sedang menungguku, ia mengisi waktunya dg mendekati 2 anak dari SDN Mekar yg ku pikir sombong. Mereka pasti menyakiti Kamami. Itulah presepsiku yg pertama. Lalu ku lanjutkan tulisanku. Hatiku menetes titik-titik hujan. Saat itulah perasaanku mulai tenang. Dan rasa itu rupanya memperlancar tanganku. Apalagi ketika aku mengingat anak lelaki yg telah menyelamatkan hidupku. Haduh, apa harus ku tulis di daftar impianku?
"Hahahahahaha"
Suara tawa itu mengagetkanku, membuatku agak melonjak. Ku cari sumber suaranya, amat terbelalak mataku melihat kejadian yg tak pernah ku duga sebelumnya.
"Mereka.. Tertawa bersama?"
Apakah Kamami anak ajaib? Atau, apakah aku yg terlalu buruk sangka pada keduanya? Huft, aku bingung. Dengan cepat ku palingkan pandanganku dari mereka. Ku percepat gerak tanganku. Karna kawan, sebenarnya.. Aku cemburu, aku iri pada mereka. Aku juga ingin bercanda dengan mereka.
"Kamami!"
Kamami berhenti tertawa dan mengontrol suaranya, setelah menghirup nafas sepanjang-panjangnya. Ia tersenyum pada kedua anak Mekar itu, lalu berjalan santai mendekatiku.Ia berdiri tegap disampingku. Tersenyum lagi, lalu mengambil kertas hitam yg berisi tulisanku.
"Subahanallah! Dea, tak pernah ku pikirkan mimpi seindah ini!"
Apa maksud ucapannya itu? Apakah Kamami meledekku? Aku mendengus kesal dan berdiri mengimbanginya.
"Kamu menyindirku ya?"
"Lho? Nggak de, aku bersungguh-sungguh. Bahkan 10 rencana ini mewakili semua rencana omong kosongku"
"Boleh ku baca rencanamu?"
"Tidak! Aku belum bisa memperlihatkannya padamu Dea, aku tak pantas bangga dengan rencana-rencanaku, tapi suatu saat nanti. Aku janji, aku akan memperlihatkannya padamu. Ketika aku sudah menemukan titik terang dihidupku"
"Kamu curang!"
"Haha, sudahlah jangan marah Dea. Sekarang, ayo ku ceritakan kisah-kisah hidupku"
Walau kesal, aku coba mengendalikan perasaanku. Ok, untuk kali ini. Aku maafkan dia.Kamami duduk bersila, aku mengikutinya.
"Kamami, ada satu janji lagi yang belum kamu selesaikan padaku"
"Apa itu?"
Aku menunjukan dua benda yg cukup rancu dalam hidupku. Kertas hitam dan pena putih.
"Ohaha.. Itu to"
Kamami mengambil dua benda itu, dan memandangnya seraya tersenyum.
"Aku ingin.. Masa laluku yg hitam, bisa menjadi putih lagi dengan rencana-rencana hidupku"
Ia menghelakan nafasnya, dan kembali melanjutkan.
"De, pernahkah kau merasakan rindu mendalam pada anggota keluargamu?"
Wajah Ayah yang samar-samar mulai terbayang di benakku. Aku mengangguk sedikit.
"Ah, sudahlah tak usah berlarut dalam kesedihan"
Aku setuju dengan ucapan Kamami. Kamami menunjuk ke jendela kapal laut, aku melihat beberapa burung camar bertengger di balkon kapal. Mataku langsung bersinar, langsung saja ku berlari menuju jendela, menatap burung-burung camar yang ku hitung ada 10 ekor.
"Wah! Kamami, burung-burung Camar itu indah ya!"
Kamami tersenyum lembut padaku, ia berjalan menghampiriku dan membuka jendela tersebut. Ia masukan tangannya ke saku baju sebelah kanan miliknya. Mengeluarkan sekantung pelastik berisi remah-remah biskuit. Ternyata Kamami sengaja mempersiapkannya untuk memberi makan burung-burung itu. Karna ia tahu persis. Burung camar pasti akan hinggap di kapal mereka.
"Ini, kau juga beri makan mereka"
Aku mengangguk dan dengan sigap mengambil remah itu. Ku ulurkan tanganku dengan takut seperti yang dilakukan Kamami. Beberapa burung Camar mendekati tanganku. Dan kini bertengger di lenganku. Aku hanya bisa mengeluarkan tanganku hingga siku-siku tangan. Karna kalian pun tahu besar jendela kapal laut.
"Hahahaha! Geli Kamami"
"Itulah pesonanya Dea. Jika kau mau menggapai impianmu, kau harus belajar dari Alam. Berteman dan rasakan alam Allah ini Dea. Dan kamu akan dg mudah menyelesaikan seluruh impian yang telah kau goreskan di kertas itu"
Tangan kiri Kamami menunjuk ke kertas berisi mimpiku. Aku menitikan air mata bahagia. Terimakasih Tuhan. Engkau telah memberikan Kamami di hidupku.Kamami..
---
Handphone Obiet bergetar, membuat lamunannya akan kenangan bersama Kamami pecah.
"Mengagetkanku saja.. Rio?"
"Halo yo? Ada apa?"
"Obiet, kita dipanggil Bu Ucie ke sekolah. Sekarang"
"Apa?! Sekarang? Kira-kira lama nggak ya yo?"
"Kalau masalah itu. Aku tak tahu biet"
"Wah.. Gawat yo"
"Kenapa memangnya?"
"Aku ada janji sama seseorang yang aku sayang yo"
"Kamu lebay dech biet. Kalau memang lama, kamu bisa izin di tengah-tengah pertemuan. Yang penting, sekarang kita harus cepat ke sekolah"
"Hum. Ok lah"
Pembicaraan tadi membuat Obiet cemas. Ia takut tak bisa menjemput Kamami.
---
Setelah selesai memberi makan burung camar. Kamami dan aku duduk di dekat jendela.
"Kamami, kamu sudah pernah ke Jakarta?"
"Iya de. Bahkan keluarga kandungku tinggal disana"
"Keluarga kandung?"
"Ya"
"Kamami tinggal dengan siapa di desa?"
"Dengan Oma dan saudara angkatku"
"Siapa nama saudara angkatmu? Mungkin aku kenal"
"Nova, ya. Nova namanya"
"Nova! Ia duduk sebelahan denganku saat test"
"Wow, dunia memang sempit ya! Hahahaha"
Tawa itu, Tuhan tolong jangan ambil tawa tulus itu terlalu cepat. Aku ingin selalu bersamanya.Kamami. Sahabatku.
"Boleh ku tahu, kenapa Kamami pilih tinggal di desa Summer. Ketimbang di Jakarta?"
"Aku hanya ingin menghabiskan masa SD ku bersama Oma, karna aku takut. Aku tak bisa melihat senyum Oma jika aku di Jakarta"
"Hanya itu?"
"Yap!"
"Kamami, bisa kau ceritakan. Apa itu Jakarta?"
"Jakarta itu.. Kota penuh penduduk, mata pencaharian, polusi"
"Tapi yang paling penting de"
Aku mendekati Kamami, ia kembali tersenyum tulus.
"Disanalah kita memulai mimpi kita. Juga bahkan. Persahabatan kita"
Aku langsung memeluk Kamami, air mataku mengalir pelan. Ialah sahabat yg diturunkan dari Surga untukku.
---
Patton menyiapkan tas berisi buku-buku lagu dan sebotol jus jeruk. Agar selama latihan nanti, ia bisa siap dan tak mudah lelah. Tapi tiba-tiba jidatnya mengerut. Merasa ada satu benda yang hilang. Ia membungkuk dan mencari benda itu dengan susah payah. Hingga ia masuk ke kolong kasurnya.
'Bring me, to life'
Suara handphonenya berdering kencang. Membuat kepalanya tak sengaja terbentur kayu kasur.
"Ya Tuhan.. Sakit!"
Dengan kepalanya yang memar, ia keluar dari kolong juga sambil meringis.
"Rio? Haduh, dasar anak ini!"
Patton masih mengelus kepalanya. Dan dengan kesalnya, menekan tombol hijau di hp yg terus berdering itu.
"Halo, kenapa yo?"
"Kamu yg kenapa Patt? Nada bicaramu tak enak didengar"
"Aih-aih yo, kepalaku memar karna teleponmu"
"Hem. Maaf deh. Tapi walaupun kepalamu memar, kamu harus cepat ke sekolah. Kalau perlu, sekarang juga"
"Memangnya, ada apa sih yo? Buru-buru banget"
"Bu Ucie mau bicara sesuatu sama 'Prince'."
"Wokelah kalau begitu"
Patton menutup pembicaraan, ia masih celingak-celinguk mencari 'Benda' itu.
---
Bau Kota metropolitan itu hinggap sejenak di ujung hidungku. Lalu masuk merasuk hingga bau itu memenuhi organ tubuhku. Inilah bau Jakarta, penuh polusi walau hari masih pagi. Menurut Kamami, ini tak seberapa.
Kami tiba di Pelabuhan Tanjung-periok pukul 09.00 WIB. Kamami yang paling pertama keluar untuk melepas rindunya pada Jakarta. Seperti yg telah ia ceritakan padaku. Ia dan keluarganya pernah tinggal di Jakarta, ia juga punya kakak kandung yg kini tinggal di Kota ini.
"De! Tahukah kamu?"
Ucapan Kamami menggantung, membuatku mengerutkan dahi. Air mukaku berubah jadi orang penuh tanda tanya. Kamami ternyata puas melihat kebingunganku.
"Tahu apa mi?"
Benar saja, Kamami tertawa mendengar pertanyaanku. Dasar anak aneh.
"Aha! Nanti saja ku ceritakan"
Aku hanya mendengus kesal. Ia selalu menggantungkan kisah-kisah menakjubkannya padaku.
"Huh. Kau ini!"
Ehem. Lupa ku ceritakan pada kalian. Nama 2 anak dari SDN Mekar adalah Kiki dan Angel. Mereka amat baik ternyata. Maafkan aku yg sudah berburuk sangka pada kalian ya.
"Ki, njel, mi. Setelah kita di Jakarta, apa yg pertama akan kalian lakukan?"
Pertanyaanku ternyata membuat ketiga kawanku ini kebingungan. Apalagi Kiki, wajahnya terlihat paling bingung. Bulat wajahnya membuat banyak orang pasti ingin memeluknya, termasuk aku.
Kiki sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak ia masih bayi, ia tinggal hanya dengan Pamannya. Kini pun Paman Kiki sudah sering sakit-sakitan. Aku prihatin padanya, tapi ia tak pernah mau di kasihani orang. Maka dari itu, Kiki selalu melakukan hal indah dalam hidupnya, salah satunya. Bernyanyi. ia tak mau melihat orang lain sedih disampingnya, dengan modal suaranya yg super halus dan menengangkan jiwa. Ia membuat orang disekitarnya selalu tersenyum. Dan juga, Paman Kiki termasuk orang kaya di Desa. Memungkinkan Kiki untuk membuat lebih banyak orang tersenyum karnanya.
Lalu Angel, anak ini jika di lihat sekilas, dan belum mengenalnya. Ia seperti pribadi arogan yg bisa mencengkram kebahagiaan sang penglihat. Tapi! Semua itu dapat di hilangkan Angel dg senyumnya yg luar biasa cerah nan manis.Angel mengacungkan tangannya paling pertama. Kami bertiga langsung menatapnya.
"Aku akan bernyanyi tentang Jakarta untuk kalian, jika kita sudah tiba di rumah Dinas"
"Ide yang bagus njel! Aku akan membantumu"
"Kalian berdua ini"
Kamami tertawa mendengar percakapan kami bertiga. Tapi terlihat jelas di wajah Kamami. Ia sedang mencari seseorang. Ia memandang luas ke seluruh pelosok Pelabuhan. Sambil menyipitkan matanya, ia menggerakan kepalanya. Dari kiri ke kanan, dan sebaliknya. Aku mendekati Kamami.
"Kamami cari siapa?"
"Nggak, bukan siapa-siapa de"
"Yasudah, kita ke bunda Romi yok. Hari ini khan pertama kalinya kita ke rumah dinas"
"Ehem. Ayo"
Kami berdua berdiri di dekat bunda Romi sambil memasukan semua barang bawaan kami ke mobil. Kamami masih terlihat sangat cemas. Ia sesekali menoleh ke belakang.
"Jika kamu mau mencari seorang. Biar aku aja yang membereskan barang bawaanmu mi"
"Oh, nggak kok de. Tenang saja"
Tenang? Sepertinya bukan kata itu yg menggambarkan wajahnya saat ini.
"Sudah mi, cari saja orang itu"
Aku memegang lengannya agar ia bisa berhenti memaksakan perasaannya.
"Tapi de"
"Persahabatan kita dipertaruhkan disini mi"
"Terimakasih de"
Kamami memelukku. Detak jantungnya berdegup kencang sekali. Aku bisa merasakannya. Ia sangat cemas.
"Bunda, bolehkah aku tetap di Pelabuhan untuk beberapa jam lagi? Nanti Bunda berikan alamat rumah dinas padaku. Aku akan kesana bersama saudaraku yang juga bersekolah di BM"
"Tapi Kamami, kamu masih sangat muda. Tak baik sama sekali untuk Bunda meninggalkanmu"
"Tak apa Bunda, kakakku sangat mengenal Jakarta"
"Apa kamu yakin ia akan datang? Jika ia tahu kamu ke Jakarta pagi ini, pasti sekarang kakakmu sudah tiba"
Kamami terdiam sejenak, walau cemas. Ia tetap tersenyum dari hati. Ya Tuhan. Manusia seperti apakah Kamami ini? Kenapa ia masih bisa tersenyum tulus saat ia tahu. Orang yang ia rindukan belum dan tak tentu datang? Apakah ia malaikat? Bukan, ia adalah Kamami. Sahabatku.
"Aku yakin Bunda, kak Obiet pasti datang"
"Obiet? Ia kakakmu? Anak 'Prince' itu kakakmu?"
"I..iya bund"
"Kenapa Obiet tak pernah mengungkitmu ketika sesi psikologi?"
'Karna sebuah alasan yg tak bisa ku katakan, sekalipun itu adalah Bunda'
Kamami tersenyum, lalu mencium tangan Bunda. Kini ia benar-benar ingin menunggu kakaknya yang bernama Obiet.
Bunda Romi juga tak bisa menghalangi Kamami. Walau ia memaksa Kamami untuk tidak menunggu Obiet, ia yakin Kamami tak bisa menurutinya. Ia yakin, Kamami sangat merindukan Obiet. Dan ingin menagih janji Obiet yg sudah berumur mungkin lebih dari 6 tahun."Hati-hati ya Kamami
"Kamami mengangguk, kami bertiga. Angel, Kiki, dan aku. Masuk ke dalam mobil. Masih ku lihat senyum sahabat baruku itu. Ia melambaikan tangannya padaku.
"Aku ingin, Kamami ke rumah dinas bersama kak Obiet"
Kamami mengangguk dan mengacungkan jempolnya padaku.
"Pasti!"
---
Kini. Kelima personil 'Prince' telah berada di hadapan bu Ucie yg sedang memandangi mereka dengan tajamnya.
"Kalian tahu, kenapa aku memanggil kalian?"
Semua terdiam. Oik yang duduk disamping bu Ucie pun tak berani memandang bu Ucie yang sedang terlihat marah.
"Ketika kalian berada di hadapan mereka. Anak-anak yg menjadi adik kelas kalian. Apa yang akan kalian lakukan?"
"Bernyanyi bu"
Bu Ucie memandang tajam Alvin yang baru saja menjawab pertanyaannya.
"Bernyanyi? Kalian sangat bangga dengan prestasi kalian?"
"Tentu bu"
Patton mulai angkat bicara.
"Ternyata kalian memang anak PRINCE yang hanya mengenal harta"
Dengan penekanan nada di kata 'Prince' membuat sang leader Prince mengangkat kepalanya. Dan berganti menatap tajam bu Ucie.
"Sebenarnya, apa maksud ibu menyuruh kami datang sepagi ini? Jadwal kami khan tengah hari"
Rio menarik nafas dan menghelakannya, karna ia mulai takut melihat bu Ucie yang mulai menggerakan kaki ke arahnya.
"Apakah pantas, kau bertanya dengan intonasi yg sangat menyebalkan itu?"
"Tidak bu.. Maaf"
"Oke. Ibu hanya ingin berpesan. Selain bernyanyi, kalian harus ramah dengan senyum kalian di acara MOS nanti"
Rio memundurkan dirinya selangkah menjauh dari Bu Ucie.
"Keberatan?"
"Bu, apakah Obiet boleh pamit duluan? Obiet ada janji dengan adik Obiet"
"Hum. Yasudah, nggak apa-apa"
"Terimakasih bu!"
Obiet segera berlari keluar dari ruang pengawas studio. Tapi ia terlupa satu hal. Ia pun kembali.
"Patt, aku pinjam motormu. Boleh?"
"Ok"
Patton melempar kunci motornya ke Obiet. Obiet tersenyum sekilas, dan segera berlari kembali.
---
Kamami duduk di kayu tepi pelabuhan. Tempat semua kapal terikat dengan tali di tanggulnya. Ia tenggelamkan tangannya ke dalam laut yg berwarna biru kehitaman. Bayangan air laut membuatnya bergetar. Tapi ia ingin melawannya, tak mau ia trauma dg kejadian 6 tahun silam. Ia ambil air laut itu, menggenggamnya hingga air asin itu mengalir lembut melewati celah tangannya. Ia tertawa kecil.
---
Dalam pikiran Obiet hanya ada Kamami. Adik perempuannya yg lebih tinggi darinya. Sepucuk surat yg ia terima 3 hari lalu membuatnya kembali bersemangat. Satu paragraph banyaknya surat dari Kamami yg menggugah hatinya.
* Jika lautan itu tersenyum padaku, aku akan menyambutnya dengan ikhlas. Tapi, jika lautan itu marah padaku. Apakah aku bisa ikhlas kak? Aku tak yakin. Aku bisa terus tersenyum karnanya. Kak, setelah 6 tahun lamanya kita berpisah karna lautan itu. Memisahkan pulau kita kak. Tapi tak apa, karna tepat tanggal 25 Juni nanti, aku akan ke Jakarta. Mengisi hari-hari mu lagi. Walau aku tak bisa bersama lagi dengan mami papi. Aku ingin bisa bersamamu. Jemput aku di Pelabuhan Tanjung-periok tanggal 25 Juni. Aku akan menunggumu seharian. Aku akan tetap setia padamu kak *
Hari ini adalah tanggal 25 Juni. Dan Obiet tak sabar bertemu dg Kamami.
---
Di benakku kini hanya ada Kamami. Bagaimana dengan keadaannya kini? Apakah ia sudah bertemu dengan kak Obiet? Arrgh! Ia membuatku cemas.
"Dea, kamu sedang mencemaskan Kamami ya?"
"Iya njel"
"Tenang saja Dea. Kamami anak yang kuat, takkan terjadi apapun padanya"
"Semoga Ki"
Ku pandangi jajaran gedung tinggi Jakarta. Kenapa begitu banyak gedung tinggi disini? Bagaimana caranya mereka, anak-anak Jakarta melihat bintang? Begitu banyak memang pertanyaanku pada Jakarta.
---
Setelah setengah jam ia naik motor ke Pelabuhan. Akhirnya, ia tiba di Pelabuhan yang akan mempertemukannya dengan Kamami.
Obiet berlari ke tempat biasa kapal menepi.
Air mata bagai hujan menerpa pipi Obiet. Langsung ia seka air matanya agar Obiet bisa melihat adiknya dengan jelas.
"Kamami, kakak ada disini untuk Kamami"
Begitu lirih ucapan yg mengiringi langkah Obiet menuju Kamami.
"Terang saja, aku mendambanya.. Karna Kama, Karena Kamami begitu indah"
Senandung Obiet mengagetkan Kamami, air mata Kamami mengalir juga. Menghangatkan pipi yang sejak tadi merona merah panas karna terik matahari.
"Kamami, kakak sudah menepati janji kakak"
"Terimakasih kak"
Kamami berdiri dan berbalik. Kedua anak ini tersenyum.
"Aku hanya ada satu, dan Kamami disini kak. Akan menggoreskan tinta putih di kehidupan kakak"
"Kakak telah menunggu 6 tahun lamanya. Kini kakak akan menjaga Kamami selamanya"
Kamami tak kuat menahan rindunya. Ia berlari dan memeluk Obiet erat. Air mata keduanya terus mengalir. Diiringi gemericik hujan yang kini menetes sedikit demi sedikit.
---
Entah mengapa Tuhan? Hatiku merasa tenang saat memikirkan Kamami. Kini aku yakin. Kamami telah bertemu dengan Obiet.
Terimakasih Tuhan.
Dan kini, aku juga ingin bertemu dengan penyelamat hidupku. Apakah mungkin? Semoga bisa. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini