Jumat, 03 September 2010

Rain from Heaven chapter 01

Chapter 1



My Memory

Senyumnya masih terukir di benakku, hujan itu yang mempertemukanku dengannya. Dalam kecemasanku, aku bertemu dengannya, seorang lelaki penyelamat jiwaku.
Diriku terkapar di rumah sakit selama beberapa bulan terakhir ini, mari, ku ceritakan kenapa aku berada di sini.
-------------------------------------------------------------------------------------
Angin dingin menyeruak ke dalam ruangan, menyentuh kulit-kulit orang Indonesia ini, membuat mereka termasuk aku agak menggigil. Tapi tak peduli sedingin udara yang menerjang kami, kami tetap akan latihan semampu kami. Aku berdiri dan mengeluarkan suaraku sekuat tenaga
“Aku hanyalah seorang manusia tanpa hati! Jadi, kau tak usah mengaturku dengan omonganmu yang tak bermutu itu!”
Seorang anak lelaki seumuranku berdiri, tingginya lebih rendah dariku, mulutnya terbuka lebar hendak mengucapkan sesuatu yang telah ia pendam dalam hati.
“Tapi kau tetaplah bagian dari hidupku!”
Semua cukup tercengang dengan ucapan lelaki itu, namanya Lintar. Sahabatku dari Padang, begitu tegas ucapannya membuat semua orang yang mendengar ucapannya akan ternganga seketika. Tapi tetap, ucapan yang baru saja ia katakan hanyalah acting belaka.
“Bagus-bagus, ya sudah, sekarang kita istirahat dulu”
Aku yang tengah duduk di antara para teman gadisku, langsung berjalan menghampiri Lintar.
“Actingmu bagus seperti biasa”
“Sebagai seorang seniman, aku harus seperti itu de!”
“Ya ya ya, lihat sampai di antara kita berdua yang bisa ke Jakarta lebih dulu”
“Pasti aku dulu Dea”
Aku hanya tersenyum melihat polah Lintar, dari dulu ia memang tak pernah berubah. Selalu ceria. Kami berdua punya mimpi, akan ke Jakarta bersama-sama, walau aku tahu pasti Lintar lah yang akan dengan mudah berada di Kota metropolitan itu. Lintar lebih berpengalaman dariku, dan rencananya setelah drama musical perpisahan SD kami. Ia akan ikut test beasiswa di Smp swasta khusus seni di Jakarta. Sebenarnya aku sangat menginginkan beasiswa itu, tapi Ibu ku tak pernah mengizinkanku ke Jakarta, sejak kepergian Ayahku kira-kira larangan itu di dirikan. Aku hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Tak ada gunanya memang mengeluh terus menerus. Tapi.. hm.
“Hei Dea, kamu benar tak mau ikut test itu?”
“Aku tak bisa memikirkan hal itu dulu Lin”
Masih ingat percakapanku dengan Ibu dua minggu yang lalu, walau sedikit, bahkan sangat mengejutkan bagiku, aku tak bisa gegabah, kira-kira percakapan tersebut berlangsung saat aku sedang menatap hujan nan indah hobiku.
-------------------------------------------------------------------------------------
Hujan itu turun menebarkan pesonanya yang begitu indah, di padu warna langit yang agak kekuningan menandakan matahari akan segera menghilang berganti bulan.
Aku duduk merenung melihat keajaiban Tuhan yang telah menurunkan hujan ini untuk manusia, air-air langit itu bagai turun untuk menghiburku, menggerakan daun agar mereka bisa menari naik-turun menenangkan hatiku yang sedang sangat cemas dengan keputusanku.
Tanganku bergetar tak keruan saat aku gugup, bibirku juga bergetar dan telapak tanganku basah. Karna aku memang mempunyai penyakit jantung keturunan Ayahku yang telah meninggal 6 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas 1 SD, saat aku belum mengerti tentang kata ‘Kematian’. Degup jantungku cukup kencang berdetak dan mulai menyakiti rongga dadaku. Membuat seluruh tubuhku lemas saat aku merasakan kecemasan luar biasa. Anak umur 11 tahun sepertiku memang sangat lemah jika harus menanggung penyakit seberat ini, tapi akan kulalui dengan sekuat tenagaku yang masih tersisa.
Mungkin memang inilah keputusan bulat yang ku buat, mengikuti test masuk Smp favorite di Jakarta dan bersama dengan Lintar menjadi musisi terkenal di Indonesia. Memang belum tentu aku akan diterima disana, tapi setidaknya nilai akademis ku cukup memuaskan untuk mendapat satu beasiswa. Tak pernah terpikir olehku kesempatan itu datang untuk kami, Lintar dan aku. Tapi aku cemas, apakah aku di izinkan oleh Ibu mengikuti test tersebut.
Sebenarnya, selain ke Jakarta untuk menggapai mimpiku, aku juga ingin bertemu dengan seorang anak lelaki Jakarta yang pernah bermain bersama ku dan Lintar saat kami masih kelas 4 SD. Aku tak tahu namanya, tapi aku masih ingat paras wajah manisnya yang membuatku terkesima. Beda dengan semua anak desa disini. Kulitnya bersih dan tak terlalu legam seperti kami. Hm. Pokoknya aku kagum padanya, ia juga pernah menolongku saat aku tak bisa turun dari pohon. Tapi nanti saja aku menceritakan kisah masa kecilku ini.
‘Kreeekk’
Suara pintu kamarku yang sudah sangat tua terbuka, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu, ialah Ibuku. Ternyata sudah banyak rambut putih yang tumbuh di atas tempat penyimpan otak syaraf pengendali tubuh ini. Ia tersenyum lembut padaku, begitu keibuan senyumnya padaku. Tuhan, kenapa aku harus mempunyai pikiran untuk meninggalkan Ibu seorang diri? Aku menyesal Tuhan. Ibu berjalan ke arahku tanpa menutup kembali pintu kamar.
Kini Ibu sudah berada disampingku menatapku lekat, aku ingin menangis melihat wajah Ibu yang sangat menyayangiku, hatiku kini mengeluarkan air dengan derasnya hanya karna melihatnya. Apalagi jika aku harus mengatakan rencanaku pada Ibu. Tangan Ibu menyergap punggung tanganku, Jantungku berdegup kencang. Tapi tetap terkontrol. Tak membuatku sakit hingga hampir mati rasa.
“Apa yang ingin Dea katakan pada Ibu siang tadi?”
Pertanyaan Ibu barusan menyadarkan aku tentang sebuah mimpi anak yang baru lulus SD ini, tak tahu rencananya ini benar atau salah.
“Tak apa bu, aku hanya ingin mengingatkan Ibu, bahwa aku telah lulus dengan nilai terbaik di sekolah”
Aku tersenyum bangga tapi normal tentang prestasi yang kudapatkan. Menjadi seorang lulusan terbaik di SDN ku tidaklah mudah sahabat. Aku harus bersaing dengan beberapa anak super cerdas lain. Termasuk Lintar, sahabatku.
“Tidak, Ibu yakin, Dea ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari itu”
Sinar mata Ibu merasuk hingga memukul hatiku, terasa perih. Sangat perih. Aku tak tega Ibu, jangan paksa aku. Aku mohon.
“Ayo Dea, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan”
Aku tak bisa menahan tangisku. Langsung ku peluk Ibu agar tangisku dapat sedikit tertahan. Tapi rasa ini bukannya reda, malah menjadi-jadi ketika ku cium bau mawar kesukaan Ibu di bajunya. Tuhan, tolong aku.
“Ibu tahu. Sayang, kamu berniat ikut test beasiswa ke Jakarta khan?”
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Ibu barusan, langsung ku lepas pelukanku. Ku tatap paras cantik yang terbentuk di wajahnya, walau segurat kulit keriput telah menyatu di pelipisnya. Tapi cantik wajah dan hati Ibu tak pernah sirna.
“Maafkan aku Ibu”
“Apa kau ingat, saat Ayahmu meninggal karna ia ke Jakarta. Penyakitnya bertambah parah disana, dan sejak saat itu. Ibu tak pernah percaya dengan rumah sakit di Jakarta”
Ya. Memang begitulah kiranya sekilas kisah Ayahku yang meninggal akibat dirinya di pindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Penyakit Ayah saat itu kambuh tiba-tiba dan harus di operasi. Tapi tak ada peralatan yang cukup di desa kami. Maka dari itu, Ayah harus ke Jakarta. Tapi.. biaya pengobatan dan operasi Ayah sangatlah mahal, kami tak mungkin bisa membayarnya. Ayah di terlantarkan begitu saja. Hingga Ayah tak tertolong lagi. Begitu kejam orang-orang kedokteran itu, membuat Ibu dendam pada Jakarta. Tapi tak sama denganku. Aku sangat ingin ke Jakarta, karna sejak kecil. Lintar telah menceritakan padaku gemerlap dan keindahan Jakarta.
“Tapi bu, rumah sakit itu saja yang memperlakukan pasiennya tak wajar, aku yakin. Tak semua rumah sakit di Jakarta seperti yang Ibu bayangkan”
Ibu menatap mataku penuh arti, aku tak kuat menatapnya. Langsung saja ku palingkan wajahku dari Ibu, menatap air hujan yang masih deras turun mengguyur desaku tercinta. Desa Summer. Memang aneh desa ini, dinamakan desa Summer. padahal musim terus berganti. Mungkin agar kami selalu ceria seperti musim semi.
“Apa kau tak percaya pada Ibumu sendiri?”
“Bukan bu, bukan aku tak percaya.. tapi bu, tolonglah izinkan aku ikut test itu, aku ingin menggapai mimpiku”
“Apa kau tak mau menemani Ibu yang sudah tua renta ini?”
“Ibu..”
“Tidak, Ibu takkan mengizinkanmu”
“Dea mohon bu, Dea janji. Dea akan membahagiakan Ibu dengan prestasi Dea. Lagipula, ada Lintar yang bisa menjaga Dea”
“Tak cukupkah kau menyakiti hati Ibu dengan permintaanmu De!”
“Aku, aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku. Karna aku berjanji. Aku akan menjadi bintang paling terang di Smp Betha Melody, Smp seni yang mengadakan beasiswa tersebut bu”
Ibuku terdiam beberapa menit, membuatku menunggu dengan cemas. Suara hujan makin kencang terdengar mengiringi detak jantungku yang berdegup lebih keras dari yang tadi. Ibu kembali menatapku penuh arti, air matanya telah turun deras melalui matanya yang sudah rabun senja.
Sebuah anggukan pelan tergambar di depan mataku, anggukan tersebut berasal dari seorang wanita yang sangat ku cintai, senyumku langsung terkembang lebar bak bulan sabit yang menerangi bumi ini. Ku peluk erat-erat tubuh kurus Ibu, kehangatan kasih sayangnya menyatu dengan hatiku. Jantungku berdegup begitu berirama bagai sedang menari balet untukku.
-------------------------------------------------------------------------------------
Lintar menyentuh tanganku, menggoyang-goyangkannya seperti kuas kesayangannya yang sudah usang dan sering ia gunakan untuk melukisku.
“Kamu ngapain sih?”
Lintar tertawa girang, ia menatapku dengan sinar matanya yang selalu cerah bagai matahari pagi sumber kehidupan bumi.
“Dea harusnya sadar, bukankah Ibumu telah mengizinkanmu untuk ikut test itu?”
“Ya, tapi aku bingung memilih Lin, walaupun aku dengan mudahnya ke Jakarta, aku tak mungkin juga membiarkan Ibuku sendiri”
“Kata siapa Ibumu akan sendirian?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, Bundaku akan menemani Ibumu Dea. Tenang saja, Ibumu akan tinggal di rumahku selama kamu pergi meninggalkannya”
“Serius?”
“Duarius deh!”
Senang bukan main aku mendengar pernyataan Lintar barusan, ku peluk tubuh kecil sahabatku yang satu ini. Semua anak spontan berteriak menyoraki kami dengan ledekan-ledekan kecil khas desa kami.
-------------------------------------------------------------------------------------
Seorang anak lelaki menutup pintu mobilnya dengan keras, menghampiri beberapa anak lelaki lain. Tak ada senyum terukir di wajahnya, dingin memang menjadi ciri khasnya. Sedikit senyum darinya menjadi sebuah hal langka bagi semua orang di sekitarnya. Tapi itulah yang membuatnya menjadi King of Melody. Di Smp BM (Betha Melody).
“Hai yo, sudah lama tak bersua.. haha”
“Tak lucu”
“Rio, kami hanya ingin menghiburmu, dari kemarin wajahmu selalu muram”
“Nggak apa-apa kok, latihan lagi yuk”
“Alvin dan Iel belum datang yo”
“Yasudah, kita bertiga cek alat saja dulu”
Seraya mengajak kedua temannya yang lain, Rio menoleh ke gerbang sekolah, tak terasa sudah 1 tahun ia berada di sekolah ini. Ia masih ingat dengan masa-masa saat ia pertama masuk sekolah ini. Ayahnya adalah pemilik Smp swasta yang kini ia bersekolah di dalamnya. Tak suka memang ia melihat kekuasaan ayahnya menjadi tameng baginya untuk disukai di sekolah ini. Jadilah ia sebagai anak paling dingin Smp BM.
Karna dorongan sepupu dan sahabatnya (Iel dan Alvin), mereka bertiga mendirikan sebuah band yang kini menjadi band paling terkenal di Smp BM. Bersama kedua teman Rio yang lain, Patton dan Obiet.
Mereka juga punya gelar masing-masing. Seperti Rio sebagai ‘King of Melody’ karna ia memang bagaikan raja pemimpin Smp ini. Walaupun sikap cueknya tak ada yang menandingi. Tapi ternyata ia di percayakan oleh BM untuk menjadi ketua OSIS selama 1 tahun ia sekolah disini, tanpa hambatan sedikitpun. Malahan, ia berhasil membuat Smp BM menjadi Smp swasta nomor 1 di Jakarta berkat kinerjanya. Lalu, Alvin. ‘Prince of winter’ sahabat Rio ini juga cuek, tapi tak secuek Rio. Seperti yang dikatakan barusan “Cueknya tak ada yang menandingi”, Alvin punya satu keistimewaan. Ia bisa bermain semua alat music kecuali satu, biola. Yang menjadi keahlian Obiet, ‘Prince of love’ pangeran yang satu ini memang sangat penuh kelembutan, romantis, suaranya yang sangat lembut juga mendukung gelarnya sebagai pangeran cinta. Lalu ‘Prince of Summer’ yang di sandang oleh Iel. Karna di antara kelima anak ini, Iel lah yang paling ceria bagai musim semi yang sangat bersinar. Sepupu Rio yang satu ini punya keterbatasan dalam syarafnya, menjadikan ia sebagai anak paling pelupa di BM. Tapi ia terus mengatasi kekurangannya dengan keseriusannya belajar dan mencatat semua yang ia lakukan agar tak mudah lupa lagi. Dan ia berhasil menjadi anak teladan kedua setelah personil terakhir di band ini. Patton sang ‘Prince of genius’. Patton adalah bintang di BM. Bintang ilmu bak encyclopedia di BM. Kepintarannya bermain keyboard pulalah yang menarik perhatian Rio merekrutnya menjadi salah satu bagian di bandnya. ‘Prince’ itulah nama band Rio. Rio sebagai vokalis, Alvin sebagai gitaris, Iel sebagai drummer, Obiet sebagai vionis, dan Patton sebagai keyboardis. Walau terkadang mereka bergantian posisi sebagai vokalis.
Rio duduk di bangku elegan studio besar milik BM yang berfungsi untuk latihan semua band BM setiap harinya, rencananya. Band ‘prince’ akan tampil di acara penyambutan siswa/I baru BM.
“Lagu apa ni yang akan kita bawakan yo?”
Obiet bertanya seraya membenarkan kacamata minusnya. Rio menatap Obiet sejenak, lalu mengambil gitarnya.
“My Immortal aja, liriknya cukup remaja”
“Tapi itu lagu sedih yo, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa Patt”
Kedua kawan Rio hanya menaikkan bahu mereka tanda terserah pada Rio sang leader. Ingatan Rio kembali melayang saat ia pertama kali menyanyikan lagu ‘My Immortal’. Saat ia masih kelas 6 SD. Lagu yang hingga kini terus ia ingat, lagu yang pertama kali di ajarkan kakaknya, yang kini telah tiada sejak ia lulus kelas 6 karna sebuah penyakit.
Paras manis wajah kakaknya terus terukir di pikirannya, hanya pada kakak, Alvin, dan Iel lah ia bisa tersenyum lepas. Tapi kini, senyum itu menjadi semakin sulit di lihat. Semenjak kepergian kakak perempuannya, semakin tak berarti kehidupannya. Kasih sayang yang ia dapatkan makin berkurang dari masa ketika kakaknya masih ada di sampingnya.
“Ketika kamu lihat hujan yang mengalir dari langit. Percayalah, tetes demi tetes airnya, membawakan beribu cinta untukmu”
Itulah kiranya ucapan terakhir kakaknya ketika nafasnya yang terakhir berhembus. Bersama hujan yang kini juga mengalir di hati Rio. Membuatnya terpaksa harus mengeluarkan air tersebut dari hatinya, karna sudah tak terbendung lagi rupanya.
“Aku akan mengingat ucapan kakak”
Bahkan hingga di saat terakhir kakaknya hidup di dunia ini, kedua orang tua Rio sama sekali tak datang hanya untuk menjenguk. Dendam telah memuncak di hatinya, bahkan ia tak pernah mau menyebut atau mengingat nama kedua orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini