Jumat, 28 September 2012

A Fanfiction - Our Secret (Twoshoot 2 of 2) _ Baekyeol/Chanbaek


Our Secret


Author: Fie
Genre: sad, romance, yaoi
Rated: 15+
Length: twoshoots (2 of 2)
Pairing: Baekyeol/Chanbaek
Main cast:
- Byun Baekhyun as Baekhyun/Pendek
- Park Chanyeol as Chanyeol/Rambut mie
- Oh Sehun as Park Sehun

Support cast:
- Kim Minseok/Xiumin
- Luhan
- Kim Jongin/Kai
- Kim Jongdae/Chen



Summary:

Aku tidak peduli pada kenyataan, aku tidak mau percaya pada takdir, karena aku akan selalu mencintaimu.




Siang ini Chanyeol melancarkan aksinya sedangkan Sehun memerhatikan dari jauh. Dia tak mau hyungnya curang. Chanyeol mendekati Baekhyun yang sedang sibuk memeriksa sebuah naskah dari setumpuk naskah yang ditugaskan padanya. Tapi melihat kedatangan Chanyeol, Baekhyun langsung menghentikan kegiatannya dan menatap heran lelaki itu.

“Ada apa?”

“Kalau sekarang aku atasanmu, bolehkah aku meminta nomor ponselmu?”

“Kau masih mau nomor ponselku?”

“Jangan kurang ajar, atau kau mau kupecat?”

“Kau tidak bisa memecatku hanya karena nomor ponsel!”

“Jadi berikan nomor ponselmu!”

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Ya tidak bisa.”

“Iya tapi kenapa?”

“Ponselku rusak, jadi nomorku tidak aktif.”

“Aku akan membantumu memperbaikinya, yang penting sekarang berikan nomor ponselmu.”

“Kenapa kau sangat menakutkan, sih?”

“Lalu kau apa? Kau menyebalkan!”

“Rambut mie!”

“Kau! Dasar...Pendek!”

“Hya! Aku ini tinggi!”

“Tapi aku lebih tinggi! Dan kau yang paling pendek di sini!”

Baekhyun berdiri dan melotot pada Chanyeol, walau ia harus mendongak untuk melihat wajah Chanyeol, itu tidak menyurutkan keberaniannya.

“Tidak ada yang mengejek tinggi badanku selama ini, Rambut mie!”

“Tidak ada juga yang memanggilku Rambut mie!”

“Baiklah, mulai sekarang aku akan memanggilmu Rambut mie!”

“Pendek!”

“Rambut mie!”

“Pendek!”

Kai, Luhan, Jongdae, dan Sehun asyik melihat pertengkaran itu. Sepertinya ini akan menjadi tontonan gratis setiap harinya.

***

Tepat jam 4 sore, semua pegawai pulang termasuk Baekhyun dan teman-temannya. Baekhyun mengambil sepedanya di tempat parkir. Saat dia sibuk melepaskan kunci sepedanya, seorang gadis menghampirinya.

“Baekhyun-oppa.”

Baekhyun belum menanggapinya, sampai dia selesai melepaskan kunci sepedanya.

“Ada apa, Sulli?”

“Apa kau sudah punya jawabannya?”

“Sebaiknya kita bicarakan sambil berjalan saja, ya?”

Baekhyun menuntun sepedanya diikuti Sulli. Tanpa diketahuinya, Chanyeol yang melihat Baekhyun bersama wanita mengikutinya. Mungkin ini bisa jadi bahan ledekan baru, batin Chanyeol. Sebenarnya bukan kebiasaan Chanyeol untuk bersikap kekanakan seperti ini, hanya saja...ia menikmati perkelahiannya dengan Baekhyun.

“Bagaimana, Oppa?”

Baekhyun tersenyum lembut dan belum menanggapi.

“Oppa?”

Akhirnya Baekhyun berhenti dan menatap Sulli.

“Aku menghargai perasaanmu, Sulli. Tapi...aku tak bisa membuatmu menungguku. Selama kau menantiku, hidupmu akan terus berkurang. Sedangkan aku masih ingin bersenang-senang sendirian. Aku belum siap untuk berhubungan lebih jauh dari teman. Kau membutuhkan lelaki yang lebih baik dariku, Sulli.”

“Tapi kenapa, Oppa? Bukankah sejak kita masih kuliah...”

“Anyeo, Sulli. Sejak kita kuliah, kita hanya teman. Aku hanya merasa masih ada keraguan dalam hatiku untuk menerima siapapun di hatiku. Tapi sampai sekarang aku belum mengerti apa alasannya.”

“Baiklah, aku pergi dulu, Oppa.”

“Maafkan aku, Sulli.”

Sulli berlari pergi. Baekhyun kembali menuntun sepedanya.

“Mungkin aku bodoh, melepaskan wanita yang jelas-jelas menyukaiku demi dia. Belum tentu orang itu datang, tapi...aku merasa orang itu pasti datang. Rambut mie, kapan kau kembali?”

“Kau memanggilku?”

“Eh? Kau mengikutiku, ya?”

“Aku hanya kebetulan lewat.”

“Mana mobilmu?”

“Uhm, itu...”

“Kau mengikutiku, Rambut mie!”

“Tidak, Pendek! Aku hanya kebetulan lewat dan melihat seorang gadis berlari darimu. Kau ditolak?”

“Aku yang menolak.”

“Ish, kurasa gadis itu sangat manis, kenapa kau menolaknya?”

“Bukan urusanmu, Rambut mie!” Baekhyun segera menaiki sepedanya dan melesat menuju Restoran Xiuzi.

“Hya! Dasar, Pendek!”

Chanyeol terdiam. Ia memikirkan kata-kata Baekhyun tadi, kata-kata yang sama dengan yang ia katakan pada Luna tadi pagi. Keraguan seperti apa yang dirasakan Baekhyun? Apa sama dengannya?

***

Sehun tertawa keras mengingat kejadian tadi siang. Dia tak menyangka Baekhyun akan seberani itu pada Chanyeol.

“Diam kau.”

“Tapi kejadian tadi siang benar-benar lucu, Hyung! Rambut mie dan Pendek. Hahahaha!”

“Sudah kubilang diam.”

“Sepertinya kau menikmatinya, Hyung.”

“Menikmati?”

“Ne, kau senang saat bertengkar dengan Baekhyun-hyung.”

“Tidak mungkin. Arghh, aku ingin pergi dari tempat itu.”

“Eomma tak mungkin mengizinkannya.”

“Ya, aku tahu.”

Sehun merebahkan tubuhnya di kasur Chanyeol dan memejamkan matanya.

“Kau jangan tidur di sini, Sehun.”

“Aku tidak sedang tidur.”

“Lalu?”

“Aku sedang mereka ulang kejadian hari ini. Seperti yang disarankan Baekhyun-hyung.”

“Mereka ulang? Maksudnya apa?”

“Aku ingin menjadi orang sehebat Baekhyun-hyung.”

“Orang aneh begitu kau bilang hebat.”

Sehun membuka matanya dan bangun.

“Baekhyun-hyung bisa mengatur pikirannya, seperti orang yang punya indra keenam.”

“Omong kosong.”

“Dia melakukan ritual seperti ini. Baekhyun-hyung juga bilang hidupnya akan lebih tenang kalau melakukan ini.”

“Hah, itu hanya tahayul.”

“Terserah. Tapi kusarankan agar kau melakukannya juga, Hyung. Aku rasa itu berguna untuk perasaanmu yang terus terbelenggu ambisi.”

“Pergi sana, aku tidak butuh saran dari si Pendek Baekhyun.”

“Kau tega sekali sih bilang Baekhyun-hyung, Pendek.”

“Dia duluan!”

“Dasar kekanakan. Tidak biasanya kau menanggapi orang sampai sebegitunya. Dan ingat, kau belum mendapatkan nomor ponselnya.”

“Ya-ya, aku akan mendapatkannya.”

“Sudahlah menyerah saja, Hyung. Bayar saja kekalahanmu.”

“Pergi!”

***

Baekhyun masih saja menghitung uang receh, rasanya pekerjaannya di restoran itu hanya menghitung uang receh.

“Baekhyun-ssie, antarkan pesanan ini ke alamat ini lagi, ya!” Perintah Xiumin.

“He? Tidak, aku tidak mau. Suruh saja Kyungsoo.”

“Kyungsoo sedang membantuku, sudahlah pergi sana!”

Akhirnya setelah dipaksa, Baekhyun mau mengantarnya lagi. Dengan perasaan was-was Baekhyun menekan bel kamar Chanyeol. Dia berharap Sehun yang membukakannya, karena Baekhyun sedang malas berurusan dengan Chanyeol. Tapi harapannya harus pupus, karena Chanyeol yang menyambutnya.

“Katanya kau tidak mau mengantar ke apartemen ini lagi.”

“Terpaksa. Sudahlah cepat bayar, Rambut mie.”

“Kau tidak sopan sekali sih dengan atasanmu sendiri.”

“Kita seumuran, untuk apa aku harus sopan.”

“Aku atasanmu, Baekhyun.”

“Sebelum kau berhenti menggangguku dengan permintaan konyolmu, aku tidak akan menghormatimu.”

“Permintaan apa?”

“Berhenti meminta nomor ponselku.”

Bukannya menanggapi, Chanyeol malah mendekatkan dirinya pada Baekhyun. Refleks Baekhyun menjauh, tapi Chanyeol semakin mendesak tubuh itu hingga ia terpojok di dinding.

“A-apa yang mau kau lakukan?”

Tangan Chanyeol memegang pundak Baekhyun dan menatap mata Baekhyun lekat.

“Hya! Apa yang mau kau lakukan?!”

“Berikan nomor ponselmu.”

“Kan sudah kubilang, ponselku rusak!”

“Aku akan memperbaikinya! Tapi berikan aku nomor ponselmu!”

“Untuk apa, sih?”

“Untuk menjaga harga diriku!”

“Mwo?”

“Sudah tidak usah cerewet, Pendek! Berikan nomormu!”

“Tidak mau!”

“Baekhyun-ssie!”

“Hei-hei, ada apa ini? Chanyeol-hyung, kenapa kau mendesak tubuh Baekhyun-hyung begitu?”

“Sehun! Tolong aku!”

Sehun langsung menjauhkan Chanyeol dari Baekhyun.

“Kau mau apa sih, Hyung?”

Chanyeol tidak menanggapi dan masuk ke dalam.

“Kau tidak apa-apa, Hyung?”

“Dia terus meminta nomor ponselku.”

Sehun berusaha menahan tawanya. Lalu matanya beralih pada box besar yang dibawa Baekhyun.

“Dia memesan lagi? Katanya kau tidak mau mengantar ke sini.”

“Xiumin-hyung memaksaku, aku tidak tahu kenapa, tapi kurasa ini gara-gara si Rambut mie itu.”

“Kenapa sih kau tidak mau memberikan nomor ponselmu padanya?”

“Aku hanya merasa ada rencana tersembunyi dibalik permintaannya. Semacam taruhan mungkin?”

Sekarang Sehun harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya. Jawaban Baekhyun sangat tepat.

“Ayo masuk dulu, Hyung.”

“Aku harus kembali bekerja, Sehun.”

“Oh, baiklah. Tapi apa kau tidak mau berpamitan dengan Rambut mie?”

“Tidak!”

***

Seminggu berlalu...

Chanyeol pergi ke toko ponsel. Sudah dibilang, Chanyeol akan melakukan apapun demi memenangkan taruhan itu. Chanyeol lama sekali memilih ponsel, karena di tidak tahu Baekhyun punya selera yang bagaimana. Akhirnya ia membeli sebuah ponsel keluaran paling baru karena ia yakin Baekhyun akan menyukainya.

Setelah membeli, Chanyeol langsung ke kantor untuk memberikannya. Hari ini ia harus mendapat nomor ponsel Baekhyun. Baekhyun yang sedang menyapu ruangan kaget saat Chanyeol memberikan sebuah bingkisan untuknya.

“Aku sudah bilang akan memperbaiki ponselmu.”

“I-ini ponsel?”

“Hem. Sekarang berikan nomor ponselmu.”

“Kau orang paling menakutkan yang pernah kukenal.”

“Cepat berikan nomormu!”

“Aku tidak mau ponsel seperti itu, aku kan gaptek.”

Chanyeol semakin gemas dengan tingkah Baekhyun. Akhirnya ia jatuhkan bingkisan itu dan mengangkat tubuh Baekhyun dengan menarik kerahnya. Semua orang di sana termasuk Sehun yang sedang memeriksa pekerjaan Kai sangat kaget.

“Kenapa kau tidak mau memberikan nomormu, Pendek.”

“Ka-kau ini kenapa, sih?”

“Berikan nomormu, Baekhyun.”

“Lepaskan aku, Rambut mie!”

“Berikan nomormu!” Sekarang Chanyeol benar-benar marah.

“Kau menyukaiku, ya?”

“Mwo?”

“Kau sangat ngotot meminta nomorku, kau menyukaiku?”

Chanyeol melepaskan Baekhyun dan meninggalkan ruangan itu. Baekhyun sedikit merasa bersalah karena membuat Chanyeol marah besar. Baekhyun melempar sapunya dan menyusul Chanyeol.

“Kalau mereka baikan, tidak akan ada tontonan seru,” celetuk Jongdae.

***

Chanyeol duduk di kafetaria perusahaan sambil meminum kopi. Baekhyun ragu untuk mendekat, tapi dia harus meminta maaf pada Chanyeol. Akhirnya ia duduk di hadapan Chanyeol.

“Mau apa kau?” Tanya Chanyeol.

“Maafkan aku soal yang tadi, aku...aku hanya waspada.”

“Waspada?”

“Ne. Aku juga tidak mengerti.”

“Pendek bodoh.”

“Rambut mie pemarah.”

“Aku tidak biasa marah begitu. Tapi karena kau mengesalkan, kemarahanku meledak.”

“Maafkan aku. Kita baikan saja, ya?”

“Tidak mau.”

“Kenapa?”

“Aku senang seperti ini.”

“Se-seperti ini?”

“Aku senang bertengkar denganmu. Karena saat bertengkar denganmu...aku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan dalam hidupku. Mungkin dulu pernah, tapi sejak kami berpisah, aku tak pernah merasakannya lagi.”

“Sesuatu seperti apa?”

“Kedamaian hati.”

“Apa orang itu pacarmu?”

“Bukan, dia adalah orang yang tak boleh kucintai.”

“Kenapa?”

“Rahasia.”

Rahasia

Rahasia

Jantung Baekhyun berdetak begitu cepat. Sangat lama Baekhyun tak mendengar kata itu. Kata yang selama ini ia nanti. Kata itu yang selalu ia ingat dari orang yang telah meninggalkannya dan membuatnya menunggu selama 15 tahun ini.

“Jadi kau punya rahasia?”

“Tentu saja, semua orang juga punya.”

“Aku juga.”

Chanyeol menatap Baekhyun yang menunduk.

“Aku juga punya rahasia yang sudah kupendam selama 15 tahun,” lanjut Baekhyun.

“Li-lima belas tahun?”

Baekhyun mengangguk.

“Ah, aku bukan orang bodoh yang mau menceritakan rahasiaku pada orang lain, apalagi dia orang aneh seperti kau, Rambut mie!”

“Hya! Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi!”

“Tidak mau! Aku suka memanggilmu Rambut mie!”

“Huft...”

“Hahaha. Oiya, ponsel yang tadi...aku tak bisa menerimanya.”

“Kenapa?”

“Aku akan memberikan nomor ponselku tapi kau harus berjanji untuk tidak menghubungiku.”

“Benarkah? Kau mau memberikannya?”

“Ne. Catatlah cepat.”

Chanyeol langsung mengeluarkan ponselnya dan menunggu Baekhyun menyebutkan nomornya. Setelah Baekhyun menyebutkannya, wajah Chanyeol berubah sumringah.

“Yes! Sehun, kau kalah!”

“Mwo?”

“Eh, bukan apa-apa.”

“Kau taruhan dengan adikmu?”

“A-anyeo.”

“Rambut mie!”

***

Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Chanyeol dan Baekhyun menjadi sangat dekat walaupun masih sering bertengkar hanya karena masalah kecil. Dari pertemanan itu Chanyeol tahu bahwa Baekhyun hidup yatim piatu dan Baekhyun tahu Chanyeol hanya mempunyai ibu. Mereka mulai saling terbuka walau masih ada rahasia di antara mereka.

Malam itu Chanyeol mengajak semua staff editor untuk makan malam bersama. Mereka pergi ke sebuah kedai makan rekomendasi Baekhyun. Kedai yang sederhana tapi menghangatkan. Baekhyun duduk di antara Chanyeol dan Sehun. Sedangkan di sisi lain ada Kai, Jongdae, dan Luhan.

“Hari ini aku yang akan mentraktir kalian! Ayo makan sepuasnya!” Seru Chanyeol. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Di sela-sela makan, Baekhyun tersedak dan Chanyeol langsung memberikan minumannya pada Baekhyun. Tapi Baekhyun menolak karena minuman itu beralkohol. Dengan sigap Sehun menggantinya dengan air putih dan tentu saja Baekhyun menerimanya. Chanyeol kesal karena Sehun mengalahkannya.

“Heuh...heuh...,” suara Baekhyun mengatur nafas.

“Kenapa kau tak mau meminum punyaku?”

“Aku tidak bisa minum alkohol.”

“Memangnya apa yang terjadi jika kau minum alkohol?”

“Aku akan mabuk berat.”

“Semua orang akan mabuk saat minum alkohol.”

“Aku bisa pingsan.”

“Eh? Sampai seperti itu?”

“Kau tidak percaya? Aku benci sekali pada alkohol.”

“Iya aku akan percaya.”

Mereka pun melanjutkan makan malam yang menyenangkan itu.

***

“Malam sudah larut, aku akan mengantarmu,” ucap Chanyeol pada Baekhyun.

“Tidak usah, Rambut mie.”

“Kenapa? Hanya arah rumahmu yang beda, kan? Sehun bisa pulang sendiri.”

“Aku bisa naik bis.”

“Yasudah, aku akan menemanimu naik bis.”

“Tidak mau!”

“Kau mulai lagi!”

Sehun memisahkan kedua hyungnya yang mulai bertengkar lagi.

“Kalian ini tidak bisa ya hidup tanpa bertengkar?”

“Dia duluan yang memaksa!” Seru Baekhyun.

“Aku kan baik sudah menawarimu tumpangan!”

“Baekhyun-hyung, terimalah tumpangan Chanyeol-hyung sekali ini saja.”

“Kalau kau yang bilang...baiklah.”

“Jadi kau hanya mau menurut pada Sehun?”

“Mau mengantarku, tidak?”

“Heuh, ayo.”

Chanyeol membukakan pintu mobil untuk Baekhyun. Setelah melambai sebentar pada Sehun, Baekhyun pun masuk. Chanyeol membanting pintu karena masih kesal, lalu Chanyeol masuk.

“Jangan bertengkar, ya,” pesan Sehun. Chanyeol pun menjalankan mobilnya.

Di dalam mobil keduanya hanya diam, karena kalau mulai mengobrol, pasti ada saja kata yang membuat mereka bertengkar. Tapi Baekhyun bukan tipe orang yang suka diam, akhirnya dia memulai pembicaraan.

“Kenapa tadi membanting pintu, Rambut mie?”

“Karena aku kesal.”

“Kesal kenapa?”

“Kau hanya mau mendengarkan adikku, aku benci itu.”

“Benci?”

“Iya. Aku tak suka kalah darinya.”

“Jadi kau merasa dikalahkan karena aku lebih akrab dengan adikmu?”

“Tentu saja.”

“Lalu apa maumu sekarang?”

“Dengarkan aku.”

“Aku akan mendengar semuanya. Adikmu dan kau.”

“Heuh...kalau sudah begini pasti ujung-ujungnya kita bertengkar.”

Baekhyun tertawa diikuti Chanyeol.

“Bukankah kau menikmatinya? Pertengkaran kita?”

“Hem.”

“Aku juga. Karena aku juga merasakan hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya saat bersamamu.”

Chanyeol tersenyum lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalan.

“Aku ingin mengobrol sebentar denganmu.”

“Aku tidak suka mengobrol sebentar, aku sukanya lama.”

Chanyeol tertawa mendengar pernyataan Baekhyun.

“Baiklah, kalau mau mengobrol lama, bagaimana kalau kita mengobrol di rumahmu?”

“Tidak mau, di sini saja.”

“Aish, kau ini menyebalkan sekali sih! Kau bilang mau mengobrol lama.”

“Di sini juga cukup.”

“Heuh...baiklah.”

Mereka kembali terdiam, mereka sibuk dengan perasaan masing-masing.

“Baekhyunnie.”

“Hem?”

“Aku tidak menyangka bisa berteman dengan orang yang aneh sepertimu.”

“Hahaha, aku juga.”

“Kau percaya takdir?”

“Aku sangat percaya takdir.”

“Ya, aku juga. Heuh, aku bingung apa yang harus kita bicarakan.”

“Chanyeol, bukankah dulu kau bilang kau punya rahasia?”

“Ya.”

“Aku mau tahu.”

“Tidak boleh! Ini rahasia!”

Kata itu kembali terngiang dalam pikiran Baekhyun. Pembicaraan itu...

“Memangnya kau tahu artinya rahasia?”

Chanyeol terdiam, hatinya sesak, karena ia pernah mendapat pertanyaan itu.

“Ya pokoknya...rahasia itu yang tidak boleh diperlihatkan.”

“Lalu sampai kapan kau mau membuatnya rahasia?”

Chanyeol tidak berani melihat Baekhyun, karena ia sadar sesuatu yang ia takutkan terjadi.

“Aku tidak tahu, pokoknya rahasia.”

Mereka kembali terdiam. Perlahan airmata Baekhyun jatuh, tapi Baekhyun memalingkan wajahnya ke jendela agar Chanyeol tidak melihatnya.

“Waktu itu Chanyeol bilang...kalau Chanyeol merahasiakannya dari orang yang tak boleh dicintai Chanyeol. Boleh kutahu alasannya?”

“Aku hanya tidak boleh mencintainya.”

“Apa Chanyeol boleh mencintaiku?”

“A-apa?”

“Jika Chanyeol tidak boleh mencintai orang itu, apakah Chanyeol mau mencintaiku.”

Chanyeol tidak menjawab. Ia lepaskan sabuk pengamannya dan medekati Baekhyun. Memegang pundak Baekhyun dan mendorongnya tersudut ke pintu mobil, lalu ia kecup kening Baekhyun lembut. Baekhyun kembali mengeluarkan airmatanya, sekarang ia tak mau menyembunyikannya.

“Jangan menangis, Pendek.”

“Bahkan di saat seperti ini kau masih memanggilku Pendek.”

“Bukankah kau duluan. Tiba-tiba memanggilku dengan sebutan Rambut mie dan memarahiku.”

“Tapi kau yang dulu-“

Chanyeol mengunci bibir Baekhyun dengan bibirnya. Ia sentuh bibir itu lembut dengan bibirnya, sangat lembut dan hangat seperti perasaannya pada Baekhyun. Baekhyun hanya diam, karena ia tak mau melepas kehangatan itu begitu cepat. Ponsel Chanyeol berbunyi, tapi Chanyeol tak mau mengangkatnya, ia ingin terus bersama Baekhyun. Bersama orang yang selama 15 tahun ini ia cintai.

***

Chanyeol memukul dinding berulang kali. Ia merasa sudah melakukan kesalahan besar karena mencintai Baekhyun. Orang yang tak boleh dicintainya. Orang yang lahir dari hubungan gelap Appanya dengan Eomma Baekhyun. Orang yang selama ini, secara tidak langsung, sangat dibencinya. Orang yang selalu dicintainya dalam rahasianya. Itulah alasan Chanyeol tidak menjawab pertanyaan Baekhyun kemarin malam.

Saat Baekhyun menanyakan hal itu, apakah Chanyeol tahu artinya rahasia, Chanyeol sadar Baekhyun adalah Pendek yang dulu, orang yang dulu ia suruh untuk menantinya. Menanti tanpa harapan. Sekarang saat Chanyeol kembali, apa Chanyeol mau membuat Baekhyun kecewa? Karena lambat laun Baekhyun akan kecewa. Dari dulu sampai saat ini, hanya kenyataan itu yang tak bisa Chanyeol terima. Ia benar-benar mencintai Baekhyun. Tapi Chanyeol juga tidak bisa mengecewakan Eomma yang sudah membesarkannya dengan susah payah. Chanyeol tidak bisa...mencintai Baekhyun.

“Hyung?”

Chanyeol berhenti memukul dinding, tangannya berlumuran darah begitu juga dinding yang ia pukul.

“Hyung! Kenapa kau memukul-pukul dinding seperti itu? Sini kuobati!”

“Tidak, Sehun. Aku tidak mau luka di tanganku diobati.”

“Kenapa, Hyung?”

“Karena aku ingin mengalihkan rasa sakit di hatiku dengan luka ini.”

“Kau sakit hati, Hyung? Karena apa?”

Chanyeol terduduk karena kakinya tiba-tiba melemas.

“Aku tak bisa mencintai Baekhyun.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Baekhyun...dia...Appa...”

Sehun terdiam, dadanya terasa sesak saat mendengar kata Appa. Appa yang sudah meninggalkannya dengan sakit hati yang dalam.

“A-Appa?”

“Baekhyun adalah anak dari hubungan gelap Appa.”

“Hyung, kau bohong, kan?”

“Dia sahabatku dulu, sahabat yang kutinggalkan karena Eomma melarangku berteman dengannya. Karena Eomma tahu, dia adalah anak itu. Orang yang selama ini kucintai. Cinta pertama yang terus kurahasiakan. Orang yang selalu menyelimuti hatiku dengan keraguan.”

“Lalu apa yang harus kita perbuat, Hyung? Aku sudah terlanjut menyayangi sebagai kakakku sendiri. Bagaimana bisa orang itu hasil dari hubungan gelap itu?”

“Aku juga tak pernah menginginkannya, Sehun.”

“Kau harus menyelidikinya lagi, Hyung.”

“Aku yakin dia adalah Pendek. Dia adalah Hyunnie...”

Sehun mengepalkan tangannya lalu memukul wajah Chanyeol.

“Apa yang kau lakukan?!”

“Jangan pedulikan itu! Lupakan kalau Baekhyun-hyung adalah anak Appa! Lupakan masa lalu, Hyung!”

“Apa kau mau mengecewakan Eomma?”

Sehun terdiam. Airmatanya mengalir, ia sangat sedih menerima kenyataan itu. Ia sangat menyayangi orang yang seharusnya dia benci.

“Apakah Baekhyun-hyung tahu?”

“Aku rasa dia hanya tahu aku sebagai Rambut mie yang dulu menyuruhnya menunggu. Dia belum tahu masalah Appa.”

“Eommanya juga sudah meninggal. Dia yatim piatu, Hyung. Aku tidak tega membencinya.”

“Jangan benci Baekhyun, Sehun.”

“Tapi setelah apa yang Eomma Baekhyun lakukan...”

“Bencilah Eommanya, jangan benci Baekhyun. Aku akan menghentikan perasaan ini. Aku akan menikahi Luna.”

“Sudah kubilang, perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupmu yang penuh kepura-puraan itu, Hyung.”

“Tapi aku harus bagaimana, Sehun? Apa aku harus mencintai Baekhyun lalu mengecewakan Eomma? Kau ingat wajah Eomma yang penuh lelah saat mengurus kita?”

“Aku bingung, Hyung.”

“Besok aku akan memohon pada Luna untuk mau menikah denganku.”

***

Malamnya, Chanyeol berkunjung ke rumah Baekhyun. Karena dia takut tak bisa bertemu dengan Baekhyun setelah dia menikahi Luna.

“Ah, Rambut mie. Silahkan masuk.”

“Tumben kau membolehkanku masuk.”

“Aku sedang dalam keadaan baik. Oiya, aku akan membuatkanmu makanan terenak buatanku!”

“Benarkah? Wah, masaknya yang cepat ya, Pendek!”

“Ish, dasar Rambut mie.”

Baekhyun pergi ke dapur. Chanyeol duduk di sofa lalu menyalakan televisi. Tak ada yang ingin ia tonton, karena sekarang pikirannya hanya tertuju pada Baekhyun. Baekhyun yang akan ia tinggalkan sebentar lagi.

Tak berapa lama, Baekhyun membawa dua mangkuk mie instan dan menaruhnya di hadapan Chanyeol.

“Mie instan? Kau bilang ini makanan enak?”

“Karena ini mirip denganmu, jadi kubilang ini makanan terenak buatanku.”

“Jadi kau kira aku enak?”

“Tentu saja. Karena itu aku menyukaimu.”

Baekhyun, bagaimana aku bisa melepasmu jika kau bersikap seperti ini? Batin Chanyeol.

“Makanlah, Rambut mie.”

“Aku mau kau menyuapiku. Aaa.”

“Dasar manja.”

Baekhyun mengambil sesendok mie dan menyodorkannya pada Chanyeol. Chanyeol memakan mie itu dan dia rasa mie itu memang mie terenak yang pernah dimakannya. Walaupun sedikit hambar karena Baekhyun terlalu banyak menambahkan air, tapi rasanya tetap enak, sangat enak.

“Enak, kan?”

“Sangat enak.”

“Kau mau kusuapi sampai habis?”

“Iya, pokoknya aku mau dimanjakan olehmu malam ini!”

“Hahahaha. Kenapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini?”

“Setelah makan, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, Baekhyunnie.”

“Baiklah.”

Selesai makan, Chanyeol membantu Baekhyun mencuci piring. Setelah itu mereka duduk di ruang tengah dengan jus jeruk dan makanan kecil. Baekhyun menyandarkan tubuhnya ke pinggan sofa sama seperti Chanyeol.

“Baekhyunnie.”

“Oiya, kau mau membicarakan apa?”

“Aku ingin tanya, sejak kapan kau menyukaiku?”

“Sejak aku mengantarkan makanan ke apartemenmu.”

“Lho? Bukannya kau bilang aku menakutkan?”

“Aku tidak tahu, kau menakutkan, tapi aku menyukainya.”

Baekhyun tidak berani menanyakan apakah Chanyeol juga menyukainya atau tidak.

“Sebaiknya kau jangan menyukaiku, Baekhyun.”

“Kenapa?”

“Karena aku terlalu menakutkan untuk disukai.”

“Lalu aku harus suka pada siapa? Aku maunya suka pada Chanyeol.”

Chanyeol tertawa kecil.

“Kau bisa menyukai orang lain. Banyak orang yang lebih baik dariku.”

“Apa...Chanyeol tidak menyukaiku?” Akhirnya Baekhyun berani menanyakan itu. Chanyeol tidak bisa menjawab. Nafasnya sesak hingga ia tak bisa berfikir.

“Apa selama ini Chanyeol hanya menganggapku sebagai si Pendek yang menyebalkan?”

Chanyeol masih diam.

“Apa Chanyeol hanya berniat menjahiliku dengan menggangguku demi mendapatkan nomor ponselku?”

“Apa...”

Chanyeol memeluk Baekhyun, ia memeluk Baekhyun sangat erat karena sebenarnya Chanyeol tidak bisa dan tidak mau melepas Baekhyun. Hanya pertanyaan kenapa yang kini memenuhi pikirannya. Kenapa harus Eomma Baekhyun yang membuat keluarganya hancur? Kenapa Tuhan begitu jahat padanya dan Baekhyun? Kenapa dia tidak boleh mencintai Baekhyun?

“Pendek mencintai Rambut mie...itulah rahasiaku selama ini,” lirih Baekhyun.

***

Chanyeol dan Sehun pindah ke perusahaan lain yang lebih besar seminggu yang lalu, alhasil Tuan Lee kembali memimpin ruang editor kecil itu. Baekhyun juga jadi jarang bertemu dengan Chanyeol. Sms dan telepon seperlunya, karena sepertinya Chanyeol sedang sibuk. Chanyeol dan Sehun juga tidak pernah memesan makanan dari Restoran Xiuzi lagi. Baekhyun merasa kesepian, tapi jika dia pergi ke apartemen Chanyeol, nanti lelaki itu marah. Jadi sekarang Baekhyun hanya menunggu.

“Hei teman-teman! Cepat ke sini!” Seru Luhan.

“Ada apa, Hyung?” Tanya Kai.

“Ada undangan pernikahan! Dan kita semua diundang!”

“Siapa yang menikah?” Tanya Jongdae.

“Coba kulihat dulu. Ah, yang menikah Chanyeol.”

Tubuh Baekhyun membeku. Semua mata tertuju pada Baekhyun, mereka seperti mengerti perasaan Baekhyun.

“Baekhyun-ssie,” panggil Kai.

“Apa aku diundang? Kapan acaranya?”

“Baekhyun-ssie,” kini giliran Luhan yang memanggil Baekhyun seperti tidak enak melanjutkan berita ini.

“Kapan acaranya, Hyung?”

“Besok.”

Baekhyun belum menjawab, karena dia harus sekuat tenaga menahan airmatanya.

“Oh, itu artinya aku harus bersiap. Aku pulang dulu, ya. Dasar Rambut mie, kenapa mengundang kami begitu mendadak?”

Baekhyun mengambil tasnya.

“Baekhyun-ssie, kau tidak apa-apa?” Tanya Jongdae.

“Memangnya aku kenapa? Aku harus bersiap untuk acara besok. Jangan lupa jemput aku, ya. Kita berangkat bersama.”

Baekhyun meninggalkan teman-temannya dengan perasaan hampa.

***

“Jadi ini alasannya tak mau menjawab pertanyaanku?”

Glek...glek...

“Jadi ini alasannya tidak pernah mengungkapkan rahasianya padaku?”

Glek...glek...

Entah sudah berapa botol arak yang ia minum di kafe itu. Baekhyun memang sengaja tidak pulang, ia tidak mau mengingat kenangannya dengan Chanyeol malam itu. Malam di mana mereka berpelukan untuk terakhir kalinya.

“Jadi...mereka meninggalkanku karena ini? Sehun-ssie, bukankah kau adikku? Kenapa kau juga meninggalkanku? Rambut mie, kau adalah orang paling menakutkan yang pernah kutemui...kau membuatku menunggu selama 15 tahun. Dan saat kau kembali, kau malah meninggalkanku. Aku kecewa Rambut mie.”

“Tuan, Anda sudah mabuk berat.”

“Siapa kau?”

“Saya pelayan di sini, Tuan. Anda sebaiknya berhenti meminum arak. Kalau tidak, Anda bisa pingsan.”

“Aku tidak peduli! Siapa yang mau memedulikanku? Mereka semua meninggalkanku! Aku...aku sendirian, kau tidak perlu memedulikanku!”

“Tapi Tuan, kafe ini juga akan segera tutup. Ini sudah jam dua pagi.”

“Mwo? Jam dua pagi? Berarti ini sudah hari yang lain?”

“Ne.”

“Ah, aku harus datang ke pernikahan orang yang sudah mempermainkanku. Annyeong...”

Baekhyun berjalan sempoyongan seraya menyeret tasnya.

***

Baekhyun berjalan tanpa arah di suasana pagi yang masih gelap. Ia terus berjalan tanpa kenal lelah. Ia berjalan menuju apartemen Chanyeol. Di depan gedung apartemen, Baekhyun menatap kosong gedung itu. Kepalanya sangat berat, kakinya mulai terasa sakit karena berjalan sangat jauh. Keadaan Baekhyun benar-benar berantakan sekarang.

“Aku tak bisa melihatmu dengan orang lain, Chanyeol. Aku tak bisa...”

Baekhyun berbalik dan kembali berjalan. Matanya semakin berat dan pikirannya melayang, Baekhyun mabuk berat. Baekhyun mengambil ponselnya hendak menelepon Chanyeol.

BRAKK

Sebuah truk menghantam tubuh kecil Baekhyun. Baekhyun menutup matanya sambil tersenyum tipis karena ia bisa melihat Chanyeol dalam pikirannya. Chanyeol yang sudah membuatnya menunggu. Chanyeol yang menakutkan. Chanyeol yang ia cintai.

“Tolong jangan hancur...karena di ponsel ini, ada nomor yang selalu Chanyeol inginkan.”

***

Suasana pernikahan Chanyeol dan Luna sangat meriah. Semua teman-teman Chanyeol datang kecuali satu orang, Baekhyun. Akhirnya Chanyeol siap mengucap sumpah menikah untuk Luna. Setelah penghulu mengucap sumpahnya, ini giliran Chanyeol mengucap ulang semuanya. Tapi saat sumpah akan berakhir, Xiumin datang menghentikan semuanya.

“Chanyeol-Chanyeol!” Panggil Xiumin.

“Ada apa, Hyung?”

“Ba-Baekhyun.”

Perasaan Chanyeol langsung gelisah.

“Ada apa, Hyung? Kenapa dengan Baekhyun?”

“Dia...dia mengalami kecelakaan.”

Waktu di sekitar Chanyeol seperti berhenti. Chanyeol merasa semuanya begitu gelap.

***

Semua yang sudah dialaminya dengan Baekhyun seperti diputar ulang saat Chanyeol berlari melewati lorong rumah sakit. Bukan hanya sehari, seminggu, sebulan, tapi 15 tahun. Semua yang ia rasakan selama 15 tahun pada Baekhyun kini muncul lagi.

“Baekhyun...Pendek...”

Chanyeol tiba di depan kamar Baekhyun, tapi Luhan dan Xiumin menahan Chanyeol untuk masuk karena dokter masih menangani Baekhyun.

“Ini salahku, Tuhan. Jangan ambil Baekhyun, tolong jangan. Ini salahku karena membuatnya mencintaiku. Ini salahkku karena aku merahasiakan semuanya pada Baekhyun. Ini salahku...”

Tak berapa lama dokter yang menangani Baekhyun keluar.

“Apa kalian keluarganya?”

“Iya, aku calon suaminya!” Seru Chanyeol.

“Apa kau yang bernama Rambut mie?”

“I-iya, bagaimana keadaan Baekhyun, Dokter?”

“Anak itu kritis. Tapi dalam masa kritisnya ia terus memanggil Rambut mie.”

“Apa aku boleh menemuinya?”

“Aku yakin kau harus menemuinya.”

Chanyeol langsung menerobos masuk dan berdiri di samping Baekhyun. Xiumin mengambilkan kursi untuk Chanyeol dan Chanyeol duduk di atasnya.

“Rambut mie...”

“Baekhyun-ssie, aku di sini. Rambut mie ada di sini,” ucap Chanyeol sambil menggenggam tangan Baekhyun erat. Baekhyun perlahan membuka matanya dan mencari Chanyeol. Perlahan Chanyeol mengarahkan kepala Baekhyun agar mengarah padanya.

“Aku di sini, Pendek.”

“Kau di sini? Kau benar-benar di sini?”

“Tentu saja, Baekhyunnie. Aku selalu di sini.”

“Chanyeol-ssie. Maaf karena aku tidak bisa datang ke pernikahanmu.”

“Aku tidak menikah, Baekhyun. Aku tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dirimu.”

“Benarkah? Aku...aku akan terus menunggumu sampai kapanpun, Chanyeol.”

Keadaan mendadak hening, nafas Baekhyun terus melambat. Xiumin dan Luhan tidak kuat melihat alat pendeteksi detak jantung yang menunjukan detak jantung Baekhyun yang melambat.

“Chanyeol...aku...uhuk-uhuk, aku ingin mengetahui rahasiamu. Tolong katakan padaku.”

Chanyeol ragu untuk menjawabnya.

“Kau harus sehat dulu, baru aku akan mengatakannya padamu.”

“Aku...walaupun aku akan terus menunggumu...tapi rasanya begitu sulit, Chanyeol.”

“Baekhyunnie.”

“Aku minum alkohol kemarin malam, aku bodoh, ya?”

Chanyeol tak bisa berkata banyak, ia sedang berusaha menahan tangisnya. Tak berapa lama Sehun datang dengan mata sebam. Ia berdiri di samping Chanyeol.

“Baekhyun-hyung.”

“Aku minum alkohol karena kukira...alkohol akan membuatku melupakan semuanya. Melupakan semua kenyataan yang membuat terluka. Melupakan perasaanku padamu. Melupakan jika kau adalah saudaraku sendiri.”

“Ba-Baekhyun, kau sudah tahu?”

“Aku selalu berusaha menolaknya, aku...aku selalu berusaha menutupi kenyataan itu. Aku tak mau percaya pada kata-kata terakhir Eomma.”

Chanyeol terus menunduk karena tak kuat melihat wajah pucat Baekhyun dan ia ingin menyembunyikan airmatanya dari Baekhyun.

“Tolong jangan menunduk, Rambut mie. Aku ingin terus melihat wajahmu...”

“Baekhyun-ssie, tolong jangan bicara terlalu banyak, kau harus istirahat.”

“Rambut mie. Bisakah kau mengatakan kalau kau mencintaiku? Bisakah kau katakan rahasia itu?”

“Baekhyun-ssie, Pendek, sekarang aku tidak peduli pada kenyataan, aku tidak mau percaya pada takdir, karena aku...aku akan selalu mencintaimu. Seperti yang selama ini kurahasiakan darimu.”

“Tolong jangan menungguku, Chanyeol. Cukup aku yang menunggumu. Aku...aku sangat senang kau bisa mengatakannya sekarang. Terimakasih, Rambut mie.”

Perlahan Baekhyun menutup matanya, tangan yang Chanyeol genggam tiba-tiba diam, tak lagi membalas genggamannya.

“Baekhyunnie. Pendek, Pendek!”

***

“Annyeong haseyo. Pesanan dari restoran Xiuzi datang.”

“Oh, Kyungsoo-ssie, terimakasih ya. Ini untukmu.”

“Wah, tips yang sangat banyak, Hyung!”

“Sisakan sebagian untuk membeli bunga untuk Baekhyun.”

“Tentu saja, aku takkan lupa membawakan bunga untuk Baekhyun.”

“Gomawo.”

Kyungsoo pergi dengan perasaan yang sama, ia masih sedih sahabatnya harus pergi. Padahal sudah satu tahun berlalu, tapi setiap dia mengantar makanan untuk Chanyeol, rasa kehilangan itu kembali muncul.

Chanyeol masuk sambil membawa box khas Restoran Xiuzi. Ia menata isi box itu di meja makan. Sehun keluar dari kamarnya dan duduk di kursi makan, menatap satu persatu makanan itu, membuatnya ingat pertama kali mereka bertemu dengan Baekhyun.

“Bagaimana keadaan Baekhyun-hyung, ya, Hyung?”

“Dia pasti tenang, Sehun. Dia sudah mengetahui semuanya sebelum ia pergi.”

“Sejak kepergian Baekhyun-hyung, Hyung menjadi pribadi yang lepas dari ambisi. Aku lega.”

“Aku melakukannya demi Baekhyun. Bahkan aku melakukan ritual yang dia ajarkan setiap malam.”

“Pantas saja setiap jam 8 malam kau langsung mengunci kamar.”

Chanyeol tersenyum. Senyum lega yang ia bentuk seperti menggambarkan bahwa sudah tidak ada rahasia yang ia simpan pada siapapun. Sekarang ia akan terbuka pada semuanya, demi rahasia mereka. Bahwa mereka saling mencintai.

END



A Fanfiction - Our Secret (Twoshoot 1 of 2) _ Baekyeol/Chanbaek


Our Secret


Author: Fie
Genre: sad, romance, yaoi
Rated: 15+
Length: twoshoots (1 of 2)
Pairing: Baekyeol/Chanbaek
Main cast:
- Byun Baekhyun as Baekhyun/Pendek
- Park Chanyeol as Chanyeol/Rambut mie
- Oh Sehun as Park Sehun

Support cast:
- Kim Minseok/Xiumin
- Luhan
- Kim Jongin/Kai
- Kim Jongdae/Chen




Summary:

Aku tidak peduli pada kenyataan, aku tidak mau percaya pada takdir, karena aku akan selalu mencintaimu.


***
Hanya menunggu sebentar, eoh?

Sebentar? Dia bilang sebentar?

Kenapa sampai sekarang kau belum kembali?
---
“Aku punya rahasia.”

“Lalu?”

“Pokoknya rahasia!”

“Memangnya kau tahu artinya rahasia?”

“Rahasia itu ya...pokoknya rahasia itu yang tidak boleh diperlihatkan!”

“Tapi mau sampai kapan kau membuatnya rahasia?”

“Aku tidak tahu, pokoknya rahasia!”

Aku tertawa kecil mengingat pembicaraan itu. Pembicaraan yang sangat konyol antara dia dan aku. Dia yang sudah meninggalkanku 15 tahun yang lalu. Dia yang membuatku menunggu selama 15 tahun. Dia yang mempunyai rahasia.

***

“Baekhyun-ssie, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor 2, ya.”

“Ne!”

Seorang lelaki kurus mengambil nampan berisi 2 mangkuk ddukbokkie dan secepat kilat menaruhnya di meja yang di maksud. Lelaki itu, Baekhyun, kembali ke belakang kasir dan menghitung uang receh lagi.

“Baekhyun-ssie, kau sedang sibuk, tidak?”

“Aku sedang menghitung uang receh. Tapi kalau mau menyuruhku boleh saja sih...”

“Tentu saja aku boleh menyuruhmu, aku kan seniormu!”

“Hahaha, iya-iya, Xiumin-hyung. Ada apa?”

“Antarkan pesanan ini ke alamat ini, ya?”

“Jauh sekali! Lalu bagaimana dengan uang recehnya?”

“Kau ini. Yasudah aku saja yang meneruskannya.”

“Bilang saja kau malas mengantar.”

Xiumin hanya tertawa dan mengambil alih pekerjaan Baekhyun. Baekhyun berjalan meninggalkan kasir dan mengambil sepeda motornya. Ia letakan box besar berisi pesanan pelanggan ke tempat box dengan hati-hati.

“Hah...ini sih jauh sekali. Dasar Xiumin-hyung, baozi gendut!”

“Apa katamu?!”

Baekhyun langsung menyalakan mesin dan membuat motornya melesat cepat meninggalkan restoran tempat ia bekerja.

***

“Kamar nomor 9... nomor 9... nomor 9...,” ucap Baekhyun sambil mencari kamar apartemen yang dimaksud.

“Ah! Ini dia!”

Baekhyun menekan bel beberapa kali sampai seseorang membukakan pintu.

“Annyeong haseyo. Pesanan dari restoran Xiuzi datang.”

“Oh, pesanannya sudah datang. Chanyeol-hyung, kau mau orang ini masuk atau bagaimana?”

“Ambil saja makanannya dan bayar pakai uangmu dulu!”

“Ish, seenaknya saja.”

Lelaki itu menyuruh Baekhyun untuk meletakan makanan-makanan itu ke dalam. Baekhyun pun masuk, tapi dia bingung harus meletakannya di mana.

“Maaf, aku harus meletakannya di mana?”

“Taruh saja di meja itu. Sebentar ya aku ambil uang dulu.”

Baekhyun mengangguk dan mulai menata semua makanan itu di atas meja yang dimaksud. Makanan yang mereka pesan termasuk makanan yang mewah, mereka pasti orang kaya, pikir Baekhyun.

“Ah, tentu saja, melihat apartemen yang mereka tempati...mereka pasti orang kaya,” gumam Baekhyun.

“Hei, Sehun menyuruhmu masuk, ya? Aish, anak itu!” Seru seorang lelaki bertubuh sangat tinggi yang baru keluar dari kamar mandi.

“Ma-maaf. Aku akan tunggu di luar kalau kau keberatan.”

“Anyeo, aku tidak keberatan. Hanya saja aku tak mau merepotkanmu.”

“Aku tidak merasa direpotkan, sudah menjadi tugasku membantu pelanggan.

Chanyeol hanya mengangguk polos. Lalu lelaki tinggi itu melihat-lihat makanan yang ia pesan. Matanya langsung berbinar saat melihat sup tulang sapi ada di antara makanan itu.

“Woaa!! Seolleongtang!”

Baekhyun tersenyum melihat tingkah polos Chanyeol.

“Sehun sudah membayarnya?”

“Uhm...lelaki yang tadi? Belum.”

“Yah...padahal aku ingin langsung memakannya.”

“Yasudah makan saja.”

“Eh? Kan belum dibayar.”

“Tidak apa-apa, kan sudah kuantar. Sup ini tidak enak jika tidak segera dimakan.”

“Aigo! Baiklah! Gomawo!”

Chanyeol mengambil kursi dan langsung melahap sup itu. Tak berapa lama Sehun kembali dari kamar dan menyerahkan sejumlah uang pada Baekhyun.

“Itu masih kurang karena kami belum mengambil uang kami. Bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku akan ke ATM dekat sini.”

“Bagaimana kalau aku kembali nanti malam? Aku masih banyak pekerjaan di restoran.”

“Oh, mianhae.”

“Tidak apa-apa. Aku permisi dulu.”

Baekhyun pun pergi. Kedua namja tinggi itu hanya saling pandang melihat orang yang begitu mudah percaya pada orang lain.

“Kau pernah bertemu penjual seperti itu?” Tanya Sehun sambil duduk di hadapan Chanyeol.

“Sepertinya dia sudah meletakan alat pendeteksi atau semacamnya agar kita tidak kabur,” jawab Chanyeol asal.

“Hahaha, ada-ada saja. Tapi bukankah restoran Xiuzi jauh dari tempat ini? Kenapa dia mau kembali lagi ya. Malam-malam pula.”

“Ah, itu hanya isapan jempol biasa. Dia pasti tidak mau menunggu, jadinya dia pergi dan akan memakai uangnya untuk mengurangi kekurangan kita.”

“Tapi bagaimana kalau dia benar-benar datang malam ini?”

“Kalau dia datang, aku akan membayar 2 kali lipat kekurangannya.”

“Itu terlalu mudah, yang lebih sulit dong!”

“Kau mau apa?”

“Kau harus meminta nomor teleponnya.”

“Untuk apa?”

“Pokoknya minta saja.”

“Kau menyukainya, ya?”

“Chanyeol-hyung, dia bukan tipeku.”

“Terserahlah, apa sulitnya meminta nomor telepon.”

“Kalau kau sampai gagal apa bayarannya?”

Chanyeol tidak menjawab, dia sibuk dengan supnya. Sehun memilih untuk memikirkan hukuman untuk Chanyeol jika kalah nanti.

“Ah! Kau harus mencium namja itu!”

“Mwo?! Memangnya kau kira aku suka namja!”

“Memang kan?”

“Aniya!”

“Hahahaha, iya-iya. Jadi apa yang kau mau?”

“Aku akan memikirkannya nanti, lagipula belum tentu aku kalah.”

“Ya-ya-ya, Mister Super percaya diri.”

Chanyeol hanya terkekeh mendengar ledekan adiknya itu. Sehun mengambil sepiring ddukbokkie dan melahapnya perlahan.

“Hyung, kau yakin mau melamar Luna-noona?”

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu?”

“Aku hanya ingin tahu.”

Chanyeol meletakan sendoknya lalu mengaitkan kedua tangannya dengan mengisi jemari di masing-masing tangan. Dia menghela nafas lalu tersenyum tipis.

“Tentu saja. Kau tahu kan gadis itu adalah pujaan semua pria di tempat kita bekerja?”

Sehun setuju dengan 1 anggukan.

“Aku tak mungkin melepaskannya.”

“Aku tahu kau adalah orang yang ambisius, Hyung. Tapi sifatmu itu...apa kau tetap menerapkannya pada perasaanmu?”

“Ambisius? Benarkah?”

“Aku sudah menjadi adikmu selama 23 tahun. Mana mungkin aku tak mengenalmu.”

Chanyeol tertawa kecil, tapi berkesan merendahkan.

“Jika aku menikah dengan Luna. Banyak keuntungan yang bisa kudapatkan.”

“Benar dugaanku.”

“Apa kau termasuk dari semua lelaki itu?”

“Maksud, Hyung?”

“Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?”

“Baiklah, aku harus mengaku, aku memang menyukai Luna-noona sejak dia menjadi mentorku.”

“Kau baru mengaku, jadi tidak ada alasanku untuk mundur.”

“Aku hanya kasihan pada perasaanmu, Hyung.”

“Aku tak suka dikasihani.”

“Siapa bilang aku kasihan padamu? Aku kasihan pada perasaanmu.”

“Perasaan berasal dari hatiku, itu artinya kau mengasihaniku.”

Sehun menggeleng pelan lalu memasukan sepotong ddukbokkie ke mulutnya.

“Perasaan berasal dari hatimu. Tapi perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupmu.”

“Omong kosong.”

“Hyung, kau tidak ingat pada cinta pertamamu?”

“Cinta pertama?”

“Cinta yang selalu kau bilang rahasia.”

Chanyeol memutar matanya lalu mengambil semangkuk stew.

“Jangan bicarakan itu.”

“Sebenarnya siapa dia, Hyung?”

“Sudah kubilang jangan bicarakan itu.”

“Dia namja atau yeoja?”

“Sehun.”

“Baiklah, aku akan diam.”

***

Sebenarnya Baekhyun tidak mau menunggu sisa pembayaran karena Chanyeol. Dia tidak mau berduaan dengan lelaki itu di sana. Dia merasa tidak nyaman berada di dekat Chanyeol, entah apa alasannya.

Setelah memarkir motor restoran, dia masuk ke dalam restoran yang super sibuk. Baekhyun melihat Xiumin menggaruk-garuk kepalanya karena bingung. Segera saja ia hampiri seniornya itu.

“Ada apa, Hyung?”

“Ah! Kau sudah pulang! Kebetulan sekali, Baekhyun.”

“Ada apa?”

“Bisa kau menghitung uang receh ini? Aku harus melayani para pelanggan. Hari ini sangat ramai.”

“Jadi daritadi kau belum selesai? Aigo...”

“Sudahlah, cepat kerjakan! Atau kau mau kupecat?”

“Kau tak bisa memecatku hanya karena uang receh!”

“Aaa! Kau menghambat pekerjaanku! Cepat kerjakan!”

“Iya-iya.”

Baekhyun kembali menghitung uang receh, yang memang sangat banyak itu, dengan agak malas. Sebenarnya menghitung uang receh adalah kesukaannya, karena saat melakukannya ia akan mendapat banyak waktu luang untuk berfikir. Sekarang yang ada dalam pikirannya adalah dua lelaki tadi. Baekhyun merasa hubungan mereka tidak berhenti sampai di situ, tidak sebatas pengantar dan pemesan, tidak sebatas pelanggan dan penjual.

“Oh my...kenapa aku harus bilang pada mereka kalau aku akan mengambil sisanya nanti malam? Aish, aku bisa dipecat kalau tidak mengambilnya. Aku juga tak mungkin memakai uangku untuk menutupi kekurangan mereka. Bodoh kau Baekhyun.”

“Kau sedang bicara sendiri, Hyung?”

“Eh? Kau mengangetkanku, Kyungsoo.”

“Uang receh yang menyebalkan, bukan? Jadinya kau gila bicara sendiri.”

“Hahaha, aku suka menghitung uang receh. Daripada mengantar pesanan dengan segala ocehan dari Xiumin-hyung.”

“Tapi kan bisa dapat tips, hehe.”

“Dasar mata duitan.”

“Tentu saja aku harus mata duitan. Kalau aku tidak begitu, keluargaku mau makan apa?”

“Oke, aku kalah.”

Kyungsoo terkekeh dan menaruh nampan di samping uang receh yang sedang dihitung Baekhyun.

“Malam ini kau ada acara, Hyung?”

“Iya.”

“Eh? Tumben.”

“Aku harus mengambil sisa uang pembayaran pesanan yang tadi baru kuantar.”

“Kenapa kau tidak menunggunya saja tadi?”

“Aku punya alasan yang tidak masuk akal.”

“He?”

“Tadi yang memesan adalah dua lelaki kaya. Sepertinya mereka baru datang dari tempat yang jauh atau apalah, jadi mereka belum mengambil uang di ATM. Sebenarnya salah satu dari mereka menyuruhku menunggu, tapi rasanya aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa, Hyung?”

“Tidak bisa saja.”

“Tidak masuk akal.”

“Benar, kan?”

“Kau yakin mereka bukan penipu?”

“Kurasa tidak mungkin, melihat di mana mereka tinggal dan jenis makanan yang mereka pesan.”

“Heuh...padahal nanti malam aku mau minta bantuanmu mengerjakan tugas skripsi adikku.”

“Kalaupun aku tidak ada acara, aku tidak mau.”

“Yah, Hyung...”

“Sudah pergi sana, memangnya kau mau dimarahi Xiumin-hyung?”

***

Chanyeol mengambil ponselnya dan mencari kontak gadis itu, Luna. Chanyeol menunggu jawaban Luna beberapa lama, tapi akhirnya ia batalkan niatnya. Entah kenapa dia ragu untuk melanjutkan hubungan itu. Hubungan atas dasar ambisi. Chanyeol tidak pernah mencintai Luna. Sama sekali tidak. Bahkan keuntungan besar yang bisa Chanyeol dapatkan jika menikah dengan Luna tidak bisa membuatnya mencintai Luna. Dia tahu Luna menyukainya, tapi dia tidak bisa membalas perasaan itu. Selama ini yang ia lakukan hanya berpura-pura baik dan merasa senang karena telah mengalahkan semua lelaki yang menginginkan Luna. Bahkan adiknya sendiri bisa ia kalahkan. Benar kata Sehun, perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupnya. Hidup yang selama ini dia jalani adalah hidup penuh ambisi dan kesombongan. Ada satu hal yang ingin ia cari, sesuatu yang berasal dari perasaannya. Dia, sebuah rahasia yang tak pernah ia ungkapkan. Rahasia yang ia baru tahu, ia memang harus merahasiakannya.

TING TONG

Suara bel membuyarkan lamunan Chanyeol. Lelaki tinggi itu beranjak dari sofa dan membuka pintu. Ternyata Baekhyun. Ya, seperti janjinya tadi siang.

“Oh, kau.”

“Aku ingin mengambil sisanya.”

“Kau mau masuk dulu?”

“Tidak usah.”

“Suasana di luar sangat dingin, akan kubuatkan cokelat panas untuk menghangatkan tubuhmu.”

“Apakah...lelaki yang tadi siang bersamamu ada?”

“Ha? Sehun?”

Baekhyun mengangguk.

“Dia sedang pergi, memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kau menyukainya, ya?”

“Mana mungkin aku suka sesama namja.”

“Hahahaha.”

“Sudahlah, cepat berikan sisanya karena aku harus pulang. Rumahku sangat jauh dari sini.”

“Bagaimana jika kuantar kau pulang?”

“Tidak usah.”

Chanyeol mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa ribu won. Kemudian Chanyeol memberikannya pada Baekhyun. Baekhyun pun menghitung uang yang diberikan Chanyeol, matanya membesar karena jumlahnya dua kali lipat dari yang sebenarnya.

“I-ini terlalu banyak.”

“Itu sebagai tipsmu karena kau rela kembali untuk mengambil kekurangannya.”

“Aku bukan orang seperti Kyungsoo.”

“Kyungsoo? Siapa dia?”

“Bukan urusanmu. Ini.”

Baekhyun menyodorkan kelebihan uangnya pada Chanyeol. Chanyeol masih diam karena bingung.

“Yasudah, taruh saja di uang milik restoran. Gampang, kan?”

Baekhyun pun memasukannya ke kantong. Chanyeol tertawa kecil melihat tingkah Baekhyun yang seperti anak kecil.

“Kau sangat menggemaskan,” ucap Chanyeol tiba-tiba membuat Baekhyun sangat kaget.

“Mwo?”

“Kau sangat menggemaskan,” ucap Chanyeol lagi.

“Aku memang menggemaskan. Baiklah, aku pergi dulu.”

“Tunggu dulu!”

“Apa lagi?”

“Boleh aku minta nomor ponselmu?” Chanyeol hampir lupa dengan taruhan itu.

“U-untuk apa?”

“Agar nanti jika aku memesan makanan lagi, aku bisa langsung meminta kau sebagai pengantarnya.”

“Kenapa harus aku? Kurasa Kyungsoo lebih cocok, dia suka mendapatkan tips.”

“Bukan masalah tips, tapi aku rasa kau orang yang jujur dan dapat dipercaya.”

“Pegawai di Restoran Xiuzi semuanya jujur.”

“Tapi aku mau kau.”

“Alasan yang tidak masuk akal. Lagipula aku tidak bisa memberikan nomor ponsel ke orang yang belum kukenal.”

“Baiklah, kalau begitu ayo kita berkenalan. Namaku Park Chanyeol, kau?”

“Bukan berkenalan seperti itu!”

“Lalu?”

“Sudahlah, aku pulang dulu!”

“Hya! Kau belum menyebutkan namamu!”

Bukannya menjawab, Baekhyun malah berlari meninggalkan Chanyeol. Chanyeol gagal melunasi taruhannya. Selama hidupnya, Chanyeol jarang sekali kalah, jadi dia berjanji akan mendapatkan nomor ponsel lelaki itu.

***

Di tempat parkir, Baekhyun mengatur nafasnya karena kelelahan setelah berlari tadi.

“Hah...hah... kenapa dengan lelaki itu? Aish, aku takkan mau mengantar ke tempatnya lagi. Dia menyeramkan.”

“Siapa yang menyeramkan?”

Baekhyun langsung berbalik dan menyiapkan kuda-kuda untuk melawan. Tapi dia urungkan karena orang yang bertanya tadi bukan Chanyeol, melainkan Sehun.

“Bu-bukan siapa-siapa.”

“Kau sudah meminta sisanya pada Hyungku?”

“Jadi kalian kakak-beradik?”

“Hem. Oiya, gomawo untuk makanannya tadi siang. Sepertinya kami akan menjadi pelanggan tetap restoranmu.”

“Tapi jangan paksa aku untuk mengantar makanan ke tempatmu.”

“He? Memangnya kenapa?”

“Aku tidak mau bertemu dengan Hyungmu.”

“Hyungku? Memangnya apa yang dia lakukan padamu?”

“Dia tiba-tiba saja mengatakan kalau aku menggemaskan, lalu dia meminta nomor ponselku. Aku takut! Oiya, jangan katakan padanya, ya.”

“Hahahaha, benarkah? Hyungku hanya ingin berteman denganmu. Ah iya, namaku Park Sehun.”

“Byun Baekhyun.”

“Kau mau pulang sekarang, Baekhyun?”

“Tentu saja. Rumahku sangat jauh dari sini.”

“Wah, maafkan kami ya. Ini juga karena kau tidak mau menunggu.”

“Tidak apa-apa. Aku pulang dulu, ya.”

“Hati-hati.”

Setelah mengangguk, Baekhyun pun menjalankan motornya pergi dari tempat itu. Sehun juga berjalan meninggalkan tempat parkir sambil tertawa kecil.

“Hahaha, menakutkan. Hyungku memang orang yang menakutkan.”

***

Sehun melemparkan tubuhnya ke kasur yang sedang ditempati Chanyeol. Alhasil konsentrasi Chanyeol pada buku yang ia baca langsung buyar. Chanyeol sangat kesal pada tingkah Sehun yang seenaknya ditambah kejadian dengan Baekhyun tadi.

“Dasar adik kurang ajar!”

Sehun tertawa puas melihat ekspresi kakaknya. Karena kemarahannya sudah memuncak, akhirnya Chanyeol memukul kepala Sehun.

“Aw! Calm down, Hyung!”

“Calm down-calm down. Sekarang aku sedang tidak calm down.”

“Karena jasa pengantar itu?”

“Kalau kau mau menagih taruhanmu, aku tidak akan menyerahkannya, karena aku belum kalah.”

“Belum kalah? Bukannya kau gagal meminta nomor ponsel Baekhyun?”

“Baekhyun? Jadi namanya Baekhyun?”

“Tadi aku bertemu dengannya di tempat parkir.”

“Dia memberikan namanya padamu? Ish, orang itu.”

“Hahahaha, dia sepertinya takut padamu. Akhirnya ada orang yang jujur bilang kalau kau menakutkan.”

“Dia bilang aku menakutkan?”

“Seharusnya aku tak boleh mengatakannya padamu. Ini rahasia, hahahaha!”

“Hya!”

***

Baekhyun merebahkan tubuhnya perlahan tubuhnya di kasur. Ia pejamkan mata indahnya. Karena saat matanya terpejam, ia bisa mereka ulang kejadian hari ini. Mencoba tidak mengulangi kesalahannya di masa depan dan menambah perbuatan baik yang telah ia perbuat. Seingatnya hari ini dia melakukan banyak kesalahan. Pertama, dia memanggil seniornya dengan panggilan gendut. Kedua, dia menolak untuk membantu Kyungsoo. Lalu yang ketiga...dia berprasangka buruk pada lelaki tinggi itu, Park Chanyeol.

“Aku tidak tahu kenapa. Untuk kesalahan yang satu itu...aku akan terus mengulanginya. Aku hanya ingin waspada.”

Kenapa? Hanya itu yang memenuhi Baekhyun tentang lelaki itu. Kenapa dia ingin menjaga jarak dari Chanyeol? Kenapa dia merasa Chanyeol akan menjadi bagian berharga dalam hidupnya walau ia berusaha menjauhinya? Kenapa Baekhyun berjanji untuk hidupnya yang selanjutnya, ia akan menerima Chanyeol dengan tangan terbuka? Kenapa Chanyeol mengingatkan Baekhyun pada temannya di masa lalu? Temannya yang punya rahasia.

“Anak itu juga menakutkan. Dia punya rahasia dan itu menakutkan.”

***

Keesokan harinya...

Baekhyun memang hanya pekerja sambilan di Restoran Xiuzi setiap sore dan sabtu-minggu, karena pekerjaan tetapnya adalah sebagai editor di sebuah perusahaan percetakan. Hari ini dia harus datang lebih pagi untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal Jum’at minggu lalu. Dia tidak mau kena omel dari Luhan, seniornya yang kebetulan mengenal Xiumin. Luhan dan Xiumin adalah orang yang suka mengomel, mereka memperlakukan Baekhyun seenaknya walaupun Baekhyun tahu mereka sangat menyayanginya. Apalagi Baekhyun tinggal sendiri, jadi kedua seniornya itu sering berkunjung ke rumah susun Baekhyun untuk sekedar makan malam atau mengobrol. Baekhyun juga menyayangi mereka, baginya Xiumin dan Luhan adalah pengganti orangtuanya, tapi dia tidak bisa menolak rasa bencinya saat keduanya menjadi orang menyebalkan di tempat kerja.

“Pagi, Luhan-hyung.”

“Pagi. Tumben kau datang sepagi ini? Pasti kau meninggalkan pekerjaanmu Jum’at lalu, kan?”

“Iya.”

“Kan sudah kubilang–“

Luhan belum memulai omelannya karena seorang lelaki menghampirinya sambil terengal.

“Luhan-hyung!”

“Ada apa, Kai?”

“Pagi ini dua atasan baru kita datang!”

“Mwo? Jadi benar beritanya.”

“Berita apa, Hyung?” Tanya Baekhyun.

“Makanya jangan terlalu sibuk di restoran.”

“Iya-iya maafkan aku. Memangnya berita apa?”

“Sebentar lagi Tuan Lee akan digantikan karena beliau ditugaskan ke luar Seoul dan ada dua orang yang akan menggantikannya.”

“Kenapa harus dua orang?”

“Salah satunya hanya sebagai wakil.”

“Ooh...”

“Ayo sekarang kita bersihkan tempat ini! Kita harus menyambut mereka!”

“Bukankah semua tempat editor memang berantakan? Mereka pasti maklum,” komentar Baekhyun.

“Ini kan di Seoul, tidak tahu di London.”

“Jadi mereka dari London?”

“Sudahlah jangan banyak omong, Baekhyunnie! Bersihkan tempat ini! Terutama tempatmu, karena itu yang paling berantakan!”

Baekhyun dan Kai saling pandang lalu berlari sebelum Luhan mengomel lagi.

***

“Menurutku Tuan Lee adalah atasan paling baik. Aku sedih dia pergi,” ucap Kai.

“Iya, benar itu. Aku takut dua orang yang menggantikan Tuan Lee tidak sebaik Tuan Lee,” ucap Jongdae.

“Kalau bicara dua orang, kemarin aku mengantar pesanan untuk dua orang. Mereka orang kaya,” cerita Baekhyun.

“Lalu?” Tanya Kai penasaran.

“Tapi mereka lupa mengambil uang, jadi aku harus kembali lagi malamnya.”

“Kenapa kau tidak menunggunya saja?” Giliran Jongdae bertanya.

“Untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal, aku tak mau menunggunya. Ah! Aku juga malas menceritakannya lagi.”

“Ish, kau membuat kami penasaran saja!” Seru Kai.

Saat ketiga editor itu sibuk bersih-bersih, tiba-tiba saja Luhan memanggil mereka untuk ke ruang tengah. Ketiganya langsung berlari menghampiri Luhan. Tapi kini Luhan tidak sendiri, ia bersama dua lelaki tinggi, tampan, berwibawa, dan Baekhyun kenal mereka.

“He?!” Pekik Baekhyun.

“Baekhyun-ssie? Itu kau?” Tanya Sehun lalu mendekati Baekhyun.

“I-iya.”

“Jadi kau bekerja di sini? Sudah berapa lama?”

“Sejak aku lulus kuliah.”

“Ohya? Kapan itu?”

“Sehun-ssie, sekarang waktunya berkenalan, bukan mengobrol,” ucap Chanyeol. Sehun melirik Chanyeol dan kembali ke tempatnya.

“Apa kalian benar atasan baru kami?” Tanya Luhan seperti tidak percaya.

“Iya, memangnya kenapa? Kau meragukan kami?” Chanyeol balik bertanya.

“Bukan. Hanya saja kurasa umur kalian masih terlalu muda untuk menjadi atasan.”

“Kami mempunyai banyak pengalaman di London maupun Korea, tenang saja,” ucap Chanyeol membuat Baekhyun menggerutu dalam hati. Chanyeol melirik Baekhyun yang berbicara tak jelas jadi kesannya seperti berkumur.

“Kau kenapa?” Akhirnya Chanyeol bertanya.

“Eh, apanya yang kenapa?”

“Hah, sudahlah. Sekarang apa aku boleh tahu nama kalian?”

“Baiklah, aku akan mencoba percaya. Namaku Luhan, yang ini Jongdae, Kai, lalu Baekhyun.”

“Aku tahu perusahaan ini hanya sub-perusahaan. Tapi kenapa pegawai di sini hanya empat orang?” Tanya Sehun.

“Aku rasa karena tugas yang diberikan pada perusahaan ini tidak sebanyak perusahaan besar lainnya,” terka Baekhyun. Sehun tersenyum pada Baekhyun.

“Heuh...harusnya aku tidak menerima pekerjaan ini. Kenapa aku rela pindah dari London untuk memimpin perusahaan Eomma yang kecil seperti ini. Seharusnya aku minta padanya memimpin di perusahaannya yang lebih besar,” keluh Chanyeol.

“Jangan meremehkan tempat ini!” Seru Baekhyun.

Semua terdiam mendengar teriakan Baekhyun di pagi yang hening ini.

“Baekhyun-ssie.” Luhan mencoba menenangkan Baekhyun.

“Atasan kami yang sebelumnya tidak pernah meremehkan tempat ini! Bahkan beliau sangat sedih karena harus meninggalkan kami!”

“Atasan kalian kan dibayar oleh kami. Sedangkan kami? Kami adalah pemilik perusahaan ini, jadi kami boleh berkomentar sesuka hati kami.”

“Chanyeol-hyung–”

“Oiya, perkenalkan, namaku Park Chanyeol dan adikku Park Sehun. Kami akan menjadi atasan di sini selama kami betah. Sehun, kau gantikan aku, aku ada urusan di tempat lain.”

Chanyeol berbalik untuk pergi, tapi sebelum dia melangkahkan kaki...

“Hya! Rambut mie!” Seru Baekhyun. Luhan langsung menutup mulut Baekhyun tapi Baekhyun melepaskan tangan Luhan.

“Apa kau bilang?”

“Tak ada yang boleh meremehkan tempat ini, Rambut mie!”

“Apa alasanmu?”

“Alasanku?”

“Ya, alasanmu melarangku meremehkan tempat ini.”

“Karena...karena tempat ini adalah rumah ketigaku. Setelah rumah dan Restoran Xiuzi. Aku menganggap semua yang ada di sini adalah keluargaku. Jadi aku takkan membiarkanmu mengejek keluargaku.”

“Baiklah, kuterima alasanmu. Puas?”

“Berjanjilah untuk tidak mengejek tempat ini.”

“Ya, aku berjanji.”

Chanyeol tidak menghiraukan perkataan Baekhyun selanjutnya. Ia benar-benar pergi. Setelah kepergian Chanyeol, Baekhyun memegangi dadanya, dia seperti orang syok.

“Baekhyun-ssie?” Tanya Luhan mencoba menyadarkan Baekhyun.

“Aku tadi memarahi atasanku sendiri?”

“Iya, kau memarahi Hyungku.”

“Ma-maafkan aku.”

“Tidak apa-apa, kau keren. Hahahaha!”

Yang lainnya ikut tertawa bahkan Baekhyun yang sudah sadar dari syoknya juga ikut tertawa.

***

Chanyeol menghentikan mobilnya di sebuah restoran mewah. Pagi ini ia akan menemui Luna di restoran tersebut. Chanyeol memasuki gerbang utama dan beberapa pelayan membungkuk tanda hormat. Chanyeol memicingkan matanya ke segala arah dan langsung tertuju pada seorang gadis berambut cokelat yang sedang memandangi ponselnya. Chanyeol berjalan menghampiri gadis itu dan langsung mengecup keningnya.

“Hya! Ini Korea, Chanyeol!”

“Lalu?”

“Jangan pakai kebiasaan itu di sini.”

“Baiklah,” ucap Chanyeol sambil duduk di hadapan Luna.

“Bagaimana tempat kerjamu yang baru?” Tanya Luna

“Menyedihkan.”

“Menyedihkan?”

“Hem. Tempat itu sangat kecil, pegawainya sedikit dan menyebalkan. Terutama lelaki itu, yang namanya Baekhyun.”

“Baru datang sudah dapat musuh. Apa itu kebiasaanmu?”

“Tapi kau menyukaiku, kan?”

“Heuh. Jadi apa yang mau kau bicarakan?”

“Jangan terburu-buru. Uhm, bagaimana tempat barumu? Eommaku baik bukan?”

“Sangat baik. Aku menyukai Eommamu, dia wanita yang kuat.”

“Tentu saja. Membesarkan dua anak lelakinya selama lebih dari 20 tahun sendirian dan berhasil menjadi pengusaha perusahaan percertakan terbesar di Korea dan London.”

“Ya-ya-ya, kau mulai lagi.”

Chanyeol hanya tertawa kecil. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Luna merasa jantungnya berdebar kencang, ia merasa semua penantiannya akan terbalas hari ini. Ia yakin Chanyeol akan melamarnya sekarang.

“Ini yang mau kubicarakan.”

“A-apa itu, Chanyeol?”

Chanyeol membuka kotak itu dan terlihatlah sebuah cincin emas putih yang indah. Tapi Luna mengenal cincin itu, cincin yang sama dengan yang ia pakai sekarang.

“Apa ini maksudnya, Chanyeol?”

“Aku merasa...aku sudah membuatmu menunggu lama, Luna. Selama kau menantiku, hidupmu akan terus berkurang. Sedangkan aku masih ingin bersenang-senang sendirian. Aku belum siap untuk menikah. Kau membutuhkan lelaki yang lebih baik dariku, Luna.”

“Jadi maksudmu?”

“Maafkan aku.”

“Kenapa, Chanyeol?”

“Aku sudah mengatakan alasanku, Luna. Sekali lagi maafkan aku.”

“Pasti ada orang lain. Iya, kan?”

“Anyeo, aku tak punya kekasih lain selain kau.”

“Tolong katakan yang sejujurnya, Chanyeol.”

“Aku hanya merasa ada keraguan di hatiku tentangmu, Luna. Aku juga belum mengerti.”

“Aku sudah menolak semua lelaki untuk mendapatkanmu, Chanyeol.”

“Bukalah lagi kesempatan itu,  Luna.”

“Baiklah, aku akan menerimanya. Aku takkan sedih pada perpisahan ini, karena masih banyak lelaki lain yang lebih baik darimu. Aku yakin itu. Gomawo untuk semuanya.”

“Tapi kita tetap berteman, kan?”

“Tentu saja. Walaupun rasanya takkan sama lagi.”

“Terimakasih, Luna.”

Chanyeol benar-benar tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia tak bisa menikahi wanita yang tidak dia cintai walau ia sudah menutupinya dengan ambisi. Chanyeol merasa ada hal yang belum ia selesaikan, jadi hatinya selalu diselimuti keraguan pada semua wanita.

***

Sehun mengajak Baekhyun ke ruangannya, awalnya Baekhyun ragu, tapi karena wajah Sehun sangat meyakinkan jika ‘Sehun takkan berbuat macam-macam’ akhirnya Baekhyun mau ikut dengan Sehun. Sehun menyuruh Baekhyun menunggu sebentar karena Sehun ingin mengambil minuman.

“Tidak usah, Sehun.”

“Tidak apa-apa. Anggap saja ini sebuah perayaan kecil-kecilan.”

“Kenapa tidak ajak yang lain?”

Sehun tidak menjawab dan hanya tersenyum. Saat ia kembali, ia membawa 2 kaleng alkohol dan snack kentang.

“Maaf, Sehun. Aku tidak minum alkohol.”

“Oh, aku yang minta maaf. Baiklah, akan kuambilkan jus.”

Sehun pergi lagi dan kembali dengan cepat membawa sekaleng jus jeruk untuk Baekhyun.

“Silahkan diminum, Hyung.”

“Hyung? Memangnya umurku lebih tua darimu, Sehun?”

“Tentu saja, aku kan baru saja membaca profil kalian.”

“Ooh...”

“Ngomong-ngomong, tindakanmu tadi keren.”

“Yang mana?”

“Saat kau memarahi Chanyeol-hyung.”

“Oh, hehehe. Aku hanya spontan.” Baekhyun membuka tutup kaleng dan meneguk isinya perlahan.

“Tapi kau benar-benar keren! Selama ini tidak ada orang yang berani melawan Hyungku kecuali Eomma.”

“Untuk apa takut pada manusia? Menjaga harga diri yang terpenting.”

“Tapi menjaga harga diri di kondisi yang tidak tepat juga berbahaya.”

“Mungkin iya mungkin tidak.”

“Maksudnya?”

“Apa kau mau harga dirimu diperlakukan seenaknya? Tapi memang sih, kita harus membatasi diri kita saat membelanya.”

“Apa kau tidak takut dipecat karena memanggil Hyungku rambut mie?”

“Aku bukan hanya membela harga diriku, tapi juga keluargaku. Kurasa Hyungmu memakluminya. Dia setuju, bukan?”

“Hahaha, iya-iya. Menurutmu Chanyeol-hyung orang yang seperti apa?”

“Orang yang menakutkan.”

“Hahaha, selain itu?”

“Orang yang penuh ambisi, kesombongan, dan...”

“Tunggu-tunggu, kau tidak sadar aku adiknya, ya?”

“Eh? Hahaha! Aku lupa! Itu mungkin karena kau sangat berbeda dengannya. Kau jauh lebih baik! Kau tidak berubah menjadi orang yang menyebalkan saat di tempat kerja.”

“Berubah? Maksudmu?”

“Luhan-hyung, Xiumin-hyung, dan kakakmu berubah menjadi orang yang sangat-sangat menyebalkan di tempat kerja. Kemarin kakakmu tidak terlalu menyebalkan.”

“Tapi menakutkan?”

“Iya, menakutkan.”

“Apa ini alasanmu tidak mau menungguku kemarin? Karena kau takut berduaan dengan hyungku.”

“Sebenarnya aku bukan takut, aku hanya merasa harus menjaga jarak dengannya walaupun suatu saat nanti aku akan dekat dengannya.”

“Kau memikirkan dua hal yang berlawanan, apa kau bisa membaca masa depan?”

“Anyeo, aku hanya pandai membaca karakter orang lain dan mengatur pikiranku.”

“Mengatur pikiran?”

“Ne, mengatur berbagai kemungkinan. Seperti membaca pikiran sih, tapi lebih kepada firasat mungkin.”

“Hebat.”

“Kau juga bisa melakukannya.”

“Benarkah?”

“Iya! Kau hanya butuh fokus dalam berfikir. Pejamkan mata dan putar ulang kejadian yang telah terjadi sehari kau hidup. Pisahkan hal positif dan negatif. Lalu coba pikirkan hal-hal yang bisa memperbaiki kesalahanmu dan menambah kebaikanmu.”

“Baiklah, aku akan mencobanya. Tapi kurasa akan sulit, mengingat kesibukanku yang lain. Aku akan tertidur lelap dan tidak sempat berfikir tentang kejadian sehari.”

“Apa kau pernah menunggu seseorang yang berharga dalam hidupmu?”

“Eh? Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Jika punya, kau pasti bisa melakukannya. Karena saat kita merenung, kita akan berfikir di mana kesalahan yang kita perbuat sehingga orang itu belum datang.”

“Aku punya, tapi orang itu tidak bisa datang.”

“Siapa?”

“Appaku. Dia sudah meninggal.”

“Oh, maaf.”

“Tidak apa-apa, Hyung. Kau membuatku merasa lebih baik. Aku pasti akan mencobanya!”

“Aku tidak pernah punya adik, jadi bolehkah aku menganggapmu sebagai adikku?”

“Tentu saja! Aku sangat senang punya hyung sepertimu!”

***

Chanyeol kembali ke kantornya yang baru. Chanyeol menjadi figur pangeran baru menggantikan Luhan, lihat saja, ketika Chanyeol memasuki area kantor, semua wanita memandanginya sambil berbisik memuji ketampanan Chanyeol. Chanyeol yang sudah biasa mendapatkan perlakuan itu akhirnya hanya acuh dan terus berjalan sampai ruang editor. Kai yang pertama kali melihat membungkukan tubuhnya tanda hormat dan Chanyeol hanya mengangkat tangan kanannya sebentar untuk balasan. Chanyeol terus berjalan menuju ruang pribadinya, tapi langkahnya terhenti saat mendengar tawa Sehun bersama seseorang dari ruangannya. Diam-diam dia menguping dan ia yakin itu suara orang menyebalkan itu. Baekhyun.

Chanyeol membuka pintu ruangan dan keduanya terdiam. Baekhyun langsung berdiri dan membungkukan tubuhnya sekilas. Sehun juga ikut berdiri dan tersenyum pada Chanyeol.

“Hai, Hyung. Kau sudah kembali ternyata.”

“Kenapa dia di sini? Apa dia tak punya pekerjaan?”

“Ah! Aku lupa kalau aku masih ada pekerjaan! Maafkan aku, ‘bos’,” ucap Baekhyun dengan menekankan kata “bos” dalam kalimatnya.

“Pergi,” usir Chanyeol.

“Sehun-ssie, gomawo untuk minumannya, aku harus kembali bekerja.”

“Iya, Hyung. Gomawo juga untuk sarannya.”

Baekhyun pun melewati Chanyeol. Chanyeol berjalan menuju singgasananya dan duduk di sana.

“Untuk apa kau mengajaknya ke sini?”

“Aku hanya ingin mengobrol, karena kurasa dia orang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol, dan aku benar.”

“Apa yang kalian obrolkan?”

“Banyak sekali! Rahasia!”

“Tolong jangan pakai kalimatku, Sehun.”

“Hahahaha. Oiya, tadi kau ke mana, Hyung?”

“Aku bertemu dengan Luna.”

“Kau jadi melamarnya?”

“Tidak.”

“Eh? Lalu?”

“Aku putus dengannya.”

“Hah?! Kenapa bisa, Hyung?”

“Benar katamu, perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupku. Aku tak bisa mengendalikannya walau aku berusaha menutupinya dengan ambisiku.”

“Jadi sekali ini aku benar? Aigo!”

“Kau tega sekali, senang di atas penderitaan orang lain.”

“Bukankah sekarang kau sedang senang? Kau pasti senang karena tidak usah berpura-pura lagi, iya, kan?”

“Ya...kurang lebih begitu.”

“Hei, bagaimana dengan taruhan kita?”

“Taruhan yang mana?”

“Yaampun, taruhan tentang Baekhyun-hyung.”

“Ooh, aku sudah mendapatkannya.”

“Aku tidak mau kau mengambilnya dari data perusahaan! Aku mau kau memintanya langsung!”

“Ngotot sekali, sih?”

“Semasa bodo! Jangan juga saat kau meminta nomor ponsel yang lain.”

“Iya-iya.”



picture credit: to the owner

A Fanfiction - Let it Rain (Promise) - Oneshot _ Baekyeol/Chanbaek


Let it rain (Promise)


Author: Fie
Genre: Sad, romance, Shounen-ai (Boys love)
Length: Oneshot
Rated: T
Pairing: Baekyeol/ChanBaek
Main Cast: Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Support Cast: Tiffany Hwang, Oh Sehun




Summary:

Biarkan hujan itu turun, karena walaupun hujan itu turun, aku berjanji aku akan tetap melindungimu..


Musim gugur, 2012

Aku melihat lelaki itu terbaring di atas tempat tidur yang berada tepat di sebelahku. Sebenarnya ia tak boleh di situ, tapi karena kamar di rumah sakit ini sudah penuh, jadi pihak rumah sakit mengizinkannya ada di sana. Dari awal aku bertemu dengannya ia sudah tak sadar dan tubuhnya penuh perban. Aku takut melihatnya yang seperti mayat, tapi kata dokter dia koma karena suatu kecelakaan, jadi untuk apa aku takut pada orang hidup? Bagaimanapun aku juga pernah mengalami koma. Bertualang di sebuah dunia yang tak bisa kuingat sepenuhnya.

Ini sudah 2 minggu dia tak sadar. Aku kasihan melihatnya, lama-kelamaan aku penasaran ingin mengetahui nama lelaki itu. Jadi diam-diam aku membuka tirai pemisah dan melihat papan nama yang berada tepat di atas tempat tidurnya.

“Byun Baekhyun…,” desisku.

Kulihat wajahnya seksama, lelaki itu sangat pucat. Beragam peralatan medis melekat di sekitar kepala dan tangannya. Sangat miris melihat orang koma, apa aku semiris itu sebulan yang lalu?

“Hya, apa kau akan terus seperti itu? Sekarang sudah 2 minggu dan kau belum juga sadar. Apa kau tidak kasihan pada keluargamu? Mereka ingin kau cepat bangun. Hya! Bangunlah!”

Hei, kenapa aku jadi marah-marah? Apa karena aku khawatir? Ah, tidak mungkin. Memangnya dia siapa? Eh, maksudku aku ini siapa? Kekasihnya? Bukan. Temannya? Bukan. Tapi entah kenapa aku ingin sekali melihat lelaki itu bangun. Aku yakin lelaki itu adalah lelaki yang kuat, karena luka memar parah yang ia derita hanya membuatnya koma.

***

“Hyung, aku berjanji akan menjadi adik yang kuat. Tapi tolong bangun, Sehun sangat merindukan Hyung.”

Pagi ini aku dikejutkan oleh seorang anak lelaki berumur sekitar 17 tahun yang menangis di samping lelaki itu. Sepertinya dia adik Baekhyun.

“Namamu Sehun?”

Anak itu berpaling dan menatapku dengan matanya yang sendu.

“Ne, Hyung teman Baekhyun-hyung?”

“Aku sudah bersamanya selama dua minggu ini.”

“Apa Hyung terus begini?”

“Uhm...ne, tapi kau harus yakin Hyungmu pasti sadar.”

Sehun mendekatiku dan memberikan sebuah kotak berwarna biru.

“Tolong berikan ini pada Baekhyun-hyung, aku yakin Hyung senang menerimanya ketika ia sadar nanti. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Gomawo, Hyung.”

“Kau mau kemana?”

“Ji-jika Hyung bertanya tentang aku atau Eomma. Katakan padanya kami akan kembali, walau akan sangat lama.”

Sehun menghampiri Hyungnya lagi dan mengecup pipi Baekhyun lalu berlari keluar. Kotak ini apa isinya, ya? Ah, bukankah ini titipan? Aku tak boleh melihatnya.

***

Chanyeol merebahkan tubuhnya sambil mengamati kotak biru yang diberikan Sehun, adik Baekhyun, padanya. Ia menimang-nimang sambil menebak berbagai kemungkinan isi kotak itu. Lalu matanya tertuju pada Baekhyun untuk kesekian kalinya.

“Lelaki itu…seperti putri tidur saja.”

Chanyeol merasa tubuhnya sudah bugar kembali, sudah sebulan ia beristirahat jadi pasti tubuhnya keram ingin bergerak. Jadi ia bangun dan menggerakan badannya. Lalu Park Chanyeol bangun dari kasurnya dan berjalan-jalan.

“Aigo…sudah lama aku tak bergerak sebaik ini.”

Chanyeol memberanikan diri untuk mendekati Baekhyun. Setelah ia berada di samping Baekhyun, lelaki itu melihat alat pembaca detak jantung.

“Lemah…”

Chanyeol mengambil kursi dan terus memandangi Baekhyun.

“Lama-lama dilihat lelaki ini manis juga.”

Langsung tangannya menutup mulutnya dan menggeleng.

“Aigo, apa yang kukatakan? Aku tak mengenalnya, benar, aku tak kenal lelaki ini.”

Chanyeol menatap Baekhyun sangat lama, hingga tak terasa sore sudah tiba. Ia harus kembali ke tempat tidurnya. Sebelum ia pergi, Chanyeol kembali melihat Baekhyun, lalu tersenyum tipis.

***

Pagi ini aku ingin bercerita pada Baekhyun, hem. Bercerita apa, ya? Ah, apapun akan kuceritakan padanya agar ia tak kesepian. Kuambil kursi yang kemarin dan menaruhnya di samping tempat tidur Baekhyun. Lalu dengan lagak sok dekat aku menyapanya.

“Pagi, Baekhyun! Apa kabarmu baik-baik saja?”

“Aku yakin kau sedang berada di dunia yang sangat indah, aku juga pernah mengalaminya. Hanya sedikit yang kuingat, tapi aku merasa sangat nyaman di dunia itu. Uhm...tak senyaman yang kau bayangkan. Terkadang aku ingin cepat keluar dan menemui orang-orang yang kusayangi. Maka saat keinginan itu makin kuat, aku bisa sadar. Kau juga sadar, ya? Kemarin aku bertemu dengan adikmu, namanya Sehun, bukan? Ia sangat mirip denganmu dan kelihatannya dia sangat sedih. Bagaimana bisa kau membiarkan adikmu sedih seperti itu?”

“Oiya, adikmu juga menitipkan sebuah bingkisan berwarna biru. Bolehkah aku membukanya? Hahaha, tidak, aku hanya bercanda.”

Sebenarnya apa yang sekarang kulakukan? Berbicara dengan orang asing? Hem, tidak apalah. Lagipula kedua orangtuaku juga sedang pergi ke luar negri, jadi sekarang aku kesepian.

“Sudah 2 minggu kita bersama dan tak terasa seminggu lagi aku akan keluar dari rumah sakit. Kau tidak apa-apa aku tinggal sendiri?”

Hah? Tidak apa-apa aku tinggal sendiri? Hahahaha, Chanyeol-Chanyeol. Kau ada-ada saja.

***

Chanyeol selesai bercerita pada Baekhyun, ia kembali ke tempat tidurnya dan mengambil kotak biru dari adik Baekhyun. Ia sangat penasaran pada isinya, akhirnya ia membuka kotak itu.

“Liontin?”

Chanyeol mengambil liontin itu dan membuka tutup Liontin itu, matanya membesar melihat foto di liontin itu.

“A-apa ini?”

***

Tanganku bergetar saat melihat foto yang terpampang di dalam liontin Baekhyun. I-itu, kenapa aku? Aku dan Baekhyun? Kenapa bisa? Apa ini maksudnya? Kenapa? Aish, kepalaku sakit lagi! Karena kecelakaan sebulan yang lalu, kepalaku jadi sering sakit! Apalagi saat lelaki itu datang, kepalaku semakin sering sakit. Kutekan tombol pemanggil, beberapa suster mendatangiku lalu menyuntikan obat penenang sampai akhirnya aku tertidur.

***

Musim gugur, 2002

Baekhyun berlari sekuat tenaga agar tubuhnya tidak kebasahan karena hujan, tapi tetap saja, secepat apapun langkahnya hujan lebih cepat darinya. Akhirnya Baekhyun tiba di halte bis yang penuh dengan orang yang berteduh juga. Baekhyun melepaskan jaketnya yang sudah basah kuyup karena hujan. Baekhyun kibas-kibaskan jaketnya setelah tadi dia meremas jaketnya dari air. Lalu ia sampirkan jaket setengah basah berwarna abu-abu itu di lengannya. Sesekali Baekhyun menata rambutnya yang acak-acakan karena berlarian tadi.

“Kenapa harus ada hujan, sih? Aku benci hujan,” ucap sebuah suara berat dan itu mengganggu Baekhyun. Baekhyun melirik ke orang di sebelahnya yang sedang mengeluh tentang hujan. Baekhyun hanya mengulas senyum tipis karena sebenarnya dia sedikit setuju pada perkataan orang itu jika keadaannya sudah begini.

“Kalau saja aku ini pengendali hujan, aku akan menghentikan hujan kapanpun kumau,” ucap orang itu lagi. Oke, sekarang Baekhyun agak risih karena keluhan orang itu.

“Maaf, kalau kau terus mengeluh, bukankah itu artinya kau juga membenci Tuhan?”

Lelaki itu mendelik kesal dan memberikan tatapan membunuh pada Baekhyun.

“Apa urusanmu? Aku sedang bicara sendiri.”

“Tapi aku mendengarnya.”

“Tidak usah mengurusi masalah orang lain.”

“Tuhan kita sama, jadi itu urusanku.”

“Ish.”

Baekhyun memberanikan dirinya untuk mendekati lelaki itu.

“Sepertinya kita sekolah di SMA yang sama?”

Lelaki itu hanya mengangguk.

“Namaku Baekhyun, Byun Baekhyun.”

Lelaki itu belum menjawab dan terus mengeringkan jaketnya.

“Namamu siapa?”

“Park Chanyeol.”

“Apa mau kubantu?”

“Tidak usah.”

“Tanganku sangat kuat, aku bisa memeras baju sampai kering!”

Chanyeol hanya menoleh sedikit dan mencoba tidak peduli. Karena tidak sabar dan tidak suka diacuhkan, Baekhyun langsung mengambil jaket Chanyeol dan memerasnya sekuat tenaga. Chanyeol mengerjapkan matanya karena kaget akan kekuatan Baekhyun. Lelaki itu boleh saja lebih kecil dariku, tapi kekuatannya...wow juga, batin Chanyeol dalam hati.

“Nah, sudah agak kering, tapi jangan dipakai dulu.”

“Gomawo.”

Baekhyun membalas ucapan Chanyeol dengan tersenyum, seperti yang biasa ia lakukan pada orang-orang yang telah dibantunya. Chanyeol sedikit melirik tangan Baekhyun, tangan yang kuat itu tidak semulus tangannya. Tangan itu penuh memar dan Baekhyun berusaha menutupinya walaupun Chanyeol sudah terlanjur melihatnya.

“Ma-maafkan aku soal yang tadi.”

“Soal apa?”

“Soal aku mengeluh tentang hujan.”

“Kau seharusnya meminta maaf pada Tuhan.”

Chanyeol menunduk dan memejamkan matanya seperti berdoa.

“Sudah!”

Baekhyun tertawa melihat tingkah polos Chanyeol. Lalu ia menyipitkan matanya sambil menatap langit dan mengulas senyum manis di wajahnya. Chanyeol mengikuti Baekhyun, ia juga menatap langit.

“Langit seperti menangis, ya?”

“Hem.”

“Saat langit menangis, mereka memberikan kehidupan dengan airmatanya. Berbeda dengan manusia. Saat kita menangis, itu hanya menyusahkan orang-orang di sekitar kita saja.”

“Tidak juga.”

Baekhyun menoleh pada Chanyeol bingung.

“Tergantung kita menangis untuk apa dulu,” tambah Chanyeol.

“Tangisan seperti apa yang menyenangkan.”

Chanyeol berfikir sebentar lalu menatap Baekhyun.

“Tangisan saat kau lahir ke dunia ini.”

“Ah, iya,” ucap Baekhyun sambil tertawa kecil.

“Kita pasti akan jadi teman baik.”

“Aku juga berharap begitu.”

“Aku tidak berharap!”

“Mwo?”

“Aku bilang, kita pasti akan jadi teman baik.”

Baekhyun tertawa melihat ekspresi Chanyeol yang seperti anak kecil menuntut mainan.

***

Musim semi, 2005

Baekhyun dan Chanyeol duduk di teras rumah Chanyeol bersama buku-buku pelajaran. Hari ini Baekhyun meminta Chanyeol untuk mengajarinya beberapa materi yang belum ia mengerti, karena 1 minggu lagi ujian negara akan berlangsung. Chanyeol sebenarnya bingung sendiri saat Baekhyun minta diajari olehnya. Pasalnya Baekhyun jauh lebih pintar dibanding Chanyeol dan itu terlihat sekarang, materi yang Chanyeol belum kuasai lebih banyak di banding Baekhyun.

“Kalau persamaan logaritma seperti ini bagaimana menyelesaikannya, Baekhyun?”

“Oh, menurutku seperti ini.”

“Ah! Benar-benar! Lalu?”

Tes...

“Hei? Sepertinya akan hujan sebentar lagi, ayo kita masuk,” ajak Chanyeol.

“Tunggu, aku ingin melihat hujan sebentar.”

“Kau kan sudah sering melihat hujan.”

“Tapi aku paling suka hujan di musim semi.”

“Baiklah, aku akan membawa buku-buku ini sebelum hujan membasahi mereka.”

“Mau kubantu?”

“Kan kau bilang kau mau melihat hujan. Kau di sini saja.”

Chanyeol membawa buku-buku mereka ke ruang tengah. Lalu lelaki itu mengambil beberapa minuman dan makanan kecil untuk Baekhyun. Saat ia kembali, Baekhyun memasang ekspresi itu lagi. Ekspresi yang dulu membuatnya ingin berteman dengan Baekhyun. Ekspresi manis itu...saat Baekhyun menyipitkan matanya dan menatap langit.

Hujan baru turun rintik-rintik. Baekhyun menghirup udara dingin dan menghelakannya perlahan seperti sedang berolahraga yoga. Chanyeol meletakan makanan dan minuman yang ia bawa di samping Baekhyun.

“Belum deras, ya,” ucap Chanyeol sedikit mengejutkan Baekhyun.

“Ah, iya belum deras.”

“Baekhyun-ssie, aku tidak menyangka kita bisa berteman sampai sekarang.”

“Bukannya dulu kau yang bilang kita pasti akan jadi teman baik?”

“Hahaha, iya. Ternyata kau masih ingat itu.”

“Tentu saja. Karena sejak itulah aku tak mau kehilangan Yeollie.”

“Eh? Aku juga.”

Mereka berdua terdiam. Chanyeol mencuri pandang ke tangan Baekhyun. Selama ini ia selalu ingin menanyakan kenapa tangan Baekhyun memar-memar, tapi dia takut Baekhyun tersinggung. Biarlah nanti Baekhyun yang mengaku sendiri.

“Baekhyunnie...”

“Hem?”

“Selama ini kau selalu bersikap seperti tidak ada yang tak kau sukai di dunia ini. Tapi aku yakin kau punya, dan kalau boleh tahu...apa itu?”

Baekhyun terdiam dan kembali menatap langit.

“Hanya satu hal yang tak kusukai di dunia ini.”

Chanyeol tidak sabar mendengar kalimat Baekhyun selanjutnya.

“Hanya satu...kehidupanku.”

“Ke-kehidupanmu?”

“Aku sangat membenci kehidupanku sebagai Byun Baekhyun.”

“Kenapa?”

Baekhyun mengangkat tangannya dan menyikap bagian lengan bajunya sampai siku. Kini Chanyeol bisa melihat dengan jelas memar dan luka yang ia ingin lihat selama ini.

“Ini yang membuatku membenci kehidupanku. Dia...dia selalu membuatku seperti ini.”

“Siapa?”

“Orang yang tidak bisa lagi kusebut sebagai Appa.”

“Baekhyunnie...”

Baekhyun tetap tersenyum walaupun kini airmata menggenang di matanya yang indah. Chanyeol menggapai tangan Baekhyun dan menutup lagi luka itu.

“Jangan perlihatkan luka ini pada siapapun termasuk aku, Baekhyunnie. Cukup tersenyum seperti itu dan jangan menangis, karena tanpa luka ini, aku bisa mengenal Baekhyun sebagai Baekhyun yang kuat dan selalu berfikiran positif. Aku tak mau melihat luka itu, karena aku berjanji, aku akan melindungi Baekhyunnie.”

---

“Sudah kubilang jangan sakiti Sehun!”

Terdengar sebuah teriakan dari dalam rumah Baekhyun, seperti suara wanita. Baekhyun langsung berlari masuk dan menolong seorang anak yang tangannya berdarah. Sedangkan di dalam sebuah kamar, seorang wanita sedang bertengkar dengan seorang lelaki yang penampilannya begitu berantakan. Lelaki itu adalah Appa Baekhyun dan wanita yang sedang berteriak itu pasti Eomma Baekhyun.

“Eomma!” Seru Baekhyun dan masuk ke kamar untuk melawan Appanya sendiri.

“Kau anak tidak tahu diri!”

Appa Baekhyun memukul wajah Baekhyun hingga mulut Baekhyun mengeluarkan darah.

“Aku sudah tidak tahan lagi! Aku akan pergi bersama anak-anak!”

“Kau boleh pergi bersama Sehun! Tapi jangan Baekhyun!”

“Kenapa?”

“Karena bagaimanapun aku harus hidup dengan salah satu anakku!”

“Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan Baekhyun!”

“Kau mau aku membunuh anak-anakmu sekarang juga?”

Eomma Baekhyun sangat bimbang, ia tak mungkin meninggalkan Baekhyun. Baekhyun mendekati Eommanya dan mengelus pundak Eommanya.

“Pergilah, Eomma. Aku akan baik-baik saja.”

“Baekhyunnie...”

“Aku ingin Eomma dan Sehun terus tersenyum. Jangan menangis, eoh?”

***

Musim dingin, 2006


Malam ini salju turun cukup deras, membuat suhu di malam musim dingin ini semakin menusuk. Tapi Baekhyun tidak mau beranjak dari tempatnya saat ini. Ia berjanji untuk menunggu Chanyeol, di bandara, yang baru akan kembali dari London setelah mengunjungi orangtuanya.

Baekhyun menggenggam erat syal yang ingin ia berikan pada Chanyeol saat lelaki itu tiba. Sudah sekitar 3 jam Baekhyun menunggu kedatangan Chanyeol, karena dia tidak tahu jadwal kedatangan pesawat London-Korea, jadi Baekhyun berjaga-jaga dengan menunggu Chanyeol dari sore. Chanyeol pun berjanji akan tiba hari ini.

Baekhyun memeriksa ponselnya, belum ada pesan dari Chanyeol. Baekhyun tetap sabar menunggu. Ia terus bersenandung untuk mengusir kebosanannya sampai sebuah suara yang ia rindukan memanggil namanya.

“Baekhyunnie!”

“Chanyeol-ssie!”

Baekhyun berdiri hendak menyambut Chanyeol, tapi ada seorang gadis seumuran mereka di sebelah Chanyeol. Gadis yang manis.

“Bagaimana kabarmu selama 1 minggu ini? Kau tidak mau memelukku?”

Chanyeol mengangkat kedua tangannya bersamaan seperti memberikan peluang pada Baekhyun untuk memeluknya.

“Di-dia siapa?”

“Oh, perkenalkan, namanya Tiffany.”

Gadis bernama Tiffany itu membungkuk sambil tersenyum.

“Annyeong haseyo, Tiffany imnida.”

“Baekhyun.”

“Tiffany adalah teman lamaku saat kami bersekolah di London. Tapi sekarang...dia sudah menjadi kekasihku. Tiffany juga bilang ingin melanjutkan kuliahnya di sini, jadi kami pulang bersama.”

“Ooh...”

“Kau sudah menunggu lama, Baekhyun?”

“Ti-tidak.”

“Ayo kita makan malam dulu untuk merayakan kepulanganku.”

“A-aku...aku harus pulang cepat. Aku tak bisa membiarkan Appaku minum-minuman lagi.”

“Kalau begitu kuantar, ya?”

“Tidak usah, Channie.”

Baekhyun membungkukan tubuhnya lalu berlari pergi dengan sebuah syal yang ia genggam erat. Syal yang harusnya tersemat di leher Chanyeol. Syal yang ia buat semalam suntuk selama seminggu ini. Syal yang ia buat untuk Chanyeol.

“Kau yakin ingin melakukan ini, Chanyeol?”

“Tentu. Bagaimanapun Baekhyun tidak boleh mencintaiku.”

---

Baekhyun meletakan syal itu di atas kasurnya lalu ia duduk di balik jendela kamar. Ia menatap salju-salju yang turun menutupi atap rumahnya, begitu putih, bersih, indah. Baekhyun menyapu salju-salju yang bersarang di pinggan jendelanya dan menggenggamnya erat sampai tangannya memerah.

Tes...

Suaranya seperti hujan yang sering ia nikmati bersama Chanyeol. Tapi itu bukan hujan, itu airmatanya. Semakin lama semakin deras hingga melelehkan salju yang ada di hadapannya.

“Kenapa...kenapa hujan ini tidak berhenti walau aku memintanya?”

Ia memukul dadanya berkali-kali.

“Tolong berhenti, aku tidak mau menangis. Aku mau tersenyum seperti yang Chanyeol minta padaku. Tolong berhenti...”

***

Pertengahan tahun 2011

“Baekhyunnie...”

“Selamat untuk pertunanganmu, Chanyeol-ssie. Aku senang kau bisa menemukan wanita sebaik Tiffany.”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Tanganku sudah sehat. Bukankah kau sendiri yang tak mau melihat lukaku? Kenapa sekarang kau menanyakannya?”

“Aku hanya tidak mau kau batal mengisi acara di pernikahanku karena lukamu itu.”

“Aku akan menepati janjiku untuk mengisi di acaramu nanti, Chanyeol. Tenang saja.”

Maafkan aku, Baekhyun. Mulai sekarang kau harus menjadi lelaki normal. Jangan jatuh cinta padaku. Karena aku juga akan meninggalkanmu.

---

Chanyeol dan Tiffany mendapat sangat banyak ucapan selamat pada pernikahan itu. Sampai-sampai Baekhyun tidak bisa menemui Chanyeol untuk sekedar berpamitan. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai pemain piano, Baekhyun memutuskan untuk pergi. Ia akan memberikan ucapan selamatnya besok saat mengantarkan Chanyeol ke bandara.

Sebelum benar-benar keluar, Baekhyun sekali lagi melihat kerumunan itu. Wajah Chanyeol yang bahagia itu...wajah yang selama 5 tahun ini ia rindukan. Entah kenapa sejak Tiffany datang 5 tahun yang lalu, Chanyeol selalu bersikap dingin padanya. Berbicara hanya seperlunya. Chanyeol selalu menghabiskan waktunya bersama Tiffany.

Tidak, Baekhyun tidak boleh sedih. Baekhyun harus tersenyum seperti yang Chanyeol minta dulu agar Chanyeol tetap melindunginya. Melindunginya...

***

Musim gugur, 2012

Aish, bayangan itu lagi. Ya, lagi-lagi bayangan itu. Kenangan yang kudapat saat aku koma dulu. Dan setelah kedatangan Baekhyun, aku makin sering melihat bayangan itu. Sebenarnya siapa lelaki itu? Lelaki yang berada di bayanganku?

Chanyeol kembali memerhatikan foto di liontin tersebut. Kepalanya kembali sakit, kini ia tak mau melawan bayangan itu lagi. Ia ingin mengingat semuanya, ia tak mau hidupnya kembali hampa. Seketika airmatanya mengalir, bukan karena sakit kepala, tapi karena lelaki itu. Byun Baekhyun.

***

Flashback

Baekhyun berlari menelusuri kerumunan orang-orang rumah sakit menuju ruang UGD. Matanya berlinang dan bengkak saat melihat orang yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya terkapar di sana. Lelaki itu sangat lemah, sangat berbeda dari biasanya.

“Yeollie, tolong jangan tinggalkan aku.”

Chanyeol dipindahkan ke kamar rawat, tapi kondisi lelaki itu masih koma. Baekhyun mengikuti Chanyeol dan menunggu sampai ia boleh menemuinya.

“Anda siapa?”

“Sa-saya adalah sahabatnya, sahabat baiknya.”

Beberapa hari sebelumnya…

Chanyeol merasa ia harus mengutarakan perasaan yang sebenarnya pada Baekhyun. Ia tidak sanggup lagi menahannya. Setelah Tiffany menyetujui perpisahan mereka, hari ini, tepat setahun ia meninggalkan Baekhyun ke London, diletakannya kotak biru berisi liontin dan surat berisi perasaannya di depan rumah Baekhyun. Ia harap lelaki itu tak marah jika Baekhyun tahu ia benar-benar menyukainya.

Selepas kepergian Chanyeol, seorang lelaki paruh baya berjalan gontai, tak sengaja kakinya menendang sebuah kotak biru kecil. Lelaki itu mengambil kotak biru dengan tulisan “To Baekhyun”. Sambil tertawa kecil, lelaki itu melempar kotak tersebut ke tempat sampah lalu masuk ke rumah kecilnya.

“Baekhyun-ssie!”

---

Baekhyun mendengar pembicaraan dokter yang merawat Chanyeol. Mereka bilang Chanyeol akan hilang ingatan walaupun tidak permanen. Baekhyun merasa dunia begitu tidak adil, semua orang yang ia sayang harus meninggalkannya. Pertama Eomma, Adiknya, lalu sekarang Chanyeol...

Baekhyun mencoba tidak menangis. Ia akan terus tersenyum agar Chanyeol bangun dan melindunginya lagi. Ia memandang Chanyeol dari balik kaca pintu kamar. Ia tak bisa melihat Chanyeol dengan jelas karena banyak orang sedang menanganinya. Dengan hati yang hampa, ia berjalan tanpa arah. Ia tak sadar sudah berada di jalan raya.

BRAK

Tubuh lelaki itu terlempar cukup jauh karena benturan itu, Baekhyun merasa tak ada gunanya lagi dia hidup. Semua orang akan segera melupakannya. Sebaiknya ia pergi...

---

Sehun baru saja tiba di Seoul dan ia langsung pergi ke kediaman Hyungnya. Ia sangat rindu pada Baekhyun, tapi ia merasa ia tak bisa menemui lelaki itu sekarang. Ia terlalu takut menghadapi Appanya yang sangat pemarah, apalagi saat mabuk. Ia bisa merasakan luka Hyungnya, tapi ia terlalu lemah untuk melawan.

“Hyung.”

Tak sengaja Sehun menemukan sebuah kotak biru dari Chanyeol di tempat sampah, secepat mungkin ia ambil dan pergi dari rumah itu.

***

“Kenapa kau bisa seperti ini, Baekhyun-ssie? Bukankah kau lelaki yang kuat? Walaupun kau selalu dipukuli lelaki itu, kau tak pernah menangis. Aku tak mau melihatmu seperti ini. Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk tidak memperlihatkan lukamu? Aku akan melindungimu, Baekhyun... Apa kau sedih saat melihatku koma? Itu juga yang aku rasakan saat ini Baekhyun. Kenapa kau tak mau bangun, Baekhyunnie? Apa kau marah padaku? Hya, Baekhyun-ssie! Tolong bangun.”

Chanyeol menggenggam tangan Baekhyun dan mengecupnya, airmatanya mengalir karena ia sangat takut kehilangan lelaki itu. Sudah beberapa hari ini Chanyeol tak meninggalkan tempatnya menunggu Baekhyun sadar.

“Baekhyunnie, tolong bangun...bangun demi aku.”
***

Chanyeol menemui dokter yang merawat Baekhyun, ia bertanya apakah keadaan Baekhyun akan terus keritis seperti itu atau masih ada harapan untuknya. Dokter itu tidak bisa menjawab pasti, mendengar reaksi itu Chanyeol dengan penuh amarah menarik kerah jas sang dokter.

“Apa ini yang kau sebut sebagai jasa? Apa kau tidak mau berusaha untuk menyembuhkan Baekhyun?”

“Maafkan aku.”

Chanyeol melepaskan tarikannya dan kembali duduk. Dokter itu juga duduk sambil merapikan kerahnya.

“Boleh aku tahu kenapa Baekhyun dirawat?”

“Kau ingat lelaki itu?”

“Aku belum yakin, yang kutahu aku sangat sedih melihatnya seperti itu.”

“Menurut saksi mata, lelaki itu menyebrang tanpa melihat sekeliling sampai sebuah truk menabraknya.”

“A-apa? Dia menyebrang tanpa memerhatikan sekeliling? Kenapa bisa begitu?”

“Saksi mata juga menambahkan bahwa Baekhyun berjalan seperti orang bingung.”

“Seperti orang bingung?”

“Ah iya, apa kau ingat kenapa kau bisa dirawat?”

Chanyeol menggeleng.

“Kau koma karena sebuah kecelakaan. Saat kau berusaha menyelamatkan lelaki itu.”

“Lelaki itu?”

“Byun Baekhyun...”

***

Kenapa kau tidak hati-hati, Baekhyun? Padahal aku sudah berusaha menyelamatkanmu dengan nyawaku sendiri. Aku mencintaimu, Baekhyun. Kau dengar itu? Aku mencintaimu...sebuah kalimat yang baru bisa kukatakan sekarang. Dulu aku terlalu takut mengatakan ini, Baekhyun. Kau tahu kenapa? Aku takut orang-orang akan melecehkanmu, menghinamu, mencelakaimu hanya karena kita berpacaran. Hanya? Tidak, menjadi menjadi kekasihmu bukan sekedar hanya. Berpacaran denganmu adalah segalanya untukku. Sampai kapanpun aku takkan melepas janjiku padamu, janji yang kuucapkan saat hujan itu turun. Hujan di musim semi yang kau sukai.

Baekhyunnie...kenapa detak jantungmu terus melemah? Apa kau tidak mencintaiku? Apa kau tidak mau memaafkanku? Maafkan aku, Baekhyunnie. Aku terpaksa menikah dengan Tiffany agar kau membenciku. Aku tahu kau tidak bisa, begitupun aku. Tiffany juga tidak mencintaiku, aku tak pernah menyentuhnya selama kami menikah. Aku hanya mencintaimu dan dia tahu itu. Dia menyuruhku untuk kembali padamu, jadi aku memutuskan untuk kembali ke Korea untuk kembali menunjukan cintaku yang terpendam padamu selama bertahun-tahun.

Aku meletakan sebuah kotak berwarna biru berisi liontin dan surat berisi perasaanku. Tapi sepertinya kau membuangnya, Baekhyun. Karena yang mengantarkan kotak itu adalah adikmu. Namanya Sehun, bukan? Dia ingin kau bangun, Baekhyun, sama sepertiku. Aku juga ingin kau bangun.

Aku ingat saat aku menyelamatkanmu di jalan raya waktu itu, aku melihatmu sedang menyelamatkan seekor kucing liar tanpa memedulikan nyawamu sendiri. Aku terlalu takut dan tak bisa berfikir panjang, jadi aku langsung mendorongmu sampai akhirnya...aku koma.

Apa kau menangis saat aku koma, Baekhyun? Aku harap tidak, karena aku ingin menghentikan satu hujan. Satu hujan saja...air matamu. Aku tahu kau selalu menahan hujan itu karena kau yakin aku akan melindungimu. Tapi aku menyia-nyiakan semuanya, Baekhyun. Aku selalu ingin melindungimu, tapi kenyataannya aku malah meninggalkanmu, membuatmu menahan airmata yang seharusnya bisa membuatmu tenang. Maafkan aku Baekhyun.

***

Chanyeol mendengar sebuah suara dari alat pendeteksi detak jantung Baekhyun. Tubuh Chanyeol membeku, ia tak berani melihat alat itu.

“Baekhyun-ssie...”

Tapi Chanyeol berusaha melihatnya, ia tolehkan perlahan kepalanya dan sekarang jantungnya seperti berhenti berdetak. Sama seperti jantung Baekhyun saat ini.

“Baekhyun-ssie! Dokter! Tolong ke sini!”

***

Aku masih memandangi foto hitam putih itu. Sebuah foto yang dipenuhi bunga-bunga bertuliskan bela sungkawa. Aku melihat beberapa orang menangis melihat kepergian orang itu. Tapi aku tidak mau menangis, untuk sebuah alasan, aku tak mau menangis.

“Baekhyunnie...”

Aku menoleh ke sumber suara, dia, Park Chanyeol yang kurindukan ada di sini. Bersamaku di pemakaman Appaku.

“Kenapa kau tidak menangis?”

“Bukankah kau bilang aku tidak boleh menunjukan lukaku?”

“Menangislah, Baekhyun. Karena walaupun kau menangis atau menunjukan lukamu, aku akan tetap melindungimu.”

Perlahan airmata yang selama ini kupendam karena janji itu mengalir. Di balik air mata itu masih ada sedikit amarahku pada perlakuan Appa selama ini. Tapi aku mencoba ikhlas, karena aku tahu Appa juga terluka karena Eomma selingkuh saat aku masih berumur 5 tahun. Bahkan aku baru tahu kalau Sehun bukan adik kandungku. Aku sudah memaafkanmu, Appa. Aku tahu bagaimana perasaan mencintai seseorang yang mengkhianati hati kita dari belakang, walau orang itu sebenarnya tidak mau. Tapi aku juga tidak bisa marah pada Eomma, karena Eomma melakukan itu untuk kebaikanku, agar aku bisa bersekolah di tempat yang layak lewat uang yang orang itu berikan pada Eomma.

Chanyeol perlahan merangkulku. Aku menatapnya dan tersenyum lembut. Ia membalasnya lalu mengecup keningku seperti menenangkan.

“Sepertinya Sehun dan Eommamu belum datang.”

“Sebentar lagi mereka pasti datang. Kalau belum datang juga...setidaknya mereka harus melihat makam Appa.”

“Apakah sakit?”

“Ne?”

“Apakah sakit saat melihat orang yang kau cintai pergi? Apakah sakit di sini?”

Ia menunjuk dadaku sekilas. Aku hanya mengangguk.

“Tapi lama kelamaan semua orang akan pergi, Chanyeol. Hal yang tak bisa dihentikan oleh manusia. Takdir. Sama seperti hujan, bukan?”

“Hem. Sama seperti hujan yang tidak bisa kita hentikan.”

***

Aku dan Baekhyun duduk di halte tempat kami bertemu untuk yang pertama kalinya. Saat ini tidak hujan, tapi keadaannya begitu menenangkan seperti ada hujan yang mengelilingi kami. Kami bisa mendengar bunyi hujan dalam angan-angan kami. Baekhyun terus menunduk, jadi kuangkat wajahnya menghadap padaku.

“Kau kenapa?” Tanyaku.

“Aku hanya tidak percaya sekarang kau ada di sampingku.”

“Kau harus percaya, Baekhyunnie.”

“Aku...mendengar suaramu saat aku koma.”

“Aku juga, yang ada dalam mimpiku adalah kau dan seluruh kenangan kita, Baekhyun. Maka dari itu aku ingin segera bangun dan bertemu denganmu.”

“Saat aku menahan tangisku, aku selalu percaya kau akan melindungiku. Waktu itu aku menangis, Chanyeol. Saat kau mengenalkan Tiffany padaku, aku menangis diam-diam dan kau langsung bersikap dingin padaku. Maka dari itu...aku tidak pernah menangis lagi supaya kau kembali melindungiku. Aku terus menunggu sampai kau menepati janjimu. Kau melindungiku hingga nyawamu sendiri taruhannya.”

“Kau terus menunggu?”

“Sehari sebelum keberangkatanmu ke London. Tiffany mengatakannya padaku, mengatakan alasanmu dingin padaku selama 5 tahun itu.”

“Maafkan aku, Baekhyun.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Chanyeol. Karena kau telah menepati janjimu.”

“Sekarang...biarkan airmatamu mengalir saat kau sedih, biarkan hujan yang berasal dari hatimu itu keluar dari mata indahmu. Karena aku akan selalu di sampingmu. Aku takkan meninggalkanmu lagi. Pegang janjiku.”

“Jadi, apa aku boleh mengenakan liontin ini?”

“Boleh, mau kupakaikan?”

Baekhyun mengangguk. Lalu kupakaikan liontin itu pada Baekhyun. Liontin yang membuatku ingat padanya. Liontin yang sebenarnya ingin kuberikan pada Baekhyun tepat saat aku mengajak Tiffany dan berfikir untuk melupakan Baekhyun. Kufikir liontin itu bisa kujadikan hadiah terakhirku pada Baekhyun sebelum aku meninggalkannya, sekarang liontin itu memang menjadi hadiah terakhir, hadiah untuk cinta terakhirku. Cinta abadiku.

“Aku mencintaimu, Baekhyunnie.”

***

To Baekhyun...

Baekhyunnie, bagaimana kabarmu selama satu tahun ini? Aku harap kau akan baik-baik saja. Tapi sekarang aku yang tidak baik. Selama lebih dari 5 tahun aku berhubungan dengan Tiffany, aku tidak bisa baik. Baik untuk jiwa maupun ragaku.
Aku sadar, Baekhyunnie, hanya kaulah orang yang ada di hatiku. Aku mencintaimu, Baekhyun. Maafkan aku karena baru sekarang aku bisa mengatakannya. Aku takut untuk melihat kenyataan, aku takut tak bisa menepati janjiku, aku takut kau malah tersakiti karena perasaan ini. Aku bodoh bukan? Aku selalu takut untuk segala hal. Bahkan dulu aku ingin menghentikan hujan karena aku takut pada hujan yang selalu membuatku menggigil.
Tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi. Pada hujan, kenyataan, dan perasaan ini. Sekarang aku yakin untuk mencintaimu, Baekhyunnie. Biarkanlah hujan deras menerpa kita, yang pasti, aku akan terus melindungimu dari mereka. Karena mereka jugalah yang sudah mempertemukan kita.
Sekali lagi, aku mencintaimu, Baekhyunnie.



END

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini