Jumat, 28 September 2012

A Fanfiction - Our Secret (Twoshoot 1 of 2) _ Baekyeol/Chanbaek


Our Secret


Author: Fie
Genre: sad, romance, yaoi
Rated: 15+
Length: twoshoots (1 of 2)
Pairing: Baekyeol/Chanbaek
Main cast:
- Byun Baekhyun as Baekhyun/Pendek
- Park Chanyeol as Chanyeol/Rambut mie
- Oh Sehun as Park Sehun

Support cast:
- Kim Minseok/Xiumin
- Luhan
- Kim Jongin/Kai
- Kim Jongdae/Chen




Summary:

Aku tidak peduli pada kenyataan, aku tidak mau percaya pada takdir, karena aku akan selalu mencintaimu.


***
Hanya menunggu sebentar, eoh?

Sebentar? Dia bilang sebentar?

Kenapa sampai sekarang kau belum kembali?
---
“Aku punya rahasia.”

“Lalu?”

“Pokoknya rahasia!”

“Memangnya kau tahu artinya rahasia?”

“Rahasia itu ya...pokoknya rahasia itu yang tidak boleh diperlihatkan!”

“Tapi mau sampai kapan kau membuatnya rahasia?”

“Aku tidak tahu, pokoknya rahasia!”

Aku tertawa kecil mengingat pembicaraan itu. Pembicaraan yang sangat konyol antara dia dan aku. Dia yang sudah meninggalkanku 15 tahun yang lalu. Dia yang membuatku menunggu selama 15 tahun. Dia yang mempunyai rahasia.

***

“Baekhyun-ssie, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor 2, ya.”

“Ne!”

Seorang lelaki kurus mengambil nampan berisi 2 mangkuk ddukbokkie dan secepat kilat menaruhnya di meja yang di maksud. Lelaki itu, Baekhyun, kembali ke belakang kasir dan menghitung uang receh lagi.

“Baekhyun-ssie, kau sedang sibuk, tidak?”

“Aku sedang menghitung uang receh. Tapi kalau mau menyuruhku boleh saja sih...”

“Tentu saja aku boleh menyuruhmu, aku kan seniormu!”

“Hahaha, iya-iya, Xiumin-hyung. Ada apa?”

“Antarkan pesanan ini ke alamat ini, ya?”

“Jauh sekali! Lalu bagaimana dengan uang recehnya?”

“Kau ini. Yasudah aku saja yang meneruskannya.”

“Bilang saja kau malas mengantar.”

Xiumin hanya tertawa dan mengambil alih pekerjaan Baekhyun. Baekhyun berjalan meninggalkan kasir dan mengambil sepeda motornya. Ia letakan box besar berisi pesanan pelanggan ke tempat box dengan hati-hati.

“Hah...ini sih jauh sekali. Dasar Xiumin-hyung, baozi gendut!”

“Apa katamu?!”

Baekhyun langsung menyalakan mesin dan membuat motornya melesat cepat meninggalkan restoran tempat ia bekerja.

***

“Kamar nomor 9... nomor 9... nomor 9...,” ucap Baekhyun sambil mencari kamar apartemen yang dimaksud.

“Ah! Ini dia!”

Baekhyun menekan bel beberapa kali sampai seseorang membukakan pintu.

“Annyeong haseyo. Pesanan dari restoran Xiuzi datang.”

“Oh, pesanannya sudah datang. Chanyeol-hyung, kau mau orang ini masuk atau bagaimana?”

“Ambil saja makanannya dan bayar pakai uangmu dulu!”

“Ish, seenaknya saja.”

Lelaki itu menyuruh Baekhyun untuk meletakan makanan-makanan itu ke dalam. Baekhyun pun masuk, tapi dia bingung harus meletakannya di mana.

“Maaf, aku harus meletakannya di mana?”

“Taruh saja di meja itu. Sebentar ya aku ambil uang dulu.”

Baekhyun mengangguk dan mulai menata semua makanan itu di atas meja yang dimaksud. Makanan yang mereka pesan termasuk makanan yang mewah, mereka pasti orang kaya, pikir Baekhyun.

“Ah, tentu saja, melihat apartemen yang mereka tempati...mereka pasti orang kaya,” gumam Baekhyun.

“Hei, Sehun menyuruhmu masuk, ya? Aish, anak itu!” Seru seorang lelaki bertubuh sangat tinggi yang baru keluar dari kamar mandi.

“Ma-maaf. Aku akan tunggu di luar kalau kau keberatan.”

“Anyeo, aku tidak keberatan. Hanya saja aku tak mau merepotkanmu.”

“Aku tidak merasa direpotkan, sudah menjadi tugasku membantu pelanggan.

Chanyeol hanya mengangguk polos. Lalu lelaki tinggi itu melihat-lihat makanan yang ia pesan. Matanya langsung berbinar saat melihat sup tulang sapi ada di antara makanan itu.

“Woaa!! Seolleongtang!”

Baekhyun tersenyum melihat tingkah polos Chanyeol.

“Sehun sudah membayarnya?”

“Uhm...lelaki yang tadi? Belum.”

“Yah...padahal aku ingin langsung memakannya.”

“Yasudah makan saja.”

“Eh? Kan belum dibayar.”

“Tidak apa-apa, kan sudah kuantar. Sup ini tidak enak jika tidak segera dimakan.”

“Aigo! Baiklah! Gomawo!”

Chanyeol mengambil kursi dan langsung melahap sup itu. Tak berapa lama Sehun kembali dari kamar dan menyerahkan sejumlah uang pada Baekhyun.

“Itu masih kurang karena kami belum mengambil uang kami. Bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku akan ke ATM dekat sini.”

“Bagaimana kalau aku kembali nanti malam? Aku masih banyak pekerjaan di restoran.”

“Oh, mianhae.”

“Tidak apa-apa. Aku permisi dulu.”

Baekhyun pun pergi. Kedua namja tinggi itu hanya saling pandang melihat orang yang begitu mudah percaya pada orang lain.

“Kau pernah bertemu penjual seperti itu?” Tanya Sehun sambil duduk di hadapan Chanyeol.

“Sepertinya dia sudah meletakan alat pendeteksi atau semacamnya agar kita tidak kabur,” jawab Chanyeol asal.

“Hahaha, ada-ada saja. Tapi bukankah restoran Xiuzi jauh dari tempat ini? Kenapa dia mau kembali lagi ya. Malam-malam pula.”

“Ah, itu hanya isapan jempol biasa. Dia pasti tidak mau menunggu, jadinya dia pergi dan akan memakai uangnya untuk mengurangi kekurangan kita.”

“Tapi bagaimana kalau dia benar-benar datang malam ini?”

“Kalau dia datang, aku akan membayar 2 kali lipat kekurangannya.”

“Itu terlalu mudah, yang lebih sulit dong!”

“Kau mau apa?”

“Kau harus meminta nomor teleponnya.”

“Untuk apa?”

“Pokoknya minta saja.”

“Kau menyukainya, ya?”

“Chanyeol-hyung, dia bukan tipeku.”

“Terserahlah, apa sulitnya meminta nomor telepon.”

“Kalau kau sampai gagal apa bayarannya?”

Chanyeol tidak menjawab, dia sibuk dengan supnya. Sehun memilih untuk memikirkan hukuman untuk Chanyeol jika kalah nanti.

“Ah! Kau harus mencium namja itu!”

“Mwo?! Memangnya kau kira aku suka namja!”

“Memang kan?”

“Aniya!”

“Hahahaha, iya-iya. Jadi apa yang kau mau?”

“Aku akan memikirkannya nanti, lagipula belum tentu aku kalah.”

“Ya-ya-ya, Mister Super percaya diri.”

Chanyeol hanya terkekeh mendengar ledekan adiknya itu. Sehun mengambil sepiring ddukbokkie dan melahapnya perlahan.

“Hyung, kau yakin mau melamar Luna-noona?”

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu?”

“Aku hanya ingin tahu.”

Chanyeol meletakan sendoknya lalu mengaitkan kedua tangannya dengan mengisi jemari di masing-masing tangan. Dia menghela nafas lalu tersenyum tipis.

“Tentu saja. Kau tahu kan gadis itu adalah pujaan semua pria di tempat kita bekerja?”

Sehun setuju dengan 1 anggukan.

“Aku tak mungkin melepaskannya.”

“Aku tahu kau adalah orang yang ambisius, Hyung. Tapi sifatmu itu...apa kau tetap menerapkannya pada perasaanmu?”

“Ambisius? Benarkah?”

“Aku sudah menjadi adikmu selama 23 tahun. Mana mungkin aku tak mengenalmu.”

Chanyeol tertawa kecil, tapi berkesan merendahkan.

“Jika aku menikah dengan Luna. Banyak keuntungan yang bisa kudapatkan.”

“Benar dugaanku.”

“Apa kau termasuk dari semua lelaki itu?”

“Maksud, Hyung?”

“Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?”

“Baiklah, aku harus mengaku, aku memang menyukai Luna-noona sejak dia menjadi mentorku.”

“Kau baru mengaku, jadi tidak ada alasanku untuk mundur.”

“Aku hanya kasihan pada perasaanmu, Hyung.”

“Aku tak suka dikasihani.”

“Siapa bilang aku kasihan padamu? Aku kasihan pada perasaanmu.”

“Perasaan berasal dari hatiku, itu artinya kau mengasihaniku.”

Sehun menggeleng pelan lalu memasukan sepotong ddukbokkie ke mulutnya.

“Perasaan berasal dari hatimu. Tapi perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupmu.”

“Omong kosong.”

“Hyung, kau tidak ingat pada cinta pertamamu?”

“Cinta pertama?”

“Cinta yang selalu kau bilang rahasia.”

Chanyeol memutar matanya lalu mengambil semangkuk stew.

“Jangan bicarakan itu.”

“Sebenarnya siapa dia, Hyung?”

“Sudah kubilang jangan bicarakan itu.”

“Dia namja atau yeoja?”

“Sehun.”

“Baiklah, aku akan diam.”

***

Sebenarnya Baekhyun tidak mau menunggu sisa pembayaran karena Chanyeol. Dia tidak mau berduaan dengan lelaki itu di sana. Dia merasa tidak nyaman berada di dekat Chanyeol, entah apa alasannya.

Setelah memarkir motor restoran, dia masuk ke dalam restoran yang super sibuk. Baekhyun melihat Xiumin menggaruk-garuk kepalanya karena bingung. Segera saja ia hampiri seniornya itu.

“Ada apa, Hyung?”

“Ah! Kau sudah pulang! Kebetulan sekali, Baekhyun.”

“Ada apa?”

“Bisa kau menghitung uang receh ini? Aku harus melayani para pelanggan. Hari ini sangat ramai.”

“Jadi daritadi kau belum selesai? Aigo...”

“Sudahlah, cepat kerjakan! Atau kau mau kupecat?”

“Kau tak bisa memecatku hanya karena uang receh!”

“Aaa! Kau menghambat pekerjaanku! Cepat kerjakan!”

“Iya-iya.”

Baekhyun kembali menghitung uang receh, yang memang sangat banyak itu, dengan agak malas. Sebenarnya menghitung uang receh adalah kesukaannya, karena saat melakukannya ia akan mendapat banyak waktu luang untuk berfikir. Sekarang yang ada dalam pikirannya adalah dua lelaki tadi. Baekhyun merasa hubungan mereka tidak berhenti sampai di situ, tidak sebatas pengantar dan pemesan, tidak sebatas pelanggan dan penjual.

“Oh my...kenapa aku harus bilang pada mereka kalau aku akan mengambil sisanya nanti malam? Aish, aku bisa dipecat kalau tidak mengambilnya. Aku juga tak mungkin memakai uangku untuk menutupi kekurangan mereka. Bodoh kau Baekhyun.”

“Kau sedang bicara sendiri, Hyung?”

“Eh? Kau mengangetkanku, Kyungsoo.”

“Uang receh yang menyebalkan, bukan? Jadinya kau gila bicara sendiri.”

“Hahaha, aku suka menghitung uang receh. Daripada mengantar pesanan dengan segala ocehan dari Xiumin-hyung.”

“Tapi kan bisa dapat tips, hehe.”

“Dasar mata duitan.”

“Tentu saja aku harus mata duitan. Kalau aku tidak begitu, keluargaku mau makan apa?”

“Oke, aku kalah.”

Kyungsoo terkekeh dan menaruh nampan di samping uang receh yang sedang dihitung Baekhyun.

“Malam ini kau ada acara, Hyung?”

“Iya.”

“Eh? Tumben.”

“Aku harus mengambil sisa uang pembayaran pesanan yang tadi baru kuantar.”

“Kenapa kau tidak menunggunya saja tadi?”

“Aku punya alasan yang tidak masuk akal.”

“He?”

“Tadi yang memesan adalah dua lelaki kaya. Sepertinya mereka baru datang dari tempat yang jauh atau apalah, jadi mereka belum mengambil uang di ATM. Sebenarnya salah satu dari mereka menyuruhku menunggu, tapi rasanya aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa, Hyung?”

“Tidak bisa saja.”

“Tidak masuk akal.”

“Benar, kan?”

“Kau yakin mereka bukan penipu?”

“Kurasa tidak mungkin, melihat di mana mereka tinggal dan jenis makanan yang mereka pesan.”

“Heuh...padahal nanti malam aku mau minta bantuanmu mengerjakan tugas skripsi adikku.”

“Kalaupun aku tidak ada acara, aku tidak mau.”

“Yah, Hyung...”

“Sudah pergi sana, memangnya kau mau dimarahi Xiumin-hyung?”

***

Chanyeol mengambil ponselnya dan mencari kontak gadis itu, Luna. Chanyeol menunggu jawaban Luna beberapa lama, tapi akhirnya ia batalkan niatnya. Entah kenapa dia ragu untuk melanjutkan hubungan itu. Hubungan atas dasar ambisi. Chanyeol tidak pernah mencintai Luna. Sama sekali tidak. Bahkan keuntungan besar yang bisa Chanyeol dapatkan jika menikah dengan Luna tidak bisa membuatnya mencintai Luna. Dia tahu Luna menyukainya, tapi dia tidak bisa membalas perasaan itu. Selama ini yang ia lakukan hanya berpura-pura baik dan merasa senang karena telah mengalahkan semua lelaki yang menginginkan Luna. Bahkan adiknya sendiri bisa ia kalahkan. Benar kata Sehun, perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupnya. Hidup yang selama ini dia jalani adalah hidup penuh ambisi dan kesombongan. Ada satu hal yang ingin ia cari, sesuatu yang berasal dari perasaannya. Dia, sebuah rahasia yang tak pernah ia ungkapkan. Rahasia yang ia baru tahu, ia memang harus merahasiakannya.

TING TONG

Suara bel membuyarkan lamunan Chanyeol. Lelaki tinggi itu beranjak dari sofa dan membuka pintu. Ternyata Baekhyun. Ya, seperti janjinya tadi siang.

“Oh, kau.”

“Aku ingin mengambil sisanya.”

“Kau mau masuk dulu?”

“Tidak usah.”

“Suasana di luar sangat dingin, akan kubuatkan cokelat panas untuk menghangatkan tubuhmu.”

“Apakah...lelaki yang tadi siang bersamamu ada?”

“Ha? Sehun?”

Baekhyun mengangguk.

“Dia sedang pergi, memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kau menyukainya, ya?”

“Mana mungkin aku suka sesama namja.”

“Hahahaha.”

“Sudahlah, cepat berikan sisanya karena aku harus pulang. Rumahku sangat jauh dari sini.”

“Bagaimana jika kuantar kau pulang?”

“Tidak usah.”

Chanyeol mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa ribu won. Kemudian Chanyeol memberikannya pada Baekhyun. Baekhyun pun menghitung uang yang diberikan Chanyeol, matanya membesar karena jumlahnya dua kali lipat dari yang sebenarnya.

“I-ini terlalu banyak.”

“Itu sebagai tipsmu karena kau rela kembali untuk mengambil kekurangannya.”

“Aku bukan orang seperti Kyungsoo.”

“Kyungsoo? Siapa dia?”

“Bukan urusanmu. Ini.”

Baekhyun menyodorkan kelebihan uangnya pada Chanyeol. Chanyeol masih diam karena bingung.

“Yasudah, taruh saja di uang milik restoran. Gampang, kan?”

Baekhyun pun memasukannya ke kantong. Chanyeol tertawa kecil melihat tingkah Baekhyun yang seperti anak kecil.

“Kau sangat menggemaskan,” ucap Chanyeol tiba-tiba membuat Baekhyun sangat kaget.

“Mwo?”

“Kau sangat menggemaskan,” ucap Chanyeol lagi.

“Aku memang menggemaskan. Baiklah, aku pergi dulu.”

“Tunggu dulu!”

“Apa lagi?”

“Boleh aku minta nomor ponselmu?” Chanyeol hampir lupa dengan taruhan itu.

“U-untuk apa?”

“Agar nanti jika aku memesan makanan lagi, aku bisa langsung meminta kau sebagai pengantarnya.”

“Kenapa harus aku? Kurasa Kyungsoo lebih cocok, dia suka mendapatkan tips.”

“Bukan masalah tips, tapi aku rasa kau orang yang jujur dan dapat dipercaya.”

“Pegawai di Restoran Xiuzi semuanya jujur.”

“Tapi aku mau kau.”

“Alasan yang tidak masuk akal. Lagipula aku tidak bisa memberikan nomor ponsel ke orang yang belum kukenal.”

“Baiklah, kalau begitu ayo kita berkenalan. Namaku Park Chanyeol, kau?”

“Bukan berkenalan seperti itu!”

“Lalu?”

“Sudahlah, aku pulang dulu!”

“Hya! Kau belum menyebutkan namamu!”

Bukannya menjawab, Baekhyun malah berlari meninggalkan Chanyeol. Chanyeol gagal melunasi taruhannya. Selama hidupnya, Chanyeol jarang sekali kalah, jadi dia berjanji akan mendapatkan nomor ponsel lelaki itu.

***

Di tempat parkir, Baekhyun mengatur nafasnya karena kelelahan setelah berlari tadi.

“Hah...hah... kenapa dengan lelaki itu? Aish, aku takkan mau mengantar ke tempatnya lagi. Dia menyeramkan.”

“Siapa yang menyeramkan?”

Baekhyun langsung berbalik dan menyiapkan kuda-kuda untuk melawan. Tapi dia urungkan karena orang yang bertanya tadi bukan Chanyeol, melainkan Sehun.

“Bu-bukan siapa-siapa.”

“Kau sudah meminta sisanya pada Hyungku?”

“Jadi kalian kakak-beradik?”

“Hem. Oiya, gomawo untuk makanannya tadi siang. Sepertinya kami akan menjadi pelanggan tetap restoranmu.”

“Tapi jangan paksa aku untuk mengantar makanan ke tempatmu.”

“He? Memangnya kenapa?”

“Aku tidak mau bertemu dengan Hyungmu.”

“Hyungku? Memangnya apa yang dia lakukan padamu?”

“Dia tiba-tiba saja mengatakan kalau aku menggemaskan, lalu dia meminta nomor ponselku. Aku takut! Oiya, jangan katakan padanya, ya.”

“Hahahaha, benarkah? Hyungku hanya ingin berteman denganmu. Ah iya, namaku Park Sehun.”

“Byun Baekhyun.”

“Kau mau pulang sekarang, Baekhyun?”

“Tentu saja. Rumahku sangat jauh dari sini.”

“Wah, maafkan kami ya. Ini juga karena kau tidak mau menunggu.”

“Tidak apa-apa. Aku pulang dulu, ya.”

“Hati-hati.”

Setelah mengangguk, Baekhyun pun menjalankan motornya pergi dari tempat itu. Sehun juga berjalan meninggalkan tempat parkir sambil tertawa kecil.

“Hahaha, menakutkan. Hyungku memang orang yang menakutkan.”

***

Sehun melemparkan tubuhnya ke kasur yang sedang ditempati Chanyeol. Alhasil konsentrasi Chanyeol pada buku yang ia baca langsung buyar. Chanyeol sangat kesal pada tingkah Sehun yang seenaknya ditambah kejadian dengan Baekhyun tadi.

“Dasar adik kurang ajar!”

Sehun tertawa puas melihat ekspresi kakaknya. Karena kemarahannya sudah memuncak, akhirnya Chanyeol memukul kepala Sehun.

“Aw! Calm down, Hyung!”

“Calm down-calm down. Sekarang aku sedang tidak calm down.”

“Karena jasa pengantar itu?”

“Kalau kau mau menagih taruhanmu, aku tidak akan menyerahkannya, karena aku belum kalah.”

“Belum kalah? Bukannya kau gagal meminta nomor ponsel Baekhyun?”

“Baekhyun? Jadi namanya Baekhyun?”

“Tadi aku bertemu dengannya di tempat parkir.”

“Dia memberikan namanya padamu? Ish, orang itu.”

“Hahahaha, dia sepertinya takut padamu. Akhirnya ada orang yang jujur bilang kalau kau menakutkan.”

“Dia bilang aku menakutkan?”

“Seharusnya aku tak boleh mengatakannya padamu. Ini rahasia, hahahaha!”

“Hya!”

***

Baekhyun merebahkan tubuhnya perlahan tubuhnya di kasur. Ia pejamkan mata indahnya. Karena saat matanya terpejam, ia bisa mereka ulang kejadian hari ini. Mencoba tidak mengulangi kesalahannya di masa depan dan menambah perbuatan baik yang telah ia perbuat. Seingatnya hari ini dia melakukan banyak kesalahan. Pertama, dia memanggil seniornya dengan panggilan gendut. Kedua, dia menolak untuk membantu Kyungsoo. Lalu yang ketiga...dia berprasangka buruk pada lelaki tinggi itu, Park Chanyeol.

“Aku tidak tahu kenapa. Untuk kesalahan yang satu itu...aku akan terus mengulanginya. Aku hanya ingin waspada.”

Kenapa? Hanya itu yang memenuhi Baekhyun tentang lelaki itu. Kenapa dia ingin menjaga jarak dari Chanyeol? Kenapa dia merasa Chanyeol akan menjadi bagian berharga dalam hidupnya walau ia berusaha menjauhinya? Kenapa Baekhyun berjanji untuk hidupnya yang selanjutnya, ia akan menerima Chanyeol dengan tangan terbuka? Kenapa Chanyeol mengingatkan Baekhyun pada temannya di masa lalu? Temannya yang punya rahasia.

“Anak itu juga menakutkan. Dia punya rahasia dan itu menakutkan.”

***

Keesokan harinya...

Baekhyun memang hanya pekerja sambilan di Restoran Xiuzi setiap sore dan sabtu-minggu, karena pekerjaan tetapnya adalah sebagai editor di sebuah perusahaan percetakan. Hari ini dia harus datang lebih pagi untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal Jum’at minggu lalu. Dia tidak mau kena omel dari Luhan, seniornya yang kebetulan mengenal Xiumin. Luhan dan Xiumin adalah orang yang suka mengomel, mereka memperlakukan Baekhyun seenaknya walaupun Baekhyun tahu mereka sangat menyayanginya. Apalagi Baekhyun tinggal sendiri, jadi kedua seniornya itu sering berkunjung ke rumah susun Baekhyun untuk sekedar makan malam atau mengobrol. Baekhyun juga menyayangi mereka, baginya Xiumin dan Luhan adalah pengganti orangtuanya, tapi dia tidak bisa menolak rasa bencinya saat keduanya menjadi orang menyebalkan di tempat kerja.

“Pagi, Luhan-hyung.”

“Pagi. Tumben kau datang sepagi ini? Pasti kau meninggalkan pekerjaanmu Jum’at lalu, kan?”

“Iya.”

“Kan sudah kubilang–“

Luhan belum memulai omelannya karena seorang lelaki menghampirinya sambil terengal.

“Luhan-hyung!”

“Ada apa, Kai?”

“Pagi ini dua atasan baru kita datang!”

“Mwo? Jadi benar beritanya.”

“Berita apa, Hyung?” Tanya Baekhyun.

“Makanya jangan terlalu sibuk di restoran.”

“Iya-iya maafkan aku. Memangnya berita apa?”

“Sebentar lagi Tuan Lee akan digantikan karena beliau ditugaskan ke luar Seoul dan ada dua orang yang akan menggantikannya.”

“Kenapa harus dua orang?”

“Salah satunya hanya sebagai wakil.”

“Ooh...”

“Ayo sekarang kita bersihkan tempat ini! Kita harus menyambut mereka!”

“Bukankah semua tempat editor memang berantakan? Mereka pasti maklum,” komentar Baekhyun.

“Ini kan di Seoul, tidak tahu di London.”

“Jadi mereka dari London?”

“Sudahlah jangan banyak omong, Baekhyunnie! Bersihkan tempat ini! Terutama tempatmu, karena itu yang paling berantakan!”

Baekhyun dan Kai saling pandang lalu berlari sebelum Luhan mengomel lagi.

***

“Menurutku Tuan Lee adalah atasan paling baik. Aku sedih dia pergi,” ucap Kai.

“Iya, benar itu. Aku takut dua orang yang menggantikan Tuan Lee tidak sebaik Tuan Lee,” ucap Jongdae.

“Kalau bicara dua orang, kemarin aku mengantar pesanan untuk dua orang. Mereka orang kaya,” cerita Baekhyun.

“Lalu?” Tanya Kai penasaran.

“Tapi mereka lupa mengambil uang, jadi aku harus kembali lagi malamnya.”

“Kenapa kau tidak menunggunya saja?” Giliran Jongdae bertanya.

“Untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal, aku tak mau menunggunya. Ah! Aku juga malas menceritakannya lagi.”

“Ish, kau membuat kami penasaran saja!” Seru Kai.

Saat ketiga editor itu sibuk bersih-bersih, tiba-tiba saja Luhan memanggil mereka untuk ke ruang tengah. Ketiganya langsung berlari menghampiri Luhan. Tapi kini Luhan tidak sendiri, ia bersama dua lelaki tinggi, tampan, berwibawa, dan Baekhyun kenal mereka.

“He?!” Pekik Baekhyun.

“Baekhyun-ssie? Itu kau?” Tanya Sehun lalu mendekati Baekhyun.

“I-iya.”

“Jadi kau bekerja di sini? Sudah berapa lama?”

“Sejak aku lulus kuliah.”

“Ohya? Kapan itu?”

“Sehun-ssie, sekarang waktunya berkenalan, bukan mengobrol,” ucap Chanyeol. Sehun melirik Chanyeol dan kembali ke tempatnya.

“Apa kalian benar atasan baru kami?” Tanya Luhan seperti tidak percaya.

“Iya, memangnya kenapa? Kau meragukan kami?” Chanyeol balik bertanya.

“Bukan. Hanya saja kurasa umur kalian masih terlalu muda untuk menjadi atasan.”

“Kami mempunyai banyak pengalaman di London maupun Korea, tenang saja,” ucap Chanyeol membuat Baekhyun menggerutu dalam hati. Chanyeol melirik Baekhyun yang berbicara tak jelas jadi kesannya seperti berkumur.

“Kau kenapa?” Akhirnya Chanyeol bertanya.

“Eh, apanya yang kenapa?”

“Hah, sudahlah. Sekarang apa aku boleh tahu nama kalian?”

“Baiklah, aku akan mencoba percaya. Namaku Luhan, yang ini Jongdae, Kai, lalu Baekhyun.”

“Aku tahu perusahaan ini hanya sub-perusahaan. Tapi kenapa pegawai di sini hanya empat orang?” Tanya Sehun.

“Aku rasa karena tugas yang diberikan pada perusahaan ini tidak sebanyak perusahaan besar lainnya,” terka Baekhyun. Sehun tersenyum pada Baekhyun.

“Heuh...harusnya aku tidak menerima pekerjaan ini. Kenapa aku rela pindah dari London untuk memimpin perusahaan Eomma yang kecil seperti ini. Seharusnya aku minta padanya memimpin di perusahaannya yang lebih besar,” keluh Chanyeol.

“Jangan meremehkan tempat ini!” Seru Baekhyun.

Semua terdiam mendengar teriakan Baekhyun di pagi yang hening ini.

“Baekhyun-ssie.” Luhan mencoba menenangkan Baekhyun.

“Atasan kami yang sebelumnya tidak pernah meremehkan tempat ini! Bahkan beliau sangat sedih karena harus meninggalkan kami!”

“Atasan kalian kan dibayar oleh kami. Sedangkan kami? Kami adalah pemilik perusahaan ini, jadi kami boleh berkomentar sesuka hati kami.”

“Chanyeol-hyung–”

“Oiya, perkenalkan, namaku Park Chanyeol dan adikku Park Sehun. Kami akan menjadi atasan di sini selama kami betah. Sehun, kau gantikan aku, aku ada urusan di tempat lain.”

Chanyeol berbalik untuk pergi, tapi sebelum dia melangkahkan kaki...

“Hya! Rambut mie!” Seru Baekhyun. Luhan langsung menutup mulut Baekhyun tapi Baekhyun melepaskan tangan Luhan.

“Apa kau bilang?”

“Tak ada yang boleh meremehkan tempat ini, Rambut mie!”

“Apa alasanmu?”

“Alasanku?”

“Ya, alasanmu melarangku meremehkan tempat ini.”

“Karena...karena tempat ini adalah rumah ketigaku. Setelah rumah dan Restoran Xiuzi. Aku menganggap semua yang ada di sini adalah keluargaku. Jadi aku takkan membiarkanmu mengejek keluargaku.”

“Baiklah, kuterima alasanmu. Puas?”

“Berjanjilah untuk tidak mengejek tempat ini.”

“Ya, aku berjanji.”

Chanyeol tidak menghiraukan perkataan Baekhyun selanjutnya. Ia benar-benar pergi. Setelah kepergian Chanyeol, Baekhyun memegangi dadanya, dia seperti orang syok.

“Baekhyun-ssie?” Tanya Luhan mencoba menyadarkan Baekhyun.

“Aku tadi memarahi atasanku sendiri?”

“Iya, kau memarahi Hyungku.”

“Ma-maafkan aku.”

“Tidak apa-apa, kau keren. Hahahaha!”

Yang lainnya ikut tertawa bahkan Baekhyun yang sudah sadar dari syoknya juga ikut tertawa.

***

Chanyeol menghentikan mobilnya di sebuah restoran mewah. Pagi ini ia akan menemui Luna di restoran tersebut. Chanyeol memasuki gerbang utama dan beberapa pelayan membungkuk tanda hormat. Chanyeol memicingkan matanya ke segala arah dan langsung tertuju pada seorang gadis berambut cokelat yang sedang memandangi ponselnya. Chanyeol berjalan menghampiri gadis itu dan langsung mengecup keningnya.

“Hya! Ini Korea, Chanyeol!”

“Lalu?”

“Jangan pakai kebiasaan itu di sini.”

“Baiklah,” ucap Chanyeol sambil duduk di hadapan Luna.

“Bagaimana tempat kerjamu yang baru?” Tanya Luna

“Menyedihkan.”

“Menyedihkan?”

“Hem. Tempat itu sangat kecil, pegawainya sedikit dan menyebalkan. Terutama lelaki itu, yang namanya Baekhyun.”

“Baru datang sudah dapat musuh. Apa itu kebiasaanmu?”

“Tapi kau menyukaiku, kan?”

“Heuh. Jadi apa yang mau kau bicarakan?”

“Jangan terburu-buru. Uhm, bagaimana tempat barumu? Eommaku baik bukan?”

“Sangat baik. Aku menyukai Eommamu, dia wanita yang kuat.”

“Tentu saja. Membesarkan dua anak lelakinya selama lebih dari 20 tahun sendirian dan berhasil menjadi pengusaha perusahaan percertakan terbesar di Korea dan London.”

“Ya-ya-ya, kau mulai lagi.”

Chanyeol hanya tertawa kecil. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Luna merasa jantungnya berdebar kencang, ia merasa semua penantiannya akan terbalas hari ini. Ia yakin Chanyeol akan melamarnya sekarang.

“Ini yang mau kubicarakan.”

“A-apa itu, Chanyeol?”

Chanyeol membuka kotak itu dan terlihatlah sebuah cincin emas putih yang indah. Tapi Luna mengenal cincin itu, cincin yang sama dengan yang ia pakai sekarang.

“Apa ini maksudnya, Chanyeol?”

“Aku merasa...aku sudah membuatmu menunggu lama, Luna. Selama kau menantiku, hidupmu akan terus berkurang. Sedangkan aku masih ingin bersenang-senang sendirian. Aku belum siap untuk menikah. Kau membutuhkan lelaki yang lebih baik dariku, Luna.”

“Jadi maksudmu?”

“Maafkan aku.”

“Kenapa, Chanyeol?”

“Aku sudah mengatakan alasanku, Luna. Sekali lagi maafkan aku.”

“Pasti ada orang lain. Iya, kan?”

“Anyeo, aku tak punya kekasih lain selain kau.”

“Tolong katakan yang sejujurnya, Chanyeol.”

“Aku hanya merasa ada keraguan di hatiku tentangmu, Luna. Aku juga belum mengerti.”

“Aku sudah menolak semua lelaki untuk mendapatkanmu, Chanyeol.”

“Bukalah lagi kesempatan itu,  Luna.”

“Baiklah, aku akan menerimanya. Aku takkan sedih pada perpisahan ini, karena masih banyak lelaki lain yang lebih baik darimu. Aku yakin itu. Gomawo untuk semuanya.”

“Tapi kita tetap berteman, kan?”

“Tentu saja. Walaupun rasanya takkan sama lagi.”

“Terimakasih, Luna.”

Chanyeol benar-benar tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia tak bisa menikahi wanita yang tidak dia cintai walau ia sudah menutupinya dengan ambisi. Chanyeol merasa ada hal yang belum ia selesaikan, jadi hatinya selalu diselimuti keraguan pada semua wanita.

***

Sehun mengajak Baekhyun ke ruangannya, awalnya Baekhyun ragu, tapi karena wajah Sehun sangat meyakinkan jika ‘Sehun takkan berbuat macam-macam’ akhirnya Baekhyun mau ikut dengan Sehun. Sehun menyuruh Baekhyun menunggu sebentar karena Sehun ingin mengambil minuman.

“Tidak usah, Sehun.”

“Tidak apa-apa. Anggap saja ini sebuah perayaan kecil-kecilan.”

“Kenapa tidak ajak yang lain?”

Sehun tidak menjawab dan hanya tersenyum. Saat ia kembali, ia membawa 2 kaleng alkohol dan snack kentang.

“Maaf, Sehun. Aku tidak minum alkohol.”

“Oh, aku yang minta maaf. Baiklah, akan kuambilkan jus.”

Sehun pergi lagi dan kembali dengan cepat membawa sekaleng jus jeruk untuk Baekhyun.

“Silahkan diminum, Hyung.”

“Hyung? Memangnya umurku lebih tua darimu, Sehun?”

“Tentu saja, aku kan baru saja membaca profil kalian.”

“Ooh...”

“Ngomong-ngomong, tindakanmu tadi keren.”

“Yang mana?”

“Saat kau memarahi Chanyeol-hyung.”

“Oh, hehehe. Aku hanya spontan.” Baekhyun membuka tutup kaleng dan meneguk isinya perlahan.

“Tapi kau benar-benar keren! Selama ini tidak ada orang yang berani melawan Hyungku kecuali Eomma.”

“Untuk apa takut pada manusia? Menjaga harga diri yang terpenting.”

“Tapi menjaga harga diri di kondisi yang tidak tepat juga berbahaya.”

“Mungkin iya mungkin tidak.”

“Maksudnya?”

“Apa kau mau harga dirimu diperlakukan seenaknya? Tapi memang sih, kita harus membatasi diri kita saat membelanya.”

“Apa kau tidak takut dipecat karena memanggil Hyungku rambut mie?”

“Aku bukan hanya membela harga diriku, tapi juga keluargaku. Kurasa Hyungmu memakluminya. Dia setuju, bukan?”

“Hahaha, iya-iya. Menurutmu Chanyeol-hyung orang yang seperti apa?”

“Orang yang menakutkan.”

“Hahaha, selain itu?”

“Orang yang penuh ambisi, kesombongan, dan...”

“Tunggu-tunggu, kau tidak sadar aku adiknya, ya?”

“Eh? Hahaha! Aku lupa! Itu mungkin karena kau sangat berbeda dengannya. Kau jauh lebih baik! Kau tidak berubah menjadi orang yang menyebalkan saat di tempat kerja.”

“Berubah? Maksudmu?”

“Luhan-hyung, Xiumin-hyung, dan kakakmu berubah menjadi orang yang sangat-sangat menyebalkan di tempat kerja. Kemarin kakakmu tidak terlalu menyebalkan.”

“Tapi menakutkan?”

“Iya, menakutkan.”

“Apa ini alasanmu tidak mau menungguku kemarin? Karena kau takut berduaan dengan hyungku.”

“Sebenarnya aku bukan takut, aku hanya merasa harus menjaga jarak dengannya walaupun suatu saat nanti aku akan dekat dengannya.”

“Kau memikirkan dua hal yang berlawanan, apa kau bisa membaca masa depan?”

“Anyeo, aku hanya pandai membaca karakter orang lain dan mengatur pikiranku.”

“Mengatur pikiran?”

“Ne, mengatur berbagai kemungkinan. Seperti membaca pikiran sih, tapi lebih kepada firasat mungkin.”

“Hebat.”

“Kau juga bisa melakukannya.”

“Benarkah?”

“Iya! Kau hanya butuh fokus dalam berfikir. Pejamkan mata dan putar ulang kejadian yang telah terjadi sehari kau hidup. Pisahkan hal positif dan negatif. Lalu coba pikirkan hal-hal yang bisa memperbaiki kesalahanmu dan menambah kebaikanmu.”

“Baiklah, aku akan mencobanya. Tapi kurasa akan sulit, mengingat kesibukanku yang lain. Aku akan tertidur lelap dan tidak sempat berfikir tentang kejadian sehari.”

“Apa kau pernah menunggu seseorang yang berharga dalam hidupmu?”

“Eh? Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Jika punya, kau pasti bisa melakukannya. Karena saat kita merenung, kita akan berfikir di mana kesalahan yang kita perbuat sehingga orang itu belum datang.”

“Aku punya, tapi orang itu tidak bisa datang.”

“Siapa?”

“Appaku. Dia sudah meninggal.”

“Oh, maaf.”

“Tidak apa-apa, Hyung. Kau membuatku merasa lebih baik. Aku pasti akan mencobanya!”

“Aku tidak pernah punya adik, jadi bolehkah aku menganggapmu sebagai adikku?”

“Tentu saja! Aku sangat senang punya hyung sepertimu!”

***

Chanyeol kembali ke kantornya yang baru. Chanyeol menjadi figur pangeran baru menggantikan Luhan, lihat saja, ketika Chanyeol memasuki area kantor, semua wanita memandanginya sambil berbisik memuji ketampanan Chanyeol. Chanyeol yang sudah biasa mendapatkan perlakuan itu akhirnya hanya acuh dan terus berjalan sampai ruang editor. Kai yang pertama kali melihat membungkukan tubuhnya tanda hormat dan Chanyeol hanya mengangkat tangan kanannya sebentar untuk balasan. Chanyeol terus berjalan menuju ruang pribadinya, tapi langkahnya terhenti saat mendengar tawa Sehun bersama seseorang dari ruangannya. Diam-diam dia menguping dan ia yakin itu suara orang menyebalkan itu. Baekhyun.

Chanyeol membuka pintu ruangan dan keduanya terdiam. Baekhyun langsung berdiri dan membungkukan tubuhnya sekilas. Sehun juga ikut berdiri dan tersenyum pada Chanyeol.

“Hai, Hyung. Kau sudah kembali ternyata.”

“Kenapa dia di sini? Apa dia tak punya pekerjaan?”

“Ah! Aku lupa kalau aku masih ada pekerjaan! Maafkan aku, ‘bos’,” ucap Baekhyun dengan menekankan kata “bos” dalam kalimatnya.

“Pergi,” usir Chanyeol.

“Sehun-ssie, gomawo untuk minumannya, aku harus kembali bekerja.”

“Iya, Hyung. Gomawo juga untuk sarannya.”

Baekhyun pun melewati Chanyeol. Chanyeol berjalan menuju singgasananya dan duduk di sana.

“Untuk apa kau mengajaknya ke sini?”

“Aku hanya ingin mengobrol, karena kurasa dia orang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol, dan aku benar.”

“Apa yang kalian obrolkan?”

“Banyak sekali! Rahasia!”

“Tolong jangan pakai kalimatku, Sehun.”

“Hahahaha. Oiya, tadi kau ke mana, Hyung?”

“Aku bertemu dengan Luna.”

“Kau jadi melamarnya?”

“Tidak.”

“Eh? Lalu?”

“Aku putus dengannya.”

“Hah?! Kenapa bisa, Hyung?”

“Benar katamu, perasaan adalah masalah yang terpisah dari hidupku. Aku tak bisa mengendalikannya walau aku berusaha menutupinya dengan ambisiku.”

“Jadi sekali ini aku benar? Aigo!”

“Kau tega sekali, senang di atas penderitaan orang lain.”

“Bukankah sekarang kau sedang senang? Kau pasti senang karena tidak usah berpura-pura lagi, iya, kan?”

“Ya...kurang lebih begitu.”

“Hei, bagaimana dengan taruhan kita?”

“Taruhan yang mana?”

“Yaampun, taruhan tentang Baekhyun-hyung.”

“Ooh, aku sudah mendapatkannya.”

“Aku tidak mau kau mengambilnya dari data perusahaan! Aku mau kau memintanya langsung!”

“Ngotot sekali, sih?”

“Semasa bodo! Jangan juga saat kau meminta nomor ponsel yang lain.”

“Iya-iya.”



picture credit: to the owner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini