Minggu, 12 September 2010

Rain from Heaven chapter 04

FATAMORGANA

Rio menundukan kepalanya. Mengingat ucapan bu Ucie barusan, bagai ingin mati saja! Pikir Rio. Alvin rupanya paham dengan keadaan Rio, ia mendekati Rio.
"Ini memang sulit yo"
"Bu Ucie itu, ia hanya menyusahkan"
"Tapi, ku kira itu baik untukmu yo"
"Baik? Kau tahu, apa yang lebih baik untukku?"
Alvin mengangkat kedua bahunya bersamaan. Tanda ia tak tahu jawaban pertanyaan Rio. Rio mengambil Handphonenya, mencari sebuah contact.
"Oma, minggu ini Oma ada dirumah khan? Rencananya Rio ingin kesana untuk seminggu kedepan"
Alvin membulatkan matanya, langsung ia rebut BB Rio yg menempel di kuping kanan Rio.
"Gila kamu yo!"
Rio memandang sinis Alvin, Alvin langsung memutus pembicaraan Rio dengan Omanya. Alvin tertawa, melihat kecemasan Rio yang tak biasa.
"Tertawa di atas penderitaan orang lain"
Alvin makin mengeraskan tawanya ketika ia mendengar pernyataan Rio barusan.
"Tapi, yo. Lari dari masalah itu bukan kebiasaanmu sama sekali"
Rio merenungkan ucapan Alvin. Benar juga, pikir Rio. Ia menatap Alvin sebentar, lalu berdiri mengambil jaket dan kunci motornya.
"Kamu nggak berniat melarikan diri khan yo?"
Rio tak menghiraukan pertanyaan Alvin. Ia berlari meninggalkan ruangan.
---
Setelah menempuh perjalanan penuh polusi dan kepanasan luar biasa, walau hari sudah hujan. Angel, Kiki dan aku tiba di rumah dinas.
"Wah.. Tak pernah aku melihat rumah selebar ini!"

Kata 'Lebar' yang di ucapkan Kiki barusan membuatku cekikikan. Mungkin kata lebar yang di ucapnya barusan jika diubah jadi 'Besar' lebih enak di dengar.
"Hahahaha, kata-katamu barusan aneh Kiki!"
Angel meledek Kiki seraya melingkarkan lengan kanannya ke leher Kiki. Aku tersenyum melihat keduanya. Jika saja Lintar ada disini. Jika saja..
"Kalian bertiga, bantu Bunda mengangkat barang-barang ini"
Kami pun saling pandang, dan langsung berlari menuju wanita yang mungkin lebih tua 3 tahun dengan Ibuku.
---
Seraya duduk di tempat berteduh, melihat hujan yang amat deras sedang mengguyur Jakarta. Kamami dan Obiet banyak mengobrol tentang masa mereka masing-masing.
"Apakah di desa, kau bahagia?"
"Tentu kak"
"Kau masih memakai nama pemberianku Kama"
"Aku takkan melupakan nama ini"
"Hahaha.. Tapi, bukankah Kamami itu nama yang konyol?"
"Nggak kak! Sama sekali tak konyol! Malahan, jika aku merindukan kakak. Dan ada yang memanggil namaku, aku dapat sedikit melepas rinduku pada kakak"
Obiet tersenyum, ia memandang adik perempuan yang umur Kamami hanya berbeda 8 bulan dengannya.
"Bagaimana dengan kakak? Jakarta nyaman?"
"Lumayan mi, disini aku bisa mengeksplore semua bakatku"
"Bagaimana dengan biola buatanku? Masih kakak pakai?"
Obiet tersentak. Ia teringat biola kecil buatan Kamami yg Kamami kerjakan selama berbulan-bulan. Biola yg di kirimkan Kamami 3 tahun lalu. Biola itu sebenarnya hilang. Dan ia sungguh tak tahu benda mungil itu berada. Sebenarnya, bukan biola sungguhan. Tapi kalung berbandul biola. Kamami tahu, bahwa kakaknya sangat senang bermain biola. Maka dari itu, dengan belajar mengenai replika biola. Ia ciptakan kalung biola penuh cinta untuk Obiet.
"Ehem, Kama, maafkan Obiet ya.. Kalung Kama hilang"
Kamami menatap Obiet dengan matanya yang indah, ia pun tersenyum tulus
"Tak apa kak, aku bisa membuatkannya lagi untuk kakak"
“Benar?"
"Ya"
"Nanti, di rumah kita buat bersama-sama ya?"
"Kakak lupa rupanya"
Mata Obiet berkaca-kaca. Sebuah bayangan fatamorgana terbesit di hadapannya. Saat Oma mengambil Kamami. Saat sebuah pilihan harus di tentukan Kamami. Saat Kamami memilih untuk tinggal bersama Oma yang tak pernah setuju hubungan kedua orang tua Obiet-Kamami. Semenjak itulah, Obiet menjadi seorang anak tunggal. Tapi keduanya tak pernah lupa satu sama lain.
---
Aku membawa barang bawaanku ke dalam kamar no.10, kamarku bersama Kamami dan Angel. Sedang Kiki dikamar sebelahnya. Bersama seorang anak asuh bunda Romi. Debo namanya. Anak yang sangat pendiam.
Tak banyak yang ia lakukan saat kami datang, ia hanya menjabat tangan kami tapi tak tersenyum. Selesai menjabat tangan kami, ia berlari bersembunyi ke belakang bunda Romi. Aku belum mengenalnya banyak. Tunggu Kamami datang, baru aku berani berkenalan dengan Debo.
"Wah, luas sekali kamar ini untuk ukuran tiga orang ya de!"
"Iya njel"
Ya. Kamar yang kami tempati ini sangat luas. Untunglah kami menempatinya bertiga. Bisa lelah kami, jika 1 orang menempati kamar yang seperti ini. Aku keluar ke teras kamar ini. Cukup luas pula terasnya. Nyaman untuk memandang hujan.
Ku sipitkan mataku, melihat sebuah sekolah super megah yang jaraknya cukup dekat dengan rumah bunda Romi.
"Besarnya sekolah itu de, rumahku pun tak sebesar itu"
"Iya njel"
Kamar kami ada di lantai dua. Jadi kami bisa puas memandang keadaan alam sekitar. Dan aku bisa berteman dengan alam. Seperti kata Kamami.
Angel kembali masuk karna tak tahan dengan dinginnya udara di luar. Tapi aku yang sudah terbiasa dengan udara dingin karna hujan bertahan di luar. Ku tarik udara dingin di sekitarku dengan hidung yg kumiliki. Sejuknya!
Suara bel nyaring terdengar dari pintu utama. Aku ingat, bunda Romi sedang tak ada dirumah. Beliau sedang mengambil seragam kami.
"Aduh, bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu itu?"
Angel keluar dan menarik tanganku. Sepertinya, pikiran Angel sama denganku.
"De, bagaimana ini? Bunda Romi khan tak ada dirumah!"
"Yasudah njel, ayo kita buka saja pintunya"
Angel sedikit tenang mendengar ajakanku. Ia berjalan disampingku masih menggandeng tanganku.
Ku ketuk pintu kamar anak lelaki. Debo dan Kiki keluar, ku lihat raut cemas juga tergambar di wajah mereka.
"A..ayo, kita bersama-sama buka pintu”
"Kamu berani?"
Aku mengangguk pada Kiki yang baru saja bertanya padaku.
Kami berempat jalan berdampingan, Angel mempererat pegangannya padaku.
Hingga kami sampai di depan pintu utama. Angel, Kiki, Debo berjalan mundur menjauhiku. Dasar mereka ini. Pelan-pelan ku gerakan gagang pintu tersebut. Suara bel terus berbunyi memekikan telinga. Aku sudah tak tahan lagi, maka kupercepat proses pembukaan pintu.
Sosok anak lelaki ku lihat berlari. Mataku terbelalak dan..
‘Brukk'
Ia menimpa tubuhku. Hingga aku dengan jelas dapat melihat lekuk wajahnya. Ya Tuhan. Apa aku bertemu seorang pangeran? Ya Tuhan, ia tampan sekali!
---
Patton hilir mudik. Terlihat jelas gurat cemas melekat dan terpancar dari matanya.
"Kamu kenapa sih Patt?"
"Aduh vin, bukan saatnya kamu bertanya"
"Heeh deh"
Alvin berjalan mendekati Iel yang sedang serius membaca buku lagu milik Patton.
"Yel, serius amat"
"I..iya vin"
"Kok kamu jawabnya gugup?"
"Oh, nggak apa-apa kok. Hehe"
Iel menyembunyikan handphonenya, tapi Alvin menyadari kelakuan Iel barusan. Dengan cepat, Alvin mengambil hp Iel dari kantong belakang Iel.
"Hei vin!"
Alvin mengacungkan telunjuk dan menggoyangkannya ke kiri-kanan. Agar Iel tak menghalangi aksinya.
"Ternyata daritadi kamu nggak baca buku ya. Kamu lagi ngapain sih yel?"
"A..aku baca buku kok!"
Tapi Alvin tak terpengaruh dengan sangkalan Iel. Beberapa detik kemudian. Hp Iel bergetar.
"Via?"
Iel langsung merebut hpnya dari Alvin. Alvin menaik-turunkan alisnya. Bersiap meledek Iel.
"Ternyata!"
Alvin menunjuk Iel dengan pasti, ia tertawa sekencang-kencangnya bak monster yang sedang menangkap mangsanya.
Patton yang sedang bingung mencari sebuah benda, kesal dengan prilaku Alvin. Ia pun menghardik Alvin.
"Dih, jelek sekali tawamu!"
"Sewot die"
Iel tertawa melihat wajah konyol Patton yang ingin melawan ucapan Alvin. Tapi ia tahan. Iel hanya geleng-geleng.
---
Jika kali ini aku hanya bermimpi, aku tak ingin mimpi ini berakhir dengan cepatnya, anak lelaki ini. Kenapa aku merasa tenang di dekatnya? Apakah ia memang sengaja diturunkan Tuhan untukku?
"Hei, kalian berdua kenapa malah diam?"
Ucapan Angel membuat kami berdua langsung bangun dan memisahkan diri. Aku berdiri disamping Kiki, ia mengelus punggungku untuk menenangkan jiwaku yang pasti sangat kaget.
"So..sory, aku nggak sengaja. Aku mau bertemu dengan bunda Romi. Ada?"
"Bunda Romi sedang tak ada"
Angel menjawab pertanyaan itu, ia menjauh juga dari anak lelaki tak bernama itu. Anak itu menatapku, tak ada senyum terlukis di wajahnya. Heuh, minta maaf tanpa senyuman itu terasa hambar kawan.
"Siapa namamu?"
Anak itu menatap Debo, tapi langsung ia palingkan wajahnya dari Debo ke aku. Aku sangat gugup menatap wajahnya. Ia sangat tampan kawan.
"Rio, namaku Rio, boleh ku tahu nama kalian?"
"A..aku Dea, ini Kiki, Debo, dan Angel"
"Dea.. ehem, maaf ya tadi aku menabrak dan sekaligus menimpamu. Tadi aku sebenarnya ingin mendobrak pintu karna tak sabar. Eh, malah keburu kamu buka pintunya"
"Oh, iya nggak apa-apa kak"
Aku memanggilnya kakak, karna menjaga kesopanan sebagai orang baru di rumah ini.
"Kalian, sebenarnya siapa?"
"Kami anak penerima beasiswa BM kak"
Angel menyahut karna ia melihatku yang sudah tak bisa menjawab pertanyaan anak bernama Rio itu. Rio masih menatapku, tanpa senyum sedikitpun. Aku merapatkan diriku ke samping Kiki. Karna sebenarnya aku masih takut menatap mata kak Rio. Ku perhatikan dia, jantungku bagai berhenti berdetak, nafasku sesak, perasaanku meluap tak tertahan ingin mengeluarkan air mata. Mulutku bergetar, karna aku melihatnya kawan. Melihat kalung bintang itu melingkar di leher kak Rio. Apakah, ia adalah?
"Tanganmu dingin de, kamu kenapa?"
Kiki mengusap tanganku yang mendadak dingin. Wajahku berubah pucat seperti mayat hidup. Sekarang jantungku berdetak sangat kencang, terasa sangat perih kawan! Aku, aku terjatuh. Mataku terpejam. Dan aku tak sadarkan diri.
---
Sebuah keadaan yang tak biasa tergambar di pandanganku, semua putih. Tak ada kehidupan disana. Tapi beberapa detik kemudian, aku melihat seorang anak perempuan dan anak lelaki sedang saling berteriak. Aku dekati mereka, betapa terkejutnya diriku, melihat anak perempuan itu adalah aku. Dan.. Penyelamat hidupku sedang berusaha menyelamatkanku.
Bayangan apa ini Tuhan? Apakah aku bermimpi? Aku berlari mendekati mereka agar aku dapat mengenali penyelamat hidupku. Tapi semakin aku mendekat, kenapa mereka semakin menjauh? Dan kini, hilang sama sekali.
"De, Dea!"
Teriakan itu memecahkan gelembung fatamorgana yang ku lihat barusan, ku buka mataku pelan-pelan, Angel menggoyangkan tubuhku seraya memanggil-manggil namaku berulang kali. Kepalaku pening, tak kuat untuk bangun walau sekadar duduk.
"Dimana aku?"
"Masih di ruang tamu de, kamu pingsan. Tapi kami tak berani membawamu ke kamar, jadi kami berusaha menyadarkanmu"
Penjelasan Kiki menyadarkanku, tadi aku syok hingga aku pingsan. Jantungku sudah tak terlalu sakit, walau belum terkontrol.
"Obatku ada dikamar njel, aku ke atas dulu ya"
"Kamu ini bodoh atau apa sih?!"
Kak Rio menghardikku dengan pertanyaan yang pasti kalian tahu, menyakitiku.
"Maksud kakak apa?"
Kiki maju dan mendorong kak Rio, membelaku. Tapi Kak Rio berdiri lagi, ia menatap kami satu persatu. Dan matanya terakhir tertuju padaku. Ia mendekatiku, lalu membungkuk. Melakukan hal yang tak pernah kuduga, menggendongku!
"Kak, nggak usah di gendong"
Kak Rio tak mendengarkan aku, ia tetap berjalan seraya membawaku ke lantai dua.
"Dimana kamarmu?"
"Nomor 10 kak"
Ia berjalan lagi, mencari kamar dengan plat nomor 10. Dari sini, aku bia menatap wajah manisnya. Detak jantungnya berirama indah menenangkanku, tapi. Aku tak yakin, ia adalah penyelamat hidupku. Karna aku tak bisa merasakan hal yang sama persis dengan kejadian masa laluku bersama penyelamat hidupku. Memang, saat itu sama dengan saat ini. Tapi, hati ini tak bisa dibohongi kawan, ia bukan penyelamat hidupku. Aku tahu itu.
Kak Rio berhenti di depan kamarku, ia membuka pintu kamar dan meletakan tubuhku di kasur yang memang benar, itu kasurku. Aku tersenyum padanya, tapi ia masih memandangku dingin. Kenapa sih dengannya? Apa ia tak bisa tersenyum sedikit?
"Terimakasih kak"
"Dimana obatmu?"
"Oh, nggak usah kak, aku saja yang ambil sendiri"
"Lalu untuk apa, aku mengantarmu hingga disini?"
Aku terdiam, sebenarnya aku tak mengerti yang ia tanyakan. Karna jelas-jelas ini tak murni kesalahannya, aku hanya syok melihat kalungnya. Dan juga, sejak tadi aku memang sudah tak enak badan. Mungkin mabuk laut.
"Dimana?"
Ia bertanya lagi, jadi ku jawab saja. Aku menunjuk ke tas kecilku yang berwarna merah marun. Terletak di atas lemari utama kamar itu. Kak Rio berjalan santai dan mengambil tasku.
“Ini”
Ku ambil tas pemberian kak Rio dengan tangan masih gemetaran, aku sudah tak peduli kata yang ada di dalam otak kak Rio. Pokoknya saat itu aku ingin menangis. Mimpi apa aku semalam? Bertabrakan dengan orang yang tak dikenal, di gendong dan di bentak orang tampan seperti kak Rio. Huft.
Kak Rio masih menatapku, sepertinya ia ingin tahu obat yang akan kuminum, sebenarnya kawan. Aku malu jika ada orang lain yang tahu penyakitku. Jadi, dengan posisi telapak tanganku masih di dalam tas, aku ambil sebutir dua butir obat bulat dari botolnya dan langsung ku masukan ke dalam mulut, tapi kawan. Apa kalian tahu perbuatan bodoh yang telah kulakukan? Aku lupa meminta air! Ya Tuhan, pahitnya obat ini. Aih, tapi coba ku tahan sejenak. Seraya menghelakan nafas, langsung ku kerahkan kemampuanku menelan obat pahit itu tanpa air. Keringat dingin bercucuran melewati dahiku. Masa-masa terburukku dimulai saat ini, jam ini, detik ini. Pare pun lebih baik rasanya ketimbang obat penenang jantung ini. Senyum kak Rio terkembang, ia mulai menunjukan rasa geli di depanku. Dan perlahan tapi pasti.
“Hahahahahahahahahahaha”
Ia tertawa sangat keras volumenya, aku mendengus kesal akan perbuatannya. Apa ia tak tahu aku sedang kepahitan? Ku pukul lengannya pelan agar ia bisa mengecilkan volume suaranya, tapi bukannya mengecil ia makin mengencangkan volume tawanya. Hingga Kiki, Angel, dan Debo berlari masuk kamar.
“Ada apa?”
Angel bertanya dengan ekspresi sangat cemas, aku menggeleng. Kami berempat menatap kak Rio yang tak berhenti tertawa. Dengan heran tentunya, seorang yang awalnya sangat dingin bisa tertawa hingga seperti ini.
“Kak Rio!”
Aku berteriak kesal, Kak Rio mulai mengembalikan kondisi jiwanya. Wajahnya masih merah karna terlalu banyak tertawa, aku majukan bibirku kesal menerima sikap anehnya.
“Maaf ya de! Tapi aku nggak tahan. Melihatmu kepahitan menelan obat tanpa air! Hahahaha”
Kini kak Rio bicara dengan senyum yang manis. Ia lebih tampan dibanding tadi, sangat tampan. Ya Tuhan, inikah senyum malaikat?
“Lagipula, kamu kenapa harus takut minum obat di depanku?”
“Uhm..”
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya, ia berdiri dan mengambilkan segelas air hangat dari dispenser untuk mengatasi lidahku yang kini mati rasa karna pahitnya obat yang tadi kuminum.
“Minum dulu de.. hehehe”
Ia memang baik padaku, tapi kenapa ia harus tetap tertawa saat aku kini sedang sangat kesal akibat sikapnya? Langsung ku masukan cairan hangat itu ke tubuhku. Melewati pusat lidah yang menjadi indra rasa pahit. Lega rasanya, ketika air itu membantu tenggorokanku karna ternyata obat tadi sedikit menyumbatnya.
“Terimakasih kak”
“Iya, sama-sama”
Kak Rio masih tersenyum padaku, ia mengelus poniku. Aku merasa dekat dengannya. Aku rasa, aku menemukan penyelamat hidupku yang kedua. Tapi, aku takkan melupakan penyelamat hidupku yang pertama. Takkan seumur hidupku.
---
Patton membayangkan benda itu. Benda mungil, sebuah kalung dengan bandul biola miliknya. Yang ia terima dari seorang sahabat penanya. Kira-kira 3 tahun yang lalu ia dapatkan benda itu. Benda yang sangat indah, menggambarkan wajah sang sahabat yang sebenarnya ia tak tahu sama sekali. Patton hanya bisa membayangkannya lewat penjelasan sahabatnya itu. Nama sahabatnya adalah Kamami. Ia hanya tahu nama itu, tak tahu nama asli Kamami.
Hanya ada satu di asa, sebuah pertemuan di dunia yang ia impikan. Bertemu dengan sahabatnya Kamami. Karna ketika ia surat-menyurat dengan Kamami, sinar bintang selalu mengiringinya, ia seperti berada dalam sebuah tempat yang terang. Ada suara hujan yang menenangkan jiwa Patton. Surat-surat dari Kamami penuh arti, kata demi kata yang Kamami digoreskan seperti memberi pelajaran bagi Patton. Apalagi, Patton paling suka jika ingat ciri khas Kamami, kertas hitam dan tinta putih. Tak pernah terfikir memang oleh Patton memakai 2 hal ajaib dalam dunia ini. Ia yakin, Kamami bukan anak biasa. Kamami adalah sahabat Patton. Sahabat pena Patton.
Terkadang pula, Patton membayangkan Kamami ada disampingnya. Karna saat membaca surat dari Kamami, ia bisa merasakan keberadaan Kamami dengan jelas. Seperti fatamorgana yang menyenangkan untuk Patton.
Patton mengambil salah satu surat Kamami, dari kantung suratnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Tangan Patton terkatuk oleh sebuah benda asing yang ada di dasar kantung surat, ia penasaran. Apa itu? Langsung saja, Patton ambil. Dan matanya langsung membulat.
“Yeah!! Kamami! Aku menemukannya! Benda berharga yang kau berikan padaku, aku menemukannya!!”
Alvin yang sedang mencemaskan keberadaan Rio langsung melonjak mendengar teriakan Patton, sedangkan Iel. Ia masih sibuk berkirim pesan singkat dengan kawannya yang bernama ‘Via’. Alvin melirik jam besar di ruangan itu, 13.00 WIB. Ternyata sudah lebih dari 2 jam ia menunggu kedatangan sang ‘King of Melody’, leader band ini.
“Kemana sih anak itu? Handphone pun tak ia bawa”
Alvin melirik Iel, melempar sahabatnya itu dengan gumpalan kertas bekas. Menyadarkan Iel dari dunianya sendiri.
“Apaan vin?”
“Sepupu kamu tu, kemana dia?”
Bola mata hitam indah Iel berpindah letak dari tengah menuju tempat di atas ruang matanya. Berfikir sejenak, lalu kembali menatap Alvin.
“Ke rumah bunda Romi mungkin! Kalau nggak ada, ya di rumah Oma”
“Sialan anak itu, Patt. Kamu hubungi Obiet ya? Bilang padanya, cepat kesini untuk latihan”
Patton hanya mengangguk, karna ia masih senang menemukan benda yang telah berbulan-bulan hilang dari lehernya. Alvin hanya geleng-geleng dan mengambil kunci motor Iel.
“Eits, mau kemana kamu? Jangan menghilang juga vin”
“Aku mau jemput Rio, yel. Setengah jam lagi, aku kembali. Jika Rio mulai keras kepala, mungkin akan lebih lama”
“Hati-hati aja ya”
Alvin mengangguk lalu mengambil jaketnya juga kunci motor Iel, menyusul sahabatnya. Rio.
---
Setelah mengobrol cukup banyak, Kamami meminta Obiet untuk mengantarnya ke rumah dinas. Obiet mengangguk pasti, karna mulai saat ini dan seterusnya. Kamami takkan lepas dari penjagaannya.
“Mana alamatnya, kulihat dulu”
Kamami menyodorkan kertas dari bunda Romi, Obiet membacanya sejenak lalu menggenggam tangan Kamami.
“Ayo, akan ku antar adik pangeran ke kerajaannya yang jauh dari kerajaan kakaknya”
Kamami tertawa mendengar perkataan Obiet, tapi memang itulah kenyataannya.
---
Kak Rio banyak mengobrol dengan kami, menerangkan tentang Smp Betha Melody, tentang kehidupan disana. Ia bilang, kami ini anak-anak yang sangat beruntung. Bisa bersekolah gratis dengan fasilitas lengkap di Smp BM. Ku tatap raut wajah yang sedang berseri-seri itu, senyumnya masih terbentuk apik menenangkan hati. Sesekali ia bernyanyi satu dua lirik lagu kesayangannya, tapi ia tak menyebutkan judulnya. Ia hanya berjanji pada kami, akan menyanyikan lagu ini di acara MOS nanti. Aku tak sabar mendengarnya, 2 hari lagi MOS akan dimulai. Persiapan sana-sini, super sibuk tergambar indah di Smp BM. Semua sibuk menyambut kedatangan siswa/I baru Smp Betha Melody. Dan kamilah termasuk anak-anak beruntung itu.
Lintar, aku kesepian. Walaupun ada Kamami, Angel, Kiki, Debo dan sekarang. Kak Rio, aku tetap kesepian. Tak ada lagi senyummu yang tulus dari hati, tak ada lagi suaramu yang lantang bagai halilintar. Seperti namamu Lintar, Halilintar Morgen. Jika ku dengar suaramu sekali saja saat ini, mungkin jantungku akan menyanyi bersamanya. Tak cepat kambuh seperti tadi.
“Yo, kamu ternyata disini!”
Seruan itu menghancurkan bayangan fatamorgana yang ku lihat sekilas, Lintar ada di depanku.
“Eh vin, ngapain juga kamu susul aku?”
“Ye, kapan kita latihan kalau kamu sesantai ini?”
“Memangnya, Obiet sudah datang?”
“Ya, ehem.. sedang dalam perjalanan”
Wajah kak Rio mendadak kelam lagi, ia dingin seperti awal aku bertemu dengannya. Kenapa berubah begitu cepat kak?
“Yasudah, sepertinya bunda Romi masih lama, aku pamit ya”
“Weits, nggak mau kenalin aku ke mereka?”
Kak Rio menghelakan nafas yang telah ia tarik panjang-panjang, menahan kesalnya yang tak nyata. Aku masih memperhatikannya tak melepaskan pandangan ke siapapun.
“Adik-adik, ini Alvin kawanku”
Ucapan kak Rio juga tak selebar tadi, aku kecewa melihatnya seperti ini. Tapi aku janji, aku akan mengembalikan sinar bintang di hidupnya lagi. Agar ia bisa tertawa lepas seperti tadi.
“Sudah?”
“Iya Rio”
Kak Alvin dan kak Rio berjalan meninggalkan kami, tapi sebuah pikiran yang ingin menahan mereka langsung keluar dari mulutku.
“Kak Rio!”
Kak Rio menoleh ke arahku, begitupun kak Alvin. Aku mendekati mereka. Jantungku kembali berdegup kencang.
“Tadi, kakak memanggil nama, Obiet?”
“Iya, Obiet adalah salah satu anggota bandku”
“Boleh aku..”
Belum sempat aku mengutarakan maksudku, seorang anak lelaki masuk bersama Kamami. Kami menoleh ke arah anak itu, melihat Kamami disampingnya, aku yakin ialah kak Obiet.
“Eh biet, kukira kamu sudah ke studio”
“Waduh, maaf ya vin aku tadi mau mengantar adikku ini ke kerajaannya”
“Kak Obiet mulai”
Nada bicara Kamami terkesan ia sedang sangat bahagia. Dengan sebuah tekanan lucu di kata ‘Mulai’ membuatku tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, tadi kamu mau bilang apa tentang Obiet?”
“E..enggak kak, tadi aku mencari Kamami yang sedang bersama kak Obiet”
“Kamu kangen aku?”
“Sedikit mi”
“Hahahai”
Obiet mengelus kerudung Kamami, lalu pamit. Ketiga anak lelaki bak pangeran itu meninggalkan kerajaan kami. Dan kini, aku masih menunggu tetes hujan dari Surga mengantarkan penyelamat hidupku.
---
Aku menarik tangan Kamami menuju kamar kami bertiga, Kamami menahanku di depan pintu kamar.
“Apakah kamar itu luas?”
“Tentu Kamami!”
Air mata Kamami mengalir, tapi senyumnya masih terkembang, ku genggam tangan kanannya lebih erat. Agar aku bisa membuatnya tenang.
“Ayo de, kita masuk”
Belum sempat kuputar gagang bulat ajaib itu, Kamami mengeluarkan air matanya. Aku merasa tak biasa melihatnya seperti ini.
“Kenapa kamu menangis mi?”
“Aku.. mimpiku, hanya ingin mengukir garis putih yang sangat banyak di hidupku. Dan di kamar ini, akan kuciptakan keajaiban-keajaiban dengan bantuan Allah!”
“Keajaiban seperti apa?”
“Malam ini, bantu aku ya”
“Untuk apa?”
“Lihat saja nanti!”
Kamami merencanakan sesuatu yang pastinya gila, di luar logika, menakjubkan. Aku tak sabar menanti malam pertama kami di Jakarta. Kamami, ajarkan aku lebih banyak unsure kehidupan ini. Ajarkan aku sesuatu yang bahkan itu di luar akal. Tapi hati dapat menerimanya. Ajarkan aku mengenai, cinta dan persahabatan.
Ku buka pintu kamar, mata anak bernama lengkap Rahmi Amalia ini membesar, mulutnya ternganga kecil, kertas yang sejak tadi ia pegang jatuh karna ketidaksadarannya. Aku sudah menyangkanya, untuk seorang anak desa. Pastinya kamar ini bagai rumah baginya, seperti yang kupikirkan tadi. Lintar, suatu saat nanti. Aku akan mengajakmu kesini.
“Luasnya”
Gumaman itu membuatku tertawa kecil, Kamami yang sedang tercengang sangat unik wajah dan kelakuannya. Apa aku seperti dirinya tadi? Sepertinya, iya. Ku ambil kertas yang dijatuhkan Kamami dengan tangan kiriku. Sedang, tangan kananku masih memegang erat tangan Kamami. Aku menariknya untuk masuk ke dalam.
Kamami berjalan menuju kasurnya. Ia elus nama yang terpajang jelas di setiap dahan kasur itu. Air mata Kamami keluar lebih deras, ia kepal tangannya dan berdiri.
“De, mulai dari sini, kau, Angel, Kiki, Debo, aku dan semua hujanmu. Pasti meraih satu bintang tersembunyi di balik awan malam dan siang, bertempat di samping bulan. Dan berpusat di hati kita”
“Tapi mi, bintang itu ada satu”
“Tapi bintang itu punya 5 sisi tajam dan akan menancap di hati para pemenang, seperti kelima anak itu”
Ku ikuti arah telunjuk Kamami, sebuah figura foto kokoh terpajang di dinding kamar yang kini ku tempati bersama dua anak luar biasa sahabatku. Lima anak itu tersenyum lebar, dan mereka membawa satu bintang kecil di masing-masing tangan mereka. Aku tersenyum, langsung kupeluk tubuh Kamamu yang berbalut kain ungu warna kesukaannya, terasa hangat saat aku menyentuhnya dengan hatiku. Semua ucapanmu Kamami. Akan selalu kuingat sepanjang hidupku.
---
Malamnya, kami bertiga Angel, Kamami, dan aku mencoba pakaian baru kami, pakaian yang akan kami kenakan 3 tahun kedepan sebagai siswi Betha Melody. Setelan seragam yang sangat manis, kemeja putih dipadu dasi biru agak kehitaman, rok rampel biru tua kotak-kotak, dan yang paling kusukai. Adalah jas Smp BM yang berwarna biru tua, membuat manis siapapun yang memakainya, jasnya seperti model mantel orang-orang luar kebanyakan, dengan 4 kancing membentuk segiempat, bukan garis lurus seperti anak lelaki. Kami juga diberikan sepasang sepatu yang biasa dikenakan oleh paskibraka Indonesia ‘pantopel’, juga 3 pasang kaus kaki putih. Setelan semacam ini membuat kami lebih dewasa, tapi tak mengurangi sedikitpun esensi remaja kami. Mungkin biasa disebut, berwibawa.
“Mi, njel. Aku mau cerita sesuatu”
“Masalah tadi siang sama kak Rio de?”
“Hehe, bukan njel. Tapi ini masalah Debo”
“Lho? Kenapa dengan Debo de? Menurut Angel, tak ada masalah dengannya”
“Angel, Kama, kalian merasa nggak? Debo itu terlalu pendiam, dan ia nggak terlalu suka dengan orang baru”
“Benar-benar de! Debo itu seperti.. trauma?”
Kamami terdiam, ia terlihat berfikir. Dan aku yakin sebuah ide luar biasa sudah hinggap di otaknya. Kami menunggu Kamami mengatakan idenya.
“Seperti yang kukatakan tadi siang, bantu aku”
Kamami dengan cueknya merapihkan seragam yang bergeletakan disekitarnya. Memasukan sekaligus semua seragam kami juga ke dalam kantung baju kotor. Kamami berlari keluar. Meminta 20 bohlam pada Bunda Romi.
“Untuk apa bohlam sebanyak itu Kama?”
Terkadang Kamami juga dipanggil Kama.
“Untuk cahaya hati, Bunda.. bekas pun tak apa"
“Yasudah, ambilah bohlam-bohlam yang kau butuhkan di gudang barang”
Ami mengajak Angel dan aku menuju gudang, ia mengambil kotak untuk tempat bohlam dan menyuruh kami memilah bohlam yang masih bagus dalam menyala. Aku mengambil 10 begitu juga Angel. Kamami menghilang dari pandang, Angel dan aku mulai ketakutan.
“Kamami dimana?”
Angel berteriak memanggil Kamami, sebuah wajah muncul dari atas tumpukan Koran bekas.
“Maaf ya teman-teman, aku sedang cari Koran-koran bekas, kalian bawa bohlam biar aku bawa kertas-kertas ini”
Kami mengangguk, Kamami meloncat dari anak tangga nomor 10 yang dipijaknya. Nekat sekali anak itu. ia kembali tersenyum, tangan kirinya telah ia bentuk huruf ‘L’ dan ia tempelkan di dagu.
“Hem, ok! Sudah siap, ayo ke kamar!”
“Sebenarnya untuk apa semua barang ini mi?”
“Pertanyaan bagus njel, hem.. kita akan buat bintang!”
Angel dan aku langsung saling pandang, ada apa dengan anak itu? Kamami terus tersenyum di sepanjang perjalanan kami ke kamar. Angel menyenggol sikutku.
“De, Kamami kenapa?”
“Aku juga tak tahu njel, tapi aku yakin. Sesuatu yang hebat akan terjadi malam ini"
Angel mengangguk tanda ia setuju akan pemikiranku. Karna ia juga mengagumi Kamami. Kamami pernah mengucapkan suatu hal penting untuk hidup Angel dan juga Kiki.
“Harta hanyalah formalitas kehidupan, karna inti sari kehidupan ini adalah hati. Tanpa ini, takkan ada kehidupan. Hadapi semua dengan perasaan, tapi ingat. Jangan masukan hal negative kedalam perasaan. Dan juga.. dengan ini, kita akan bersahabat selamanya”
Angel menghafal huruf demi huruf yang di ucapkan Kamami di kapal. Ia menceritakan dengan lancar hal itu padaku, aku tersenyum mendengarnya. Karna itulah yang diucapkan Kamami sepanjang waktu, ia berikan asupan energy pada kami.
---
Setibanya di kamar, Kamami mengeluarkan sekotak penuh baterai juga kabel. Di kantungnya ia keluarkan 3 sakelar dan banyak balon tiup.
“Sejak kapan kamu mempunyai ini semua Kama?”
“Sejak tadi siang njel”
“Dengan kak Obiet?”
“Tebakanmu tepat de”
Kamami memisahkan baterai, bohlam, kertas, kabel, dan sakelar di atas lantai kamar.
“Kalian tahu bentuk bintang khan?”
Kami mengangguk, Kamami menyuruhku untuk membuat pola bintang seukuran jarak antara ujung telapak tangannya dengan siku-siku tangan. Ku gores dengan seksama, ku bentuk sisi tajam di kelima sudutnya, seperti yang selalu diceritakan Lintar.
“Iyap, sekarang Angel. Tugasmu membuat bulatan sebesar isi bintang yang digambarkan Dea”
Angel membuat bulatan sempurna dengan cepat, Kamami terlihat puas dengan pekerjaan kami. Ia pun minta bantuan kami untuk membuat jiplakanna sebanyak 40 buah masing-masing. Sedang ia, membuat rangkaian lampu untuk semua bohlam yang tadi kami kumpulkan. Tak lupa ia mengajari kami, agar kami bisa membantu jika pekerjaan jiplak-potong sudah selesai.
---
Pukul 10 PM kami dapat menyelesaikan semuanya, dari pola, lampu, balon dan kabel yang dipasang ke sakelar.
“Nah, sekarang tugas kita. Menyatukan ini semua”
Kami dengan telaten mengerjakan proyek gila tapi menyenangkan ini. Aku menatap wajah Kamami yang berseri terang, bagai bintang. Ialah bintang yang tersembunyi itu, walau ia tak sadar. Aku akan terus membuatnya seperti bintang. Kamami, sahabatku. Untunglah ini bukan mimpi, bertemu dengannya adalah kenyataan diluar kenyataan. Terimakasih Tuhan.
“Yep! Sudah jadi, tak usah pakai kerangka kawat khan untuk menjadikan pola bintang seindah ini?”
“Ya Kamami, keren!”
Angel dan aku melonjak girang. Hasil pekerjaan kami selama 5 jam ternyata sangat memuaskan.
“Sekarang, ayo kita taruh 10 bintang di kamar bunda, 5 di kamar Debo-Kiki, dan 5 di kamar kita”
Kamami menaruh 5 bintang yang ringan akibat tekanan udara pada balon tersebut di setiap sudut dinding kamar, dan sakelar sebagai pusat tenaganya di kolong kasur Kamami.
Kami bertiga mengendap-endap berjalan ke kamar bunda Romi untuk memasang 10 bintang di kamar beliau. Dan terakhir di kamar anak lelaki. Ada sebuah kejadian aneh di kamar ini. Debo tak bisa tenang saat ia sedang tertidur. Ia mengigau.
“Jangan ambil ibuku, aku mohon..”
Kamami mendekati Debo, ia tersenyum lembut. Bak seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, ia mengelus Debo penuh kasih sayang, aku yakin Kamami memang sudah terbiasa melakukannya pada Nova atau Omanya.
Angel dan aku hanya melihatnya dengan seksama, melihat cinta Kamami yang sedang terpancar dan tersalur dari elusannya. Kami juga merasakannya, cinta itu begitu nyata. Kamami mulai bernyanyi, suaranya begitu indah saat ia menyanyikan lagu ‘Hanya satu’ untuk menenangkan Debo. Ia sahabatku, sahabatku sepanjang masa.
---



Debo




Kiki




Angel




Rio, Dea, Alvin




Rahmi dan Obiet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini