chapter 6
Lucky day
“De, Dea”
Ah! Perasaan apa ini? Sudahlah de, jangan bergurau! Lintar tak mungkin ada disini!
“Dasar, penyuka hujan. Sombong nie”
Tapi, ini begitu nyata. Bahkan ejekan itu? Ku cubit kulitku sendiri.
“Aww”
“Jadi, kau kira ini mimpi de?”
Ku angkat wajahku, sekarang khayalanku terlihat sangat nyata. Lintar ada di depanku, tersenyum padaku. Tapi itu mustahil. Bagaimana ia bisa kemari?
“Kamu?”
“Ini Lintar, sahabat abadimu!”
Aku berdiri, dan ku tatap wajah polos anak ini. Tentu aku masih tak percaya hal yang kulihat ini. Aneh juga, kenapa khayalan ini jadi terasa aneh bagiku?
“Hei, masih nggak sadar?”
Aku masih terdiam, dan kemudian menggeleng.
“Tidak mungkin, ini khayalanku saja”
Bayangan Lintar langsung memelukku, aku dapat merasakannya kawan! Ini nyata, ia Lintar! Ia kenyataan bukan khayalan! Mataku panas, jantungku berdegup kencang dan makin perih. Nafasku sesak, ku pejamkan mataku. Sekedar menenangkan diri. Tak lama, ada yang menarik Lintar untuk melepas pelukannya, aku membuka mataku. Dan ku lihat Lintar tersungkur.
“Kamu jangan asal peluk!” Seru kak Rio.
“E..enggak kak, ini..” Kataku.
Aku langsung duduk untuk mengimbangi Lintar, ku pandang wajahnya seksama. Masih cerah seperti biasa.
“Kamu Lintar?” Tanyaku lagi.
“Iya lah de! Ini aku, Lintar!”
Aku sontak memeluk anak ini, air mataku terurai. Aku… aku sangat merindukan anak ini. Sahabat Abadiku.
Aku melihat sekilas ke arah kak Rio, ia menatapku sejenak, tapi langsung memalingkan pandangannya ke lain arah. Tatapannya sinis, kenapa dengannya?
“Udah de, aku sesak nafas” kata Lintar.
Aku melepas pelukanku padanya, dan tertawa kecil.
“Kok kamu bisa disini?” Tanyaku.
“Ehem, kita bicara di lain tempat aja yuk dea, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”
Ku tatap teman-temanku bergantian, aku mengangguk tanda pamit sebentar, Lintar menggapai tanganku. Aku senang, karna kini aku bisa berjalan lagi bersamanya. Di Jakarta.
---
“Mau kemana sih mereka?” Tanya Rio.
“Mungkin, anak bernama Lintar itu ingin mengutarakan isi hatinya pada Dea” tebak Obiet.
“Apa?!” Rio berteriak. Obiet, Alvin dan Debo langsung melonjak karna kaget.
“Santai aja mas” kata Debo.
…
Lintar mengajakku ke taman dekat rumah sakit tempat Kamami di rawat. Ia menyuruhku duduk di ayunan bangku tunggal yang hanya ada satu-satunya disana.
“Kau belum menceritakan. Kenapa kau bisa disini?” Tanyaku.
“O iya, lupa”
Lintar mendorong ayunan tersebut, hingga aku bisa merasakan udara dingin siang itu akibat hujan. Dengan kulitku, bulu-bulu kulitku menari bersama angin-angin Jakarta. Aku tersenyum merasakan sejuknya hatiku saat ini. Pertemuan kami, kuyakin bukan kebetulan belaka. Ini sudah suratan takdir dari Tuhan. Lintar, apakah ia akan tinggal disini?
“Nova dan aku, kami dibiayai sekolah disini oleh Oma Nova”
“Oh ya? Bagus itu, dimana?”
“Di Smp Pelita Bintang de”
“Jadi bukan di Smp Betha Melody?”
“Bukan de, tapi nggak apa-apa de! Yang penting, kita ke Jakarta bersama-sama! Dan kabar baiknya, sekolah kita tak jauh jaraknya”
“Itu Smp seni?”
“Iyap!”
“Kenapa Oma Nova bisa berpikiran seperti itu?”
“Karna. Ia bilang, aku memiliki potensi sebagai seniman. Walaupun Smp Pelita Bintang tidak seunggul Smp Betha Melody, tapi Oma yakin aku bisa berkembang disana”
“Pasti Lintar, oh iya! Kau harus kukenalkan dengan saudara angkat Nova, namanya Kamami”
“Sepertinya aku pernah dengan nama itu..”
“Kenapa kau tak pernah bilang padaku?”
“Hehe, karna kau tak pernah ingin tahu”
Aku mendengus kesal, ku tahan tubuhku agar tak berayun lagi dengan kedua kakiku yang kupijakan di tanah. Wajah Lintar tertawa, menertawakanku karna aku memang termasuk anak yang tak begitu tertarik dengan urusan pribadi seseorang. Bisa dibilang, aku anak yang egois.
“Satu pertanyaan lagi, kenapa kau bisa menemukanku?”
“Karna saudara angkat Nova sedang sakit. Jadi setelah kami tiba di Jakarta, kami langsung ke rumah sakit ini. Eh, ada kamu. Hahahaha”
“Saudara angkat Nova? Kau mengerjaiku ya!” Lintar kembali tertawa, aku mencubitnya dengan seluruh kemampuanku. Ia sedikit meringis, tapi ku yakin tak terlalu sakit untuk seorang Lintar.
“Hei, kamu sudah menemukan penyelamat hidupmu?” Tanya Lintar seraya memegangi tali ayunan, dan bersender di tubuhku. Huh, anak ini ternyata cukup berat juga.
“Sudah lin”
“Wah! Siapa? Adakah diantara mereka?”
“Aku juga nggak yakin lin, masalahnya..”
“Apa lagi masalahnya de? Kau khan tinggal merasakan detak jantungnya dan melihat di lehernya, ada kalung bintang itu atau tidak”
“Masalahnya, mereka ada tiga orang lin. Dan aku tak bisa menebaknya”
Lintar melepaskan sandaran dariku, ia berdiri tegap dan berjalan mondar-mandir. Selagi ia berfikir, ku angkat wajahku menatap langit. Masih mendung, awan-awan itu begitu gempal. Andaikan aku kesana, apakah mereka bisa menahan tubuhku? Awan-awan itu rupanya sedang membawa air-air Surga, dan beberapa waktu lagi, akan dijatuhkan. Atau akan di tahan hingga mereka menjadi benar-benar gemuk. Siang ini udaranya sudah seperti sore hari, hujan terus mengguyur sejak pagi. Dinginnya menusuk kulit, tapi aku sangat senang dengan keadaan ini.
“Dea!”
Teriakan Lintar barusan membuatku terperanjat, aku menatapnya kesal. Karna ia menghancurkan bayanganku tentang alam.
“Ada apa?”
“Sebaiknya, jalani saja semua dengan alamiah. Karna aku yakin, jika Allah berkehendak. Lambat laun, Kau akan mengetahui penyelamat hidupmu.”
“Tapi khan kita juga harus ikhtiar lin”
“Sudah, sekarang urus saja sekolahmu dulu.”
Benar kata Lintar, aku harus konsentrasi dengan sekolahku, jika aku ingin menepati janjiku. Aku harus membuang pikiranku dari penyelamat hidup. Fokus de, fokus!
“Ya, aku akan tetap konsentrasi pada pelajaran”
“Itu baru Dea yang ku sayang!”
“Hahahahaha”
Kami berdua tertawa riang dengan air yang sudah di keluarkan awan gempal di atas kami. Hanya rintik biasa, tak masalah jika kami disini sebentar lagi. Aku berdiri dan mengajak Lintar kembali ke rumah sakit, ia kembali menggandeng tanganku. Sahabat Abadiku.
…
‘Tak.. tak.. tak’
Suara detak sepatu menggema di ruang aula Smp Betha Melody. Aula itu kini menjadi tempat latihan semua anak yang akan mengisi acara pembukaan MOS nanti, dan suara detak sepatu itu berasal dari seorang gadis manis. Ia akan membawakan dance modern tunggal di acara MOS.
Iel duduk di bangku penonton, menyaksikan gadis manis itu, di ruangan itu hanya ada beberapa orang. Karna ruangan sedang disiapkan untuk gladi bersih. Dan hanya boleh dipakai oleh anak-anak yang akan tampil tunggal seperti gadis ini, karna jam latihan PRINCE diundur nanti sore, Iel menyempatkan dirinya untuk melihat gadis yang sudah lama ia segani. Namanya Sivia Azizah, tapi sering di panggil Via.
Saat ia sedang asyik memperhatika gadis itu, seorang menepuknya.
“Siang kak Iel!”
“Eh, kamu ik. Lagi ngapain kamu?”
“Aku hanya melihat-lihat saja kak, bosan juga di ruang tante Ucie.”
Oik adalah siswi kelas 1 Smp BM, dan hanya ia yang bisa berkeliaran di Smp BM bahkan sejak ia kelas 3 SD. Tante Ucie, adalah bu Ucie. Komite sekolah ini.
“Bukannya disuruh latihan di studio? Sejak tadi aku menunggu kalian”
“Hehe, kami pindah haluan hari ini ik, kami latihan di rumah bunda Romi”
“Cepet banget kak”
“Kami nggak jadi latihan ik, ada sebuah insiden. Jadi kami undur hingga nanti sore”
“Lho? Itu artinya kalian tidak serius mengikuti acara ini! Gladi bersihnya nanti malam lho kak”
“Tenang saja, kami sudah hapal betul lagu itu.”
“Oik nggak mau, pembukaan untuk angkatan Oik hancur, hanya karna PRINCE yang malas latihan”
“Idih, ngambek kamu. Haha”
Iel memalingkan pandangannya kembali pada Sivia. Tapi gadis itu sudah tak ada di tempatnya, Iel celingak-celinguk mencari Via, dan ia terperanjat. Karna Via ada disampingnya. Sedang meneguk sebotol air dingin demi menghilangkan dahaganya.
“Yaudah, aku keliling lagi ya kak” kata Oik.
“Dadagh”
Oik melambai pada Iel, dan berlari kecil meninggalkan Iel berdua dengan Via di barisan bangku penonton.
Jantung Iel berdegup kencang, karna gadis idamannya duduk tepat di sampingnya. Keringat dingin mengalir melewati dahi Iel. Ia sangat gugup, perasaannya ingin segera ia pecahkan, ingin segera ia utarakan pada Sivia. Bahwa ia suka Sivia.
“Siang.. Vi.. Via” katanya gugup.
Sivia menghentikan kegiatannya meneguk cairan dingin yang menyegarkan pikirannya kembali, ia menoleh dan menatap Iel dengan seksama. Senyumnya terkembang, ia mengangguk untuk rasa hormat pada Iel, Iel ganti mengangguk.
“Siang juga yel”
Iel bingung mau mengobrol apa dengan Sivia? Karna ia tahu, Sivia itu adalah anak yang gampang bosan dan lebih banyak diam. Tapi dari sifatnya itu, ia menjadi gadis yang terkenal. Terkenal karna sikap dinginnya. Tapi tetap ramah. Dan juga, ia sangat berwibawa. Iel yakin, banyak di kalangan gadis adik kelas yang akan menyukai Sivia. Menyukai sikap dingin, tegas, dan kalemnya. Banyak dari teman Sivia ingin mengikuti sifat Sivia, tapi sangat sulit. Karna Sivia hanya ada 1 di Smp BM. Tak ada yang dapat menyamai gadis ini.
“Vi, aku mau ngomong sesuatu sama kamu”
Sivia menatap Iel lagi, setelah ia berusaha memalingkan pikirannya dari hafalan tarinya.
“Ya?”
“Aku.. aku,”
Iel menghentikan ucapannya, ia mulai lupa hal yang ingin ia ucapkan pada Sivia. Iel pukul kepalanya sendiri, agar ia bisa mengingat satu kata kunci.
“Jika kamu belum bisa mengatakannya, sebaiknya nanti saja kita bicarakan lagi ya yel, aku mau latihan lagi”
“Oh, i..iya vi. Maaf ya”
“Iya, nggak apa-apa”
Sivia menepuk pundak Iel, hanya sekedar untuk menenangkan pikiran Iel. Setelah tersenyum manis pada Iel, Sivia meninggalkan Iel untuk latihan lagi. Ia kenakan sepatu ceper yang biasa digunakan penari-penari Meksiko agar menimbulkan bunyi ‘Tak.. tak.. tak’.
Iel memukul lagi kepalanya, ia kesal dengan otaknya. Sebenarnya jika bisa ia ingin mengganti otak yang ia punya dengan otak lain yang lebih baik. Tapi, ini memang anugerah Tuhan. Ia tak boleh terlalu banyak berfikir seperti itu, karna akan semakin mempersulit dirinya untuk mengingat hal-hal penting dalam hidupnya. Termasuk kata ‘Suka’ pada Sivia.
“Jika aku tak cepat mengatakan maksudku yang ini, akan bahaya”
Ya. Bahaya, karna sudah sangat banyak anak lelaki yang mengutarakan perasaannya pada Sivia, tapi anehnya. Tak pernah ada yang diterima, semua Sivia tolak mentah-mentah. Walaupun Iel agak takut, tapi ia ingin mencoba dulu. Mungkin saja ia anak lelaki yang masuk kriteria Sivia.
Walaupun ia tak setampan Rio atau Alvin. Tapi ia cukup percaya diri, dengan gelar PRINCE. Mungkin ada kesempatan untuknya. Pikirannya melayang pada Mamanya, sudah lama juga ia tak berjumpa dengan wanita yang sangat ia sayangi itu.
“Bodo ah, wanita itu tak pernah menyayangiku. Untuk apa aku harus selalu menyayanginya?” Gerutunya kemudian. Iel kembali memperhatikan polah lincah Sivia saat ia hentakan kakinya ke lantai, tari campuran yang sangat mempesona. Campuran salsa, hip-hop, dan beberapa tarian daerah.
“Manis sekali gadis itu..”
Iel terus bergumam.
---
Lintar duduk di sampingku, ia berkenalan dengan semua temanku. Ternyata mereka sudah masuk melihat keadaan Kamami, kak Obiet saja masih di dalam. Lintar dan aku mohon pamit untuk menjenguk Kamami juga.
“Katakan pada Obiet, kita mau segera ke rumah bunda Romi, latihan untuk gladi bersih” Kata kak Rio, aku mengangguk dan masuk ke kamar Kamami.
“Kak Obiet, kak Rio dan kak Alvin menunggu kakak untuk latihan” kataku
“Hah? Ah, mereka ini. Yasudah, Dea tolong jaga Kamami ya”
“Siap kak”
Setelah mencium pipi Oma Kamami, kak Obiet bersama kedua kawannya pergi. Aku langsung memandangi Kama. Ia tersenyum padaku, Debo juga ikut masuk.
“Bagaimana keadaanmu mi?” Tanyaku.
“Baik, sangat baik de”
Aku menoleh ke Oma Kama, dan Nova. Aku tersenyum pada mereka, dan Nova. Ia masih saja menanggapiku dengan senyum tipis.
“Kamu ini terlalu nekat mi” Kataku, karna aku sangat cemas dengan keadaan Kamami sejak tadi.
“Biar saja de, asalkan bintang itu mau bersinar” kata Kamami seraya melihat Debo, Debo tersipu malu dibuatnya.
Aku langsung melirik Lintar, ku isyaratkan padanya agar memperkenalkan dirinya duluan. Lintar menggeleng, ku angkat alis dan melotot pada Lintar, tanda aku memaksanya. Lintar tetap menggeleng, idih. Kenapa anak ini?
“Kamu kenapa sih lin?” Bisikku pada Lintar.
“Aku malu” katanya.
“Hah? Malu? Nggak biasanya?”
Kamami mengangkat tubuhnya, ia pun mengambil posisi duduk. Ia tersenyum pada Lintar, Lintar langsung merapatkan dirinya padaku.
“Namamu Lintar ya?” Tanya Kamami.
“I..iya”
“Namaku Kamami, aku sahabat yang siap menjaga Dea untukmu”
Lintar pun mengulurkan tangannya, ia ikut tersenyum bersama Kamami. Dan Kamami menggapai uluran tangan Lintar.
“Dingin” gumam Lintar, sepertinya Kamami tak mendengarnya. Tapi aku jelas mendengarnya. Dasar anak ini, semakin aneh saja.
“Dingin?” Tanyaku agak mengeraskan suara agar Kamami bisa mendengarnya juga.
“Eh, kamu kenapa de? Apa yang dingin?” Tanya Lintar pura-pura tak tahu akan gumamannya barusan.
“Tadi kau bilang, dingin?”
“Nggak kok de!”
“Bohong”
“Aduh, dasar.. dengar aja kamu”
Kamami tertawa kecil melihat kelakuan kami, kami berdua menoleh ke arahnya, dan ikut tertawa.
Hari ini, adalah hari terbaikku. Bertemu lagi dengan sahabat abadiku, lalu melihat Debo yang kini siap menerangi kami semua, dan tahu. Siapa penyelamat hidupku. Dan aku yakin, orang itu adalah kak Alvin.
…
Tak lama, Obiet bersama Rio dan Alvin tiba di rumah bunda Romi, Patton, Angel dan Kiki sudah menunggu ketiganya. Patton yang pertama kali menghampiri mereka.
“Obiet, bagaimana keadaan Kamami?”
“Kama baik kok Patt, tenang saja”
“Syukurlah..” Leganya, Obiet menangkap radar aneh pada sikap Patton. Pasalnya, sepengetahuan Obiet, Patton dan Kamami tak pernah bertemu. Kenapa Patton sangat khawatir pada Kamami? Batin Obiet.
“Kami mau menyusul mereka dirumah sakit, tapi bagaimana caranya ya?” Tanya Angel.
Semua saling pandang, tak lama. Bunda Romi pulang dari dinas, ia membawa 2 kantung pelastik, sepertinya makan siang.
“Bunda pulang” Salam Bunda.
“Siang Bunda” Sapa Rio.
“Ya, kalian jadi latihan disini? Berarti kalian bisa ikut makan siang dengan adik-adik kelas kalian ya”
Semua menunduk, Patton angkat bicara.
“Kamami di rumah sakit bunda”
“Hah?! Kenapa bisa? Dan kenapa tak ada yang menghubungi bunda?!”
Rio mengelus punggung bunda agar tak terlalu panik. Bunda menarik nafas panjang, dan menghelakannya. 2 kantung pelastik yang ia bawa jatuh begitu saja, ia langsung mengambil handphonenya, ia lihat tanggal di hpnya.
“Bagaimana ini? MOS nya besok, apa Kamami bisa sembuh sebelum besok?” Tanya Bunda sangat cemas. Karna ia tak mau Kamami tertinggal sehari pun di Smp BM.
“Tentu bunda, Kamami sudah baik-baik saja. Obiet yakin, besok Kamami bisa masuk” jelas Obiet
“Fiuh..tapi, kenapa Kamami bisa masuk rumah sakit? Kalian belum menjelaskannya pada bunda”
“Ceritanya panjang bunda, sebaiknya bunda jemput saja Kama dulu, nanti Angel dan Kiki pasti menceritakannya pada Bunda” saran Patton.
“Baik, ayo Angel, Kiki”
Bunda Romi bersama Angel dan Kiki menuju rumah sakit dengan mobil milik bunda Romi. Sedangkan keempat anak PRINCE itu langsung masuk ke dalam setelah mengambil bungkusan dari bunda Romi.
“Iel mana?” Tanya Rio.
Ya, hampir semua anggota PRINCE melupakan anak pemegang drum itu. Alvin segera mengambil handphonenya dan memanggil Iel. Setelah bercakap kurang lebih 5 menit. Alvin menutup pembicaraan.
“15 menit lagi ia sampai” jelas Alvin, semua mengangguk. Lalu memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu.
Obiet dan Patton bertugas menyiapkan makanan, sedang Rio dan Alvin menyiapkan alat makan. Obiet-Patton segera mengangkat 2 kantung besar itu ke dapur.
Di dapur, Obiet melirik berulang kali ke Patton, dan Patton cukup risih dengan prilaku Obiet.
“Kamu kenapa sih biet?”
“Eh, nggak apa-apa kok Patt”
“Aku ini masih normal biet, jangan macam-macam ya!”
“Enak saja, aku juga masih normal!”
“Lantas, kenapa kamu melirikku daritadi?”
Obiet meletakan kotak berisi sereal yang di pegangnya dari tadi ke dalam lemari dapur, ia menatap Patton dengan seksama.
“Ada hubungan apa, kamu dengan Kamami?”
Patton terperanjat mendengar pertanyaan Obiet, dengan perlahan ia menatap Obiet juga. Mulutnya bergetar, karna gugup untuk menjawabnya.
“A..aku biet, aku”
“Aku apa?”
“Aku sahabat pena Kamami”
“Sahabat Pena?”
“Ya, sudah 2 sampai 3 tahun lebih kami bersahabat, ia cukup menarik untukku” Patton langsung menutup mulutnya saat ia mengatakan ‘menarik untukku’, Obiet menaik turunkan alisnya. Ia memandang Patton dengan tatapan jahil.
“Kamu suka Kamami ya?”
“Ah! Nggak biet, kami hanya bersahabat!”
“Yaya, aku percaya deh” tapi nada bicara Obiet sangat aneh untuk didengar, Patton punya firasat buruk terhadap Obiet. Ia pura-pura lega, dan merapihkan beberapa makanan ke dalam lemari. Lalu memisahkan makanan yang akan PRINCE santap siang ini.
“Ayo, mereka pasti lapar” kata Patton.
“Kita juga lapar khan ipar”
“Ipar?!”
“Ups, hahaha.. ayo ke meja makan”
Patton kesal sekaligus malu terhadap perlakuan Obiet terhadapnya.
“Aih, kenapa aku bisa keceplosan” Batin Patton.
Ia akan terus menjadi bulan-bulanan Obiet, selama ia berteman dengan Kamami, tapi.. tak apa. Hibur Patton pada dirinya sendiri, ia tersenyum tipis lalu menaikan kedua bahunya bersamaan. “Semasa bodo” ucapnya cuek.
---
Bunda mempercepat langkahnya, menuju kamar nomor 90, kamar rawat Kamami. Setelah mendengar cerita dari Kiki dan Angel, hatinya sangat lega. Tapi cemas masih saja menerpa, bagaimana jika Kamami memang kehabisan darah? Bagaimana jika besok ia absen? Walaupun Kiki dan Angel sudah berkata padanya, bahwa Kamami sudah sehat. Tetap saja, naluri seorag ibu sangatlah kuat. Bunda sangat cemas.
“Kamami!”
Bunda berseru seraya berjalan cepat menuju tempat tidur Kamami, Lintar, Debo, dan aku menjauh agar bunda bisa leluasa melihat Kamami.
“Kamu sudah sehat?”
“Sudah bunda, oh iya. Perkenalkan, ini Oma dan saudara angkatku bunda. Mereka akan tinggal di Jakarta”
“Salam kenal, tapi. Kamu tetap tinggal di rumah bunda khan Kamami?” Tanya Bunda sedikit cemas, karna ia tak mau kehilangan Kamami, begitu juga kami. Karna Kamami adalah anak paling bersinar di rumah bunda.
“Tentu bunda, aku akan tetap mandiri. Mungkin aku akan berkunjung sesekali ke rumah Oma” jawaban Kamami begitu membuat bunda lega, bunda menghelakan nafas lega. Ia pun mengelus kerudung Kamami penuh kasih sayang, aku jadi ingat ibu. Aku rindu di belai seperti itu. Ibu..
“Malam ini, kamu bisa pulang?”
“Bisa bunda, lukaku sudah sembuh”
“Apa kamu kuat untuk ikut acara pembukaan MOS besok?”
“Aku akan selalu kuat untuk Smp BM bunda”
Tak ada sedikitpun gurat pucat di wajah Kamami, ia sudah sehat, ia sudah kembali menjadi Kamami yang biasanya, sudah kubilang. Kamami itu serupa dengan Lintar, cepat sembuh. Dan tak pernah mau betah di rumah sakit. Ku lirik Lintar, ia masih dengan seksama memandang Kamami, satu pertanyaanku. Kenapa anak ini malu berkenalan dengan Kamami? Apa karna wataknya sama dengan Kamami, jadi tolak menolak? Haha, itu hanya hukum listrik saja kawan, di dunia nyata. Jika 2 orang dengan watak sama, ia malah berusaha untuk bersatu. Kecuali, orang keras kepala mungkin.
Hujan siang ini tak begitu deras, masih rintik-rintik seperti tadi. Dan hari bahagiaku pun di antarkan oleh hujan-hujan itu. Hujan dari Surga sudah mengantarkan penyelamat hidupku menghadap padaku, seperti apa yang selama ini kuharapkan. Terimakasih Tuhan.
Chapter 07
A Special Song
PRINCE tiba di BM sekitar jam 19.00 WIB, disana mereka sudah ditunggu oleh semua pengisi acara pembukaan MOS, Oik terlihat duduk disamping tantenya, ia berbisik pada tantenya saat melihat PRINCE.
“Maaf ya, kami telat” kata Alvin. Semua hanya mengangguk arti tak masalah. Bu Ucie langsung menepukan tangannya 3 kali, semua langsung menoleh kearahnya.
“Ok, semua pengisi acara sudah siap, dan kita mulai gladi bersih. Kalian sudah tahu urutannya khan?”
“Sudah bu” jawab semua anak.
Seorang mengacungkan tangan, ia Sivia. Seraya berdiri ia menganggukan kepalanya menunjukan rasa sopan pada bu Ucie.
“Ya, ada apa Via?” Tanya bu Ucie.
“Apa tidak sebaiknya kita coba satu persatu dulu bu?”
Semua mulai berbisik, ada yang setuju dan ada juga yang meremehkan kemampuan Sivia. Sivia melirik sedikit ke arah orang-orang di sampingnya. Ia memandang mereka dingin, tapi hanya sebentar. Ia langsung menatap bu Ucie kembali. Seorang anak mengacungkan telunjuknya kembali.
“Maaf bu, saya menyela. Hanya saja, saya ingin menanggapi usulan dari Via” Kata anak yang mengacungkan jempolnya, ia tersenyum tipis seraya memandang Sivia dengan tatapan meremehkan. Sivia hanya diam, ia tak mau terjadi keributan di aula hanya karna ia tak sabar menghadapi gadis yang ia tak begitu suka. Ia tetap tersenyum, hanya samar-samar mungkin, bahkan jika ada yang melihat. Sivia bukan tersenyum, tapi sedang marah. Wajah Sivia yang manis jika sedang kesal memang sangat dikenali.
“Ya, silahkan Shilla” Kata bu Ucie seraya memanggil nama anak tadi, anak bernama Shilla itu berdiri, ia berdiri jauh dari Sivia, tapi masih di barisan depan. Ia menatap Sivia sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Bukankah itu hanya membuang-buang waktu bu? Ini sudah jam 19.00 WIB, sedangkan pengisi acara ada 20 penampil, jika 1 penampil saja sudah 5 menit atau lebih. Itu akan memakan waktu kurang lebih 2 jam, sedangkan acara kita dimulai besok pagi jam 08.00 WIB, belum kita harus datang lebih pagi, jam 06.00 WIB. Setelah penantian dan latihan begitu panjang. Apakah mau, jika latihan kita sia-sia karna ada beberapa penampil yang sakit karna pulang terlalu malam?” Tutur Shilla.
Semua terdiam akibat pendapat Shilla yang singkat berisi, Sivia memandang Shilla lebih tajam lagi, maksud Sivia sebetulnya ada benarnya. Memberi kesempatan untuk para penampil agar tidak usah berlama-lama gladi bersih, mungkin jika tak tersendat dengan penampilan yang salah, hanya satu jam yang dibutuhkan untuk gladi bersih, dan para penampil akan semakin mahir. Mungkin waktu juga tak memungkinkan. Sekolah hanya membatasi waktu gladi bersih hingga jam 21.00 WIB. Dan intinya, pendapat Shilla dan Sivia itu membutuhkan waktu yang sama. Tapi sepertinya, semua anak lebih memilih saran Shilla. Anak baru asal Belanda yang masuk di tengah semester ini memang membuat posisi Sivia sebagai juara umum di sekolah ini harus lengser di mid-test, tapi Sivia memang bukan anak biasa, ia bisa mengalahkan Shilla lagi di akhir semester 2. Dan semenjak itu, Shilla dan Sivia dikenal sebagai pasangan bersaing yang sehat. Walau tak dekat satu sama lain, tapi tak pernah terdengar kabar jikala mereka berdua berkelahi walau sekedar adu mulut. Adapun adu mulut, mereka berdebat tentang pelajaran.
“Sepertinya usulan Shilla lebih masuk akal bu!” Seru seorang anak yang duduk di samping Shilla, ia soulmate Shilla sejak Shilla masuk ke Smp Betha Melody. Zevana. Anak asli Surabaya itu seorang sahabat yang baik, ia selalu mendukung semua jerih payah Shilla, dan Shilla pun sebaliknya. Sebelum ada Shilla, Zevana tidak mempunyai teman satupun, hanya segelintir anak yang mengobrol dengannya, itu karna kekurangan Zevana. Zevana memang bukan orang kaya seperti sebagian besar siswa BM. Ia masuk pun bukan dengan beasiswa, tapi karna perjuangan kedua orang tuanya. Hingga akhirnya ayah Zevana meninggal karna terlalu memaksakan diri mencari uang, padahal ayah Zevana memiliki penyakit paru-paru kronis, dan perlu banyak istirahat. Jadilah Ibu dari seorang gadis pemilik nama panggilan Zeze ini, genap 1 tahun menjadi orang tua single. Dan Zeze mengimbanginya dengan beberapa prestasi, tapi itu tak menutupi keseganan anak-anak BM untuk menjadikannya teman. Ia sangat menyayangi Shilla, karna hanya Shilla lah yang memberikan arti sahabat untuknya.
“Maaf Via, memang benar kata Zeze, usulan Shilla lebih baik” Kata bu Ucie ikut setuju dengan usulan Shilla.
Iel memandangi Sivia yang terlihat kecewa, ia ingin segera ada di samping Sivia, menghiburnya dan mengutarakan isi hatinya. Iel tersenyum malu seraya menggaruk rambutnya, padahal tak gatal sedikitpun.
“Kamu kenapa yel?” Tanya Obiet yang duduk disampingnya, Iel langsung tersentak.
“Eh, nggak kenapa-kenapa kok biet, sumpah”
Iel salah tingkah, ia langsung membentuk angka dua dengan jari-jarinya, ia takut dan malu jika rencananya harus diketahui salah seorang atau bahkan semua anggota PRINCE, biarlah ia memendam rasanya ini dulu. Sampai ia bisa tersenyum lega jika Sivia sudah berada di pangkuannya.
“Apa kalian nggak lihat wajah Via? Ia terlihat sangat kecewa” Kata Alvin menunjuk ke arah Sivia, Iel, Patton dan Obiet hanya manggut-manggut, sedangkan Rio sibuk dengan pikirannya sendiri.
‘Bagaimana jika tebakan Obiet itu benar? Itu berarti, mereka sudah jadian.. dan aku nggak bisa sering ada di samping Dea, heuh’ batinnya dalam hati, pikirannya saat ini cukup kacau.
Tepuk tangan bu Ucie yang berjumlah 3 kali tepukan kembali membuat seluruh anak di aula itu menyadarkan diri dari lamunan dan kesibukan masing-masing, termasuk Rio. Tapi bayangan Dead an Lintar masih terlekat di otaknya.
Gladi bersih pun dimulai, masing-masing penampil sudah tahu urutan mereka tampil, jadi semua bersiap di belakang panggung. PRINCE mendapat urutan 20, cukup lama menunggu. Jadi kelima anak ini memutuskan untuk membeli minuman ringan dulu, agar lebih fresh sebelum tampil.
“Eh, aku mau disini ya. Stay tune aja, agar jika nanti kita terpanggil tidak sesuai urutan, aku bisa langsung sms salah satu dari kalian” Kata Iel. Padahal ia hanya ingin melihat penampil nomor 1, Sivia.
“Ya, sebaiknya memang ada yang berjaga satu orang disini. Ngomong-ngomong, Sivia urutan berapa?” Tanya Alvin dengan nada meledek Iel, karna sepertinya Alvin tahu alasan Iel untuk tinggal disini.
“Maksud kamu apa vin?” Iel mendadak kembali salah tingkah. Mukanya merah karna pertanyaan Alvin, ia sangat gugup. Suara music yang akan memulai tarian Sivia dimulai, Iel tak sanggup menunggu untuk menjawab pertanyaan Alvin, ia langsung berlari menuju bangku penonton, melihat penampilan gadis idamannya. Alvin tertawa puas, sedang anggota PRINCE yang lain hanya terdiam karna bingung.
---
Sesuai perkataan Kamami tadi siang di rumah sakit, malam ini ia bisa pulang, dan sudah tak terasa lagi perjalanan kami ke rumah bunda. Perasaan senang serta terharu karna besok, kami akan segera menginjakan kaki kami di sekolah idaman. Smp Betha Melody.
Tapi perasaanku masih tak tenang, bagaimana jika Kamami akan jatuh sakit ditengah proses MOS? Kamami.
“De, kamu kayaknya cemas?” Tanya Angel.
“Iya njel, aku takut Kamami sakit lagi”
“Tenang saja Dea, Kamami akan tetap sehat” Kata Debo menenangkanku. Aku hanya menghelakan nafas pasrah. Dan kembali menatap Kamami yang sudah tertidur.
“Bunda, kami ingin melihat gladi bersih pembukaan MOS Smp BM” Kata Kiki, ucapan Kiki langsung menyadarkan kecemasanku, karna aku juga ingin melihatnya.
“Sabar sayang, besok kalian akan melihatnya”
“Hanya sebentar bunda” Mohon ku juga.
Bunda kembali berfikir, ia memandangi kami satu persatu. Dahinya berkerut tanda ia sedang berfikir keras.
“Sudah, kalian tidur saja. Ini sudah cukup malam untuk keluar”
Kami kecewa dengan jawaban bunda, aku duduk di kasur Kamami. Tapi tak apa, kami tetap akan menonton pertunjukan tersebut besok. Dan kami tak kan pernah menyesal. Menunggu pertunjukan akbar penyambutan kami besok. Semoga semua akan lancar.
Kiki dan Debo kembali ke kamar mereka, sedang Angel sudah mengganti pakaiannya untuk tidur. Aku? Masih menunggui Kamami, aku ingin terus ada disampingnya. Agar jika misalnya terjadi hal yang tak diinginkan, aku bisa menanganinya dengan cepat. Sore tadi, bunda sudah memasang telepon disini, agar kami lebih terjaga. Terimakasih bunda.
Aku duduk di lantai sebelah kasur Kamami, karna kasur kami tak terlalu tinggi kakinya. Aku bisa bersandar di salah satu kaki kasur milik Kamami. Kasurku masih berantakan sejak tadi pagi. Hendak ku rapihkan, tapi. Sebaiknya tidak usah, agar bunda tak tahu kalau aku tidak tidur di kasur. Maafkan aku bunda.
Tak ada lagi bintang yang bersinar di kamar ini, yang ada hanyalah lampu kecil yang setia menemani kami tidur. Lampu tidur itu bentuknya kerucut, cukup menarik untuk dipandang. Tapi tak ada lampu selucu buatan Kamami, lampu bintang dari Koran, walaupun warnanya tak terlalu mencolok atau lucu, lampu itu tetap berarti untuk kami. Menyimpan berbagai kerja keras kami. Terutama kerja keras Kamami, bayangan Ibu selalu tergambar ketika aku melihat lampu bintang gempal itu. Aku sangat merindukan Ibu.
“Dea..”
Aku tersentak, ku lihat orang yang memanggilku. Ternyata Kamami.
“Eh, kok kamu nggak tidur mi?”
“Aku hanya pura-pura de, hihihi.. tadi siang hingga sore khan aku sudah banyak tidur, jika harus tidur lagi. Kepalaku akan tambah pening”
“Dasar jahil, sudah. Tidurlah dulu, aku tak mau bunda Romi memergoki kita mengobrol.”
“Kamu mau ke Smp BM?”
“Hah? Apa maksudmu mi?”
“Ayo, kita lihat gladi bersihnya”
“Tapi..”
“Udah, nggak usah tapi-tapian, ayo.”
Kamami bangkit dari tempat tidurnya, menarik tanganku menuju garasi.
…
Dengan sekuat tenaga, kami membuka pintu garasi yang cukup berat untuk ukuran anak 11 tahun seperti kami. Kami juga harus berusaha agar tak terlalu berisik.
“Mi, sebaiknya nggak usah deh” Kataku, karna tiba-tiba aku merasa perbuatan kami salah.
“Hanya sebentar de, sekalian kita mencoba sepeda pemberian bunda Romi”
“Tapi mi..”
“Sudahlah, ayo”
Aku pun mengikuti ajakan Kamami, tapi sebenarnya aku masih takut dengan ajakan ini. Lalu, Kamami mengeluarkan satu sepeda.
“Kita satu sepeda saja ya, agar tak terlalu repot”
“Iya mi”
Kami pun naik sepeda menuju Smp BM yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah bunda Romi.
Dingin, udara malam ini sangat dingin. Air mataku tiba-tiba saja meleleh, padahal tak biasanya aku cengeng seperti ini. Aku rasa, ini adalah tangis kebahagiaan. Karna, kini Lintar dan aku bisa berada di Jakarta untuk menggapai mimpi kami. Menjadi musisi terkenal.
Kawan, sebenarnya. Cita-citaku bukanlah menjadi seorang musisi, tapi menjadi dokter. Karna, aku sangat ingin membahagiakan orang lain dengan kesembuhan mereka. Aku tak pernah mau melihat orang menjadi seperti ayahku, aku ingin membuka praktik murah dan terjangkau untuk semua orang di dunia ini. Dan jika di izinkan, aku ingin sekali membuka sebuah rumah sakit di Jakarta. Untuk Ibuku tersayang.
Ku angkat wajahku, menatap langit luas. Langit malam ini sangat gelap, tak ada bintang satupun, dan bulan hanya terlihat setengah. Awan-awan gempal itu rupanya menutupi sinar bintang. Dan tiba-tiba saja, kini aku ingin merasakan hujan di desaku. Entahlah, mungkin aku sedang rindu desaku. Hihi, padahal baru 3 hari kami di Jakarta.
Di sekeliling kami cukup terang, lampu-lampu jalanan bersinar indah mengiringi perjalanan kami, lampu bulat itu menarik perhatianku. Karna aku belum pernah melihat lampu seindah itu, cahaya lampu itu berwarna kuning menyejukan mata. Jalan yang kami lewati juga sudah legang. Hanya ada satu atau dua pejalan kaki yang kami temui. Aku meninkmati alam ini, alam Jakarta. Rumah bunda Romi memiliki letak yang strategis dengan Smp BM, dan juga kami tak usah melewati jalan raya yang kata Kamami, sangat padat. Karna ada jalan pintas dari rumah bunda ke BM. Melewati taman-taman yang indah pula.
Ada sebuah taman local yang kami lewati barusan, namanya taman permata bintang. Taman itu milik yayasan Betha Melody, sebagai tempat pembelajaran alam (IPA). Juga bebas untuk rekreasi umum. Menurut keterangan yang kudapat dari bunda, taman itu umurnya sama dengan Smp BM. Sekitar 40 tahun, cukup tua bukan? Tanaman disana pun bermacam-macam, memang tak sebanyak taman flora lainnya, tapi setidaknya kami bisa menambah pengetahuan kami akan alam terbuka. Dan setiap setahun sekali, di Taman Permata Bintang, dijadikan tempat untuk pentas seni Smp BM. Acara itu biasa diadakan di tengah semester.
Setelah 30 menit perjalanan, kami pun tiba di depan sebuah gerbang. Gerbang itu sangat besar, kuat, tinggi. Aku ternganga melihat pintu sebesar itu, aku turun dari sepeda, membaca tulisan yang terpampang jelas di hadapan kami. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA BETHA MELODY. Air mataku merembes sedikit dari dalam mata, tulisan itu sangat terang terpampang, dibuat dari lampu yang biasa digunakan di toko-toko perkotaan, tapi tak berkelap-kelip. Sangat indah kawan.
“Ayo masuk” ajak Kamami membuyarkan kebahagiaanku membaca tulisan indah itu. Ku genggam tangan Kamami erat, ia tersenyum padaku. Kami masuk ke dalam melewati sebuah pos satpam kecil yang selalu setia menjaga dan memeriksa orang selain anggota Smp BM.
“Kalian siapa?” Tanya salah seorang penjaga.
“Kami anak kelas satu Smp BM pak” Kata Kamami.
“Kalian teman nona Oik ya?” Tanyanya lagi, kami langsung saling pandang.
“Oh, i..iya pak” bohong Kamami.
“Yasudah, silahkan masuk.”
Kami berdua mengangguk kepada sang penjaga, dan masuk.
…
Selesai memarkir sepeda, kami pun bertanya pada salah satu anak disana.
“Kak, boleh Tanya? Dimana tempat gladi bersih diadakan ya?” Tanyaku pada seorang gadis berambut panjang, ia sangat manis. Kulitnya putih pucat, aku dapat melihat gurat lelah di wajahnya.
“Di aula, tapi. Kalian anak kelas satu ya?”
“I..iya kak” Kata Kamami.
“Lho? Kok bisa disini? Teman Oik?”
“Kami anak penerima beasiswa dari Desa Summer yang tinggal dekat sini kak. Dan kami tak mengenal Oik” Jelasku.
“Berarti kalian anak-anak asuhan bunda Romi?”
“Iya kak” Kataku lagi.
“Mari, kuantar ke aula” tawarnya.
Sikap kakak ini cukup dingin, hanya senyum tipis yang terbentuk sejak tadi. Aku heran, kenapa siswa/I BM sangat menjaga image, tapi menurutku ia sangat tegas. Dan aku mulai menyukai kakak ini.
“Kalian lihat di atas balkon saja, karna anak-anak selain pengisi acara tak boleh asal menonton di bangku-bangku penonton didalam. Sedang dipasangi nama”
“Baik kak” Kata kami berdua.
Kakak itu menunjukan tangga menuju balkon, setelah kami berterima kasih, kakak itu pergi meninggalkan kami.
“Hei mi, nama kakak itu siapa?”
“Waduh, lupa aku! Kakak itu cantik sih”
Ternyata pikiran Kamami sama denganku, hihi.
Tak perlu pikir panjang lagi, kami pun naik menuju balkon Smp BM yang sangat luas, aulanya saja ya Tuhan. Luas sekali! Udara dari AC nya juga sangat sejuk.
Kami hanya melihat beberapa anak di balkon, mungkin karna hari sudah malam. Kami juga dapat memilih tempat duduk dengan bebas.
Kami duduk di samping seorang gadis, wajahnya oriental Jepang. Sangat manis dan charming. Kami tersenyum padanya, ia berganti senyum. Tapi ia tak mengucapkan sepatah kata pun pada kami, aku sudah cukup maklum dengan orang-orang Jakarta.
“Dea, sepertinya kita sudah tertinggal banyak”
“Iya mi, huft.. sudah urutan, ehemm, berapa tuh?”
“17 de, wah. Sepertinya sebentar lagi”
“PRINCE sudah belum ya?”
“Aku nggak tahu de, semoga saja belum”
Aku terus menunggu, pemandangan di depan kami cukup jauh, jadi kami tak bisa terlalu menikmatinya. Setelah 20 menit berlalu, urutan 20 adalah penampil terakhir gladi bersih ini. Dan aku sangat senang! PRINCE adalah penampil terakhir gladi bersih. Ku majukan tubuhku agar dapat lebih jelas melihat kak Alvin, orang yang kuyakin adalah penyelamat hidupku.
Seorang anak lelaki maju kedepan. Ialah vokalis PRINCE, kak Rio. Dan wanita mendekatinya.
“Kamu harus merasa, bahwa ini adalah konser sebenarnya. Ucapkan yang ingin kau ucapkan, dan harus kurang lebih sama dengan hal yang akan kamu ucapkan besok”
“Baik bu” kata kak Rio.
Kak Rio memegang micnya. Ia menatap bangku penonton yang hanya terisi sedikit penampil acara.
“Ehem-ehem, selamat siang semuanya. Kami disini akan membawakan lagu berjudul ‘My Immortal’ dari Evanescence untuk kalian. Saya, ingin menceritakan sebuah kisah menarik yang terkandung dalam lagu ini. Lagu ini menceritakan seseorang yang ingin selalu menjaga orang yang ia sayangi, walaupun itu ditukar oleh semua yang ia punya. Ini lagu special dan berarti untuk saya, karna saya takkan pernah melupakan orang yang sudah menjaga saya. Ketika saya menangis, ketika saya ketakutan.”
Kata-kata kak Rio merasuk ke hatiku, ia pribadi yang dingin hanya diluarnya, kenyataannya ia adalah orang yang sangat pengasih. Aku beruntung ia kini menjadi bagian hidupku.
“Dan walaupun orang itu telah pergi meninggalkan saya, saya yakin. Orang itu akan selalu menjaga saya. Dari Surga, bersama hujan-hujannya yang membawa beribu cinta.”
Apa yang ia katakan? Hujan dari Surga? Ia punya ungkapan yang sama denganku rupanya. Aku tersenyum mendengarnya. Dan sepertinya Kamami menangkap kelakuan anehku, ia menyenggolku.
“Hujan dari Surga?” Tanyanya, aku hanya mengangguk.
Ku putuskan untuk memejamkan mataku, agar aku bisa lebih tenang mendengar suara kak Rio. Kak Rio mulai bernyanyi, suaranya.. Ya Tuhan, suara kak Rio sangat halus dan sangat menenangkan, hatiku sangat tenang mendengar suaranya. Suara dari Surga. Ia seperti seorang malaikat yang sedang bernyanyi untuk kami semua yang beruntung mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?