Minggu, 26 Desember 2010

Rain from Heaven 15-16

Chapter 15
Sahabat Selamanya

“Ada apa de?!” Tanya Kamami menghampiriku, karna teriakanku barusan.
“Keyboard yang sangat cantik!” Kataku.
“Hahahaha, dasar kamu de. Kakak kira kenapa.”
Aku hanya terkekeh melihat kecemasan kedua kawanku itu. Tapi aku bersumpah kawan, keyboard itu sangat cantik, walaupun aku cinta piano. Tapi aku tertarik belajar keyboard. Sepertinya keren.
“Kau suka de?” Tanya seorang yang kukenal. Kak Rio.
“I..iya kak”
“Kau bisa memainkannya?”
“Belum kak, tapi aku sangat tertarik untuk mempelajarinya”
“Sebaiknya kau mempelajarinya dengan Alvin, ia sangat mahir memainkan Keyboard”
“Uhm..”
Aku ragu untuk berkata “Iya” pada usulan kak Rio, karna ku tahu. Angel pasti sangat kecewa jika aku berduaan dengan kak Alvin hanya untuk mempelajari benda elektonik itu.
“Mau nggak de?”
“Aku akan memikirkannya kak”
Kak Sivia dan Kamami mendekatiku, mereka tersenyum seraya menatap kak Rio, kak Sivia mengelus pundakku.
“Ya, sebaiknya kau belajar dengan Alvin. Ia mahir memainkan keyboard. Bahkan lebih ahli daripada Patton.” Kata kak Sivia.
“Sahabatku tak mungkin mengecewakanmu Dea” kata kak Rio mulai meyakinkanku.
“Oh iya, yo. Kamu ngapain disini?” Tanya kak Sivia.
“Hehe, aku mau ambil gitarku yang tertinggal kemarin. Hanya itu, tapi ternyata aku menemukan lebih dari yang kuinginkan”
“Maksudmu?”
“Pacar Iel! Hahahahaha!”
Kak Sivia memukul pundak kak Rio, karna ia malu. Mereka bertiga tersenyum, tapi aku bingung, cemas. Atau apapun yang dapat menggambarkan ketakutan seorang yang tak mau menyakiti sahabatnya sendiri.
“Jadi bagaimana de? Kau mau belajar dengan Alvin?” Tanya kak Rio lagi.
“Aku.. ehem”
Kamami merangkulku, dan berbisik padaku.
“Ikuti isi hatimu sayang, jika ini memang bukan terbaik untukmu. Kau tak usah berkata iya”
Kata-kata Kamami cukup menenangkanku, aku mulai berfikir keras. Berperang dengan 2 pilihan. Sahabat dan .. adik kembar kak Cakka. Dan ku putuskan.
“Terimakasih kak, lebih baik aku menjadi pemain piano saja. Hehe”
Itulah jawabanku kawan, karna kini aku hanya ingin membahagiakan sahabatku. Dan satu alasan lagi, kini aku hanya menunggu waktu untuk menyusul penyelamat hidupku.
Deg .. deg
Jantungku mulai berirama tenang, aku bisa merasakan adanya kak Cakka di dekatku. Ia memang selalu bersamaku.
---
Alvin menatap Dea dari balik pintu ruang music, ia tersenyum tipis mendengar pernyataan Dea. Tapi ia juga tak bisa menerima keputusan Dea, itu agak tak masuk akal. Dea mempunyai potensi besar untuk memainkan berbagai instrument macam piano dan lainnya. Kenapa ia tak mau di ajarinya? Pasti ada satu alasan kuat, Dea menolak tawaran Rio. Pikir Alvin.
Tangan Alvin memegangi dadanya, ia merasakan jantungnya berdetak sangat teratur, dan anehnya. Ia hanya menemukan kejadian ini ketika ia berada di dekat Dea. Hanya karna Dea.
“Kak, apakah putrimu itu adalah Dea? Kalaupun bukan, apa kau mau memberikan perasaanmu pada Dea? Apa kau ikhlas membiarkanku memakai jantungmu yang telah bersatu dengan hatiku untuk menyayangi Dea, bukan putrimu?”
---
Karna aku yakin, kak Alvin adalah adik kak Cakka. Aku ingin menanyai semua tentang kak Cakka padanya. Hanya itu, tak lebih.
‘Bukk’
Sebuah bola basket menimpa kepalaku, sangat sakit.
“Eh, Dea. Kamu nggak apa-apa?” Tanya Kamami yang sedang berjalan disampingku.
“Nggak apa-apa kok mi” kataku bohong.
“Hei! Siapa yang sudah melempar kepala Dea dengan bola basket!?” Teriak Kamami.
Ku dengar, langkah sepatu yang cukup kukenal. Karna saat aku mendengar langkah itu pertama kali, aku langsung menghapalnya, trauma hebat kualami saat itu. Langkah 3 anak yang telah memotong rambutku.
“Kami” kata Keke seraya menatap Kamami tajam.
“Mau kalian apa?” Kamami maju selangkah, demi melindungiku.
“Kami hanya mau berurusan dengan Dea” kata Silvi.
“Apa salah Dea?” Tanya Kamami lagi.
“Yang pasti, sangat besar. Dan tak ada urusannya denganmu” kata Aren.
“Dea adalah sahabatku, dan semua urusannya adalah urusanku!” Seru Kamami, aku ingin mencegahnya berurusan dengan mereka, tapi kepalaku saat ini sangat sakit.
“Kau ini sangat mengesalkan!” Bentak Keke.
“Jika kalian mau mengganggu Dea, hadapi aku dulu!”
“Sil, ambil bola basket itu. 3 lawan 1. Jika kau kalah, kau tak boleh menjadi sahabat Dea. Selamanya” kata Keke.
Kamami dan aku langsung terdiam, dan saling pandang. Aku menggeleng pada Kamami, aku takut Kamami menyanggupi tantangan Keke.
“Aku, akan, menjadi, sahabat, Dea, untuk, SELAMANYA” Kamami mengucapkan itu dengan penuh keyakinan, setiap kata yang ia ucapkan merasuk ke tubuhku hingga membuat seluruh organnya mati seketika, pandanganku mulai pudar, kakiku tak bisa digerakan. Bahkan seluruh bagian tubuhku tak bergerak. Karna, Kamami adalah sahabatku. Selamanya. Bahkan jika aku sudah berbeda dunia dengannya. Kami tetap sahabat, Selamanya.
---
“Pertandingan itu sangat seru, kau menyesal tak melihat gadis berkerudung itu bermain sendirian. Dan mengalahkan tiga anak yang sangat ambisius itu”
Perkataan itu jelas ku dengar, saat jantungku mulai normal dan kesadaranku sudah 90 % kembali, air mataku meleleh lagi ketika aku membuka mata. Dan mendapat kabar bahwa Kamami bisa mengalahkan Keke dkk. Aku tak menyangka Kamami bisa bermain basket dengan mahirnya, dan ia tetap menjadi sahabatku selamanya.
“Hai, kau anak yang barusan bertanding khan? Mau menjenguk temanmu yang pingsan ya?”
“Iya kak, terimakasih ya sudah menjaga Dea”
Itu suara Kamami, aku melihatnya. Kerudungnya agak kumal, mungkin ia banyak jatuh saat pertandingan tadi.
“Dea, kau sudah bangun?”
“Iya mi, ku dengar. Kau menang?”
“Ahaha, kau tak usah memikirkan hal itu dulu, yang penting. Kau harus sehat dulu”
“Aku ingin kau menceritakannya mi”
“Ayo, kita pulang dulu. Aku akan memboncengmu hingga rumah Bunda.”
“Kau sahabatku selamanya?”
“Ya, pasti.”
Aku senang mendengarnya Kamami, aku sangat senang.
Tangannya menggapai pundakku, membantuku untuk bangun. Lalu ia menuntunku menuju lapangan parkir, mengambil sepeda dan memboncengku penuh kasih sayang. Menuju istana kami.
---
Setelah mengantarkan Dea ke UKS. Kamami diajak Keke dkk menuju lapangan basket luar, semua anak memperhatikan gerak-gerik mereka, Kamami mengepalkan tangannya erat, ia memandang benci pada ketiga anak antagonis yang siap menerkamnya apapun yang terjadi. Tak pernah Kamami membenci orang lain, tapi ini berbeda. Mereka mengganggu sahabatnya, yang seminggu dua minggu terakhir telah menyapa hatinya dengan kasih sayang. Dan ia takkan membiarkan siapapun menyakiti sahabatnya.
“Ingat, 1 lawan 3. Kau kalah, pergi dari kehidupan Dea untuk selamanya”
Kamami menatap tajam Keke, ia sibak kerudungnya yang menjulur. Kebelakang. Tanda ia menyanggupi tantangan Keke.
“Dan jika aku menang, kalian bertiga tak boleh mengganggu Dea sekecil apapun perbuatan itu!”
Keke dkk mengangguk setuju, karna mereka yakin. Mereka bisa mengalahkan Kamami yang hanya seorang diri.
“Ayo, kita mulai!”
Bola pun dilempar, tanda pertandingan dimulai. Sebenarnya Kamami sama sekali tak mahir memainkan bola orange itu, tapi demi sahabatnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga. Oliv yang mengetahui hal itu langsung berlari menuju kelas Obiet.
“Kak Obiet! Kamami kak!”
“Ada apa dengan Kamami liv?!”
“Kamami bertanding basket 3 vs 1 dengan Keke dkk!”
“Untuk apa Kamami bertanding seperti itu?”
“Mungkin ini ada hubungannya dengan masuknya Dea ke UKS kak”
Obiet pun geram, ia pun berlari menuju lapangan basket disusul Patton dan Iel, sedang Alvin dan Rio, mereka menuju UKS menemui Dea.

Obiet terpaku melihat Kamami yang jatuh bangun akibat permainan kasar Keke dkk. Dilihatnya, sikut Kamami yang terbalut seragam berdarah, membuat Obiet bergetar hatinya. Cemas.
“Kamami!” Panggil Obiet, menghentikan permainan itu.
“Kembalilah! Jangan kau hadapi 3 gadis berandal itu!” Kata Obiet.
Kamami tersenyum tipis, dan meletakan tangannya di dadanya. Seolah mengatakan suatu hal pada Obiet melalui hatinya.
“Ini demi sahabatku kak”
“Janganlah kau paksa”
“Sahabat selamanya”
Kamami kembali ke permainannya, entah berapa luka memar akibat adu siku dengan ketiga anak yang telah merenggut kebahagiaan Dea lewat rambutnya. Dan memang sebenarnya Kamami sudah tahu tentang pemotongan rambut Dea, ia tahu dari semua gerak-gerik Dea, saat Dea ingin menjauhi Rio, dan ketika ia sangat terkejut sekelas dengan Aren.
Waktu pertandingan hanya dipatok 45 menit saja, dan keluarlah Kamami sebagai pemenangnya, teriakan untuk Kamami bergema, Obiet pun berlari dan langsung memeluk Kamami sejenak, membuat teriakan anak-anak semakin bergema.
“Aku takkan membiarkanmu tersakiti oleh siapapun”
Kamami tersenyum, dan berpaling dari Obiet. Ia menatap Keke dkk yang kalah.
“Sebaiknya kalian tepati janji kalian”
Keke dkk pun berlari meninggalkan Kamami.

Alvin bersama Rio masuk kedalam UKS, melihat keadaan Dea.
“Aku begitu menyayanginya vin”
“Kenapa yo?”
“Karna ia gadis beribu cinta, seperti yang pernah kau katakan”
Alvin terdiam.
“Bantu aku vin.”
“Bantu apa yo?”
“Bantu aku menjaganya”
Alvin tetap diam. Rio langsung merangkul sahabatnya, dan mengajaknya keluar. Demi tak mau mengganggu Dea.
“Aku juga punya sebuah amanah dari kak Cakka yo, walaupun mungkin. Dea bukan putri kak Cakka, tapi..” kata Alvin dalam hati, dan tersenyum tipis mengingat Cakka.
---
Senyuman, hanya itu yang kini bisa ku suguhkan hangat untuk sahabatku selamanya ini. Dan aku sekarang menemukan kenyataan bahwa abadi itu ada. Yaitu Sahabat. Kamami menuntunku berbaring di tempat tidur. Ia terus bercerita sepanjang perjalanan tadi, membuat aku harus meminta maaf pada kak Cakka.
“Maaf kak, untuk saat ini aku tak bisa menemanimu.”
---
10/Desember/2021-pagi. 7.30 WIB.
Musim hujan memang sudah mulai menghadapi keusaiannya, ingatanku masih tertata apik dalam otakku. Semua sudah kurekam, dimulai dari test masuk itu, hingga 11 tahun berlalu. Semua ku tulis di laptop pemberian Bunda, dan kini aku ingin membuat riwayat pengalamanku. Sebelum akhirnya aku harus menyusul sosok itu. Kak Cakka. Ok, akan kulanjutkan saja kejadian yang membuatku harus dan pasti menjadikan Kamami sebagai sahabatku selamanya.
---
Kubuka mataku, sejuk terasa menerpa wajahku akibat angin suhu hujan itu. Kini kupandangi angan-angan, dan merasakan angan-angan yang nyata. Kasih sayang yang selalu setia di dalam hati.
“Pagi Dea, bagaimana keadaanmu?”
“Baik njel, sangat baik malah”
“Kau dan Kamami memang takkan terpisahkan”
“Iya, semoga saja njel, kau juga sahabat kami kok”
Angel hanya mengangguk dan mengambil baju seragamnya, menuju kamar mandi. Kulangkahkan kakiku pasti menuju almari Angel. Aku baru ingat, kotak musikku terbawa di tas Angel tempo lalu.
“Angel, aku ingin mengambil kotak musikku di almarimu, boleh khan?”
“Hemhem”
Deheman itu kuanggap adalah persetujuannya, lagipula ada Kamami yang sebagai saksi mata bahwa aku tak mencuri apapun dari almari Angel.
“Sudah ketemu barangnya de?”
“Sudah mi”
Tak sengaja ketika hendak menutup lemari, lenganku menjatuhkan sebuah benda lain, seperti satu set kamera dan hasilnya.
“Hah?!”
Aku setengah berteriak melihat hasil potretan itu, karna apa?
“Ada apa de?”
Kamami mendekatiku, tapi matanya juga langsung melotot melihat benda yang kupegang.
“Angel mi..”
“Kau dan kak Rio pada malam itu.”
“Tapi ini mustahil mi, untuk apa Angel memotretku?”
“Keke, apa mungkin ini ada hubungannya dengan anak itu?”
Kamami menelan ludahnya sendiri, dan berpandangan denganku. Kami berdua langsung berfikir cepat dan mencari hal lain yang mungkin ada hubungannya dengan foto-foto ini.
---
Dibawah showernya, Angel menepuk pipinya yang agak kurus akibat tinggal di Jakarta. Ia teringat ucapan Keke beberapa hari lalu padanya.
“Kami bisa membuat kak Alvin menjadi milikmu, asalkan kau mau menjadi mata-mataku”
Dan har I itu, ia resmi menjadi teman Keke secara backstreet. Sebenarnya ia tak mau, tapi Angel inggin Dea bisa iri padanya. Bukan ia saja yang iri pada Dea.
---
Selesai mandi, Angel pun berjalan santai menuju kamar, dan dihadapannya. Kamami dan aku menatap Angel tajam.
“Kalian berdua kenapa? Tak biasanya.”
“Kami takkan biasa, jika sahabat yang kami percayai ternyata sudah mengkhianati kami” Kamami angkat suara.
“Maksudmu apa mi?”
“Apa maksud foto ini?”
Tenggorokan Angel langsung seperti tercekat, ia membelalakan matanya saat menatap 2 gambar ku bersama kak Rio sudah tersentuh tanganku.
“A..aku”
“Ada apa njel?” Tanyaku.
“Maaf, aku tak bisa menjadi sahabat kalian lagi”
“Tapi kenapa njel?” Tanya Kamami.
“Karna aku ini egois, aku tak ingin kalah darimu Dea! Atau kau, Kamami!”
Keadaan mendadak hening, aku merasa persahabatan kami diuji mulai dari kejadian ini.
“Kau tak ingat perjuangan untuk mendapatkan persahabatan ini njel?” Tanya Kamami halus.
Aku tahu maksud Kamami, kulanjutkan perkataannya.
“Saat 100 soal itu disuguhkan untuk kita, 4 pelajaran ujian Nasional santapan kita. Pengumuman menyakitkan yang kuterima. Saat sahabatku tak bisa menemaniku. Awal ku berfikir, takkan ada sahabat seperti Lintar. Tapi pikiranku salah njel, aku menemukan kalian. Kamami, kau, Debo, dan Kiki”
“Saat aku harus melukai tanganku dengan pecahan kaca, demi menghidupkan cahaya bintang Debo, demi menyatukan persahabatan kita.” Kata Kamami.
“Saat aku harus melawan rasa sayangku pada kak Alvin, demi menyelamatkan persahabatanku denganmu.” Kataku.
“Langkah demi langkah kita hadapi bersama njel” kata Kamami.
“Kau adalah sahabat kami” kataku.
Hatiku berdesir, aku sangat cemas kawan, karna aku tak mau kehilangan sahabatku. Angel. Angel terus menunduk, kenyataan ini ada didepan mata. Lalu ia tersenyum dibalik perasaannya yang tersayat halus.
“Dosa apa yang kulakukan? Aku begitu bodoh, iri pada dua sahabatku. Termakan omongan Keke. Aku. Aku sangat bodoh, karna aku rela melepas dua sahabat terbaikku.”
Angel masih mencoba untuk tersenyum, tapi senyum indahnya tertelan tangisnya, ia terduduk. Kedua tangannya menyentuh lantai, air mata hangat masih menetes sehingga tercipta bintik-bintik air di lantai berkarpet coklat itu.
Kamami dan aku mendekatinya, mengelus rambut sahabat kami penuh kasih sayang, kini hatiku makin utuh. Karna sahabat-sahabatku telah kembali. Dan kami akan menjadi sahabat selamanya.



Chapter 16
Believed

Air mata sepertinya tak berharga untuk beberapa orang di dunia ini, tapi menurutku, air mata adalah segala-galanya. Karna aku merasa satu tetes air mata yang ku jatuhkan, adalah ungkapan perasaanku. Akan cinta dan persahabatan yang akan selalu ku pegang teguh selama-lamanya.
Hingga sebuah kenyataan itu akan menemuiku, saat jiwa ini sudah rapuh bersama ragaku. Aku ikhlas Tuhan, jika air mataku kau keluarkan untuk semua orang kau kasihi, tapi aku tidak ikhlas, jika Engkau jatuhkan air mata orang-orang yang kau kasihi hanya untukku, aku sama sekali tak ikhlas. Biarkan mereka tersenyum untukku, karna senyuman itu. Adalah energi terbesar di hatiku. Akan kudekap tawa itu, ketika perasaanku sudah tak tertahan lagi. Tak tahan untuk terus menyayangi mereka.
Aku ingin mereka bahagia didekatku, izinkan aku Tuhan. Izinkan aku untuk membuat mereka terus tersenyum padaku, izinkan aku untuk terus melihat wajah mereka yang berseri bagai matahari. Izinkan aku memberi seperti yang dikatakan Kamami. “Tinta putih di hidupmu yang hitam.”
---
Pagi esoknya, detak jantungku sangat teratur, apalagi ketika Angel merangkulku dengan penuh kasih. Ia tersenyum padaku, dan berkata.
“Kau dan Kamami adalah 2 hal yang sangat tak ternilai harganya di hidupku, jika Tuhan mau mengizinkan padaku, aku ingin terus menemani kalian. Bahkan jika aku sudah memiliki pendamping hidupku sendiri.”
“Aku juga akan berdo’a sama sepertimu njel.”
Kamami, Kiki, dan Debo mengeluarkan tiga sepeda pemberian Bunda, kali ini aku ingin membonceng Angel, Angel senang bukan main, dan ia langsung naik di tempat duduk penumpang belakangku, pagi ini aku ingin menjadi supir pribadi sahabatku. Kamami naik sendiri, sedang Kiki bersama Debo. Kamami, aku, dan Angel tersenyum bersama. Seraya menikmati udara dingin kota Jakarta yang langitnya dihiasi lukisan awan-awan kelam.
Kami melaju dengan perasaan yang benar-benar tenang. Syukurlah Tuhan. Kau telah membangkitkan jiwaku kembali.
---
Obiet mengenakan setelan seragam baru yang ia beli kemarin, bersama adiknya Kamami. Sebuah ketukan halus menyadarkannya bahwa ia harus cepat sarapan dan berangkat sekolah.
‘tok-tok-tok’
“Anakku, ayo sarapan. Nanti kau terlambat,” kata suara lembut itu, suara Mama Obiet.
Obiet cepat membenarkan dasinya, lalu mengambil tasnya. Barulah ia berjalan tenang menuju sumber suara.
“Iya, Ma. Obiet sudah siap kok, tinggal sarapan lalu berangkat.”
“Ayo sayang, Mama membuatkan bubur ayam kesukaanmu.”
Mama Obiet merangkul Obiet penuh kasih sayang, ia mengecup kepala Obiet halus, Obiet bisa merasakan cinta Mamanya merembes hingga pikirannya. Tapi pikiran itu langsung ia hapuskan ketika ia mengingat Kamami. Apakah adiknya juga mendapat kasih sayang seperti yang ia dapatkan? Jika iya, Obiet akan semakin menyayangi Mama juga Papanya. Tapi jika tidak, mungkin Obiet akan mencoba untuk membujuk kedua orang tuanya untuk menerima Kamami kembali ke keluarganya.
Obiet dan Mamanya berjalan perlahan menuju meja makan, di sana sudah ada Papa Obiet, seorang lelaki yang dikagumi juga dibenci Obiet. Kagum karna lelaki itu sudah bertanggung jawab akan kehidupannya bersama keluarga. Benci karna lelaki itu orang yang membenci Ibunda Mama, alias Oma Obiet yang saat ini tinggal bersama Kamami. Obiet sebenarnya ingin tahu alasan Papanya ini membenci Oma, apa karna Oma tak mau merestui hubungan Papa dan Mama? Tapi semua itu sangat tak masuk akal, bagaimana bisa seorang anak membenci Ibunya sendiri? Walau ikatan antara keduanya menantu dengan mertua, tapi alamiahnya. Papa tetap anak Oma. Atau, apa karna Papa tak menyukai anak perempuan? Kalau itu alasannya, Obiet akan membela Kamami habis-habisan, ia takkan melepas lagi adik kandungnya itu.
Itulah yang kini ada di pikiran Obiet saat ia menatap Papanya, selalu saja begitu.
Obiet duduk berhadapan dengan sang Mama, suasana rumah Obiet sangat tenang. Walau ada banyak pelayan di rumah ini, semua menjaga ketenangan majikan. Obiet hidup bagai Pangeran yang sesungguhnya. Belum tentu teman-teman PRINCEnya mendapat hidup seperti Obiet, dan mempunyai kedua orang tua yang senantiasa mendampingi Obiet. Tapi tetap saja Obiet tak bisa merasa bahagia, jika Kamami belum mendapatkan semua yang ia miliki.
“Obiet, ini buburnya,” kata Mama Obiet seraya menyerahkan sepiring bubur ayam kesukaan Obiet.
“Terimakasih mam”
“Obiet, baju seragammu baru?”
“Iya mam, aku membelinya kemarin”
“Dengan uangmu sendiri?”
“Iya mam”
“Anak yang baik.” Gumam Papa, membuat Obiet agak tersipu.
“Ya…”
Obiet tak bisa berkata apa-apa, karna saat ini ia merasa sangat canggung dengan orangtuanya. Ia merasa jauh dengan mereka semenjak kedatangan Kamami ke Jakarta. Obiet merasa lebih nyaman bersama Kamami ketimbang bersama orangtuanya.
“Mam, Pap.” Panggil Obiet, menghentikan gerak kedua orangtuanya.
“Ada apa sayang?” Tanya Mama.
“Obiet ingin mengatakan hal yang penting, tapi tolong jangan marah”
“Kami takkan marah sayang, katakanlah” kata Mama.
“Apa kalian ingat dengan Rahmi?”
Obiet memanggil Kamami dengan nama aslinya, karna kedua orang tuanya tak pernah tahu akan nama Kamami.
“Rahmi? Kami tak yakin mengenal nama itu,” kata Papa.
“Bukan kami, tapi hanya kau pap,” kata Obiet seraya memandangi Mamanya yang terbingung-bingung.
“Rahmi, anak itu. Apakah ia baik-baik saja…” lirih Mama, matanya berkaca-kaca.
“Mama masih ingat Rahmi?” Tanya Obiet sangat bersemangat.
“Ya, ia anak perempuan satu-satunya yang Mama sayangi.”
“Anak itu lebih memilih Bundamu lis, mana mungkin kau masih menyayanginya? Jelas-jelas Bundamu sudah meracuni pikiran Rahmi untuk ikut bersamanya.”
“Ya, mungkin Rahmi memang lebih menyayangi Omamu biet”
“Sejak lebih dari 6 tahun, aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi aku tahu, Ia tak pernah sedikitpun berfikir, kenapa ia tak ditahan saat Oma menariknya ke Medan. Ia tak pernah berfikir, kenapa kedua orangnya tega untuk membiarkannya kesepian, dan ia tak pernah berfikir, bahwa kedua orangtuanya tak pernah menyayanginya.”
Papa dan Mama Obiet serentak memperhatikan Obiet yang terus menunduk, Mama tak bisa menahan air matanya, air mata yang amat berharga itu luluh lantah menyentuh pakaian mahalnya. Papa meletakan garpu dan sendok yang sejak tadi ia pegang, dan ikut menunduk. Ia sangat geram, bukan pada keadaan ataupun pada Obiet. Ia geram pada dirinya sendiri, karna ia tak mau jujur. Jika dirinya sangat merindukan Kamami.
“Darimana kau tahu semua itu nak?” Tanya Papa.
“Aku tahu karna aku selalu berhubungan dengannya pap, dan kini ia sudah berada didekatku.”
“Didekatmu?” Tanya Mama ragu.
“Ya, sangat dekat. Ia bersekolah di Jakarta, Mam, Pap.”
“Dimana biet? Dimana?” Mama sangat antusias menanyakan Kamami.
“Di Smp Betha Melody.”
Hati Papa Obiet bergetar, ia merasa kerinduan, kebencian, dan buruk sangkanya pada Kamami runtuh, hancur lebur menjadi serpihan-serpihan batu yang pada akhirnya menjadi pasir halus yang akan hilang di terpa angin. Ia merasakan perasaan tenang luar biasa, begitupun Mama Obiet. Ia terus menangis, karna ia sangat rindu memeluk Kamami.
“Pertemukan Mama dan Papa dengannya nak!” Kata Mama.
Obiet menggeleng,
“Ini belum saatnya Mam”
“Kenapa nak?” Tanya Mama lagi.
“Biarkan Rahmi tenang dengan hidupnya di Smp BM, jangan ganggu adikku dulu.” Kata Obiet penuh benci, karna ia sangat benci jika kedua orang tua yang angkuh ini dengan gampangnya menemui Kamami dan melimpahkan rasa cinta keduanya pada Kamami. Ia ingin, hanya dirinya yang berada disamping Kamami saat ini, hingga Kamami siap untuk bertemu dengan Orangtuanya lagi.
“Kenapa harus begitu nak? Bukankah Rahmi akan senang jika bertemu kami?” Tanya Mama.
“Aku harap, kalian berdua mengerti yang kukatakan barusan.”
“Obiet!” Papa Obiet berteriak dengan penuh amarah.
Obiet pun berdiri dengan tenang, tanpa sedikitpun takut pada Papanya yang marah.
“Jangan pernah kau membawa anak itu ke rumah ini!”
Mata Obiet dan Mamanya langsung membesar karna sangat terkejut, tas yang di bawa Obiet seketika jatuh tak berdaya. Obiet diam mematung, begitupun Mamanya.
“Kenapa, Pap?!” Protes Mama.
“Anak itu sudah punya kehidupan sendiri. Buktinya ia bisa sekolah di Smp elite itu.”
“Asalkan Papa tahu, Kamami bersekolah di sana karna beasiswa! Ia terus berlajar, untuk apa? Untuk mengejar impiannya, menjadi musisi terkenal. Dan bertemu dengan keluarga yang pernah meninggalkannya!”
Setelah gertakan Obiet barusan, semua hening. Hanya suara sesenggukan Mama Obiet yang sedikit terdengar. Papa berdiri, dan menampar pipi Obiet hingga Obiet tersungkur dengan mulut mengeluarkan darah. Mama Obiet sedikit menjerit, dan bersamaan dengan itu. Kamami yang bersepeda sendiri merasa pikirannya terganggu, keseimbangannya hilang dan akhirnya sepedanya oleng. Lalu menabrak tiang lampu dekat Taman Prisma Bintang.
“Aku sangat menyayangi Kamami!” Seru Obiet dan langsung mengambil tasnya lalu berlari meninggalkan keheningan itu.
---
Kamami terjatuh, dan kakinya terkatuk batu. Aku dan yang lain langsung menolongnya. Ku lihat darah segar keluar dari kaki Kamami, Angel memekik pelan dan langsung mengambil handphone, sepertinya ia ingin menelpon seseorang, aku menahannya.
“Jangan njel, kita saja yang menangani Kamami, ayo antar Kamami ke sekolah,” saranku. Semua setuju dengan saranku, kami pun mengantar Kamami ke sekolah lalu kami langsung menuju poliklinik sekolah.
“Sekarang Debo dan Kiki sebaiknya melaporkan ke kelas Angel dan aku, katakan kami sedang mengurus teman kami yang kecelakaan.” Kataku.
“Baik!” Seru Debo dan Kiki besamaan.
Saat ini sekolah masih sepi, pengurus UKS pun baru seorang yang datang. Ia kak Ify, kak Ify langsung menangani kaki Kamami yang cukup banyak mengeluarkan darah. Aku dan Angel tetap menunggui Kamami, hingga kak Ify selesai membalut dengkul Kamami.
“Kakinya terluka cukup dalam, benturan yang diakibatkan kejadian tadi mebuat tulang kaki Kamami sedikit retak, tapi tidak apa, 4-5 hari juga retakan itu sembuh. Asal Kamami bisa menjaga aktivitasnya.”
“Terimakasih kak” kataku dengan Angel bersamaan.
“Iya, sama-sama. Aku keluar dulu ya. 10 menit lagi bel.”
“Sekali lagi, terimakasih kak” kata Angel.
Kak Ify mengangguk dan meninggalkan kami bertiga. Angel dan aku langsung menemui Kamami yang senyum-senyum.
“Dih, kami khawatir kenapa kamu masih bisa senyum-senyum?” Tanya Angel, aku hanya tersenyum.
“Masa’ hari ini aku nggak masuk sih? Hanya terkatuk batu biasa.” Kata Kamami santai.
“Woo, nggak bisa begitu dong mi, kakimu harus membaik dulu. Minimal sehari ini kau harus terus tidur. Hari ini kami akan menemanimu, jadi kami izin tak masuk.” Jelasku.
“Benarkah? Heuh, jika kalian tak masuk. Siapa yang mencatatkan materi hari ini? Kalian sekolah saja sana” kata Kamami.
“Bagaimana denganmu mi?” Cemas Angel.
“Aku akan pulang diantar Bunda.”
“Sebaiknya dengan kak Obiet” saranku.
“Jangan de, sebaiknya kak Obiet jangan tahu dulu. Jika ia menanyakanku, katakan padanya bahwa ia boleh menemuiku pulang sekolah nanti”
Kamami memang anak yang mengagumkan, ia sama sekali tak mau merepotkan orang lain. Berbeda denganku yang hanya bisa menyusahkan orang disekitarku.
“Kalian harus memegang kepercayaanku ini, I Believe you, guys.”
“Baik, kami akan memanggil Bunda untuk mengantarmu” kata Angel. Aku menggandeng tangan Angel menuju ruang guru.
---
Obiet berjalan menuju kelasnya dengan perasaan tak keruan, beberapa anak yang berpapasan dengannya langsung menanyai sebab pipi Obiet yang memar. Seperti yang dilakukan Oik saat ia menghadang Obiet.
“Pagi kak Obiet, lho? Kenapa pipimu?”
“Pagi juga ik, nggak apa-apa kok”
“Bohong ya, memar begitu dibilang nggak apa-apa. Heuh”
“Haha, yasudahlah.”
“Sini kulihat dulu kak”
“Benar, aku nggak apa-apa. Kamu lihat Kamami?”
“Kamami? Aku belum melihatnya kak, tapi tadi kulihat Dea sudah masuk kelas”
“Dea nggak sama Kamami?”
“Nggak kak”
“Yasudah, makasih ya”
Obiet langsung berlari menuju kelas 7F.
---
Aku hampir terlambat masuk kelas, kelas pun sudah ramai, hanya beberapa bangku yang masih kosong. Aren menatapku tajam, sepertinya ia sangat membenciku, sebenarnya kesalahanku apa sih ke Aren dan teman-temannya itu? Lama-lama aku kesal juga, tak kutanggapi tatapan matanya. Dan ku sapa Agni.
“Pagi Agni.”
“Pagi de, Kamami mana?”
“Kamami sedang sakit.”
“Sakit apa?”
“Tadi ia menabrak tiang lampu saat bersepeda. Hihi”
“Dasar anak itu, tidak hati-hati.”
“Doakan saja Kamami cepat sembuh”
“Amin..”
Ku tepuk pundak Oliv yang sedang sangat serius mengobrol dengan Ray.
“Eh, Dea. Aku nggak sadar kamu udah datang. Kamami dimana?”
“Haha, serius banget ngobrol sama Ray.. hihi, Kamami sakit, tadi tertabrak tiang lampu”
“Idih, dasar! Hehe, tadi pagi tertabraknya?”
“Iya”
“Nggak hati-hati banget tu anak”
“Doain aja deh liv, Gaby mana?”
“Tadi sih ke kamar mandi.”
“Ok,”
Baru saja mengobrol sejenak, kak Obiet memanggilku. Benar dugaan Kamami, kak Obiet akan menanyakan keberadaannya. Aku langsung keluar menemui kak Obiet.
“Kamami kemana de?”
“Tadi Kamami tertabrak tiang lampu kak, tulang kakinya sedikit retak. Mungkin pulih 4-5 hari lagi”
“Hah?! Kamu bawa kemana?”
“Ke UKS kak. Tapi baru saja diantar pulang oleh Bunda”
“Aku akan menyusulnya”
“Eits kak, kata Kamami. Kak Obiet baru boleh menemuinya pulang sekolah nanti, nanti Kamami marah lho kak”
“Begitukah?”
“Iya kak”
“Yasudah, terimakasih ya de. O iya, mau Tanya satu hal lagi, apakah Kamami sudah mulai menyukai seseorang?”
Aku diam terpaku mendengar pertanyaan kak Obiet, seingatku selama ini Kamami hanya bilang, bahwa anak lelaki yang ia sayangi hanya kak Obiet. Kata Suka dengan Sayang itu sama nggak ya? Heum..
“De?”
“Eh, iya kak. Kamami tak pernah menyebut siapapun kecuali kakak.”
Senyum kak Obiet terurai lebar, perasaannya langsung senang bukan main, dan tak biasanya pipinya me-merah rona karna malu. Kenapa harus malu disayang adik sendiri? Dasar kak Obiet.
“Syukurlah,” gumam Kak Obiet, tapi aku masih bisa mendengarnya. Kenapa ia bersyukur? Oh mungkin karna kak Obiet bahagia adiknya juga menyayanginya.
“Pulang sekolah nanti, PRINCE akan main ke rumah Bunda, pulang bareng ya!”
“Iya kak, dengan senang hati”
Kak Obiet pun berlalu, meninggalkanku yang penuh tanda Tanya akan sikapnya.
---
Aku merasa sangat bosan hari ini, pelajaran Bahasa Inggris yang kusukai pun seperti hanya angin lalu dimataku. Ada apa ini? Apa karna Kamami tak ada disampingku? Wah-wah, syndrom sahabat sih ya. Dan karna aku sudah sangat bosan, aku pun minta diri untuk ke kamar mandi. Menyegarkan wajahku yang mungkin kini cukup kusam juga kusut.
Aku berjalan agak cepat, karna walaupun aku bosan. Aku tak boleh tertinggal pelajaran, catatanku akan dibawa Kamami nantinya. Tapi sesampainya di kamar mandi, sebuah tangan mendekap hidungku, membuatku lemas dan akhirnya … pingsan.
---
Keke tertawa puas melihat gadis dihadapannya tersungkur lemas tak berdaya, Silvi pun begitu. Ia tertawa paling licik, sedang Aren hanya tersenyum licik. Ketiga orang itu terus memandangi kemenangan mereka. Meremehkan gadis berkerudung yang melawan mereka tempo lalu, karna sekarang Kamami tak ada di sekolah, jadi tiga orang itu bisa mengerjai Dea habis-habisan.
“Dasar gadis Desa yang takkan pernah sukses di Jakarta.” Kata Keke.
“Ya benar, ia terlalu banyak mengkhayal” kata Silvi.
“Mau dibawa kemana gadis ini ke?” Tanya Aren.
“Ke gudang lah, tempat itu selalu sepi.” Kata Keke, ketiga orang itupun mengangkat tubuh Dea menuju gudang.
Sessampainya di gudang, mereka langsung melemparkan tubuh Dea ke tumpukan kardus-kardus bekas, sekali lagi mereka tersenyum licik lalu meninggalkan Dea dengan pintu gudang yang dikunci.
---
Nafasku terengal karna sekapan tangan biadab itu, sebenarnya siapa yang sudah membuatku sampai pingsan begini? Aku takkan melepas orang yang berbuat hal ini padaku, aku bukanlah Dea yang lemah lagi. Dan aku yakin orang itu adalah Keke bersama kawan-kawannya. Dasar 3 orang yang tak pernah punya hati. Sekarang aku harus keluar dan berbuat perhitungan pada 3 anak itu, tapi.. hah?! Aku disekap di dalam gudang! Ya Tuhan, tolong aku..
Aku terus menggedor pintu gudang, supaya ada orang yang mendengar pukulan-pukulanku, ya Tuhan. Tolong aku, di sini sangat gelap. Banyak kecoa yang sangat kubenci. Tuhan, aku sangat takut. Aku takut, sudah hampir 10 menit memukul-mukul pintu gudang, tapi hasilnya nihil. Gudang memang terletak cukup jauh dari gedung sekolah, tapi apakah tak ada orang yang lewat sini? Apa aku takkan bisa keluar? Akankah aku berada di sini hingga ajalku tiba? Tuhan, aku ingin bertemu Kamami, kak Rio, Angel, kak Alvin, kak Obiet, kak Patton, kak Iel, kak Via, kak Ify, kak Shilla, kak Zeze, terutama.. Ibu.
Keadaan di sini sangat berantakan dan menyesakan nafasku, aku sudah sangat susah bernafas, jantungku makin perih terasa, ternyata penyakit itu merambat ke kepalaku. Kepalaku langsung pening, sangat pening jika aku bertambah panik. Tuhan, tolong aku.. tolong..
---
Obiet menunggui Dea di depan kelasnya, ia mengomando bahwa teman-teman PRINCE dan rumah Bunda untuk menunggunya di depan gerbang, ia ingin banyak bertanya pada Dea. Tapi hingga Oliv dan Gaby keluar, Dea tak terlihat sama sekali.
“Liv, by. Dea mana?” Tanya Obiet.
Oliv dan Gaby langsu ng saling pandang, mereka menunjukan raut wajah khawatir.
“Kami tak tahu kak, tadi tiba-tiba saja Dea menghilang.” Jelas Oliv.
“Menghilang? Bagaimana bisa?”
“Sejak istirahat tadi, kami sudah mencarinya. Tapi Dea tetap tak ada. Dea menghilang ketika ia pamit ke kamar mandi sebelum istirahat pertama” kata Gaby.
“Aduh, bagaimana ini jika Kamami tahu. Ia tak bisa beristirahat dengan tenang..” gumam Obiet dalam hati. Ia pun pamit diri dari Oliv dan Gaby, dan langsung berlari menuju gerbang sekolah.
---
“Dea mana biet?” Tanya Rio.
“Menurut keterangan Oliv dan Gaby, Dea menghilang”
“Hilang?!” Seru semua anak.
“Hilang kemana biet?” Tanya Alvin cemas.
“Aku nggak tahu vin, sebaiknya sekarang kita cari Dea saja. Daripada berlama-lama cemas” kata Obiet, semua mengangguk setuju akan usulan Obiet. Angel, Kiki, Patton, dan Iel tak ikut mencari. Dengan alasan ingin menenangkan Kamami. Sebenarnya Obiet juga ingin menemui Kamami, tapi ia lebih memilih untuk mencari Dea, agar ia bisa melihat Kamami dalam keadaan tenang.
---
“Tolong..” lirihku, suaraku sudah hampir habis, nafas pun sangat sulit. Tuhan.. tolong. Aku terus berusaha menggedor pintu, tapi tetap saja tak ada yang mendengarnya. Aku sudah sangat putus asa saat ini.
“Dea!!”
Ada suara yang memanggil namaku! Itu suara kak Rio! Ia mencariku, ya Tuhan!
“Kak Rio!!” Aku berteriak sejadi-jadinya, seraya makin semangat menggedor pintu. Detak jantungku langsung merasa tenang, sepertinya kak Cakka sedang berada didekatku.
“De? Kamu disini?” Tanya kak Rio dari luar.
“Iya kak, Dea disini..” perkataanku sudah sangat lemah, tubuhku semakin lemas. Aku sudah tak kuat lagi untuk sadar, jantungku sangat sakit.
“Kamu menjauh de, kami akan mendobrak pintu ini”
Aku menyeret tubuhku paksa, seperti suster ngesot di film-film horor. Sebuah dobrakan kencang terdengar dari pinru kayu gudang, setelah beberapa kali. Barulah kak Rio bersama 2 orang lainnya berhasil membuka pintu gudang, mataku sudah agak pudar untuk melihat kak Rio.
“De, kamu nggak apa-apa?” Tanya kak Rio panik, ia langsung mengelus jidatku. Setelah melihat dengan jelas, ternyata yang bersama kak Rio itu, kak Alvin dan kak Obiet.
“Kepalaku sangat sakit kak”
Kak Rio pun menggendongku dan mengantarku ke UKS.
---
Setelah menanganiku, kak Rio mengantarku dengan sepeda Bunda. Ku peluk erat pinggangnya, karna aku merasa seorang malaikat datang menyelamatkanku untuk kedua kalinya. Ialah penyelamat hidupku yang kedua, kak Rio.
“Kamu sudah sehat de?” Tanya kak Rio.
“Sudah lumayan kak, walau tubuhku masih sedikit lemas”
“Kamami pasti senang melihatmu de” kata kak Obiet.
“Iya kak”
Ku lirik kak Alvin yang mengendarai sepeda bersama kak Obiet sebagai supirnya, ia diam saja. Tak menunjukan kecemasannya padaku, rasa sayang memang tak usah terlalu ditunjukan, tapi aku ingin sekali kak Alvin sedikit mengkhawatirkan keadaanku, sedikit saja. Ia memang tak sama dengan kak Cakka, ia terlalu dingin.
Tak berapa lama, kami tiba di rumah Bunda, Kamami dengan susah payah langsung menyambutku, Angel ingin membantu tapi Kamami tak membolehkan Angel membantunya. Ia ingin berusaha sendiri, memelukku dalam kecemasannya.
“Aku percaya, kau akan selamat.”
“Iya mi, maafkan aku membuatmu cemas”
“Kata siapa aku cemas? Aku ini kesal!”
“Kesal?”
“Kesal karna kau seenaknya menghilang. Kau bawa pula kakakku ini.”
“Hahaha”
Kami tertawa bersama, senang sekali Tuhan. Terimakasih Tuhan, kau telah memberikan kebahagiaan ini kembali.
---
Keke menatap wajahnya di cermin, ia tersenyum tipis lalu lama kelamaan melebar, menunjukan paras manisnya pada cermin. Seakan berkata, “Siapakah yang paling cantik di dunia ini? Pasti kau akan menjawab, aku.” Keke usap peluh di pipinya, langsung ia tepuk-tepuk kedua pipinya. Agar ia sadar, itu tak mungkin terjadi. Karna ia masih kalah cantik dari Mamanya, Neneknya, maupun semua gadis Holywood di luar negri sana. Ia pun meringis kesakitan, dan ia memegangi pundaknya. Darah segar menyentuh tangan kecilnya.
“Luka sialan.”
Luka yang ada di pundaknya adalah perbuatan kakaknya sendiri, Lisa namanya. Kakak perempuan yang sangat ia sayangi, tapi Lisa adalah seorang psikopat yang dapat membunuh siapa saja yang ada didekatnya. Kedua orang tua Keke memasukan Lisa ke sebuah sel tersembunyi di bawah tanah, dan Keke selalu menangis jika melihat kakaknya menangis di dalam sel.
Keke sangat ingin mengeluarkan kakaknya, tapi tangannya selalu tersengat listrik yang menyelubungi jeruji sel tersebut, ia hanya bisa menangis bersama kakaknya, sore ini ia mengunjungi kakaknya, dan saat ia mengunjungi kak Lisa, kak Lisa sedang sangat mengamuk karna tak tahan oleh semua tekanan yang menerpanya. Kak Lisa melempar benda yang cukup tajam pada Keke. Alhasil benda itu merobek kulit pundak Keke yang halus nan indah. Tapi Keke menahan itu semua, karna ia percaya. Kakaknya selalu mencintainya, penyakit itu yang membuat kakaknya menjadi seorang iblis pembunuh. Keke akan tetap percaya pada kakaknya. Sampai kapanpun.
Keke melekatkan perban pada pundaknya, tanpa dibantu seorangpun. Karna walaupun ia ingin dibantu, ia ingin anggota keluarganya sendiri yang membantunya. Tapi itu mustahil, kedua orang tua Keke walaupun sangat sayang pada Keke, keberadaan mereka kini sulit dirasakan Keke.
Keke sebenarnya anak yang manis, tapi karna ia melihat begitu banyak penyiksaan yang dilakukan kakaknya ataupun yang dilakukan pada kakaknya, Keke menjadi anak yang sedikit psikopat juga ambisius. Ia ingin mendapat semua yang ia inginkan, agar suatu saat ia mempunyai kemampuan untuk membebaskan kakaknya. Dan jika suatu saat nanti ia bisa bertunangan dengan Rio, itu kemungkinan kuasa di rumah menjadi lebih dekat dengannya. Karna Mamanya pernah bilang, sangat menginginkan Keke mendapat pendamping hidup yang berkuasa, maka semua kekuasaan akan tercapai. Mungkin keke terlalu dini untuk memikirkan hal ini, tapi ini semua ia pikirkan demi kakaknya. Ya, demi kak Lisa.
---
Kulepas jaket yang telah lama menempel di tubuhku, lalu ku lentangkan tubuhku sambil menatap langit-langit. Kata Percaya mengiang-ngiang di pikiranku, kata yang begitu dahsyat untuk manusia biasa. Kepercayaan itu sulit didapat dan diterima. Ketika kau yakin akan mempercayai seseorang dalam hidupmu, kau harus melihat kelakuannya dulu. Baru kau akan menerima kepercayaan itu, dan ketika kau melakukan hal yang dapat diterima oleh orang lain, maka kau akan mendapat kepercayaan dari orang lain. Aku ingin mendapat kepercayaan penuh dari semua sahabatku, kepercayaan yang dapat ku pertanggungjawabkan suatu saat nanti.
Kamami dan Angel mendekatiku, mereka tersenyum lebar padaku. Aku tak mengerti dengan kelakuan mereka.
“Bagaimana rasanya dibonceng sekaligus digendong pujaan hati?” Tanya Angel meledek.
“Lho? Maksudmu pujaan hati?”
“Hihi, kak Rio lah de! Siapa lagi?!” Kamami meledekku habis-habisan.
“Idih, dasar kalian ini. Bisanya meledek saja!” Kesalku.
“Hahahahahaha” kami tertawa bersama, lalu aku teringat percakapanku dengan Kak Obiet tadi pagi.
“Kamami, kak Obiet tadi pagi menanyai hal yang aneh”
“Apa-apa de?”
“Kak Obiet bertanya padaku, apakah kau sudah menyukai seseorang atau belum.”
“Lalu kau menjawab apa?”
“Sudah.”
“Jah! Kapan aku suka sama orang lain??”
“Sama kak Obiet khan?”
“Eh..”
Kamami terdiam, sama seperti kak Obiet, pipinya merona. Seperti orang malu ketika disinggung orang yang disukai.
“Kamu juga, pipimu merona malu.”
“Ah, nggak kok de! Sok tahu!”
Ada sesuatu yang aneh pada Kamami juga kak Obiet, apakah mereka benar-benar saling menyukai? Bukankah itu tak boleh terjadi? Aku harus menyelidikinya. Jika hal itu benar, aku akan menghentikan perasaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini