Minggu, 26 Desember 2010

Rain from Heaven 21

Takdir yang Manis

Waktu adalah hal terpenting dihidupku, karna setiap detik, setiap menit, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun yang kupunya begitu berharga, semua pesan haru dan bahagia selalu menyapaku dengan mentari yang menyinarinya. Tak lupa kulihat tetesan waktu yang mengiringi sekaligus menyelimuti orang-orang yang kusayang itu menyapa dengan senyumnya. Sahabat tak ubahnya waktu, mereka menerkam cintaku, memilikinya agar aku bisa merasakan terkaman cinta dari mereka. Agar aku bisa tersenyum seindah langit biru dan seanggun langit malam.
---
10 April 2015
‘Dak-dak-dak’
“Dea!!” Teriakan itu menghentikan langkah gadis bernama Dea bersama teman-temannya. Dea dan tiga temannya langsung berkeringat dingin, gadis berambut panjang itu menoleh ke sumber suara.
“Kalian ini sudah kelas 3, tetap saja tidak bisa diatur!” Bentak orang bersuara keras tadi. Dea dan kawan-kawan hanya bisa menunduk.
“Yasudah, kalian tidak boleh mengikuti pelajaran pertama, kalian berempat harus dihukum hormat di hadapan tiang bendera!”
Mata keempat orang ini langsung melebar, hingga kacamata Dea agak merosot.
“Pelajaran pertama adalah matematika, Pak. Jika kita tidak ikut, nilai matematika kita di UN nanti akan merosot.” Jelas Dea.
“Ini semua karna kesalahan kalian sendiri! Sekarang cepat hormat pada Bendera!”
‘Tak-tak’ suara langkah seseorang langsung menghentikan langkah Dea dan teman-temannya.
“Sebaiknya pak Burhan tidak menghukum mereka di pelajaran saya.”
“Tapi, Bu.”
“Dea, Icha, Melisa, Emil. Cepat ke kelas.”
Dengan wajah sumringah Dea, Icha, Melisa, dan Emil pun berlari menuju kelas mereka.
“Ibu Mery terlalu baik pada semua siswa.”
“Mereka itu sudah kelas 3 Pak, tentu saya mengutamakan pelajaran mereka ketimbang menghukum mereka.”
Pak Burhan selaku guru BP pun pergi dengan terus mendumal, Bu Mery kembali ke kelas dengan senyumannya yang khas. Suara sepatunya terdengar menggema di lorong SMAN 1 Summer, sekolah Dea dan teman-temannya bersekolah. Bu Mery memasuki kelas berlabel 12-3. Dea yang duduk bersama Emil segera merapihkan buku mereka masing-masing, mereka kini siap belajar matematika.
“De, kamu nyadar nggak sich? Bu Mery tambah cantik.”
“Mil, kamu nyadar nggak sich? Bu Mery itu selalu cantik.”
“Hahahaha.”
Semua mata langsung tertuju pada Emil dan Dea, Bu Mery memberi isyarat jangan berisik, lalu Dea dan Emil pun terdiam.
“Kamu sich, De.”
“Jeh, kamu sendiri yang mulai.”
“Dea, Emil.” Kata Bu Mery.
“Maaf, Bu.” Kata kedua anak berkacamata ini.
Pelajaran berlangsung serius, membahas soal-soal persiapan Ujian Nasional sangat mengasyikan bagi semua anak 12-3, termasuk Dea. Ia punya sebuah impian, masuk ke Universitas Indonesia jurusan kedokteran dengan beasiswa penuh, walau itu tidak mungkin untuk seorang anak desa seperti Dea.
“Pelajaran hari ini cukup sampai di sini, ingat perkataan Ibu, teruslah melangkah hingga kau dapat menggapai semua impianmu, teruslah mempunyai impian walaupun impian itu mustahil di jangkau oleh akal sehatmu, kalahkan akal sehatmu dengan semua impianmu.”
Kata-kata Bu Mery selalu membuat Dea semangat untuk kembali ke Jakarta, memenuhi janjinya pada Bunda Romi, gurunya semasa SMP dulu, dan menimba ilmu lebih dalam untuk focus menjadi dokter.
“Bu Mery!” Panggil Dea ketika Bu Mery baru saja keluar dari kelasnya. Bu Mery dengan kerudungnya yang asri dan senyumnya yang teduh membuat Dea menyayangi Bu Mery seperti Ibunya sendiri,
“Ada apa nak?”
“Dea mau bertanya pada Bu Mery, tapi tak pernah berani mengutarakan ini.”
“Apa Dea terburu-buru?”
“Emm..”
“Jika Dea tidak terburu-buru, kita bisa bicara nanti sepulang sekolah.”
“Benarkah Ibu mau menemaniku pulang sekolah nanti?”
“Iya sayang, Ibu sudah berjanji padamu, dan Ibu akan menepatinya.”
“Janji..”
“Iya, sudah ya De, Ibu mau ke kelas kedua.”
“Iya, Bu. Mari.”
Janji, sesuatu yang membuat Dea merasakan hidup ini, janji yang takkan ia lupakan adalah janji penyelamat hidupnya, Rain from Heaven. Melisa menepuk pundak Dea pelan, Dea menoleh.
“Ada apa, Mel?”
“Antar aku ke kantin yuk, aku belum sarapan.”
“Ayo, lagipula pelajaran kedua adalah Bahasa Indonesia, Pak Yudi sungguh orang yang baik.”
“Tapi kau yang bilang ya?”
“Iya Mel.”
Dea dan Melisa atau lebih sering dipanggil Meli, berjalan menemui Pak Yudi yang selalu ada di Perpustakaan. Setelah pamit keduanya pun menyanggupi perut Meli yang kosong. Meli memesan sepiring bubur sedang Dea hanya membeli roti isi coklat.
“Hari ini hujannya indah lho De.”
“Hujan selalu indah untukku.”
“Kamu tak pernah berubah, sejak kelas 1 kau selalu membicarakan Hujan. Sebenarnya ada apa dengan Hujan?”
“Nothing special.”
“Ah, bohong ni Dea.”
Dea hanya tersenyum menanggapi tuduhan Meli, ia kembali melahap rotinya, hujan memang hal yang berharga untuk Dea, kara setiap tetes hujan meruntuhkan sedikit demi sedikit perasaan bersalah Dea yang selama 5 tahun sama sekali tak memberitahu kabarnya pada sahabat-sahabatnya di Jakarta.
“Kau ini akan menjadi orang yang sukses, De.”
“Hah? Kenapa kau bilang seperti itu, Mel?”
“Nggak tahu kenapa, kalau lihat semangat kamu tu, aku jadi bahagia.”
“Bahagia gimana maksudnya Mel?”
“Semangat kamu itu selalu menjadikan orang-orang disekitar kamu seperti melihat cahaya, De. Seperti melihat bintang.”
“Ahaha, daya imajinasi kamu bagus Mel.”
“Nggak, De. Aku serius kok, impian kamu sebagai dokter, akan ku dukung selama aku masih ada di dunia ini, aku akan tunggu kamu jadi dokter.”
“Mel..”
“Inget, De. Aku menunggumu.”
“Aku pegang janji ini sekuat aku mampu menahannya, dan akan kukeluarkan jika memang itulah saatnya. Aku akan merindukanmu, jika kita sudah lulus nanti.”
“Aku juga, aku bahagia mendapat sahabat sebaik dan seberani kamu, De.”
“Kamu lebih baik Mel, kau sahabat yang sangat kusayangi karna kau sudah mengajariku tentang kehidupan.”
“Jika kau berhasil kuliah dan sukses di Jakarta, jangan pernah lupakan aku, haram hukumnya. Hehe.”
“Iya, Mel. Aku akan mengingatmu, juga Icha dan Emil.”
Dea dan Meli kembali melahap makanan mereka, sebuah janji kembali menghampiri Dea, begitu banyak janji yang ia pegang, dan ia tak pernah tahu, apakah ia bisa menepati semuanya? Semoga bisa, pikir Dea.
15 menit berlalu, dan keduanya telah menyelesaikan sarapan mereka, Dea dan Meli pun bergegas masuk kelas Bahasa Indonesia yang ternyata baru saja berlangsung, Dea dan Meli mengambil 2 kertas soal berkode 11 dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Meli masih menggenggam tangan Dea dan beru melepasnya ketika mereka berpisah duduk.
Emil pun menyenggol lengan Dea,
“De, kamu habis darimana?”
“Dari kantin.”
“O iya benar, tadi kata Meli dia belum sarapan.”
“Yap, itu kamu tahu, baru sampai nomor berapa?”
“Nomor 5, De.”
“Makasih, Mil.”
“Sip, De.”
Pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung cukup lama, karna setiap nomor dibahas mendetail, soal yang paling lama adalah soal tentang paragraph, penerapannya cukup sulit, karna di dunia baca terdapat banyak paragraph dengan berbagai jenisnya. Siswa/I kembali disuguhkan oleh pertanyaan. “Apa jenis paragraph di atas?” Dan murid-murid tak sedikit yang salah menjawab, bacaan yang cukup menguras waktu untuk satu soal pun membuat para murid agak lelah untuk menjawab soal. Tapi itu dapat di atasi jika para murid rajin membaca.
“Bacalah apapun bacaan yang positif, rasakan bahwa kau adalah bacaan yang kau baca, ketika kalian sudah bersatu, izinkan otakmu untuk berimajinasi mengimbangi semua bacaan itu, bahkan pernyataan ilmiah bisa kau arungi dengan lancar asalkan kau gunakan kedua sisi otakmu jangan memakai hanya 1 sisi, walau agak sulit, tetap berusaha karna semua unsur kehidupan berujung pada sinar kejelasan yang diantarkan usaha dan yang terpenting, Do’a.”
Kata-kata Pak Yudi pun mengiang di telinga Dea ketika ia hendak membaca apapun jenis bacaan itu, dan buktinya berhasil. Semua tak terasa sulit jika ada usaha. Dan juga yang penting, Do’a. Allah SWT memang terus menghadapi kehidupan ini, berputar-putar dengan tujuan sebuah sinar, titik terang ke-ridha-annya selalu diidamkan semua umatnya. Menuju Surganya yang indah menawan.
Dea selalu berusaha mengimbangi kedua sisi otaknya, otak kanan dan kiri, awalnya sulit, tapi benar saja. Usaha memberikan keringanan dalam hidup, kini ia tak terlalu lelah dalam membaca soal-soal Bahasa Indonesia dari Diknas, ia malah senang ketika mengerjakan semua soal persiapan UN mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menarik saat dibaca, dan Mudah untuk dijawab. Begitulah harusnya prinsip semua Murid Indonesia menghormati Bahasanya sendiri.
Tak ubahnya pelajaran Bahasa Inggris, atau sering juga disebut dengan nama aslinya, English. Hampir semua murid SMAN 1 Summer menyukai mata pelajaran ini, karna selain guru Bahasa Inggris yang menyenangkan, juga karna English mempunyai tingkat kesulitan yang menantang, murid tak harus menghapal semua arti Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia, Murid hanya perlu memahaminya (khusus untuk mengerjakan soal tulisan), salah satu kunci English adalah Vocabulary, semakin banyak kita membaca artikel English dan mengartikannya, Insya Allah kita semakin mahir pada mata pelajaran ini, beberapa kata di Indonesia pun ada yang sama dengan English, seperti Radio = Radio, lalu yang hampir serupa Ball = Bola. Dan satu lagi, grammar. Sama halnya Bahasa Indonesia dengan EYDnya, Bahasa Inggris pun harus mempunyai EYD yang disebut Tenses. Pelajaran Bahasa sebenarnya hanya permainan kata yang perlu di pahami juga di aplikasikan di kehidupan sehari-hari. Maka dari itu SMAN 1 Summer mengadakan 2 hari Bahasa, hari kamis dinamakan ‘berbahasa Indonesia yang baik’ dan hari Jum’at ‘let’s talk in English!’.
“Mungkin ini memang takdir yang manis, bukan seperti yang kupikirkan sebelumnya.” Gumam Dea.
‘kringgggg’ suara bel pulang berbunyi sangat nyaring mengagetkan setiap orang yang masih belajar. Begitu juga untuk anak-anak kelas 12-3 yang sedang asyik belajar Bahasa Inggris, guru Bahasa Inggris khusus kelas 3 yang bernama Pak Janet pun berdiri dan berucap sesuatu dalam Bahasa Inggris.
“Let’s get the star in your heart, and give it to our loved person.”
Walau pendek, beberapa kata dalam bahasa asing itu mampu menyihir orang-orang yang sedang kelelahan dengan perasaannya, orang-orang yang kita sayangi memang selalu memberikan energi tersendiri untuk hati. Sungguh luar biasa hal yang dinamakan, kasih sayang.
Dea merapihkan barang-barangnya, ia hampir saja lupa akan janjinya dengan Bu Mery, jika bukan karna Meli yang mengingatkannya ia mungkin sudah pulang dan membuat Bu Mery kecewa. Dea pun pamit dari sahabat-sahabatnya dan berjalan tenang menuju ruang guru, ruangan yang membuat para murid nakal ketakutan tetapa menyenangkan bagi murid berprestasi.
“Dea? Kamu mau cari siapa nak?” Tanya guru Kimia satu-satunya di sekolah ini, Bu Dinda.
“Saya mau bertemu Bu Mery, Bu.”
“O, Bu Mery, ia belum kembali dari kelas, kau bisa menunggunya di mejanya saja.”
“Baik Bu, terimakasih.”
“Sama-sama sayang, Ibu duluan ya, De.”
“Iya, Bu.”
Dea pun masuk ke ruang guru dan duduk di bangku yang ada di depan meja bertuliskan nama ‘Siti Mery Nandya’ nama yang cantik untuk wanita muslimah seperti Bu Mery. Tak berapa lama Bu Mery datang dan menyambut kedatangan Dea masih dengan senyuman yang teduh.
“Dea benar menepati janjinya, mari De, bicarakan hal yang mengganjal di hati Dea. Tapi sebelumnya, apakah kamu mau minum teh?”
“Oh, nggak usah, Bu. Terimakasih.”
“Baiklah, kita mulai saja.”
Tangan kanan Dea menggaruk lengan atas tangan kirinya, itu artinya Dea sedang gugup, Bu Mery mengambil tangan kanan Dea dan menggenggamnya erat, Dea bisa merasakan kehangatan seorang Ibu dari Bu Mery yang ia kagumi.
“Ceritakanlah Dea, tak usah ditahan lagi.”
“Aku ingin sekolah di Jakarta dengan jurusan kedokteran, Bu. Tapi..”
“Tapi aku hanyalah anak miskin yang bisanya hanya bermimpi.” Sambung Dea.
Bu Mery tersenyum dan mengelus tangan Dea.
“Jika itu keinginanmu, Ibu akan bantu.”
“Hah? Yang benar, Bu?”
“Iya, De. Asalkan nilai kamu mempunyai rata-rata minimal 9,00.”
“9,00? Itu sungguh nilai yang sulit didapatkan murid sepertiku.”
“Walaupun mimpi itu sulit dijangkau akal sehat, kalahkan akal sehatmu dengan semua impianmu.”
“Kata-kata itu membekas dihatiku, aku selalu mengagumi Bu Mery luar dalam, Bu Mery hampir sempurna di mataku, tapi akal sehatku terlalu kuat, Bu.”
“De, jika ini memang impianmu, Ibu yakin Tuhan akan memberikan jalan terangnya untukmu, ingat. Bersinarlah seperti Bintang, kau harus yakin sayang.”
“Aku..”
“Ibu berjanji akan menghadiahimu seluruh biaya kuliahmu di Jakarta maupun di tempat lain, asalkan kau bisa mencapai cita-citamu.”
“9,00..”
“Bagaimana Dea?”
“Baik, Bu. Deal!”
“Deal? Ok, Ibu akan membantumu untuk menjadi Dokter.”
“Terimakasih Bu!”
Dea memeluk Bu Mery erat, Bu Mery kembali mengelus rambut Dea penuh kasih sayang.
---
Seorang lelaki berada di sebuah ruangan bernuansa klasik Paris, ia memang menyukai Ibu kota Negara Prancis yang anggun itu, music begitu indah jika berada di Paris, selain terkenal dengan parfumnya, Paris juga mempunyai keistimewaan dalam bidang kesenian, terutama music.
Ia mulai memegang gitarnya, dan bernyanyi satu lagu yang berharga di hidupnya.
“Takkan pernah habis, airmataku, bila kuingat tentang dirimu. Mungkin hanya kau yang tahu, mengapa sampai saat ini ku masih sendiri. Adakah disana kau rindu padaku, meski kita kini ada di dunia berbeda. Bila masih mungkin waktu kuputar dan kutunggu dirimu. Biarlah kusimpan, sampai nanti aku khan ada disana tenanglah dirimu dalam kedamaian, ingatlah cintaku. Kau tak terlihat lagi, namun cintamu abadi.”
Air bening keluar dari matanya yang indah, ia mengingat seseorang saat menyanyikan lagu ini, sudah 5 tahun setelah kepergian orang yang ia sayangi, dan sudah 1 tahun ia coba untuk melupakan sosok itu dengan bersekolah di Paris. Ini sungguh sulit baginya, karna sosok itu terus mengelilinginya, dan tak jarang ia berkhayal sosok itu berada disampingnya, bernyanyi dengannya.
“De, kamu terlalu cepat meninggalkanku.” Gumam lelaki itu.
‘ting-tong’ suara bel kamarnya berbunyi, lelaki itu meletakan gitarnya lalu membukakan pintu, seorang pegawai Apartemen yang ia tempati selama di Paris tersenyum padanya.
“Mr. Alvin Jonathan?” (Tuan Alvin Jonathan?)
“Ya”
“Ini ada kiriman dari Indonesia.”
“Grace” (Terimakasih)
Sang pelayan berwajah manis khas Paris pun pergi meninggalkan Alvin yang termangu dengan kiriman tersebut, karna ia sangat jarang menerima kiriman dari Indonesia, hanya uang yang sering ia terima, itupun melewati rekening banknya. Alvin menaikan kedua bahunya bersamaan dan masuk kembali seraya menebak-nebak isi kotak besar berbalut sampul buku coklat.
---

Dea mengayuh sepedanya dengan perasaan sangat tenang, ia bisa merasakan bahwa Tuhan kembali memberikannya jalan untuk pergi ke Jakarta, menepati janjinya pada Bunda Romi dan teman-teman, juga janjinya pada Ibunya. Memberikan sebuah sinar kehidupan yang nyata hanya untuk meyakinkan Ibunya, bahwa Jakarta tak seburuk yang ia kira. Tapi ditengah jalan ia terhenti untuk sebuah urusan yang juga penting bahkan melebih janji-janjinya. Yaitu, Ibu.
“Aku takkan melepas semua janjiku, aku hanya menundanya.” Kalimat itu yang selalu ada di benaknya ketika rasa bersalah selama 5 tahun lalu menyelinap masuk ke relung hatinya.
“Dea!!” Teriakan itu menghentikan laju sepeda Dea, Dea menoleh ke sumber suara, rambutnya yang panjang terlihat sedikit terbang ketika ia menoleh, matanya yang penuh cahaya kehidupan bagai terpancar, membuat orang-orang di sekitarnya dengan mudah menebak perasaan Dea, sedang sedih, senang, maupun bingung.
“Ada apa, Mil?”
“Aku hanya mau memberikan ini padamu.”
Emil menyodorkan sebuah buku berwarna biru laut, tak bergambar.
“Apa ini?”
“Ini, ehem.. ini soal-soal latihan UN yang ku copy dari berbagai sumber.”
“Wah! Terima kasih banyak, Mil!”
“Aku.. aku, De.”
“Kamu kenapa?”
“Aku mendengar percakapanmu dengan Bu Mery tadi.”
“Hah? Kau dengar semuanya?”
“Iya, De. Maafkan aku.”
“Nggak apa-apa kok, Mil.”
“Tapi aku boleh Tanya sesuatu nggak, De?”
“Tanya aja, Mil.”
“Apa aku boleh ikut dalam perjanjian itu?”
“Hah?!”
---
‘bukk’
“Aww!”
“Aduh, maaf-maaf, Njel! Aku nggak sengaja!”
Tangan gadis yang berteriak tadi langsung memukul seorang lelaki yang baru saja meminta maaf padanya, dengan tatapan cukup tajam membuat lelaki tadi ketakutan.
“Khan sudah kubilang, jika kamu mau main basket, jangan dekat-dekat aku!” Omelnya.
“Maaf dech, Njel. Aku janji nggak akan deket-deket kamu kalau aku main basket.”
“Eh tapi Ki, aku jadi ingat seseorang.”
“Siapa?”
“Kamami dan Dea..”
“Iya ya, Njel. Aku masih ingat saat kepala Dea terkena bola basket dan Kamami menantang Keke dkk. Mempertaruhkan persahabatan abadi.”
“Dulu kita berlima, tapi Dea hilang begitu saja, lalu Kamami sekolah di Bosnia. Kini kita tinggal bertiga ditambah Lintar, sahabat Dea yang tak pernah mau memberi tahu keberadaan Dea.”
“Tuhan berkata lain, Njel.”
“Ya.”
Angel dengan tatapannya yang kosong, menatap lapangan basket asrama sekolahnya yang basah setelah hujan deras mengguyur tempat itu.
“Apa suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi dengan mereka ya, Njel?”
“Semoga saja, Ki. Amin.”
Di tahun ketiga tingkat SMA ini Kiki dan Angel juga 2 teman lainnya, Debo dan Lintar bermaksud untuk masuk ke Universitas yang sama, walau pilihan mereka berbeda. Angel memilih jurusan Kimia Murni, Kiki dan Lintar mengambil jurusan Hukum, dan Debo mengambil Psikologi. Tak terlalu sulit untuk anak-anak mantan penerima beasiswa masuk SMP Betha Melody (kecuali Lintar), ini masuk ke Universitas ternama, otak mereka telah terprogram untuk terus rajin menggapai impian-impian mereka, tapi tak ambisius dalam menggapainya.
Apalagi Angel, sebagai seorang gadis yang kuat, ia selalu berusaha mengatur kehidupan 3 sahabat lelakinya agar lebih berimbang, antara pikiran dan tindakan, Angel sudah seperti Ibu bagi Lintar, Kiki, dan Debo. Walau mereka sudah punya Bunda Romi yang masih mau membiayai sekolah mereka hingga Universitas, Angel tetap bersikap bijaksana seperti Bunda Romi. Agar kelak ia tak menjadi Ibu yang egois bagi anaknya.
Sebenarnya Angel berniat untuk masuk ke jurusan Psikologi sama seperti Debo, tapi Kimia tak bisa terlepas di benaknya, dan guru. Pekerjaan mulia itu ingin ia dapatkan, lebih tepatnya guru Kimia, tak apa menjadi guru Honorer, yang penting ia mendapat kesempatan untuk mengamalkan ilmunya, bahkan Angel punya satu mimpi yang mulia, mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu, pastinya bukan hanya Kimia yang diajarkan, tapi semua pelajaran, Angel merasa dirinya mampu mengajar ilmu-ilmu dasar untuk SD-SMA. Insya Allah.
Debo pun kini menjadi anak yang sangat kuat pendirian, bukannya keras kepala, jika ia merasa pendapatnya benar, ia akan menjaga pendapatnya, dan pendapat Debo memang sering berguna disbanding tak bergunanya. Debo ingin menjadi dokter psikologi seperti Bunda Romi, ia ingin membantu orang-orang yang putus asa seperti dirinya semasa remaja dulu, semangat Kamami untuk membuat sinar Debo kembali bersinar akhirnya berdampak pada kehidupan Debo, Debo jadi lebih menghargai orang lain, walau terkadang sifat pemarahnya muncul, ia tetap berusaha meminimalkannya.
Lintar, anak ini tetap ceria seperti Mentari, sinarnya memang menyilaukan, ya menyilaukan hati semua orang yang mengenalnya, ia semakin semangat ketika ia mampu lulus dari SMP Pelita Bangsa dengan peringkat pertama di angkatannya, awalnya Lintar memang sedih karna tak di terima di SMP Betha Melody, tapi karna semangat dari temannya Dea maka ia berusaha dengan hasil yang cukup memuaskan, ia mulai bergabung dengan anak-anak BM ketika kelas 1 SMA, sebelum Kamami pergi untuk persiapan sekolah di Universitas Sarajevo,Bosnia. Kamami mengajak Lintar untuk menggantikan posisinya sebagai anak rumah Bunda. Bahkan Kamami berharap jika adanya Lintar di antara teman-teman BM, mereka bisa menemukan Dea, walau mereka harus bersabar.
Lalu Kiki, anak ini masih masih sama seperti yang dulu, ceria dan penyayang, ia sosok yang ideal sebagai pendamping Angel, karna jiwa kepemimpinan yang ia bina sejak SMP menjadi orang yang sifatnya hampir sama dengan Angel, bijaksana dalam memimpin, alasannya mengambil Hukum, agar ia tetap bisa memimpin di jalan yang benar. Diantara yang lain pun Kiki termasuk yang paling sabar, semua bisa ia atasi dengan kepala dingin, tapi satu yang bisa membuatnya marah, yaitu jika ada orang yang menyakiti orang-orang yang ia sayangi, ia bahkan bisa marah melebihi marah-nya Lintar. Diam-diam menghanyutkan.
Mengenai Seni, semua itu sudah melekat di hati masing-masing dari mereka, itu sudah menjadi bakat bahkan bagian hidup mereka.
---
“Hah?!” Pekik Dea.
“Boleh nggak, De?”
Dea langsung teringat kejadian 6 tahun yang lalu, saat sahabatnya Lintar juga berusaha mendapatkan beasiswa ke SMP Betha Melody, dan Lintar tak bisa mencapainya, Dea trauma besar akan hal itu. Akankah Emil juga akan mengalami hal yang sama dengan Lintar? Itulah yang ada di pikiran Dea sekarang, tubuhnya bergetar, ia ketakutan, wajahnya berubah pucat, Emil kebingungan dengan sikap Dea.
“Kamu kenapa, De?”
Tanya Emil seraya mengoyang-goyangkan tubuh Dea, Dea pun tersadar dari lamunannya dan langsung pamit pada Emil. Emil pun bergegas pulang.
Dea cepat mengayuh sepedanya, air matanya bercucuran ketika ia teringat Lintar juga kawan-kawannya di Jakarta, penyesalan ini dating lagi, “Apakah aku bisa menepati janjiku Tuhan?!” Teriak Dea dalam hati.
Dea telah tiba di rumahnya, Ibunya sedang merajut di teras rumah, Dea mencium kening Ibunya lalu masuk ke dalam rumah, perasaannya gelisah, akhirnya ia buka laci usang di ruang tamu rumahnya, lalu ia ambil telepon seluler berwarna hitam dari lacinya, ia ambil SIM cardnya yang lama dan ia pasang ke Hp tersebut, SIM card pemberian Bunda Romi masih ia aktifkan, entah sudah berapa ratus ribu pulsa yang ia beli untuk mengaktifkan nomor itu hingga 5 tahun lamanya. Tangannya bergetar ketika menyalakan Hp nokia 3110nya itu, keringat bercucuran di dahinya, ia sangat ketakutan ketika membuka Hp itu.
---
Alvin membuka bingkisan yang ia terima dari Indonesia, sebuah album foto membuat matanya berbinar, album foto ketika ia masih bersekolah di SMP Betha Melody, ia ingin tahu pengirim album ini, ia cari identitasnya, ternyata pengirimnya adalah sahabatnya sendiri, Mario Stevano, atau Rio. Ada sepucuk surat juga di dalam kotak itu.
---
Untuk sahabatku Alvin.
Hei vin, aku rindu padamu, oh… bukan aku saja, semua sahabat PRINCE merindukanmu lho, setelah kau menyelesaikan study seni mu di Universitas Paris itu sebaiknya kau langsung pulang ya. Hehe, yaiyalah.. bagaimana kabarmu? Baik khan?
Ehem, sebenarnya aku sengaja mengirimkan album foto kenangan Betha Melody bukan semata-mata iseng lho, tapi aku mau kau coba hubungi Dea. Kau masih ingat Dea khan? Putri masa lalu Cakka, semoga kau masih ingat vin.
Sebenarnya aku sangat menyayangi gadis itu, tapi aku tak pernah berani lagi mencintainya, karna ia adalah milikmu. Aku ikhlas, maka dari itu aku ingin kau tetap menjaga perasaanmu, walau sudah 5 tahun berlalu, kau sebaiknya mencari Dea lagi, aku ingin melihat kalian bersama lagi, seperti dulu, seperti di album itu. Entah mengapa, walau aku ikhlas, aku sedih ketika kau bersamanya, tapi aku sadar, aku lebih tidak ikhlas jika kau tidak bersamanya. Hubungan kalian tidak boleh putus begitu saja, jika kau masih mencintainya, tetaplah mencarinya. Tuhan akan mengiringimu mencari Dea. Aku dan yang lain akan coba membantumu juga, pokoknya. Good luck ya!
Sudah dulu ya Vin, kami merindukanmu.
---
Pesan singkat yang diterima Alvin mengingatkannya akan Dea, hati Alvin tergerak untuk menghubungi nomor lama Dea yang lama. Nomornya yang sekarang adalah nomor baru, nomor orang Paris. Jadi mungkin jika tersambung ke nomor Dea, Dea akan mengangkatnya. Dan ketika ia tekan ‘call’ ternyata memang nomor itu sudah tak bisa dihubungi lagi. Tapi entah mengapa Alvin ingin menelpon Dea berulang kali, hingga mungkin ada keajaiban dari Tuhan untuknya.
---
Dea pun menghidupkan telepon selulernya, dan tiba-tiba sebuah nomor asing menghubungi nomor lama Dea, Dea gugup untuk mengangkatnya, tapi ia ragu, kenapa ada nomor asing menghubungi nomornya? Ataukah ini operator?
“Mungkin ini Operator, khan nomor ini tidak pernah diaktifkan.”
“Halo?”
Jantung Alvin seperti terhenti sesaat, ini suara Dea, ini benar-benar suara gadis itu, Dea. Perasaannya sangat kacau, ia tidak bisa berbicara apapun lagi, seluruh organ tubuhnya membeku. Ia tak berdaya mendengar suara Dea.
“Halo? Apa ini Operator?”
“De.. Dea..”
Akhirnya nama itu bisa keluar dari mulut Alvin, Dea yang mendengar suara halus dari sebrang sana langsung diam terpaku, wajahnya kembali pucat, tangannya bergetar, karna ia bisa mengenali suara ini. Suara Alvin, orang yang memegang janji “Rain from Heaven”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini