Sabtu, 08 Januari 2011

Rain from Heaven 22-23

Bismilahirahmannirahim


Chapter 22

It’s Real, guys

Air hujan itu begitu indah dilihat, karna air itu mengantarkan malaikat-malaikat cinta Tuhan yang begitu anggun, air itu menghiasi semua tempat yang ia jatuhi, dingin menusuk tak terlalu menyakitkan, karna dari hujanlah kita hidup. Dengan kasih sayang dan cintanya.
---
Alvin menandai kalendernya dengan spidol hitam, sebuah tanda silang untuk hari ke 1460 ia menunggu Dea, gadis penyuka hujan itu. Ia pun sudah harus focus untuk masuk Universitas di Paris, Universitas Paris I Pantheon-Sorbonne jurusan Seni. Niatnya untuk mencari Dea kini terkikis sedikit demi sedikit, ia yakin jika memang Dea adalah jodohnya, Dea takkan pernah meninggalkannya. Ia hanya bisa menunggu, kini sudah 4 tahun kepergian Dea dari hidupnya, selama tak ada Dea di sampingnya, ia tak bisa merasakan hidup yang sebenarnya.
“Sebenarnya kamu kemana sich, De?”
Sebuah tangan melingkar di leher Alvin, itu tangan Rio. Sahabatnya.
“Sudah berapa hari?”
“Sekitar 1460 hari, Yo.”
“Wow, keren banget.”
“Keren apanya?”
“Ya keren, sampai kamu bisa menghitung kepergian anak itu.”
“Anak itu? Kenapa kau memanggilnya dengan nada seperti itu?”
“Sebaiknya kau lupakan Dea sesaat, Vin. Fokuslah pada test masuk Univ itu.”
“Apa sebaiknya begitu, Yo?”
“Iya, Vin.”
Itulah sebabnya Alvin ingin melupakan Dea, minimal sampai ia bisa lulus dari Univ Paris I itu, ia ingin bisa menemui Dea dalam keadaan sukses. Tapi hari ini, 10 April 2015, ia mendengar suara gadis hujan itu lagi, jantungnya berdetak sangat cepat, begitupun jantung Dea.
“Dea? Apa ini Dea?”
“Hah, oh. Bukan, salah sambung!!” Seru Dea dan menghentikan pembicaraan tersebut, air matanya kembali mengalir, ia langsung melepas kartu SIM tersebut dari Handphonenya. Tangannya masih bergetar, ia ketakutan. Sangat takut hingga dadanya perih, karna penyakitnya kambuh. Dea kesulitan bernafas, ia kuatkan untuk berdiri dan berjalan ke kamarnya, mengambil obat penenangnya.
Tangan Alvin juga bergetar, ia tak percaya tapi berharap penuh ini nyata.
“Dea, itu suara Dea.”
Alvin hendak menghubungi Dea lagi, tapi ia tahu, Dea takkan mengangkatnya.
“Dea, kau kenapa? Kenapa kau menghidar dari ku, juga semua teman-teman Jakarta?”
Dea tetap menahan perasaannya, semua rasa itu kini bercampur dalam hatinya, senang, sedih, takut, bingung. Begitulah perasaan Dea saat ini, setelah 5 tahun berlalu, akhirnya kini ia dapat mendengar suara Alvin. Orang yang benar-benar ia rindukan, membuat jantungnya kembali kesakitan, kesakitan karna perasaan bersalah yang mendalam. Hatinya kembali sakit, sangat sakit.
“Tuhan, kenapa kau membuat takdir ini untukku? Kenapa Tuhan?!” Teriak Dea dalam hati, ia pun membaringkan tubuhnya di lantai, menatap handphone dan kartu SIM card lamanya tergeletak kaku, yang juga menatap tubuhnya yang penuh dosa. Mata Dea tak bisa terbuka lagi, ia ingin cepat memejamkan mata dan melewati hari yang takkan pernah ia lupakan itu.
Sedangkan Alvin masih saja menatap handphonenya, ia tersenyum lebar, airmata nya menggenang di mata kecilnya, dan ia cium handphonenya penuh dengan semua rasa cinta yang ia miliki pada Dea. Ia sangat mencintai Dea, menatap hujan sama seperti ia melihat Dea. Ia pun takkan pernah melupakan kejadian hari ini. Ia akan tetap mencintai gadis bernama Dea.
---
“Jika itu maumu, ambil semuanya! Tak ada yang boleh kau kembalikan, kecuali kau menyetujui hal ini!” Bentak keras seorang mahasiswa fakultas Hukum Universitas Trisakti, Mario Stevano Aditya.
“Ini adalah hakku sepenuhnya! Dan aku memang berhak memilikinya!” Timpal seorang lelaki berkumis lebat dan bermuka kasar.
“Dengan semua bukti yang ia miliki? Kau sungguh tak mengerti apapun arti sebenarnya dari hak!”
“…”
“Stop, semua pendapatmu memang masuk akal Tuan Mario, tapi semua barang ini memang milik Pak Irfan.”
“Menurut anda seperti itu? Menurutku Bu Sari lebih berhak memilikinya, ini semua warisan dari Suaminya, Pak Irfan jelas-jelas memberikannya pada suami Bu Sari, semua bukti ada di sini, kenapa Pak Irfan masih saja bersikeras mempertahankan barang-barang ini?”
“Karna saya pemilik aslinya!”
“Bisakah Anda memberikan suarat kepemilikan barang-barang ini, yang asli mungkin?”
“…”
‘Prok-prok-prok.’
Suara tepukan itu begitu menggema, memenuhi ruang latihan sidang bagi para murid fakultas Hukum Univ ini, seorang lelaki bertubuh tegap berjalan mendekati Rio, langkahnya terdengar berat. Mungkin karna tubuhnya yang cukup besar.
“Seluruh ketentuan dapat kau temukan di kasus ini, hipotesismu pun sungguh menakjubkan. Kau adalah Pengacara yang sangat mengerti hokum, Mario.”
“Terimakasih, Pak. Apakah tugas saya di sini sudah selesai?”
“Sudah, kau bisa pulang dan tidur nyenyak malam ini.”
“Terimakasih sekali lagi, Pak. Saya pamit. Selamat malam.”
“Selamat malam, Mario. Kau harus jadi pengacara yang terkenal di dunia ini!”
“Pasti, Pak. Amin.”
Rio berjalan tenang seraya mendengar suara langkahnya yang menawan, impiannya menjadi Pengacara sebenarnya untuk menepati tantangan Ayahnya 3 tahun yang lalu.
---
Semenjak kepergian Dea dari hidupnya, senyum Rio kembali hilang, dan lebih parahnya lagi, ia menjadi seorang pemarah, hampir semua temannya mendapat omelan dari Rio, tak terkecuali Alvin atau Iel, dan suatu hari, saat kedua orang tuanya baru pulang dari luar negri, Rio tak tahan melihat orang tua yang hanya menjadi formalitas kehidupannya. Ia pun memberontak.
“Kalian kemana saja?” Tanyanya sinis.
“Kau itu, seperti baru hidup dengan kami sehari dua hari.” Kata Ayah Rio tak kalah sinis, mungkin karna ia terlalu lelah.
“Rio anakku, kau kenapa?” Tanya Bunda Rio halus.
“Aku bosan.”
“Bosan?” Bunda Rio mulai bingung.
“Ya, kalian tak pernah ada di rumah, sekalipun tak pernah menemaniku, mengambil rapot dengan Bik Sumi, makan dengan Bik Sumi, sampai acara sakral Wisuda SMP pun kalian tak datang, kemana sebenarnya kalian selama ini?”
“Kau sungguh tak tahu terimakasih! Ini semua kami lakukan untuk hidupmu dan kakakmu!” Bentak Ayah Rio.
“Kakak? Bahkan 5 tahun kepergiannya, kalian tak tahu jika Kakak sudah tiada?”
“Tiada?”
Rio makin geram dengan kelakuan yang menurutnya bodoh untuk orang tua yang masih hidup, bahkan setelah Kakak Rio meninggal, mereka masih saja lupa.
“Kemana kalian? Kenapa kalian sampai lupa kepergian Kakak?!”
“Sebaiknya kita ke kamar saja Bunda, daripada meladeni anak ini.”
“Apa.. apa yang harus aku lakukan?”
Pertanyaan Rio menghentikan langkah Bunda dan Ayahnya. Ayah Rio begitu menunjukan kemarahannya pada Rio melalui tatapannya.
“Apa yang harus ku lakukan untuk melihat kasih sayang kalian?”
Ayah dan Bunda Rio menatap anaknya lekat, ini kali pertama Rio mengobrol begitu banyak dengan mereka, tapi obrolan ini sungguh tak harmonis, sebagai seorang Ibu, Bunda Rio ingin memeluk anaknya sekali saja, tapi ia takut jika bertindak di luar perintah Ayah Rio, perasaan dan pikiran Bunda Rio begitu di penjara oleh Ayah Rio yang keras pendiriannya.
“Dengan menjadi seorang yang mampu menegakan keadilan.” Kata Ayah Rio singkat, lalu mengajak Bunda Rio ke kamar, Rio masih diam mendengar pernyataan Ayahnya, apa sebenarnya yang di maksud Ayahnya?
Setelah seminggu memikirkannya, Rio akhirnya tahu. Pengacara adalah pekerjaan untuk menegakan keadilan, ia ingin menjadi pengacara untuk mendapatkan. Kasih Sayang yang nyata.
---
Rio merebahkan tubuhnya di kasur Apartement yang ia sewa, ia memang sengaja menyewa Apartement, semata-mata untuk lebih konsentrasi belajar. Suasana Apartement yang lebih tenang membuatnya, melupakan sejenak persoalan selain belajar. Tapi 1 yang tak bisa ia lupakan, gadis yang ia sebut. Gadis beribu cinta. Rio mengambil handphonennya dan membuka folder foto, lalu ia buka file bernama Dea with me. Foto berisi dirinya dengan Dea berhasil membuat perasaannya tenang, ia menyayangi Putri sahabatnya sendiri, dan baru bersama Dea lah ia bisa merasakan kenyataan hidup. Senyum yang hilang ketika menghilangnya Dea. Satu pertanyaan yang selalu membuatnya ingin memutar waktu, “Kenapa aku begitu saja percaya pada Bunda Romi dan melepas Dea?”.
Selama 5 tahun ini Rio masih saja gencar mencari keberadaan Dea, tapi Dea benar-benar seperti ditelan bumi, Rio putus asa, sangat putus asa. Pertanyaan lain baru-baru ini muncul di benaknya. “Apakah ini usaha yang sia-sia?” dan ia menjawabnya sendiri. “Tidak!” Dengan suara begitu keras.
Sebenarnya apa tujuan Rio mencari Dea? Apa karna ia ingin sahabatnya bisa bahagia dengan Dea? Atau karna ia ingin memperjuangkan cinta masa lalunya itu? Ah, 2 hal yang masih membuat Rio bingung. Yang penting sekarang ia harus menemukan Dea.
‘kringggg’ sebuah SMS masuk, tertera nama Alvin di layar Hp Rio, Rio mendelik kaget dan langsung membuka SMS itu.
-Alvin : jika kau kira ini hal yang tidak benar, berpendapatlah kawan. Tapi it’s real! Aku mendengar suara itu lagi! Suara gadis yang mengarungi hatiku selama ini! Gadis beribu cintamu! Dea!-
Mata Rio membesar melihat isi SMS dari Alvin, ia ragu ingin membalas SMS Alvin, ia takut, jikala Alvin hanya mengada-ngada, tapi kata It’s Real membuat tangannya cepat menekan pilihan Reply.
-Rio : benarkah? Aku tak menyangka kau sampai berkhayal seperti ini.-
-Alvin : kau benar tak percaya? It’s Real, guys! Dea, anak itu tak menghilang! Ia masih memakai nomornya yang lama, tapi mungkin ia sangat kaget karna aku menelponnya, jadi ia langsung memutus komunikasi, dan menon-aktifkan nomornya lagi-
-Rio : jika itu memang maumu, aku akan ikut berkhayal. “Hei, Vin. Aku melihat gadis itu di hadapanku! Dea! Itu Dea!”-
-Alvin : kau benar-benar tak percaya?-
-Rio : Dea sudah tak ada, Vin. Kita sudah mencarinya lebih dari 4 tahun, tapi apa hasilnya? Nihil.-
-Alvin : coba kau cari Dea dulu, Yo. Aku mohon bantulah aku.-
-Rio : aku tak janji-
Dan tak ada lagi SMS balasan dari Alvin, bibir Rio mulai membentuk buah semangka yang siap makan, ia baca lagi SMS Alvin, berulang hingga 3 kali. Dan ia merasa, ini memang nyata, It’s Real, guys.
“Dea, tunggu aku.”
Rio yang lelah kembali bugar, ia pun membuka laptopnya dan mulai mencari informasi tentang Desa Summer, malam ini mungkin adalah malam yang indah bagi Rio, Dea, dan Alvin.
---
Malam pun berganti pagi, Dea terbangun dari tidurnya, ia kaget karna tubuhnya tidak lagi di lantai, tapi berada di kasur. “Pasti Ibu.” Gumam Dea, Dea pun bangkit dari tempat tidurnya dan segera mandi, sesekali ia bersenandung lagu kesukaannya, ‘my immortal’ dengan bahasa Inggrisnnya yang fasih.
“Dea..” panggil Ibu Dea.
“Iya, Bu. Sebentar.”
Dea mempercepat kegiatannya dan langsung keluar menemui Ibunya.
“Ada apa, Bu?”
“Sini nak, duduk di dekat Ibu.”
“Ibu kenapa? Ada yang sakit lagi?”
“Tidak, Nak. Ibu hanya mau bertanya padamu.”
Ibunya lama, lalu menghelakan nafasnya.
“Apa benar, kau akan pergi ke Jakarta lagi?”
Dea tersentak, ia tak menyangka kejadian saat ia SD akan terulang lagi, di dekat jendela kamarnya, hari yang sedang hujan, dan tatapan Ibu yang penuh kasih.
“Ya, Bu.”
“Kau akan kembali tinggal di Jakarta?”
“Iya, Bu. Aku akan melanjutkan mimpiku lagi.”
Ibu Dea tersenyum, ia mengelus rambut Dea.
“Aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku.”
“Itu adalah ikrarmu dulu, saat kau masih kecil, Nak. Ibu ingat itu, karna kaulah Ibu bisa sembuh, Ibu tak bisa mencegahmu, kejarlah mimpimu, Sayang.”
“Terimakasih, Bu.”
Kini pun Dea kembali tersenyum, mendengar persetujuan dari Ibunya.
---
Dea berusaha keras untuk mendapat nilai rata-rata Ujian Nasional sebesar 9,00, Emil pun giat belajar, ia benar-benar ingin ikut dalam perjanjian Dea dengan Bu Mery. Tapi beberapa hari ini Dea menjauh dari Emil, dan sikap Dea sungguh membuat Emil kesal. Akhirnya 1 minggu sebelum UN, Emil mengajak Dea ke taman belakang sekolah.
“Aku buru-buru, Mil.” Ujar Dea.
“Aku ingin bicarakan hal penting denganmu, tolong untuk sekali ini saja, De. Dan aku berjanji takkan mengganggumu.”
Dea terdiam, dan akhirnya mau berduaan dengan Emil di taman belakang sekolah.
“Apakah… aku memang tak boleh ikut perjanjian itu?”
Hati Dea terasa sesak mendengar pertanyaan itu, ia ingin berterus terang pada Emil, tapi.. perasaannya selalu menahannya.
“Kamu..”
“Aku juga punya impian, De. Aku juga ingin menjadi dokter, dan menyembuhkan Meli.”
Hati Dea semakin sesak, ia tak kuasa mengelus punggung Emil.
“Aku juga punya mimpi, Mil. Aku pun ingin menyembuhkan Meli, tapi perasaan bersalahku membuatku trauma.”
“Trauma?”
Dea menghela nafas panjang, ia berusaha tenang dan menatap Emil. Wajah Lintar tergambar di hadapannya, semangat Emil membuatnya ingat pada Lintar dan jika sudah ingat Lintar, ia akan mengingat semua keluarganya di Jakarta.
“Aku punya sahabat, namanya Lintar. Ia sahabat terbaikku, mungkin kau kenal. Ia kini sekolah di Jakarta, dan dulu aku juga pernah sekolah di Jakarta. Kami berjuang bersama untuk mendapatkan beasiswa masuk ke SMP Music ternama di Jakarta, ia begitu giat menyemangatiku. Aku yakin, kami berdua bisa masuk ke SMP itu bersama-sama…
“Tapi takdir berkata lain, Lintar tak diterima di sekolah itu, perasaanku sangat hancur saat itu, ia sahabat terbaikku, aku tak bisa melepasnya. Walau ia bilang, aku harus tetap mengejar mimpiku. Hatiku masih terasa sangat sakit, dan akhirnya aku berpisah dengannya. Akupun mengenal banyak teman di Jakarta, bahkan mereka menjadi sahabatku, bukan berarti posisi Lintar dapat mereka gantikan. Dan perpisahan kembali kurasakan, saat aku harus berhenti dari SMP itu, aku kembali kehilangan sahabat-sahabatku, Lintar pun tak bisa terus menemaniku, karna ia harus melanjutkan sekolahnya di Jakarta dengan biaya seorang dermawan,
“Aku takut, kejadian itu akan terulang lagi. Karna kau sahabatku, Mil. Aku takut.”
Cerita Dea, Emil bisa merasakan semua kecemasan Dea, Emil menggenggam tangan Dea, ia elus perlahan. Senyum Emil yang begitu teduh membuat hati Dea sedikit tenang.
“Percayalah padaku, aku akan terus bersamamu, sahabatku.”
Dea mengangguk dan kembali teringat Lintar, Kamami, Angel, Kiki, Debo, Prince, Princess, dan.. Bunda.
---
Hari itu pun tiba, Ujian Nasional yang akan diadakan serampak itu akhirnya dimulai dari hari ini. Dea dan Emil terlihat sangat ketakutan, tapi Meli dan Icha terus menyemangati keduanya. Agar keduanya bisa menyanggupi syarat Bu Mery.
Dea dan Emil berada di kelas yang sama, sebelum masuk Bu Mery mengacungkan jempol pada mereka, dan terus tersenyum. Seakan berbisik “Good Luck”.
‘kringgg’ bel pun berbunyi, semua anak SMAN 1 Summer pun begitu antusias mengerjakan soal-soal UN, sekarang yang ada dipikiran Dea dan Emil hanyalah focus pada semua pelajaran yang mereka rekam.
3 hari sudah seluruh anak SMAN 1 Summer berkutat dengan soal-soal UN, dan kini semua tinggal menunggu hasil, seiring mereka menunggu pengumuman, seluruh anggota SMAN 1 Summer sibuk mempersiapkan Wisuda. Dea teringat acara pembukaan MOS saat ia masih SMP dulu, begitu megah dan mungkin sama seperti Wisuda-nya kali ini.
---
Rio terdiam di depan gedung Universitas, dadanya sesak saat ia teringat Dea, andai Dea bisa masuk ke Universitas ini. Pikirnya.
“Pagi, Yo!” Sapa seseorang, Rio tersenyum padanya.
“Pagi juga, Day.”
“Hari ini antar aku ke Perpustakaan Kota yuk.”
“Perpustakaan? Tumben kamu kesana!”
“Heh, sudahlah. Sebagai seorang teman sefakultas harusnya kamu mendukung perubahanku, Yo.”
“Ah, paling hanya karna Rara, iya khan?”
“Ssst, kalau Rara dengar aku bisa dihantam!”
“Hah? Apa seburuk itu?”
“Udah-udah, ayo ke perpustakaan kota!”
“Eh, aku mau bertemu Professor Arid dulu.”
“Kau itu, kenapa sangat suka konsultasi dengan ahli psikologi itu? Kita ini di Hukum, Yo!”
“Ngomel-ngomel aja sana sendiri, aku mau konsultasi sebentar dengannya.”
“Ku tunggu di tempat biasa dech.”
“Ya.”
Dayat meninggalkan Rio, dan Rio berbelok ke gedung fakultas Psikologi demi menemui Professor Arid, dokter jiwanya. Tangannya masih memegang Handphone, karna ia berjaga jika Alvin kembali menghubunginya. Jantungnya berdegup sangat kencang, ia kembali teringat gadis kecil itu. Saat Dea menangis, saat Dea tertawa, saat Dea melakukan hal bodoh yang kiranya sangat lucu dipandang, tak terasa senyumnya terus berkembang sesekali menjadi tawa kecil.
‘tok-tok’
“Masuk.” Ucap sebuah suara berat dari dalam ruangan ber-label Arid Suparna Triatmodjo. Tanpa gelarnya yang tinggi, ada sebuah alasan Professor Arid tak menempel gelar di tempat yang sering terlihat orang kebanyakan. Ia ingin semua berjalan alami, tak di elu-elukan layaknya Professor lainnya. Itulah yang membuat Rio kagum pada Professor Arid, walau Professor lebih senang dipanggil Dokter, tapi Rio tetap bersikukuh memanggilnya Professor Arid, Professor Arid sungguh tahu watak pasiennya itu, jadi ia menurut saja.
“Permisi, Prof.”
“Oh, kau Mario.”
Rio menutup pintu secara perlahan, lalu berjalan santai seraya menatap tata ruangan Professor Arid yang telah diganti beberapa hari yang lalu. Cat hijau muda yang lembut dipandang memang selalu menentramkan hati Sang pemilik mata. Aroma bunga Lili yang menyejukan hati pun dapat dirasakan di sini. Rio senang jika harus ke ruangan Professor Arid, ia bisa melupakan sejenak semua Tesis Kuliahnya, juga melupakan Dea, hanya sejenak.
“Prof, jangan panggil aku Mario, cukup Rio.”
“Kau juga sebaiknya memanggilku, Dokter.”
“Hahaha, yasudahlah, jika kemauan Professorku tersayang, panggilah aku Mario.”
“Hahaha, Mario-Mario..” seraya menggelengkang kepalanya. Matanya yang agak sipit menatap Rio penuh kasih, Rio menganggap Dokter kejiwaan sekaligus
“Prof, ini sebuah jalan terangku menemukan Dea.” Ucap Rio seraya duduk di bangku tamu.
“Oh ya? Bagaimana bisa begitu?”
“Kemarin Alvin mengirim pesan untukku, Professor bisa membacanya.”
Rio memberikan SMS Alvin semalam, selesai membaca Professor Arid tersenyum, lalu ia menatap Rio lekat.
“Kau harus mencarinya, Nak.”
“Menurut Professor, aku harus mencarinya?”
“Ya, teruslah mencari cintamu itu.”
“Tidak, Prof. Dea adalah cinta Alvin. Hanya itu.”
“Ikuti isi hatimu, Nak.”
“Baiklah, Prof. Aku harus pergi.”
Professor Arid memberikan Handphone Rio dan membiarkan Pasiennya itu pergi, setelah Rio pergi Professor Arid kembali tersenyum, ia sudah pernah melihat kejadian ini sebelumnya, seorang yang merelakan cintanya demi seorang sahabat. Cinta memang tak ada artinya jika kita tahu, arti sahabat yang sebenarnya.
---
Rio melangkahkan kakinya menuju Café Universitasnya, ia melihat Dayat sedang makan satu mangkuk bakso, dan tiba-tiba Rio juga jadi lapar. Akhirnya ia putuskan untuk ikut makan.
“Nanti ke perpustakaan setelah makan ya.”
“Siplah, Yo.”
“Kau membicarakan apa dengan Professor Arid?”
“Nggak banyak, hanya basa-basi biasa.”
“Tentang gadis yang kau taksir semasa SMP dulu?”
“Heh, sok tahu.”
“Ya.. aku sich hanya menebak, karna kamu tu nggak jauh dari cerita masa lalu, Yo.”
Rio kembali tersenyum, ia pun mulai melahap bakso-baksonya.
“Sebaiknya kamu mulai melihat masa depan, Yo.”
“Sok dewasa banget sih kamu, Day.”
“Hahahaha, kita memang sudah dewasa, Yo! 18 tahun lho…”
“Dewasa itu pilihan, tua itu pasti.”
“Iya juga sih.. hehehe.”
Kedua sahabat ini pun mulai hanyut pada pikiran mereka masing-masing, Dayat akan semua Tugas yang harus ia kumpulkan lusa, juga Rio dengan semua penelitiannya tentang Hukum yang ada di Indonesia.
---
Dea menghentakan kakinya perlahan ke suatu tanah taman, taman belakang sekolah. Kini ia sendirian, menatap kenangan-kenangannya selama SMA, ia ingin melihat kembali saat ia bermain, belajar, mengobrol dengan semua temannya selama ada di SMA ini. Sesuatu yang takkan mudah dilupakan dan takkan pernah ia lupakan.
Tangan kanannya memegang tempat pusat hati bersarang, perasaannya melayang jauh ke angkasa, menemukan suatu keajaiban. Persahabatan. Sejak ia masih kanak-kanak hingga kini ia telah menjadi remaja yang benar-benar berbeda, mennjadi seorang Dea yang tegar, Dea yang mampu menyembuhkan Ibunya sendiri, Dea yang berani mengambil keputusan demi masa depannya. Iniah Dea yang harus menjadi Dea.
“Aku takkan menangis lagi, aku akan menghadapi semua masalahku dengan senyuman, aku harus menjadi Dea yang tak mudah rapuh. Aku harus menjadi Dea yang bersinar di mata Ibu maupun di mata orang-orang. Dea janji, Dea akan menjadi Dea yang kuat. Seorang wanita yang kuat seperti Ibu.”
Itulah janji Dea pada dirinya sendiri, ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tak bisa disangkal, bahwa dirinya hanya seorang manusia yang harus terus berusaha. Matanya berkaca-kaca ketika ia mendengar janji itu dari mulutnya, ia langsung menyeka air matanya yang menggenang. Karna ia berjanji, akan menjadi Dea yang tak larut pada perasaan bersalah.
“Aku.. aku akan menjadi dokter.”
Setelah melihat pemandangan taman belakang sekolah, Dea berlari pulang.
---
Seluruh anak kelas 3 SMAN 1 Summer berkumpul di Aula, karna mereka akan mendapat surat kelulusan dari pihak sekolah, semua duduk berdasarkan abjad. Dea dan Emil pun masih terlihat duduk bersebelah, mereka sangat cemas mendapat nilai UN masing-masing, Melisa dan Icha terus memandang kedua sahabatnya, mereka juga cemas.
Seluruh nama dipanggil bergantian, tapi nama Dea dan Emil di lewat begitu saja, kedua anak ini tentu heran dengan keputusan Panitia Ujian, mereka hendak protes tapi Bu Mery mencegah keduanya dengan menggeleng. Dea dan Emil berusaha sabar, dan saat nama terakhir di panggil, akhirnya nama keduanya disebut. Keduanya maju bersamaan, semua siswa langsung saling pandang, tak sedikit yang berbisik, Melisa dan Icha tetap berdoa.
Hati Dea terus mengucap do’a pada Tuhan, ia berharap mimpinya bisa terwujud. Begitupun Emil, kedua anak berkacamata ini menerima amplop Surat Kketerangan Lulus, dan membukanya di atas panggung. Semua pasang mata menatap Dea dan Emil, membuat mereka berdua sangat tegang.
“Bolehkah kami membukanya di bangku kami?” Tanya Emil.
“Tidak, kalian harus melihatnya di sini.”
Emi dan Dea pun dengan terpaksa membukanya, Deg.
Tangan keduanya bergetar, Dea yang sudah janji takkan menangis kini tak kuasa menahan airmata turun melewati pipinya, dan Emil sebagai seorang lelaki sejati yang tak pernah menangis, kini juga tak kuasa menahan bulir air hangat itu dari matanya. Mereka menatap Bu Mery, Bu Mery mengangguk penuh arti, keduanya tak percaya pada angka yang tertera pada kertas HVS tersebut. Angka 9,00 itu nyata untuk mereka berdua, kini itu bukan mimpi lagi.
Keduanya saling pandang, dan akhirnya berpelukan diikuti sorak sorai teman-temannya, Icha dan Melisa ikut menangis melihat keberhasilan Dea dan Emil.
“Kedua anak ini, mendapat nilai rata-rata 9,00. Sungguh prestasi yang membanggakan untuk sekolah ini.” Kata Panitia, sorak sorai teman-teman makin menggema membuat beberapa orang yang ada di luar Aula penasaran dan masuk, melihat keberhasilan Dea dan Emil.
Tapi Dea dan Emil tak bisa senang dulu, karna ini baru awal, masih ada test masuk Universitas, dan itu akan lebih sulit dari yang sekarang. Mereka akan terus memegang erat mimpi mereka. Yang akan mereka wujudkan sebentar lagi.




Chapter 23

1 Jam

Pagi memang selalu terasa menyenangkan untuk Dea, ia menyeka peluh keringatnya dan terus menatap lurus kedepan. Ia edarkan pandangannya mellihat berjuta pasang wajah di pelabuhan Summer, tempat yang akan mengantarkannya kembali ke Jakarta. Ia genggam Handphone 3110cnya erat, Emil dan Bu Mery berdiri dibelakangnya, juga menunggu kapal jurusan Jakarta yang akan datang beberapa menit lagi. Pagi ini udara tak biasanya panas, membuat Dea berkali-kali meminum air mineral pemberian Ibunya. Setelah berpamitan pada Ibu, Dea langsung berangkat ke pelabuhan dijemput Bu Mery. Ia sudah berjanji untuk menjadi gadis yang tegar, maka dari itu, ia sama sekali tak mengeluarkan air mata ketika berpisah dengan Ibunya.
“Dea janji, Dea akan kembali, dengan membawa gelar dokter untuk Ibu.”
“Ibu kembali memegang janjimu.”
Dan kini Dea kembali merasakan udara laut, ia kembali mengenangnya, saat pertama kali ia mengenal Kamami, Angel, dan Kiki. Dea langsung teringat jika ia akan ke Jakarta ia akan menghubungi Bunda Romi! Tapi kini ia hanya bisa menggigit bibir, karna ia takut kejadian beberapa hari yang lalu terulang, saat ia mendengar suara Alvin. Tapi ia langsung tersenyum lebar, pipinya me-merah. Ia malu sendiri jika ingat perrbuatan bodohnya tempo lalu, mengatakan salah sambung itu sebenarnya hal yang aneh sedunia. Hahahahaha, Dea pun tertawa sekencang-kencangnya, Bu Mery dann Emil terkejut melihat Dea.
“Eh, De. Kamu kenapa?” Tanya Emil.
“Wahaha, nggak apa-apa kok! Aku hanya bersemangat karna aku akan merasakan udara Jakarta lagi!”
“Aku juga bersemangat!!” Seru Emil, keduanya pun tertawa puas di iringi berbagai macam suara di pelabuhan, dari suara marah-marah para penjual ikan pada anak buahnya, suara anak kecil yang sedang berlarian dengan tawa mereka, suara peluit dermaga yang mendengung kencang, dan lain-lain. Bu Mery membenarkan kerudungnya dan memperhatikan Dea, ia membatin. “Anak ini akan menjadi seorang dokter sejati.”
“Bu,” panggil Dea.
“Iya, De?”
“Sesampainya di Jakarta, boleh aku ke suatu tempat sebentar?”
“Kemana itu, De?”
“Ke Smp Betha Melody..”
---
‘When you cried, I'd wipe away all of your tears.. When you'd scream, I'd fight away all of your fears.. And I held your hand through all of these years.. But you still have all of me’ lagu My Immortal-nya Evanescence mengalun indah di telinga lelaki ini, lelaki 18 tahun yang tubuhnya begitu tegap dan tinggi. Rio sibuk melihat-lihat buku di perpustakaan kota sambil mendengar lagu tersebut, Dayat di sebelahnya juga sibuk mencari buku tentang ilmu filsafat dunia.
“Yo, kamu tahu nggak, kenapa aku mencari buku filsafat?”
“Aku nggak tahu, Day. Memang kenapa?”
“Baguslah kalau kamu nggak tahu.”
“Jeh, kasih tahu dong!”
“Haha, iya-iya mahasiswa teladan, masa’ kamu nggak tahu sich? Bener?”
“Aku pulang aja…”
“Eh-eh, iya-iya.. ngambek gitu aja!”
Rio tertawa renyah menanggapi Dayat, Dayat hanya garuk-garuk kepala lalu membolak-balik halaman buku filsafat yang telah ia pilih.
“Filsafat itu fenomena kehidupan, seorang yang ahli hukum itu sebenarnya wajib untuk mempelajarinya, menurutku lho. Karna hukum ada karna fenomena kehidupan, tak ada fenomena-fenomena itu ya nggak ada hukum.” Tutur Dayat mengulang pernyataannya tentang fenomena kehidupan.
“Kamu ngomongnya diputar-putar, lebih rinci dong!”
“Hehe, iya Rio. Hukum, sebuah fenomena social yang bisa kita sebut fenomena kehidupan khan? Hukum mempunyai dasar yang disebut filsafat hukum, aku memang bukan seorang filosofi, tapi setidaknya aku ingin mempelajari hukum dari dasar hingga inti-intinya, semua terkekam jelas di filsafat hukum, filsafat bisa di artikan keseluruhan, tujuan utama filsafat memang untuk menerapkan dasar-dasar yang memang benar di mata dunia, kita tidak semata-mata berbicara tentang hukum tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari pembangunan hukum itu sendiri, seorang ahli hukum memang seharusnya mengetahui hukum secara keseluruhan, tapi banyak juga yang hanya kenal hukum ya… sebagai hukum, bukan sebagai kehidupannya sendiri.”
“Wow..” Rio berdecak kagum pada temannya, sebenarnya Rio sudah tahu banyak tentang filsafat hukum, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Dayat, seniman yang nyasar ke hukum (:P). Boleh diakui, IQ Rio mungkin lebih baik dari Dayat, dari nilai EQ Dayat jauh di atasnya, Dayat mempunyai keistimewaan yang belum ia miliki. Yaitu arti kehidupan yang berarti. Rio yang sudah berteman baik dengan Dayat sejak SMA selalu mengagumi cara Dayat berfikir, ia memandang semua secara keseluruhan. Dayat juga lelaki yang shaleh, hati Rio kadang bergetar ketika Dayat sedang membaca Al Qur’an di sampingnya (karna mereka 1 apartement, dan terkadang Rio menginap di kamar Dayat), Rio ingin membaca Al Qur’an, tapi ia belum siap sepenuhnya untuk berganti agama. Ia ingin belajar lebih banyak tentang Islam dan hukumnya yang sungguh penuh kebenaran, Dayat pernah berkata padanya.
“Semua hukum dunia itu tak ada artinya, mereka itu kadang tak memandang sumber mereka, aku hanya berpegang teguh pada Al Qur’an, semua isi makalahku tentang hukum 80% dari Al Qur’an.”
Rio jadi penasaran tentang isi Al Qur’an yang dibanggakan Dayat, mungkin suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti.
“Makan yuk?” Ajak Dayat.
“Wakakak, baru menerangkan sedikit argumenmu saja, kau sudah lapar.”
“Hehe, aku khan nggak biasa kayak gitu, Yo.”
“Ah, biasanya dakwah juga.”
“Udah ah, ayo. Aku udah dapet buku yang pas kok, ini.”
Dayat menunjukan buku berjudul ‘Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer’ Rio pun meletakan buku yang sejak tadi hanya ia pegang ke tempatnya semula, lalu berjalan mengiringi sahabatnya itu.
---
Ia menatap mentari pagi yang belum sepenuhnya muncul, Ia tersenyum lalu melihat jam tangannya, 05.30 AM. Pagi itu ia sedang lari pagi di kawasan Taman Kota Bosnia, segerombolan wanita berkerudung menyapa ramah kepadanya, ia membalas dengan senyuman yang manis. Kakinya terhenti sesaat dan kembali mengucap asma Allah, ia bersyukur. Sungguh bersyukur atas nikmat Allah SWT yang memberinya kesempatan untuk sampai di sini, di Negara yang terletak di semenanjung Balkan di selatan Eropa. Kamami menatap penuh arti setiap bagian taman itu, ia merasa segalanya terasa sangat indah, karna itulah ciptaan-NYA yang sungguh luar biasa. Kamami menjatuhkan kerudungnya yang awalnya ia lipat ke pundak, agar menutupi bagian atas tubuh. Impiannya kini tercapai, mempelajari Ilmu Islam mendalam, karna ia ingin menjadi aktivis perdamaian yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, oh bukan! Semua mahluk hidup ciptaan Allah.
“Rahmi.. Amalia?” Sapa sebuah suara halus di belakang Kamami, ia menoleh dan langsung memberikan salam pada gadis yang baru menyapanya.
“Assalamualaikum, Susan.”
“Waalaikumsalam, ternyata ini benar kamu Rahmi, lari pagi juga?”
“Iya, aku bosan mendekap di kamar.”
“Sama,”
Mereka pun tertawa bersama, lalu mulai berjalan pelan seraya merenggangkan otot tubuh keduanya yang lelah akibat acara semalam.
“Sangat seru ya acara semalam,”
“Iya.” Setuju Kamami.
“Aku sampai menangis lho, Mi.”
“Aku juga.”
Kemarin malam adalah malam yang berarti bagi para mahasiswi Bosnia yang berasal dari Indonesia, karna tadi malam mereka boleh mengobrol sepuasnya lewat layanan 3G gratis yang disediakan untuk mahasiswi bersama keluarga. Acara ini hanya diadakan 2 bulan sekali. Penerimaan mahasiswi di Bosnia memang jauh lebih cepat dari Indonesia, jadi Kamami sudah 2 bulan lebih awal dari teman-temannya di Indonesia. Kamami ingat percakapannya dengan Oma dan Nova serta semua kawan rumah Bunda.
---
“Assalamualaikum, Oma, Nova.”
“Waalaikumsalam, Kamami sayang.”
Nova masih diam dan menjawab dalam hati, ia masihlah anak yang pemalu.
“Bagaimana kabar Oma dan Nova?”
“Baik Kamami, kau sendiri?” Tanya Oma.
“Sangat baik Oma! Teman-teman sudah datang?”
“Belum Kamami, mungkin 15 menit lagi.” Kata Nova pelan, karna ia baru saja mendapat kabar dari Lintar.
“Fiuh.. aku rindu kalian semua, selama 3 tahun ini sungguh membuatku tak bisa tidur nyenyak. Lagipula aku bingung, kenapa persiapan untuk masuk ke Univ ini harus 2 tahun lebih?”
“Semua butuh proses, Nak. Tak ada keberhasilan yang cepat didapat.”
“Iya, Oma.” Kamami tersenyum manis pada Oma dan Nova. Sebenarnya ia ingin menangis melihat Oma dan Nova yang telah ia tinggalkan selama 3 tahun, tapi ia tak mau membuat keduanya sedih, ia akan tersenyum indah bagai mentari.
“Bagaimana sekolahmu, Nov?”
“Aku sekarang harus test persiapan sekolah lagi, Mi. Aku bosan setiap akhir sekolah pasti ada test masuk.”
“Haha, kamu harus bersyukur, Nov. Karna kamu bisa menyelesaikannya selama 3 tahun, tidak lebih.”
“Iya benar, Mi!” Nova mulai ceria, karna ia memang sudah sangat rindu pada Kamami, rindu bermanja-manja dengan Kamami.
“Bagaimana sekolah Kamami?” Tanya Nova balik.
“Wah, sangat menyenangkan, Nov. Sekarang aku lebih dulu menjadi mahasiswi lho, Nov.”
“Huuu curang!”
Mereka pun tertawa, walau berbeda tempat, Kamami masih merasa bahwa mereka berada dalam 1 ruangan yang sama.
Tak berapa lama, teman-teman rumah Bunda datang, mereka langsung masuk saja layaknya rumah itu rumah mereka sendiri, Oma memang selalu senang dengan sikap teman-teman Kamami.
“Oh, ini para cucu Oma sudah datang, yasudah Oma mau siapkan makanan special dulu untuk teman-temanmu Kamami.”
“Yahhh.. aku juga mau, Ma!”
“Bermimpilah yang indah tentang Indonesia.” Ledek Nova, Oma tertawa renyah.
Kawan-kawan rumah Bunda langsung duduk di samping Nova, mereka takjub melihat Kamami yang semakin cantik, ia telah berubah setelah hampir 3 tahun berpisah.
“Waw.. kau tambah cantik sayang!” Seru Angel. Disusul anggukan tiga lelaki disampingnya.
“Terimakasih, Njel. Kau juga jauh lebih cantik sekarang.” Masih dengan senyum manisnya.
“Wahaha, aku sich udah cantik dari dulu!” Seru Angel.
Semua langsung memandang heran pada Angel yang benar-benar percaya diri (baca : narsis), Angel hanya cengengesan menanggapi semua tatapan itu.
“Ah, dasar wanita.” Gumam Debo.
“Apa?” Tanya Angel, Kamami, dan Nova bersamaan, dan mereka tertawa bersama. Kamami terus mencari ke seluruh celah, mencari sesosok yang telah hilang selama 5 tahun. Dea.
“Kau cari Dea ya, Mi?” Tanya Kiki yang menangkap sikap aneh Kamami.
“Iya, Ki.”
“Dea belum kembali, tapi aku yakin ia akan kembali tahun ini! Aku yakin ia akan kembali melanjutkan mimpinya di Jakarta!” Seru Lintar.
Setitik harapan mereka tangkap dari sikap Lintar, mereka yakin Dea akan kembali tahun ini.
“Benar, Lin?” Tanya Kiki.
“Insya Allah..” kata Lintar pelan.
“Aku percaya,” kata Kamami.
“Kami juga percaya!!” Seru semua remaja itu. Lalu kembali tertawa bersama.
“Eh, ngomong-ngomong sekarang kamu udah jadi mahasiswi ya, Mi?” Tanya Kiki.
“Iya, Ki.”
“Wah.. enaknya, kita akan ikut tes beberapa minggu lagi.” Kata Angel.
“O iya, rencananya kalian mau masuk kemana?”
Semuanya langsung senyum-senyum, dan kompak menjawab.
“UNIVERSITAS INDONESIA!!”
Kamami sudah tak kuat lagi menahan tangisnya, ia tersenyum tapi matanya mengeluarkan air mata, ia bahagia melihat semangat kawan-kawan seperjuangannya itu, ia akan terus berdoa untuk keberhasilan semuanya.
---
Dea memicingkan matanya, untuk memperjelas pandangannya akan Jakarta yang hanya tinggal beberapa km lagi. Ia pun mulai menyalakan Handphonenya. Ia ingin memberitahukan Bunda Romi bahwa ia akan segera kembali ke Jakarta, bertemu lagi dengan teman-teman Betha Melody. Ia mencari kontak Bunda Romi, dan menekan. ‘call’.
“Halo?” Suara yang sangat Dea rindukan, suara Angel.
“Angel..”
Angel yang mendengar suara Dea, tubuhnya terdiam, ia tak percaya orang yang selama ini menghilang, orang yang berharga baginya dan Kamami, orang yang sangat ia rindukan. Menelpon ke nomor rumah Bunda.
“Dea?”
“Iya, Njel.”
“Kau..”
Kiki, Debo, dan Lintar yang mendengar nama Dea langsung mendekati Angel.
“Siapa, Njel?” Tanya Kiki.
Angel menyerahkan telepon tersebut kepada Kiki.
“Halo?”
“Ini Kiki ya?” Tanya Dea.
“De.. Dea? Ini benar Dea?”
“Iya, Ki.”
“Kau benar-benar Dea?!” Teriak Kiki.
“Iya, Kiki. Sekarang aku ingin bicara pada Bunda.”
“Bunda? Untuk apa, De?”
“Aku akan kembali ke Jakarta.”
Kalimat dari Dea barusan mampu membuat Kiki jadi orang yang tak lagi sekuat Kiki biasanya, mampu membuat Angel tak setegar Angel yang biasa, mampu membuat Debo tak setegas Debo yang biasa, mampu membuat Lintar tak ceria secerah matahari lagi. Mereka lama terdiam, tapi tiba-tiba.
“BUNDAAAAAA!” Teriak mereka bersamaan.
Bunda yang sedang memeriksa formulir anak-anak langsung berlari keluar, mendekati anak-anaknya yang melamun.
“Ada apa ini?!”
“Dea, Dea mau bi.. bicara.. sa.. sama Bunda.” Kata Angel tertatih.
Bunda pun terpaku, ia ambil gagang telepon tersebut dan menempelkannya di telinganya.
“Dea?”
“Bunda.. apakah ini benar Bunda?” Tanya Dea memastikan.
“Iya, Dea.. ini Bunda.”
“Dea akan menepati janji Dea yang dulu, Bun. Janji Dea yang akan kembali jika Ibu sudah sembuh, kini Dea ingin bersama dengan kalian lagi. Jemput Dea 1 jam lagi di pelabuhan Tanjung-Periok.”
“Deaku sayang.. Bunda dan teman-temanmu akan menjemputmu 1 jam lagi.”
‘klik’
Pembicaraan pun terputus, Bunda masih memegang gagang telepon yang sudah kembali ke tempatnya, Bunda menatap anak-anaknya yang juga terpaku pada kejadian ini.
“1 jam lagi, kita akan jemput Dea di pelabuhan Tanjung-Periok.”
Angel menutup wajahnya, ia menangis sejadi-jadinya, karna ia sangat merindukan Dea, Kiki memeluk Angel, Lintar dan Debo pun ikut memeluk Angel, keempat sahabat Dea yang akan menyambut kedatangan Dea, 1 jam lagi.
---
Dea sudah bisa melihat pelabuhan Tanjung-Periok, ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, beberapa menit dan membukanya, lalu kembali menutupnya lalu ia buka lagi begitu seterusnya. Karna ia ingin terus menunggu kejutan lain dalam penglihatannya, ketika ia buka telapak tangannya, ia bisa melihat impiannya semakin dekat dengannya. Ia dapat melihat sahabat-sahabatnya lagi. Bu Mery merangkul Dea dan Emil, matanya terlihat lebih teduh dari biasanya, Bu Mery mengirimkan sinyal positif untuk hati Dea dan Emil, semua tersihir.. suasana hati Dea dan Emil yang barusan tak terkendali oleh bahagia, kini terasa lebih tenang, Dea dan Emil tertunduk, mereka pun mengucap Syukur pada Tuhan.
“Sesampainya di Jakarta, kalian tak boleh lupa untuk terus mengucap syukur pada Tuhan, atas seluruh nikmatnya selama ini. Setiap langkah kalian, usahakan terus mengingatNya. Ibu berharap kalian menjadi anak yang taat agama.”
“Baik, Bu.” Kata Emil dan Dea.
Tinggal beberapa menit lagi, kapal yang mengantarkan anak-anak Summer ini tiba di pelabuhan Tanjung-Periok, tubuh Dea tiba-tiba saja bergetar, perasaannya kembali meluap, tangannya dingin, ia tak sabar melihat Bunda Romi dan kawan-kawan.
“Tunggu aku.”
---
Bunda menyuruh anak-anak asuhnya itu untuk menghias rumah demi menyambut Dea, mereka langsung setuju, tapi Angel tak mau.
“Aku ingin ikut Bunda, aku ingin sekali bertemu dengan Dea.”
Bunda tersenyum lembut, lalu mengangguk.
“Bagaimana jika kita mengajak teman-teman Prince dan Princess?” Usul Kiki.
“Ya! Ide yang bagus!” Seru Lintar.
“Kak Alvin.. ia khan di Paris.” Kata Debo.
Semua terdiam, mereka tahu orang yang begitu berarti untuk Dea kini menghilang, Dea pasti sangat merindukan Alvin.
“Andaikan Kamami di sini.” Gumam Angel.
“Tidak apa-apa, setidaknya kebersamaan kita bisa membuat anak itu lega.” Kata Kiki.
Semua mengangguk mendengar ucapan Kiki, semua pun langsung bersiap, Bunda dan Angel pun pergi ke Pelabuhan.
---
“Jadi begitu, Pak.” Kata Rio pada dosennya.
‘kring’ suara SMS tentu mengacaukan presentasinya, tapi ia berusaha tenang dan tak membaca SMS tersebut.
---
Angel memicingkan matanya, persis seperti yang dilakukan Dea, dan matanya membesar ketika melihat sebuah kapal yang pernah ia tumpangi saat kelas 6 SD muncul kembali. Angel menggenggam tangan Bunda erat, ia sudah sangat rindu pada Dea.
“Dea..” ucapannya begitu lirih, suara indah Angel membuat hatinya sendiri bergetar, ketika ia sebutkan nama Dea perlahan, ia mulai ingat masa-masa indah bersama Dea dan Kamami.
5 menit kemudian, kapal tersebut tiba di Pelabuhan, sudah banyak orang di sekitar Angel, juga menunggu kerabatnya keluar dari kapal. Dea mengangkat barang-barangnya, dibantu Emil, ketiga penduduk desa Summer itu turun dari kapal. Saat Dea pijakan kakinya kembali di tanah Jakarta, ia tersenyum, ia melangkah di jalan mimpi. Sangat dekat.
“Jakarta, aku kembali..”
Saat ia angkat kepalanya yang sejak tadi ia tundukan, ia melihat 2 orang yang ia sayangi, Angel menatapnya lekat, penuh arti, penuh kerinduan, ia hendak berlari memeluk Angel, tapi sesuatu menahannya. Ia mencari Kamami ke seluruh sudut pelabuhan, tapi tak ada.
Dea meletakan seluruh bawaannya lalu berjalan perlahan mendekati Angel dan Bunda, rambutnya yang teruntai terbang akibat angin laut, dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak sangat cepat.
“Sudah kubilang, aku akan kembali.. aku pasti kembali.” Kata Dea ketika ia berhadapan dengan Angel.
“Ya, kau memang janji akan kembali, tapi dalam 3 hari, bukan 5 tahun!” Perkataan Angel bergetar, ia tak kuat menahan tangisnya, ia ingin menumpahkan semua air matanya karna ia tak kuat lagi menahan rasa senang ini.
“Kau bertambah tinggi ya, Njel.”
“Kau juga, De. Bahkan sekarang kau tambah putih, kukira kau akan lebih coklat berada di Desa.” Canda Angel.
Keduanya terdiam, lalu Dea langsung memeluk Angel erat.
“Aku merindukanmu, sangat rindu. Njel.”
“Kau bodoh, De. Kau sangat bodoh, meninggalkan kami tiba-tiba, aku hampir mati saat itu!” Kata Angel dengan sesenggukannya.
“Maafkan aku.. maaf..”
Emil dan Bu Mery mendekati ketiganya, Bunda tersenyum pada Bu Mery dan Emil.
“Terimakasih telah mengantarkan Dea kembali ke Jakarta.” Kata Bunda.
“Sama-sama..” Kata Bu Mery.
Dea melepas pelukannya, dan menyeka air matanya. Ia mengambil tangan Bunda dan Bu Mery, lalu ia jabatkan keduanya.
“Bunda, ini Bu Mery, ia guru matematikaku yang akan membiayai sekolahku di Jakarta. Dan Bu Mery, ini Bunda, ia guru psikologiku, sekaligus orang tua asuhku.”
“Salam kenal.” Kata Bu Mery.
“Salam kenal juga. Maaf sudah kerepotan mengurus anak nakal ini.” Canda Bunda.
Mereka berlima pun tertawa, sesuai permintaan Dea di Pelabuhan Summer, ia ingin pergi ke Smp Betha Melody dulu, sebelum melakukan banyak pelatihan.
“Bagaimana jika Dea, Emil, dan Bu Mery tinggal di rumahku? Masih ada banyak kamar kosong.” Usul Bunda Romi saat di mobil.
“Tidak usah, Bu. Saya sudah menyewa kontrakan.”
“Oh, tidak apa-apa, Bu. Nanti saya akan gantikan semua uang sewanya. Dea pasti ingin tinggal di rumahnya yang lama. Iya khan, De?”
“Tentu Bunda!!” Seru Dea.
Bu Mery terdiam, lalu setuju dengan keputusan Bunda Romi.
“Sepertinya kau punya banyak Ibu ya, De.” Kata Angel.
“Hehe, iya dong.”
Tangan Dea tak pernah lepas dari tangan Angel sejak di pelabuhan tadi, Dea merindukan kejadian ini.
“O iya, siapa namamu?” Tanya Angel pada Emil.
“Eh, iya aku lupa. Aku Emil.” Seraya menjulurkan tangannya pada Angel, tapi Angel bingung menerima uluran itu dengan tangan yang mana, jika tangan kiri dikira tak sopan, sedang tangan kanannya sibuk menggenggam tangan Dea. Angel dan Dea saling pandang, Emil langsung mengerti dan mereka kembali tertawa bersama.
“Hahaha, maaf ya, Mil.” Kata Dea.
“Iya, nggak apa-apa kok.” Katanya kalem.
“Hei, sekarang kau pakai kacamata, De?”
“Iya, Njel.”
“Minus berapa?”
“Satu.”
“Eh dasar kamu! Baru 5 tahun ku tinggal, kamu sudah minus saja! Sekarang aku takkan meninggalkanmu!”
Dea dan Emil tertawa kecil.
“Njel, Kamami kemana?” Tanya Dea.
“Oiya, aku lupa bilang, De. Kamami sekarang kuliah di Bosnia, ia mengambil jurusan psikologi, ia bilang ia ingin menjadi aktivis perdamaian.”
“Kenapa psikologi?”
“Karna ia ingin tahu banyak tentang keadaan jiwa, lagipula ia pun mendapat pelatihan pemimpin.”
“Wow, Kamami hebat..”
“Kita juga harus meningkatkan prestasi kita, De!”
“Ya!”
---
Dea menatap ke jendela, hujan turun rintik-rintik, entah kenapa. Dea merasa hujan hari ini sungguh hujan paling indah, walau dinginnya udara begitu menusuk. Tapi ia merasakan kehangatan yang luar biasa, kehangatan persahabatan.
Mobil Bunda Romi tiba di pekarangan rumah Bunda. Angel masih menggandeng Dea, menarik Dea ke dalam rumah.
‘tat-tarataaaattttt’ suara terompet yang amat kencang memenuhi ruangan, Dea menggabungkan kedua telapak tangannya, dan tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan.
Di hadapannya terdapat sebuah spanduk bertuliskan
SELAMAT DATANG SAHABATKU DEA CHRISTA AMANDA
Lintar langsung memeluk Dea, Kiki dan Debo saling pandang lalu ikut memeluk Dea. Shilla, Sivia, Zeze, ketiga anak itu datang dengan sukacita, menyambut anggota Princess yang pernah hilang itu. Oliv dan Oik tidak bisa datang, Obiet, Patton, dan Iel pun datang menyambut gadis yang membuat 2 pentolan Prince merasakan cinta.
“Terimakasih.. dan maaf untuk semua sikapku yang bodoh ini.” Sesal Dea.
“Kau memang bodoh,” kata Kiki dingin.
Semua menatap Kiki heran.
“Kau meninggalkan kami tiba-tiba, dan sekarang kau juga datang tiba-tiba, memberikan waktu hanya 1 jam untuk menyambut kedatanganmu.” Kata Kiki agak dingin, Dea menunduk. Tapi lama-lama Kiki tertawa, bahkan sangat keras. Mereka semua yang ada diruang tengah pun ikut tertawa, Kiki merangkul Dea.
“Kau pernah mengajariku tentang hidup, tapi kau belum sepenuhnya mengerti akan hidup.”
Dea menyembulkan tawa kecilnya, Kiki menatap lekat sahabatnya itu, Kiki juga sangat rindu pada Dea yang mennyemangatinya saat ia menyesal masuk ke Smp Betha Melody.
“Boleh kutanya sesuatu?” Tanya Dea.
“Boleh, De.” Kata Angel.
“Kak Alvin mana?”
Semua saling pandang, Angel tersenyum dan mendekati Dea.
“Kak Alvin mengejar mimpinya menjadi Musisi, De. Di Paris,”
“Paris?”
“Ya,” sahut Iel.
Dea menatap handphonenya, ia ingat saat Alvin menelponnya dengan nomor asing, ternyata itu nomor Paris. Dea menghelakan nafasnya.
“2 orang yang juga berharga di hidupku.. pergi ke luar negri.. padahal aku rindu mereka.”
“Kamu nggak lupa sama seseorang yang lain?” Tanya Obiet.
“Siapa?”
Semua kembali saling pandang, dan memaklumi sikap Dea, ia memang tak punya sedikitpun rasa suka pada Rio, maklum saja jika Dea sedikit lupa.
“Ah! Kak Rio! Kemana kak Rio?!”
Angel dan yang lain langsung lega.
“Mungkin Rio sedang sibuk dengan presentasinya,” tebak Patton.
Dea sedih mendengarnya, karna Dea juga merindukan Rio, sama seperti sikapnya pada yang lain.
---
Rio pun menyelesaikan presentasinya menemai peranan Agama pada Hukum Indonesia, Dosennya memberikan two thumbs untuk Rio.
“Bagus, presentasi yang padat tapi kritis.” Puji Sang Dosen.
“Terimakasih, Pak.”
“Ok, pertemuan kali ini ditutup oleh presentasi gemilang dari Mario Stevano.”
Suara tepuk tangan pun mengiringi Rio saat ia kembali ke tempat duduk, setelah pamit, Sang Dosen meninggalkan kelas. Rio membuka jasnya dan menggantinya dengan jaket putih garis-garis kesayangannya.
“Sepulang dari sini, mau kemana, Yo?” Tanya Dayat.
“Aku nggak tahu ni, Day. Bosan juga di apartement, lagipula besok sedang bebas. Aku ingin refreshing dulu.”
“Ke restoran Jawa kesukaanku yuk?”
“Haha, restoran milik Papa Rara khan?”
“Ih! Kok tahu mulu’ sich!” Kesal Dayat.
“Hahaha, kamu tu nggak jauh dari anak yang namanya Zahra Damariva itu.” Seraya menunjuk gadis berkacamata yang bersiap pulang.
“Ssst!”
Rio tertawa agak keras, menghilangkan image kalem selama presentasi tadi. Seorang gadis menghampiri Rio. Ia tersenyum semanis mungkin.
“Kamu kenapa, Ya?”
“Nggak apa-apa, aku hanya mau mengagumimu.”
“Hah?! Mengagumi??”
“Iya, presentasimu sangat bagus! Aku ingin belajar banyak darimu.”
“Oh, Cahya-Cahya, presentasimu lebih baik dariku, buktinya kau dapat A+ sedang aku hanya dapat A.”
“Tapi kau sungguh mengagumkan.”
“Ehem. Dayat dan aku harus cepat pergi, dagh Cahya.”
Rio langsung menarik Dayat keluar, dan di luar Dayat tertawa sekencang-kencangnya, Rio langsung membekap mulut Dayat, tapi kini badan Dayat bergetar karna menahan tawa.
“Kau itu! Sudah, ayo ke restoran Jawa Rara!”
“Cieee.. Rio Cahya!” Ledek Dayat.
“Dasar Rara!”
Dayat dan Rio berlarian, sekilas mereka teringat masa SMA mereka yang indah, penuh putih abu-abu, dan penuh kejadian menarik. Dan semua itu membuat Rio lupa akan SMS yang diterimanya saat ia presentasi, sebuah pesan singkat yang mengatakan bahwa Dea sudah ada di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini