Sabtu, 08 Januari 2011

Rain from Heaven 26 - tamat

Bismilahirahmannirahim

Hadiah Terindah, Rain from Heaven

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi Dea dan Emil, karna mereka berdua akan mengikuti wisuda, 6 tahun sudah mereka jalani program-progam S1 dan S2. Sedang Angel, Kiki, Debo, dan Lintar. Mereka sudah lulus S1 dan telah bekerja di masing-masing bidang mereka, Angel mengumpulkan uang untuk membangun perpustakaan sederhana dan sekolah sederhana untuk anak-anak kurang mampu pun telah tercapai, Lintar dan Kiki pun kini sudah menjadi pengacara yang handal, dan Debo mennjadi guru Psikologi di Smp Betha Melody menggantikan Bunda yang pensiun. Bagaimana dengan Kamami? Jawabannya, ia sedang dalam pelatihan sebagai aktivis perdamaian di Bosnia, awalnya ia menjadi relawan ke Palestina, kemudian meningkat dengan segala pelatihan.
Alvin juga akan segera pulang untuk menjemput Dea, ia akan melamar Dea agar ia bisa hidup bersama Dea. Dan Rio?
---
Rio menemui Ayahnya, ia menunjukan sertifikatnya dan gelarnya sebagai Pengacara Indonesia dengan beberapa kasus yang sukses ia tuntaskan. Ayah Rio mendekati Rio dan menepuk punggung Rio.
“Kau tetap anak Ayah, walau kau bukan pengacara, kau bisa melanjutkan mimpi Ayah yang sirna.”
“Mimpi Ayah yang sirna?”
“Sini, Yo. Ayah mau cerita banyak padamu.”
Rio dan Ayahnya duduk di sofa, baru kali ini Rio merasakan Ayahnya begitu dekat dengannya, ini pertama kalinya ia akan mengobrol dengan Ayahnya, dan ini pertama kalinya ia akan merasakan kehangatan seorang Ayah.
“Dulu, Ayah bercita-cita menjadi Pengacara karna Ayah melihat Pamanmu menjadi Pengacara yang selalu membela kebenaran, Pamanmu itu sangat tulus membantu orang-orang. Ayah ingin sepertinya, tapi Kakekmu ingin profesi di keluarganya berbeda-beda, maka dari itu Ayah menjadi pengusaha, setidaknya Ayah bisa membantu orang-orang yang membutuhkan, membantu orang itu bukan dengan 1 profesi saja, Yo. Tapi semua aspek kehidupan yang positif bisa kita manfaaatkan untuk membantu orang lain, bahkan terkadang hal negatif dapat digunakan untuk membantu orang, kau ingat kisah-kisah Pencuri sekaligus Pahlawan zaman dulu? Walau hanya cerita, hal itu bisa menjadi pelajaran Rio. Kau harus menjadi Pahlawan sejati.”
“Rio menyayangi Ayah, walau Ayah bukan pengusaha, walau Ayah bukan orang kaya, tapi sungguh, hatiku mencintai Ayah sebagai Pahlawan Rio, bahkan sebelum Ayah ingin Rio menjadi Pengacara, jauh dilubuk hati paling dalam Rio ingin menjadi Ayah, tapi semua itu sirna karna kebencianku pada Ayah.”
“Kau boleh benci pada Ayah, tapi jangan kau benci hati Ayah yang akan selalu menjagamu.”
Rio ingin memeluk Ayahnya, tapi ia ragu, dan tiba-tiba Ayah Rio memeluk Rio. Kehangatan ini yang selalu Rio dambakan, terimakasih Tuhan.
---
Hari wisuda Dea dan Emil akan berlangsung 2 jam lagi, kawan-kawan rumah Bunda mengiringi perjalanan Emil dan Dea, hingga wisuda itu berlangsung. Dea dan Emil mengenakan pakaian …… untuk Sarjana Kedokteran S2 yang bisa menjadi dokter tetap, Dea menjadi Dokter specialis bedah atau penyakit dalam, dan Emil sebagai dokter umum. Setelah wisuda, kedua dokter ini akan kembali ke desa Summer, berterimakasih pada semua pihak yang telah membantu mereka selama ini. Mereka juga ingin menepati janji mereka pada Melisa.
---
“Kalian berdua yakin, akan pulang ke Desa?” Tanya Bunda.
“Aku akan tinggal di Desa dan mendirikan klinik di Sana.” Kata Emil.
“Tenang Bunda, aku nggak akan tinggal di Desa, aku akan mengajak Ibu ke Jakarta, kami akan tinggal di Apartemen berdua, dan aku akan kerja di rumah sakit milik Ayah kak Ify.”
“Jemput Bundaku juga ya, De. Kita tinggal di Apartemen yang sama.” Kata Lintar.
“Benarkah kau mau se-Apartemen denganku?”
“Heeh, lagipula kantorku dekat dengan rumah sakit Ayah kak Ify, rumah sakit Tunas Jakarta.”
“Tapi tunggu aku kembali beberapa minggu lagi,”
“Kau nggak berniat liburan di Sana khan?” Tanya Angel.
“Aku bukan liburan, tapi aku ingin menepati janjiku dan juga janji Emil, pada seorang sahabat kami di Desa.”
“Kau punya banyak janji ya, De.” Ledek Debo.
Keenam anak rumah Bunda dan Bunda tertawa bersama, Dea melihat jam tangannya, dan menarik tangan Emil.
“Ayo bergegas, nanti kita kemalaman.”
“Kami pamit dulu ya.”
“Jaga kesehatan.” Kata Kiki.
Emil dan Dea mengangguk dan pergi ke Desa Summer.
---
Di kapal yang sama, kapal yang mengantarkan mereka menuju mimpi-mimpi anak Desa Summer, kapal yang sudah usang, kapal yang masuk ke daftar pihak berharga milik Dea dan Kamami. Dea teringat kertas hitam dan tinta putih milik Kamami yang berisi impian-impiannya, Dea menatap semua mimpinya telah terwujud.
“Terimakasih Tuhan.”
“De…”
“Ya?”
“Kanker Hati itu, sulit disembuhkan.”
Dea tersenyum walau terpaksa, ia menatap laut yang begitu luas terbentang mengingatkannya pada Meli, sahabatnya yang selalu tersenyum, Meli menderita Kanker hati keturunan Ibunya, sebenarnya selain Ayah, Dea termotivasi karna Meli juga, Emil yang sudah lama menyukai Meli pun termotivasi karna cintanya.
“Kita harus berusaha, mencari cangkok hati yang cocok untuk Meli, jika hal itu mustahil dilakukan, mungkin kita bisa menemani Meli di saat-saat terakhirnya.”
“Kenapa Tuhan tega mengambil Meli?”
“Mungkin karna Tuhan ingin, gadis itu tak merasakan sakit lagi, mungkin Tuhan ingin, Meli bisa tersenyum di langit sana.”
“Walau ia pergi, Meli pergi menjadi gadis yang dikenang akan kebaikannya.”
“Ya, Meli gadis yang beruntung.”
“Tapi kita harus menyembuhkannya! Apapun yang terjadi!”
Dea mengangguk pasti.
---
Setelah mengunjungi keluarga masing-masing, Emil dan Dea bertemu di SMA mereka yang dulu, baru mereka ke rumah Meli.
“Meli…” panggil Dea.
Tapi tak ada jawaban, rumah Meli pun sangat sepi, Emil mengetuk pintu rumah Meli berulang kali, setelah 10 menit menunggu akhirnya Dea dan Emil memutuskan untuk bertanya pada tetangga.
“Meli?”
“Iya, Bu. Melisamanda.”
“Ayah Meli telah lama pindah, semenjak kepergian Meli.”
“Ke.. kepergian Meli?”
“Iya, Nak. Semenjak kepergian Meli 2 tahun yang lalu. Kasihan anak itu, padahal ia baru saja resmi jadi guru agama di SD Summer,”
Jantung Dea terasa sangat sakit mendengar kabar itu, penyakitnya kambuh. Dea memegangi dadanya, tubuhnya bergetar.
“De, kamu kenapa?”
“Meli… bahkan kita belum bisa menepati janji kita.”
Mata Dea berkunang, tubuhnya yang hampir jatuh ditangkap Emil. Emil tahu penyakit Dea kambuh, Emil langsung mencari obat penenang Dea dan menuntun Dea untuk meminumnya.
“Makasih, Mil.”
“Kamu kenapa, Nak?”
“Nggak apa-apa, Bu. Apa Meli dimakamkan di Sini?”
“Iya.”
“Terimakasih, Bu. Kami permisi dulu.” Pamit Emil seraya menuntun Dea, karna Dea belum pulih sepenuhnya.
“Sebaiknya kita istirahat dulu, besok pagi baru kita ke makam Meli.”
“Nggak, Mil. Aku mau minta maaf sama Meli secepatnya. Baru besok aku pulang ke Jakarta.”
“Secepat itu?”
Dea terdiam, lalu mengangguk.
Dea dan Emil pun kini duduk di samping makam Meli. Angin sore terus berhembus makin menyesakan hati keduanya, terbayang wajah manis Meli yang tersenyum, terbayang wajah manis Meli yang menyemangati Dea dan Emil, terbayang kebaikan Meli yang selalu mengiringi perjalanan keduanya. Dea mengelus nisan bertuliskan nama sahabatnya.
“Senyummu akan akan selalu kukenang, karna dari senyummu semua cahaya itu muncul, semua kasih sayangmu menyelimutiku.” Lirih Dea.
“Mel, waktu memang tak bisa diputar, tapi aku ingin kau tahu tentang perasaanku, aku mencintaimu, lebih dari kata terindah itu, sahabat.” Emil menabur bunga Anggrek kesukaan Meli. Dea menempelkan kedua telapak tangannya pada nisan Meli, ia rasakan kehangatan Meli.
“Begitu hangat seperti semua perlakuanmu pada kami.”
“Meli, semoga kau tenang di Sana.” Do’a Emil, Dea ikut berdo’a dengan Emil.
Emil berdiri dan menggandeng tangan Dea.
“Aku akan sering ke Sini, kau tenang saja di Jakarta.”
“Iya, Mil.”
---
Dea mendekati Ibunya yang sedang duduk sambil merajut sebuah syal berwarna ungu. Dea peluk Ibunya, karna ia takut Ibu akan meninggalkannya.
“Kau begitu hangat penuh kasih sayang, Nak.”
“Ibu sedang buat syal untuk siapa?”
“Siapa lagi, kalau bukan buat anak Ibu tersayang.”
“Aku? Serius, Bu?”
“Iya, mungkin besok sudah jadi.”
“Ibu tak boleh memaksakan ini, nggak baik untuk kesehatan Ibu.”
“Tak apa, demi Bu Dokter kebanggaan Ibu.”
“Oh iya, Bu. Besok kita ke Jakarta,”
“Hah?! Cepat sekali, Nak?”
“Aku hanya ingin cepat kerja, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ibu.”
“Anakku ini memang membanggakan.”
Dea tak mau bercerita tentang Meli, ia ingin menenangkan dirinya. Dea tak tahu harus bicara dengan siapa. Rio? Apa mungkin Rio orang yang tepat? Otaknya terus berfikir, dan nama itupun muncul. Alvin. Dea pun menghubungi Alvin.
“Halo, Dea? Ada apa, De?”
“Kak.. aku mau cerita.”
“Cerita saja, De.”
“Sekarang di Sini jarang hujan, Kak. Aku bĂȘte.”
“Hahahaha, dasar adikku tersayang ini. Ada-ada saja, kalau terus hujan juga kamu bisa sakit sayang.”
“Hehe, tapi bukan itu yang ingin kuceritakan kak.”
“Keluarkan semua yang mengganjal di hatimu, De.”
“Aku tak bisa menepati janji pada sahabatku, ia pergi sebelum aku menemuinya. Aku sudah berjanji padanya, akan menyembuhkan penyakitnya jika aku sudah menjadi dokter. Tapi terlambat. Ia pergi…”
‘Dea, andaikan kakak ada disampingmu, kakak ingin menenangkanmu lebih dekat.’ Pikir Alvin.
“Semua ini sudah suratan takdir, De. Kau harus mendoakan ketenangan kawanmu dari dunia. Seperti yang sering kau lakukan pada kak Cakka.”
“Kak Cakka… aku kangen sama kak Cakka.”
“Kak Cakka pasti sudah tenang di Sana. Kau harus tenang juga di Sini.”
“Satu hal yang bisa membuatku tenang, emm, kapan kak Alvin pulang?”
“Mungkin tahun ini, De.”
“Tahun ini?!”
“Iya, De. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, semoga kak Alvin bisa menemaniku di ulang tahunku tahun ini.”
“Amien.”
“Yaudah, Kak. Aku tidur dulu ya, karna besok pagi aku harus pulang ke Jakarta.”
“Selamat malam, Dea.”
“Selamat malam juga, Kak. Mimpi indah ya.”
Dea memeluk Handphonenya, ia ingin Alvin segera pulang. Bercerita pada Alvin membuatnya lebih tenang dan bisa tidur dengan tenang.
---
29/November/2021
Alvin menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta. Ia akhirnya tiba di Jakarta, perasaannya tak menentu. Karna ia ingin segera bertemu Dea. Langkahnya begitu cepat keluar dari Bandara, ia sudah meminta Rio untuk menjemputnya di Bandara. Alvin tahu, arah mobil yang datang akan berhenti berlawanan dari arah ia menunggu. Akhirnya Alvin menyebrang.
“Awas, Mas!!”
---
Rio memarkirkan mobilnya, ia tak melihat Alvin, tapi melihat kerumunan dan karna penasaran Rio pun melihat apa yang terjadi.
“Ada apa, Pak?”
“Itu, Mas. Ada tabrakan! Seorang lelaki kulitnya putih, tapi sekarang bersimbah darah!”
“Lho? Kok nggak dibawa ke rumah sakit?”
“Kami takut, Mas.”
Rio masuk ke kerumunan hendak menolong orang yang tertabrak tadi. Tapi betapa terkejut dirinya, ketika melihat korban kecelakaan itu.
“Alvin!”
Rio langsung meminta bantuan orang-orang untuk mengangkut Alvin ke mobilnya.
“Tolong, kemudikan mobil saya, pikiran saya kacau.” Pinta Rio, seorang anak seumuran Rio menawarkan diri, dan mereka melesat ke rumah sakit, Tunas Jakarta.
Di dalam mobil, Rio terus menguatkan Alvin yang sedang dalam keadaan kritis. Ia terus berdoa.
“Yo..” panggil Alvin.
“Alvin? Kamu bangun, Vin? Kamu harus kuat, Vin. Sebentar lagi kamu akan ditangani Dea.”
“Ja.. jangan, Yo.”
“Apa?”
“Jangan beritahu Dea, so..soal kecelakaan ini.”
“Tapi Dea pasti bisa membuatmu bertahan, Vin!”
“A…aku sudah, nggak kuat lagi, Yo.”
“Nggak, Vin! Kamu harus kuat, demi Dea! Ya! Demi Dea!”
“Ji… jika aku nggak bisa la..lagi hi..hidup, tolong berikan jantung ini di ha…hari u..ulang tahunnya,”
“Nggak, Vin. Kamu nggak akan kemana-mana,”
“Tolong, berikan jantungku untuk hadiah terindahku untuknya, aku ingin Dea tetap hidup. Bersamamu.”
“Kamu nggak akan kemana-mana, Vin. Percaya sama aku.”
“Aku akan menjaga Dea, baik aku ada atau pun sudah tiada.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu, Vin. Please, jangan siksa aku.”
“Kau harus menjaga Dea, seumur hidupmu. Berjanji…lah pa…padaku.”
“Nggak ada yang jagain Dea, kecuali kamu, Vin!”
“Ka..katakan padanya, aku sangat mencintainya.”
Rio terdiam, ia tak kuat melihat Alvin yang semakin lemah.
“Mas, lebih cepat dong!” Rio agak berteriak karna ia sangat panic.
---
Mata Dea berkunang, kesadarannya tiba-tiba memudar, jantungnya berdegup kencang menyakiti seluruh tubuhnya, Dea semakin lemah dan akhirnya terjatuh di ruangannya sendiri.
---
Rio mengantar Alvin hingga ruang UGD, ia mencari Dea. Tapi ruangan Dea kosong.
“Yo, kamu cari Dea?” Tanya Ify.
“Iya, Fy.”
“Dea sedang di kamar rawat, penyakitnya kambuh.”
“Apa?!”
Rio berlari ke kamar Dea, di Sana Rio menatap lekat wajah Dea yang pucat
“Kamu kenapa, De?”
“Penyakitku tiba-tiba kambuh, Kak. Saat itu aku sedang memikirkan kak Alvin.”
“Alvin?”
“Ya, tiba-tiba perasaanku sangat sedih ketika memikirkannya, apa ini pertanda buruk ya, Kak?”
“Tidak, aku harap tidak.” Lirih Rio.
‘Cinta kalian begitu kuat, Alvin akan selalu bersamamu, bersama hujan-hujanmu selamanya.’
---
30/November/2021
Rio menatap nisan Alvin, ia elus nisan yang masih baru itu, ia tak menyangka Alvin harus pergi secepat ini. Tak ada teman Dea yang tahu kepergian Alvin, Rio ingin menyanggupi permintaan terakhir Alvin. Ia akan menjaga Dea seumur hidupnya.
“Aku akan menjaga Dea untukmu, Vin. Dan jantungmu… akan kuberikan sebagai hadiah darimu, hadiah terindah untuk Dea.”
---
Sejak kejadian 29/November/2021 itu, Rio semakin sering berada di samping Dea, keadaan Dea juga mencemaskan, wajahnya begitu pucat, dan juga anak ini terus mengetik.
“Sebenarnya apa yang kau ketik, De?”
“Masa-masa kecil kita, Kak. Aku ingin mengenangnya, dan mungkin akan selesai saat ultahku yang 2 hari lagi.”
“Nanti aku lihat ya?”
“Pasti, Kak!”
“Cepat sembuh ya.”
Dea mengangguk, tanpa tahu rahasia terbesar yang dipegang Rio.
Rio menggenggam tangan Dea.
“Aku mencintaimu.”
Mata Dea membesar karna terkejut dengan perkataan Rio.
“Mungkin kau terkejut dengan ucapanku, tapi sungguh aku mencintaimu. Dan aku ingin melamarmu.”
“Kak Alvin…”
“Suatu saat nanti, aku akan memberitahumu alasan, kenapa aku berani melamarmu.”
---
10/Desember/2021
Kak Rio menatap Dea dengan seksama, menyaksikan Dea yang masih asyik di depan laptopnya sedang ia masih sakit.
“Kamu itu, kenapa masih saja mengetik?”
“Tak apa kak, aku hanya bernostalgia”
“Yasudah, Besok jam 00.00 akan ada kejutan untukmu de.”
“Besok? Harusnya hari ini kak.”
“Tidak, sebaiknya kau selesaikan kisah-kisahmu itu. Baru besok kita rayakan kejutan untukmu”
“Boleh-boleh..”
“Yasudah, aku pergi dulu ya.”
“Mau kemana kak? Ngobrol dulu dong kak, masa’ aku sendirian terus daritadi”
“Tak apa, haha.. sudah ya, bye!”
“Bye..”
---
“Uhuk-uhuk.”
Dea terbatuk karna dadanya sangat nyeri, tapi ia mencoba untuk terus bertahan.
“Sore, De.”
“Sore, Njel.”
“Bagaimana keadaanmu bu Dokter?”
“Haha, sepertinya sebutan Dokter sudah tak pantas untukku yang sakit-sakitan ini.”
“Kenapa nggak pantas? Justru kau adalah dokter sejati, De. Kau selalu berusaha tersenyum untuk semua pasienmu, walau kau sendiri sedang menderita.”
“Ah, sudahlah tak usah terlalu memujiku. Ngomong-ngomong, ada kabar dari Kamami?”
“Belum, De. Kita berdoa saja agar Kamami bisa kembali saat kejutan ultahmu.”
“Iya, tapi aku aneh lho, masa’ kejutan bilang-bilang.”
“Nggak apa-apa dong, biar kamu tambah penasaran!”
“Hahaha.”
“Wajahmu tambah pucat, De.”
“Nggak apa-apa kok njel.”
“Aku pulang dulu ya de, ini bunga untuk menyegarkan pikiranmu.”
“Makasih ya njel.”
---
11/Desember/2021. 00.01 WIB
Keadaan Dea makin tak terkendali, tubuhnya semakin lemah, jantungnya berangsur lemah, Dea tak bisa membuka matanya. Dan tepat di hari ulang tahunnya, ia akan di operasi, hal yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Rio menunggu operasi Dea, ia berharap jantung Alvin bisa membuat Dea terus bertahan. Kamami sudah kembali ke Jakarta demi Dea, ia juga ingin istirahat sebelum ia siap bertugas untuk dunia.
Semua anak rumah Bunda, bersama Prince datang untuk mengetahui keadaan Dea.
“Kak Rio, bagaimana keadaan Dea?” Tanya Lintar.
“Kita berdo’a, semoga jantung Alvin bisa menolongnya.”
“Jantung Alvin?!” Teriak semuanya.
“Alvin sudah meninggal sejak November yang lalu, ia ingin jantungnya menjadi hadiah ulang tahun Dea.”
“Kenapa kau tak pernah mengatakannya pada kita, Yo?!” Protes Iel.
“Ini permintaan Alvin, Yel.”
“Anak itu tetaplah tertutup, bahkan disaat-saat terakhirnya.” Kata Patton.
“Innalilahi wainnalilahi radjiun.”
“Tentu, ini hadiah terindah untuk Dea.” Kata Kamami.
Berjam-jam berlalu, baru kemudian seorang dokter keluar dan tersenyum pada Rio dan teman-teman.
“Dokter Dea bisa tersenyum lega untuk kesembuhannya, syukurlah ada pendonor jantung yang pas. Alhamdulillah.”
Lintar, Rahmi, dan Debo sujud syukur akan kesembuhan Dea, Rio ingin merasakan sujud itu, ia ingin berterimakasih pada Allah SWT, keyakinannya sekarang berbeda. Ia ingin menjadi Islam dan mengajak Dea juga. Ia ingin mendapat cahaya kehidupan yang nyata.
---
11/Desember/2021
Semua menatap Dea yang masih tertidur, sekarang di tubuh Dea telah melekat jantung hatinya sendiri, jantung Alvin.
“Kak Alvin begitu menyayangi Dea.” Gumam Kamami.
Mata Dea perlahan-lahan membuka, Rio makin erat menggenggam tangan Dea. Dea tersenyum lemah pada kawan-kawannya.
“Selamat ulang tahun ya, De!!”
“Terimakasih, apa ini kejutan dari kalian? Bukankah jam 00.00 nanti?”
Semua diam, mereka tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
“Tidak, kami mempercepat kejutanmu!” Seru Rio.
“Oh ya? Kamami? Apa benar itu kamu?”
Kamami mengangguk, lalu memeluk Dea.
“Selamat ulang tahun, sayang.”
“Terimakasih, Mi. Kau juga kado terindah untukku.”
Dea memandang sekeliling, ia mencari Alvin, lalu memegang dadanya. Ia merasa sangat tenang, sama seperti keadaannya saat ia bersama Alvin. Kenapa Alvin tak ada di Sini? Apa ia sembunyi?
“Kak Rio..”
“Iya, De?
“Siapa orang yang rela mendonorkan jantungnya untukku?”
Rio memejamkan matanya, kali ini ia harus mengatakannya pada Dea.
“Nanti siang, kita ke makam orang baik itu.”
“Benarkah?”
“Iya.”
---
Rio tak mau melepas pandangannya dari Dea, ia ingin terus menjaga Dea. Setiap melihat Dea ia selalu ingat Alvin, karna Alvin dan Dea sudah menyatu.
Dea dan Rio duduk di samping makam Cakka, tertulis jelas Cakka Nuraga. Ingatan Dea melayang ke 15 tahun yang lalu. Saat Cakka menyelamatkannya dari Pohon besar, jasa Cakka takkan Dea lupakan.
“Tapi, Kak. Katanya kita akan ke makam pendonor jantungku?”
Rio tak menjawab, ia terus menabur bunga. Dea tersadar, ia merasa seluruh tubuhnya kedinginan, ia ketakutan.
“A..apa, kak Alvin mana kak?”
Rio menggandeng tangan Dea, dan mengajaknya ke makam Alvin yang tak begitu jauh dari makam Cakka. Dea terdiam, ia merasa tubuhnya melayang. Pandangannya pudar, Rio terus menggenggam tangan Dea.
“Alvin akan terus menjagamu, walau ia sudah tiada. Seperti janjinya pada kak Cakka.”
Dea masih terdiam.
“Kapan.. sejak kapan kau merahasiakan ini?”
“Sudah lebih dari seminggu.”
“Kenapa kak Alvin meninggal?”
“Ia kecelakaan, De.”
“Kenapa… kenapa kau tidak memberitahuku? Jika kau memberitahuku, aku akan menangani kak Alvin!! Kau tahu khan, aku ini dokter!! Aku akan sekuat tenaga menyembuhkan kak Alvin!” Bentak Dea, prilakunya tak terkendali, karna ia tak ingin menerima kenyataan ini.
“Alvin yang menyuruhku, De.”
“Kau terus membohongiku! Kau tak pernah jujur padaku!”
“Tapi aku tak pernah bohong dengan perasaanku, De!”
Dea jongkok, dan mengelus nisan Alvin. Ia memegang dadanya lagi, ia rasakan detak jantung kak Alvin dan juga jantung kak Cakka.
“Mereka memang selalu menyelamatkanku, siapa lagi yang akan pergi dari hidupku?”
“Aku akan terus bersamamu, De. Aku janji.”
“Aku sudah tak percaya pada janji.”
“Tapi aku akan terus berusaha, aku akan berusaha memenuhi janjiku padamu juga pada Alvin.”
Rio memeluk Dea erat, seperti dulu. Saat mereka masih Smp, saat Dea ingin menjauhi Rio. Dea memegang janji Rio, ia ingin terus bersama Rio.
Alvin memang menepati janjinya, dengan jantungnya yang kini bersama Dea, Alvin bisa menjaga Dea dan seluruh hujan yang mengantarkan cintanya dari Surga. Rain from Heaven.


FIN

akhirnya tamat juga, walaupun garing. Aku ucapin TERIMAKASIH ya buat SEMUA pihak yang udah dukung aku selama ini. Terutama ALLAH SWT
Alhamdullilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini