Minggu, 26 Desember 2010

Rain from Heaven 19-20

Chapter 19
Promise, Rain from Heaven

Aku terus berlari mencari dimana kak Alvin dirawat, airmataku terus mengalir tapi langsung kuusap agar tak menghalangi pandanganku. Kak Rio berlari di depanku, ia juga sibuk mencari, aku bertanya pada seorang suster.
“Anak lelaki yang baru saja masuk rumah sakit ini? Ada! Anak itu langsung dilarikan ke UGD.”
UGD? Ah, kenapa aku tak berfikir kesana!? Bodoh!
“Terimakasih sus”
Aku langsung berlari dan menarik kak Rio ke ruang UGD. Kami bertanya kepastian bahwa kak Alvin ada disana, dan benar.
Kak Rio mengajakku untuk duduk, tubuhku lemas airmataku kembali turun. Kak Alvin, maafkan aku. Maafkan, tolong tetaplah hidup. Tolong kak. Jangan meninggalkanku seperti kak Cakka meninggalkanku. Tolong.
Tuhan, berikan kesempatan untukku, melihat senyum kak Alvin yang sangat tulus. Melihat bayangan kak Cakka. Hah? Kak Cakka? Bodoh! Sekarang yang ada dihadapanmu itu kak Alvin! Hanya kak Alvin! Tak ada yang lain! Tolong De, lihat kak Alvin sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai kak Cakka!
Tak berapa lama, teman-teman rumah Bunda dan PRINCE datang, mereka banyak bertanya dan aku tak bisa menjawabnya, kak Rio mengajak teman-teman ke lain sisi untuk menjelaskannya. Sedang aku tetap ingin sendiri menenangkan diri juga berdoa demi kak Alvin.
“Kak Alvin.. tetaplah hidup” lirihku.
Seseorang mengelus rambutku, dan kutatap ia. Kak Cakka?! Ini nggak mungkin! De, bangun De!
“Tetaplah berdo’a untuk Alvin, kau akan menemukan semua jawaban janjiku darinya”
Setelah mengucapkan hal itu, kak Cakka menghilang. Apa ini nyata Tuhan?
---
Alvin berjalan lunglai, ia terlihat sangat lelah, matanya sayu, dan akhirnya ia terduduk. Di padang putih yang sangat asri.
“Dimana aku?”
“Rain from Heaven adalah hujan cinta vin.”
“Hah? Kak Cakka?”
Cakka tersenyum lembut pada Alvin, ia menggenggam tangan Alvin, terasa sangat hangat untuk Alvin.
“Hujan cinta?”
“Ketika kau bertemu dengan Dea, tolong jagalah Dea dengan kasih sayangmu. Aku akan terus menatapmu dari atas langit, langit yang akan terus mengeluarkan air cinta padamu.”
“Itulah jawaban janjimu kak? Kasih sayang?”
Cakka kembali tersenyum, dan menghilang.
Bersamaan dengan itu, jantung Alvin berdegup cukup kencang, membuat semua orang disekitarnya sangat senang.
“Anak ini hidup, Alhamdulillah!” Seru seorang suster.
Sang dokter bersemangat untuk membuat Alvin melewati masa kritisnya.
---
Jantungku berdegup sangat tenang, apakah kak Alvin selamat? Dan jawabanku keluar dalam waktu yang singkat, seorang dokter yang menangani kak Alvin tersenyum lebar padaku, aku ikut tersenyum tapi air mataku terus mengalir dan mulutku tak berhenti berucap syukur pada Tuhan. Kontan aku langsung memeluk kak Rio, ia mengelus rambutku, sangat hangat. Perasaanku sangat tenang, airmata ini dapat kukeluarkan kembali untuk kembalinya bayangan penyelamat hidupku, kak Alvin. Tuhan, terimakasih.
Kak Alvin dipindahkan ke kamar rawat, kami mengiringinya dan langsung menemuinya. Ia sudah sadar, dan tersenyum pada kami. Aku menatapnya dengan tatapan teduh, sangat teduh hanya untuk anak ini. Kak Alvin membalas senyumku, tak kalah menenangkan.
“Kau ini, hati-hati dong kalau naik motor” kata kak Obiet.
“Haha, habisnya aku memang sedang kepikiran sesuatu”
“Apa tu?” kata kak Iel.
“Dea…”
Semua mata langsung tertuju padaku, mereka sangat terkejut begitupun aku. Aku?
“Maksudmu vin?” Tanya kak Rio.
“De, kau memang putri kak Cakka”
Wajahku bersemu merah, kenapa? Karna aku malu mendapat panggilan putri dari kak Alvin, semua langsung tersenyum dan meneriaki wajahku yang malu.
“Cieee.. jadi putri Cakka itu kamu to, De!” Seru kak Patton.
“Iya, dan sekarang aku siap menunaikan janji kak Cakka.” Kata kak Alvin.
“Hah? Apa janjinya vin?” Tanya kak Obiet.
“Rain from Heaven.”
“Kakak sudah tahu jawabannya?” Tanyaku.
“Kasih sayang, De. Aku punya tugas menjagamu.”
“Ciee.. jaga-jagaan!” Seru kak Iel.
Kak Rio tiba-tiba saja keluar dari kamar kak Alvin, aku hendak menyusulnya tapi tangan kak Alvin erat menggenggam tanganku, ia tersenyum lagi akupun tak bisa berbuat apa-apa selain menunggui kak Alvin.
“Sekarang aku ingin berdua dulu dengan Dea, boleh?”
Semua hanya senyum-senyum dan meninggalkan kami berdua, kak Alvin menyuruhku duduk disampingnya, aku berhasil gugup dibuatnya. Ya Tuhan, kendalikan hatiku agar aku bisa menerima kak Alvin sepenuhnya, tanpa melihat bayang-bayang kak Cakka.
---
“Mungkin memang inilah takdir, aku bukan Cakka, maupun Alvin, aku sama sekali tak punya hubungan dengan Dea. Aku tak pernah mengenal Dea sebelumnya. Andai takdir ini bisa diulang, aku ingin bisa bertemu dengan Dea di masa lalu, menyelamatkannya seperti kejadian di rumah Bunda tempo lalu.” Gumam Rio, ia duduk di taman rumah sakit, menatap langit mendung yang mulai ia sukai selain hujan.
“Gadis beribu cinta, haha. Aku hanya banyak berharap pada ucapan kakak. Semua itu hanya omong kosong. Nggak ada gunanya buat hidupku.”
Sebuah tepukan halus dirasakan Rio di pundaknya. Iel tersenyum halus pada Rio, Patton dan Obiet langsung duduk di samping kanan-kiri Rio.
“Sepertinya Dea sangat… aww!” Belum Patton menyelesaikan ucapannya, Obiet menginjak kaki Patton.
“Heh, Dea tadi masih ngobrol sama Alvin, dia hanya khawatir. Nggak lebih.” Kata Iel.
“Bukankah Alvin pernah bilang pada kita, jika ia menemukan putri kak Cakka, ia takkan melepasnya. Dongeng kisah nyata itu masih membekas di hatiku, karna dongeng pangeran dan putri hujan itu kini ada dihadapanku.”
“Kamu ngomong apa sich yo, nggak kok. Alvin khan tahu kamu suka Dea. Nggak mungkin lah dia..” Obiet berhenti.
“Dia suka Dea? Kenapa nggak mungkin?” Tanya Rio kembali dingin, seperti saat ia belum bertemu dengan Dea.
“Itu.. emm” kata Obiet gugup.
“Udahlah, kita khan masih kecil. Ngapain coba cinta-cintaan, cinta monyet tu.”
Iel, Rio, dan Obiet menatap sinis Patton.
“Cih, buktinya kau mau berpacaran dengan adikku.”
“Iya, buktinya kau selalu mendukung hubunganku dengan Via, kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?”
“Haha, bercanda”
Patton mengaku kalah, dan terus menatap Rio yang kembali murung.
“Mungkin jika kau mau tahu, hal yang terpenting dalam hidup memang adalah kasih sayang, tapi jika kau terpuruk akan hal itu, sebaiknya kau bangkit dan menatap masa depan. Semua takdir telah dicatat di buku Tuhan.”
“Ternyata Patton kecil ini bisa mengatakan hal yang bermanfaat!” Ledek Obiet.
Rio tersenyum tipis, tapi itu bukan senyum tulus yang biasa ia berikan untuk Dea.
---
Kak Alvin masih terdiam seraya memandangiku seksama, lalu tangan kanannya mengelus rambutku, aku sangat terkejut sekaligus. Hatiku kembali berdesir.
“Kau memang putri kak Cakka.”
Aku masih terdiam.
“Kasih Sayang, aku akan menyayangi layaknya kak Cakka menyayangimu.”
“Hah? Maksud kakak?”
“Maukah kau menjadi seseorang di hatiku?”
“Di hati kakak?”
“Menjadi orang yang ada didekatku, saat sedih maupun senang.”
“Aku akan terus ada disamping kakak, saat sedih maupun senang, sebagai sahabat kakak.”
“Sahabat? Bukan De.”
“Lalu?”
“Aku sadar diri De, kau menyukai Rio, bukan aku.”
“Aku nggak ngerti kak.”
Kak Alvin tersenyum tipis, ia menatapku dingin, sangat dingin. Hingga mungkin tatapannya menusuk hatiku, masuk ke lubang kecil yang telah di buat oleh kak Cakka, sekarang tubuhku seperti melayang dan seakan ada seorang yang membisikiku.
“Alvin memang menyayangimu, lebih dari adik atau sahabatnya.”
Deg, jantungku mulai bernyanyi, menyanyikan melody yang indah menghibur hatiku yang sedang mengeluarkan Air hujannya. Air mataku tiba-tiba meleleh, kak Alvin heran melihatku mengeluarkan airmata.
“Kenapa kau menangis, De?”
“Aku juga nggak tahu kak, aku merasa ini semua mimpi. Semuanya kak, dari pertemuanku dengan kak Cakka, pertemuanku dengan Lintar, beasiswaku, pertemuanku dengan semua sahabatku di sini, dan juga pertemuanku dengan kakak sebagai pengganti kak Cakka.”
“Jika kau menganggapku sebagai pengganti kak Cakka, pernahkah kau menyukai kak Cakka?”
“Aku nggak tahu kak, aku hanya menunggu ia menepati janjinya lewat kakak.”
Kami kembali terdiam, kak Alvin pun kembali menatapku lekat.
“Aku ingin menepati janjiku, jika kau mengerti hal yang kukatakan barusan.”
“Bisa kakak jelaskan lagi?”
Sebenarnya aku mengerti kak, tapi aku ingin memastikan perasaanku lagi.
“Takkan pernah habis, airmataku, bila kuingat tentang dirimu. Mungkin hanya kau yang tahu, mengapa sampai saat ini ku masih sendiri. Adakah disana kau rindu padaku, meski kita kini ada di dunia berbeda. Bila masih mungkin waktu kuputar dan kutunggu dirimu. Biarlah kusimpan, sampai nanti aku khan ada disana tenanglah dirimu dalam kedamaian, ingatlah cintaku. Kau tak terlihat lagi, namun cintamu abadi.”
Aku terdiam, tak menyangka kak Alvin akan menyanyikan lagu itu.
“Mungkin kak Cakka akan menyanyikan lagu ini untukmu, jika ia bisa bernyanyi dari langit sana. Aku menyayangimu, De. Aku akan terus menjagamu.”
“Aku takut kak, aku takut jika kakak meninggalkanku lagi seperti yang kak Cakka lakukan.”
“Nggak, De. Aku berjanji padamu, aku akan terus menjagamu dan juga menjaga hujan cinta kita.”

Chapter 20
It’s My Time

Semenjak kejadian hari itu, semenjak kak Alvin berikrar akan terus menjagaku, aku semakin merasakan hidupku sampai aku lupa pada penyakitku. Hanya Tuhan yang bisa mengingatkanku.
Hari ini adalah hari terakhir pemilihan waka OSIS, beruntung aku masuk 3 besar karna dukungan teman-teman. Hari ini aku akan menunjukan kemampuanku berorganisasi.
“Saudari Dea, apa sajakah program yang akan anda lakukan ketika anda menjadi waka OSIS tahun ini mendampingi Rio?”
“Saya akan…”
Tiba-tiba hati dan pikiranku berkata lain, mereka menolak keinginanku untuk menjadi waka OSIS, dan jantungku terasa nyeri, hingga mataku pudar, aku pun terjatuh di atas podium pidato. Semua langsung panic dan aku sudah tak tahu lagi apa yang mereka lakukan untuk menyelamatkanku.
---
Mata Kamami dan Angel terlihat sebam, mereka seperti habis menangis. Aku jadi merasa bersalah, sekarang wajahku sangat pucat seperti mayat hidup.
“Kenapa kau tak pernah memberi tahu kami, bahwa kau punya penyakit bodoh ini?” Protes Angel.
Aku hanya tersenyum semampuku, aku rasa saat ini aku bukan takut mereka mengetahuinya, tapi kini aku takut penyakit ini menggerogoti umurku untuk meninggalkan sahabat-sahabatku. Kak Alvin duduk di sofa kamar rawatku, matanya juga sebam.
“Maafkan aku.”
“Kami harus meninggalkanmu dengan kak Alvin. Ia terus khawatir saat kau tak sadar tadi.” Kata Angel, mereka berdua meninggalkanku berdua dengan kak Alvin.
Kak Alvin menatapku dari sofa, ia dingin menatapku. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Kenapa kau tak pernah bilang hal ini padaku?”
Aku terdiam dan menunduk, hingga kak Alvin mendekatiku, ia kembali mengelus rambutku, aku menyesal kawan. Aku menyesal tak berterus terang padanya.
“Maafkan aku kak.”
“Aku akan terus menjagamu, tapi tolong, De. Jujurlah padaku tentang semua yang ada di hidupmu.”
Kak Alvin menyuruhku kembali berbaring, ia bernyanyi untukku, lagu kak Cakka. Rain From Heaven. Perasaanku pun kembali tenang, sekarang ia ada disampingku, takkan meninggalkanku hingga bertahun-tahun kemudian. Aku yakin itu.
---
10/Desember/2021-Sore. 17.00 WIB.
“Uhuk-uhuk.”
Aku tak tahu seberapa pucat wajahku saat ini, apakah sama seperti kejadian 10 tahun yang lalu? Saat di podium pidato pemilihan waka OSIS? Atau lebih pucat? Tuhan, tolong bantu aku sebentar lagi. Aku ingin menyelesaikan buku harianku, agar aku bisa membacanya walau aku sudah berada di dunia lain. Dan satu lagi, tolong izikan aku bertemu dengan kak Alvin, walau untuk terakhir kali. Aku sangat merindukannya.
Pintu kamar rawatku terbuka, seorang gadis berambut panjang tersenyum padaku. Angel.
“Sore, De.”
“Sore, Njel.”
“Bagaimana keadaanmu bu Dokter?”
“Haha, sepertinya sebutan Dokter sudah tak pantas untukku yang sakit-sakitan ini.”
“Kenapa nggak pantas? Justru kau adalah dokter sejati, De. Kau selalu berusaha tersenyum untuk semua pasienmu, walau kau sendiri sedang menderita.”
“Ah, sudahlah tak usah terlalu memujiku. Ngomong-ngomong, ada kabar dari Kamami?”
“Belum, De. Kita berdoa saja agar Kamami bisa kembali saat kejutan ultahmu.”
“Iya, tapi aku aneh lho, masa’ kejutan bilang-bilang.”
“Nggak apa-apa dong, biar kamu tambah penasaran!”
“Hahaha.”
“Wajahmu tambah pucat, De.”
“Nggak apa-apa kok njel.”
“Aku pulang dulu ya de, ini bunga untuk menyegarkan pikiranmu.”
“Makasih ya njel.”
---
Princess, band ini meledak saat penghujung semester 2, ketika Pensi terbesar Smp Betha Melody di adakan di Taman Prisma Bintang.
“Sukses, sangat sukses!” Seru kak Via.
“Iya kak.” Setuju Angel.
Kami pun merayakan keberhasilan kami di Café Aurora. Bersama Prince yang senantiasa mendampingi kami. Tuhan, terimakasih untuk semua anugerahmu.
Semua berjalan lancar, Keke, ia telah merelakan kak Rio untuk seorang pasangan yang telah dipilihkan orantuanya. Dan kak Rio tetap memilih untuk menunggu, aku tak tahu kak Rio menunggu apa atau siapa.
---
Janji, aku jadi ingat janjiku pada Ibu. Bagaimana keadaannya sekarang ya? Aku harus menemui Ibu di libur semester ini.
“Kamami, Angel. Liburan semester ini kita habiskan di desa yuk?”
“Boleh-boleh! Aku sudah sangat rindu pada Mama!” Seru Angel.
“Boleh, De. Tapi aku tinggal di rumahmu ya?”
“Lho kenapa mi?”
“Karna Oma khan sudah pindah kesini.”
“Iya, dengan senang hati.”
“Apa kita ajak teman-teman Prince dan Princess?” Tanya Angel, kami langsung saling pandang dan tersenyum lebar. Kami pun kompak menjawab “PASTI!”
Setelah mengkonfirmasi semua teman-teman, lengkap sudah 16 orang, kak Rio, kak Patton, kak Obiet, kak Alvin, kak Iel, kak Via, kak Zeze, kak Shilla, Oik, Kamami, Kiki, Debo, Gaby, Oliv, Angel dan aku kini berada di pelabuhan Tanjung-Periok. Bunda mengawasi kami, tapi kami menolak untuk merepotkan Bunda, kami ingin Bunda bisa melepas kami dan melihat Bunda bersantai.
“Apa benar nggak apa-apa?”
“Benar Bunda, kami bisa jaga diri kok.” Jelasku.
“Benar?”
Kami tertawa bersama, melihat kecemasan Bunda yang terlalu berlebihan ini sungguh membuat kami semakin menyayanginya.
“Benar Bunda.” Kata Kamami masih dengan senyum teduhnya.
Bunda pun bersedia melepas kami, perasaan lega menyapa lembut di hati kami, akhirnya Bunda percaya pada kami.
Ini adalah kali kedua aku bersama teman-teman Desa Summer naik kapal laut, aku masih ingat saat pertama kali naik kapal laut, aku belum mengenal Angel dan Kiki, juga Kamami. Sekarang mereka adalah sahabat terbaikku. Takdir yang manis rasanya, oh iya. Lintar. Apa ia tak liburan di Desa Summer?
“De, melamun aja.”
“Nggak kok mi, aku nggak percaya aja kalau kita akan menginjakan kaki di Desa Summer, dan semua sahabatku akan menginap di Desa Summer.”
“Iya, De. Oh iya, jadinya kita akan menginap di Villa Angel lho, jadi aku nggak jadi tinggal di rumahmu.”
“Hehe, iya nggak apa-apa kok mi. Tapi untuk 3 hari kedepan aku akan tinggal di rumah, membantu Ibu, aku sudah sangat rindu dengannya.”
“Siplah, tapi lihat saja, pasti ada yang sangat merindukanmu.”
“Siapa?”
“Kak Alvin lah de..” kata Angel yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.
“Eh, dasar.”
“Tapi kau janji, 3 hari selanjutnya kau harus liburan dengan kami.”
“Pasti Angel.”
Janji, sekarang aku punya banyak janji. Ini adalah waktuku, waktu untuk membahagiakan orang-orang disekitarku. Waktu yang sangat berharga.
---
Aku pamit pada teman-teman untuk kembali ke rumah, dan baru saja aku berbalik untuk meninggalkan teman-teman.
“Dea!”
Itu suara Lintar, kulihat ia berjalan bersama Nova dan Oma Nova, Kamami langsung merangkul Nova dan Omanya.
“Lho? Kamu liburan disini juga lin?” Tanyaku.
“Iya dong, De. Ayo mau pulang khan?”
Lintar langsung menggandeng tanganku dan menarikku pergi, kulambaikan tanganku pada teman-teman. Ku lihat senyuman kak Alvin sebelum 3 hari penuh tak melihatnya.
Lintar memboncengku dengan sepeda sewaan dari pelabuhan, sudah setahun lamanya aku tak dibonceng sahabatku ini, bau Linatr seperti biasa, minyak nyong-nyong yang selalu ia pakai bersama almarhumah Ayahnya. Aku cukup menyukainya, bau yang menusuk hidung tapi menenangkan jiwa.
“Bagaimana, De? Penyelamat hidupmu itu?”
“O iya Lin, aku lupa menceritakannya padamu, kak Cakka atau penyelamat hidupku ternyata sudah meninggal.”
“Hah?!”
Lintar mendadak menghentikan sepeda dan berbalik ke arahku. Ia membelalakan matanya heran juga kaget dengan pernyataanku. Aku hanya tersenyum dan menepuk pundaknya.
“Sudah, ayo jalan.”
“Lalu, janji Cakka untukmu?”
“Sudah dititipkan.”
“Dititipkan?”
“Iya, dititipkan pada saudaranya, kak Alvin.”
“Oh.”
“Jeh, responmu itu menyebalkan.”
“Haha, maaf-maaf, De. Aku nggak maksud kok.”
Kami pun banyak bercerita sepanjang perjalanan, dan singkat waktu kami telah tiba didepan rumahku, Lintar pamit untuk pulang, padahal rumahnya bersampingan dengan rumahku.
“Dagh Dea.”
“Dagh Lintar.”
Aku gugup kawan, aku gugup saat tahu. Ini waktuku untuk bertemu Ibu, wanita yang akan kusayangi selamanya. Tak ada satu orang pun yang kusayang selain Ibu. Ibu, aku pulang.
“Aku, aku hanya ingin memperlihatkan sebuah sinar kehidupan pada Ibu. Walau aku harus menukarnya dengan nyawaku, aku ingin membuat Ibu percaya pada Jakarta, dengan semua sinarku. Karna aku berjanji. Aku akan menjadi bintang paling terang di Smp Betha Melody, Smp seni yang mengadakan beasiswa tersebut bu”
Perkataanku satu tahun yang lalu kembali terngiang, membayangkan wajah Ibu yang membuatku mengenal arti Hujan dari Surga, sama seperti perkataan kak Cakka.
“Ibu..” panggilku lirih seraya membuka pintu rumah yang seperti biasa selalu bersuara berisik ketika digerakan. Di tanganku terdapat 2 buah semangka kesukaan Ibu.
“Siapa itu?” Tanya Ibu dari dalam, suaranya tak berubah sama sekali, ia masih Ibu yang kukenal.
“Ibu, ini Dea..”
“Dea? Dea siapa?”
“Dea anakmu bu.”
“Dea?”
Aku mulai aneh dengan perkataan Ibu yang seperti tak kenal denganku, apa waktu 1 tahun begitu lama membuat Ibu melupakanku?
Pintu rumah tiba-tiba terbuka dan terlihat Bunda Lintar terengal dan panic, Lintar menyusul beberapa detik kemudian.
“Dea.”
“Ibu kenapa Bun? Kok,”
“Ibumu, De.. ayo temui Ibumu.”
Entah kenapa, perasaanku mendadak sangat gelisah dan takut menyergap bersamaan. Kami bertiga masuk ke kamar Ibu, terlihat Ibu duduk di kursi roda menghadap ke jendela yang sering kami pergunakan untuk melihat Hujan. Ibu asyik membaca sebuah buku, seperti buku dongeng.
“Ibu Dea, ini Dea bu. Anakmu.” Kata Bunda Lintar, tubuhku bergetar karna aku sangat takut, Lintar menggenggam tanganku.
“Dea? Putri dalam buku ini?” Tanya Ibu.
“Iya bu.” Kata Bunda Lintar lagi, aku hendak protes tetapi Lintar menahanku.
“Putri Dea, kesini Putri.”
Bunda Lintar mengisyaratkan padaku, agar aku mendekati Ibu, Ibu membelai rambutku aku melihat paras manis wajahnya, airmataku kembali merembes, airmata yang berasal dari relung hatiku aku tak tahu menahu dengan keadaan Ibu selama 1 tahun ini, aku begitu jahat meninggalkan Ibu.
“Bunda akan ceritakan padamu, kenapa Ibumu menjadi seperti itu.”
Aku, Lintar, dan Bunda Lintar duduk di teras, Bunda mulai bercerita.
“Tabahkan hatimu, De. 6 bulan yang lalu, Bundamu bersikeras ingin menyusulmu, ia sudah sangat rindu padamu, akhirnya kami mengantarnya ke pelabuhan dengan mobil, tapi inilah takdir, mobil yang ditumpangi Ibumu mengalami kecelakaan, dan Ibumu amnesia.”
“Amnesia? Ibu takkan mengingat apapun, apakah selamanya? Tidak khan bun!”
“Bunda kurang tahu, De. Sebaiknya selama liburan ini kau terus bersama Ibumu, mungkin dengan kau ada disampingnya, ia bisa pulih.”
“Baik bun, aku akan berusaha keras menyembuhkan Ibu, tapi kenapa Bunda tak memberi tahuku?”
“Ini keinginan Ibumu sebelum ia amnesia, ia bilang jangan pernah mengatakan apapun pada Dea hingga kamu ingin ke Desa dengan sendirinya.”
Aku terus menunduk, Bunda mengelus rambutku.
“Bagaimana dengan teman-temanmu, De?” Tanya Lintar.
Aku teringat janjiku pada Angel, dan satu janji ini tak bisa kutepati. Mungkin aku akan terus menemani Ibu selama liburan, aku harus konsentrasi pada Ibu, tak boleh dengan yang lain. Pokoknya hanya Ibu. Jika Tuhan tahu yang terbaik untukku, mungkin Tuhan akan membantuku menyembuhkan Ibu. Dan jika memang harus, aku ingin terus ada disamping Ibu, walaupun aku harus keluar dari Smp Betha Melody.
“Bunda, bolehkah aku menemani Ibu hingga ia sembuh?” Kataku di telepon.
“Ibumu kenapa De?” Tanya Bunda.
“Ibu terkena amnesia bun, mungkin jika waktu penyembuhan Ibu tak cukup di liburan semester ini, aku minta izin. Untuk..”
“Untuk apa sayang? Katakan pada Bunda.”
“Untuk berhenti dari Smp Betha Melody dan sekolah di sini.”
“Apa?! Mungkin ada cara lain sayang, selain berhenti Dea.”
“Nggak bun, aku sudah sangat berdosa pada Ibu, aku ingin terus ada disamping Ibu.”
“Mungkin Ibumu bisa disembuhkan di Jakarta.”
“Nggak bun, aku ingin menyembuhkannya disini, dengan tanganku sendiri bun.”
“Apa kau tidak menyesal De?”
“Tidak, tidak sama sekali.”
“Dea, Bunda minta tolong pada Dea, pikirkan ini baik-baik, ini menyangkut masa depanmu.”
“Dea akan lebih berusaha, jika Ibu sudah sembuh, Dea akan belajar tekun disini.”
“Apakah teman-temanmu sudah tahu?”
“Belum bun, dan jangan beritahu mereka, sebab aku berhenti.”
“Mereka akan terus mencarimu, De.”
“Aku akan memutus komunikasiku dengan mereka bun, tolong bun. Aku ingin sekali focus pada Ibu.”
“Kau yakin, De?”
“Yakin Bunda.”
“Bunda tak bisa berbuat banyak, selain mendoakan Ibumu untuk cepat sembuh.”
“Terimakasih Bunda.”
Kututup percakapan kami, ku lepas kartu SIM dari Handphone pemberian Bunda, dan kusembunyikan Handphone itu di dalam lemari usang peninggalan kakek. Ku tatap Ibu yang sedang tidur. Sebenarnya aku tak mau melihat teman-teman sedih karna kepergianku, aku tak ingin lari seperti ini, tapi apa daya. Aku tahu ini sulit, tapi jika aku bertemu dan mengatakan perpisahanku pada mereka, mereka pasti menahanku dengan berbagai cara. Maafkan aku semua, karna aku adalah pengecut yang paling menjijikan di dunia ini. Lari seperti penjahat yang sudah mengambil hati kalian. Maafkan aku.
Jika memang ini takdir yang manis, aku ingin bertemu dengan mereka sebelum aku tiada Tuhan.
---
Angel dan Kamami terus menatap halaman rumah Angel dengan tatapan hampa, mereka sedang cemas dengan keberadaan Dea, karna sudah lewat seminggu setelah kepergian Dea. Angel mencoba untuk menghubungi Dea, tapi tak berhasil. Alvin dan Rio terus mencari tahu keberadaan Dea, atau paling tidak alamat rumah Dea.
“Bagaimana jika kau coba hubungi Dea lagi.” Saran Kamami.
“Ya.”
Angel menghela nafas panjang-panjang, baru kemudian menghubungi Dea untuk kesekian kalinya. Setelah menunggu lama, percuma. Hanya ada suara “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.” Dan Angel pun menggeleng. Kamami kembali menghela nafas yang sudah tercekat di tenggorokannya akibat cemas.
“Dea, kemana kamu?” Gumam Angel.
“Apa Dea nggak akan pernah kembali lagi ya mi.”
“Huss! Kamu jangan bilang begitu njel, aku nggak suka ya!”
“Tapi mi, kita udah cari Dea selama 4 hari penuh, tapi nihil.”
“Kita nggak boleh putus asa demi sahabat kita njel. Kita harus tetep berusaha.”
Kamami memeluk Angel erat, Angel menangis cemas.
“Seharusnya kita menahan Dea waktu itu.” Kata Angel.
“Kita harus tetap berdo’a njel.”
---
Ini sudah seminggu setelah aku meninggalkan teman-teman, dan tak ada kemajuan dari Ibu. Ingatannya belum juga pulih, sikapnya semakin seperti anak kecil, ia menganggap akulah Ibunya. Ibu, aku harus bagaimana lagi? Aku ingin menyembuhkan Ibu, tapi seminggu lagi aku harus kembali menjadi siswa Smp BM. Apa Tuhan memang menyuruhku untuk terus disamping Ibu? Jika benar, aku ikhlas Tuhan.
Aku akan mencoba untuk menelpon Bunda lagi, meyakinkannya bahwa aku akan berhenti dari Betha Melody.
“Bunda..”
“Dea, bagaimana keadaanmu dan juga keadaan Ibumu?!”
“Ibu tidak mungkin sembuh dalam waktu seminggu kedepan Bun, aku akan berhenti dari Betha Melody. Aku harap semua bisa mengerti keadaanku.”
“Tetaplah kejar mimpimu menjadi dokter Dea, Bunda selalu mendukungmu.”
“Terimakasih Bunda.”
Itulah percakapan terakhir kami, begitu banyak SMS yang masuk ke handphoneku saat ku hidupkan lagi telepon mini itu. Aku akan tetap menyayangi kalian. Suatu hari nanti, aku akan kembali. Menjadi Dea yang akan membahagiakan kalian dengan Hujan Cintaku. Rain From Heaven.
---
Kamami dan Angel terus menghubungi Dea, tapi percuma. Kini mereka hanya berharap takdir bisa mempertemukan mereka kembali. Bunda menyuruh anak-anak BM untuk kembali, mereka bersikeras ingin mencari Dea, tapi Bunda berbohong bahwa Dea sudah pulang dengan sendirinya beberapa hari yang lalu.
“Benarkah bun?” Tanya Kamami setengah percaya.
“Iya, percayalah pada Bunda.”
“Baiklah, kami akan pulang demi Dea. Dasar anak itu.”
Setelah percakapan itu, anak-anak BM pun pulang ke Jakarta, tapi Rio menolak untuk pulang.
“Aku yakin, Dea masih ada di Desa ini.”
“Kau jangan bercanda yo. Bunda sendiri yang bilang lho.” Kata Obiet.
“Aku mau telepon Bunda.”
“Untuk apa?” Tanya Kamami.
“Untuk memastikan bahwa Dea ada di Jakarta.”
Rio dengan kasar mengambil handphonenya yang berada di atas meja. Hingga beberapa anak disekitarnya terkejut.
“Bunda.”
“Ya, Rio? Ada apa?”
“Aku ingin berbicara dengan Dea.”
Bunda terdiam beberapa saat, ia memikirkan alasan lain untuk terus mengajak anak-anak untuk pulang dan meninggalkan Dea.
“Dea sedang sakit, Yo. Kalian harus segera pulang, keadaannya sangat lemah.”
“Apa?!”
Telepon seluler Rio terjatuh, pembicaraan langsung terputus. Semua bingung dengan kelakuan Rio, mata Rio berkaca-kaca.
“Malam ini, kita harus pulang.”
“Kenapa, Yo?” Tanya Sivia.
“Pokoknya, kita harus pulang!” Kata Rio dengan nada tinggi. 15 anak Smp BM pun pulang ke Jakarta tanpa tahu rencana Bunda dengan Dea.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini