DUA – Kamami
Hari ini adalah hari keberangkatanku
ke Jakarta. Di dermaga, tempat kapal yang akan membawaku dengan anak-anak desa
Summer menuju Jakarta, aku terus merasa was-was walaupun Lintar sudah
menyemangatiku beberapa hari ini. Rasanya akan berbeda sekali saat tidak ada
sahabat dan keluargaku di sampingku, tapi ini resiko yang harus kutanggung. Ya,
ini keinginanku, aku tidak boleh mengeluh atau takut lagi. Tidak ada salahnya
merantau begitu jauh jika itu untuk kebaikan.
“Kamu harus menjadi orang hebat di
sana, De!”
“Oke, Lintar. Kamu juga. Jika ada
kesempatan, berliburlah ke Jakarta, aku akan menemanimu.”
Kuambil tasku dari tangan Lintar
karena sebentar lagi kapal yang akan kunaiki akan berangkat. Sebelum naik,
kupeluk Ibu sangat erat. Aku benar-benar menyayanginya. Aku berjanji tidak akan
mengecewakannya karena aku sudah berjanji, berjanji untuk selalu membuatnya
bahagia. Ibu mengelus rambutku lalu mengecup pipiku saat kulepas pelukanku.
“Ibu percaya Dea nggak akan
mengecewakan Ibu. Kalau nanti Dea nggak betah di sana, segera pulang, ya, Nak?”
“Semoga aku bisa betah di sana, Bu.
Doain Dea, ya, Bu.”
“Sudah pasti, Nak.”
“Assalamualaikum,” ucapku seraya
berbalik menuju tangga kapal.
“Waalaikumsalam,” ucap Ibu dan
Lintar bersamaan.
Di setiap langkahku menuju kapal,
ada perasaan yang tertinggal di sana. Perasaan takut yang awalnya memenuhi
pikiranku kini hilang saat aku benar-benar berada di kapal. Aku kembali
berbalik dan melambai pada Lintar dan Ibu. Mereka membalasnya, dan aku melihat
dengan jelas ada airmata di pelupuk mata Ibu. Ibu, kumohon jangan takut karena
Dea akan berusaha keras untuk menjadi yang terbaik di sana.
“Sepertinya mereka khawatir banget sama kamu, ya.”
Aku terkejut melihat seorang gadis
berkerudung berbicara padaku. Dia tersenyum sangat lebar tanpa tahu kalau aku
terkejut karenanya. Bunyi terompet tanda kapal segera berangkat akhirnya
berbunyi, dan kapalpun berangsur-angsur bergerak. Aku belum membalas senyumnya
dan kembali melambaikan tangan pada Ibu dan Lintar. Lintar sedikit berlari
seperti mengejar kapal ini sampai kapal ini benar-benar menjauh dari dermaga.
Semakin jauh, dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Aku beralih pada gadis tadi. Kubalas
senyumnya dan mengangguk, tanda setuju pada pernyataannya. Gadis itu kembali
tersenyum dan mengangguk-angguk dengan semangat. Aku belum pernah melihat gadis
itu sebelumnya bahkan di balai kota, tempat ujian dulu.
“Siapa namamu?” Tanyaku.
“Kamami.”
“Kamami? Nama yang lucu,”
komentarku.
“Iya, namaku Kamami. Namamu?”
“Dea.”
“Nama asliku Rahmi, tapi teman-teman
biasanya memanggilku Kamami. Ah, kamu akan tetap di sini atau masuk ke dalam?”
tanya Kamami seraya menunjuk ke dalam dengan ibu jarinya.
“O-oh, tentu aja aku mau masuk ke
dalam.”
“Oke, ayo.”
Setelah sekali lagi melihat dermaga
desa Summer, aku mengikuti Kamami masuk ke dalam kapal. Aku melihat ada sekitar
10 orang penumpang di dalam ruangan yang agak gelap itu. Kamami duduk di
samping anak yang sedang terlihat mengantuk. Aku duduk di samping Kamami yang
sedang sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian, dia mengeluarkan
secarik kertas dan sebotol tinta beserta kuasnya. Kamami mulai menggoreskan
tinta pada kertas itu sambil tersenyum riang. Sesekali, dia sikap kerudungnya
yang sedikit terumbai menghalangi tulisannya. Ada yang unik pada kertas dan
tinta yang digunakan Kamami. Kertas itu berwarna hitam sedangkan tintanya
putih. Apa maksud Kamami memakainya?
“Hem...”
Dia hanya berdehem, dan aku tahu kalau
dia sedang berpikir keras. Aku tidak berani mengganggunya, jadi kualihkan
perhatianku pada orang lain. Sejenak aku mengamati orang-orang di sekitarku,
ada beberapa anak yang kukenal, tapi aku enggan menyapa mereka karena mereka
bukan orang yang bisa akrab dengan orang yang baru mereka kenal. Tidak seperti
gadis berkerudung di sampingku ini. Aku saja kaget saat dia tiba-tiba saja
memperkenalkan dirinya padaku. Sedikit canggung pada awalnya, tapi saat Kamami
tersenyum, aku langsung tahu kalau dia anak yang baik. Dan beruntungnya, dia
juga penerima beasiswa di SMP Betha Melody.
Ah, kurasa perjalanan kami ke
Jakarta akan menjadi perjalanan yang panjang. Ya, bayangkan saja, kami harus
menghabiskan hampir 10 jam untuk sampai di Jakarta. Jujur, aku tidak pernah
pergi dari desaku sejauh ini, dan rasanya sangat berbeda saat tidak ada Lintar
atau Bundaku di sampingku. Aku jadi ingat sesuatu, ini tentang kebiasaanku
dengan Lintar. Di desa, kami pernah bertanding untuk membaca semua buku di
perpustakaan umum, dan yang lucu, belum ada satupun dari kami yang memenangkan
pertandingan itu.
Sebelum mengantarku ke pelabuhan,
Lintar mengingatkanku pada lomba itu, dan dia berkata akan membaca seluruh buku
di perpustakaan umum dan mengalahkanku. Aku hanya tertawa mendengarnya,
alasannya, dia sudah pasti menang karena selama beberapa tahun ke depan aku
akan sangat jarang berada di desa.
“De?”
“Eh? Kamami? Kamu udah selesai?”
“Udah.”
“Kamu lagi apa, sih, tadi?”
“Aku tadi sedang menulis
rencana-rencanaku di kertas hitam ini.”
“Rencana-rencana?”
“Iya, selama aku di Jakarta, waktuku
nggak boleh kusia-siain.”
“Rencana seperti apa itu?”
“Rahasia.”
“Huft...nggak seru.”
“Hahaha, nanti kamu juga akan tahu,
kok, De.”
Aku hanya diam karena merasa sedikit
tidak ikhlas dengan jawaban Kamami. Sekali lagi, kulirik kertas hitam yang
tersembul di tas kecil Kamami.
“Kama, aku boleh bertanya?”
“Bukannya sekarang kamu juga lagi
bertanya?”
“Serius, Kama...”
“Hahaha, iya-iya, tentu aja boleh.”
“Kenapa kamu memakai kertas hitam
untuk menulis rencana-rencanamu?”
“Oh? Ah...kertas ini? Kertas yang
kayak kertas gosong ini?”
“Iya.”
“Dulu, kakakku pernah bilang,
sesuatu yang bisa kosong dan tanpa harapan itu adalah pikiran dan yang
meneranginya adalah perasaan. Aku nggak ngerti awalnya, tapi saat kakakku
memberikan kertas hitam dan tinta putih ini, dia bilang lagi, kertas hitam ini
ibaratnya pikiran kita yang kosong dan tanpa harapan, lalu tinta putih ini
adalah perasaan kita yang meneranginya. Aku muai ngerti, karena saat kita hanya
berpikir dengan logika dalam menyelesaikan masalah dan menemukan titik jenuh
yang artinya kosong dan tanpa harapan, perasaan kita dipakai untuk memberikan
sedikit pencerahan agar kita bisa berharap tentang segala kemungkinan solusi
terbaik dari masalah kita.”
“Ooh...jadi gitu.”
“Kamu mau coba?”
“Coba apa?”
“Kalau kamu punya waktu luang, kamu
bisa menuliskan mimpi-mimpimu di kertas ini. Kebetulan aku punya dua botol
tinta, kamu bisa pakai satu.”
“Be-benarkah?”
“Tentu saja.”
Kamami menyerahkan dua benda yang
menarik hatiku, dan kuterima dengan senang hati. Aku mulai memikirkan apa yang
ingin kulakukan di Jakarta seperti yang Kamami lakukan tadi. Sementara aku
sedang memikirkan apa yang akan kutulis, Kamami mulai mendekati anak-anak yang
enggan kusapa tadi. Aku ingin mencegah Kamami, tapi sedetik kemudian aku
mellihat pemandangan yang tidak biasa, mereka tertawa bersama. Kedua anak yang
kusangka sombong itu bisa tertawa bersama Kamami, orang yang baru mereka kenal.
Aku salah, benar-benar salah, jika berpikir seperti itu sebelum mencoba
berteman dengan mereka. Akhirnya kumasukkan kertas dan tinta pemberian Kamami
lalu bergabung dengan Kamami dan dua teman barunya.
“De, kamu udah kenal sama mereka
berdua?” tanya Kamami.
“U-udah.”
“Ohya? Wah, kenapa kamu nggak
kenalin mereka ke aku?”
“Eum...”
“Dea sama kami emang belum terlalu
deket, kok, cuman sekedar kenal,” ucap seorang anak lelaki berambut agak
kecokelatan yang kutahu bernama Kiki.
“Iya, di desa kita nggak deket,”
timpal seorang lagi bernama Angel.
Kami pun mengobrol sangat banyak,
dan sebagian besar berhubungan dengan perasaan kami ketika mendapatkan beasiswa
itu.
“Kalau kamu, De, gimana saat kamu
tahu kalau kamu lolos beasiswa ke SMP Betha Melody? Kalian berdua beruntung
banget bisa masuk ke SMP itu. Kami juga mau banget masuk ke sana,” ucap Angel.
“Kalian juga beruntung kok bisa
dapat beasiswa ke Jakarta,” ucapku seraya mengelus pundak Angel, “waktu aku
tahu kalau aku keterima di SMP Betha Melody, aku sedih.”
“Ha? Kok sedih?” tanya Kamami.
“Karena temen terbaikku nggak diterima,”
jawabku singkat.
“Sampai sekarang kamu masih sedih?”
tanya Kiki.
“Dia bilang aku nggak boleh sedih.
Karena jika aku sedih, dia akan kecewa banget.”
“Anak laki-laki yang tadi masih
menunggu di tepi bandara sampai kapal kita menjauh itu?”
“Iya.”
“Bener kata temenmu itu, kamu nggak
boleh sedih walaupun dia nggak bisa sama-sama kamu untuk beberapa lama. Mungkin
suatu saat nanti dia bisa dapet yang terbaik, bahkan mungkin lebih baik
daripada beasiswa ini,” ucap Kamami.
“Iya, aku juga yakin karena dia anak
yang selalu bekerja keras. Ah, kalau kamu, Mi? Gimana perasaan kamu pas dapat
beasiswa ini?”
“Aku seneng banget karena akhirnya
aku bisa meninggalkan desa ini.”
“Hah? Jadi kamu nggak seneng tinggal
di sini?”
“Bukan, bukan begitu. Aku seneng
karena akhirnya aku bisa ketemu sama kakakku. Kami udah nggak ketemu selama
sekitar...3 tahun.”
“Tiga tahun? Lama juga!” seruku
sedikit terkejut.
“Iya, tapi akhirnya kita ketemu.
Akhirnya...”
Aku bisa melihat kesedihan di mata
Kamami saat dia bercerita tentang kakaknya. Aku ingin menghiburnya, tapi aku
sendiri tidak yakin kalau dia memang sedih. Jadi kuputuskan untuk diam.
***
Ponsel Obiet bergetar saat dia
sedang merapikan kamarnya. Dengan agak panik, karena dia lupa menaruh ponselnya
dimana, Obiet mencari ponselnya. Ternyata ponsel itu ada saku celananya yang
tergantung di pintu. Saat melihat dari siapa yang menghubunginya, dahinya
segera berkerut.
“Tumben.”
Hanya kata itu yang bisa
menggambarkan keheranannya pada panggilan Rio. Pasalnya, selama ini Rio tidak
pernah menelpon Obiet duluan.
Seraya menimang-nimang ponselnya
yang bergetar, Obiet melihat jam dinding, baru kemudian mengangkat panggilan
itu.
“Halo?”
“Kok
lama banget sih ngangkatnya, Biet?”
“Ya...habis gue nggak percaya loe
nelpon gue duluan, Yo.”
“Harus
ya loe nggak percaya dalam keadaan genting kayak gini?”
“Genting? Ada apa emangnya?”
“Bu
Ucie mau kita ganti lagu lagi.”
“What?
Kok ganti lagi? Bukannya lagu “That’s what friend are for” udah bagus?”
“Gue
juga bingung. Loe cepetan ke sekolah, ya?”
“G-gue nggak bisa, Yo.”
“Kenapa?”
“Gue mau jemput adik gue.”
“Adik?
Loe punya adik?”
“Iya, gue punya adik.”
“Loe
bisa izin duluan kok kalau mau jemput adik loe, Biet, ini penting banget.”
“Yah, Yo…gimana ya…”
“Please,
Biet.”
“Yaudah, gue ke sana sekarang. Tapi
beneran lho, kalau adik gue datang, gue duluan.”
“Iya,
sip.”
***
Sekitar jam 6 pagi, di depan Kamami dan aku terdapat
kerumunan burung camar yang sedang memakan ikan kecil yang kami lemparkan.
Ikan-ikan itu kami dapatkan dari awak kapal, karena tidak ada kerjaan, kami
memintanya untuk mengisi kekosongan itu.
“Kalau mau lagi, bilang aja ya, dek!” teriak sang awak dari
tangga kapal.
“Terimakasih banyak, pak,” ucap kami bersamaan.
Di sela-sela memberi makan, kulirik Kamami yang sedang
tersenyum gemas melihat burung-burung itu. Aku baru sadar kalau Kamami tidak
seperti gadis desa kebanyakan. Kulitnya putih pucat, seperti orang yang jarang
keluar rumah. Walaupun dia terlihat sederhana, tapi aku tahu dia bukan orang
asli desa.
“Kama, kamu udah
pernah ke Jakarta?” tanyaku, dan itu membuat senyumnya sedikit pudar. Akan
tetapi, dia langsung mengangkat bibir itu lagi, mungkin supaya aku tidak sadar
kalau dia terkejut dengan pertanyaanku.
“Kelurgaku kandungku ada di sana.”
Oh, jadi ini sebabnya tadi dia gelisah.
“Kenapa kamu milih
tinggal di desa?”
“Soalnya…aku mau nemenin
Oma dan sepupuku.”
“Ohya? Orangtuamu setuju?”
“Nggak, nggak pernah setuju.”
“Terus?”
“Mau gimana lagi, De, aku sayang banget sama Oma.”
“Tapi bagaimanapun kamu nggak bisa tinggalin orangtuamu,
Mi.”
Bodoh, kenapa aku bilang begitu? Itu kan keputusan dia,
seharusnya aku nggak…
“Nanti kamu akan tahu sendiri kenapa aku kayak gini, tapi
yang pasti, aku nggak menyesal sama pilihanku.”
“Maafin aku ya, Mi, aku nggak maksud…”
“Aku ngerti kok, apalagi kamu udah kehilangan Ayahmu, jadi
kamu pasti nggak suka ngeliat ada
anak yang ninggalin orangtuanya.”
“Eum.”
“Aku menghargai mereka sebagai orangtuaku, tapi…ada saatnya
aku nggak tahan sama kesalahan yang mereka buat. Kurang lebih begitu.”
“Kamu nggak harus cerita sekarang kok, Mi,” ucapku saat
melihat mata Kamami mulai berkaca-kaca.
“Iya. Eum, ngomong-ngomong, ikannya udah habis nih. Mau
kuminta lagi?”
“Boleh.”
“Tunggu ya.”
Saat dia pergi, kulihat punggung kurusnya yang terbalut
kemeja merah jambu panjang dan sedikit tertutup dengan kerudung peachnya.
Walaupun kami baru berkenalan, aku menyesal sudah membuat mata itu berlinang
airmata. Aku menyesal membuat Kamami terlihat sedih. Maafkan aku, Kamami.
***
Pagi ini Patton bangun kesiangan, segera setelah mandi, dengan
kasar dia memasukkan buku-buku lagunya ke dalam tas lalu menyampirkan tas itu
ke pundak kanannya. Anak lelaki bertubuh kecil itu mengambil susu dan memakan
roti isi selai nanas yang disediakan mamanya di meja belajar Patton karena dia
tidak akan sempat sarapan di meja dengan cepat.
PIP PIP PIP
Ponsel yang tergeletak pasrah di atas mejanya tiba-tiba saja
bordering cukup keras, membuat Patton tersedak karena kaget.
“Astaga…siapa sih pagi-pagi begini udah nelpon, gangguin orang lagi buru-buru aja!” gerutu Patton seraya
menyambar ponsel itu.
“Rio? Halo?”
“Patt, loe dimana?”
“Gue masih di rumah, bangun kesiangan tadi. Kenapa?”
“Loe harus ngebut lho nanti!”
“Kenapa sih?”
“Bu Ucie minta ketemu sama kita,
katanya lagunya harus diganti lagi.”
“Hah? Kok bisa?”
“Gue juga nggak ngerti. Udah
sekarang loe buruan datang, ya!”
“Iya-iya.”
Saat Rio memutus panggilan itu, mata Patton tidak sengaja
melihat benda yang tidak asing baginya tergeletak di bawah meja belajarnya.
“Aih, gue lupa!!”
***
Kapal yang membawa kami dari Desa Summer ke Jakarta akhirnya
melabuh di Tanjung Periok sekitar jam 10 pagi. Kami berempat, aku, Kamami,
Angel, Kiki, sedikit berlari saat turun dari kapal karena kami benar-benar
senang tiba di sini.
Saat kami jejakan kaki kami di tanah Jakarta, kulihat banyak
sekali orang pribumi berlalu lalang sambil membawa bungkusan besar yang dibalut
karung. Sepertinya mereka akan mengirim bingkisan itu dengan kapal ke luar
pulau. Bau anyir ikan juga mengganggu hidungku. Di Desa Summer, sebenarnya bau
itu sudah biasa, tapi di sini baunya lebih anyir lagi.
“Ini Jakarta, De,” ucap Kamami.
“Iya, Mi. Jakarta.”
“Apa yang akan kamu lakuin
setelah ini?”
“Aku belum tahu, tapi yang pasti,” kutunjuk langit dengan
telunjukku, “aku mau menggapai mimpiku yang setinggi langit. Aku nggak peduli
walaupun aku harus jatuh berkali-kali, yang penting, aku bisa mencapai langit
itu dan membuat Ibuku bangga saat melihatku di sana.”
“Kita semua di sini harus saling mendukung supaya kita bisa
bergandengan di atas sana, ya.”
“Iya. Pasti.”
Kutatap Angel dan Kiki yang sedang terseyum melihat kami.
Setelah semalaman kami bersama, kini aku tahu mereka tidak seburuk yang kukira.
Kiki, anak lelaki yang tidak lebih tinggi dariku itu tinggal
dengan Paman dan Bibinya, serta 4 saudara sepupunya. Orangtua Kiki sudah
meninggal sejak dia masih berumur 5 tahun. Alasan Kiki melanjutkan sekolah di
Jakarta supaya tidak merepotkan Paman dan Bibinya. Dengan beasiswa penuh dari
SMP Betha Melody, keluarganya itu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
pendidikannya.
“Setidaknya itu yang bisa kuberikan
sebagai rasa terimakasihku untuk mereka yang udah menjagaku selama ini,”
katanya malam itu.
Lalu Angel, gadis cantik yang agak centil itu ingin sekolah
di Jakarta dan mengejar cita-citanya menjadi designer. Dia punya sebuah impian
sederhana tapi mulia, impian yang tidak pernah terpikirkan olehku. Saat dia
sukses menjadi designer, dia akan membuat banyak baju cuma-cuma untuk orang
yang tidak mampu membeli baju bagus.
“Ada kebahagiaan tersendiri saat aku
melihat mereka memakai baju buatanku.”
SMP Betha Melody, setahuku, memang bukan sekolah seni biasa.
Di sana, pendidikan formal diberikan seperti sekolah lain, tapi setiap
pelajaran formal sudah diberikan, sekolah ini akan memberikan pelajaran seni
yang intens seperti musik, drama, melukis, dan lainnya. Jadi, kebanyakan
lulusan SMP ini akan menjadi seniman yang serba bisa. Jadi wajar jika para
murid di sana mempunyai impian yang luar biasa.
Saat kami sedang memandang langit, seorang wanita paruh baya
yang tingginya tidak jauh dariku berlari tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Kalian dari desa Summer, ya?”
“Iya, Bu,” jawab Kiki.
“Pernalkan, nama saya Romi. Saya yang akan tinggal bersama
kalian selama tiga tahun ini. Ah, panggil saya Bunda Romi ya.”
“Baik, Bunda!”
“Yasudah, ayo kita ke asrama kalian sekarang.”
Saat Bunda Romi hendak berbalik, Kamami mencekal tangannya.
Ada apa dengan Kamami?”
“Bunda, aku lagi nunggu
seseorang.”
“Namamu Rahmi, ya?”
“Iya, Bunda.”
“Kalau begitu…ini.”
Bunda Romi memberikan sebuah ponsel pada Kamami dan gadis itu
hanya menatapnya canggung.
“Ini ponsel kamu, sayang. Mulai sekarang, kalau kalian mau
keluar tanpa pengawasan Bunda, kalian harus lapor sama Bunda. Anggap aja Bunda
ini orangtua kalian di Jakarta.”
“Oh, iya, Bunda,” ucap Kamami seraya mengambil ponsel itu.
“Oke, jaga diri baik-baik ya, sayang. Kami pergi dulu.”
“Iya, kalian juga hati-hati ya.”
Kutepuk pundak Kamami sebelum benar-benar meninggalkannya.
“Kamu harus kenalin kakakmu ke aku ya.”
“Pasti, De, pasti.”
***
Pagi ini seharusnya menjadi jadwal latihan yang penting bagi
KING. Bayangkan saja, guru pembimbing dalam acara malam puncak penyambutan
murid baru tahun ini, Bu Ucie, meminta mereka mengubah lagu, yang sebenarnya
sudah diganti, menjadi lagu lain yang lebih ceria. Dan waktu pertunjukan
tinggal 2 minggu lagi.
“Walaupun nggak ceria-ceria banget, tapi lagu ini cukup
bermakna kok, Bu. Dan juga, kami semua udah hapal lagu ini,” jelas Alvin.
“Tapi lagu itu masih terlalu mellow. Saya nggak bisa
membayangkan kalau adik-adik kalian bosan sama lagu mellow itu.”
“Bu, bukannya kami bermaksud melawan, tapi waktu pertunjukan
tinggal 2 minggu lagi, dan kalau kami harus ganti lagu baru, takutnya—“
“Iya, saya tahu, Rio. Kalian pasti berpikir kalau semuanya
akan kacau kalau latihannya cuman 2 minggu kan?”
“Tepat, Bu.”
“Saya yakin, waktu dua minggu itu nggak masalah buat KING.”
“Tapi, Bu…”
“Sudah, saya nggak mau dengar alasan lain lagi. Sekarang
kalian tentukan lagu yang ceria dan ringan supaya adik-adik kalian nggak
bosan.”
Kelima anak itu hanya bisa saling pandang dan menunggu
keputusan sang ketua, Rio.
“Baiklah, Bu.”
Ucie tersenyum puas saat mendengar pernyataan itu. Lalu
wanita itu keluar dari ruang latihan KING tanpa berkata apa-apa lagi.
Mereka berlima hanya bisa mendesah lelah karena keputusan
Ucie yang tiba-tiba. Rio mengambil kursi kecil di dekatnya lalu duduk di
atasnya sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
“Gue nggak habis pikir sama Bu Ucie. Maksudnya apa coba
tiba-tiba ngomong begitu?” protes Patton.
“Kalau gue mau suudzon, mungkin ini gara-gara Oik,” tebak
Alvin.
“Oik?” kata Patton heran.
“Kalian inget nggak, waktu itu dia bilang kalau Rio nggak
mau ngangkat teleponnya lagi? Mungkin
dia ngadu sama Bu Ucie.”
“Ah, gue rasa itu terlalu jahat buat ukuran anak yang baru
masuk SMP. Jangan nuduh orang sembarangan, Vin,” kata Iel.
“Gue cuman nebak sih…”
“Udah-udah, daripada mikir yang nggak-nggak, mending kita
pikirin lagu apa yang cocok buat pengganti—“
“Teman-teman,” kata Obiet memotong perkataan Iel, daritadi
dia memang gelisah, “gue boleh ijin duluan? Ada orang yang harus gue jemput.”
“Oh, iya boleh, Biet. Tadi kan gue udah bilang kalau loe
boleh duluan,” kata Rio.
“Sorry banget ya.”
“Nggak apa-apa, bro!
emangnya kita mau makan loe kalau duluan?” ledek Patton diikuti tawa para
anggota.
“Hehehe, okedeh. Makasih yaw.”
Obiet segera mengambil jaket dan kunci motornya lalu
menghilang dengan cepat.
“Siapa yang mau dia jemput, Yo?” tanya Alvin.
“Katanya sih adiknya.”
“Obiet punya adik?” tanya Iel seraya melirik Patton yang
sudah berteman dengan Obiet sejak SD.
“Mana gue tahu,” kata Patton yang merasa nggak nyaman
dipandang seperti itu.
***
Di sepanjang jalan menuju dermaga, hanya ada Kamami di dalam
pikiran Obiet. Adik angkat Obiet yang memutuskan ikut dengan neneknya beberapa
tahun silam itu akhirnya kembali, dan Obiet tidak sabar untuk memeluknya. Obiet
ingin sekali menumpahkan semua kerinduannya pada Kamami karena selama ini
mereka hanya surat-menyurat, dan itu benar-benar tidak cukup bagi Obiet.
Kak, aku diterima menjadi siswa di
SMP kakak! Apa kakak senang?
He he he…
Setiap aku memandang lautan dari
dermaga di desa, aku selalu membayangkan wajah Kakak, Mama, dan Papa. Aku
kangen banget sama kalian, tapi setelah aku pergi dari rumah 3 tahun yang lalu,
aku nggak yakin Mama dan Papa masih mau nerima aku, tapi tenang aja, kak, aku
baik-baik aja kok tanpa mereka. Aku akan mencoba untuk baik-baik aja, dan kakak
juga harus berpikir seperti itu. Aku nggak mau Kakak bertengkar dengan Papa dan
Mama saat aku tiba di Jakarta ya, Kak, jadi…jangan pernah bilang sama mereka kalau
aku akan tinggal di sana sampai aku menyelesaikan pendidikan formalku.
Kakak mau janji sama aku, kan?
Aku percaya Kakak nggak akan ingkar
janji seperti dulu.
Ah, aku akan tiba di Jakarta 3 hari
lagi, Kak!
Kakak harus jemput aku, ya!
Salam, Kamami.
Setelah memarkir motornya, Obiet berlari ke dalam dermaga
dan mencari sosok itu, sosok yang sangat dirindukannya, sosok yang telah
terpisah dengannya selama 3 tahun, Kamami.
“Ami…Kamami…kamu di mana?” lirih Obiet seraya membisikan nama
itu terus menerus pada dirinya sendiri.
“Kak Obiet?”
Tubuh Obiet membeku saat mendengar suara seorang anak
perempuan memanggil namanya dari belakang. Nafas Obiet tertahan, dan saat dia
berbalik, akhirnya Obiet bisa bernafas dengan lega. Obiet tersenyum lalu
menghampiri anak berkerudung itu.
“Ami?”
“Udah kubilang
kan, aku lebih suka panggilan Kamami, Kak.”
“Ahahaha, iya-iya maafik kakak ya.”
“Jadi?”
“Jadi apanya?”
“Cuman begini? Setelah 3 tahun kita nggak ketemu?”
“Kamu maunya gimana?”
“Peluk dong!!”
Obiet tertawa sangat kencang melihat adiknya yang manja
meminta pelukan rindu atau semacamnya. Direngkuhnya tubuh itu dan menepuk-nepuk
punggung kurus Kamami yang sangat dia rindukan.
“Kakak kangen banget sama kamu.”
“Ohya? Ini nggak bohongan, kan?”
“Nggaklah! Kamu ngak percaya?”
“Aku percaya…”
Entah sejak kapan, jantung Obiet berdetak lebih cepat dari
biasanya saat berada di jarak sedekat ini dengan Ami. Dia merasa ada sesuatu
yang ingin dia keluarkan, dan itu sangat penting untuk hidupnya.
***
Sekitar 1 jam kemudian, kami tiba di asrama, atau bisa
dibilang rumah kedua, yang dimaksud Bunda Romi. Seorang lelaki yang sepertinya
10 tahun lebih muda daripada Bunda Romi berlari ke arah kami dan membantu supir
mobil mengangkat barang-barang kami.
“Jadi ini anak-anak luar biasa itu, Bunda?”
“Iya, Dit, kamu baik-baik ya sama mereka.”
“Oh, siplah, Bunda! Aku angkat semuanya ke dalam dulu ya!”
“Hati-hati.”
Lelaki yang dipanggil ‘dit’ itu masuk ke dalam dengan
koper-koper kami setelah tersenyum sekali lagi.
“Itu namanya Mas Dodit. Dia yang akan menjadi penjaga di
rumah ini. Nanti kalian kenalan sama dia ya.”
“Iya, Bunda!” seru kami hampir bersamaan.
Bunda Romi mengajak kami ke dalam rumah, dan betapa
terkejutnya aku melihat rumah sebagus ini. Rumah ini tidak terlalu luas dan
megah seperti di film-film, tapi ini jauh lebih bagus daripada rumahku di desa.
“Woah…gede banget…,”
takjub Kiki.
“Iya, yaampuun, kalau begini aku pasti betah di Jakarta!”
lanjut Angel.
“Benar-benar,” komentarku.
“Syukurlah kalau kalian suka,” kata Bunda Romi yang
memandang kami dengan mata keibuannya.
“Jadi di mana kamar kami, Bunda?” tanya Kiki.
“Kamar lelaki di kiri, terus kamar perempuan di kanan.”
“Kami ke sana dulu, ya, Bunda?”
“Boleh-boleh.”
Kiki dan Angel berlari ke dua arah yang berbeda, sedangkan
aku masih diam dan memandang ke luar. Aku berharap Kamami ada di sini dan kami
bisa melihat rumah ini bersama-sama untuk pertamakalinya.
“Kamu kenapa, Dea?”
“Oh, nggak apa-apa, Bunda.”
“Hayo, kamu jangan bohong.”
“Hehehe, nggak Bunda, aku cuman khawatir sama Kamami.”
“Kamami itu adiknya Obiet, kan?”
“Obiet?”
“Iya, nama kakak Kamami itu Obiet.”
“Ooh…aku nggak tahu, Bun.”
“Udah-udah, kamu nggak perlu cemas. Obiet pasti udah dateng dan nemenin Ami.”
“Bun, aku penasaran sama Kamami.”
“Maksudnya?”
“Kamami itu orangnya seperti apa ya, Bun?”
“Kalau kamu mau tahu, kamu harus berteman baik sama dia. Sama
semuanya juga.”
“Siap, Bun!!”
Iya, aku penasaran. Sebenarnya Kamami itu orang
yang seperti apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?