Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen - First Love

Masih ingat kata-katanya tahun lalu, membuatku tak bisa melupakan wajahnya walaupun sedetik. Pangeranku yang tiada tara harganya. Sebuah cinta pertama yang manis rasanya. Dan aku selalu berhasil tertawa dibuatnya.
"Kamu nggak bisa biasa apa?"
"Nggak buat cinta pertamaku"
Ia selalu mengatakan "Cinta pertama" padaku, tapi aku tak percaya pada ucapannya. Aku tahu, ia sudah mempunyai cinta sebelum aku. Mungkin aku adalah pelampiasan akan cintanya yang di tolak oleh gadis itu. Gadis manis itu selalu membuatku kagum. Sahabatku.
"Aku hanya ingin kamu tahu, aku sayang kamu"
Kata-kata itu juga yang selalu kudengar dari Iel, pangeranku. Tapi kenapa hatiku sakit setiap ia mengatakan hal itu? Apa karna aku merasa, ia tak pernah menyayangiku? Ya, ia memang tak pernah menyayangiku. Ia hanya menyayangi Sivia. Sahabat terbaikku sepanjang masa. Akan ku coba untuk membayar senyum ku yang digambar olehnya. Dan ucapan terakhirku, terimakasih Iel.
---
"De, kamu pernah lihat majalah ini belum?"
Sivia menunjukan sebuah foto majalah lama tahun 80an padaku, aku hanya menggeleng.
"Benar?"
"Yakin 10000% deh vi! Hehehe"
Ku coba lebarkan senyum ini, agar tak membuat Sivia gelisah akan kegundahanku. Sebagai sahabat, aku tahu. Ia pasti akan mengerti keadaanku saat ini jika aku mengatakan hal ini langsung padanya. Tapi aku tak mau, tak mau karna hutangku belum lunas.
"Iel daritadi menatapmu lho de.. hihi"
"Hahaha, dasar"
Aku ingin menangis kawan, ucapan Sivia seperti menusuk-nusuk hatiku, ia tak pernah tahu. Iel hanya memandangnya. Hanya ia yang ada di hati Iel. Aku tolehkan padangan ke Iel, ternyata Iel langsung salah tingkah karna perbuatanku.
"Hai"
"De..dea"
Benar khan? Ia gugup saat aku melihatnya, karna ia sudah tertangkap basah memandangi Sivia. Senyuman dan semua tawa ini akan segera ku kembalikan padamu yel, tenang saja.
"Bagaimana jika nanti pulang sekolah, kita ke pasar loak?"
"Wah, kamu mau menemaniku de?"
"Iya, sekalian mau kencan sama Iel"
"Huft, aku bakal bosan deh"
Tidak vi, bukan kau yang akan bosan, tapi aku.
"Kalian itu pasangan yang serasi ya de"
"Maksudmu? Kamu meledekku ya?"
"Tidak, aku sama sekali nggak meledekmu kok, andaikan.. aku nggak manja, cengeng, cemburuan seperti kamu. Pasti Rio nggak akan meninggalkan aku"
"Ahaha, itu sih karna Rio yang terlalu sensitif. O iya, bagaimana kalau aku mengajak Rio juga?"
"Bodoh kamu de, jangan!"
"Tak apa lah, biar kamu nggak bosan. Iya ya?"
Sivia hanya mengangguk, aku senang dengan jawabannya. Ide yang cukup bagus mengajak Rio ikut bersama kami. Ya, agar aku tak sendirian dan sakit melihat Iel bersama Sivia. Lupa ku ceritakan, Sivia dan Rio itu berpacaran setelah aku dan Iel jadian. Aku sangat bahagia teman kecilku Rio bisa jadian dengan sahabatku Sivia. Sangat cocok rasanya, tapi itu hanya di awal. Sifat Sivia yang manja, cengeng, cemburuan sangat di benci Rio. Tapi disukai Iel. Mereka coba bertaham beberapa bulan. Tapi, sayang. Hanya 3 bulan masa mereka. Tak seperti aku dan Iel, sudah setahun kami berpacaran. Tak pernah ada pertengkaran. Walaupun Iel sudah memancing perkelahian. Aku selalu menahan amarahku, semua ku bicarakan dengan pikiran dingin. Aku takut hubungan kami seperti Rio dan Sivia.
---
Sesuai rencana, kami berempat pergi ke toko loak, seperti yang biasa Rio lakukan. Ia membawa kamera digitalnya untuk mengabadikan pemandangan sekitar. Ia selalu menunjukan hasil potretannya padaku, aku yakin ia akan menjadi fotografer profesional suatu saat nanti. Amin.
"Kita naik bis aja dari sini, biar nggak terpisah"
Kami mengangguk setuju pada usulan Sivia, dan kamipun naik bis ke toko loak.
---
"Aku duduk sama Rio ya yel?"
"Kenapa de?"
"Aku kangen aja mau cubitin tu anak"
Rio langsung menutup kedua pipinya karna takut akan cubitanku.
"Oh, yasudah.. aku duduk sama Via?"
"Iya"
Di dalam bis pun, Rio masih sibuk memotret. Aku sengaja duduk dengan Rio, dan juga jauh dari bangku Iel-Via. Agar Iel bisa leluasa duduk dengan Sivia. Aku mencoba untuk, tersenyum.
"yo, kamu nggak bisa apa berhenti jekrak-jekrek?"
"Yei, sirik aja Dea"
"Bukannya sirik ganteng, tapi bahaya sama kameranya, kalau jatuh gimana?"
Rio terdiam, ia langsung memasukan kameranya ke dalam tas, aku tertawa kecil melihatnya. Ia adalah anak yang paling mau mengikuti ucapanku, karna ia tahu. Semua ucapanku itu bersifat baik untuknya. Rio itu sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Aku sangat menyayanginya.
"De, ada pemandangan bagus hiks.."
Aku makin tertawa mendengarnya, sepertinya hasrat untuk memotret sangatlah besar. Karna kasihan, aku membolehkannya. Asal ia tak terlalu mengeluarkan kameranya terlalu jauh dari dalam bis, itu akan sangat membahayakan.
"Makasih ya cantik"
Dulu, sebelum aku dan Iel jadian, aku lebih sering bersama Rio. Ketimbang Sivia juga, mungkin ini karna faktor kedekatan rumah kami. Sering juga teman-teman kami bilang, kami serasi. Tapi aku tak menghiraukan ucapan mereka, karna aku menyukai Iel. Dan Rio pun tahu itu, ia juga membantuku untuk mencarikan informasi tentang Iel. Tak disangka rasa ini akan dibayar dengan kata-kata Iel.
"Aku mencintaimu sepenuh hatiku"
Aku melihat Iel dan Sivia yang asyik mengobrol, aku tersenyum miris. Andaikan aku bisa memutar waktu, aku takkan menerima cinta Iel. Dan akan mencoba tak mencintai Iel. Tuhan, maafkan aku, aku marah dengan cinta palsu ini.
"yo"
"Ya?"
"Kamu masih menyukai Via?"
Rio langsung memandang Sivia sejenak, ia tersenyum girang.
"Tidak sama sekali"
"Kok bisa?"
"Bisa dong, aku khan udah dapet gantinya"
"Siapa?"
"Rahasia!"
"Kamu itu lucu yo, dulu.. aku tak menyangka, kamu akan mengutarakan suka pada Via, dan kini sudah ada gantinya pun kau tak mau bilang padaku"
"Haha, emangnya aku kamu? Suka sama Iel bilang ke aku blak-blakan"
"Lho? Khan kamu sahabatku"
"Tapi, cewek dan cowok tu beda de.. cowok tu lebih memendam perasaannya, dan ketika saatnya tepat. Aku akan langsung mengejutkanmu!"
"Aneh"
Rio tertawa keras mendengar perkataanku, hingga Sivia dan Iel juga menoleh ke arah kami, aku tersenyum pada mereka. Tapi mereka langsung memalingkan pandangan mereka dariku. Ya, memang ini saatnya aku meninggalkan Iel. Hari ini, aku akan mengakhiri hubungan kami.
"De, kamu lagi merhatiin mereka?"
"Eh, nggak kok yo"
"Bohong nie"
"Udah-udah, sini aku mau lihat hasilnya"
Langsung ku ambil kamera Rio karna aku tak mau banyak bicara tentang pandanganku tadi.
"Kamu jangan bohong padaku de"
"Aku nggak bohong kok yo"
"Aku tahu de, kamu nggak rela khan kalau mereka duduk berdua?"
Aku masih terdiam, pura-pura tak mendengar ucapan Rio. Tolong yo, jangan siksa aku dengan semua ucapanmu.
"Kita tu sudah 10 tahun lho de bersahabat"
"Lalu kenapa?"
"Aku bisa membaca matamu de"
"Kamu nggak tahu apa-apa Rio!"
Aku membentak Rio, untuk menghentikan ucapan Rio. Aku sudah tak bisa menahan air mataku, air mata ini keluar sedikit demi sedikit. Ku tundukan kepalaku. Aku tak mau menatap wajah Rio, aku marah padanya!
"Maafin aku de"
"Udah, kamu nggak usah ngomong sama aku!"
"Kok kamu jadi gini sih de? Kamu bukan Dea yang kukenal, Dea yang kukenal itu anak yang kuat, tak cengeng, tak cemburuan"
Ku angkat kepalaku, menatap wajah Rio yang kelihatan kesal pada sikapku. Tangan kanannya mengusap pipiku.
"Dede jangan nangis ya, Yoyo nggak mau lihat adek Yoyo nangis"
Usapan kakak yang sangat kurindukan, Rio kembali jadi Rio yang manis. Karna sikapnya jadi dingin semenjak aku tak punya banyak waktu untuknya.
"Terimakasih yo"
"Maaf ya de, mulai sekarang jika kamu mau aku diam, aku akan diam"
Sivia dan Iel berdiri, tanda kami akan segera tiba di toko loak. Aku dan Rio ikut berdiri, Iel menarik tanganku agar aku berdiri di belakangnya. Rio berdiri di belakangku, ia berbisik padaku.
"Iel tak pernah berfikir, jika kamu jatuh kebelakang. Siapa yang akan menangkapmu? Tenang saja de, kamu aman"
Aku tertawa mendengar guyon Rio, ku lepaskan pegangan Iel padaku.
"Sebaiknya, kamu jaga Via yel, kakinya sedang sakit"
Aku sedikit berbohong agar Iel mau mendekat pada Via, sedang aku. Dengan Rio saja.
---
Kami berempat jalan berdampingan, aku masih menjauh dari Iel juga Sivia, aku selalu mengajak Rio menjauhi keduanya, Iel sepertinya risih akan sikapku, ia langsung menarik tanganku.
"Ikut aku"
"Mau kemana sih yel?"
"Ke suatu tempat, hanya kita berdua"
"Tapi tanganku sakit jika kamu menariknya seperti ini yel!"
Iel sudah tak mengihaukan perkataanku, sakit kawan. Sangat sakit, bukan tanganku, melainkan hatiku. Karna aku sebentar lagi akan berpisah dengan Iel.
---
Kami sudah terdiam selama 10 menit, di taman belakang toko itu. Taman yang cukup indah, tapi aku akan mengukir sejarah hitamku disini.
"Kita pisah aja yel"
Aku memulai pembicaraan yang membuat Iel langsung menatapku lekat, aku tak berani menatap matanya.
"Tapi kenapa de?"
"Karna, aku merasa aku bukanlah yang terbaik untukmu"
"Kamu yang terbaik dalam hidupku de, hanya kamu"
"Kenapa kamu masih berpura-pura sih yel?"
Air mataku mulai mengalir, Iel hendak mengusapnya. Tapi langsung ku tepis tangannya. Aku tak mau lagi rasa ini membuncah dari hatiku. Maafkan aku yel.
"Kenapa de? Aku tak pernah berbohong padamu"
"Aku tahu yel, kamu hanya menyayangi Via khan? Hanya Via yang ada di hatimu, aku tahu semua dari adikmu"
"Tania?"
"Ya, beberapa bulan setelah kita jadian, ia mengatakan padaku.. bahwa kau selalu bilang, kalau Via itu pacarmu! Bukan aku!"
"Kapan de? Kapan?"
"3 bulan hari jadi kita!"
Iel terdiam, ia menunduk. Aku tahu yel, kini kamu menyesal bukan? Aku juga menyesal sudah mencintaimu. Terimakasih yel.
"Terimakasih yel"
"De.."
"Kini aku sudah ikhlas untuk melepasmu yel"
"Aku nggak ikhlas de!"
"Ayo, kita berteman saja"
"Dea.."
Aku berjalan meninggalkan Iel, sekali lagi, maafkan aku yel.
---
Sudah 2 bulan aku menjalani hidup sebagai cewek single, selalu ada saja pertanyaan menerpaku. Kenapa aku putus dengan Iel? Dan aku tak pernah menjawabnya. Masa itu sudah ku kubur dalam-dalam.
Setiap ku lihat Iel, hatiku masih terasa perih. Begitu juga saat aku melihat Sivia, kini aku hanya bicara dan tersenyum secukupnya pada keduanya. Karna mereka berdua, aku jadi menderita begini. Tuhan, tolong aku.
Setiap detik, menit, jam, hari, bulan.. aku harus bertemu dengan keduanya, sekarang mereka berdua sudah menjadi sepasang kekasih. Jahat bukan? Tak salah memang, aku mengakhiri hubungan ini. Dan setelah mereka berpacaran 1 bulan, semua temanku mengucapkan "Sabar" padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Tuhan, sebenarnya aku sangat tersiksa dengan semua ini. Tapi, daripada aku lebih tersiksa lagi. Berpacaran dengan orang yang mempunyai hati pada sahabatku sendiri. Aku, serasa ingin mengakhiri hidupku setiap aku melihat mereka.
Dan, kuputuskan.. untuk mengakhri hidupku.
---
Aku duduk di lantai tertinggi sekolahku, semua siswa/i sudah pulang, tak ada yang boleh di sekolah. Dan disinilah aku, ingin tersenyum pada dunia untuk terakhir kali. Jatuh dalam beberapa detik, dan aku tak usah melihat kedua orang jahat yang selalu membuatku sakit hati. Aku masih memandang keadaan sekitar. Mataku terbuka lebar, walau airmata telah menutupinya sebagian. Kenapa aku jadi seperti ini? Jadi seorang gadis yang cemburuan, cengeng, kenapa? Ini semua karna kalian. Karna kalian yang terlalu banyak menyakiti hati dan pikiranku. Semua sudah ku abdikan cinta untuk kalian berdua, sahabat dan mantan pacarku. Tapi, ini memang sudah jalan hidupku. Aku hanya meninggal saat ini juga, dan semua takkan terasa terlalu konyol. Air mataku terus mengalir.
'Brukk'
Tubuhku di peluk, pelukan yang sangat erat, aku tak bisa bergerak karnanya.
"Tolong, jangan tinggalin Yoyo"
Rio, ia menjemputku.. ia menjemputku di lantai tertinggi sekolah ini.
"Aku, aku sudah tak kuat lagi yo!"
"Kenapa de? Kenapa Dea tega pada semua orang yang menyayangi Dede?"
"Aku sakit yo, sangat sakit"
Rio mengangkat tubuhku, agar menjauh dari tepian. Ia membalikan tubuhku, menatap kedua mataku. Aku tak pernah melihatnya seyakin ini. Ia kembali memelukku. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang sangat kencang bergerak, mengikuti alur detak jantungku juga.
"Kalau Dede sakit, bolehkah Rio menjadi obatnya?"
"Aku nggak ngerti maksudmu yo"
Rio melepaskan pelukannya, lalu menggenggam tanganku. Tangannya begitu hangat, aku bisa merasakan cinta di jemarinya.
"Kamu mau tahu, siapa gadis pengganti pasangan bayanganku?"
"Pasangan bayangan?"
"Ya, aku tak pernah sedikitpun mencintai Via de, aku hanya mencintaimu"
'Aku hanya mencintaimu' ucapan Rio barusan membuatku terdiam, waktu terasa berhenti kini. Apa maksudnya? Kakak ku, aku tak pernah berfikir akan mencintainya. Tapi, ia?
"Kamulah yang ada di hatiku, hanya ada satu dihatiku Dea"
Air mataku mengalir lagi, langsung ku peluk Rio, aku tak tahu, mengapa aku memeluknya? Tapi kini aku ingin sekali memeluk Rio, dan kini aku percaya. Cinta Pertama itu ada. Ia kini menyambutku, datang dalam kehidupannya. Ialah cinta pertamaku. Rio.
"Jangan pernah tinggalkan aku lagi de"
"Ya yo, aku janji"
"Aku akan menjagamu.. sebagai cinta abadi dalam hidupku. You are my first love"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini