Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen - Heaven

Satu keyakinan akan janji, ya. Itulah yang ku punya di dunia ini. Hanya itu yang membuatku bisa bertahan hidup selama 15 tahun. Hanya itu yang dapat membuatku terus menunggu. Dan hanya itu yang membuatku dapat menghadapi ia, gadis paling menyebalkan dalam hidupku. Dea.
Aku tak pernah habis pikir, kenapa gadis itu selalu ada disampingku? Bahkan seumur hidupku, aku tak pernah mau ia ada. Heuh, aku hanya ingin menyingkirkannya dari pandanganku, tapi aku lemah. Karna ia punya satu janji yang membuatku sungguh tertarik pada janji itu. Surga.
---
"De, loe mau milk shake atau jus jeruk kayak biasa?" Tanyaku
"Aku mau jus jeruk aja kayak biasa yo"
"Sip"
Aku kembali ke kasir, untuk memesan 1 jus jeruk untuknya, dan 1 milk shake untukku. Setelah menerima dua minuman itu, aku berjalan santai menuju meja yang telah kami pesan di cafe ini.
"Nih" kataku seraya memberikan pesanannya.
"Makasih yo"
"Sama-sama, eh. Ngomong-ngomong, loe nggak sama Shilla sahabat loe itu?" Tanyaku, ya untuk sekedar menciptakan topik pembicaraan yang pas dan menyenangkan untukku.
"Nggak"
"Kenapa?"
"Terserah aku, lagipula. Shilla bukan sahabatku, dia musuhku"
Sebenarnya, aku cukup tertarik pada musuh Dea yang bernama Shilla, gadis itu cukup manis. Bahkan sangat manis untukku, ketika aku melihat senyumnya. Ya Tuhan, manisnya. Tapi aku tak pernah berani mengutarakan perasaanku pada Shilla, perlu kalian tahu. Dea itu anak yang sangat ambekan. Jika ia tahu aku jadian dengan musuhnya, Dea pasti menangis, mengadu pada kedua orang tuaku. Dan akibatnya? Aku kena marah. Heuh, dasar anak aneh.
"Ngapain sih musuhan? Bukannya Shilla tu baik ya?"
"Yaampun, Mario Stevano Aditya Halililililing. Kamu nggak pernah dengar perkataan anak-anak tentang gadis aneh itu?"
Sebenarnya, aku ingin menyemprot Dea dengan milk shake ku, enak saja menyebut pujaan hatiku gadis aneh. Kau yang aneh! Tapi, aku mencoba untuk tahan amarah ini. Dengan terus menyedot milk shake. Agar pikiranku lebih dingin.
"Aih, loe ni de, nama gua kok Halingnya jadi panjang?"
"Bodo"
Aku hanya bisa menggerutu dalam hati, biar ia menyebalkan. Ia tetap sahabatku. Sahabat terburukku.
"Eh, bagaimana hubungan loe sama Alvin?"
"Kok kamu tahu yo?!"
"Khan udah nyebar kale, anak kayak Alvin kalau suka sama cewek, ceritanya lebar kemana-mana. “Ngomong-ngomong, loe terima nggak?"
"Nggak"
"Kenapa?"
"Bodo"
“Sialan"
"Apa katamu?!" Dea mulai melotot padaku, aku langsung menunduk. Tak mau banyak bertanya lagi. Ia meletakan handphonenya dengan kasar ke atas meja. Aku sampai kaget dibuatnya. Huft. Kapan aku bebas dari anak ini?
---
Pulang sekolah nanti, aku berencana akan ke pemakaman Opa, karna sudah 5 tahun terakhir ini. Aku tak pernah ikut papa mama mengunjungi pemakaman Opa. Ya, aku cukup menyesal dibuatnya, dan juga, aku takkan mengajak Dea. Jika sudah di kuburan, omongannya selalu ngawur. Aku sering takut jika di dekatnya.
"Yo, kamu lama amat sih jemputnya?"
"Udah, naek aja loe"
Tapi, belum sampai Dea naik ke sepedaku, seorang anak lelaki berkulit putih bersih menghadang kami. Ia tersenyum dan mengangguk tanda hormat pada kami, ialah Alvin. Anak keturunan asli Jepang, mata sipitnya selalu mempesona, ya begitu kata semua teman gadisku.
"De, kamu ikut aku yuk" ajak Alvin pada Dea.
"Sama aja vin, aku ikut Rio aja ya?" Dea menolak permintaan Alvin, ia pun naik ke bangku belakang sepedaku.
"Please de, yaya?" Alvin masih memohon pada Dea, aku sebenarnya kasihan pada Alvin. Kok bisa-bisanya suka pada gadis aneh ini.
"Udah, loe turun aja de. ikut sama Alvin sana" aku mengusir Dea, agar ia mau ikut di sepeda Alvin, Dea pun turun, memukul kepalaku dengan tasnya. Dan naik ke sepeda Alvin.
"Bilang aja, kamu mau jemput princess itu. Rio jelek!" Dea meninggikan volume suaranya, tanda ia marah besar.
"Maksud loe apa sih de!?" Aku juga mulai marah padanya, Dea cepat-cepat menyuruh Alvin untuk menjalankan sepedanya. Dan terpaksa, aku harus mengejar mereka.
Tapi, adegan kejar-kejaran itu berhenti saat hujan tiba-tiba turun. Kami bertiga langsung berteduh di halte dekat tempat kami berada. Dea merapatkan tubuhnya pada Alvin. Fiuh, syukurlah. Aku bisa lega sendirian. Dea dan Alvin sangat mesra rupanya, dan aku jengkel melihatnya. Bukan karna cemburu, tapi aku memang tak suka melihat orang pacaran. Norak tahu! Hem, tapi bagaimana nanti jika aku pacaran sama Shilla ya? Hihi.
"Loe nggak usah sok mesra gitu napa de, loe khan tahu. Gua nggak suka liat adegan kayak gitu" kataku kesal.
"Cemburu ya??" Aku tersentak karna pertanyaan Dea, tapi tak lama aku langsung tertawa keras menertawakan pertanyaannya yang sangat konyol. Dan tadi sudah ku jawab.
"Apa? Cemburu? Yaampun de, geer banget sih loe" Aku masih menertawakannya. Dea menunduk, dan aku tak pernah melihatnya seperti itu.
"Nanti, Rio mau ke pemakaman Opa ya?" Hah? Darimana ia tahu rencanaku?
"Nggak kok de" sangkalku
"Kalau kamu ke pemakaman Opa, aku ikut ya?" Tanyanya lagi.
"Nggak, beneran. Gua nggak kesana"
"Ih, pokoknya aku ikut!"
"Loe nyebelin banget sih de!"
"Kamu yang nyebelin!"
Disini, kami malah bertengkar. Alvin diam termangu melihat kelakuan kami, aku akhirnya diam, tak enak juga bertengkar dengan gadis di tempat yang cukup ramai orang. Walaupun aku sudah biasa bertengkar dengannya, tapi demi image dan harga diri. Sebaiknya aku diam.
"Yo?" Dea masih memanggilku, tapi aku tetap diam.
"Maaf ya yo"
"Ya" Kataku singkat, tak mau memperpanjang masalah.
"Kalian berdua lucu ya" Alvin mulai berkomentar. Aku menoleh ke arahnya. Begitu pula Dea, ia memperhatikan Alvin penuh harap. Memangnya Alvin mau mengatakan hal bagus apa? Dasar aneh.
"Kalian itu, sebaiknya jangan berpisah.. tetaplah begini, karna..kelakuan kalian membuat orang di dekat kalian bahagia" jelasnya, bahagia? Kata bahagia itu ingin sekali ku ambil, dan ku buang jauh-jauh dari peradaban hidupku.
"Nggak kok vin, suatu saat nanti. Kita akan pisah. Siapa tahu?" Dea tersenyum tipis setelah mengatakan hal itu. Aku tak terlalu menghiraukan omong kosong anak ini.
"Eh, hujan udah mau reda tuh, kita cepet-cepet ke sekolah yok. Nanti telat, dan gua nggak mau dihukum bareng loe de"
"Makasih yo"
Ucapan itu seperti berbisik, tapi aku jelas mendengarnya. 'Makasih yo' dari Dea? Untuk apa? Aneh tetaplah aneh.
---
Kami berpisah di gerbang sekolah, beruntungnya di tahun ketiga kami di Smp, aku tak sekelas dengan Dea. Dan beruntungnya lagi, aku sekelas dengan Shilla. Senangnya hatiku. Tapi, aku masih merasa aneh dengan ucapan Dea tadi. Untuk sebuah kata 'Makasih' sepertinya itu, cukup. Arghh! Aneh, aneh, aneh! Anak aneh!
Aku menoleh ke belakang, Dea juga Alvin sudah menghilang. Leganya.
Pundakku ditepuk oleh seorang, ya Tuhan! Ia Shilla..
"Pagi Rio" Sapanya, aku tersenyum seraya melanjutkan langkahku.
"Pagi juga"
Aku mencoba untuk sedikit 'Jaim' pada gadis yang kusukai, supaya gadis itu memandang aku sebagai seorang yang 'Misterius' hehe.
"Kamu nggak kehujanan yo?"
"Nggak dong, gua khan anak cepat tanggap. Mana mungkin kehujanan"
"Hahaha. Dasar, ehem. Sebenarnya yo, aku mau minta tolong sama seorang juara 1 berturut-turut seperti kamu"
"Minta bantuan apa Shill?"
Bayangan misterius langsung pecah, aku kembali menjadi anak pecicilan, ingin selalu tahu, dan supel. Shilla tertawa, wah. Manis seperti putri-putri di negeri dongeng. Tak heran, jika ia di juluki Princess Shilla.
"Aku mau minta kamu mengajar privat sepulang sekolah nanti"
"Untuk siapa?"
"Untukku yo"
"What?!"
Detak jantungku berdegup sangat cepat, mimpi apa aku semalam? Bisa diminta jadi guru privat seorang princess. Ya Tuhan.
"Mau nggak yo?"
"Eh, eh. Boleh deh shill"
"Makasih ya!"
Terimakasih Tuhan, telah memberiku kesempatan berduaan dengan gadis manis ini. Dan mungkin ini kesempatan aku tuk melakukan pendekatan dengan Shilla. Yes!
---
Sesuai permintaan Shilla, aku mengajarinya beberapa pelajaran yang cukup sulit baginya. Dan aku yakin, Shilla itu hanya merendah. Ia sebenarnya pintar, tidak seprti Dea. Anak bodoh itu selalu menyusahkan aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah untuk dijawab, hah. Dianya saja yang terlalu aneh, bodoh.
"Kita mulai pelajaran matematika ya yo?" Tanya Shilla padaku, membuat lamunanku akan perbandingan Shilla dengan Dea buyar.
"Oh, iya. Silahkan shill. Terserah kamu"
"Kamu? Sejak kapan Rio bilang kamu?"
"Ehehe, gua keceplosan. Ah, udahlah shill, mana yang loe nggak ngerti?"
Sebenarnya, aku sedang terbiasa mengucap aku, kamu. Pada Shilla, agar jika nanti kami menjadi sepasang kekasih. Aku tak terlalu canggung mengucapnya.
"Sebenernya yo, aku ngajak kamu kesini cuma mau bilang sesuatu"
"Bi..bilang apa shill?" Tanyaku mulai gugup melihat gadis pujaanku.
"Seperti banyak kata orang, mereka bilang.. kamu suka aku ya?"
Deg.. deg.. deg.. Aduh, kenapa dengan Shilla? Ini terlalu cepat shill, aku.. aduh, bagaimana ini?
"Jawab aja yo, kamu suka aku?"
'Brukk'
Aku dan Shilla langsung menoleh ke sumber suara, Dea sedang berdiri di depan pintu. Air matanya mengalir, sebuah kotak berwarna biru tua warna kesukaanku tergeletak di samping kaki anak aneh itu.
"Loe kenapa de?" Tanyaku, tapi Dea masih diam dan terus menunduk. Ia pun menyeka air matanya, dan tersenyum padaku. Sungguh senyum yang di paksakan. Matanya masih berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk berdiri dan hendak menghampirinya, tapi Shilla menahan langkahku.
"Aku, pulang duluan ya"
Setelah berkata dan bersikap aneh seperti itu, ia langsung berlari. Aku duduk kembali, dan menatap Shilla yang masih menunggu jawabanku.
"Kenapa dengannya yo?"
"Gua juga nggak tahu"
"Ehem.. jadi gimana yo?" Tanyanya lagi.
"Gua, aduh gimana jawabnya ya shill?"
"Udah, kamu jawab aja yo"
"I..iya shill, gua suka sama loe"
"Jadi, kamu bisa jadi pacarku dong?"
"Ehem, iya Shill, aku mau kok jadi pacarmu.."
"Makasih ya yo"
"Aku yang harusnya bilang makasih shill"
Kami pun berbincang banyak, walaupun perasaan ini sangat campur aduk. Kami mengobrol hingga ada seorang satpam menegur kami, kami pun pulang, dan aku mengantarkan Princess itu ke rumahnya, untuk pertama kali. Oiya, mengenai kotak yang tadi Dea jatuhkan. Aku mengambilnya, dan ternyata kotak itu berisi gantungan Naruto yang sudah lama kuinginkan. Tapi, aku memberikannya pada Shilla. Ya, semata-mata hadiah jadian.
---
Sesampainya di rumah. Aku berputar-putar di dalam kamar, aku sangat senang. Senang-senang-senang. Ternyata pujaan hatiku itu juga menyukaiku. Sekarang, aku ingin berteriak pada dunia.
"AKU SAYANG SHILLA!!"
Agar Shilla puas mendengarnya, tapi aku tetap mengontrol perasaanku. Jadi seorang cowok macho lah Rio! Kini, aku dapat mengganti kontak Shilla di handphoneku dengan nama 'My Lovely girl. Shilla' hehe, aku tertawa melihatnya.
'Tok tok tok'
Suara ketukan itu membuatku tersadar dari mimpi-mimpiku akan Shilla. Aku langsung beranjak membuka pintu kamar. Ku lihat mamaku menangis, ia memelukku. Aku merasakan firasat buruk. Ku elus pundak mama.
"Ada apa ma?"
"Dea yo, Dea.."
Huft, pasti anak itu sudah mengadu pada mama, tapi kenapa mama menangis?
"kenapa dengan Dea ma?"
Mama melepaskan pelukannya padaku. Ia masih menangis. Aku terus mengelus pundak mama.
"Dea meninggal nak, tadi sepulang sekolah ia mengalami kecelakaan, ia tertabrak mobil di depan toko permen kesayangan kalian."
Jantungku berhenti berdetak, waktu di sekitarku tiba-tiba berhenti. Pikiranku mengantarkanku ke sebuah bayangan masa lalu. Aku teringat saat Dea menangis di depan pintu kelas dan menjatuhkan kotak berisi gantungan kunci yang sangat kuinginkan. Ia mengatakan.
"Aku pulang duluan ya"
Tuhan. Kenapa kau tega mengambil anak aneh itu begitu cepat? Kenapa Tuhan?! Air mataku mengalir deras tak tertahan, hatiku sangat perih. Dea.
Tiba-tiba saja, aku teringat sebuah kertas yang terselip di kotak yang dijatuhkan Dea, sudah kubuang karna aku pikir, paling isinya aneh seperi Dea. Aku langsung berlari meninggalkan Mama yang masih menangis, aku ingin mengambil surat itu. Surat terakhir dari Dea.
---
Malam ini begitu gelap, lebih gelap dari yang biasa aku alami. Apa karna Dea? Coba ku ingat-ingat. Dimana tadi aku membuang kotak dari Dea? Pikiranku kacau saat ini, Dea. Bantu aku, seperti yang selalu kau lakukan.
"Disana yo! Bintang jatuh!!"
Teriakan itu, jelas. Sangat jelas kudengar. Aku mencari sumber suara itu, tapi tak kutemukan. Semua gelap, aku hanya dapat menerka apa yang ada didepanku. Tak ada perasaan takut sedikitpun. Karna aku hanya ingin mendapatkan kotak itu.
"Yo, kita akan ke Surga suatu saat nanti"
Suara Dea kembali membayangiku. Dea, tolong jangan siksa aku. Bantulah aku.
Aku mencari kotak itu di tempat sampah, sangat bau keranjang tersebut. Ku tahan nafasku, aku sangat lelah mencarinya. Kira-kira sudah 5 keranjang sampah tempatku mencari kotak pemberian Dea. Bodoh, aku memang bodoh. Bahkan aku lebih bodoh dari Dea. Aku tak bisa memahami gadis itu, padahal. Dea selalu memahami perasaanku.
Ia selalu memberiku hadiah ulang tahun yang penuh dengan perasaan kasih sayangnya, sedangkan aku? Selama 15 tahun aku mengenalnya, tak ada satupun hadiah ulang tahun yang kuberikan padanya. Aku orang paling bodoh! Maafkan aku de, maafkan aku. Kenapa, di saat terakhir aku melihatmu. Kau harus menangis karnaku Dea? Kau itu juga bodoh, menangisi lelaki sepertiku. Dasar bodoh.
Air mataku terus mengalir dengan penyesalan-penyesalan yang tiada hentinya, aku masih mencari walau mata ini sudah merah karna mengantuk.
"Ini dia!"
Aku berhasil menemukannya! Dea, terimakasih kau sudah membantuku! Terimakasih Dea!
---
Pagi ini begitu kelam bagiku, melihat semua teman-teman sekolahku datang ke sebuah pemakaman yang sama sekali tak kuinginkan. Beberapa menepuk-nepuk pundakku, mengucap perkataan motivasi. Karna mereka tahu, aku adalah sahabat Dea.
Alvin menghampiriku, ia meminta aku ikut dengannya. Dan disinilah kami, di taman dekat pemakaman umum tempat Dea di kubur selamanya. Mataku masih sebam, tapi mata Alvin lebih menyedihkan. Untuk ukuran matanya yang sudah kecil, menangis membuat matanya makin kecil.
"Yo." Panggilnya.
"Apa?"
"Gua cuma mau bilang yang sebenarnya yo, gua benci banget sama loe"
Alvin menghelakan nafas, dan melanjutkan.
"Karna dalam hati Dea, cuma ada loe"
"Maksud loe vin?"
"Iya, Dea nggak pernah menerima cinta gua itu karna loe yo, Dea mencintai loe yo. Makanya, Dea selalu menjaga loe yo"
"Gua nggak ngerti"
'Bukk'
Sebuah pukulan mendarat di pipiku, kini pipiku merah karna pukulan yang di lempar Alvin padaku, rasa nyeri itu terasa hingga hatiku.
"Loe bisa nggak sih jagain Dea yo?!"
Aku masih terdiam, Alvin memandang nanar padaku. Ia bersiap untuk memukulku.
"Pukul aja vin, pukul gua sesuka hati loe, karna gua emang pantes nerima itu"
Alvin mengepalkan tinjunya, aku tak takut sama sekali. Karna memang ini yang pantas kuterima dari kelakuanku yang sangat bodoh pada Dea. Tangan Alvin hampir menyentuh pipiku yang satu lagi, tapi ia terdiam.
"Loe pantes dapet beribu pukulan dari gua yo, dan sebenarnya, gua mau. Loe meninggal dan bisa menemani Dea, menjaga Dea di Surga"
Ku angkat kepalaku, tak kusangka Alvin juga tahu tentang janji Dea padaku.
"Dea pernah bilang ke gua. Dia pengen banget ke Surga sama loe yo, hidup bahagia tanpa ada yang menghalangi. Tapi, gua selalu mencegahnya dengan perkataan. Jangan tinggalkan aku Dea"
Mataku panas lagi, aku juga ingat Dea pernah mengatakan hal itu padaku. Dan aku hanya mengangguk tanpa senyum. Padahal dalam hati, aku tak ingin hal itu terjadi. Aku ingin ia dan aku tetap didunia. Karna aku takut, jika kami takkan bisa bertemu di Surga.
"Gua nggak nyangka yo, baru aja kemarin gua bisa lihat senyum Dea seharian. Dan sekarang Dea harus pergi"
Kamu bisa merasakan senyum tulus Dea vin, sedangkan aku? Aku takkan pernah bisa melihatnya lagi, senyum itu sangat berarti untukku vin, kini aku sangat merindukan Dea.
"Seharusnya, loe jaga Dea yo"
"Ya"
---
Seusai pemakaman, aku langsung berlari pulang dan segera ingin membaca surat dari Dea. Karna itu surat terakhir Dea untukku. Keadaan rumah masih sepi saat aku tiba di sana. Karna mama dan papa masih ada dirumah Dea, mengenang gadis aneh itu. Haha, sampai sekarang pun aku masih memanggilnya gadis aneh. Tapi, begitulah kenyataannya. Gadis itu sangat aneh, di satu sisi ia membuatku jengkel padanya, tapi disisi lain ia membuatku sangat menyesal dan rindu jika ia harus meninggalkanku selamanya.
Ku buka surat dengan amplop biru pemberian Dea, mataku mulai panas.
Happy brithday to Rio! Happy brithday to Rio! Yeah!
Kau tahu yo? Besok khan hari ulang tahunmu! 24 oktober 2010, wahaha.
Dan ini hadiah yang akan kuberikan padamu, aku sedang tidak enak badan. Dan aku takut tak bisa datang ke pesta ulang tahunmu besok. Jadi ku berikan sekarang aja ya?
Hem, aneh memang rasanya.. Akhir-akhir ini, aku merasa ingin sekali dekat denganmu. Lebih dekat dari biasanya yo.
Aneh bukan? Seperti julukanmu padaku, cewek aneh.
Oh iya, ingat janji ku yang dulu? Seperti biasa, setiap tahun aku selalu mengingatkanmu tentang hal ini. Surga, ya. Suatu saat nanti kita ke Surga ya? Hidup bahagia disana. Dan tak usah ada Shilla Shilla itu!
Maaf ya yo, jika nantinya aku akan kesana lebih dulu darimu, haha.. Tapi walaupun aku sudah kesana duluan (andaikan) aku ingin kau tetap ada di dunia ini. Untuk menghibur semua orang yang kita sayangi, mama, papa, mamamu, papamu, kak Marcel, Alvin, begitu juga.. Shilla. Huekk, aku ingin muntah deh. Hehe.
Ah sudahlah, aku tak mau berlama-lama menulis surat yang pasti aneh untukmu. Aku ingin mengucapkan 1 kalimat untukmu.
Aku menyayangimu sahabat.

Air mataku yang telah ku tahan pun mengalir membasahi surat itu, aku membayangkan Dea yang membuat surat ini untukku, pasti ia menulisnya dengan sepenuh hati. Bayangan Dea yang menangis kemarin takkan pernah lepas dari pikiranku. Begitu juga senyumnya yang manis. Dan aku takkan mengganti isi hatiku pada siapapun. Aku menyayangimu Dea.
---
10 tahun kemudian..
10 tahun sudah aku meninggalkan Bandung, setelah kepergian Dea, keluargaku pindah ke Manado. Bukan karna kami ingin melupakan kenangan kami dengan Dea. Tapi ini karna pekerjaan Ayahku. Kuliahku S2 disini sudah kuselesaikan, dan aku ingin refreshing melepas semua penat akan pelajaran kuliah. Aku berencana liburan ke Bandung. Sekalian ziarah ke makam Opa, dan.. Dea.
---
Surat Dea masih ku genggam erat, suratnya selalu kubawa kemanapun aku pergi, karna surat itu selalu memberiku kekuatan. Kekuatan cinta yang besar. Terimakasih Dea.
Wah, sudah 10 tahun aku meninggalkan Bandung, dan tak banyak perubahan disini. Masih sama, toko permen yang sering ku datangi bersama Dea masih berdiri kokoh dan sama sekali tak berubah. Ku putuskan untuk membeli beberapa permen disana. Melepas rinduku pada Bandung.
"Bu, aku beli 2 kantung permen lolipop ya" Kataku seraya menaruh 2 kantung besar berisi lolipop beragam rasa di atas meja kasir.
"Lho? Ini den Rio bukan?"
"Iya bu, ternyata Ibu masih mengenal saya, hehe"
"Ya pasti lah den, den Rio sama non Dea khan sangat sering kemari dulu."
Bu Weni, itulah nama wanita paruh baya di hadapanku, ia selalu mengajak kami mengobrol dengannya, dan juga sebaliknya. Ibu satu anak ini sudah tak punya suami, dan juga ia sangat menyukai anak-anak. Jadi beliau menciptakan toko permen terbesar juga tertua di Bandung ini. Dea dan aku termasuk pelanggan setianya.
"Den Rio, nggak bareng non Dea?"
Aku menggeleng, bu Weni langsung menutup mulutnya.
"Waduh, saya lupa den.. maaf den"
Aku tersenyum padanya, bu Weni menghitung lolipop yang kubeli. Pandanganku langsung meluas memperhatikan permen-permen yang mengingatkanku pada Dea. Aku tersenyum kembali, melihat permen itu tersenyum, seperti melihat Dea tersenyum. Aku sangat rindu padanya.
"Ibu sangat rindu pada non Dea den.."
Aku hanya mengangguk dan menyiapkan uang untuk membayar pesananku. Bu Weni membungkus semua dengan cantik, dan memberikannya padaku.
"Berapa bu?"
"Gratis den"
"Maaf?"
"Iya den, ini hadiah ulang tahun aden. Hari ini 24 Oktober khan?"
Aku sampai lupa, bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Dasar bodoh.
"Terimakasih ya bu"
"Sama-sama den, oh iya den, Ibu mau bilang. Ada anak lelaki seumuran aden, setiap Ibu ziarah ke makam non Dea, lelaki itu selalu ada, sepertinya dia pacar non Dea den"
"Saya kurang tahu bu, kalau begitu saya pamit ya."
"Iya den."
Ku tinggalkan toko permen itu, ku ambil satu permen dan ku masukan permen tersebut ke dalam mulutku, manis. Aku masih ingat, Dea selalu mengambil permenku, karna ia tak pernah cukup dengan satu permen. Dasar rakus sekali anak itu.
Semenjak kepergian Dea, tak ada lagi yang memberiku kado dengan penuh rasa cinta. Aku juga sudah berakhir dengan Shilla, ternyata ia memang buruk seperti kata Dea. Dea sungguh yang terbaik untuk hidupku.
Aku berjalan lagi, dan perjalananku selanjutnya akan bertepi di pemakaman Dea.
---
Benar yang diucapkan bu Weni, lelaki itu ada disamping makam Dea. Alvin, sepertinya ia sangat rajin berkunjung.
"Pagi vin"
Alvin menoleh ke arahku, aku jongkok di samping Alvin, menaruh lima permen lolipop di depan nisan bertuliskan "Dea Amanda", ku elus nisan tersebut, tak lupa ku tebarkan bunga lili putih kesukaan Dea.
"Sudah 10 tahun loe nggak kesini yo" Kata Alvin, aku hanya tersenyum.
"Semakin tua, kau semakin tak bisa berbicara ya yo" cerca Alvin
"Sudah, tak usah membahas yang nggak penting. Sepertinya loe mengurus makam Dea dengan baik, jadi gua nggak usah cemas" Kataku.
"Nggak yo, makam Dea sama sekali nggak baik"
"Loe masih aja memberikan pernyataan yang menimbulkan pertanyaan buat gua"
"Dea selalu menunggu loe berkunjung ke makamnya lho yo"
"Maksudnya?"
"Iya, setiap gua kesini. Dea selalu tanya ke gua, dimana Rio?."
"Loe udah gila kali ya vin, mana mungkin Dea muncul"
"Gua serius Rio, kalau loe nggak percaya. Malam ini, loe harus kesini sendirian. Dea pasti ingin mengatakan sesuatu sama loe"
Aku hanya diam, mungkin ini karna Alvin sangat mencintai Dea, jadi ia bicara ngawur seperti ini.
---
Sesuai percapakanku dengan Alvin tadi pagi, malam ini aku kembali ke makam Dea.
Dan, aku bisa merasakan hal yang sama seperti sehari sebelum pemakaman Dea, Dea ada disampingku. Membantuku mendapatkan ketenangan. Ku pegang surat dari Dea, dan kubaca sekali lagi.
"Rio.."
Bulu kudukku berdiri, suara itu memanggilku. Dan jelas itu suara Dea. Sentuhan lembut kurasakan di punggungku. Itu sentuhan Dea.
"Dea?"
"Aku selalu menunggumu disini yo"
"Kamu? Kenapa kamu muncul?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu yo"
"Tapi, bisakah kau menunjukan dirimu de? Aku rindu sekali padamu"
Samar-samar, tapi pasti. Sosok itu muncul di hadapanku, tersenyum padaku. Aku juga tersenyum padanya. Aku sangat merindukan Dea, sangat rindu. Aku ingin memeluknya, tapi itu tak mungkin.
"Apa yang ingin kau katakan de?"
"Aku mencintaimu"
Setelah kata itu terucap, ia menghilang. Dan aku kini kembali menyesal, kenapa aku tak menahannya? Kenapa aku melepasnya lagi? Yasudah. Setidaknya kini aku bisa tenang, aku bisa melihatnya pergi dengan senyuman. Kau sudah memberiku Surga, sebuah Surga cinta yang indah padaku, hatiku selalu tenang jika aku mengingatmu. Dan suatu saat nanti, aku akan menyusulmu. Dan menemanimu di Surga seperti janjimu dulu. Terimakasih Dea, aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini