Selasa, 14 Juni 2011

Mom... I Love You forever

To My Love, Mom..

Pagi ini, kurapihkan barang-barang pribadiku, karna mulai hari ini. Aku takkan tinggal di Sini lagi. Aku akan tinggal di rumah Oma, sedang Papa akan ditugaskan bekerja di luar kota. Dan ini pertama kalinya aku merasakan perpisahan. Rencananya aku akan berpamitan dengan semua kawan-kawanku di SMA. Tak berapa lama, Papa mengetuk pintu kamarku berkali-kali, membuyarkan lamunanku. Aku hendak membukanya. Tapi kakiku tak bisa digerakan. Jadi aku berteriak pada Papa.
“Buka saja, Pa.”
‘krekk’ Papa menyimpulkan garis indah di wajahnya, ia tersenyum dan aku pun ikut tersenyum, senyum yang dipaksa.
“Nda udah siap berangkat?”
“Apa kita benar-benar harus pindah dari sini, Pa?”
“Tugas Papa nggak bisa ditunda lagi, Nda. Maafkan Papa.”
“Oh, tak apa, Pa! Aku akan sangat senang tinggal dengan Oma!” Hiburku.
“Baguslah kalau begitu, ayo Papa bantu kamu naik ke kursi roda barumu.”
“Ayo, Pa.”
Aku tersenyum lebih lebar untuk menyenangkan Papa, agar ia tak mempedulikan keadaanku yang kini sudah lebih dari berubah. Papa mengangkat tubuhku dan menurunkannya ke kursi roda. Setelah 1 minggu berada di atas benda ini, aku mulai mahir memainkannya. Hehe. Hanya menunggu waktu untuk lebih mahir mengontrol belokan-belokannya.
“Untuk hari ini, Papa akan mendorong kursi roda Nda dengan penuh kasih sayang!” Seruan Papa membuatku begitu bersemangat, tawaku pun mulai terdengar, Papa mengambil tasku dan menaruhnya di pundaknya. Ia sungguh lelaki yang kuat. Tangan kasarnya mendorong kursi rodaku kuat-kuat, ia setengah berlari tapi mampu membuat rambutku yang hanya sebahu terbang-terbang. Angin dingin hari itu membuat pipiku membeku, aku membuka mulutku lebar-lebar untuk memasukan angin-angin itu ke dalamnya, dan akupun bisa merasakan hidup yang nyata. Bersama Mama yang selalu ada di hatiku.
Setelah sampai di samping mobil, Papa duduk di hadapanku, ia tersenyum manis padaku. Lalu Papa mengelus rambuku, seraya membenarkan jepitan berbentuk pita warna merah jambu pemberian Mama, aku kegelian dibuatnya.
“Maafkan Papa, Nda.”
“Maaf untuk apa, Pa? Nda khan sudah bilang, Nda senang tinggal dengan Oma. Lagipula ada kak Lisa yang sering bermain denganku sejak aku masih balita. Aku sangat senang!”
“Maafkan Papa, karna tak bisa menjagamu dan Mama.” Gumamnya, pelan tapi pasti, aku mendengarnya sendiri mengalir dari mulut Papaku tersayang.
“Nda..” sebuah panggilan halus kudengar, itu suara seorang temanku. Nova. Papa dan aku menoleh ke sumber suara, aku terkejut melihat Nova bersama seluruh kawan-kawanku sekelas mendatangiku.
“Nova? Teman-teman?” Tanyaku heran.
Nova, ia sahabatku yang berharga, suka, duka kujalani bersamanya sejak kami SD. Aku sudah kenal baik dengannya juga keluarganya, ia sangat baik padaku. Sebenarnya aku benci ini, aku tak ingin menangis untuk perpisahan ini. Tapi aku memang hanya manusia biasa yang tak mungkin tak sedih kehilangan seorang sahabat.
“Kenapa kau harus pergi?”
“A..aku..”
“Aku tak akan ikhlas, kau harus janji padaku dan teman-teman, kalau kau akan kembali menjadi Nda yang dulu, kapten basket kebanggan SMA Nasional I.”
Aku tertawa kecil, walau mataku sudah berair. Ku putar roda besar kursi roda ini, hingga bergerak mendekati Nova. Aku hendak memeluknya, tapi ia menjauh. Tatapannya dingin, aku tahu. Ia pasti sangat marah karna aku hendak meninggalkannya.
“Aku pasti kembali Nova, aku akan menjadi kapten basket di SMA kita, tapi jika aku kembali pasti kau sudah menggantikanku.”
“Kau bicara hal yang tidak mungkin terjadi, takkan ada yang menggantikanmu. Karna kau harus tetap di sini.”
“Aku tahu, Nov. Ini sungguh bukan kuasaku, Tuhan yang mengatur takdir. Dan takdirku, aku harus pindah dari Kota ini.”
“Tuhan tak tahu apa-apa tentang takdir! Tuhan jahat!”
‘plakk’
Semua hening, tak ada suara lain kecuali suara daun-daun yang mulai berjatuhan akibat telah rapuh tangkainya. Aku terlarut pada keheningan ini, hingga bayangan masa lalu mulai muncul lagi di pikiranku.
-
“Sudah kubilang, sebaiknya Mama tak usah jemput aku lagi! Aku malu, Ma! Aku ini sudah SMA!” Hardikku pada Mama, tepat di depan gerbang sekolah, disaksikan Nova yang senantiasa bersamaku. Mama terus tersenyum walau aku sudah berani memarahinya.
“Nda sayang, Mama mau kamu ikut sama Mama ke suatu tempat yang indah. Hanya hari ini aja.. boleh?” Perkataannya sangat lembut dan penuh kasih sayang, tapi aku sama sekali tak terpengaruh, sampai Nova mencubit tanganku.
“Aww, apaan sich kamu?”
“Ikut saja, Nda. Khan hanya hari ini. Besok-besok Mamamu takkan menjemputmu, iya khan, Tan?”
“Iya,”
Aku lama menatap Mama, ia terus memandangku penuh kasih sayang, tapi hari itu aku sungguh kesal. Bayangkan saja, Mama menjemputku hingga depan kelas! Sebagai anak kelas 3 SMA aku malu dong! Arrghhhhh!
“Heuh, yasudahlah.”
Aku pun naik ke dalam mobil, Nova hendak ku ajak, tapi ia menolak. Ada urusan katanya. Aku duduk di bangku depan bersebelahan dengan Mama. Mama kembali menatapku, selama 3 menit ia menatapku dan aku mulai risih dengan kelakuannya.
“Bisa nggak sich, cepat sedikit?” Aku menyindirnya dan memberikan tatapan tajam padanya, ia tersenyum dan mulai menyalakan mesin mobil. Kami pun melaju ke tempat yang di rahasiakan Mama. Aku mulai merasa ada yang aneh pada Mama, wanita cerewet itu tak biasanya baik padaku, biasanya ia mengomeli setiap yang kukerjakan, kenapa dengannya hari ini? Aneh.
“Nda, Mama akan traktir Nda hari ini, Nda mau pergi ke tempat makan yang seperti apa?”
“Ih, khan Mama yang ajak Nda, jadi Mama saja yang menentukan.” Ketusku.
“Yasudah, kita ke warung Lesehan Budiman yuk,”
“Terserah.”
Mama menghelakan nafasnya, sepertinya ia mulai kesal dengan sikapku yang kurang ajar padanya, tapi semasa bodo. Ini karna ia membuatku malu. Mobil Mama melaju agak cepat, Mama terlihat sangat berkonsentrasi mengemudikan mobil Honda berwarna Abu-abu, warna kesukaannya. Tapi aku tahu, perjalanan kami masih jauh, mengingat betapa macetnya Jakarta setiap waktu.
“Nda..”
Aku yang hampir tertidur akhirnya mendelik kesal, menatapnya malas.
“Ada apa?”
“Mama mau minta maaf sama Nda, kalau Mama punya salah sama Nda.”
Aku terpaku mendengar pernyataan Mama, Mama lalu melanjutkan perkataannya lagi.
“Nda harus tahu, semua omelan Mama selama ini, hanya untuk kebaikan Nda, Mama nggak pernah punya maksud untuk memarahi apalagi mempermalukan Nda. Mama sangat sayang sama Nda. Kadang Mama berfikir, jika suatu saat nanti Mama tak bisa menemani Nda lagi di dunia ini, Mama akan sangat berdosa. Melepas anak semata wayang Mama dan Papa.”
Aku menatap Mama penuh arti, kenapa Mama harus mengatakan hal itu padaku? Apa ia tak tahu perasaanku yang sebenarnya? Aku tak mau kehilangan Mama, walau sampai kapanpun.
“Ih, Mama ngomongnya ngawur.”
“Jika Mama nggak bisa lagi sama Nda, Nda mau khan menjaga Papa?”
“Nggak mau!”
“Lho? Kenapa?”
“Aku.. aku.. ah! Bukankah Mama terlalu kelelahan? Ngomongnya ngelantur! Makanya kalau pulang kerja nggak usah terlalu sering memarahiku!” Ujarku agak keras, karna kini aku sangat takut, aku takut kehilangan Mama. Langsung kupalingkan wajahku menatap Jakarta yang langitnya sedang mendung, begitu kelabu menyesakan jiwa.
Setelah keluar dari kemacetan Jakarta, Mama mempercepat laju mobil, karna hari sudah mulai malam dan kini aku sangat lapar, Warung Lesehan Budiman jauh dari pusat kota, jadi harus melajukan mobil ekstra cepat jika tak mau mati kelaparan.
Jalanan yang licin membuatku cemas jika Mama mempercepat laju mobil, aku terus menatap Mama, sesekali Mama menatapku dan tersenyum padaku, Mama, Nda begitu menyayangi Mama, jika saat ini adalah mimpi, Nda nggak mau bangun dulu, karna Nda mau begini Ma, Nda mau terus di samping Mama. Terus melihat senyum Mama.
Aku merasa gelisah di tengah perjalanan, entah mengapa sikap Mama berubah, Mama seperti kehilangan konsentrasi menyetir.
“Nda, tolong ambilkan obat Mama di belakang!” Seru Mama, aku panic mencari obat Mama, kuraba-raba berbagai benda di belakang kursi kami. Dan akhirnya ku temukan sebuah botol, Aku terkejut melihat label obat itu, obat kanker rahim?! Mama meminta obat itu dan hendak meminumnya, tapi naas. Sebelum Mama meminumnya, aku melihat silau lampu mobil yang besar, mobil itu menghantam mobil kami.
‘BRAKK’ suara itu jelas terdengar di telingaku, mobil Mama hancur seketika, aku masih tersadar walau tak 100%, kulihat Mama, ia tak sadarkan diri, aku ingin menolong Mama, tapi kakiku terjepit besi-besi mobil, kakiku sama sekali tak bisa digerakan. Tuhan, tolong Mama.. tolong selamatkan Mama untukku. Tuhan.. aku mohon..
-
Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, dan ketika kubuka mataku aku sudah berada di ruangan yang serba putih, kulihat Papa tertidur di sofa. Aku bangun, dan hendak menghampirinya. Tapi kakiku mati rasa, Tuhan.. ada apa ini?! Kenapa kaki Nda nggak bisa digerakan?!
“Papa.. Papa!!” Teriakanku berhasil membuat Papa bangung, ia terkejut melihatku panic, ia menghampiriku dan memelukku. Aku tak tahu apa-apa saat ini. Papa semakin erat memelukku.
“Papa minta maaf Nda..”
“Pa, kenapa kaki Nda nggak bisa digerakan? Kenapa mati rasa?”
“Nda harus sabar ya,”
Aku memberontak, hingga Papa melepas pelukannya, matanya kembali berair.
“Mama mana?”
“Maafkan Papa, Nda.”
“Mama mana?!”
“Maafkan.. maafkan Papa.”
Aku sudah tak tahan menderita seperti ini, nekat ku jatuhkan diriku ke lantai, tapi tetap tak ku rasakan kakiku, ku seret tubuhku, tapi beberapa suster datang dan mengangkat tubuhku kembali ke kasur, Papa kembali duduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Salah satu suter menyuntikan obat penenang di daerah lenganku. Tubuhku yang awalnya memberontak menjadi lemas. Dan akhirnya tertidur kembali.
-
Beberapa hari kulalui tanpa kepastian, dimana Mama? Papa tak pernah mau menjawab, suatu kenyataan pahit pun kuterima, bahwa aku cacat permanen. Hingga hari ke-7 aku dirawat inap, ia baru mengatakannya hal sebenarnya padaku.
“Mama melihatmu dari atas sana, Nda.”
“Apa maksud Papa?”
“Mama sudah nggak bisa sama-sama kita lagi.”
“Mama kemana, Pa?”
“Mama sudah meninggal akibat kecelakaan tempo lalu, Nda.”
Tubuhku membeku, hatiku terasa menghilang, mau dibawa kemana semua perasaanku ini? Apakah salah, jika Mama ada di sini, bersamaku? Bersama semua cintaku padanya? Tubuhku benar-benar kaku, wajahku pucat pasi mendengar kenyataan ini.
“Ini semua takdir, Nda. Takdir dari Tuhan.”
“Tuhan tak tahu apa-apa tentang hidupku! Tuhan jahat! Ia tak mendengar semua do’aku saat di mobil! Tuhan Jahat!”
Sudah 2 kali aku menyebut, Tuhan jahat, aku merasa hatiku saat ini begitu kering, tak ada siapapun disampingku. Tak ada lagi yang menyayangiku, tak ada..
“Ya Tuhan..”
Aku menyesali perbuatanku, menyebut Tuhan jahat adalah hal terburuk bagi seorang yang sudah selamat dari kecelakaan besar. Kenapa aku tak bersyukur pada nikmatnya? Mama memang sudah saatnya untuk pergi, aku tak bisa mencegahnya. Sikap Mama yang aneh saat di mobil, sudah bisa kurasakan sebagai pertanda. Bahwa Mama sudah tak lama lagi bersamaku. Ya Tuhan, jika ini mimpi.. aku ingin engkau membangunkanku, Nda ingin minta maaf pada Mama. Nda mau memeluk dan merasakan kehangatan Mama, Nda mau.. melihat senyum Mama. Nda mau waktu itu diputar, saat Mama mengatakan, kalau Mama sangat menyayangi Nda, saat Mama menatap Nda penuh arti, saat Mama .. saat Mama sabar menanggapi sikap Nda yang kurang ajar. Mama.. maafin Nda.
-
“Jangan pernah berkata, Tuhan jahat. Aku membenci 2 kata itu.”
“En.. Nda.” Nova terbata-bata membalas ucapanku.
“Aku menyayangimu, Nov. Bahkan aku ingin kau menjadi pengganti Mama, yang senantiasa di sampingku ketika aku membutuhkannya. Tapi aku sadar, Mama tak mungkin tergantikan, Aku hanya menyayangi Mama sebagai Mama, bukan siapapun.”
“Aku membencimu, Nda!” Nova agak berteriak, lalu lari meninggalkanku, disusul teman-teman sekelas. Aku hanya bisa menatap tubuh kecilnya berlari membawa semua rasa sayangku padanya. Nova. Aku menyayangimu, sepenuh hatiku sahabat.
Papa menggendongku masuk ke dalam mobil, ia memasukan kursi rodaku ke dalam bagasi. Selama perjalanan, tak kuasa kukenang Kota Jakarta, dan kurekam semua kejadian manis yang pernah ku alami di sini. Tapi, tak ada lagi Mama yang memarahiku ketika aku berada di depan komputer berjam-jam, padahal masih banyak tugas yang menanti, dan aku malu sendiri pada Mama, ia sungguh baik mengingatkanku. Tapi balasanku hanya omelan saat ada kesempatan memarahi Mama. Tak kuduga saat itu menjadi saat terakhirku bersamanya.
Tak berapa lama aku melamun, sebuah SMS mengagetkanku. Dari Nova
Nova : maafkan aku, Nda. Aku hanya sangat takut kehilanganmu. Tolong kembalilah suatu saat nanti.
Nda : aku akan terus menyayangimu, Sahabat. Tak ada yang lebih berharga didunia ini selain kasih sayang sahabat, aku akan kembali suatu hari nanti. Menjadi Nda yang lebih baik di matamu.
Nova : aku juga menyayangimu, aku ingin menjadi pengganti Mamamu, tapi ternyata tak bisa. Aku hanya Nova, sahabatmu.
Nda : jangan putus persahabatan kita, walau kita ada di Kota yang berbeda.
Nova : tentu, Nda! Nova sayang Nda, sahabat terbaik Nova!
Nda : Nda juga sayang Nova. ^_^
Dan tak ada lagi balasan dari Nova, aku tersenyum lebih tulus, kusandarkan tubuhku di jendela mobil. Membayangkan wajah Mama yang takkan pernah kulupakan selama-lamanya. I LOVE U FOREVER MOM. Jika kau masih mempunyai Mama, tolong jangan sia-siakan waktumu untuk hal negatif bernama ‘dendam’ karna tak boleh ada kata ‘dendam’ di antara Mama dan anak. Teruslah ucapkan I LOVE U FOREVER MOM di hatimu, agar kau tahu. Arti sebenarnya kasih sayang di dunia. Terimakasih untuk semua anugerah yang telah kau berikan Tuhan. Berikan tempat terindah Mama disampingmu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini