Rabu, 07 November 2012

Star in My Heart - ONE_Reminiscence


Star in My Heart

ONE - “Reminiscence”




CINTA itu bisa kita sebut keajaiban karena hanya cintalah yang bisa membuat orang-orang terus tersenyum, menangis, bisa juga menjadikan orang jadi buta, bukan hanya buta mata, tapi juga buta hati. Seperti bintang-bintang yang menempel erat pada bahtera langit ciptaan Allah SWT Yang Maha Agung yang selalu menerangi hati ini, dengan pesona kerlap kerlip yang sungguh tak seindah senyuman cinta. Hanya cinta yang bisa membuat seorang anak merelakan apapun yang ia punya untuk kedua orang tuanya begitupun sebaliknya, hanya cinta yang bisa membuat seorang gadis menangis karena hati yang sudah susah payah dia jalin, akhirnya patah karena kerapuhan hubungan cinta, hanya cinta memang yang bisa. Hanya cinta yang bisa menerangi jalan hidup yang sungguh kelam ini, kurasa.
Kadang kala, jika kita pejamkan mata dan merasakan suara hati, maka pikiran kita akan berlari ke hal-hal indah, sekalipun kita sedang terpuruk, dan apa kau tahu ulah siapa itu? Cinta. Atau mungkin saat kita meresapi suatu bacaan, pasti semua pikiran kita akan berpusat di hati terlebih dahulu barulah sampai pada daya imajinasi. Imajinasi itu kian bersinar ketika hati ini terus berbicara, berbicara tentang cinta. Sekali lagi, cinta.
Begitu banyak orang berkata tentang cinta, padahal bisa saja semua itu hanyalah omong kosong belaka jika belum dirasakan sendiri oleh si pembicara, tapi siapa peduli? Yang penting itu cinta. Kalau dibilang cinta itu pasti ada di hati semua mahluk hidup, memang benar adanya, karena semua mahluk hidup pasti memerlihatkan cintanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan beberapa yang kadang terbilang dalam daftar kebencian seumur hidup pada cinta, takkan luput oleh cinta Tuhan yang tiada duanya.
Berbicara lagi tentang omong kosong tentang cinta dan ketidakpedulian kita pada omong kosong itu. Terkadang orang-orang yang suka omong kosong tentang cinta, malah di juluki sang pecinta sejati, padahal merasakan cinta sejati pun tak pernah. Karena apa? Karena pecinta sejati di sini, artinya senang mencintai tetapi itu berlangsung sesaat, jadi hal ini bukan cinta, melainkan angin lalu atau orang yang tahu cinta hanya karena ia banyak membaca teori tentang cinta.
Seperti yang dialami gadis ini, yang selalu berkata cinta, cinta, dan cinta. Tapi satu cinta sejatipun, ia tak punya, mungkin, dulu dia punya, tapi sekarang? Sungguh seperti terpendam di dasar bumi, karena sebuah alasan yang berat untuk diungkapkan.

***

The Story, begin...

Gadis bernama Tian itu masih saja sibuk dengan komputernya karena ia sedang mengerjakan makalah proyek yang akan ia berikan pada teman-teman perempuannya, makalah perawatan wajah agar tetap berseri di depan pasangan. Tian hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat ia membaca ulang tulisannya yang berasal dari berbagai sumber itu. Ia tak percaya makalah yang lebih tepat seperti majalah itu sudah menghabiskan lebih dari tiga puluh lembar kertas ukuran A4, margin masing-masing satu inci, dengan banyak gambar peragaan bertebaran hampir di setiap lembar, font bermacam-macam, mulai dari Calibri, Times New Roman, Batang, Bradley Hand ITC, dan banyak lagi, warnanyapun manis dipandang, dan pasti topik ‘makalah’ ini menarik dibaca. Ditemani secangkir susu coklat dan sepiring biskuit Oreo membuatnya semangat untuk menyelesaikan ‘makalah’ itu, padahal jam dinding bentuk hati di kamarnya sudah menunjukan pukul 21.00. Terkadang Tian mendesah kesal ketika ada kata yang salah ketik, atau salah pemahaman, karena ia ingin semua nyaris sempurna. Sebagai pakar cinta, ia ingin terlihat sebagai orang yang penuh cinta, dan salah satu syarat orang yang penuh cinta adalah selalu rapi dan hampir sempurna mengerjakan sesuatu.
Sebenarnya Tian tak usah bekerja keras untuk ini, ia bisa saja langsung tidur ssejak jam 7 tadi, ia juga bisa hanya asal-asalan mengerjakan artikel-artikel yang menurutnya membosankan ini, tapi ia menyukai kata ‘kepercayaan’. Dalam hidupnya, kata itu termasuk di daftar kata-kata ajaib yang mampu membuatnya semangat, asalkan mendengar kata-kata ajaib itu, ia akan rela melakukan hal yang mungkin di luar akal sehat tapi dibatasi oleh hukum. Dalam pikirannya, kata kepercayaan itu berada pada taraf nomor satu kehidupannya, karena bagaimanapun juga tindakan yang kita buat pada masa kini akan berdampak di masa depan. Terkadang Tian membayangkan akan membuat mesin waktu suatu saat nanti, karena ia ingin mengulang kejadian itu. Kejadian yang takkan pernah ia lupakan, kejadian bodoh yang berdampak hingga kini.
“Non Tian, tidur, Non, udah malam,” sahut seorang wanita paruh baya, yang selalu setia menemani Tian sampai gadis berumur enam belas tahun itu tidur, bernama Mbok Jami, “nanti dimarahin Nyonya dan Tuan lho, Non,” lanjutnya.
Tian hanya melirik Mbok Jami sekilas lalu kembali sibuk pada bacaannya, Mbok Jami hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena pusing menghadapi atasannya yang keras kepala ini, kalau sudah menyangkut hal yang berbau teman atau cinta, Tian memang susah dikendalikan.
“Bentar ya, Mbok. Jam sebelas-an juga udah kelar,kok.” Tian mengelus pundak Mbok Jami, “Mbok tidur duluan aja, Tian nggak apa-apa.” Mbok Jami mengangguk dan menyanggupi perintah Tian lagipula matanya yang sudah berat karena kantuk yang tak tertahankan. Tian tersenyum melihat kelakuan Mbok Jami yang berjalan sempoyongan sambil sesekali memejamkan matanya.

***

Tian tertidur di meja komputer yang berada di ruang tengah, Tian sudah sangat mengatuk ketika ia sedang asik membaca halaman terakhir makalahnya yang sudah di cetak. Mbok Jami yang biasa bangun jam 3 pagi hanya bisa geleng-geleng (lagi) melihat kebiasaan Tian.
“Non Tian, bangun, Non.”
Ah...suara itu lagi, batin Tian. Tian membuka matanya perlahan, sentuhan halus Mbok Jami telah menyadarkannya dari alam bawah sadar dengan bunga-bunga tidurnya yang abstrak. Tian memang bangun, tapi kenyataannya dia hanya menggeliat dan memejamkan kembali matanya.
“Lho? Kok bisa tidur lagi to, Non. Tadi sudah buka mata. Waduh-waduh.” Bingung Mbok Jami masih dengan logat jawanya yang kental. Terpaksa Mbok Jami menggendong tubuh berat Tian ke kamar, setelah menidurkan Nonanya itu, Mbok Jami mematikan komputer dan merapikan makalah mentah Tian. Tiba-tiba Mbok Jami tersenyum geli ketika melihat judul tumpukan kertas A4 bertinta itu.
“Dasar, Non Tian ini ada-ada saja, padahal masih SMA.”

***

“Putri, kamu janji ya, kita akan sama-sama terus?”
“Iya, Kal. Putri janji kok.”

***

“Ikal, maafin Tian ya...Tian udah ninggalin kamu diam-diam, tapi Tian janji, Tian udah netapin kamu sebagai satu-satunya lelaki di hati Tian, Tian nggak akan suka sama orang lain sampai kapanpun, cuma kamu satu di hati.”
Tian kembali mengucapkan kalimat wajibnya setiap subuh sehabis sholat subuh dan berdoa, ia pasti mengucapkan kata-kata itu, sampai-sampai Mbok Jami yang menemaninya sholat di mushola keluarga hapal kalimat itu
“Mbo’ yo dicari to, Non. Siapa namanya? Ikal?”
“Ih, Mbok dengar aja sih.”
“Yo denger to, Non. Wong Non Tian itu selalu mengucapkan kalimat yang sama setiap subuh, Mbok sampai hapal.”
“Hihihi, dasar Mbok Jami aneh!” Ledek Tian seraya lari dari mushola.
Tian duduk di dekat kolam renang, matahari belum sepenuhnya muncul, hanya sedikit sinarnya yang menerangi langit subuh, bulan pun masih terlihat cukup jelas di langit, walau tak ada bintang. Jauh dari keadaan alam, Tian punya bintangnya sendiri, bintang yang tersimpan di dalam hatinya, melekat di pikirannya, dan memenuhi seluruh kehidupannya. Bintang yang membuatnya merasa, bahwa ia adalah seorang manusia yang masih mempunyai cinta sejati. Bukan seperti yang dikatakan teman-temannya.
“Tian itu memang pakar cinta, tapi nggak pernah punya cinta!”
Ledekan teman-temannya itu terngiang kembali di telinganya, Tian bukannya tidak punya cinta, tapi untuk saat ini, dia tak mau mencintai orang lain kecuali cintanya pada “Bintang” yang pernah terkubur dan suatu hari nanti ia yakin akan muncul kembali
“Iya, suatu saat nanti..”
Ia celupkan kedua kakinya ke dalam kolam renang agar ia bisa merasakan dinginnya air itu menjalar naik dari ujung kaki hingga rambutnya, hatinya membeku sesaat, merasakan karunia Allah SWT yang telah memberinya kesempatan untuk memunyai keluarga, walaupun harus mengorbankan seorang anak kecil yang saat itu sangat ia sayang.
“Maafin aku, Ikal..”
Pagi yang begitu syahdu baginya dan ia tak  mungkin menyia-nyiakan pagi itu, ia bergegas mengambil kamera merk Canon kesayangannya lalu ia potret keadaan langit berbulan bulat sempurna walau samar itu. Ia tak lupa memotret keadaan sekitar yang kiranya menjadi saksi keagungan Tuhan. Tian tak henti-hentinya mengucap asma Allah, ia yakin Allah punya sebuah surat berisi takdirnya yang memang seharusnya terukir di dalam surat tersebut. Ia hanya harus menjalaninya dengan baik.

***

“Mama-Papa. Tian berangkat dulu, ya.”
Tian mengambil 1 lembar roti gandum kesukaannya lalu berlari ke luar. Saat tiba di samping mobil pribadinya, ternyata supir mobil itu, Pak Nandra, tertidur saat menunggu Tian. Tian mana tega membangunkan bapak dua anak ini. Jadi Tian diam-diam meninggalkan mobilnya dan memutuskan untuk berjalan kaki menuju jalan raya untuk naik angkutan umum saja, lagipula rumahnya tidak jauh dari jalan raya. Dia tahu Pak Nandra kemarin kerja lebih keras dari hari-hari sebelumnya, kemarin Pak Nandra mengantar Tian kesana kemari untuk mencari bahan makalah.
Tian terkekeh sejenak dan mulai berjalan. Biasanya, jika dia jalan kaki, Tian akan bertemu dengan anak sekolahan lain dan itu menyenangkan, karena dengan begini Tian bisa mendapat inspirasi untuk proyeknya yang lain, ada-ada saja. Tidak jauh dari tempatnya berada, Tian melihat seorang anak SMA Harapan, sekolah swasta untuk orang-orang berada, dan anak itu adalah kawan Tian semasa SMP.
“Gita!”
“Eh, Tian. Tumben nggak dianter?”
“Iya, Git. Pak Nandra lagi capek banget, itu juga gara-gara gue.”
“Kenapa memangnya?”
“Kemarin gue nyari sumber-sumber buat makalah ini.”
Tian memberikan makalah tersebut pada Gita dan gadis yang lebih kecil dari Tian itu langsung tertarik pada makalah Tian.
“Wah, keren nih. Biasa, loe pinter banget kalau bikin kayak ginian!”
“Kalau loe mau, nanti gue pinjemin soft copynya.”
“Mau-mau! Nanti sore gue ke rumah loe, ya?”
“Jangan hari ini, Git. Keluarga gue mau ke acara syukuran temen Papa,” jelas Tian, “gimana kalau besok pagi aja? Besok kan minggu.”
“Boleh deh, Yan.”

***

Hal yang paling disukai Tian salah satunya adalah memejamkan mata sambil membayangkan wajah lucu Ikal. Ia baru sadar kalau Ikal sebenarnya lucu, tapi dulu dia tak pernah mau mengakuinya.

“Aku imut kan, Ti?”
“Idih, nggak ah, Kal!”
“Hah, parah kamu.”
“Hehehe, aku kan bilang yang sebenarnya.”

Kalau sudah begitu, pasti Ikal mencubit pipi Tian sekencang-kencangnya dan Tian tak mau kalah dengan cubitan Ikal, diapun mencubit Ikal. Mereka berdua saling mencubit setelah itu pasti tertawa sekencang-kencangnya.
“Woy! Melamun aja, Ti!”
“Eh, loe, Ki.”
“Hahaha. Loe pasti ngelamunin tentang..teori-teori cinta ya?”
“Hah? Teori cinta?”
“Iyap, biasanya loe itu kalau udah melamun, pasti habis itu langsung ngambil secarik kertas dan mulai ngelukis wajah anak kecil, terus mulai terinspirasi bikin sesuatu yang berhubungan tentang cinta, atau nggak, loe ngambil kamera, terus motret hal-hal indah deh.”
“Tapi kan itu bukan teori.”
“Hehehe, tapi menurut gue, itu cara loe mendeskripsikan teori-teori yang loe baca. Iya, kan?”
“Ah, sok tahu loe.”
“Ahahaha, biarin aja gue sok tahu, daripada loe? Loe itu terlalu terobsesi sama cinta, tapi sampai sekarang, loe nggak pernah punya pacar. Kelas dua SMA men...”
Tian hanya terdiam menanggapi ledekan teman sekelasnya, yang lagi-lagi menyinggung cinta. Tian tidak pernah membalasnya karena hanya dia yang tahu, apa itu cinta dalam hatinya.

***

Ikal, atau lebih dikenal Haikal, saat ini bersekolah di Sekolah Tingkat Atas New York, tapi baru tahun pertama Haikal sudah tidak nyaman berpisah dengan keluarga barunya yang tinggal di Indonesia. Jadi ia putuskan tahun ini ia akan pindah lagi ke Indonesia. Walaupun kenangannya dengan Putri yang sudah dia kubur bisa saja kembali muncul, tapi Haikal berjanji akan berusaha menguburnya, sesulit apapun itu. Rasa marahnya pada Putri yang sudah meninggalkannya selama 10 tahun itulah yang akhirnya bisa Ikal lenyapkan satu persatu, kenangan yang seperti bagian kaca yang terbentuk kokoh karena rasa sayangnya pada Putri.
Haikal yang saat itu masih berumur 6 tahun, sama seperti Putri, hanya bisa menangis di dalam kamar ketika paginya, dia tidak menemukan Putri di ruang makan.

“Bunda, Putri kok nggak kelihatan? Apa masih tidur?”
“Putri udah pergi, Ikal. Putri udah punya keluarga baru.”

Bagai tersambar petir, Ikal langsug berlari ke kamar perempuan dan meneriaki nama “Putri”, tapi percuma, Putri yang ia sayang sudah tidak ada. Dia pergi berbahagia dengan keluarga barunya. Beberapa minggu setelah itu, Ikal diangkat oleh sebuah keluarga kaya dan langsung diberangkatkan ke luar negri untuk menempuh pendidikan hingga lulus perguruan tinggi. Di luar rencana, Ikal sudah lelah belajar di luar negri, bukannya tidak mampu, Ikal adalah anak yang pintar, dia pasti bisa menyelesaikan pendidikannya dengan luar biasa, tapi ini bukan masalah pendidikan, melainkan kasih sayang. Ikal merasa ada yang kurang jika keluarganya tinggal jauh darinya, ini sama saja Ikal hidup yatim piatu. Akhirnya setelah merundingkan semuanya, Haikal dibolehkan kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikannya di sana.
“Oke, gue nggak akan terpengaruh lagi sama yang namanya cewek. Gue adalah Haikal, bukan Ikal yang cengeng kayak dulu. Kalaupun gue harus ketemu lagi sama tu cewek, gue akan bikin dia sakit hati duluan.”

***

Walaupun guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajar adalah pelawak sejati, atau biasa anak-anak di sini panggil Pelawak 39 (SMA Tian bernama SMAN 39 Jakarta) Tian masih saja melamun tentang Ikal dan sepertinya guru bernama Bakri ini menyadari keganjilan pada seorang muridnya, yang memang satu-satunya tidak tertawa karena lawakannya.
“Putri Titian Asih,” panggil Pak Bakri dengan suara bassnya.
Mata Tian terbuka lebar, lengan yang menopang dagunya lepas hingga keseimbangannya terganggu, dia langsung duduk tegap karena ketahuan melamun oleh Pak Bakri.
“Eh, i-iya, Pak?”
“Kamu ini kenapa, Nak?”
“Nggak apa-apa, Pak.”
“Kalau lawakan Bapak nggak lucu, bagaimana kata dunia?!” Pak Bakri mulai mengeluarkan lawakannya tapi menurut anak-anak jaman sekarang sih lawakannya itu “garing”.
“Hahaha, Bapak tetep lucu kok!” Celetuk seorang anak bernama Esa.
“Hei Rere, kamu itu kok rambutnya makin serupa landak?” Tanya Pak Bakrie sambil menunjuk seorang gadis berambut ikal. Tawa pun memecah kelas, Tian hanya tersenyum karena mati kutu saat ketahuan memikirkan Ikal, eh, salah, ketahuan melamun.

***

Tian bersama para sahabatnya, Esa dan Yuki, saat istirahat selalu memakan bekal masing-masing di markas mereka, di atas pohon apel nan kokoh. Tempat yang mampu menampung semua isi hati mereka. Sebenarnya dulu ada satu anak lagi yang selalu bersama mereka, namanya Odi. Tapi semenjak Odi terang-terangan menyatakan perasaannya pada Tian, dan tentu Tian menolaknya, jadilah Odi merasa bahwa persahabatan mereka selama ini akan sukar. Sebaiknya dia dan Tian tidak terlalu dekat lagi. Sebenarnya Tian menyesal karena sudah menolak Odi, tapi bukan penyesalan akan cinta, melainkan akan pecahnya sebuah bagian persegi empat persahabatan ini.
“Hoaaahmmm..”
Tiga anak ini menguap bersamaan, Esa bahkan sudah tiduran di jaring tidur, sedangkan Yuki hanya duduk bersender seraya memakan bekalnya. Tian memandang taman belakang sekolah yang selalu lekang pengunjung. Bukan karena angker segala macam, tapi taman belakang sekolah hanya dibuka jam 12 siang, dan sekarang masih jam 10 pagi, pertanyaannya, kenapa Tian dan dua kawannya bisa masuk? Juga, kenapa mereka bisa punya markas di tempat ini? Jawabannya karena penyumbang dana terbesar sekolah ini adalah Ayah Yuki, Yuki benar-benar seorang putri di sekolah ini, banyak anak lelaki yang menyukainya, tapi Yuki belum bisa menerima mereka semua, untuk saat ini ia hanya menyukai satu anak lelaki yang sangat misterius untuknya.
“Yuki, loe tahu nggak tempat ngeliat bintang di Jakarta? Selain Planetarium lho.”
“Tempat ngeliat bintang? Di Jakarta? Mana ada...”
“Yah, padahal gue pengen banget ngeliat bintang...”
“Ke Bandung aja, ke Boscha maksud gue.”
“Dih, ini kan masih hari sekolah, lagian liburan masih lama kali.”
“Yaudah, tungguin aja sampe liburannya dateng.”
“Tapi gue pengen sekarang, Yuki.”
“Udah gue bilangin, Jakarta itu cuman punya Planetarium, Tian.”
“Ah, nggak seru. Kalau begini mending gue nggak pernah...eh, bohong ding, bercanda.”
“Nggak pernah apa?”
“Nggak-nggak, lupain aja.”
“Aneh deh mulai. Ini lagi, si Esa kerjaannya molor melulu.”
“Yaudah sih, dia capek banget kali, kemarin kan dia nemenin loe ngobrol semaleman, kan?”
“Lha, darimana loe tahu, Yan?”
“Dari Esa sendiri, kemarin dia sms gue, hahaha.”
“Ooh, jadi ceritanya dia nggak ikhlas?”
“Bukannya nggak ikhlas, nyong. Dia malah seneng banget.”
“E-eh, yang bener?”
Tian hanya membalas pertanyaan Yuki dengan senyuman, senyuman penuh arti.

***

Odi men-drible bola basket dan dengan lihai memasukannya ke ring. Pandangannya tiba-tiba pudar lalu akhirnya terduduk lemas di lapangan basket yang besar nan megah itu. Sekarang ruangan ini sepi, karena belum ada pertandingan besar melanda sekolah ini. Pemilik nama lengkap Jourast Jordi ini mengeluh lelah, lelah menunggu Tian yang tak kunjung mampu mencintainya.
“Kapan loe bisa suka sama gue sih, Ti?”
Tiba-tiba saat sedang melamun begitu, Odi merasakan dingin di pipinya, dia langsung terlonjak.
“Nih.”
Seorang gadis memberi Odi sebotol minuman isotonik dingin, Odi seperti melihat bayangan Tian pada gadis itu, tapi ia langsung sadar gadis itu bukan Tian, melainkan Chika, adiknya.
“Loe masih aja ya ngarep sama Kak Tian.”
“Loe nggak usah ikut campur,” ucapnya lalu meneguk minuman dingin itu.
“Kak, kalau loe nggak mau terpuruk kayak gini, deketin lagi dong Kak Tiannya.”
“Maksud, Loe?”
“Masa’ persahabatan kalian dari SMP harus pecah karena loe suka sama Kak Tian dan Kak Tian nggak suka sama loe? Menurut gue itu konyol.”
“Eh, loe nggak usah sok tahu gini ya!”
“Idih, gue cuman kasih saran, Kak. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, yang pasti gue setuju banget kalau Kakak jadian sama Kak Tian.”
“Hah? Kok?”
“Kak Tian itu orang yang gue kagumin selain Ayah dan Bunda, dia itu sosok Kakak yang gue idam-idamin deh.”
“Jadi loe kira, gue apa?”
“Kan beda, Kak. Cewek sama cowok.”
“Oh..”
“Jadi gimana?”
“Gimana apanya?” Odi mendelik heran melihat senyum jahil itu.
“Gimana, kalau gue bantuin loe jadian sama Kak Tian?”
Odi terdiam, dia sebenarnya tidak suka saat-saat seperti ini, di satu sisi dia ingin melupakan Tian, tapi di sisi lain… dia sungguh menyayangi gadis itu. Awalnya memang Odi tidak mau kehilangan Tian, tapi kalau memang Tian sudah memunyai orang lain di hatinya, siapa yang bisa menyangkal?
“Tapi Kak Odi harus jadi sahabat Kak Tian lagi kayak dulu.”
“Apa?”
“Jiah, nggak mau?”
“Gue sebenarnya masih mau kumpul lagi sama anak-anak, tapi gimana, rasanya tu kayak ada tembok pembatas antara gue sama mereka.”
“Hancurin aja tu tembok.”
“Susah oneng.”
“Demi Kak Tian, menurut loe ini susah?”
Odi kembali berfikir keras, tapi ia juga agak ganjil melihat prilaku Chika yang tiba-tiba baik padanya, apa mungkin dia juga mengincar Tian? Maksudnya, Chika sudah berulang kali minta tolong pada Tian soal percintaan, saking seringnya, lama kelamaan Chika jadi tidak enak hati untuk minta bantuan lagi pada Tian. Jadi mungkin ini rencananya supaya dia bisa lebih dekat dengan Tian.
“Loe mau bantuin gue, cuma-cuma?”
Chika tersentak dengan pertanyaan Odi, sepertinya Odi tahu dengan rencananya.
“Ih, yaudah deh kalau nggak mau juga nggak apa-apa!”
Chika langsung meninggalkan Odi, Odi tertawa kecil melihat prilaku adiknya itu. Ia kembali membayangkan Tian berada disampingnya, bercanda dengannya, main basket, berfoto ria, dan yang paling sering Tian lakukan berdua dengannya adalah Tian selalu bercerita tentang seorang anak bernama Ikal. Bahkan Odi sering melihat Tian yang melukis wajah Ikal. Selama ini Tian hanya 2 kali melukis Odi, itupun harus Odi yang minta.
“Ikal...jadi anak itu yang sudah merebut hati Tian.”
Nada bicara Odi mengucap nama itu agak meremehkan. Mungkin karena dia sudah terlewat cemburu pada Ikal, sosok yang tak pernah dia kenal. Tak berapa lama Handphone Odi bergetar, tanda ada SMS masuk.
“Haikal?”

From Haikal to Odi
Di, gue bakal pulang ke Jakarta, gue udah nggak betah di sini.

From Odi to Haikal
Beneran? Wah, gue seneng banget! Loe harus sekolah di sekolah gue!

From Haikal to Odi
Sekolah loe bagus nggak? Gue sih oke-oke aja.

From Odi to Haikal
Kalau buat sahabat SD gue, sekolah ini pasti keren, basket di sini udah terkenal dimana-mana!

From Haikal to Odi
Hahaha, sip lah, nanti gue bilang ke nyokap.

From Odi to Haikal
Sip, gue bakal tunggu loe. Kapan harus gue jemput?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini