Jumat, 30 Maret 2012

Star from Heaven - DELAPAN BELAS


FAY merasa ini sudah waktunya untuk keluar dari persembunyiannya. Gadis cilik itu membuka pintu gudang perlahan, lalu melangkahkan kaki kecilnya menelusuri rumput halaman belakang yang dingin akibat hujan sore tadi. Rasa ngeri mulai menjalar, tapi ia mulai berpikir jernih.
“Ada-ada saja.”
Tiba-tiba saja ia menangkap seseorang sedang duduk di bangku taman, rasa ngeri itu muncul lagi. Tapi ia terus mengamati orang itu, dan ia sadar rasa ngerinya berubah menjadi gelisah.
“Kak Dea…”
***
Dea memejamkan matanya, ia ingin merasakan apa yang dirasakan Alvin. Dapat melihat sebuah sinar dalam kegelapan, dan Dea tak bisa merasakannya. Seketika ia buka lagi matanya, lalu menghelakan nafas panjang.
“Aku tak bisa melupakanmu secepat mungkin, karena aku memang tak mau melupakanmu. Aku ingin bisa lebih tegar melepaskanmu, tapi kenapa…sangat sulit?”
Dea tak ingin terus-terusan mengeluh karena takdir Tuhan yang satu itu. Tapi Dea terlalu lemah untuk menerimanya. Nafas Dea tiba-tiba saja menjadi sesak, sepertinya semua kesedihan yang ia rasakan sejak hari itu membuat saluran pernapasannya menyempit. Tubuhnya tiba-tiba saja gemetar, ia sudah tak bisa menahan penyakit asmanya yang tiba-tiba kambuh itu. Saat ia berfikir, mungkin Tuhan ingin memberinya kesempatan untuk bertemu Alvin di alam lain, seseorang menghampirinya dengan tergesa lalu dengan susah payah mengangkat tubuh Dea.
“Fa…Fay?”
“Kakak nggak boleh pergi, karena kakak punya janji pada Fay dan teman-teman Fay. Kakak harus menepatinya.” Dea tersenyum lembut, ia dapat melihat anak itu menangis. Dea menggeleng sambil berkata.
“Kakak nggak akan pergi kemana-mana, karena tugas kakak memang belum selesai. Sekarang, tolong panggilkan beberapa teman kakak untuk membawakan obat asma kakak. Oke?”
Fay langsung berlari dan memasuki Panti Gemintang yang gelap gulita, kakinya nyeri karena ia berlari tanpa alas kaki. Ia sudah tak peduli dengan keadaannya, sekarang yang ia pikirkan harus kemana dirinya mencari teman Dea yang tepat. Matanya tertuju pada sebuah pintu, ia mengetuk pintu itu berulang kali dan firasat Fay benar. Kamar itu adalah kamar Rio.
“Ada apa Fay?”
“Kak Dea…tolong Kak Dea!”
“Dimana Dea?!”
“Taman, Kak!”
Tanpa berpikir lagi, Rio langsung melesat ke taman yang dimaksud Fay, disusul Dayat dan Riko yang sekamar dengannya. Ternyata keributan itu membuat sebagian isi Panti bangun. Angel juga terbangun dan sangat kaget melihat Dea sudah tak ada di sampingnya.
***
“L…loe nggak apa-apa, De?”
“O…obat asma gua, Yo.”
“Day, cepet bawain oksigen!”
Dayat berlari secepat kilat, dan dengan cepat ia kembali ke taman membawa tabung oksigen kecil dari kotak p3k. Dengan tangan gemetar, Rio menuntun Dea untuk menghisap isi tabung tersebut. Perlahan  nafas Dea berangsur normal.
“Loe udah nggak apa-apa?”
“Makasih, Yo.”
“Dea, loe kok bisa-bisanya sih pergi diam-diam begitu? Loe kan masih sakit,” cemas Angel.
“Maafin gua ya temen-temen, untuk saat ini gua merasa menjadi seseorang yang lemah banget. Padahal harusnya gua kuat untuk kalian.”
“Nggak apa-apa, De. Loe berhak menjadi lemah, tapi kami yakin loe bisa menjadi Dea yang kuat seperti biasanya,” yakin Rio.
Dea mengangguk karena ia juga yakin, ia berjanji akan menjadi gadis yang lebih tegar.
***
Hari kelima

Hari ini adalah hari pertama para pemain drama “Star from Heaven” berlatih. Gelak tawa memenuhi ruangan utama yang menjadi tempat latihan drama ini. Hanya ada Dea, Iel, Rio, Yuki, Dayat, dan Kevin yang melatih anak-anak, sedangkan Oik, Agni, dan Riko beserta ketiga sahabat Dea membuat konsep panggung.
“Iel, kamu di sini berperan sebagai pemandu cerita alias narator. Kamu yakin menerima peran ini?” tanya Dea pada Iel. Iel tertawa kecil. Lalu mengangguk pasti.

Aku akan muncul tiba-tiba!

Dea dan kawan-kawannya tertawa puas melihat raut wajah Iel.
“Oke-oke, kami percaya padamu. Hari ini kita akan berlatih vokal, bagi anak-anak luar biasa yang belum bisa bernyanyi, akan kami tugaskan bermain alat musik. Kalian akan bermain bersama!” seru Dea. Seluruh anak sangat antusias melihat semangat Dea hari ini. Fay yang duduk paling belakang tersenyum, dan ini pertama kalinya Fay tersenyum sejak orangtuanya meninggal.
“Untuk Lilia, Zaneta, dan…Fay, akan dilatih oleh Kakak dan Kak Dea, kalian bertiga adalah pemimpin drama ini, jadi jika kalian tidak bisa serius, usaha teman-teman kalian akan menjadi percuma,” ucap Dayat tegas.
“Bukan percuma, tapi kurang maksimal. Kalian bertiga harus bersungguh-sungguh untuk semua teman kalian di sini, oke?” jelas Dea.
Lilia dan Zaneta saling memandang, lalu mereka mengangguk ceria. Tinggal Fay yang diam saja.
“Mari, ikut kami ke kamar,” ajak Dayat.
Belum sempat kelima orang itu masuk kamar, seorang anak lelaki bernama Dani mendekati Dea. Ia menulis sesuatu di papannya.

Kak, aku tak mahir memainkan alat musik, aku juga tak bisa bernyanyi. Lalu aku harus bagaimana? Padahal peranku sebagai kelompok pengganggu harus bersemangat.

Dea membungkuk untuk menyeimbangkan tingginya dengan si kecil Dani.
“Tadi kau bilang kau adalah pengganggu, kalau kau tidak berlatih vokal atau bermain alat musik, Kakak akan memberimu kesempatan untuk berlatih gerakan. Kau mau?”
Dani tampak bingung menanggapi pertanyaan Dea.
“Coba lihat lelaki dalam lukisan itu.” Dea menunjuk sebuah lukisan berisi pemandangan seorang lelaki sedang geram.
“Kau harus melatih gerak tubuhmu sesuai dengan peranmu, bukankah kamu sudah menerima skenario? Berlatihlah semaksimal mungkin, buat panggung para pengganggu menjadi lebih hidup selain dengan nyanyian dan suara musik. Deal?”
Dani mengerti, dan berlari menuju kelompoknya. Lalu ia kembali memandang Dea. Dani menunjukan 2 jempol tangannya untuk Dea. Dan Dea tertawa kecil dibuatnya.
Rio sudah sangat rindu dengan senyum itu, dan ia menikmati raut wajah Dea yang seperti itu selama ia bisa.
***
Sesuai ucapannya pada Angel kemarin, Kiki kini sudah tiba di depan Panti Gemintang. Ia melihat Dea sedang berbicara pada seorang anak kecil. Raut wajahnya tak menunjukan ada kesedihan mendalam akibat kepergian seseorang. Kiki jadi agak ragu, apakah benar Alvin telah pergi?
Kiki terus berjalan dan meminta izin pada petugas keamanan untuk masuk, dia mengatakan bahwa orang-orang di dalam itu adalah kawan-kawannya. Petugas keamanan itu menyuruh Kiki untuk menunggu sebentar. Lalu ia membawa Dea selaku ketua KKN.
“Kiki?”
“Wah, udah 4 tahun ya kita nggak ketemu.”
“Loe nyari Angel?”
“Pastilah, tapi gua kesini juga mau ketemu loe.”
“Buat apa?”
“Suruh gua masuk dulu dong.”
“Heuh, okelah. Tapi kayaknya loe nggak dapet kamar luas deh, Ki. Kalau loe mau nginep di sini.”
“No problem, De. Villa gua nggak jauh dari sini kok, gua bisa bolak-balik pakai motor.”
“Oke, ayo masuk.”
***
Angel terperangah mendengar petugas keamanan bilang bahwa ada lelaki yang mengaku salah satu rekan peserta KKN. Dan ia yakin itu Kiki. Sebagai ketua Dea langsung mengikuti lelaki tua itu menuju gerbang. Angel mengintip dari luar. Dugaannya benar, Kikilah yang datang. Sejujurnya Angel sedikit cemburu saat Kiki mengobrol dengan Dea, mau bagaimana juga Kiki pernah bilang bahwa sebelum mereka lulus dari SMA Global, Kiki pernah menyukai Dea. Walaupun Kiki bilang itu hanya perasaan kagum, tapi Angel tetap cemburu.
Mereka berdua tidak lama mengobrol dan mulai memasuki areal halaman depan Panti. Seluruh anak Panti asuhan Dea dan kawan-kawan menatap Kiki penuh keingintahuan. Kiki tersenyum pada mereka, maklumlah jika Kiki menjadi pusat perhatian, dia memang sudah terkenal menjadi pemain basket dan pelatih karate klub ternama di Indonesia.
“Bagus juga prestasi loe selama 4 tahun ini,” komentar Dea.
“Iya dong, gua kan begini buat ngalahin loe.”
“Ngalahin gua?”
“Sudahlah, nanti aja gua ceritanya, sekarang gua mau ketemu Angel.”
“Hahahaha, nggak nyangka banget kalian berdua bisa pacaran.”
“Hahahaha, gua juga sebenarnya nggak nyangka.”
Angel yang melihat Kiki masih saja memandangi Dea penuh arti langsung panas, iapun menghampiri Kiki dan menggandeng tangan Kiki cukup erat.
“Hai, jadi juga kamu ke sini.”
“Iya dong, emang aku pernah bohong sama kamu?”
“Sering.”
Dea, Ami, Sivia, dan Rio tertawa kencang karena pemandangan ini, Angel dan Kiki pacaran? Mengagetkan. Pasalnya yang tahu masalah mereka, ya…hanya anak-anak SMA Global.
“Hei-hei-hei, gua tinggal dulu, ya. Gua masih ada tugas ngelatih adik-adik gua,” pamit Dea.
Kiki menahan tangan Dea.
“Dan setelah itu gua mau tanya sesuatu sama loe ya, De?”
“Oke-oke.”
Angel menggeleng cepat, ia harus berfikir jernih menanggapi kejadian barusan. Dea itu sahabatnya, dan Kiki pacarnya. Mana mungkin mereka berdua…ah, tidak mungkin. Dea sudah punya Alvin, dan sekarang Rio juga sedang menjaga Dea, Rio tak mungkin melepaskan Dea begitu saja. Ya. Benar.
“Kamu kenapa, Njel?”
“Oh, nggak apa-apa, kamu istirahat dulu sana. Aku masih banyak kerjaan.”
“Oke.”
Lho? Kenapa Kiki nggak manja seperti biasanya? Apa karena di depan Dea? Batin Angel.
***
Di dalam kamar Dayat, mereka berlima berkumpul. Mata Lilia dan Zaneta berbinar, sedangkan Fay hanya menunjukan muka malas latihan.
“Ada beberapa potong lagu yang akan kalian nyanyikan, tapi sekarang kita nyanyikan 1 lagu untuk menyamakan suara,” jelas Dayat.
“Ayo, kalian pilih lagu apa?”
Dea menyodorkan 3 pilihan lagu anak-anak. “Aku dan bintang”, “Bintang”, “Ambilkan bulan, Bu”. Lilia memilih lagu “Ambilkan bulan, Bu” sama seperti Zaneta.
“Fay, kamu juga harus memilih,” ucap Dea.
“Aku yang mana saja.”
“Oke, mari kita mulai dengan menarik nafas dalam-dalam,” instruksi Dayat.
“Kalian duduk yang tegap,” lanjut Dea.
Ketiganya menghirup nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya. Beberapa kali hingga ketiganya merasa tenang.
“Baiklah, sekarang kalian nyanyikan nada, do…re…mi…fa…sol…la…si…do…,” perintah Dea.
Ketiganya membuka mulut dan menyanyikan nada itu, dan hasilnya cukup berantakan. Dea dan Dayat memaklumi itu semua karena ini pertama kalinya ketiga anak itu bernyanyi bersama.
“Kita coba sekali lagi,” ucap Dayat, “tarik nafas dalam-dalam lalu menyanyi lagi, siap?”
“Mulai.”
“Do…re….mi…fa…sol…la…si…do…”
Masih saja berantakan, dan ini takkan berakhir hingga mereka bisa merasakan kalau mereka sudah bersatu. Dea dan Dayat terus menyuruh ketiganya untuk menyamakan suara. Dan untuk kesepuluh kalinya suara mereka belum bersatu.
“Kalian sudah merasakan suara kalian masing-masing?” Tanya Dea.
“Sudah, Kak.”
“Bagaimana rasanya?” Tanya Dayat.
Ketiganya saling memandang, lalu Lilia angkat bicara.
“Suara kami punya dominan masing-masing, nada kami berbeda, Fay tinggi, Zaneta lebih tinggi lagi, dan aku rendah. Tidak bisa bersatu.”
“Kamu bilang, tidak bersatu?”
“Ya, Kak Dea. Neta juga merasa begitu.”
“Kalau begitu, menurut kalian apa yang harus kalian lakukan agar suara kalian bersatu?” Tanya Dayat agak menantang, membuat ketiga anak itu terdiam. Dea dan Dayat hanya menunggu ketiganya punya solusi.
“Perpaduan dinamika.”
Semua mata langsung tertuju pada Fay, anak itu menjawab tantangan ini.
“Benar, perpaduan dinamika,” setuju Dayat.
“Dan kami sudah membuatkan itu di lagu-lagu yang akan kalian hapalkan. Analisa Lilia benar, suara kalian berbeda menurut tinggi nada yang kalian kuasai, jadi cobalah menyanyikan lagu ini dengan ciri khas kalian masing-masing,” jelas Dea.
Ketiganya kembali saling pandang, wajah Fay mulai berbinar menerima penjelasan Dea. Ia yakin, drama ini akan membuatnya kembali hidup ceria seperti dulu.
***
Sorenya

Semua peserta KKN berkumpul di ruang pertemuan. Belum Dea memulai orasi pembukaan, Aya berdiri dan menatap penuh tantangan pada Dea. Tio, Rega, Jean, Fanny, dan Mega juga berdiri. Mereka adalah peserta KKN yang tak mau mengasuh bagian anak-anak luar biasa.
“Jadi loe bener-bener ngandelin anak-anak cacat itu untuk main drama?”
“Jangan pernah loe bilang, mereka anak-anak cacat.”
“Jadi apa dong? Anak-anak kelainan?”
Dea mengepalkan tinjunya hendak memberi sedikit peringatan pada Aya, tapi kemarahannya diredam Rio yang duduk di sampingnya.
“Jujur…kami berenam salut sama kalian, apalagi kalian bisa ajak orang luar buat bantu kalian. Tapi gua peringatin, ya. Jangan terlalu berharap pada mereka, karena walaupun mereka bermain drama sebagus mereka mampu. Orangtua tetap akan ragu untuk memilih mereka.”
“Maaf semaaf-maafnya ya nona, kita di sini sudah pisah 2 golongan. Walaupun Anda bilang begitu, kami takkan memerdulikannya. Karena kami percaya, mereka adalah anak-anak yang sangat luar biasa. Lebih dari yang ada di pikiran kalian.”
“Oh, begitu? Yasudah, mulai hari ini, kita nggak akan ikut rapat kalian lagi. Dan suatu saat nanti, jika proyek kalian gagal, kalian bisa pakai proyek kita.”
“Proyek kalian?”
“Kami mengadakan proyek paduan suara untuk memikat hati para orangtua itu, dan kami yakin anak-anak kami lebih dari anak-anak kalian.”
“Buat saja proyek kalian sendiri!” kesal Agni.
Keenam remaja itu tertawa mengejek, lalu pergi meninggalkan ruang pertemuan.
“Dea, sepertinya ada yang salah dengan kegiatan ini,” ucap Riko.
“Maksud loe?”
“Walaupun mereka nentang pendapat loe, kita tetep 1 tim KKN. Kayaknya nggak bener kalau kita beneran pisah dan menjadikan anak-anak itu sebagai pelampiasan kita.”
“Tujuan kita KKN tahun ini, di sini buat apa?”
“Membantu anak-anak untuk mendapatkan orangtua.”
“Dan itu akan terlaksana dari ego kita, memberikan orangtua pada anak-anak itu.”
“Benar juga sih, tapi apa nggak ada cara buat nyatuin kita?”
“Dengan kita membuktikan pada mereka, bahwa anggapan mereka salah, gua yakin kita bisa bersatu dengan sendirinya. Bukannya gua mau menang-menangan sama mereka. Tapi apa kalian nggak kesal kalau anak asuhan kita terus dihina? Sekarang, kita harus berusaha keras tapi wajar untuk 2 tujuan, mendapatkan orangtua untuk anak-anak asuhan kita, dan menyatukan perpecahan ini dengan menyanggah pendapat mereka habis-habisan.”
“Gua setuju!” Seru Agni.
“Jadi, pertemuan kita sore ini ditutup dengan semangat!!”
“Semangat!!
***
Malamnya

Para gadis peserta KKN sengaja membuatkan makan malam spesial hari ini. Makan malam ini khusus untuk menyambut orang-orang yang bersedia membantu proyek KKN ini. Walaupun masih awal, tapi mereka ingin memulai KKN ini menjadi lebih baik lagi.
“Tadaaa. Makanan sudah siap!” teriak Oik.
Seluruh anggota Panti bagian anak luar biasa, para Bunda dan para peserta KKN juga sahabat-sahabat Dea berkumpul. Sebenarnya untuk bagian panti anak normal juga boleh ikut, tapi sepertinya mereka terlalu gengsi.
Suasana ruang makan Panti Gemintang menjadi sangat meriah. Bukan karena makanan mahal ataupun pernak-pernik pesta. Tapi karena kebersamaan yang sangat mahal ini. Sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun, karena senyuman itu…sangat berharga. Sangat.
***
Kiki mengajak Dea untuk berbicara hanya berdua, di depan teras Panti Gemintang. Sebenarnya Dea tak ingin hanya berduaan dengan Kiki, apalagi ada Angel dan sebenarnya jika tak ada Angelpun ia tak pernah mau berduaan dengan Kiki. Tapi Kiki bilang, ia ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia, jadi apa boleh buat.
“Sebenernya rahasia apa sih yang mau loe omongin?”
“Pertama-tama, gua mau tanya sama loe, De. Tapi loe jangan jutek gitu dong.”
“Gua agak risih duaan sama cowok sahabat gua.”
“Yaampun, De…loe bener-bener, ya. Emang gua loe anggap apa? Bukan sahabat loe?”
“Heum…karena loe jadi pacarnya Angel, jadi loe juga sahabat gua.”
“Iya, benar.”
“Ya, to the point, please.”
“Uhm, Alvin…dia?”
“Kak Alvin udah tenang di alam lain.”
“Jadi bener? Kenapa?”
“Kak Alvin menderita kanker mata.”
“Jadi itu sebabnya dia nggak pernah kelihatan lagi di pertandingan karate?”
“Ya, begitulah.”
“Satu lagi, De. Sebenarnya gua agak aneh sama kemenangan gua 4 tahun lalu.”
Dea terdiam, ia yakin Kiki menyadari keanehan Alvin saat pertandingan itu.
“Sebenarnya Alvin pura-pura mengalah, kan? Karena itu pertandingan terakhir dia, dan dia mau melihat gua menang untuk terakhir kalinya.”
“Kalau loe udah sadar, gua nggak perlu cerita apa-apa lagi.”
“Jadi bener pendapat gua?”
Dea hanya mengangguk.
“Gua beruntung bisa jadi lawan dia di pertandingan terakhirnya.”
“Dan gua yakin, Kak Alvin juga merasa begitu.”
“Loe udah nggak apa-apa, De?”
“Gua berusaha tegar agar usaha Kak Alvin bikin gua jadi cewek mandiri nggak sia-sia. Lagipula, selamanya Kak Alvin tetap di samping gua kok.”
“Bagaimana dengan Rio, De? Loe kan tahu dia suka sama loe sejak SMA.”
“Untuk saat ini, gua belum bisa nerima siapapun. Mungkin suatu saat nanti.”
“Gua yakin Rio tulus kok sama loe, De.”
Dea hanya tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kiki. Tanpa sadar Kiki mengelus tangan Dea, dan anehnya Dea tak menepisnya.
***
Angel melihat pemandangan yang tak pernah ia ingin lihat, benar-benar membuatnya sakit hati. Dugaannya selama ini tentang Dea dan Kiki ternyata benar. Kiki bisa mendekati Dea karena Alvin sudah tidak ada, dan Dea tak mau menerima Rio karena ia menunggu Kiki.
***
“Loe pulang aja deh!”
“Kamu kenapa, Njel? Kok tiba-tiba kasar begini?”
“Pokoknya besok pagi gua mau loe pulang!”
“Ta…tapi kenapa?”
“Dan sepulangnya loe dari sini, gua menyatakan kalau kita putus!”
“Hah?!”
“Nggak usah banyak tanya!”
Kiki dan Angel bertengkar di ruang utama, Dea berusaha melerai keduanya, tapi Angel malah mendorong Dea.
“Loe kenapa sih, Njel?”
“Udah gua bilang nggak usah banyak tanya!”
“Loe harus jawab, kenapa, Njel!?”
“Kalian berdua saling menyukai, kan?!”
Wajah Kiki dan Dea langsung mengerut, keduanya heran dengan pertanyaan Angel. Maksudnya apa? Batin keduanya.
“Nggak mungkin lah gua suka sama pacar sahabat gua!”
“Iya, Njel. Nggak mungkin aku suka sama sahabat kamu sendiri.”
“Lalu kenapa kalian berdua duduk di teras sambil berpegangan tangan?”
“Jadi loe marah gara-gara itu?”
“Yaiyalah!”
“Cie…yang cemburu,” ledek Sivia sambil cekikikan bersama Ami dan Rio.
“Ih, serius!!” marah Angel.
“Aku tadi nenangin Dea doang, Njel. Aku tahu hubungan Dea dan Alvin itu bukan hubungan teman biasa, dan pasti Dea sedih banget. Apa salahnya aku sebagai rekan karate Dea nenangin Dea?”
“Bohong! Loe pernah bilang ke gua, kalau loe pernah suka sama Dea!”
“Ha?” Dea melirik Kiki tak percaya.
“Hahaha, tapi itu kan dulu, Njel. Sekarang aku udah nemuin bintangku, kamu.”
Angel menatap sinis Kiki.
“Loe nggak sama gua dan Kiki?”
“Lalu apa yang kalian bicarakan tadi?”
“Yaudah, De. Nggak apa-apa kalau gua ceritain ke yang lain.”
Dea mengangguk.
“Kamu masih inget pertandingan karate terakhir aku saat aku masih kelas 3 SMA? Di pertandingan final, aku melawan Alvin. Dan aku menangkap kebohongan di semua gerakan Alvin ke aku. Dugaanku benar, semua perlawanan tak berarti Alvin hanya kebohongan, agar ia bisa melihat senyuman di lawan yang sama kuat dengannya. Gua merasa beruntung banget bisa ngelawan Alvin, walaupun gua sedikit kecewa karena Alvin nggak menunjukan kemampuan sebenarnya,” jelas Kiki.
Angel terdiam, ia menunduk karena malu. Sangat malu karena ia tak bisa memercayai sahabat dan pacarnya. Kiki mendekati Angel dan mengelus rambutnya.
“Nggak apa-apa, Njel. Cemburu itu wajar kok, berarti kamu emang sayang sama aku.”
Angel hanya mengangguk, tawa para alumni SMA Global pun memenuhi ruangan itu. Menurut mereka malam ini adalah reuni terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini