FAY merasa ini sudah
waktunya untuk keluar dari persembunyiannya. Gadis cilik itu membuka pintu
gudang perlahan, lalu melangkahkan kaki kecilnya menelusuri rumput halaman
belakang yang dingin akibat hujan sore tadi. Rasa ngeri mulai menjalar, tapi ia
mulai berpikir jernih.
“Ada-ada saja.”
Tiba-tiba saja ia menangkap
seseorang sedang duduk di bangku taman, rasa ngeri itu muncul lagi. Tapi ia
terus mengamati orang itu, dan ia sadar rasa ngerinya berubah menjadi gelisah.
“Kak Dea…”
***
Dea memejamkan matanya, ia
ingin merasakan apa yang dirasakan Alvin. Dapat melihat sebuah sinar dalam
kegelapan, dan Dea tak bisa merasakannya. Seketika ia buka lagi matanya, lalu
menghelakan nafas panjang.
“Aku tak bisa melupakanmu
secepat mungkin, karena aku memang tak mau melupakanmu. Aku ingin bisa lebih
tegar melepaskanmu, tapi kenapa…sangat sulit?”
Dea tak ingin terus-terusan
mengeluh karena takdir Tuhan yang satu itu. Tapi Dea terlalu lemah untuk
menerimanya. Nafas Dea tiba-tiba saja menjadi sesak, sepertinya semua kesedihan
yang ia rasakan sejak hari itu membuat saluran pernapasannya menyempit.
Tubuhnya tiba-tiba saja gemetar, ia sudah tak bisa menahan penyakit asmanya
yang tiba-tiba kambuh itu. Saat ia berfikir, mungkin Tuhan ingin memberinya
kesempatan untuk bertemu Alvin di alam lain, seseorang menghampirinya dengan
tergesa lalu dengan susah payah mengangkat tubuh Dea.
“Fa…Fay?”
“Kakak nggak boleh pergi,
karena kakak punya janji pada Fay dan teman-teman Fay. Kakak harus
menepatinya.” Dea tersenyum lembut, ia dapat melihat anak itu menangis. Dea
menggeleng sambil berkata.
“Kakak nggak akan pergi
kemana-mana, karena tugas kakak memang belum selesai. Sekarang, tolong
panggilkan beberapa teman kakak untuk membawakan obat asma kakak. Oke?”
Fay langsung berlari dan
memasuki Panti Gemintang yang gelap gulita, kakinya nyeri karena ia berlari
tanpa alas kaki. Ia sudah tak peduli dengan keadaannya, sekarang yang ia
pikirkan harus kemana dirinya mencari teman Dea yang tepat. Matanya tertuju
pada sebuah pintu, ia mengetuk pintu itu berulang kali dan firasat Fay benar.
Kamar itu adalah kamar Rio.
“Ada apa Fay?”
“Kak Dea…tolong Kak Dea!”
“Dimana Dea?!”
“Taman, Kak!”
Tanpa berpikir lagi, Rio
langsung melesat ke taman yang dimaksud Fay, disusul Dayat dan Riko yang
sekamar dengannya. Ternyata keributan itu membuat sebagian isi Panti bangun.
Angel juga terbangun dan sangat kaget melihat Dea sudah tak ada di sampingnya.
***
“L…loe nggak apa-apa, De?”
“O…obat asma gua, Yo.”
“Day, cepet bawain oksigen!”
Dayat berlari secepat kilat,
dan dengan cepat ia kembali ke taman membawa tabung oksigen kecil dari kotak
p3k. Dengan tangan gemetar, Rio menuntun Dea untuk menghisap isi tabung
tersebut. Perlahan nafas Dea berangsur
normal.
“Loe udah nggak apa-apa?”
“Makasih, Yo.”
“Dea, loe kok bisa-bisanya
sih pergi diam-diam begitu? Loe kan masih sakit,” cemas Angel.
“Maafin gua ya temen-temen,
untuk saat ini gua merasa menjadi seseorang yang lemah banget. Padahal harusnya
gua kuat untuk kalian.”
“Nggak apa-apa, De. Loe
berhak menjadi lemah, tapi kami yakin loe bisa menjadi Dea yang kuat seperti
biasanya,” yakin Rio.
Dea mengangguk karena ia
juga yakin, ia berjanji akan menjadi gadis yang lebih tegar.
***
Hari
kelima
Hari ini adalah hari pertama
para pemain drama “Star from Heaven” berlatih. Gelak tawa memenuhi ruangan
utama yang menjadi tempat latihan drama ini. Hanya ada Dea, Iel, Rio, Yuki,
Dayat, dan Kevin yang melatih anak-anak, sedangkan Oik, Agni, dan Riko beserta
ketiga sahabat Dea membuat konsep panggung.
“Iel, kamu di sini berperan
sebagai pemandu cerita alias narator. Kamu yakin menerima peran ini?” tanya Dea
pada Iel. Iel tertawa kecil. Lalu mengangguk pasti.
Aku
akan muncul tiba-tiba!
Dea dan kawan-kawannya
tertawa puas melihat raut wajah Iel.
“Oke-oke, kami percaya
padamu. Hari ini kita akan berlatih vokal, bagi anak-anak luar biasa yang belum
bisa bernyanyi, akan kami tugaskan bermain alat musik. Kalian akan bermain
bersama!” seru Dea. Seluruh anak sangat antusias melihat semangat Dea hari ini.
Fay yang duduk paling belakang tersenyum, dan ini pertama kalinya Fay tersenyum
sejak orangtuanya meninggal.
“Untuk Lilia, Zaneta,
dan…Fay, akan dilatih oleh Kakak dan Kak Dea, kalian bertiga adalah pemimpin
drama ini, jadi jika kalian tidak bisa serius, usaha teman-teman kalian akan
menjadi percuma,” ucap Dayat tegas.
“Bukan percuma, tapi kurang
maksimal. Kalian bertiga harus bersungguh-sungguh untuk semua teman kalian di
sini, oke?” jelas Dea.
Lilia dan Zaneta saling
memandang, lalu mereka mengangguk ceria. Tinggal Fay yang diam saja.
“Mari, ikut kami ke kamar,”
ajak Dayat.
Belum sempat kelima orang
itu masuk kamar, seorang anak lelaki bernama Dani mendekati Dea. Ia menulis
sesuatu di papannya.
Kak,
aku tak mahir memainkan alat musik, aku juga tak bisa bernyanyi. Lalu aku harus
bagaimana? Padahal peranku sebagai kelompok pengganggu harus bersemangat.
Dea membungkuk untuk
menyeimbangkan tingginya dengan si kecil Dani.
“Tadi kau bilang kau adalah
pengganggu, kalau kau tidak berlatih vokal atau bermain alat musik, Kakak akan
memberimu kesempatan untuk berlatih gerakan. Kau mau?”
Dani tampak bingung
menanggapi pertanyaan Dea.
“Coba lihat lelaki dalam
lukisan itu.” Dea menunjuk sebuah lukisan berisi pemandangan seorang lelaki
sedang geram.
“Kau harus melatih gerak
tubuhmu sesuai dengan peranmu, bukankah kamu sudah menerima skenario?
Berlatihlah semaksimal mungkin, buat panggung para pengganggu menjadi lebih
hidup selain dengan nyanyian dan suara musik. Deal?”
Dani mengerti, dan berlari
menuju kelompoknya. Lalu ia kembali memandang Dea. Dani menunjukan 2 jempol
tangannya untuk Dea. Dan Dea tertawa kecil dibuatnya.
Rio sudah sangat rindu
dengan senyum itu, dan ia menikmati raut wajah Dea yang seperti itu selama ia
bisa.
***
Sesuai ucapannya pada Angel
kemarin, Kiki kini sudah tiba di depan Panti Gemintang. Ia melihat Dea sedang
berbicara pada seorang anak kecil. Raut wajahnya tak menunjukan ada kesedihan
mendalam akibat kepergian seseorang. Kiki jadi agak ragu, apakah benar Alvin
telah pergi?
Kiki terus berjalan dan
meminta izin pada petugas keamanan untuk masuk, dia mengatakan bahwa
orang-orang di dalam itu adalah kawan-kawannya. Petugas keamanan itu menyuruh
Kiki untuk menunggu sebentar. Lalu ia membawa Dea selaku ketua KKN.
“Kiki?”
“Wah, udah 4 tahun ya kita
nggak ketemu.”
“Loe nyari Angel?”
“Pastilah, tapi gua kesini
juga mau ketemu loe.”
“Buat apa?”
“Suruh gua masuk dulu dong.”
“Heuh, okelah. Tapi kayaknya
loe nggak dapet kamar luas deh, Ki. Kalau loe mau nginep di sini.”
“No problem, De. Villa gua
nggak jauh dari sini kok, gua bisa bolak-balik pakai motor.”
“Oke, ayo masuk.”
***
Angel terperangah mendengar
petugas keamanan bilang bahwa ada lelaki yang mengaku salah satu rekan peserta
KKN. Dan ia yakin itu Kiki. Sebagai ketua Dea langsung mengikuti lelaki tua itu
menuju gerbang. Angel mengintip dari luar. Dugaannya benar, Kikilah yang
datang. Sejujurnya Angel sedikit cemburu saat Kiki mengobrol dengan Dea, mau
bagaimana juga Kiki pernah bilang bahwa sebelum mereka lulus dari SMA Global,
Kiki pernah menyukai Dea. Walaupun Kiki bilang itu hanya perasaan kagum, tapi
Angel tetap cemburu.
Mereka berdua tidak lama
mengobrol dan mulai memasuki areal halaman depan Panti. Seluruh anak Panti
asuhan Dea dan kawan-kawan menatap Kiki penuh keingintahuan. Kiki tersenyum
pada mereka, maklumlah jika Kiki menjadi pusat perhatian, dia memang sudah
terkenal menjadi pemain basket dan pelatih karate klub ternama di Indonesia.
“Bagus juga prestasi loe
selama 4 tahun ini,” komentar Dea.
“Iya dong, gua kan begini
buat ngalahin loe.”
“Ngalahin gua?”
“Sudahlah, nanti aja gua ceritanya,
sekarang gua mau ketemu Angel.”
“Hahahaha, nggak nyangka
banget kalian berdua bisa pacaran.”
“Hahahaha, gua juga
sebenarnya nggak nyangka.”
Angel yang melihat Kiki
masih saja memandangi Dea penuh arti langsung panas, iapun menghampiri Kiki dan
menggandeng tangan Kiki cukup erat.
“Hai, jadi juga kamu ke
sini.”
“Iya dong, emang aku pernah
bohong sama kamu?”
“Sering.”
Dea, Ami, Sivia, dan Rio
tertawa kencang karena pemandangan ini, Angel dan Kiki pacaran? Mengagetkan.
Pasalnya yang tahu masalah mereka, ya…hanya anak-anak SMA Global.
“Hei-hei-hei, gua tinggal
dulu, ya. Gua masih ada tugas ngelatih adik-adik gua,” pamit Dea.
Kiki menahan tangan Dea.
“Dan setelah itu gua mau
tanya sesuatu sama loe ya, De?”
“Oke-oke.”
Angel menggeleng cepat, ia
harus berfikir jernih menanggapi kejadian barusan. Dea itu sahabatnya, dan Kiki
pacarnya. Mana mungkin mereka berdua…ah, tidak mungkin. Dea sudah punya Alvin,
dan sekarang Rio juga sedang menjaga Dea, Rio tak mungkin melepaskan Dea begitu
saja. Ya. Benar.
“Kamu kenapa, Njel?”
“Oh, nggak apa-apa, kamu
istirahat dulu sana. Aku masih banyak kerjaan.”
“Oke.”
Lho? Kenapa Kiki nggak manja
seperti biasanya? Apa karena di depan Dea? Batin Angel.
***
Di dalam kamar Dayat, mereka
berlima berkumpul. Mata Lilia dan Zaneta berbinar, sedangkan Fay hanya
menunjukan muka malas latihan.
“Ada beberapa potong lagu
yang akan kalian nyanyikan, tapi sekarang kita nyanyikan 1 lagu untuk
menyamakan suara,” jelas Dayat.
“Ayo, kalian pilih lagu
apa?”
Dea menyodorkan 3 pilihan
lagu anak-anak. “Aku dan bintang”, “Bintang”, “Ambilkan bulan, Bu”. Lilia
memilih lagu “Ambilkan bulan, Bu” sama seperti Zaneta.
“Fay, kamu juga harus
memilih,” ucap Dea.
“Aku yang mana saja.”
“Oke, mari kita mulai dengan
menarik nafas dalam-dalam,” instruksi Dayat.
“Kalian duduk yang tegap,”
lanjut Dea.
Ketiganya menghirup nafas
sedalam-dalamnya dan menghembuskannya. Beberapa kali hingga ketiganya merasa
tenang.
“Baiklah, sekarang kalian
nyanyikan nada, do…re…mi…fa…sol…la…si…do…,” perintah Dea.
Ketiganya membuka mulut dan
menyanyikan nada itu, dan hasilnya cukup berantakan. Dea dan Dayat memaklumi
itu semua karena ini pertama kalinya ketiga anak itu bernyanyi bersama.
“Kita coba sekali lagi,”
ucap Dayat, “tarik nafas dalam-dalam lalu menyanyi lagi, siap?”
“Mulai.”
“Do…re….mi…fa…sol…la…si…do…”
Masih saja berantakan, dan
ini takkan berakhir hingga mereka bisa merasakan kalau mereka sudah bersatu.
Dea dan Dayat terus menyuruh ketiganya untuk menyamakan suara. Dan untuk
kesepuluh kalinya suara mereka belum bersatu.
“Kalian sudah merasakan
suara kalian masing-masing?” Tanya Dea.
“Sudah, Kak.”
“Bagaimana rasanya?” Tanya
Dayat.
Ketiganya saling memandang,
lalu Lilia angkat bicara.
“Suara kami punya dominan
masing-masing, nada kami berbeda, Fay tinggi, Zaneta lebih tinggi lagi, dan aku
rendah. Tidak bisa bersatu.”
“Kamu bilang, tidak
bersatu?”
“Ya, Kak Dea. Neta juga
merasa begitu.”
“Kalau begitu, menurut
kalian apa yang harus kalian lakukan agar suara kalian bersatu?” Tanya Dayat
agak menantang, membuat ketiga anak itu terdiam. Dea dan Dayat hanya menunggu
ketiganya punya solusi.
“Perpaduan dinamika.”
Semua mata langsung tertuju
pada Fay, anak itu menjawab tantangan ini.
“Benar, perpaduan dinamika,”
setuju Dayat.
“Dan kami sudah membuatkan
itu di lagu-lagu yang akan kalian hapalkan. Analisa Lilia benar, suara kalian
berbeda menurut tinggi nada yang kalian kuasai, jadi cobalah menyanyikan lagu
ini dengan ciri khas kalian masing-masing,” jelas Dea.
Ketiganya kembali saling
pandang, wajah Fay mulai berbinar menerima penjelasan Dea. Ia yakin, drama ini
akan membuatnya kembali hidup ceria seperti dulu.
***
Sorenya…
Semua peserta KKN berkumpul
di ruang pertemuan. Belum Dea memulai orasi pembukaan, Aya berdiri dan menatap
penuh tantangan pada Dea. Tio, Rega, Jean, Fanny, dan Mega juga berdiri. Mereka
adalah peserta KKN yang tak mau mengasuh bagian anak-anak luar biasa.
“Jadi loe bener-bener
ngandelin anak-anak cacat itu untuk main drama?”
“Jangan pernah loe bilang,
mereka anak-anak cacat.”
“Jadi apa dong? Anak-anak
kelainan?”
Dea mengepalkan tinjunya
hendak memberi sedikit peringatan pada Aya, tapi kemarahannya diredam Rio yang
duduk di sampingnya.
“Jujur…kami berenam salut
sama kalian, apalagi kalian bisa ajak orang luar buat bantu kalian. Tapi gua
peringatin, ya. Jangan terlalu berharap pada mereka, karena walaupun mereka
bermain drama sebagus mereka mampu. Orangtua tetap akan ragu untuk memilih
mereka.”
“Maaf semaaf-maafnya ya
nona, kita di sini sudah pisah 2 golongan. Walaupun Anda bilang begitu, kami
takkan memerdulikannya. Karena kami percaya, mereka adalah anak-anak yang
sangat luar biasa. Lebih dari yang ada di pikiran kalian.”
“Oh, begitu? Yasudah, mulai
hari ini, kita nggak akan ikut rapat kalian lagi. Dan suatu saat nanti, jika
proyek kalian gagal, kalian bisa pakai proyek kita.”
“Proyek kalian?”
“Kami mengadakan proyek
paduan suara untuk memikat hati para orangtua itu, dan kami yakin anak-anak
kami lebih dari anak-anak kalian.”
“Buat saja proyek kalian
sendiri!” kesal Agni.
Keenam remaja itu tertawa
mengejek, lalu pergi meninggalkan ruang pertemuan.
“Dea, sepertinya ada yang
salah dengan kegiatan ini,” ucap Riko.
“Maksud loe?”
“Walaupun mereka nentang
pendapat loe, kita tetep 1 tim KKN. Kayaknya nggak bener kalau kita beneran
pisah dan menjadikan anak-anak itu sebagai pelampiasan kita.”
“Tujuan kita KKN tahun ini,
di sini buat apa?”
“Membantu anak-anak untuk
mendapatkan orangtua.”
“Dan itu akan terlaksana
dari ego kita, memberikan orangtua pada anak-anak itu.”
“Benar juga sih, tapi apa
nggak ada cara buat nyatuin kita?”
“Dengan kita membuktikan
pada mereka, bahwa anggapan mereka salah, gua yakin kita bisa bersatu dengan
sendirinya. Bukannya gua mau menang-menangan sama mereka. Tapi apa kalian nggak
kesal kalau anak asuhan kita terus dihina? Sekarang, kita harus berusaha keras
tapi wajar untuk 2 tujuan, mendapatkan orangtua untuk anak-anak asuhan kita,
dan menyatukan perpecahan ini dengan menyanggah pendapat mereka habis-habisan.”
“Gua setuju!” Seru Agni.
“Jadi, pertemuan kita sore
ini ditutup dengan semangat!!”
“Semangat!!
***
Malamnya…
Para gadis peserta KKN
sengaja membuatkan makan malam spesial hari ini. Makan malam ini khusus untuk
menyambut orang-orang yang bersedia membantu proyek KKN ini. Walaupun masih
awal, tapi mereka ingin memulai KKN ini menjadi lebih baik lagi.
“Tadaaa. Makanan sudah
siap!” teriak Oik.
Seluruh anggota Panti bagian
anak luar biasa, para Bunda dan para peserta KKN juga sahabat-sahabat Dea
berkumpul. Sebenarnya untuk bagian panti anak normal juga boleh ikut, tapi
sepertinya mereka terlalu gengsi.
Suasana ruang makan Panti
Gemintang menjadi sangat meriah. Bukan karena makanan mahal ataupun
pernak-pernik pesta. Tapi karena kebersamaan yang sangat mahal ini. Sesuatu
yang tak bisa ditukar dengan apapun, karena senyuman itu…sangat berharga.
Sangat.
***
Kiki mengajak Dea untuk
berbicara hanya berdua, di depan teras Panti Gemintang. Sebenarnya Dea tak
ingin hanya berduaan dengan Kiki, apalagi ada Angel dan sebenarnya jika tak ada
Angelpun ia tak pernah mau berduaan dengan Kiki. Tapi Kiki bilang, ia ingin membicarakan
sesuatu yang sangat rahasia, jadi apa boleh buat.
“Sebenernya rahasia apa sih
yang mau loe omongin?”
“Pertama-tama, gua mau tanya
sama loe, De. Tapi loe jangan jutek gitu dong.”
“Gua agak risih duaan sama
cowok sahabat gua.”
“Yaampun, De…loe bener-bener,
ya. Emang gua loe anggap apa? Bukan sahabat loe?”
“Heum…karena loe jadi
pacarnya Angel, jadi loe juga sahabat gua.”
“Iya, benar.”
“Ya, to the point, please.”
“Uhm, Alvin…dia?”
“Kak Alvin udah tenang di
alam lain.”
“Jadi bener? Kenapa?”
“Kak Alvin menderita kanker
mata.”
“Jadi itu sebabnya dia nggak
pernah kelihatan lagi di pertandingan karate?”
“Ya, begitulah.”
“Satu lagi, De. Sebenarnya
gua agak aneh sama kemenangan gua 4 tahun lalu.”
Dea terdiam, ia yakin Kiki
menyadari keanehan Alvin saat pertandingan itu.
“Sebenarnya Alvin pura-pura
mengalah, kan? Karena itu pertandingan terakhir dia, dan dia mau melihat gua
menang untuk terakhir kalinya.”
“Kalau loe udah sadar, gua
nggak perlu cerita apa-apa lagi.”
“Jadi bener pendapat gua?”
Dea hanya mengangguk.
“Gua beruntung bisa jadi
lawan dia di pertandingan terakhirnya.”
“Dan gua yakin, Kak Alvin
juga merasa begitu.”
“Loe udah nggak apa-apa,
De?”
“Gua berusaha tegar agar
usaha Kak Alvin bikin gua jadi cewek mandiri nggak sia-sia. Lagipula, selamanya
Kak Alvin tetap di samping gua kok.”
“Bagaimana dengan Rio, De?
Loe kan tahu dia suka sama loe sejak SMA.”
“Untuk saat ini, gua belum
bisa nerima siapapun. Mungkin suatu saat nanti.”
“Gua yakin Rio tulus kok
sama loe, De.”
Dea hanya tersenyum tipis
menanggapi pernyataan Kiki. Tanpa sadar Kiki mengelus tangan Dea, dan anehnya
Dea tak menepisnya.
***
Angel melihat pemandangan
yang tak pernah ia ingin lihat, benar-benar membuatnya sakit hati. Dugaannya
selama ini tentang Dea dan Kiki ternyata benar. Kiki bisa mendekati Dea karena
Alvin sudah tidak ada, dan Dea tak mau menerima Rio karena ia menunggu Kiki.
***
“Loe pulang aja deh!”
“Kamu kenapa, Njel? Kok
tiba-tiba kasar begini?”
“Pokoknya besok pagi gua mau
loe pulang!”
“Ta…tapi kenapa?”
“Dan sepulangnya loe dari
sini, gua menyatakan kalau kita putus!”
“Hah?!”
“Nggak usah banyak tanya!”
Kiki dan Angel bertengkar di
ruang utama, Dea berusaha melerai keduanya, tapi Angel malah mendorong Dea.
“Loe kenapa sih, Njel?”
“Udah gua bilang nggak usah
banyak tanya!”
“Loe harus jawab, kenapa,
Njel!?”
“Kalian berdua saling
menyukai, kan?!”
Wajah Kiki dan Dea langsung
mengerut, keduanya heran dengan pertanyaan Angel. Maksudnya apa? Batin
keduanya.
“Nggak mungkin lah gua suka
sama pacar sahabat gua!”
“Iya, Njel. Nggak mungkin aku
suka sama sahabat kamu sendiri.”
“Lalu kenapa kalian berdua
duduk di teras sambil berpegangan tangan?”
“Jadi loe marah gara-gara
itu?”
“Yaiyalah!”
“Cie…yang cemburu,” ledek
Sivia sambil cekikikan bersama Ami dan Rio.
“Ih, serius!!” marah Angel.
“Aku tadi nenangin Dea
doang, Njel. Aku tahu hubungan Dea dan Alvin itu bukan hubungan teman biasa,
dan pasti Dea sedih banget. Apa salahnya aku sebagai rekan karate Dea nenangin
Dea?”
“Bohong! Loe pernah bilang
ke gua, kalau loe pernah suka sama Dea!”
“Ha?” Dea melirik Kiki tak
percaya.
“Hahaha, tapi itu kan dulu,
Njel. Sekarang aku udah nemuin bintangku, kamu.”
Angel menatap sinis Kiki.
“Loe nggak sama gua dan
Kiki?”
“Lalu apa yang kalian
bicarakan tadi?”
“Yaudah, De. Nggak apa-apa
kalau gua ceritain ke yang lain.”
Dea mengangguk.
“Kamu masih inget
pertandingan karate terakhir aku saat aku masih kelas 3 SMA? Di pertandingan
final, aku melawan Alvin. Dan aku menangkap kebohongan di semua gerakan Alvin
ke aku. Dugaanku benar, semua perlawanan tak berarti Alvin hanya kebohongan,
agar ia bisa melihat senyuman di lawan yang sama kuat dengannya. Gua merasa
beruntung banget bisa ngelawan Alvin, walaupun gua sedikit kecewa karena Alvin
nggak menunjukan kemampuan sebenarnya,” jelas Kiki.
Angel terdiam, ia menunduk
karena malu. Sangat malu karena ia tak bisa memercayai sahabat dan pacarnya.
Kiki mendekati Angel dan mengelus rambutnya.
“Nggak apa-apa, Njel.
Cemburu itu wajar kok, berarti kamu emang sayang sama aku.”
Angel hanya mengangguk, tawa
para alumni SMA Global pun memenuhi ruangan itu. Menurut mereka malam ini
adalah reuni terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?