Jumat, 30 Maret 2012

Star from Heaven - TUJUH BELAS


Alvin J. Sindunata

Pemakaman Alvin sudah sepi dari seluruh pelayat yang kebanyakan adalah sahabat-sahabat Alvin saat di klub karate. Setelah sudah benar-benar tak ada pelayat yang mengunjungi makam Alvin, Dea baru mendatangi makam itu. Ia elus nisan Alvin. Matanya sangat sayu, dengan perasaan sedih tak tertahankan Dea tabur bunga di atas tanah makam Alvin. Ia sudah tak bisa menangis, rasanya terlalu sakit jika ia menangis. Kecupan terakhir yang Alvin berikan di keningnya akan terus ia ingat. Terutama kata-kata terakhirnya, bahwa Alvin mencintai Dea selamanya.
“Semoga kau masih bisa mendengar jawabanku waktu itu.”
Dea kembali menabur bunga.
“Kau tahu, Kak. Saat pertama kali aku bertemu denganmu di masa SMP dulu, aku langsung mengagumi ketampananmu. Bahkan karena kau, aku berani masuk klub karate. Setelah melihat sisi kakak yang galak, aku mulai ragu dengan rasa kagumku itu. Dan akhirnya aku menjadi kesal sendiri. Lalu saat kau menolongku saat aku pingsan, disitulah aku mulai tahu, aku bukan kesal ataupun kagum padamu. Tapi aku mencintaimu. Kamu cinta pertamaku, dan juga bintang yang dikirim Tuhan dari surga untukku. Dan sekarang kau harus kembali pada Tuhan karena tugasmu sudah selesai, kamu telah membuatku menjadi gadis yang tidak cengeng lagi. Menjadi seorang gadis yang kuat, dan men jadi gadis…yang bisa memertahankan kepercayaan. Seperti impianku. Kamu mengajarkanku tentang kesetiaan dan keyakinan, yang takkan kulupakan. Terimakasih karena kamu sudah menjadi cinta pertamaku. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya, karena aku masih punya tugas, yaitu membuat anak-anak asuhku bisa merasakan cinta yang berkali lipat lebih baik dari yang kurasakan darimu. Ya, cinta yang kurasakan sejak aku bertemu denganmu.”
since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you
***
Suasana Panti Gemintang masih kelabu, semua orang sedih akan kepergian anak pemilik Panti ini. Apalagi Alvin memang selalu bermain dengan anak-anak Panti Gemintang sebelum para peserta KKN datang. Zahra datang ke Bandung untuk terus bertukar semangat pada penghuni Panti Gemintang, terutama pada Iel dan Dea yang pernah menjadi orang yang sangat berharga bagi Alvin. Orangtua Alvin sudah pulang ke rumah mereka di Bandung dan mengadakan acara untuk mengenang anak tunggal mereka.
“De, kamu harus terus tersenyum demi Alvin, oke?”
“Kak Zahra, bahkan saat kak Alvin tertidur di pundakku, aku berusaha tersenyum agar ia bisa melihat senyumku untuk terakhir kalinya, dan aku yakin kak Alvin melihatnya.”
“Kamu gadis yang hebat, dan sekarang kamu harus melanjutkan kehidupanmu, kamu jangan mengecewakan keberadaan Alvin.”
“Pasti, Kak.”
Fay menatap Dea dari jauh, ia ingin mendekati Dea, karena ia merasa mereka sama. Melihat kematian orang yang sangat mereka sayangi di depan mata. Tapi ia terlalu takut melihat kesedihan orang lain.
***
Rio mendekati Dea yang sedang menyusun kertas skenario yang nanti sore akan dibagikan pada masing-masing pemain.
“Boleh gua bantu, De?”
“Ohiya, silahkan, Yo. Urutkan menurut halaman, ya.”
“Kenapa tidak minta bantuan yang lain?”
“Yang lain lagi bikin konsep panggung sama Angel, Ami, dan Sivia. Jadi gua aja yang ngerjain ini. Lagipula nggak cape kok.”
“Star from Heaven… kisah 3 orang anak yang mencari bintang mereka di dunia nyata…”
“Ssst, Rio, jangan dibaca dulu.”
“Tapi kan gua penasaran, De.”
“Yaudah, nanti sore aja.”
Riopun menurut pada sang ketua, lalu menata kertas-kertas naskah lagi.
“De, sebenarnya beberapa jam sebelum kepergian Alvin, gua sempet ngobrol sama dia.”
Gerak tangan Dea terhenti sejenak, senyumnya mengembang lemah.
“Ngobrol apa, Yo?”
“Ngobrol tentang loe.”
Tubuh Dea melemah, kesadarannya mulai pudar, jadi cepat-cepat ia duduk di kursi terdekat. Tangannya bergetar, karena sejujurnya ia belum siap menerima kepergian Alvin.
“Loe nggak apa-apa, De?”
“Nggak, gua nggak apa-apa.”
“Mau gua ambilin minum, De? Wajah loe pucet banget.”
“Nggak usah, Yo. Gua cuman ngantuk aja kok.”
“Bener?”
Dea mengangguk.
“Yaudah loe berhenti kerja dulu aja, De. Gua yang lanjutin.”
“Apa yang kalian bicarakan?”
Rio sudah menduganya, sikap aneh Dea tadi berhubungan dengan Alvin.
“Intinya, gua bilang ke dia bahwa dia harus cepat-cepat nyatain perasaannya ke loe, sebelum gua duluan yang nyatain perasaan gua.”
“Kenapa loe bilang begitu? Kalau loe nggak nyuruh dia buat nyatain perasaannya ke gua, kak Alvin pasti masih di sini. Masih bisa bercanda sama gua. Kenapa loe tega, Yo?!”
“De, bukan maksud gua buat…”
“Gua tahu loe nggak pernah suka sama kak Alvin, tapi kenapa loe harus bilang begitu?! Gua…gua benci banget sama loe, Yo!!”
Airmata Dea kembali jatuh, rasanya sangat sakit. Rio terdiam, ia harus berfikir jernih saat ini. Ini bukan kesalahannya, Alvin pergi karena takdir. Dea, bukan itu maksud Rio menyuruh Alvin.
Rio berlutut di hadapan Dea, gadis itu menutup wajahnya, Rio melihat airmatanya mengalir sangat deras hingga membasahi celana jeans Dea.
“Maafin gua, gua nggak bermaksud untuk menyuruh Alvin pergi lebih cepat. Ini takdir dari Tuhan, De. ini bukan salah siapa-siapa.”
“Gua sayang banget sama kak Alvin, Yo. Gua berusaha untuk cari dia selama 4 tahun setelah perpisahan gua sama dia, tapi sekarang saat gua ketemu sama kak Alvin, kak Alvin harus pergi lagi, bahkan lebih lama.”
“Maafin gua karena gua nggak bisa mengembalikan Alvin di sisi loe. Tapi setidaknya, tolong kasih gua kesempatan untuk menjadi seseorang yang loe sayang, sama seperti loe sayang sama Alvin.”
Dea menurunkan tangannya, Rio menatap mata Dea lekat.
“Seperti janji gua yang waktu itu gua bilang sama loe. Kalau gua mau jagain loe selamanya, sama seperti Alvin.”
“Loe sama kak Alvin nggak pernah sama.”
“Walaupun gua bukan pengganti Alvin, tapi gua akan berusaha menjadi bintang kedua buat loe.”
“Bintang kedua?”
“Ya, simpanlah Alvin di hati loe, dan sekarang sisipkan sedikit sinar gua juga di hati loe.”
“Gua takut loe juga pergi ninggalin gua.”
“Percayalah, semua yang pergi akan meninggalkan bekas yang berarti. Walaupun Alvin, atau mungkin gua yang pergi, kami masih menjaga loe, walaupun loe hanya bisa merasakan itu semua, tapi yakinkan di hati loe, kami akan selalu ada di sisi loe. Di hati loe, De.”
Dea mengangguk, Rio langsung memeluk Dea. Dan sekarang Dea bisa lebih terbuka menerima Rio sebagai bintangnya yang kedua.
***
Sore hari…
Peserta KKN, dan anak-anak Panti Gemintang duduk melingkar di ruang utama.
“Baiklah teman-teman, kita berkumpul di sini untuk memberikan skenario pada masing-masing peran. Siapa yang siap?”
“KAMI SIAP KAK DEA!!”
Dea pun membacakan peran masing-masing anak, semua sangat senang mendapatkan peran yang memang cocok dengan bakat mereka. Kelebihan mereka akhirnya tersalurkan. Apalagi ini mengenai musik, sesuatu yang sangat mereka suka.
Melihat senyum-senyum itu, Dea jadi teringat pada Alvin. Lelaki itu benar-benar membuat Dea sedih karena kepergiannya. Bukannya Dea tak ikhlas, tapi ini benar-benar…mendadak. Ia bisa saja tak berhenti menangis demi Alvin, tapi sepertinya itu akan membuat Alvin tak pernah tenang meninggalkan Dea. Bagaimana kalau Alvin juga tak bisa tersenyum karena sikap Dea? Bukankah itu lebih menyakitkan?
“De,” panggil Rio.
“Ya?”
“Fay nggak ada.”
“Oiya, gua baru nyadar.”
“Mau kita cari?”
“Biar gua sendiri aja, Yo.”
Tanpa ba-bi-bu Dea langsung menjauhkan diri dari Rio untuk mencari Fay. Tapi baru saja berjalan, langkah Dea terhuyung-huyung, pikirannya melayang, hanya dalam hitungan detik tubuhnya terjatuh. Sekilas, ia melihat bayangan Alvin menangkap tubuhnya, sosok itu tersenyum, tapi penglihatan Dea semakin kabur. Dea tak ingin cepat-cepat tertidur, ia ingin terus melihat senyum itu.
***
Fay melihat Dea terjatuh di ruang utama, ia melihat seseorang menangkap tubuh itu. Dan entah kenapa, ia bisa merasakan kesedihan Dea di dalam hatinya. Ia pernah merasakan itu, tapi apakah luka Dea sedalam lukanya?
***
Seluruh ruangan sangat kaget melihat Dea tiba-tiba saja jatuh pingsan, tapi dengan sigap Rio menangkap tubuh Dea. Suhu tubuh Dea sangat panas, menandakan kejiwaan Dea sedang tak baik. Ia mengangkat tubuh Dea menuju kamar perempuan. Sivia, Angel, dan Ami datang membawa baskom berisi handuk berbalut es batu untuk membantu Dea sadar.
“Sebaiknya sekarang loe keluar, Yo. Kami akan merawat Dea,” saran Ami.
“Nggak! Gua mau disini, Mi!”
“I…iya, tapi nggak usah pakai marah dong, Rio.”
“Maaf, gua terlalu takut.”
“Yo, kita semua tahu perasaan loe ke Dea, tapi untuk sekarang tolong biarin kita yang ngejaga Dea,” ucap Angel.
Rio terdiam, saat ini ia memang benar-benar takut, takut kehilangan Dea. Gadis yang ingin ia jaga selama hidupnya.
“Please percaya sama kita,” ucap Sivia.
Akhirnya Rio mau keluar.
***
Keadaan di luar dapat dikendalikan oleh Dayat. Dayat menyuruh semua orang di ruangan itu untuk tidak terlalu cemas pada keadaan Dea, karena Dea hanya kelelahan.
“Dea sudah ditangani, tenang saja,” ucap Dayat lagi.
Mata Dayat tertuju pada Fay yang duduk menyendiri di ayunan halaman belakang. Ia mendekati Fay, saat Fay ingin kabur Dayat menahan tangan Fay dengan kuat. Anak itu meronta, tapi tatapan kesal Dayat membuatnya segera diam.
“Duduk.”
Fay hanya pasrah karena ia tak mau dipukul atau dimarahi habis-habisan oleh lelaki itu, walau sepertinya tidak mungkin.
“Kamu mau apa?”
“Dea sakit karena kamu.”
“Apa salahku? Apa aku menyakitinya? Bertemu dengannya saja tidak pernah!”
“Ia sakit karena ia terlalu berusaha memasukanmu ke drama ini, menjadi pemeran utama pula!”
“Peran utama?”
“Ya, Dea sudah mendengar suaramu. Menurutku usaha Dea terlalu sia-sia walaupun aku tetap memercayainya.”
“Yasudah, jangan masukan aku ke drama ini.”
“Kamu bener-bener nggak ngerti, ya? Luka kamu, sama seperti luka Dea saat ini, ia kehilangan orang sangat ia sayangi di depan matanya, setelah orang itu mengatakan kalau dia mencintai Dea selamanya. Sama bukan?”
“Jangan samakan aku dengan orang lain!!”
“Kamu terlalu keras kepala, Fay! Kamu tak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang menyayangi kamu!”
Fay geram, ia melepaskan pegangan Dayat sekeras ia mampu. Lalu ia berlari menuju tempat persembunyiannya, gudang.
***
Perlahan, Dea membuka matanya. Orang pertama yang ia lihat adalah Ami, gadis itu memeras handuk basah dan akan menempelkannya di dahi Dea untuk kesekian kalinya. Dea menahan tangan Ami lalu tersenyum lembut.
“Gua pingsan?”
“Iya, De. Kayaknya loe kecape’an,” ucap Sivia.
“Terakhir kali gua pingsan, saat gua nyanggupin tantangan dari Kak Alvin. Dia ngegendong gua, dan sekarang dia ngegendong gua lagi.”
“Kapan?”
“Saat gua pingsan tadi.”
“I…itu Rio, De,” jelas Ami.
“Bukan, itu Kak Alvin, gua yakin.”
“Sebaiknya loe tenangin pikiran loe dulu beberapa hari, De. oke?”
“Nggak, Njel. Gua yakin itu Kak Alvin!”
“Dea! Untuk saat ini tolong loe bisa dengerin omongan orang lain. Orang yang gendong loe ke kamar ini adalah…”
“Alvin, De,” serentak keempat gadis ini menoleh ke sumber suara.
“Alvin yang suruh gua untuk gendong loe.”
Dea tertawa hambar, ia juga tak sepenuhnya percaya Alvin yang sudah tiada bisa menggendongnya. Itu semua hanya bayangan, ya…bayangan yang sangat nyata dalam pikirannya yang terus meminta untuk ikhlas.
“Maafin gua, Yo.”
“Nggak usah minta maaf, De. Gua ngerti loe nggak bisa secepat itu melupakan Alvin.”
Rio mendekati Dea dan mengelus rambutnya, refleks Dea menepis tangan Rio dari kepalanya.
“Ma…maaf,” ucap Dea, “gua nggak bisa secepatnya nerima loe juga, Yo.”
“Gua akan terus menunggu, seperti Alvin yang selalu menunggu loe setiap malam.”
Rio tersenyum, lalu ia pergi meninggalkan Dea dan kawan-kawannya dalam sunyi.
“Kenapa loe nggak pernah bisa nerima Rio sih, De?” Tanya Sivia.
“Karena gua takut…”
“Takut apa?”
“Takut orang yang gua sayangi pergi lagi di depan mata gua.”
***
Kiki sangat kaget saat mendengar kabar tentang Alvin dari Angel. Ia masih ingat betul bagaimana ia bisa mengalahkan Alvin di turnamen terakhir yang ia ikuti, dan Kiki sampai saat ini masih merasa ganjil dengan kelakuan Alvin waktu itu. Walaupun menang, ia merasa kemenangannya itu tak pernah berarti. Entah kenapa. Dan sekarang saat ia tahu Alvin pergi, ia sangat penasaran akan jawaban “tak berarti” itu. Ia harus mengetahuinya.
Akhirnya Kiki memutuskan untuk pergi ke Bandung menyusul Angel, dan bertanya pada Dea tentang semua kejadian ganjil ini. mungkin ia tidak langsung bertanya, karena ia yakin Dea masih kaget dengan kejadian ini. Bagaimanapun juga Kiki tahu hubungan Alvin dan Dea tidak hanya sebatas teman.
“Hah? Kamu mau nyusul?”
Suara Angel terdengar seperti orang keheranan.
“Iya, Njel. Selain kangen sama kamu, aku juga mau tanya sesuatu ke Dea.”
“Tanya apa? Ohiya, di sini lagi ramai banget, Ki. Kalau misalnya kamu kesini, Panti ini bisa kepenuhan.”
“Aku kan ada Villa di Bandung, aku bisa bolak-balik ke Panti itu, kalaupun jauh, aku bisa sewa tempat di dekat Panti itu, panti apa namanya?”
“Panti Gemintang.”
***
Tengah malam, Dea terbangun dan melihat Angel tertidur lelap di sampingnya. Dea sudah tak bisa tidur karena kepalanya mendadak pening, sepertinya ia memang harus menghirup udara segar. Akhirnya Dea bangun dari tempat tidurnya pelan-pelan, lalu membuka perlahan sekali pintu kamarnya. Hanya 1 tempat yang ingin ia kunjungi saat ini, taman belakang Panti. Tempat terakhir kali ia bertemu dengan Alvin.
Suasana Panti malam itu sangat tenang, udara dingin sudah banyak masuk ke dalam panti. Beberapa kali Dea menggosokan kedua telapak tangannya untuk mengurangi hawa dingin di sekitarnya. Ia pun membuka pintu panti pelan-pelan karena ia tak mau membuat seisi rumah bangun karena mereka mengira pencuri sudah masuk ke panti ini.
Dea merapatkan jaketnya dan memasukan tangannya ke dalam kantung jaket. Ia menatap langit, sangat mendung. Seperti perasaannya mungkin. Dea terus berjalan dan ia bisa mendengar langkahnya yang agak menyeret dengan jelas. Jantungnya berdetak cukup teratur, dan Dea lega karena peningnya sudah hilang. Ia hirup udara sedalam-dalamnya dan menghembuskannya.
Setelah lama berjalan, ia pun tiba di bangku itu. Bangku yang akan menjadi benda kenangan baginya yang sangat berarti. Dea elus bangku itu, lalu ia kembali menatap langit.
“Aku bisa melihat bintang…ia ada di hatiku, dan akan selamanya di sini.”
Tanpa ia sadari, seseorang terus memerhatikannya dari jauh. Tatapan yang tajam tapi lembut, memiliki banyak makna tersirat. Hatinya menyuruh pemilik tatapan itu untuk mendekati Dea, tapi otaknya mengatakan ia takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini