Jumat, 30 Maret 2012

Star from Heaven - DUA PULUH


H-3

“Baiklah, untuk 3 hari ini kita akan melakukan gladi kotor. Dan semua akan di set seperti pertunjukan sebenarnya. Saya harap semuanya serius, di sini kita sama-sama berusaha menunjukan yang terbaik. Tunjukan pada mereka yang selalu memandang kalian sebelah. Tunjukan bahwa kalian adalah anak-anak luar biasa!” seru Dea sambil mengacungkan kepalannya yang paling kuat ke udara.
Sontak semuapun bertepuk tangan. Mereka merasa inilah awal yang baru untuk kehidupan mereka. Iel berdiri dan mendekati Dea. Ia menulis beberapa kata, dan menunjukannya ke semua orang yang ada di ruang utama.

Aku bersyukur Sivia bisa membawa kalian ke sini. Aku bersyukur bisa melihat tawa seluruh adik-adikku yang paling ceria. Setelah drama ini, aku akan berusaha memberikan sebaik atau lebih dari yang diberikan teman-teman KKN bulan ini. Tapi aku yakin, setelah drama ini…semua adik-adikku bisa mempunyai orangtua.

Semua kembali bertepuk tangan, ada yang hampir menangis karena jika mereka semua mempunyai orangtua masing-masing, mungkinkah mereka bisa bertemu kembali di sini?
Setelah orasi itu selesai, semua kembali ke kegiatan masing-masing, karena gladi kotor akan diadakan 2 jam lagi. Iel menatap lantai ruang utama, ia injak-injak hingga terdengar bunyi langkah yang indah layaknya nada gendang. Lantai ruang utama memang tak terbuat dari keramik, melainkan marmer yang tak terlalu keras. Jadi ketika melangkah di ruang utama, terdengar seperti langkah di lantai kayu. Entah analogi darimana sehingga suaranya seperti itu, tapi semua sangat menikmati langkah mereka sendiri di ruang utama.
Sekarang, saat drama yang diusulkan peserta KKN berlangsung dengan berbagai macam latihan, Iel semakin sering mendengar langkah indah itu. Iapun merekam suara-suara itu karena ia sama sekali tak mau kehilangan semua itu. Saat-saat terindahnya adalah saat ia bisa berkumpul dengan tawa itu. Ia tak tahu bagaimana keadaan Panti Gemintang tanpa anak-anak itu.
“Yel.”
Sivia menepuk pundak Iel untuk menyadarkan lamunannya. Iel cepat mengendalikan perasaannya dan menulis…

Ada apa, Vi?

“Kamu sedih?”

Sedih apa?

“Ketika mereka pergi dengan orangtua mereka, apa kau akan sedih?”

Aku harap tidak, malah aku akan sangat senang.

“Ohya? Bagus, karena aku sekarang sangat sedih. Jika mereka tak ada…apakah akan seramai ini, ya?”

Kita harus senang untuk mereka, karena kita nggak pernah tahu takdir seperti apa yang akan kita hadapi di masa depan. Tapi aku yakin, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita.

***
Masih 3 hari lagi sebelum pertunjukan menegangkan…oh, bukan. Tapi menyenangkan itu akan di mulai. Tapi Lilia belum bisa keluar dari rumah sakit. Dea dan Dayat sudah berusaha membujuk dokter untuk membolehkan Lilia keluar untuk mengikuti drama, tapi dokter sama sekali tak mengizinkan Lilia keluar kamar.
Lilia menjalani banyak pengobatan, terkadang Dayat dan Dea bisa mendengar erangan Lilia saat diobati. Seperti sore ini saat mereka berdua menjenguk Lilia. Dayat yang sudah pernah mendengar erangan macam itu hanya menghela nafas dan menenangkan Dea yang masih kaget mendengarnya.
“Ini demi kesehatan Lilia, De.”
“Tapi kenapa mereka tak mengizinkan Lilia untuk keluar, sebentar saja, Day?”
“Karena Lilia butuh perawatan intensif.”
“Gua nggak mau tahu, pokoknya malam ini kita harus mengajaknya untuk melihat gladi kotor.”
“Kita harus peduli sama kesehatan Lilia juga, De.”
“Apa loe tahan ngeliat Lilia nggak bisa kemana-mana?”
“Gua juga maunya begitu, De! Tapi gua nggak bisa melakukan kesalahan yang sama! Dulu, karena gua ngajak Gita ke taman rumah sakit untuk melihat langit malam, nggak gua sangka itu menjadi saat terakhir gua ngeliat dia. Gua nggak bisa liat Lilia kayak Gita, De!”
Dea terdiam, ia meresapi kata-kata Dayat dan mulai teringat pada kejadian yang menimpa Alvin. Malam itu adalah malam terakhir ia bertemu dengan Alvin. Tetapi ia sadar, malam itu bukanlah malam terakhirnya bertemu Alvin. Karena Alvin selalu ada di sampingnya, ia tak pergi…benar, Alvin tak pernah pergi! Sama seperti Gita.
“Gita nggak pernah pergi, Day.”
Dayat menoleh sedikit ke arah Dea.
“Maksud loe?”
“Gita selalu ada di samping loe, kalau loe mau merasakan keberadaannya. Coba pegang dada loe, dan pejamkan mata loe. Bayangkan Gita tersenyum sama loe, dan loe bisa bercanda sama dia.”
Dengan ragu, Dayat melakukan perintah Dea. Ia membayangkan Gita ada di sampingnya. Dan itu terjadi, Gita berdiri di sampingnya, adik kesayangannya tersenyum sangat lebar. Ia bahkan tak pernah melihat Gita sesehat itu. Tak terasa airmata Dayat dengan lembut dan hangat perlahan membasahi pipinya. Ia mengusapnya, tapi ia membayangkan bahwa Gita-lah yang mengusap airmatanya.
“Dayat…”
Dayat membuka matanya, lalu menatap Dea.
“Saat Gita tersenyum dalam bayangan gua, gua ngeliat anak itu bisa sangat sehat seperti yang dulu gua bayangin. Tapi gua sadar, itu hanya ilusi, De. Dan ilusi hanyalah mimpi. Mereka yang meninggalkan kita memang benar-benar pergi.”
“Nggak, Day. Loe nggak ngerti. Kak Alvin pernah janji sama gua, kalau dia akan menjadi bintang yang selalu nemenin gua. Saat gua capek banget karena drama itu, gua mulai melakukan apa yang tadi loe lakuin. Dan dia datang, menghibur gua. Sampai gua bisa kembali tersenyum.”
“Gua juga percaya kalau Gita masih ada bersama gua, tapi gua ingin, dia bisa tenang dan nggak khawatir lagi sama gua. Jadi gua berusaha untuk ngelepas dia, De.”
Dea mengangguk dan tersenyum tipis. Karena Dea sangat sedih mendengar pernyataan Dayat. “Melepaskan dia…”
***
Lilia sudah selesai dengan pengobatannya, jadi Dea dan Dayat bisa masuk ke kamarnya. Sekarang, Lilia benar-benar kehilangan semua rambutnya. Wajahnya juga sangat pucat Sebenarnya Dea tak sanggup melihatnya, bahkan jika boleh, sekarang ia akan melarikan diri dan tak usah melihat pemandangan menyakitkan itu lagi. Tapi ia tak boleh…tak boleh mengecewakan anak itu.
“Kak, kapan Lilia bisa latihan?”
“Kamu sudah menghapal semua isi dialog kamu?” tanya Dayat.
“Sudah, Kak.”
“Nah, hari ini kita akan menguji kamu. Ayo kita latihan sekarang,” ucap Dea.
“Baik, Kak.”
Lilia bangun dan duduk bersandar, ia menghela nafas dan mulai berakting sebagai seorang pemimpin seperti keinginannya. Akting dan nyanyian gadis ini masih mempesona. Tapi di akhir aktingnya,  ia menunduk.
“Kak…Lilia mau melihat dramanya, Lilia bahagia banget…diberi kesempatan menjadi seorang pemimpin walaupun mungkin, Lilia nggak bisa bermain di drama itu.”
“Li…kamu akan main di drama itu,” yakin Dea.
“Lilia hanya ingin membuat semua teman Lilia juga sebahagia Lilia. Hanya itu.”
“Jadi bermainlah! Itu akan membuat mereka bahagia!” bentak Dayat.
Lilia terdiam, Dea mengelus pundak Lilia untuk menenangkannya.
“Tapi nggak usah pakai bentak gitu dong!”
“Nggak, Kak…aku pantas dimarahi. Karena aku terlalu lemah, aku sangat lemah.”
“Kamu kuat, kamu benar-benar kuat, Li.”
“Aku akan berusaha untuk bermain di drama itu.”
***
Malam harinya, semua berkumpul di aula dan kembali melakukan gladi kotor. Dayat dan Dea baru saja tiba di Panti.
“Bagaimana keadaan Lilia?” tanya Yuki.
“Ia semakin lemah, tapi gua yakin dia bisa main di drama ini.”
“Apa kamu yakin banget?”
Dea menganggu pasti.
“Dea.”
“Ya, Rio?”
“Gua mau ngomong sesuatu sama loe.”
“Apa itu?”
“Uhm, masalah pertunjukan.”
“Ada apa?”
Rio terlihat sangat ragu mengatakannya pada Dea.
“Rio?”
“Sepertinya kita harus mendubbing semua dialog mereka.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurut gua drama ini terlalu monoton jika percakapannya sedikit.”
“Loe nggak mengerti mengapa drama ini lebih banyak gerakan daripada percakapan?”
Rio menggeleng.
 “Ini untuk membuat mereka berusaha, menjadi lebih hidup dan membuat orang-orang yang melihat mereka berfikir, mereka punya kemampuan.”
“Tapi gua belum ngeliat itu, De.”
“Kita akan melihatnya 1 hari sebelum pertunjukan.”
“Kenapa loe bisa seyakin itu, De?”
“Karena mereka luar biasa.”
“Itu yang bikin gua suka sama loe, De.”
Dea menatap Rio, sangat dalam ke dalam cahaya mata Rio. Dan Dea langsung teringat kata-kata Rio waktu itu.

“Walaupun gua bukan pengganti Alvin, tapi gua akan berusaha menjadi bintang kedua buat loe.”

Dea sadar, Rio tulus mencintainya. Dan mungkin ia bisa jadi lebih baik dari Alvin. Tapi kenapa Dea tak bisa mengatakan itu pada Rio?
“De…setelah drama ini, apa rencana loe?”
“Bikin skripsi.”
“Iya-ya, bentar lagi kita lulus, setelah itu loe mau kemana?”
“Mungkin gua akan cari beasiswa ke luar negri, Yo.”
“Jadi loe berencana ninggalin Indonesia?”
Dea tertawa kecil.
“Hanya mungkin, Yo. Tapi gua berharap bisa mengambil pendidikan lebih tinggi di tempat yang baru. Dengan begitu…orangtua gua bisa ngeliat gua sebagai wanita yang membanggakan mereka.”
“Ada 1 lagi, gua baru sadar kenapa gua ngerasa deket banget sama loe, sama teman-teman KKN, dan anak-anak Panti.”
“Kenapa?”
“Karena kita bersahabat.”
“Ya. Bersahabat.”
“Kalau suatu saat nanti keinginan loe ke luar negri bisa terwujud, bisa nggak gua minta 1 hal?”
Dea menunjukan wajah penuh tanda tanya pada Rio.
“Jangan pernah lupain gua, karena gua akan menunggu loe kembali, dan menjadi seseorang yang benar-benar spesial buat loe.”
“Ya, kita akan selalu bersahabat dan gua rasa itu hal yang sangat spesial.”
“Bukan, bukan sebagai sahabat.”
Dea merasa tubuhnya membeku, waktu seakan berhenti untuk mereka berdua. Jantung Dea berdegup sangat kencang, wajahnya bersemu merah karena gugup.
“Mau nggak, loe jadi pacar gua?”
Sekarang, waktu benar-benar terasa berhenti. Hati Dea merasa hatinya sangat lega. Karena lelaki itu masih mencintainya.
“Gu…gua minta maaf.”
“Minta maaf?”
Rio merasa Dea akan menolaknya lagi. Tapi…
“Apa benar, di hati loe, ada gua?” tanya Dea sambil memegang dada Rio. Rio menghela nafas lega dan menyentuh tangan Dea dengan telapak tangannya.
“Iya.”
“Makasih. Maaf gua nggak bisa jujur sama loe, karena gua takut banget kehilangan lagi.”
“Seperti yang pernah gua bilang, gua akan menjaga loe. Sampai kapanpun.”
“Gua percaya, dan gua juga mau bilang ke Kak Alvin, kalau dia nggak usah khawatir lagi sama gua, karena udah ada orang yang bisa jadi bintang juga buat gua. Dia bisa tenang di alam sana.”
Rio mengangguk dan tersenyum lega.
“Bisa nggak, mulai sekarang kita ngomongnya pakai…aku kamu?”
Dea tertawa sangat puas, lalu mengangguk malu.
“Yes!”
“Cieeeeee yang baru jadiaaaaannn!!!” teriak para peserta KKN dan anak-anak Panti. Keduanya hanya tertawa malu, Riopun langsung merangkul Dea tanpa Dea tolak.
“Iya, Kak. Aku mau Kakak bisa tenang tanpa mengkhawatirkanku. Terimakasih, Kak. sudah menjadi bintang yang sangat berharga untukku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini