H-3
“Baiklah, untuk 3 hari ini
kita akan melakukan gladi kotor. Dan semua akan di set seperti pertunjukan
sebenarnya. Saya harap semuanya serius, di sini kita sama-sama berusaha
menunjukan yang terbaik. Tunjukan pada mereka yang selalu memandang kalian
sebelah. Tunjukan bahwa kalian adalah anak-anak luar biasa!” seru Dea sambil
mengacungkan kepalannya yang paling kuat ke udara.
Sontak semuapun bertepuk
tangan. Mereka merasa inilah awal yang baru untuk kehidupan mereka. Iel berdiri
dan mendekati Dea. Ia menulis beberapa kata, dan menunjukannya ke semua orang
yang ada di ruang utama.
Aku
bersyukur Sivia bisa membawa kalian ke sini. Aku bersyukur bisa melihat tawa
seluruh adik-adikku yang paling ceria. Setelah drama ini, aku akan berusaha
memberikan sebaik atau lebih dari yang diberikan teman-teman KKN bulan ini.
Tapi aku yakin, setelah drama ini…semua adik-adikku bisa mempunyai orangtua.
Semua kembali bertepuk
tangan, ada yang hampir menangis karena jika mereka semua mempunyai orangtua
masing-masing, mungkinkah mereka bisa bertemu kembali di sini?
Setelah orasi itu selesai,
semua kembali ke kegiatan masing-masing, karena gladi kotor akan diadakan 2 jam
lagi. Iel menatap lantai ruang utama, ia injak-injak hingga terdengar bunyi
langkah yang indah layaknya nada gendang. Lantai ruang utama memang tak terbuat
dari keramik, melainkan marmer yang tak terlalu keras. Jadi ketika melangkah di
ruang utama, terdengar seperti langkah di lantai kayu. Entah analogi darimana
sehingga suaranya seperti itu, tapi semua sangat menikmati langkah mereka
sendiri di ruang utama.
Sekarang, saat drama yang
diusulkan peserta KKN berlangsung dengan berbagai macam latihan, Iel semakin
sering mendengar langkah indah itu. Iapun merekam suara-suara itu karena ia
sama sekali tak mau kehilangan semua itu. Saat-saat terindahnya adalah saat ia
bisa berkumpul dengan tawa itu. Ia tak tahu bagaimana keadaan Panti Gemintang
tanpa anak-anak itu.
“Yel.”
Sivia menepuk pundak Iel
untuk menyadarkan lamunannya. Iel cepat mengendalikan perasaannya dan menulis…
Ada
apa, Vi?
“Kamu sedih?”
Sedih
apa?
“Ketika mereka pergi dengan
orangtua mereka, apa kau akan sedih?”
Aku
harap tidak, malah aku akan sangat senang.
“Ohya? Bagus, karena aku
sekarang sangat sedih. Jika mereka tak ada…apakah akan seramai ini, ya?”
Kita
harus senang untuk mereka, karena kita nggak pernah tahu takdir seperti apa
yang akan kita hadapi di masa depan. Tapi aku yakin, Tuhan akan memberikan yang
terbaik untuk kita.
***
Masih 3 hari lagi sebelum
pertunjukan menegangkan…oh, bukan. Tapi menyenangkan itu akan di mulai. Tapi
Lilia belum bisa keluar dari rumah sakit. Dea dan Dayat sudah berusaha membujuk
dokter untuk membolehkan Lilia keluar untuk mengikuti drama, tapi dokter sama
sekali tak mengizinkan Lilia keluar kamar.
Lilia menjalani banyak
pengobatan, terkadang Dayat dan Dea bisa mendengar erangan Lilia saat diobati.
Seperti sore ini saat mereka berdua menjenguk Lilia. Dayat yang sudah pernah
mendengar erangan macam itu hanya menghela nafas dan menenangkan Dea yang masih
kaget mendengarnya.
“Ini demi kesehatan Lilia,
De.”
“Tapi kenapa mereka tak
mengizinkan Lilia untuk keluar, sebentar saja, Day?”
“Karena Lilia butuh
perawatan intensif.”
“Gua nggak mau tahu,
pokoknya malam ini kita harus mengajaknya untuk melihat gladi kotor.”
“Kita harus peduli sama
kesehatan Lilia juga, De.”
“Apa loe tahan ngeliat Lilia
nggak bisa kemana-mana?”
“Gua juga maunya begitu, De!
Tapi gua nggak bisa melakukan kesalahan yang sama! Dulu, karena gua ngajak Gita
ke taman rumah sakit untuk melihat langit malam, nggak gua sangka itu menjadi
saat terakhir gua ngeliat dia. Gua nggak bisa liat Lilia kayak Gita, De!”
Dea terdiam, ia meresapi
kata-kata Dayat dan mulai teringat pada kejadian yang menimpa Alvin. Malam itu
adalah malam terakhir ia bertemu dengan Alvin. Tetapi ia sadar, malam itu
bukanlah malam terakhirnya bertemu Alvin. Karena Alvin selalu ada di
sampingnya, ia tak pergi…benar, Alvin tak pernah pergi! Sama seperti Gita.
“Gita nggak pernah pergi,
Day.”
Dayat menoleh sedikit ke
arah Dea.
“Maksud loe?”
“Gita selalu ada di samping
loe, kalau loe mau merasakan keberadaannya. Coba pegang dada loe, dan pejamkan
mata loe. Bayangkan Gita tersenyum sama loe, dan loe bisa bercanda sama dia.”
Dengan ragu, Dayat melakukan
perintah Dea. Ia membayangkan Gita ada di sampingnya. Dan itu terjadi, Gita
berdiri di sampingnya, adik kesayangannya tersenyum sangat lebar. Ia bahkan tak
pernah melihat Gita sesehat itu. Tak terasa airmata Dayat dengan lembut dan
hangat perlahan membasahi pipinya. Ia mengusapnya, tapi ia membayangkan bahwa Gita-lah
yang mengusap airmatanya.
“Dayat…”
Dayat membuka matanya, lalu
menatap Dea.
“Saat Gita tersenyum dalam
bayangan gua, gua ngeliat anak itu bisa sangat sehat seperti yang dulu gua
bayangin. Tapi gua sadar, itu hanya ilusi, De. Dan ilusi hanyalah mimpi. Mereka
yang meninggalkan kita memang benar-benar pergi.”
“Nggak, Day. Loe nggak
ngerti. Kak Alvin pernah janji sama gua, kalau dia akan menjadi bintang yang
selalu nemenin gua. Saat gua capek banget karena drama itu, gua mulai melakukan
apa yang tadi loe lakuin. Dan dia datang, menghibur gua. Sampai gua bisa
kembali tersenyum.”
“Gua juga percaya kalau Gita
masih ada bersama gua, tapi gua ingin, dia bisa tenang dan nggak khawatir lagi
sama gua. Jadi gua berusaha untuk ngelepas dia, De.”
Dea mengangguk dan tersenyum
tipis. Karena Dea sangat sedih mendengar pernyataan Dayat. “Melepaskan dia…”
***
Lilia sudah selesai dengan
pengobatannya, jadi Dea dan Dayat bisa masuk ke kamarnya. Sekarang, Lilia
benar-benar kehilangan semua rambutnya. Wajahnya juga sangat pucat Sebenarnya
Dea tak sanggup melihatnya, bahkan jika boleh, sekarang ia akan melarikan diri
dan tak usah melihat pemandangan menyakitkan itu lagi. Tapi ia tak boleh…tak
boleh mengecewakan anak itu.
“Kak, kapan Lilia bisa
latihan?”
“Kamu sudah menghapal semua
isi dialog kamu?” tanya Dayat.
“Sudah, Kak.”
“Nah, hari ini kita akan
menguji kamu. Ayo kita latihan sekarang,” ucap Dea.
“Baik, Kak.”
Lilia bangun dan duduk
bersandar, ia menghela nafas dan mulai berakting sebagai seorang pemimpin
seperti keinginannya. Akting dan nyanyian gadis ini masih mempesona. Tapi di
akhir aktingnya, ia menunduk.
“Kak…Lilia mau melihat
dramanya, Lilia bahagia banget…diberi kesempatan menjadi seorang pemimpin
walaupun mungkin, Lilia nggak bisa bermain di drama itu.”
“Li…kamu akan main di drama
itu,” yakin Dea.
“Lilia hanya ingin membuat
semua teman Lilia juga sebahagia Lilia. Hanya itu.”
“Jadi bermainlah! Itu akan
membuat mereka bahagia!” bentak Dayat.
Lilia terdiam, Dea mengelus
pundak Lilia untuk menenangkannya.
“Tapi nggak usah pakai
bentak gitu dong!”
“Nggak, Kak…aku pantas
dimarahi. Karena aku terlalu lemah, aku sangat lemah.”
“Kamu kuat, kamu benar-benar
kuat, Li.”
“Aku akan berusaha untuk
bermain di drama itu.”
***
Malam harinya, semua
berkumpul di aula dan kembali melakukan gladi kotor. Dayat dan Dea baru saja
tiba di Panti.
“Bagaimana keadaan Lilia?”
tanya Yuki.
“Ia semakin lemah, tapi gua
yakin dia bisa main di drama ini.”
“Apa kamu yakin banget?”
Dea menganggu pasti.
“Dea.”
“Ya, Rio?”
“Gua mau ngomong sesuatu
sama loe.”
“Apa itu?”
“Uhm, masalah pertunjukan.”
“Ada apa?”
Rio terlihat sangat ragu
mengatakannya pada Dea.
“Rio?”
“Sepertinya kita harus
mendubbing semua dialog mereka.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurut gua drama ini
terlalu monoton jika percakapannya sedikit.”
“Loe nggak mengerti mengapa
drama ini lebih banyak gerakan daripada percakapan?”
Rio menggeleng.
“Ini untuk membuat mereka berusaha, menjadi
lebih hidup dan membuat orang-orang yang melihat mereka berfikir, mereka punya
kemampuan.”
“Tapi gua belum ngeliat itu,
De.”
“Kita akan melihatnya 1 hari
sebelum pertunjukan.”
“Kenapa loe bisa seyakin
itu, De?”
“Karena mereka luar biasa.”
“Itu yang bikin gua suka
sama loe, De.”
Dea menatap Rio, sangat
dalam ke dalam cahaya mata Rio. Dan Dea langsung teringat kata-kata Rio waktu
itu.
“Walaupun
gua bukan pengganti Alvin, tapi gua akan berusaha menjadi bintang kedua buat
loe.”
Dea sadar, Rio tulus
mencintainya. Dan mungkin ia bisa jadi lebih baik dari Alvin. Tapi kenapa Dea
tak bisa mengatakan itu pada Rio?
“De…setelah drama ini, apa
rencana loe?”
“Bikin skripsi.”
“Iya-ya, bentar lagi kita
lulus, setelah itu loe mau kemana?”
“Mungkin gua akan cari
beasiswa ke luar negri, Yo.”
“Jadi loe berencana
ninggalin Indonesia?”
Dea tertawa kecil.
“Hanya mungkin, Yo. Tapi gua
berharap bisa mengambil pendidikan lebih tinggi di tempat yang baru. Dengan
begitu…orangtua gua bisa ngeliat gua sebagai wanita yang membanggakan mereka.”
“Ada 1 lagi, gua baru sadar
kenapa gua ngerasa deket banget sama loe, sama teman-teman KKN, dan anak-anak Panti.”
“Kenapa?”
“Karena kita bersahabat.”
“Ya. Bersahabat.”
“Kalau suatu saat nanti
keinginan loe ke luar negri bisa terwujud, bisa nggak gua minta 1 hal?”
Dea menunjukan wajah penuh
tanda tanya pada Rio.
“Jangan pernah lupain gua,
karena gua akan menunggu loe kembali, dan menjadi seseorang yang benar-benar
spesial buat loe.”
“Ya, kita akan selalu
bersahabat dan gua rasa itu hal yang sangat spesial.”
“Bukan, bukan sebagai
sahabat.”
Dea merasa tubuhnya membeku,
waktu seakan berhenti untuk mereka berdua. Jantung Dea berdegup sangat kencang,
wajahnya bersemu merah karena gugup.
“Mau nggak, loe jadi pacar
gua?”
Sekarang, waktu benar-benar
terasa berhenti. Hati Dea merasa hatinya sangat lega. Karena lelaki itu masih
mencintainya.
“Gu…gua minta maaf.”
“Minta maaf?”
Rio merasa Dea akan
menolaknya lagi. Tapi…
“Apa benar, di hati loe, ada
gua?” tanya Dea sambil memegang dada Rio. Rio menghela nafas lega dan menyentuh
tangan Dea dengan telapak tangannya.
“Iya.”
“Makasih. Maaf gua nggak
bisa jujur sama loe, karena gua takut banget kehilangan lagi.”
“Seperti yang pernah gua
bilang, gua akan menjaga loe. Sampai kapanpun.”
“Gua percaya, dan gua juga
mau bilang ke Kak Alvin, kalau dia nggak usah khawatir lagi sama gua, karena
udah ada orang yang bisa jadi bintang juga buat gua. Dia bisa tenang di alam
sana.”
Rio mengangguk dan tersenyum
lega.
“Bisa nggak, mulai sekarang
kita ngomongnya pakai…aku kamu?”
Dea tertawa sangat puas,
lalu mengangguk malu.
“Yes!”
“Cieeeeee yang baru
jadiaaaaannn!!!” teriak para peserta KKN dan anak-anak Panti. Keduanya hanya
tertawa malu, Riopun langsung merangkul Dea tanpa Dea tolak.
“Iya, Kak. Aku mau Kakak bisa tenang tanpa
mengkhawatirkanku. Terimakasih, Kak. sudah menjadi bintang yang sangat berharga
untukku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?