Jumat, 30 Maret 2012

Star from Heaven - SEMBILAN BELAS


SAAT menunggu adalah saat paling menyebalkan bagi Ami, karena menunggu membuatnya berharap tanpa arah. Tapi saat Patton memintanya menunggu, ia dengan senang hati menerimanya. Karena ia tahu, ada suatu rahasia yang terselip dalam semua kata-katanya. Tapi bagaimana dengan Lintar? Lelaki itu dengan pengorbanannya bisa membuat Ami luluh. Bagaimana?
“Ami.”
“Oh, Via.”
“Loe lagi mikirin apa?”
“Bukan apa-apa.”
“Tentang Tian?”
“Nggak mungkin, Vi.”
“Kenapa nggak mungkin?”
“Karena Tian adalah masa lalu gua. Gua nggak akan mikirin dia lagi.”
“Lalu siapa? Patton?”
“Bukan…”
“Lelaki yang loe bicarain itu? Lintar?”
Ami terdiam, tangan kanannya mengambil sebuah buku kecil semacam diary. Ia mulai membuka lembar demi lembar buku tersebut, dan berhenti di pertengahan buku.
“Ini saat Patton bertanya ke gua, bersediakah gua menunggunya sampai reunian tiba. Dan di sini juga adalah saat gua memutuskan buat nggak meneruskan pertunangan gua dengan Lintar.”
“Kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba loe mau ditunangin sama Lintar?”
“Ini masalah biasa, orangtua gua adalah sahabat orangtua Lintar.”
“Dan kenapa loe nggak pernah cerita tentang perasaan loe ke Patton?”
“Karena gua takut, Vi. Takut dia bukan bintang gua yang selalu diceritakan Dea.”
“Sekarang loe bisa nerima dia jadi bintang loe?”
Ami tak menjawab, karena sebenarnya ia masih merasakan hal yang sama selama ia menunggu Patton dengan masa SMA. Keraguan.
***
Dayat memerhatikan Lilia dengan seksama, gadis kecil yang sudah ia anggap adiknya sendiri hari ini wajahnya sangat pucat. Dayatpun menarik Dea menjauh dari pelatihan untuk membicarakan keadaan Lilia.
“De, ikut gua sebentar.”
“Mau ngapain, Day? Gua lagi ngajarin anak-anak.”
“Sebentar.”
Dayat menarik tangan Dea agak paksa keluar.
“Ada apa sih?”
“Loe lihat wajah Lilia hari ini?”
Dea melihat ke arah Lilia, matanya melebar karena kaget.
“Anak itu sakit?”
“Lilia memang sakit, De.”
“Ma…maaf.”
“Tapi bagi gua dia anak paling sehat di sini.”
Dea tersenyum tipis, ia menepuk punggung Dayat.
“Dan jagalah keyakinan itu sampai pertunjukan selesai.”
“Sejujurnya gua khawatir sama keadaannya, De.”
“Dan sekarang loe mau gimana? Ngeluarin Lilia dari pertunjukan?”
“Nggak mungkin, De! Lilia pengen banget peran itu, gua nggak akan ngebiarin Lilia kehilangan perannya!”
“Jadi sekarang, loe harus percaya sama Lilia.”
Dayat mengangguk, walaupun hatinya masih tak tenang. Keduanya kembali ke ruang latihan dan sudah bisa dipastikan orang yang pertama Dayat hampiri adalah Lilia.
“Kamu sehat, Li?”
“Sehat, Kak. Ada apa?”
“Wajah kamu pucat, mungkin kamu istirahat sebentar.”
“Sepertinya aku mau ke kamar mandi, Kak. Sebentar, ya.”
Lilia mendorong kursi rodanya menuju kamar mandi.
***
Lilia melihat wajahnya di cermin kamar mandi, sangat pucat. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Ia nyalakan kran air dan mengambil air yang mengalir lembut di tangannya. Lalu ia basuh wajahnya, dan berharap agar wajahnya menjadi lebih segar. Tangannya mengelus rambut pendeknya, dan sejumput rambut lepas dengan mudahnya. Airmatanya mengalir, karena ia merasa sangat sakit sekarang.
“Tuhan, Lilia mau main drama sama teman-teman. Tolong kuatkan Lilia sampai drama berakhir. Karena Lilia mau, sebelum Lilia pergi…Lilia bisa membagi cinta Lilia sama temen-temen, sama kakak-kakak KKN, sama semua orang yang kenal Lilia. Tolong Tuhan…”
Lilia seka airmatanya, lalu kembali membasuh mukanya.
***
Dea terdiam mendengar pernyataan Lilia barusan. Airmata Dea ikut mengalir karena do’a Lilia mengingatkannya pada Alvin. Karena, apakah ini artinya ia akan melihat orang yang dicintainya harus pergi di depan matanya lagi? Perlahan, ia mengucap “amin” untuk do’a Lilia. Saat ia mendengar pintu kamar mandi akan terbuka, ia langsung bersembunyi. Ia melihat Lilia mendorong kursi rodanya sekuat tenaga. Setelah Lilia benar-benar menjauh, Dea baru keluar dari tempat persembunyiannya. Ia elus dadanya karena rasanya sangat sakit ketika ia harus mendengar do’a Lilia.
“Kenapa harus seperti ini? Kenapa Engkau selalu mengambil orang-orang yang hamba cintai? Kenapa?”
Dea masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya.
“Berikan aku kesempatan untuk melatih Lilia menjadi seorang pemimpin seperti impiannya. Tolong beri aku kesempatan, untuk melihat senyumnya yang paling lebar. Tolong, jangan ambil Lilia sebelum pertunjukan berakhir.”
***
Malam pun tiba, semua peserta KKN, teman-teman Dea, dan pemain drama berkumpul di ruang tengah. Mereka makan malam dengan penuh candaan. Mata Dea tak lepas dari Lilia, ia harus terus mengawasi Lilia.
“Kakak memerhatikan Lilia?”
“Fay? Oh, itu karena hari ini Lilia terlihat sangat pucat.”
“Ya, tak biasanya Lilia seperti itu.”
“Ohya?”
“Iya, biasanya Lilia tak sepucat itu, dia selalu berusaha terlihat kuat. Tapi aku tahu, dia sangat kesakitan karena penyakitnya.”
“Sudah berapa lama Lilia terkena leukemia?”
“Aku tidak tahu, saat pertama kali kami bertemu, dia sudah mengidap penyakit itu.”
“Apakah Lilia menjalankan pengobatan?”
“Ya, tapi sepertinya dia sangat keras kepala. Ia tak pernah mau minum obat lagi.”
“Kenapa Lilia nggak mau minum obat lagi?”
“Dia pernah bilang ke aku, dia mau jadi seperti anak-anak normal yang hidup tanpa obat. Bahkan teman-teman luar biasanya tak ada yang minum obat. Kakak tak pernah tahu, dan tak ada yang tahu. Jika Lilia adalah anak yang paling sering berbohong.”
“Paling sering berbohong?”
“Ia berbohong agar tak ada orang yang mengasihaninya. Terkadang aku malu padanya, Lilia adalah gadis yang sangat kuat. Berbeda denganku, selalu membuat orang merasa kasihan padaku. Padahal yang harus diperhatikan adalah Lilia.”
“Tak ada orang yang harus dikasihani karena kekurangan, karena orang juga harus berfikir, mereka yang dikasihani adalah bintang sebenarnya. Mereka hidup dengan cacian, pandangan sebelah mata, dan tak peduli pada semua itu, mereka bangkit. Maka mereka benar-benar bintang yang bersinar.”
“Terimakasih, aku akan berusaha menjadi kuat untuk semuanya.”
Dea mengelus rambut Fay lembut.
“De, seminggu lagi pertunjukannya. Gua jadi deg-degan,” ucap Sivia.
“Sama, Vi.”
“Apa semua akan berjalan lancar, ya?”
“Kita harus yakin dan percaya pada mereka.”
***
H-6
Pertunjukan semakin dekat, dan semua benar-benar sibuk. Sibuk berakting, bermain musik, bernyanyi. Bahkan bagian anak normal sibuk mencemooh. Tapi Dea dan kawan-kawan dapat mengatasi semua dengan baik. Semua memang berjalan lancar, tapi ada 1 yang tidak lancar. Keadaan Lilia. Anak itu semakin hari semakin lemah. Ia sudah berusaha untuk bertahan, memaksakan senyumnya yang paling lebar, tapi tak bisa. Dea dan Dayatlah yang peka pada keadaan Lilia. Mereka hanya bisa mengawasi Lilia.
“Lilia, kamu sehat-sehat saja, kan?”
“Tentu, Kak Dea. Ada apa memangnya?”
“Kamu sudah minum obat?”
Lilia terdiam, ia menelan ludah karena sangat gugup.
“Su…sudah, Kak.”
“Benar?”
Lilia mengangguk semampunya. Dan Dea sadar Lilia berbohong. Dayat mengatakan padanya bahwa Dayat menemukan botol obat Lilia tersembunyi di bawah kasur Lilia.
“Jika kita terus-terusan memaksanya latihan, apa tidak bahaya?”
“Dea, loe pernah bilang ke gua kalau kita harus percaya sama teman-teman Gemintang. Sekarang loe mulai nggak percaya sama mereka?”
“Bukan gua nggak percaya, Day. Tapi…”
“Gua juga khawatir, De. Tapi gua mencoba untuk percaya sama Lilia, dia anak yang kuat.”
“Dayat.”
***
“Uhuk-uhuk.”
Suara batuk itu terdengar lagi, dan kali ini benar-benar terdengar menyakitkan. Lilia terbatuk sampai mulutnya mengeluarkan darah. Dayat menyuruhnya untuk meminum obat, tapi Lilia tak mau.
“Aku ingin seperti anak normal, hidup tanpa obat, hidup tanpa bayang-bayang bahan kimia itu!”
“Kamu nggak pernah ngerti apa artinya hidup normal! Kamu sudah normal, Lilia. Dengan 1 jalan yaitu obat.”
“Apa gunanya obat-obat itu, Kak? Bahkan orangtua Lilia membuang Lilia karena Lilia sakit! Mereka tak mau hidup lagi dengan Lilia!”
“Lilia…jika kamu mengerti perasaan orang yang mencintai Lilia, tentu Lilia akan dengan senang hati memikirkan permintaan Kak Dayat,” ucap Dea.
“Aku nggak mau, Kak. Rasanya sakit banget, Lilia nggak mau lagi hidup dengan obat. Lilia hanya ingin, jika suatu saat nanti Lilia memang harus pergi, Lilia mau tubuh Lilia bebas dari obat.”
“Ini demi teman-teman kamu, Lilia.”
“Kak Dea dan Kak Dayat nggak pernah mau ngerti perasaan Lilia!”
Dayat langsung memeluk tubuh gadis itu, sangat erat.
“Gita, Kakak mau kamu minum obat agar kamu sembuh. Jangan tinggalin Kakak lagi.”
“Lilia?”
Sama sekali tak ada respon dari Lilia, tubuhnya kaku. Dayat merasa darahnya membeku, waktu disekitarnya berhenti. Lilia, tolong jangan pergi.
***
Hanya Bunda Aryani, Dayat, dan Dea saja yang mengantar Lilia ke rumah sakit, ini kebijakan Panti agar tak membuat pihak rumah sakit bingung. Pikiran mereka sudah keluar batas, yang mereka inginkan hanya kesempatan Tuhan untuk Lilia.
Tubuh Dayat gemetar, ia seperti melihat masa lalu. Saat adiknya masuk rumah sakit, dan itu adalah saat terakhir Dayat bertemu dengannya.
“Day?”
“De, gua takut banget.”
“Gua juga, Day.”
Dayat menggenggam tangan Dea, dan saat itu juga Dea merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan Dayat.
“Kenapa Allah begitu jahat sama orang-orang sebaik Lilia, De?”
“Allah nggak pernah jahat, Day. Allah mau orang baik seperti Lilia nggak terus-terusan merasakan sakit. Jadi Allah mengambil mereka kembali ke sisinya. Tugas Lilia sudah selesai di dunia ini. Memberikan kita senyuman dan kasih sayang yang sangat berharga. Itu sudah sangat cukup untuk memenuhi tugas Lilia, Day. Yakinlah bahwa Allah mau yang terbaik untuk seluruh umat manusia.”
“Tapi kenapa nggak membiarkan Lilia hidup hanya sampai…ia bisa menjadi pemeran utama di pentas nanti, De?”
“Gua bukan Allah, jadi gua nggak bisa jawab pertanyaan itu. Tapi yakinlah, Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk Lilia.”
Dayat memeluk Dea hanya untuk menenangkan pikirannya. Dea menepuk punggung Dayat perlahan. Pada dasarnya, Dayat adalah lelaki sejati yang mengikrarkan pada dunia untuk tidak menangis. Tapi untuk saat ini, air matanya mengalir deras. Dea bisa merasakan air mata Dayat mengalir hangat di pundaknya. Beberapa detik kemudian Dayat melepaskan pelukannya pada Dea.
“Maaf.”
“Gua ngerti perasaan loe, Day.”
Waktu terlalui dalam diam, walaupun airmata Dayat tak lagi keluar, tapi keringat dinginnya terus bercucuran. Ia sangat khawatir.
“Kalau aja…gua bisa jaga Lilia lebih baik.”
“Penyesalan memang selalu datang di akhir, tapi apa penyesalan itu akan membuat loe jadi putus asa?”
Dayat menatap Dea, lalu menggeleng.
“Tidak.”
***
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya dokter yang merawat Lilia keluar dari ruang rawat. Sontak Bunda Aryani, Dea, dan Dayat mengerumuni dokter.
“Kondisi Lilia sangat lemah, ia butuh banyak sekali istirahat. Saya khawatir, waktu Lilia tak bisa lebih lama lagi.”
“Maksud dokter apa?”
“Nak, keadaan Lilia semakin lama semakin memburuk. Saya takut, Lilia tak bisa menahan itu semua.”
“Apa tidak ada cara lain untuk mengobati Lilia, Dok?”
“Menunggu donor untuk Lilia. Hanya itu.”
Bunda Aryani mengikuti Dokter untuk membicarakan lebih lanjut tentang kesehatan Lilia. Sedangkan Dea dan Dayat masuk untuk melihat keadaan Lilia. Kini yang keduanya lihat adalah Lilia yang berusaha tersenyum dan kuat.
“Lilia, bagaimana keadaanmu?” tanya Dea lalu mengelus rambut Lilia.
“Kata dokter, Lilia harus menjaga kesehatan Lilia. Tapi…kalau Lilia terus di sini, bagaimana Lilia latihan, Kak?”
“Nanti, kalau keadaan Lilia sudah membaik, Lilia bisa ikut latihan lagi,” hibur Dayat.
“Benarkah?”
Dayat dan Dea mengangguk bersamaan.
“Maafkan Lilia, Kak. Karena Lilia tidak mau minum obat, semua jadi susah.”
“Yang penting sekarang, Lilia harus berusaha tetap menjadi Lilia yang kuat. Oke?”
“Iya, Kak Dea.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini