SAAT menunggu adalah saat
paling menyebalkan bagi Ami, karena menunggu membuatnya berharap tanpa arah.
Tapi saat Patton memintanya menunggu, ia dengan senang hati menerimanya. Karena
ia tahu, ada suatu rahasia yang terselip dalam semua kata-katanya. Tapi
bagaimana dengan Lintar? Lelaki itu dengan pengorbanannya bisa membuat Ami
luluh. Bagaimana?
“Ami.”
“Oh, Via.”
“Loe lagi mikirin apa?”
“Bukan apa-apa.”
“Tentang Tian?”
“Nggak mungkin, Vi.”
“Kenapa nggak mungkin?”
“Karena Tian adalah masa
lalu gua. Gua nggak akan mikirin dia lagi.”
“Lalu siapa? Patton?”
“Bukan…”
“Lelaki yang loe bicarain
itu? Lintar?”
Ami terdiam, tangan kanannya
mengambil sebuah buku kecil semacam diary. Ia mulai membuka lembar demi lembar
buku tersebut, dan berhenti di pertengahan buku.
“Ini saat Patton bertanya ke
gua, bersediakah gua menunggunya sampai reunian tiba. Dan di sini juga adalah
saat gua memutuskan buat nggak meneruskan pertunangan gua dengan Lintar.”
“Kalau boleh tahu, kenapa
tiba-tiba loe mau ditunangin sama Lintar?”
“Ini masalah biasa, orangtua
gua adalah sahabat orangtua Lintar.”
“Dan kenapa loe nggak pernah
cerita tentang perasaan loe ke Patton?”
“Karena gua takut, Vi. Takut
dia bukan bintang gua yang selalu diceritakan Dea.”
“Sekarang loe bisa nerima
dia jadi bintang loe?”
Ami tak menjawab, karena
sebenarnya ia masih merasakan hal yang sama selama ia menunggu Patton dengan
masa SMA. Keraguan.
***
Dayat memerhatikan Lilia
dengan seksama, gadis kecil yang sudah ia anggap adiknya sendiri hari ini
wajahnya sangat pucat. Dayatpun menarik Dea menjauh dari pelatihan untuk
membicarakan keadaan Lilia.
“De, ikut gua sebentar.”
“Mau ngapain, Day? Gua lagi
ngajarin anak-anak.”
“Sebentar.”
Dayat menarik tangan Dea
agak paksa keluar.
“Ada apa sih?”
“Loe lihat wajah Lilia hari
ini?”
Dea melihat ke arah Lilia,
matanya melebar karena kaget.
“Anak itu sakit?”
“Lilia memang sakit, De.”
“Ma…maaf.”
“Tapi bagi gua dia anak
paling sehat di sini.”
Dea tersenyum tipis, ia
menepuk punggung Dayat.
“Dan jagalah keyakinan itu
sampai pertunjukan selesai.”
“Sejujurnya gua khawatir
sama keadaannya, De.”
“Dan sekarang loe mau
gimana? Ngeluarin Lilia dari pertunjukan?”
“Nggak mungkin, De! Lilia
pengen banget peran itu, gua nggak akan ngebiarin Lilia kehilangan perannya!”
“Jadi sekarang, loe harus
percaya sama Lilia.”
Dayat mengangguk, walaupun
hatinya masih tak tenang. Keduanya kembali ke ruang latihan dan sudah bisa
dipastikan orang yang pertama Dayat hampiri adalah Lilia.
“Kamu sehat, Li?”
“Sehat, Kak. Ada apa?”
“Wajah kamu pucat, mungkin
kamu istirahat sebentar.”
“Sepertinya aku mau ke kamar
mandi, Kak. Sebentar, ya.”
Lilia mendorong kursi
rodanya menuju kamar mandi.
***
Lilia melihat wajahnya di
cermin kamar mandi, sangat pucat. Ia menarik nafas panjang dan
menghembuskannya. Ia nyalakan kran air dan mengambil air yang mengalir lembut
di tangannya. Lalu ia basuh wajahnya, dan berharap agar wajahnya menjadi lebih
segar. Tangannya mengelus rambut pendeknya, dan sejumput rambut lepas dengan
mudahnya. Airmatanya mengalir, karena ia merasa sangat sakit sekarang.
“Tuhan, Lilia mau main drama
sama teman-teman. Tolong kuatkan Lilia sampai drama berakhir. Karena Lilia mau,
sebelum Lilia pergi…Lilia bisa membagi cinta Lilia sama temen-temen, sama
kakak-kakak KKN, sama semua orang yang kenal Lilia. Tolong Tuhan…”
Lilia seka airmatanya, lalu
kembali membasuh mukanya.
***
Dea terdiam mendengar
pernyataan Lilia barusan. Airmata Dea ikut mengalir karena do’a Lilia
mengingatkannya pada Alvin. Karena, apakah ini artinya ia akan melihat orang
yang dicintainya harus pergi di depan matanya lagi? Perlahan, ia mengucap
“amin” untuk do’a Lilia. Saat ia mendengar pintu kamar mandi akan terbuka, ia
langsung bersembunyi. Ia melihat Lilia mendorong kursi rodanya sekuat tenaga.
Setelah Lilia benar-benar menjauh, Dea baru keluar dari tempat
persembunyiannya. Ia elus dadanya karena rasanya sangat sakit ketika ia harus
mendengar do’a Lilia.
“Kenapa harus seperti ini?
Kenapa Engkau selalu mengambil orang-orang yang hamba cintai? Kenapa?”
Dea masuk ke kamar mandi dan
membasuh wajahnya.
“Berikan aku kesempatan
untuk melatih Lilia menjadi seorang pemimpin seperti impiannya. Tolong beri aku
kesempatan, untuk melihat senyumnya yang paling lebar. Tolong, jangan ambil
Lilia sebelum pertunjukan berakhir.”
***
Malam pun tiba, semua
peserta KKN, teman-teman Dea, dan pemain drama berkumpul di ruang tengah.
Mereka makan malam dengan penuh candaan. Mata Dea tak lepas dari Lilia, ia
harus terus mengawasi Lilia.
“Kakak memerhatikan Lilia?”
“Fay? Oh, itu karena hari
ini Lilia terlihat sangat pucat.”
“Ya, tak biasanya Lilia
seperti itu.”
“Ohya?”
“Iya, biasanya Lilia tak
sepucat itu, dia selalu berusaha terlihat kuat. Tapi aku tahu, dia sangat
kesakitan karena penyakitnya.”
“Sudah berapa lama Lilia
terkena leukemia?”
“Aku tidak tahu, saat
pertama kali kami bertemu, dia sudah mengidap penyakit itu.”
“Apakah Lilia menjalankan
pengobatan?”
“Ya, tapi sepertinya dia
sangat keras kepala. Ia tak pernah mau minum obat lagi.”
“Kenapa Lilia nggak mau
minum obat lagi?”
“Dia pernah bilang ke aku,
dia mau jadi seperti anak-anak normal yang hidup tanpa obat. Bahkan teman-teman
luar biasanya tak ada yang minum obat. Kakak tak pernah tahu, dan tak ada yang
tahu. Jika Lilia adalah anak yang paling sering berbohong.”
“Paling sering berbohong?”
“Ia berbohong agar tak ada
orang yang mengasihaninya. Terkadang aku malu padanya, Lilia adalah gadis yang
sangat kuat. Berbeda denganku, selalu membuat orang merasa kasihan padaku.
Padahal yang harus diperhatikan adalah Lilia.”
“Tak ada orang yang harus
dikasihani karena kekurangan, karena orang juga harus berfikir, mereka yang
dikasihani adalah bintang sebenarnya. Mereka hidup dengan cacian, pandangan
sebelah mata, dan tak peduli pada semua itu, mereka bangkit. Maka mereka
benar-benar bintang yang bersinar.”
“Terimakasih, aku akan
berusaha menjadi kuat untuk semuanya.”
Dea mengelus rambut Fay
lembut.
“De, seminggu lagi
pertunjukannya. Gua jadi deg-degan,” ucap Sivia.
“Sama, Vi.”
“Apa semua akan berjalan
lancar, ya?”
“Kita harus yakin dan
percaya pada mereka.”
***
H-6
Pertunjukan semakin dekat,
dan semua benar-benar sibuk. Sibuk berakting, bermain musik, bernyanyi. Bahkan
bagian anak normal sibuk mencemooh. Tapi Dea dan kawan-kawan dapat mengatasi
semua dengan baik. Semua memang berjalan lancar, tapi ada 1 yang tidak lancar.
Keadaan Lilia. Anak itu semakin hari semakin lemah. Ia sudah berusaha untuk
bertahan, memaksakan senyumnya yang paling lebar, tapi tak bisa. Dea dan
Dayatlah yang peka pada keadaan Lilia. Mereka hanya bisa mengawasi Lilia.
“Lilia, kamu sehat-sehat
saja, kan?”
“Tentu, Kak Dea. Ada apa
memangnya?”
“Kamu sudah minum obat?”
Lilia terdiam, ia menelan
ludah karena sangat gugup.
“Su…sudah, Kak.”
“Benar?”
Lilia mengangguk semampunya.
Dan Dea sadar Lilia berbohong. Dayat mengatakan padanya bahwa Dayat menemukan
botol obat Lilia tersembunyi di bawah kasur Lilia.
“Jika kita terus-terusan
memaksanya latihan, apa tidak bahaya?”
“Dea, loe pernah bilang ke
gua kalau kita harus percaya sama teman-teman Gemintang. Sekarang loe mulai
nggak percaya sama mereka?”
“Bukan gua nggak percaya,
Day. Tapi…”
“Gua juga khawatir, De. Tapi
gua mencoba untuk percaya sama Lilia, dia anak yang kuat.”
“Dayat.”
***
“Uhuk-uhuk.”
Suara batuk itu terdengar
lagi, dan kali ini benar-benar terdengar menyakitkan. Lilia terbatuk sampai
mulutnya mengeluarkan darah. Dayat menyuruhnya untuk meminum obat, tapi Lilia
tak mau.
“Aku ingin seperti anak
normal, hidup tanpa obat, hidup tanpa bayang-bayang bahan kimia itu!”
“Kamu nggak pernah ngerti
apa artinya hidup normal! Kamu sudah normal, Lilia. Dengan 1 jalan yaitu obat.”
“Apa gunanya obat-obat itu,
Kak? Bahkan orangtua Lilia membuang Lilia karena Lilia sakit! Mereka tak mau
hidup lagi dengan Lilia!”
“Lilia…jika kamu mengerti
perasaan orang yang mencintai Lilia, tentu Lilia akan dengan senang hati
memikirkan permintaan Kak Dayat,” ucap Dea.
“Aku nggak mau, Kak. Rasanya
sakit banget, Lilia nggak mau lagi hidup dengan obat. Lilia hanya ingin, jika
suatu saat nanti Lilia memang harus pergi, Lilia mau tubuh Lilia bebas dari
obat.”
“Ini demi teman-teman kamu,
Lilia.”
“Kak Dea dan Kak Dayat nggak
pernah mau ngerti perasaan Lilia!”
Dayat langsung memeluk tubuh
gadis itu, sangat erat.
“Gita, Kakak mau kamu minum
obat agar kamu sembuh. Jangan tinggalin Kakak lagi.”
“Lilia?”
Sama sekali tak ada respon
dari Lilia, tubuhnya kaku. Dayat merasa darahnya membeku, waktu disekitarnya
berhenti. Lilia, tolong jangan pergi.
***
Hanya Bunda Aryani, Dayat,
dan Dea saja yang mengantar Lilia ke rumah sakit, ini kebijakan Panti agar tak
membuat pihak rumah sakit bingung. Pikiran mereka sudah keluar batas, yang
mereka inginkan hanya kesempatan Tuhan untuk Lilia.
Tubuh Dayat gemetar, ia
seperti melihat masa lalu. Saat adiknya masuk rumah sakit, dan itu adalah saat
terakhir Dayat bertemu dengannya.
“Day?”
“De, gua takut banget.”
“Gua juga, Day.”
Dayat menggenggam tangan
Dea, dan saat itu juga Dea merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan Dayat.
“Kenapa Allah begitu jahat
sama orang-orang sebaik Lilia, De?”
“Allah nggak pernah jahat,
Day. Allah mau orang baik seperti Lilia nggak terus-terusan merasakan sakit.
Jadi Allah mengambil mereka kembali ke sisinya. Tugas Lilia sudah selesai di
dunia ini. Memberikan kita senyuman dan kasih sayang yang sangat berharga. Itu
sudah sangat cukup untuk memenuhi tugas Lilia, Day. Yakinlah bahwa Allah mau
yang terbaik untuk seluruh umat manusia.”
“Tapi kenapa nggak
membiarkan Lilia hidup hanya sampai…ia bisa menjadi pemeran utama di pentas
nanti, De?”
“Gua bukan Allah, jadi gua
nggak bisa jawab pertanyaan itu. Tapi yakinlah, Allah sudah menyiapkan yang
terbaik untuk Lilia.”
Dayat memeluk Dea hanya
untuk menenangkan pikirannya. Dea menepuk punggung Dayat perlahan. Pada
dasarnya, Dayat adalah lelaki sejati yang mengikrarkan pada dunia untuk tidak
menangis. Tapi untuk saat ini, air matanya mengalir deras. Dea bisa merasakan
air mata Dayat mengalir hangat di pundaknya. Beberapa detik kemudian Dayat
melepaskan pelukannya pada Dea.
“Maaf.”
“Gua ngerti perasaan loe,
Day.”
Waktu terlalui dalam diam,
walaupun airmata Dayat tak lagi keluar, tapi keringat dinginnya terus
bercucuran. Ia sangat khawatir.
“Kalau aja…gua bisa jaga
Lilia lebih baik.”
“Penyesalan memang selalu
datang di akhir, tapi apa penyesalan itu akan membuat loe jadi putus asa?”
Dayat menatap Dea, lalu
menggeleng.
“Tidak.”
***
Setelah menunggu beberapa
lama, akhirnya dokter yang merawat Lilia keluar dari ruang rawat. Sontak Bunda
Aryani, Dea, dan Dayat mengerumuni dokter.
“Kondisi Lilia sangat lemah,
ia butuh banyak sekali istirahat. Saya khawatir, waktu Lilia tak bisa lebih
lama lagi.”
“Maksud dokter apa?”
“Nak, keadaan Lilia semakin
lama semakin memburuk. Saya takut, Lilia tak bisa menahan itu semua.”
“Apa tidak ada cara lain
untuk mengobati Lilia, Dok?”
“Menunggu donor untuk Lilia.
Hanya itu.”
Bunda Aryani mengikuti
Dokter untuk membicarakan lebih lanjut tentang kesehatan Lilia. Sedangkan Dea
dan Dayat masuk untuk melihat keadaan Lilia. Kini yang keduanya lihat adalah
Lilia yang berusaha tersenyum dan kuat.
“Lilia, bagaimana
keadaanmu?” tanya Dea lalu mengelus rambut Lilia.
“Kata dokter, Lilia harus
menjaga kesehatan Lilia. Tapi…kalau Lilia terus di sini, bagaimana Lilia
latihan, Kak?”
“Nanti, kalau keadaan Lilia
sudah membaik, Lilia bisa ikut latihan lagi,” hibur Dayat.
“Benarkah?”
Dayat dan Dea mengangguk
bersamaan.
“Maafkan Lilia, Kak. Karena
Lilia tidak mau minum obat, semua jadi susah.”
“Yang penting sekarang,
Lilia harus berusaha tetap menjadi Lilia yang kuat. Oke?”
“Iya, Kak Dea.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Bashing just positive. oke?