Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - DUA BELAS

Dua Belas

AMI masih menatapnya tajam, tangannya mengepal karena kesal. Kesal karena apa? Kesal karena orang itu kembali, kembali ke hidupnya yang harusnya sudah tenang. Lelaki itu juga menatap Ami dengan tatapan–aku tak percaya.
“Ngapain loe kesini?”
“Lintar itu sahabat gua, nah, loe? Kenapa loe bisa bareng Lintar?”
“Dia… dia.”
Terasa susah, Ami merasa untuk mengatakan Lintar adalah temannya cukup sulit. Ia merasa Lintar memang bukan temannya, melainkan seorang kakak yang ia impikan.
“Kalian tetap mau berkelahi? Ami, kamu mau kuantar pulang aja?”
“Yaudah, pulang aja, Kak. Aku juga udah cape banget.”
“Bentar-bentar! Ami, sejak kapan loe pakai aku-kamu? Sama… oh, kalian jadian to?”
“Bukan urusan loe Otlivio!”
“Aish, kenapa sih loe nggak panggil gua Patton?”
“Udah yuk, Kak.”
Patton menarik tangan Lintar, bersamaan dengan itu Ami juga berusaha menarik Lintar.
“Gua mau main!!” rengek Patton.
“Ih!! Gua mau pulang!!” rengek Ami.
Lintar jadi bingung sendiri, lalu ia melepas kedua tangannya dari genggaman Ami dan Patton.
“Aku bukan mainan yang bisa ditarik-tarik! Kalian main berdua aja!”
Baru saja Lintar mau pergi, Ami dan Patton menghalanginya lagi.
“Yaudah, kita ke taman ria,” ucap Ami.
“Yes, gua menang.”
“Jangan seneng dulu Otlivio, loe pergi main sendiri, gua sama Kak Lintar.”
“Enak aja! Gua sama Lintar itu baru ketemu hari ini, loe kan udah sering sama dia, gantian dong!”
“Oke, gua main sendiri!”
“Eits, aku nggak mungkin ninggalin cewek sendirian. Patton, kamu harus setuju kita main bertiga.”
“Nanti gua ganggu orang pacaran, lagi.”
“Gua sama Kak Lintar itu nggak pacaran, Patton. Kita cuman temen.”
“Tapi kenapa loe sama Lintar pakai aku-kamu?”
“Kak Lintar kan lebih tua dari gua, jadi gua harus sopan.”
“Ya ya ya. Sudahlah, ayo kita main sepuasnya malam ini!”
***
Sesuai rencana, Dea dan ketiga kawannya pergi ke taman yang dimaksud. Malam ini agak mendung, jadi bintang enggan menampakan sinarnya.
“Kalian tahu nggak? Ada 1 bintang yang bersinar di antara langit malam itu.”
“Apa tu, De?”
“Bintang yang ada di hati kita.”
Ketiganya saling pandang, sepertinya bingung dengan pernyataan Dea. Dea terus mendongak, wajahnya berubah gusar. Matanya yang berair terlihat bekilat terkena sinar lampu taman.
“De? Kamu nangis?”
“Gua bersyukur, sampai sekarang gua masih diberi sahabat seperti kalian. Gua nggak bisa bayangin gimana jadinya gua tanpa kalian.”
“Aku juga beruntung bisa kenal kamu, De.”
Dea menatap Yuki lekat, lalu kedua tangannya mendekap dadanya sendiri. Seperti mencari kehangatan cahaya seperti yang ia katakan, bintang yang ada di hatinya.
“Bintang di hati gua, adalah bintang yang dikirimkan Tuhan dari Surga buat gua. Biar gua bisa terus tersenyum dalam kesedihan, biar gua tetap tenang dalam gelisah, biar gua bisa memaknai semua anugerahnya. Langit mendung itu adalah selimut para bintang, karena ada waktunya bintang-bintang itu perlu kehangatan. Gua nggak salah dong kalau gua suka hujan dan bintang?” sambil melirik Rio. Rio yang dipandang hanya tertawa kecil.
“Gua sekarang ngerti, De.”
Dea hanya tersenyum, lalu ia memandangi langit lagi. Sebenarnya ia tak melihat langit, melainkan sedang memikirkan sebuah kenangan. Kenangan yang ia miliki bersama ketiga sahabatnya.
***
Sivia dan Gabriel membantu Oma bersiap-siap. Pagi ini akan menjadi pagi yang tak terlupakan bagi keduanya, juga Oma. Perpisahan ini hanya sementara, yakin mereka.
“Oma akan menjadi donatur tetap Panti Gemintang, agar seluruh anaknya bisa bersekolah. Kamu harus memanfaatkannya, Iel,” ucap Oma sambil mengelus rambut Iel.
Iel menatap Sivia karena ia gugup. Sivia seakan mengerti perasaan Iel, akhirnya ia yang menjawab ungkapan Oma.
“Iel bilang, terimakasih untuk semuanya, Oma. Dan… kami menyayangi Oma.”
Oma memeluk Iel dan Sivia lalu mengelus pundak masing-masing, hingga sebuah suara klakson mobil menghentikan kejadian itu.
“Itu pasti cucu Oma, mari kalian berkenalan dulu.”
Iel dan Sivia mengikuti Oma keluar sambil mengangkat barang-barang Oma.
“Oma? Oma Rina?”
“Kemari, Septian. Berkenalan dulu dengan cucu-cucu asuh Oma.”
“Septian?”
“Sivia?”
Iel menatap keduanya, perasaannya jadi tak keruan melihat kedua insan itu bertatap heran. Iel merasa, cemburu? Entah bagaimana ia menggambarkan perasaannya saat ini, yang pasti perasaan itu akan datang ketika ia kesal, atau iri.
“Jadi loe pindah ke sini?”
“Udah setahun nggak ketemu, malah ketemu di sini.”
“Jadi kalian sudah kenal satu sama lain?” Tanya Oma.
“Kami teman–“
“Dia Sivia, Ma. Cucu Oma juga.”
“Hah?”
Septian menarik Sivia menjauh dari kebingungan itu.
“Loe sepupu gua, Vi. Tapi loe nggak pernah tahu karena Ayah loe selalu menutupinya. Loe nggak pernah merasa kalau loe nggak pernah kumpul sama keluarga besar Ayah atau Bunda loe?”
Sivia terdiam. Sepertinya itu alasan kenapa Septian selalu menjauhinya. Saat SMP dulu Septian tahu kalau Sivia menyukainya, maka dari itu ia menjauhi Sivia. Ya, pasti seperti itu.
“Thank’s. Karena loe nggak terbuka sama gua, gua sama Ami…”
“Maaf, maaf banget, Vi.”
“Bisa loe balikin kepercayaan Ami ke gua?”
Septian menatap dalam ke mata Sivia. Tergambar perasaan bersalah di mata itu.
“Gua… gua sayang banget sama Ami. Dan gua nggak tahu harus cari dia kemana.”
“Suatu saat nanti, kalau gua kumpul sama sahabat-sahabat gua. Temuilah dia.”
“Jadi loe nggak marah lagi sama gua?”
“Nggak, masa’ gua mau terus-terusan marah?”
“Makasih, Vi.”
***
Patton memutuskan untuk pergi ke Jepang besok. Dan itu sebenarnya membuat Ami lega. Tapi tidak untuk Patton. Ia merasa akan menjadi pecundang seumur hidup jika ia tak menyatakan perasaannya pada Ami sesegera mungkin. Jadi di sinilah keduanya, di halilintar taman ria. Ami awalnya tak mau, tapi Patton memaksanya. Lintar pun menganjurkan agar Ami mengikuti permintaan Patton.
“Ngapain sih loe ajak gua ke sini? Nggak penting tahu, nggak?”
“Tapi ini penting buat gua, Mi.”
“Ada apa sih?”
“Gua akan ke Jepang besok, dan itu artinya gua nggak akan ketemu loe lebih lama lagi.”
“Lha, terus?”
“Loe jangan aneh ya kalau gua jadi manis gini ke loe.”
Ami hanya mengangkat bahunya–tak masalah.
“Sebenernya gua… gua suka sama loe, Mi.”
“Hah? Loe jangan ngerjain gua lagi, deh.”
“Kalau masalah perasaan kayaknya gua nggak bisa bercanda, Mi.”
“Kenapa tiba-tiba?”
“Nggak tiba-tiba kok, Mi. Gua suka sama loe sejak tahun pertama SMA.”
Ami terdiam, ia sangat kaget dan tak menyangka lelaki itu akan suka padanya.
“Loe masih inget kejadian loe ditolong Septian dari atas pohon, pas loe mau menyelamatkan kucing yang tersangkut itu?”
“Ya, dan itu juga pertama kalinya gua suka sama dia. Lalu?”
“Sebenarnya yang bilang sama Tian soal loe itu… gua.”
Keadaan hening sejenak.
“Gua bodoh karena nggak berani nolong loe cuman gara-gara gua takut kalau gua malah nyakitin loe. Gua bodoh karena membiarkan cewek yang gua suka diselametin sama cowok lain. Gua bodoh… karena gua harus menghina loe dengan alasan… gua cemburu sama Tian.”
“Dan gua akan lebih bodoh lagi kalau gua ngelepasin loe sekarang. Padahal gua udah cari loe kemana-mana, dan gua seneng banget Tuhan mau kasih gua kesempatan untuk ada di sini sama loe. Sekarang terserah loe, mau tungguin gua 4 tahun sampai gua balik ke Indonesia untuk… untuk menyatakan perasaan gua lagi, atau loe langsung tolak gua sekarang.”
Keringat dingin mengalir melewati leher Ami lembut, tubuhnya membeku, jantungnya berdegup kencang. Anehnya, perasaan yang sekarang ia rasakan tidak seperti saat Septian menyatakan perasaan padanya. Ia merasa lebih bahagia. Bahagia? Ya, ia seperti menunggu pernyataan ini selama bertahun-tahun, dan itulah pernyataan yang paling ia inginkan. Rasa itu kembali muncul. Rasa yang sama saat sebelum ia suka pada Septian. Rasa yang sama saat ia belum mengenal Patton sebagai seorang yang selalu menghinanya. Patton banyak membantunya saat Masa Orientasi SMA, saat Patton membantunya, Ami merasa ia telah menemukan cinta pertamanya. Tapi hinaan Patton membuat Ami sadar, sepertinya itu hanya kagum pada sikap kepahlawanan Patton saat MOS. Dan sekarang ia tahu, anggapan kagum itu juga salah. Ia sebenarnya memang menganggap Patton sebagai cinta pertamanya.
“4 tahun? Apakah saat reuni nanti. Loe akan datang dan menyatakan perasaan lagi ke gua?”
Patton yang daritadi menunduk langsung mengangkat wajahnya dan menatap Ami lekat.
“Loe mau nunggu gua?”
Dengan pasti Ami mengangguk.
Refleks, Patton memeluk Ami, ia ingin mendekap gadis yang ia cintai itu seerat-eratnya. Ia tak ingin melepas gadis itu lagi. Ia tak ingin menjadi seorang pecundang lagi.
“Tunggu aku.”
***
Zahra melewati beberapa anak fakultas demi mendekatkan jaraknya dengan keberadaan Dea yang kini sedang berjalan menuju kantin.
“De, Dea!”
Dea menoleh ke sumber suara, terlihat Zahra sedang mengatur nafasnya.
“Ada apa, Kak?”
“Ada waktu nggak?”
“Ini kan bukan hari latihan, Kak.”
“Bukan untuk latihan, tapi untuk berbicara tentang… Alvin.”
---
Tangan Dea bergetar setiap mendengar kata itu, seperti siang ini. Zahra mengajaknya untuk berbicara tentang Alvin. Itulah sebabnya Dea tak bisa memegang gelas tehnya dengan benar. Zahra menangkap kegelisahan Dea sebagai tanda bahwa Dea takut memikirkan Alvin lagi. Itu sudah sepantasnya. Apalagi setelah Alvin bercerita bahawa kemenangan Kiki kemarin hanya rekayasa, dan berhubungan kuat dengan Dea.
“Aku tahu masalahmu dengan Alvin. Ia sudah menceritakan semua padaku.”
“Semua?”
“Ya, termasuk masalah pertandingan Nasional 1 tahun yang lalu.”
“Memangnya ada lagi?”
“Ada 1 lagi. Alvin sudah pindah ke Singapura sejak pertandingan itu berakhir.”
“Apa?!”
“Dia tidak memberitahumu?”
Dea menggeleng.
“Mungkin memang hanya aku dan Iel yang tahu.”
“Iel?”
“Ohiya, Iel itu adalah sahabat Alvin. Ia tinggal di Bandung. Kami bertiga memang dekat sejak SD. Boleh dibilang sahabat karib. Tapi sejak aku pindah ke Jakarta, dan Alvin pindah ke Bogor, kami tidak sering bertemu lagi. Walaupun tidak bertemu, kami selalu bercerita lewat surat dengan merpati kami masing-masing. Suatu saat Alvin mengirimiku sebuah surat, tentang bagaimana cara memperlakukan gadis dengan baik. Ia pun mengirimkan fotomu. Lalu aku memberinya nasihat. Tak kusangka gadis itu kini di depanku.”
“Aku?”
“Iya, sebenarnya aku tak boleh mengatakannya padamu. Tapi karena Alvin tak ada di sini, sebaiknya kukatakan. Sebenarnya cinta pertama Alvin adalah kamu.”
“Tapi kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku?”
“Karena Alvin terlalu takut. Ia takut jika ia akan kehilangan kamu, jika kamu tahu yang sebenarnya.”
“Terlalu sinetron, Kak.”
“Tapi itulah kenyataan, Dea.”
Dea masih diam, sesekali ia meminum seteguk es tehnya.
“Alasan rekayasa kemenangan itu ada 2. Yang pertama, ia ingin Kiki bisa menang melawannya karena mungkin itu pertandingan terakhir Kiki dengannya. Ia ingin melihat ekspresi bahagia Kiki ketika mengangkat piala itu, karena menurutnya Kiki memang benar-benar hebat. Jika saja Kiki tidak dengan sengaja memukul pelipis Alvin, mungkin Kiki yang akan menang pada pertandingan pertama mereka. Dan kau tahu? Itu juga kenapa aku bisa kalah darimu,” jelas Zahra. Lalu ia menunjuk pelipis Dea.
“Dariku? Kamu?”
“Ya, aku lawanmu di pertandingan nasional 2 tahun lalu. Kamu benar-benar tak ingat?”
“Bagaimana bisa ingat? Setelah memukul pelipisku, aku pingsan dan ingatanku terhapus sebagian, termasuk lawanku sendiri. Kamu benar-benar menyakitiku.”
“Hahahaha, maaf, ya.”
“Lalu alasan kedua?”
“Alasan kedua… karena ia ingin kamu melupakannya. Ia sangat mengenalmu, kamu bisa membenci seseorang yang menyuruh hal yang nggak kamu suka. Benar, kan?”
“Tapi kenapa aku harus membencinya? Karena dia akan pindah ke Singapura? Apakah lama?”
“Aku tak tahu berapa lama ia di sana. Mungkin sangat lama.”
“Aku… aku ingin bertemu dengannya!”
“Berdo’alah pada Allah. Aku pikir hanya Allah yang bisa memberimu kesempatan untuk bertemu dengan Alvin. Dengan segala macam cara tentunya.”
“Aku akan terus meminta kesempatan itu.”
“1 lagi rahasianya. Alvin pernah bilang padaku, setiap dia bertemu denganmu, dia akan merasa bahwa ia sudah menemukan bintangnya. Bintang yang ia cari sejak kecil. Ia percaya, jika Tuhan akan memberikan 1 bintang untuk setiap orang di dunia ini jika orang itu terus mencarinya. Sebuah bintang yang akan menyinari langkahnya menuju impiannya. Ia sudah bilang bahwa itu kau, dan aku yakin ia takkan benar-benar meninggalkanmu sebelum ia sendiri yang mengatakan itu.”
Pernyataan terakhir Zahra membuat Dea merasa, bahwa ia juga telah menemukan bintangnya.
***
Septian dan Oma Rani pun meninggalkan Bandung. Sivia hanya melambai sebagai tanda, bahwa ia akan memulai hidupnya yang baru tanpa bayang-bayang Septian. Hanya 1 yang masih menjadi bayangannya, rasa bersalahnya pada Ami karena telah membohongi Ami. Sivia berharap Septian akan segera menemukan Ami dan mengatakan semuanya. Atau ia yang akan menghadapi Ami suatu saat nanti.
Iel menyentuh punggung Sivia dengan jari telunjuknya. Sivia menoleh dan memberi tatapan_ada apa? Iel menunjukan kertas bertuliskan…

Siapa dia?

“Oh, dia sepupuku. Aku baru tahu ia sepupuku.”

Sebelumnya kamu menganggapnya apa?

“Hanya teman.”
Berbohong lagi, Sivia kini akan terus merasa bersalah jika ia terus-terusan berbohong.
“Maaf, sebenarnya bukan sekedar teman. Tapi ia orang yang spesial untukku. Aku menyukainya, dan aku tahu itu tak boleh.”

Kenapa? Apa karena ia sepupumu?

“Tentu, sesama saudara tak boleh saling menyukai. Apalagi ia sepupu dari Bundaku.”

Apakah jika aku sudah menjadi cucu angkat Oma Rina, kau juga tak boleh menyukaiku?

“Apa?”

Aku menyesal menerima permintaan Oma untuk menjadi cucunya.

“Tak ada yang perlu kau sesalkan, karena Oma hanya menganggap, tak meresmikan. Jadi aku akan tetap menyukaimu.”
Saat itu juga wajah Iel merona, senyumnya merekah. Ia berjanji akan terus menjaga Sivia.
***
Alvin baru saja turun dari pesawat, tapi ia sudah menghirup udara sedalam-dalamnya.
“Udara Indonesia…”
***
Ami dan Lintar duduk berhadapan. Tapi Ami sama sekali tak berani menatap mata Lintar. Tangan Lintar hendak mengelus pundak Ami, tapi Ami langsung menjauh.
“Ada apa, Ami? Sepertinya sejak pagi kamu agak aneh.”
“Aku… aku ingin kita berdua bilang pada Ibu dan Ayah. Kalau kita nggak setuju sama perjodohan ini.”
“Lho? Ada apa ini, Mi?”
“Aku menganggap Kakak hanya sebatas Kakak kandung. Nggak lebih.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
“Tapi apa hanya itu alasannya?”
Ami tak bisa menjawabnya, karena ia takut pernyataannya akan merusak persahabatan Patton dan Lintar. Cukup persahabatannya saja yang hancur karena seseorang.
“Apa karena Patton? Ia memintamu untuk memutuskan perjodohan ini?”
“Bukan, Kak. Kau tahu sendiri kan kalau aku selalu ribut dengannya, tidak mungkin aku percaya sama omongan dia.”
“Baik, jika ini yang kau mau. Aku akan menerimanya. Padahal aku kira, aku sudah menemukan bintangku. Bintang yang selama bertahun-tahun kuminta pada Tuhan untuk menyemangati hidupku.”
“Masih banyak, Kak. Bintang-bintang yang bisa menyemangati hidup Kakak. Aku yakin.”
“Ya, terimakasih.”
***
Rio menghampiri Dea yang sedang melamun di taman fakultas. Sebenarnya bukan melamun, tapi Dea sedang memikirkan darimana ia harus memulai untuk menemukan Alvin.
“Hayo! Melamun aja!”
“Eh! Gua kaget tahu!”
“Hehehe, sorry-sorry. Abisnya loe ilang gitu aja sih dari kelas, eh sekarang malah di sini. Melamun pula.”
“Gua nggak melamun.”
“Terus ngapain?”
“Nggak lagi ngapa-ngapin, sih.”
“Itu artinya loe melamun.”
“Ya, mungkin.”
“Loe nggak apa-apa, De?”
“Kayaknya gua emang lagi stress karena ujian deh.”
“Baru kali ini loe sebegininya ngadepin ujian.”
“Nggak terasa udah setahun kita ninggalin SMA, ya.”
“Loe mikirin temen-temen loe?”
Dea masih diam, ia seka keringat yang terus menggenang di dahinya.
“Mungkin.”
“Atau loe mikirin pelatih karate itu?”
Dea langsung menatap Rio, ia terkejut karena Rio berani mengungkit tentang Alvin.
“Apa maksud loe?”
“Gua cuman nanya, nggak boleh?”
“Loe kok jadi jutek gitu, sih?”
“De. Loe bilang loe nggak akan suka lagi sama orang yang nyuruh hal yang nggak loe suka. Tapi buktinya? Loe masih suka kan sama tu orang?”
“Entahlah, gua juga nggak yakin ini perasaan apa. Yang pasti gua nyesel karena udah salah paham sama dia.”
“Kalau loe mau ketemu dia, gua akan bantu.”
“Benarkah?!”
“Ya, itulah gunanya sahabat.”
Rio tak bersungguh-sungguh mengatakan itu, yang ia inginkan hanya menjauhkan Dea dari orang itu. Orang yang dengan mudahnya membuat Dea jatuh cinta, yang dengan mudahnya juga mengalahkan Rio hanya karena ia lebih dulu mengenal Dea.
***
Alvin masih menunggunya di bangku taman, ia menatap langit yang kini tak bisa ia lihat. Semua gelap, tapi bersinar. Karena ia terus memikirkan gadis itu. Seseorang yang bisa membuatnya terus menunggu sekian lama bahkan seumur hidupnya.
“Mungkin Tuhan akan memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu. Aku tak tahu kapan, tapi aku akan terus menunggu. Karena aku telah meminta. Mungkin kedengarannya bodoh jika hanya menunggu. Tapi aku akan tetap di sini hingga kau datang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini