Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - ENAM BELAS

Enam Belas

‘tok-tok-tok’
Ketukan halus itu membangunkan Fay dari tidur. Ia terbangun tapi tak mau bergerak. Ia terlalu takut untuk mengetahui orang yang mengetuk pintu gudang.
“Fay? Kau di sini?”
Suara itu membuat hatinya makin tak tenang. Suara Dea.
“Sepertinya Fay tak di sini, Kak.”
“Kak? Apakah aku lebih tua darimu kalau boleh tahu?”
“Oh, mungkin. Aku hanya menghormati pemilik Panti ini.”
“Tidak usah sebegitunya, De. Panggil saja aku Alvin.”
“Bisakah kita mencari anak itu di tempat lain?”
“Aku yakin Fay ada di sini. Coba bicaralah dengannya.”
Dea tak bisa berbuat apa-apa jika Alvin sudah bicara seperti itu. Ia tak pernah ragu akan keyakinan Alvin. Karena ia memercayai Alvin. Rasanya ia ingin sekali memeluk Alvin, ia sangat rindu bersama Alvin sebagai dirinya sendiri.
“Fay, keluarlah Fay. Kami menunggumu di sini, menunggu keajaiban itu datang darimu. Karena kami yakin kamu punya kelebihan dibalik kesedihanmu. Kami akan selalu menyayangimu, jadi kau jangan cemas kehabisan kasih sayang. Kakak yakin, orangtuamu tetap menyayangimu, karena mereka selalu setia berada di sisimu. Kau masih ingat cerita bintang yang diceritakan Kak Iel? Kau harus yakin bahwa kau telah menemukan bintangmu, yaitu kasih sayang dari kedua orangtuamu yang selalu abadi. Sekarang bisakah kau keluar dan membuktikan bahwa kau juga masih mencintai mereka?”
Fay terdiam, ia belum mau bergerak. Tapi entah kenapa, hatinya memaksanya untuk bergerak. Ia pun berdiri dan membuka pintu gudang. Itu membuat Dea, Rio, dan Alvin yang mencarinya sangat terkejut melihat Fay yang langsung berlari meninggalkan tempat persembunyiannya.
“Fay!!”
“Sudah, De. Sebaiknya Fay memang sendirian dulu,” saran Rio.
“Fay kemana? Dia lari?” Tanya Alvin.
“Iya, Vin. Fay lari,” jawab Rio. Tiba-tiba Rio menggenggam tangan kiri Dea sangat erat, seperti tetap tak rela gadis itu berada di samping Alvin.
***
“Dea, gua bilang apa. Anak itu sama sekali nggak niat ikut drama ini!” seru Dayat.
“Gua yakin Fay mau!”
“Kenapa sih loe bersikeras banget?!”
“Karena gua percaya sama dia! Anak itu terluka, Day, dan gua mau ngobatin lukanya.”
“Sebenarnya, De. kamu belum memberitahu kami jalan cerita drama ini, sebenarnya bagaimana?” Tanya Yuki tiba-tiba.
“Ya, loe cuma suruh kita kasih komentar dan nilai dari masing-masing anak, sebenarnya jalan cerita drama ini gimana sih? Dan kenapa loe percaya banget kalau Fay bisa terobati dengan drama ini?” tanya Agni.
“Kalau semua peran sudah terkumpul, gua akan kasih tahu kalian.”
Dea pergi dari ruang pertemuan, Dayat langsung meninju meja. Terdengar gemeretak giginya menandakan ia marah sekaligus kecewa pada keputusan Dea yang bersikeras memasukan Fay ke dalam peran utama.
“Cih, dasar egois.”
Ternyata gumaman Dayat membuat Rio naik darah, ia menghampiri Dayat dan memukul meja di samping Dayat tak kalah kencang dari Dayat.
“Maksud loe apa bilang Dea egois? Bukannya hak semua anak sama? Mendapat kesempatan untuk mengikuti audisi.”
“Ya ya ya, tapi menurut gua Dea itu salah besar! Memasukan Fay sebagai calon pemain utama? Bicara saja anak itu sulit!”
“Loe nggak percaya sama Dea?”
Dayat terdiam, baru saja kemarin mereka saling berjanji untuk percaya satu sama lain. Dayat sebenarnya tak melarang Dea memaksa Fay untuk audisi, tapi jangan peran utama. Hanya itu. Tak berapa lama Dea masuk ke ruang pertemuan, lalu ia memberi isyarat pada Dayat untuk ikut dengannya. Dayat melirik sinis Rio sejenak, lalu pergi bersama Dea.
***
Angel memeluk Ami yang kini dapat ia lihat dengan sangat nyata. Bukan bayangan seperti 4 tahun ini ia rasakan.
“Gua nggak percaya sebentar lagi kita bisa berkumpul lagi,” ucap Angel.
“Iya, Njel. Gua juga nggak nyangka!”
“Nah, sekarang gimana kalau kita cepat-cepat menuju Panti Gemintang?”
“Ayo!”
***
Dayat dan Dea bersembunyi di balik semak dekat gudang tempat Fay ditemukan. Dayat bertanya dengan raut wajah bingung, Dea hanya memberitahu Dayat untuk memerhatikan Fay. Fay berdiri tegap, ia menghirup udara sedalam-dalamnya, lalu menghembuskannya.
Perlahan, anak itu melantunkan sebuah lagu berjudul “Senandung diatas awan” yang pernah dipopulerkan oleh Albert. Dayat terdiam, sangat indah. Sangat.
“Ini yang mau loe tunjukin ke gua?”
“Sekarang adalah audisi untuk Fay, silahkan loe yang menilai.”
“Suaranya sangat indah, dan gua bisa kasih dia nilai sempurna.”
“Bukan karena suaranya saja yang bagus, tapi dia menyanyi dari hati. Fay punya impian, Dayat. Sama seperti anak-anak yang lain, tapi lukanya terlalu dalam untuk bisa bangkit. Jadi gua bersikeras untuk mencalonkan dia menjadi salah satu peran utama di drama ini.”
“Memangnya berapa peran utama di drama ini?”
“3.”
***
Dea dan Dayat kembali ke Panti, semua heran saat melihat Dayat dan Dea sudah baikan. Malah tidak sedikit yang menyangka kalau Dea dan Dayat jadian. Dan itu sepertinya tidak mungkin, karena mereka juga tahu tentang perasaan Rio pada Dea.
“Kita sudah punya 3 peran utama di drama ini.”
“Ya, gua udah mantap sama keputusan Dea, dan gua harap kalian juga terima.”
“Pemeran utama drama ini adalah, Zaneta, Lilia, dan Fay.”
“Fay? Anak itu benar-benar loe masukin jadi pemeran utama?” Heran Oik.
“Iya, Ik. Kalian dengar juga kan Dayat yang awalnya nggak setuju bisa setuju banget.”
“Loe sogok pake apaan tu si Dayat?” Celetuk Riko.
“Hahahahahaha!!” gelak tawa memecah ruang pertemuan.
Mereka terus tertawa sampai Sivia datang dengan terengah-engah. Dea langsung mendekati Sivia.
“Ada apa, Vi?”
“Di…di luar, De. Ayo ikut gua!”
***
Tubuh Dea bergetar, airmatanya tak tertahankan. Seraya tangannya mengepal sangat kencang, mulutnya terbuka dan ia pun berteriak sekeras-kerasnya.
“Ami!! Angel!! Gua kangen banget sama kalian!!”
Teriakan Dea membuat anak-anak Panti, peserta KKN, bahkan Bunda Panti ikut keluar. Dea merangkul kedua sahabatnya sekaligus dengan kedua tangannya. Ia tak kuasa mengucapkan beribu syukur pada Tuhan karena telah mengembalikan ketiga sahabatnya lagi.
“Kita juga kangen berat sama loe, De,” ucap Angel.
“Gua nggak akan sia-siain pertemuan ini,” janji Ami.
Sivia melihat Ami agak ragu, apalagi jika ingat Ami yang dulu marah padanya karena Tian. Ini semua salah paham. Setelah berpelukan dengan Dea, Ami mendekati Sivia, ia tersenyum sangat lebar. Lalu Ami menjulurkan tangan kanannya.
“Gua tahu, perpisahan kita 4 tahun yang lalu sama sekali nggak enak dikenang, dan gua juga sama sekali nggak mengenang itu. Jadi, kita buka lembaran baru persahabatan kita, ya? Dengan penuh kepercayaan dan keterbukaan.”
Sivia menatap dalam ke dalam mata Ami, beberapa detik setelah Ami mengatakan penawarannya untuk bisa menjadi sahabat Sivia lagi, airmata Sivia mengalir perlahan. Amipun memeluk Sivia, lalu menepuk punggung Sivia beberapa kali hanya untuk menenangkan Sivia.
***
“Ami!! Angel!! Gua kangen banget sama kalian!!”
Alvin kaget mendengar teriakan itu, sambil terus mencoba merasakan ketiadaan Dea. Ia tahu itu suara Dea, dan Alvin yakin anak itu sedang kedatangan tamu istimewa. Ami, Angel? Sepertinya Alvin familiar dengan nama itu. Dea yang ia tunggu juga sering bercerita tentang nama itu, atau jangan-jangan Dea yang selalu berada di sampingnya adalah Dea?
Kepala Alvin tiba-tiba pening, ia tahu pemberhentian obat rutin itu bisa berakhir fatal, tapi Alvin sudah tak tahan dengan penyakit ini. Ia ingin hidup tanpa obat, menjadi manusia normal. Walaupun ia sudah menjadi orang tak normal karena kebutaannya. Toh, masih ada yang menganggapnya normal. Dea.
“Dea, kenapa kamu tak pernah mengatakan kalau kamu Dea? Apa kamu masih marah padaku?”
“Sepertinya Dea nggak pernah marah sama loe.”
“Siapa itu? Lelaki yang tadi menemani Dea?”
“Iya, gua Rio. Nama loe Alvin, kan?”
“Iya.”
“Pertama kali gua liat loe di SMA Global, loe masih sehat bugar, kenapa 4 tahun berlalu loe berubah drastis? Loe tambah kurus.”
“Oh, loe Rio yang waktu itu mau pulang sama Dea.”
“Ya, ingetan loe bagus juga.”
“Jadi Dea yang kita bicarakan itu adalah Dea yang tadi teriak?”
“Loe bener-bener nggak bisa kenal dari suara Dea yang udah jelas cempreng itu?”
“Hahahaha, walaupun suara Dea cempreng, tapi gua selalu rindu dengan suara itu.”
“Tapi kenapa Dea nggak mau ngaku kalau dia itu Dea yang loe maksud?”
“Gua juga nggak tahu, mungkin dia emang masih kesel sama gua.”
“Kesel karena kesalahpahaman kalian?”
“Kesalahpahaman?”
“Dea udah tahu masalah loe yang nyuruh Dea untuk ngasih kelemahan loe ke Kiki.”
“De…Dea tahu?”
“Katanya sih dari sahabat loe, Zahra namanya.”
“Zahra? Akh, dasar anak itu.”
“Harusnya loe seneng dong, karena sebenarnya Dea udah nggak marah sama loe, bahkan dia berusaha cari loe di Singapure.”
“Dea berusaha nyari gua?”
“Sebaiknya loe cepet nyatain perasaan loe ke dia, sebelum gua duluan.”
“Apa? Jadi loe suka sama Dea?”
“Lebih tepatnya gua sayang sama Dea. So, kita bersaing sehat, oke?”
Alvin terdiam, ia berfikir keras. Ia ingin terus hidup mendampingi Dea, tapi sepertinya umur Alvin memang sudah tak panjang. Apalagi saat ia memutuskan untuk berhenti meminum obat yang membuatnya semakin menderita.
“Loe harus terus hidup.”
Derap langkah Rio semakin kecil terdengar, tanda Rio sudah pergi meninggalkannya.
“Gua harus tetap hidup…walaupun gua udah nggak ada di dunia ini, gua mau Dea selalu menganggap gua ada di sisinya.”
Kepala Alvin semakin pening, kesadarannya memudar. Ia mengerang kesakitan, tapi ia menahannya, untuk bisa menyatakan persaannya pada Dea sebelum ia benar-benar pergi.
***
Dea bersama Ami, Sivia, dan Angel duduk melingkar. Hari sudah larut, tapi mereka tak mau melepas kebersamaan mereka terhalang oleh waktu lagi. Ami menghembuskan nafas lega, ia memang benar-benar lega melihat ketiga sahabatnya lagi.
“Tema kita hari ini, pelajaran dan pengalaman yang kita dapet selama kita berpisah,” ucap Dea seraya mengambil botol dari belakang punggungnya.
“Botol yang sama,” ucap Angel.
“Botol yang mengubah jalan hidup kita, percaya bahwa kejujuran selalu membawa keberanian,” ucap Sivia seraya melirik Ami yang terus tersenyum lembut.
“Baik, kita mulai?”
“Ya!”
Dea memutar botol itu, dan setelah 3 menit berputar, botol tanpa tutup itu menunjuk Angel menjadi orang pertama.
“Ok, Angel silahkan ceritakan hal menarik termasuk pelajaran yang loe dapet selama 4 tahun ini.”
“Makasih, Dea.”
Angel menggeser posisinya agak ke depan. Ia pandangin 3 wajah yang sangat ia rindukan itu, dan memulai ceritanya.
“Selama 4 tahun ini, gua belajar bagaimana menjadi gadis yang berani. Menjadi gadis seperti Bunda, selalu berusaha menjadi yang terbaik. Gua masih inget banget kejadian Kiki bikin malu gua di kampus dengan puisinya, dan gua langsung marah-marah ke dia, itu pertama kalinya gua berani melawan Kiki, sampai dia jatuh hati sama gua. Dan kami jadian deh.”
“Loe jadian sama Kiki?” kaget Ami.
Angel hanya mengangguk malu.
“Cieeeee!!!” seru Dea, Ami, dan Sivia bersamaan. Mereka pun tertawa bersama.
“Udah selesai, Njel?” tanya Dea.
“Gua rasa cukup.”
Angel memutar botol, dan Ami menjadi giliran kedua.
“4 tahun ini gua belajar tentang bagaimana untuk tidak melampiaskan luka masa lalu pada orang lain yang selalu berbuat baik pada kita. Walaupun awalnya gua masih sakit hati sama Tian, tapi lama kelamaan gua mikir, untuk apa sakit hati terus menerus jika ada orang yang bisa memerhatikan kita lebih baik? Akhirnya gua mau nerima cowok sabar itu, namanya Lintar. Tapi perasaan gua ke Patton nggak pernah berubah, walaupun gua sama dia selalu berantem semasa SMA, tapi gua sekarang bisa menyayangi dan menunggu dia pulang dari Jepang. Jadi gua memilih Patton.”
“Patton? Sama Ami? Keajaiban!!” Seru Angel.
“Ja…jadi loe sekarang nggak ada perasaan sama Tian, Mi?” Tanya Dea.
“Nggak ada, sekarang gua cuman anggap Tian sebagai teman baik gua.” Dan kontan jawaban Ami membuat Sivia tak tenang. Tian masih menyayangi Ami, tapi sekarang Ami lebih memilih Patton.
“Sudah, Mi?”
“Udah, De.”
Ami memutar botol tersebut, dan giliran ketiga adalah Sivia.
Dengan ragu, Sivia menatap Ami. Ia menggeleng sejenak, dan ia mengubah keraguannya menjadi keberanian. Ia harus berkata apa adanya tentang Tian.
“Saat gua putus asa tanpa kalian, dan Ayah gua melarang gua melukis terlalu sering. Iel datang, dengan penuh keceriaan dan semangat yang mampu menyihir gua menjadi seorang gadis yang lebih mandiri. Gua pernah bilang sama Dea, kalau gua mau bikin Iel bahagia dengan mendatangkan kalian ke Panti ini untuk teman-teman Panti. Dan sekarang gua melihat Iel lebih banyak tersenyum, dan itu membuat gua semakin semangat untuk membuatnya tersenyum. Dengan berkenalan dengan Iel, gua bisa melihat kehidupan ini lebih berarti. Lalu selanjutnya…karena kekurangan gua adalah selalu merahasiakan hal yang gua nggak bisa tanggung rahasia itu jika gua mengungkapkannya, jadi sekarang gua mau jujur sama loe, Mi. sebenarnya alasan Tian menjauhi gua, karena dia tahu kalau gua ini saudara dia. Tian nggak bisa suka lagi sama gua, tapi dia juga terlalu takut untuk bilang ke gua. Dan dia juga bilang, kalau dia masih sayang sama loe. Makanya gua nggak tenang saat loe bilang, loe memilih Patton.”
“Biarkan semua mengalir dengan sendirinya, Vi. Gua udah nggak bisa menerima Tian, dan gua yakin Tian akan mengerti.”
“Begitukah, Mi?”
“Kita harus percaya Allah bisa memberikan jalan terbaiknya.”
Sivia mengangguk pasti.
“Udah selesai, Vi?” Tanya Dea.
“Udah, De. Gua udah lega, lega banget.”
“Berarti yang terakhir gua?”
Ketiga sahabat Dea hanya tersenyum seraya memandangi Dea sangat lekat.
“Pelajaran yang gua dapet, adalah selalu percaya sama seseorang, walaupun orang itu berusaha untuk menutupi kelemahannya dengan kebohongan. Suatu hari gua menemukan kebenaran bahwa kebohongan itu demi gua, dan setelah gua bertemu orang yang berbohong sama gua, dia masih berbohong tentang kelemahan. Akhirnya gua juga harus berbohong demi mendapatkan kejujuran darinya. Padahal sekarang gua pengen banget bisa dekat dengannya tanpa ada kebohongan. Tapi…nggak mudah.”
Airmata Dea perlahan turun. Ami, Angel, dan Sivia langsung tahu siapa orang yang dimaksud Dea.
“Hah?! Udah jam berapa ini?!”
“Jam 11.50, De.”
Dea berdiri dan langsung berlari keluar, menuju taman belakang Panti. Di sana Alvin masih menunggu Dea yang sebenarnya. Padahal sudah lewat jam tunggunya. Dea seka airmatanya lalu berjalan perlahan menghampiri Alvin.
Dea duduk di samping Alvin dan terus memandangi wajah itu.
“Umurku semakin berkurang, apakah aku masih bisa mendengar tawa itu? Melihat senyum itu?”
Dea tertegun mendengar pernyataan Alvin, tangisnya langsung memecah.
“Dea…kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu adalah Dea yang kutunggu selama ini?”
Dea masih menangis dalam diam, bahkan ia tak berani menatap Alvin.
“Kamu menangis?”
“Dea nggak pernah bisa ngerti apa yang Kakak maksud, bahkan sekarang Dea berani membohongi kakak.”
“Mungkin jika kamu tidak berbohong, aku takkan pernah bisa mengatakan bahwa kamu adalah cinta pertamaku yang selalu abadi.”
Tangan Alvin menerka keberadaan Dea.
“Maafkan aku, karena aku harus berbohong waktu itu, aku ingin kau membenciku karena mungkin itulah cara agar kau tak pernah mau memikirkanku. Walaupun aku harus pergi.”
“Walaupun kakak membohongiku berkali-kali, perasaan itu nggak akan pernah hilang. Walaupun kakak harus pergi, Dea akan terus menyayangi kakak.”
“Tentang penglihatanku, aku ingin jujur padamu. Sebenarnya kebutaan ini diakibatkan oleh kanker mata yang kumiliki sejak kecil. Bahkan sekarang, karena aku menghentikan pemakaian obat, mataku mungkin akan semakin parah. Tapi aku tak memerdulikan itu, karena aku punya bintang yang akan terus menyinari impianku. Bintang yang selama ini kurindukan. Kamu.”
“Apa kakak tak mau menemaniku lagi? Jadi kakak menghentikan pemakaian obat?”
“Justru, aku ingin terus di sisimu. Walaupun suatu saat nanti ragaku tak bisa di sampingmu, aku harap kau akan terus mengingatku.”
Dea tak bisa mengatakan sepatah katapun, hanya tangis yang bisa mewakili perasaannya saat ini.
“Bolehkah aku mengecup keningmu?” tanya Alvin.
Dea terdiam, ia melihat wajah Alvin sangat pucat.
“Ya.” Hanya jawaban singkat yang bisa Dea katakan.
Alvin menyentuhkan telapak tangan kanannya di pipi Dea, lalu tangan kirinya mengelus rambut Dea. Kecupan itu ia berikan tepat di kening Dea, lalu perlahan ia berkata.
“Akhirnya aku bisa melihat senyummu lagi, dan juga aku akan terus menyayangimu selamanya, Bintangku.”
Seketika setelah mengatakan hal itu, tubuh Alvin terjatuh dan bersandar tepat di punggung Dea. Airmata Dea terjatuh makin deras.
“A…aku juga akan menyayangimu selamanya, walaupun suatu saat nanti ada lelaki yang bisa menyayangi seperti kamu menyayangiku, aku takkan merubah perasaanku padamu.”
Dea tersenyum lembut. Tepat jam 00.00 Alvin menyatakan perasaannya, dan itu sangat berarti untuk Dea.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini