Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - TIGA BELAS

Tiga Belas

HARI ini tepat 3 tahun setelah Dea tahu kebenaran tentang Alvin. Walau ada 1 rahasia yang belum terungkap, kenapa Alvin ingin Dea membencinya. Tapi saat tahu Alvin juga menyukainya, Dea berharap ia bisa menemukan Alvin dan meminta maaf padanya. Selama 3 tahun ini ia terus mencari Alvin, semua koneksinya dengan teman-teman di Singapura pun ternyata tak cukup. Rio juga membantunya, dengan alasan pribadi ingin menyelesaikan urusannya dengan Alvin secara jantan.
“Udah selesai packing buat sebulan, De?”
“Udah kok, Ki. Loe?”
“Udah juga. Rio dan Kevin udah belum, ya?”
“Kurang tahu deh, coba aja tanya langsung ke mereka. Gua mau ke aula utama dulu ngurus anak-anak.”
Dea berjalan agak cepat ke aula utama, siang ini mau tak mau mereka harus segera berangkat ke Bandung untuk melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) bagi fakultas Psikologi dan MIPA.
Saat Dea masuk ke aula, sekitar 11 remaja tengah sibuk mengatur tas mereka masing-masing. Dea melempar senyumnya lalu menyapa kesebelas remaja itu.
“Selamat pagi, teman-teman.”
“Selamat pagi, De!”
“Udah siap belum, semuanya?”
“Siap lah, De,” jawab Riko.
“Semuanya berjumlah 15 orang, kan?” Oik bertanya.
“Iya, kita tunggu 3 orang lagi. Baru berangkat,” jelas Dea.
Kevin berlari dari pintu aula, lalu berbisik pada Dea.
“De, mobilnya udah siap.”
“Oh, yasudah. Ehem, teman-teman, bagi yang sudah siap dimohon memasukan tasnya masing-masing ke dalam bagasi mobil. 1 jam lagi kita berangkat.”
Dea memerhatikan kawan-kawannya keluar dari aula, lalu ia mengambil ponselnya dari saku belakang celananya. Ia cari nama itu di kontaknya, Sivia.
***
_flashback_

Beberapa bulan yang lalu, Dea tengah sibuk mencari tempat untuk KKN tahun ini. Tapi tiba-tiba ia bertemu dengan Sivia di restoran saat ia sedang istirahat.
“Sivia?”
“Dea?”
Keduanya yang sedang membawa baki makanan pun terdiam tanpa membiarkan kaki mereka bergerak sekedar untuk melangkah. Tak begitu lama memang, Dea langsung menyadarkan Sivia untuk segera mencari tempat duduk.
“Udah lama banget, ya?” Dea tertawa kecil, lalu membuka bungkus nasi kepalnya. Asap panas menyeruak hingga embunnya memenuhi kacamata Dea.
“Iya, udah hampir 4 tahun kita melewati semuanya sendiri.”
“Nggak sendiri, Via. Loe pasti punya sahabat selain gua, Ami, dan Angel.”
“Ya, ada 1 orang. Tapi sekarang jadi banyak.”
“Syukurlah.”
“Dan loe?”
“Loe inget Rio, kan? Dia satu fakultas sama gua.”
“Wow, kayaknya dia udah tergila-gila sama loe.”
“Dih, apa coba.”
“Ngomong-ngomong kenapa loe di Bandung?”
“Gua lagi survey buat tempat KKN.”
“Jadi loe KKNnya tahun ini?”
“Iyoi, loe kapan?”
“Udah dong!”
Keduanya tertawa bersama, tertawa yang sangat lega karena inilah tawa yang sudah mereka nantikan sekian lama.
“Gua… kangen banget sama loe, De.”
Dea terdiam, lalu senyumnya mengembang tipis.
“Gua juga, nggak disangka kita bertemu sebelum genap 5 tahun.”
“Apalah artinya janji, gua udah kangen berat sama kalian bertiga. Gua bisa gila kalau nunggu lebih lama lagi.”
Dea tak berkomentar, karena mungkin jika ia bicara, suaranya akan bergetar menahan tangis. Ia juga sangat rindu pada Sivia, Ami, dan Angel.
“Ngomong-ngomong, loe lagi cari tempat KKN kan, De?”
“Iya.”
“Gimana kalau di panti asuhan Gemintang? Panti asuhan itu cocok banget sama jurusan loe.”
“Ohya?”
“Iya, gua yakin banget.”
“Oke, akan gua pikirin lagi. Makasih banget, ya.”
***
“Tuan, apakah masih ada yang perlu saya bantu?”
“Nggak usah, Bi. Saya udah sering bilang, jangan ganggu saya saat malam hari.”
“Jika saya boleh tahu, sebenarnya apa yang Tuan lakukan setiap malam?”
“Saya sedang menatap bintang.”
“Bintang?”
“Bibi takkan mengerti, karena hanya saya yang bisa melihat bintang itu.”
***
Sivia duduk di antara teman-teman kecilnya, dan seperti biasa, ada Iel di sampingnya. Sivia mengatakan kedatangan Dea dan kawan-kawannya beberapa jam lagi.
“Teman-teman Kak Via itu akan menghibur kalian, mereka akan bermain bersama kalian.”
“Apakah mereka tidak keberatan menjaga anak-anak cacat seperti kita?”
“Tentu tidak, Ocha.”
“Kak Via selalu baik pada kita, kami yakin teman-teman Kak Via juga baik seperti Kak Via,” ucap Iyan.
“Ya, itu sudah pasti,” dukung Iel.
“Jadi, sekarang kita harus memersiapkan semuanya! Ayo!”
***
5 jam berlalu…
Dea dan kawan-kawan sudah sampai di Bandung. Dea kembali menghubungi Sivia, tapi belum sempat Dea menekan tombol hijau tanda panggil di ponselnya, terlihat Sivia berlari ke arahnya.
“Maaf ya, De, gua telat!”
“Nggak telat-telat banget kok, Vi.”
“Kenalannya nanti aja, ya. Kita langsung berangkat aja ke Panti Asuhan,” saran Rio yang wajahnya sudah kusut karena lelah.
“Oke, gua akan jadi pemandu sementara.”
“Loe kira kita mau wisata, hah?”
“Hahaha, ayolah.”
Sivia mengantar Dea dan kawan-kawannya ke Panti Asuhan Gemintang. Di dalam mobil Sivia menceritakan bagaimana guru di sana mengajar anak-anaknya agar mereka bisa patuh pada orang baru. Termasuk cerita tentang bagian anak normal dan anak cacat yang di bedakan.
“Untuk apa membedakan mereka?” Yuki bertanya.
“Alasan sebenarnya agar tidak merusak batin antar 2 bagian itu.”
“Bukannya itu malah merusak? Kita harus berusaha untuk menyatukan 2 bagian itu!” Seru Kevin seakan mendukung pertanyaan Yuki.
“Mungkin ini tugas kalian untuk membantu teman-teman Panti itu.”
Mendengar ucapan Sivia, semua langsung saling pandang. Suatu tugas besar ada di tangan mereka, sekarang saatnya mereka kerahkan ilmu eksakta dan kejiwaan.
***
Ami menatap Toganya, pakaian wisuda yang akan ia kenakan beberapa minggu lagi. Semakin dekat wisuda, itu artinya waktu semakin banyak berlalu. Dan juga reuni Angkatannya makin dekat.
“Tinggal 1 tahun lagi…,” gumamnya.
Helaan nafas Ami makin panjang, ia buka laci meja belajarnya, lalu dikeluarkannya sebuah album foto. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat kenangannya dengan Dea, Angel, dan Sivia. Apalagi Sivia, ia ingin cepat-cepat bertemu Sivia. Permintamaafan itu ingin segera ia ungkapkan, menembus hati Sivia paling dalam agar berbekaslah kasih sayang Ami.
“Aku sudah tak sabar menunggu reuni itu.”
***
Angel melingkari tanggal di kalendernya, 15 Oktober 2015. Bersamaan dengan itu, senyumnya merekah lebar. Ia juga sadar, 1 tahun lagi ia akan bertemu dengan sahabat-sahabat terbaiknya lagi. Kotak cinta yang berpisah karena kesalahpahaman. Dan akan bersatu karena kerinduan.
“Kenapa aku merasa, bahwa 1 tahun lagi akan terjadi besok? Aku sangat tidak sabar.”
***
Sivia, Dea, dan teman-teman kuliah Dea tiba di gerbang Panti Asuhan Gemintang. Udara dingin Bandung membasuh kesadaran Dea yang terkantuk.
“De, dalam sebulan kita akan tinggal di sini,” bisik Yuki. Dea hanya mengangguk.
Tak berapa lama, seorang lelaki membuka gerbang Panti. Lalu lelaki itu berlari menuju kerumunan peserta KKN. Ia menulis sesuatu di sebuah papan.

Selamat datang di Panti Asuhan Gemintang

Dea termasuk kawan-kawannya terdiam, Sivia hanya tersenyum lembut. Dan sebagian besar peserta KKN memahami Iel, ia seorang tuna wicara.
“Jadi ini nyata?” tanya Oik.
“Tentu, Ik.”
“Ada 15 anak, loe harus bagi 2 golongan. Sesuai dengan bagian Panti ini. Dan gua harap, gua bisa masuk ke golongan anak normal,” ucap Aya, salah satu peserta dari jurusan MIPA.
“Maksud loe apa sih, Ay?”
“Gua nggak mau ngurus anak-anak cacat itu, dan gua yakin yang cacat lebih banyak, karena mana ada orangtua yang mau mengadopsi mereka?”
“Tapi tugas kita emang ngurus bagian anak cacat, Ay. Mereka tetap 1 walau terpisah.”
“Benar kata Dea, loe nggak boleh egois gitu deh, Ay,” bela Rio.
“Loe berdua sama aja, sekarang gini aja deh. Siapa yang mau ikut gua ngurus anak normal aja?”
Beberapa detik tak ada tanggapan, tapi 6 orang akhirnya maju. Mereka Tio, Rega, Jean, Fanny, dan Mega. Sisanya, Dea, Rio, Oik, Kevin, Yuki, Agni, Dayat dan Riko.
“Ya, 7 lawan 8. Tak apa,” ucap Aya penuh kemenangan karena ternyata masih ada orang yang ada di pihaknya.
“Kalian ini kenapa sih? Jean, Rega. Kalian ini anak psikolog, kenapa nggak bisa ngerti perasaan anak-anak kayak mereka?”
“Sekali-sekali nggak paham boleh, nggak?”
“Kalian egois!”
“Kenapa loe nggak pernah bilang tentang hal ini? Loe ketua yang menjerumuskan tahu, nggak!?”
“Menjerumuskan? Membantu anak-anak itu kau bilang menjerumuskan?”
“Menurut kami, iya.”
“Lakukan apa yang kalian mau, gua sama teman-teman gua akan buktikan, membantu mereka itu tidak menjerumuskan.”
Dea hendak masuk tanpa menghiraukan teman-temannya, tapi dengan gerakan cepat Kevin menghalau langkah Dea.
“Ini nggak sehat, De. Kita ini 1 tim, kenapa harus berpisah?”
“Ini mau mereka, Kev. Gua nggak bisa ngalangin orang-orang yang seharusnya bisa berfikir dewasa!”
“Jadi loe mau biarin mereka?”
Dea terdiam, lalu melirik ke arah 7 anak yang berlainan tujuan dengannya.
“Kalau kalian mau pisah, gua biarin. Tapi kalau kalian ingin gabung lagi ngebantuin kita, gua buka kesempatan itu. Kapanpun kalian mau. Untuk sekarang, kita pisah 2 bagian.”
Dea menatap Sivia yang wajahnya pucat pasi, seperti khawatir.
“Maafin gua, ya. Kami semua minta maaf,” ucap Dea sambil menepuk pundak Sivia.
“Maafin gua juga udah ngajak kalian ke tempat ini.”
Dea menggeleng tanda tak apa. Mereka pun masuk ke Panti, tepatnya ke tempat penginapannya dulu. Berkenalan dengan para Bunda Panti ini lalu merapihkan pakaian.
“Kita akan berkenalan dengan anak-anak besok saja. Perkenalan untuk bagian anak normal akan dibimbing oleh Bunda Junia, sedangkan untuk anak luar biasa oleh Bunda Nina,” jelas Dea.
“Anak luar biasa? Sebutan yang menarik,” komentar Riko.
“Terimakasih. Mereka memang anak-anak yang luar biasa, dari keahlian juga kejiwaan. Mereka hanya perlu kasih sayang.”
“Oke, sekarang waktunya istirahat. Kamar cowok sebelah kiri, kamar cewek sebelah kanan. Walaupun kamarnya nggak terlalu besar, tapi kita harus menghargai para Bunda yang rela tidur di kamar Panti yang kosong demi kita,” orasi singkat Dea.
Sivia mengenggam tangan Dea, ia ingin bicara berdua dengan Dea, dan Dea mengerti. Setelah peserta KKN masuk ke kamar, Dea mengikuti Sivia ke taman depan Panti. Mereka berdua duduk di bangku taman, di bawah langit malam yang hitam kelam, di antara perasaan rindu yang terus berputar menyelimuti mereka.
Mata Sivia berkaca-kaca, ia tak percaya sahabat yang sangat ia rindukan kini berada di hadapannya. Ia tak kuasa langsung memeluk Dea, sangat erat karena ia merindukannya.
“Gua… gua benar-benar nggak percaya. Sekarang, malam ini loe ada di sini.”
Dea tak bisa bicara, untuk masalah seperti ini bisa dibilang Dea yang paling lelah perasaannya, walau ia terus berusaha kuat, tapi rasa lelah itu juga terus membayangi pikirannya. Ia lelah berpisah dengan ketiga sahabatnya, ia lelah harus menunggu begitu lama untuk bertemu ketiganya. Ditambah ia lelah mencari seseorang yang ia cintai, seseorang yang akan selalu menjadi bintang paling terang bagi Dea.
“Loe belum kasih tahu gua alasan, kenapa loe mau gua bantuin anak-anak itu.”
“Loe lihat cowok yang membuka gerbang tadi? Namanya Iel. Ia sudah berada di sini selama lebih dari 20 tahun. Walaupun ia anak tertua di Panti ini, tapi ia selalu berusaha tegar mendidik adik-adiknya. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya akan pandangan sebelah mata orang-orang itu. Orang-orang yang menganggap anak-anak tidak normal sebagai pengganggu. Ia selalu terlihat kuat agar ada 1 orang saja yang ingin mengadopsinya, tapi entah kenapa itu begitu sulit. Saat umurnya 15 tahun dan adik-adiknya berdatangan, ia berpikir untuk tidak meninggalkan adik-adiknya, ia sudah tak peduli pada pandangan itu. Kini ia hanya berusaha mendapatkan orangtua untuk adik-adiknya. Usahanya membuahkan hasil, beberapa anak luar biasa itu setiap tahun bisa mendapatkan orangtua. Walau hanya 1 orang dalam setahun, ia sudah sangat senang. Tapi tidak untuk gua, De. Menurut gua, orang-orang itu buta. Mereka hanya melihat kesempurnaan, padahal anak-anak luar biasa itu punya kesempurnaan yang lebih dibalik kekurangan mereka,
“Pertama kali gua ketemu sama Iel, Iel ngasih gua 1 lagu untuk dinyanyikan. Judulnya “Bintang”. Lagu yang sederhana, menyenangkan, tapi bermakna. Itulah yang gua tangkap dari sosok Iel. Ia sederhana, menyenangkan, tapi bermakna. Maka dari itu gua ingin ngebantu dia, karena ia bermakna untuk semua orang. Jadi gua pengen, sekali aja… gua bisa bermakna buat dia.”
“Akan gua bantu semampu gua, dan kemampuan gua akan gua kerahkan semaksimal mungkin.”
***
Hari masih menunjukan pukul 8 malam. Dea juga belum mengantuk, ia pun berjalan-jalan mengelilingi Panti. Ia ingin beradaptasi dengan lingkungan Panti yang akan menjadi rumahnya selama 1 bulan. Setelah lama berkeliling, tempat terakhir yang ia kunjungi adalah taman belakang. Ia duduk di bangku taman dan mendongak.
“Tak ada bintang…”
Ia pandang sekelilingnya, beberapa menit ia terdiam di sana. Merasakan aroma taman bunga yang ada di sekitarnya. Matanya pun terpejam, rupanya ia sudah mengantuk. Tapi tiba-tiba saja ia terbangun, karena ia merasakan rambutnya dielus. Tubuhnya bergetar, matanya mulai panas.
“Sentuhan ini?”
Kepalanya memutar ke arah orang yang mengelus rambutnya. Ia benar-benar terkejut melihat orang itu ada di sampingnya. Alvin?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini