Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - SEBELAS

Sebelas

ENAM bulan berlalu…
“Ya, tak cukup buruk untuk pemula sepertimu.”
“Terimakasih, Kak. Kalau boleh tahu, kita latihan setiap jam berapa, Kak?”
“Dea, kamu masih pemula untuk belajar bidang ini. Tak usah terburu-buru.”
“Uhm, baiklah. Mungkin aku memang bersemangat, tak ada kegiatan lain habisnya.”
“Ohya? Sewaktu SMA dulu kegiatanmu selain belajar apa?”
“Hanya bermain bersama teman-temanku, dan… berlatih karate.”
“Karate? Kamu bisa karate?”
“Bisa. Ups, sudah jam 4. Aku harus pulang, Kak.”
“Yasudah, latihan akan diadakan seminggu sekali, tepat di aula utama setiap hari sabtu jam 10 pagi. Kami adalah klub yang tepat waktu, ingat itu.”
“Okelah, duluan ya Kak Zahra!”
“Sudah kubilang, panggil aku Rara!”
“Oke!” seru Dea seraya berlari keluar dari aula. Rara hanya tersenyum melihat Dea yang kini sudah menghilang dari pintu aula.
“Dea itu, punya kemampuan. Tapi kenapa Dea baru ikut klub seni di tingkat ini?”
Seraya mengangkat kedua bahunya, “Ia punya alasan yang kuat untuk itu. Dan sebaiknya aku tak mencampuri urusannya. Ya, sebaiknya tak usah.” Rara menata buku-bukunya lalu memasukannya ke tas, kepalanya yang tertunduk pun terangkat, tanda ia ingat sesuatu.
“Dea itu anak SMP Global! Kenapa aku bisa lupa! Dea itu gadis yang disukai Alvin! Ah, dasar pelupa! Sabtu nanti aku harus bicara banyak padanya.”
***
Sangat jarang, bahkan nyaris tak pernah 2 orang ini jalan bersama. Di dalam fakultas, lagi. Beberapa mata mencuri pandang dengan keduanya, Ami sebenarnya risih dengan kejadian ini, tapi ia mencoba tenang. Alasan Ami mau berjalan berdampingan dengan Lintar adalah, karena Lintar berjanji jika mereka bisa terlihat akur di fakultas, Lintar takkan bertanya tentang masalah pribadinya. 1 minggu yang lalu mereka memang bertengkar hebat, sebenarnya seperti biasa, hanya Ami yang marah. Hal itu terjadi karena Lintar terus bertanya tentang masa SMA Ami. Ingin sekali Ami mencekik leher Lintar kala itu, tapi ia juga punya akal, tak mungkin ia menyakiti lelaki yang sudah berbaik hati selalu mengajarinya pelajaran-pelajaran kuliah. Pantas saja Lintar menjadi mahasiswa terbaik di angkatannya, IPnya saja 3,80 3 tahun berturut-turut. Belum ada yang bisa menandingi nilai itu.
“Sepertinya semua melihat kita, Mi.”
“Ya… biarin aja. Kamu nggak suka?”
“Malah aku yang mau tanya kamu, apa masa SMA kamu sangat rahasia ya? Sampai kamu rela jalan berdampingan denganku.”
“Sangat rahasia.”
Maksud Lintar menanyakan masa SMA Ami hanya untuk tahu siapa sebenarnya Septian. Kalau ia tahu, ia akan memberi pelajaran pada Septian. Memberi pelajaran? Untuk apa?
“Ini udah sampai kelas kamu, aku duluan ya.”
“Ya, pergilah dariku.”
Lintar hanya tertawa kecil melihat tingkah Ami, walaupun Ami tak suka padanya tapi ia akan berusaha menjadi seseorang yang berarti dalam hidup Ami. Ia berjanji.
“Ohiya, Mi. Sore ini aku ingin mengenalkan seseorang padamu, dia temanku saat aku di Jakarta dulu. Ia benar-benar asyik kok orangnya, mau ya?”
“Nggak janji, ya…”
“Yah, ayolah, Mi. Anggap aja sebagai balas budi kamu karena kemarin tugas kamu dapat nilai A karena bantuanku.”
“Ini yang nggak aku suka kalau minta bantuan kamu. Oke, tunggu aku di gerbang kampus jam 3 sore, uhm… pokoknya nanti kuhubungi lagi.”
“Siap, Bos!”
***
Rio menunggu Dea keluar dari aula, ia menunggunya dengan sabar karena hari ini ia akan meminta Dea untuk mengajari tentang kejiwaan anak yang mengalami kelainan sejak lahir. Dea memang sudah mempelajari materi sejak ia masuk kuliah. Menurutnya, seseorang tidak bisa dilihat sebelah mata hanya karena ia tak seperti manusia normal pada umumnya. Dea merasa mereka bahkan lebih sempurna dari orang normal. Masih ingat dengan Hellen Keller? Seorang penderita penyakit misterius yang menyebabkannya harus buta dan tuli, tapi ia juga seorang dosen, penulis, juga aktivis politik ternama di Amerika. Dea tak pernah lupa kutipan wanita itu “Hadapilah masalah hidup dirimu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan biarkan dirimu di kuasainya. Biarkanlah dirimu menyadari adanya pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna.” Benar-benar bermakna, wanita itu bisa karena ada yang membimbingnya, Dea ingin suatu saat nanti ia bisa jadi psikolog sekaligus guru yang dapat membantu orang lain layaknya Anne Sullivan, guru Helen.
Langkah Dea akhirnya terdengar oleh Rio, Rio berdiri dan menyambut Dea dengan senyuman. Gadis itu mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah buku setelah Alqur’an ia angkat sekuat tenaga.
“Ini, kita akan memperlajari buku ini.”
“Hah? Nggak salah, De?”
“Loe mau dapet A+ nggak buat ujian psikolog semester 2 ini?”
“Mau deh mau.”
“Gua nggak nyangka tema ujian dengan proporsi nilai tertinggi bakal ngambil tema ini, gua seneng banget.”
“He’eh.”
“Jadi kita mau belajar dimana?”
“Perpus udah tutup, ya?”
“Seinget gua sih udah, ini kan hari sabtu.”
“Hum, kita ke taman aja yuk? Kuliahan juga nggak terlalu rame kalau sore begini.”
“Oke.”
“Sini gua bawain.”
Tanpa ba-bi-bu Rio mengambil buku tebal itu dari Dea, cukup berat hingga membuat Rio hampir terjatuh karena keberatan.
“Loe yakin kita bisa pelajarin semua dari sini dalam waktu 1 minggu?”
“Sebenernya bab yang penting udah gua rangkum di buku lain.”
“Yah… bilang dong! Mending pakai rangkuman loe aja, De.”
“Hehehe, iya-iya.”
“Dasar jahil.”
Dea masih saja terkekeh, sedangkan Rio sudah meletakan buku itu di bangku.
“Lho? Kok ditaro situ?”
“Katanya pakai buku loe.”
“Rio tulalit!!”
***
Angel sudah bilang pada Kiki untuk tidak membuat puisi bertemakan dirinya, tapi Kiki terus mengirimi Angel puisi buatannya. Sepertinya kemarahan Angel beberapa bulan yang lalu berpengaruh besar pada sikap Kiki pada Angel. Kiki bisa dibilang… jadi tergila-gila pada Angel, kok bisa? Ini karena usaha Angel merubah dirinya agar Kiki tak lagi mengerjainya. Pernah suatu waktu Kiki kembali mengerjai Angel (dengan mencampurkan bubuk cabe di minuman Angel), dan dewi fortuna (lambang keberuntungan) sepertinya sedang bersama Angel, minuman yang diberikan oleh Kiki langsung diminum temannya sendiri yang kepedasan. Dengan santai Angel berkata pada Kiki,”Jika kau terus begini padaku, sepertinya kau takkan punya teman.” Walaupun Angel hanya sekali mengatakannya, tapi Kiki percaya itu, buktinya sejak Angel marah-marah padanya di aula, beberapa anak menjauhi Kiki sampai akhirnya Kiki meminta maaf pada Angel dan semuanya kembali normal. Kejadian kedua itu makin memperkuat Kiki untuk tidak lagi mengganggu Angel.
“Hoi, apa loe nggak ada kerjaan lain selain ngebuntutin gua, apa?”
“Gua kan cuman mau cari inspirasi, Njel.”
“Ish, kalau mau inspirasi kenapa harus deket-deket gua sih?”
“Kan loe tahu, sebagian besar puisi gua temanya loe.”
“Cari tema lain, kenapa!”
“Yaampun, pelit banget, Njel. Gaby sama Zeze aja nggak keberatan gua gabung sama loe pada.”
“Tapi gua risih, Kiki.”
“Masa’ sama cowoknya sendiri risih?”
“Oiya, gua lupa kita udah jadian.”
“Yah. Cape deh, padahal udah 3 bulan jadiannya.”
“Iya, sorry-sorry. Tapi besok gua mau ke Jakarta.”
“Mau ngapain, Njel? Gua ikut, ya?”
“Nggak usah, gua sama Ayah gua, kok.”
“Iya nggak apa-apa, biar gua bisa lebih deket sama Ayah.”
“Heh, loe panggil Ayah gua apa?”
“Ayah.”
“Kiki!!”
***
Hari ini hujan terus mengguyur Bandung sejak pagi tadi, Sivia hanya memandangi pemandangan luar dari balkon kamarnya, sebenarnya alasan Sivia memilih kamar di lantai 2 adalah untuk merasakan indahnya pemandangan alam, dari atas akan terlihat lebih indah. Sesekali ia bersenandung, tapi ia terlihat cemas. Jika merpati itu datang, apa yang akan ia jawab pada Iel? Tapi bagaimana merpati itu datang? Hujan semakin deras saja, dan jam sudah menujukan pukul 4 sore, waktu dimana merpati itu harusnya datang. Sivia tahu bahwa Iel tak mungkin datang ke tempat biasa mereka bersama. Tapi berharap apa salahnya?
Setengah jam kemudian Sivia mulai putus asa menunggu, telat artinya Iel tak datang. Atau lebih buruk lagi jika Iel menunggu hujan reda di tempat itu untuk menerbangkan merpati kesayangannya. “Arghh!” Geram Sivia.
Sivia pun menyerah dan masuk ke kamarnya, tapi baru saja ia memegang buku pelajaran jendela kamarnya berbunyi. Seperti bunyi ketukan yang diakibatkan benda keras.
“Iel!!”
Sivia girang saat melihat Iel berada di depan gerbang rumahnya, Iel melambai pada Sivia dan Sivia membalasnya. Tak lama Angel, merpati Iel menghampiri Sivia dengan sebuah surat tentunya. Sivia menangkap merpati itu sambil sesekali ia belai. Lalu baru ia ambil suratnya.

Ayo kita bermain hujan-hujanan! Aku yakin kau tak pernah berhujan-hujanan kan?

Lidah Sivia keluar sedikit seperti mengejek, tanpa membalas, Sivia segera turun menemui Iel. Untung saja Ayah Sivia sedang tak ada, jadi Sivia bisa bebas keluar saat hujan.
“Ayo! Aku memang tidak pernah hujan-hujanan!”
Iel langsung menggapai tangan Sivia dan menarik Sivia untuk berlari menembus terpaan air, Sivia memejamkan matanya saat berlari, karena ia yakin Iel akan terus menjaganya. Ia merasakan air itu sudah membasahi sekujur tubuhnya, dingin, tapi menyenangkan. Ia terus berlari sampai Iel berhenti. Mereka ada di tempat biasa mereka bertemu, di dekat pohon apel milik seorang nenek tua yang kesepian. Nenek itu tak keberatan dengan kedatangan Sivia dan Iel, ia malah senang jika makin banyak orang yang bermain di pohon itu. Di dekat pohon itu sudah di dirikan sebuah gubuk kecil agar Sivia dan Iel makin nyaman bermain di sini. Iel sendiri yang membuatnya semalaman saat beberapa minggu lalu ia tak bisa datang karena banyak ujian.
Saat mereka tiba di gubuk, ternyata nenek tua yang mereka panggil Oma Rina itu sudah menunggu keduanya. Ia sedang duduk sambil membaca buku dongeng yang entah sudah berapa tahun ia baca. Ia bilang ia tak bosan membacanya.
“Oma, kami datang lagi.”
“Kalian lama sekali datangnya, sebentar ya Oma bawakan makanan kesukaan kalian.”
“Oma, kami ingin di sini untuk menemani Oma sampai malam, kami… kami pasti akan merindukan Oma…”
Gabriel dengan cepat menulis,

Ya, apalagi dengan apel-apel Oma.

“Da…darimana kalian tahu kalau besok Oma akan pindah?”
“Semua orang di desa ini tahu, Ma.”
“Terimakasih banyak sudah menemani Oma selama 6 bulan ini. Oma sangat senang.”
Sivia dan Gabriel langsung memeluk Oma Rina. Besok cucu Oma Rina akan menjemput Oma agar tinggal bersamanya.
“Oma akan memberikan pohon apel ini untuk kalian, kalian harus menjaganya.”
“Dengan senang hati, Oma.”
“Kalau tidak keberatan, apakah kalian bersedia tetap menganggap Oma menjadi Oma kalian, sampai kapanpun.”
“Bolehkah?”
Sivia melirik Iel, seperti dugaannya, Iel terdiam mendengar hal itu. Ia melangkah mundur, tapi Sivia berhasil menahannya dengan ia menggenggam tangan Iel. Sangat dingin, bukan karena hujan, tapi karena keterjutan itu.
“Iya, tapi Oma hanya bisa membiayai sekolah kalian, Oma tidak bisa mengajak kalian ke rumah anak Oma. Mereka takkan setuju.”
“Jangan biayai sekolahku, Oma. Ayahku akan marah bila tahu, tapi Iel dan teman-temannya mungkin membutuhkan itu.”
“Baiklah, Oma akan menjadi donatur tetap di Panti Asuhanmu, Iel. Kamu tidak keberatan, kan?”
Iel tak bisa menulis, tubuhnya bergetar, ia sangat gugup. Tapi dengan cepat Sivia mengambil bukunya yang basah, lalu menulis,

Iel akan menjadi cucu Oma yang paling baik. Terimakasih, Oma.

Iel langsung menatap Sivia–apa maksudmu? Dan Sivia membalas dengan tatapan–apa salahnya?
Oma mengelus rambut Iel yang basah. Elusan seorang Ibu yang diinginkan Iel, Iel pun tak kuasa langsung memeluk Oma Rina. Iel memang sudah kuliah, di sekolah umum malah. Maka dari itu Sivia yakin keputusan ini baik untuk Iel. Sebenarnya Iel punya cita-cita menjadi penulis lagu, tapi ia bingung bagaimana menyampaikan isi lagu itu pada orang lain. Dan sejak ia bertemu Sivia, ia bisa melakukan segalanya layaknya anak normal.
Gabriel menulis sesuatu untuk Sivia,

Kata terimakasih itu juga kupersembahkan untukmu. Sebuah bintang yang kuimpikan, sebuah bintang yang dikirim Tuhan dari Surga untukku. Terimakasih, Via.

Sivia hanya tersenyum lembut.
***
Dea menjelaskan semua yang sudah ia pelajari pada Rio, Rio juga mencatat poin penting yang Dea ajarkan. Sudah 1 jam mereka belajar, dan Dea akan segera menutupnya.
“Jadi intinya kita nggak boleh membedakan antara anak normal dan anak yang punya kelainan, atau kata lain yang tepat kita nggak boleh memandang rendah anak-anak itu, karena aku yakin Allah punya rahasia sendiri untuk mereka.”
“Iya, makasih ya, De, buat pelajaran hari ini. Dan sebagai tanda terimakasih gua, gua mau ajak loe makan.”
“Benarkah? Traktir nggak?”
“Traktir dong!”
“Let’s go!!”
---
Rio dan Dea tiba di kafe dekat indekos mereka, sederhana tapi menyejukan. Kafe ini bernuansa putih seperti warna kesukaan Dea. Dan itu juga sebabnya Rio sering mengajak Dea kesini. Dea dan Rio sama-sama memesan bakso dan jus apel.
“De, loe bener-bener nggak hubungan lagi sama 3 sahabat loe itu?”
“Belum, bukannya nggak.”
“Oh, kalau sama cowok itu?”
“Cowok siapa?”
“Itu lho, yang dulu pernah gantiin Pak Haru selama seminggu.”
Dea tak menggubris pertanyaan Rio, dan Rio sadar akan kegelisahan Dea. Mereka pun melanjutkan makan dalam diam.
“De, Dea.”
“Hem?”
“Loe mau nambah?”
“Nggak, makasih.”
“Loe marah?”
“Nggak.”
“Kalau loe nggak marah, loe mau nggak temenin gua ke taman dimana kita lihat bintang dulu?”
“Uhm…”
“Mumpung besok hari minggu, De.”
“Gua juga mau sekalian balik ke rumah, mau minta doa restu.”
“Buat apa?”
“Kelancaran ujian gua.”
“Wah, sama deh kalau begitu.”
“Sekalian mau ke SMA Global, yuk?”
“Emang malem buka?”
“Inget Pak Gino, kan?”
“Iya. Malam ini, ya?”
“He’eh. Sama Yuki dan Kevin boleh?”
“Mereka kan bukan orang Bogor, De.”
“Yuki nginep di rumah gua, Kevin di rumah loe. Gimana?”
“Boleh deh.”
Sebenarnya masih ada 1 lagi alasan, kenapa Dea takut menyukai Rio. Ia takut, hal yang terjadi padanya dan Alvin terulang. Jadi untuk saat ini sepertinya Dea belum bisa membuka hatinya pada siapapun.
***
Tepat jam 3, dan sesuai permintaan Ami, ia menunggu gadis itu di gerbang. Tak berapa lama Ami muncul. Setelah Say good bye pada kawannya, Ami menghampiri Lintar.
“Ketemuan dimana?”
“Di taman ria.”
“Aku lagi nggak semangat ke taman ria, Kak.”
“Ayolah, Mi. Daripada malam minggu nggak melakukan apapun.”
“Yaudah deh. Tapi kenapa sih teman kamu pengen ke taman ria?”
“Katanya dia udah lama nggak liburan bareng temen-temennya, biasa orang sibuk.”
“Orang sibuk?”
“Iya, dia belajar mati-matian deh buat dapet beasiswa itu.”
“Beasiswa kemana?”
“Jepang.”
“Waw, keren!”
“Bahkan kamu nggak pernah bilang keren ke aku, padahal aku kan asisten dosen, di UGM, lagi.”
“Hahahaha.”
“Baru sekarang aku denger kamu ketawa.”
Ami terdiam, getaran itu datang lagi. Sudah beberapa bulan terakhir Ami merasa ada yang aneh di dirinya, ia jadi lebih sering berdandan jika Lintar akan menemuinya. Jantungnya juga berdegup kencang ketika Lintar ada di dekatnya. Tapi Ami menolak perasaan itu, ia tak mau terlalu gampang menyukai orang seperti dulu.
“Mi? Kamu bengong?”
“Eh, nggak kok.”
“Yaudah, ayo naik.”
---
Setibanya di taman ria, Lintar dengan sigapnya menggenggam pergelangan tangan Ami. Dan anehnya Ami tak menepis itu. Mereka masuk ke taman ria, dan Lintar melepas genggamannya. Ia mengambil ponsel, mungkin mau menghubungi temannya. Ami menatap sekeliling, tapi tiba-tiba matanya langsung membesar. Karena ia melihat seseorang yang ia kenal. Mimik wajahnya berubah menjadi orang heran, kesal? Tercampur begitu saja.
“Oh, kau di sana to!” seru Lintar. Dengan cepat Ami mengalihkan pandangannya ke Lintar dan dengan cepat pula beralih kembali.
“Hai… hah? Loe?”
“Kenapa loe bisa di sini?”
“Loe juga, kenapa loe bisa sama temen gua?”
“Jadi kalian udah kenal, ya?”
“Udah!” seru keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini