Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - SEPULUH

Sepuluh


Angel…
Kenapa penampilanmu begitu kuno?
Kenapa prilaku seaneh penampilanmu?
Kenapa kau begitu lemah tanpa sahabat-sahabatmu?
Jawab aku dengan lantang.
Angel…

By Kiki_Egetan

Angel tak kuasa menahan amarahnya pagi itu, walaupun Gaby dan Zeze sudah menahannya, tapi Angel tetap berlari ke aula tempat Kiki biasa berlatih karate. Benar saja, di aula, anak-anak karate sedang berlatih untuk pertandingan Jabodetabek minggu depan.
Angel mempercepat langkahnya menuju Kiki, ia dengan penuh amarah menarik baju Kiki dari belakang dan mendorongnya. Angel tak pernah semarah ini.
“Udah gua bilang, nggak usah bikin puisi dengan nama gua!”
“Loe udah baca to? Gimana pendapat loe?”
“Loe itu mahluk paling buruk yang pernah gua kenal!”
“Kok nggak jawab pertanyaan gua? Oiya, bales dong puisi gua. Jawab dengan lantang.”
Gemeretak gigi Angel sedikit terdengar, wajahnya merah padam sampai mungkin bisa memasak telur diatasnya. Angel melangkah mundur hanya beberapa langkah, lalu menatap Kiki nanar.
“Kenapa penampilan gua kuno? Karena gua mau memunculkan Bunda gua yang udah nggak ada di depan Ayah gua!
“Kenapa prilaku seaneh penampilan gua? Karena gua nggak bisa ngelepasin bayangan Bunda gua dari hidup gua! Dia inspirasi gua! Untuk meyakinkan Ayah bahwa Bunda selalu ada untuknya, gua berprilaku seperti Bunda!
“Kenapa gua lemah tanpa sahabat-sahabat gua? Karena mereka jiwa gua! Gua lemah tanpa kehadiran mereka! Tapi gua berusaha kuat ngelawan loe! Mahluk paling buruk yang pernah gua kenal!”
Kiki terdiam mendengar jawaban itu, ia bungkam tak bisa membalas kemarahan Angel. Ia tak menyangka Angel akan semarah itu.
“Satu lagi, Ki. Jangan pernah loe bawa sahabat-sahabat gua dalam masalah kita!”
Angel berbalik lalu meninggalkan Kiki yang masih tertegun. Beberapa teman Kiki menyadarkan Kiki dari keterkejutannya.
“Loe nggak apa-apa, Ki?”
“Oh, nggak apa-apa, Ko.”
“Cewek itu bener-bener marah.”
“Ya, baru kali ini gua ngeliat dia semarah itu.”
***
_flashback_

“Gua kira loe nolongin gua, tulus.”
“Gua tulus kok, tapi karena duit gua ketinggalan, jadi boleh dong nebeng? Lagian kita kan sekompleks.”
“Sekompleks? Gua baru tahu kita sekompleks.”
“Apa sih yang loe tahu.”
“Hih.”
Dea langsung mengalihkan pandangan keluar, dan kesempatan itu digunakan Alvin untuk memandangi Dea.
“Kenapa loe harus buktiin ke gua sih kalau loe bisa lari 75 keliling?”
Perlahan ia memutar pandangan ke arah Alvin.
“Karena loe yang minta.”
“Jadi kalau orang lain yang minta, loe nggak akan nunjukin itu?”
“Nggak tahu deh.”
“Loe suka sama gua ya?”
Jantung Dea kembali berdegup kencang, ia tak menyangka Alvin bisa menanyakan hal seterbuka itu. Dea terdiam.
“Gu… gua…”
“Hahahahaha! Kena deh loe! Mana mungkin juga loe suka sama gua! Dasar-dasar.”
“Iya juga sih, gua nggak mungkin suka sama loe.”
Dea mengalihkan pandangan lagi, jantungnya masih berdegup kencang. Padahal ia sudah bilang tak suka pada Alvin, tapi sepertinya itu hanya ungkapan mulutnya, bukan hatinya.
***
Dea keluar dari indekosnya, ketika ia melihat Kevin yang menjemput Yuki seperti biasa Dea hanya tersenyum.
“Jadi gua akan selalu dicuekin kalau kalian lagi berduaan?”
“Ya nggaklah, De. kamu kan ada Rio.”
“Rio? Oiya, mana dia?”
“Gua lupa, De. Hari ini Rio nggak bisa kuliah, katanya dia mau balik ke Bogor. Ada urusan mendadak.”
“Kok dia nggak bilang gua?”
“Nggak tahu juga.”
Apa karena gua bohong ke dia kemarin, dan dia tahu? Batin Dea.
“De, kamu mau naik motor sama kita?”
“Wah, nggak deh makasih, Ki. Lagian loe kan pakai rok, nggak enak kalau motornya sempit.”
“Kamu nggak apa-apa berangkat sendiri?”
“Nggak papa kok.”
“Yaudah, kita duluan, ya.”
Selepas mereka pergi, Dea bergumam.
“Lagian kan kuliah-an deket, ngapain naik motor?”
Baru saja Dea melangkah, ponsel Dea bergetar tanda ada sms masuk.

De, maaf ya gua nggak sempet ngasih tahu loe tentang keberangkatan gua pagi ini, mendadak banget soalnya. Nenek gua masuk rumah sakit, doain ya supaya cepet sembuh.

Dea menghela nafas lega, ternyata Rio tidak marah padanya.
Iya, nggak apa-apa. Semoga nenek loe cepet sembuh. ^_^ . salam dari gua, ya.

Tak berapa lama Rio membalas lagi.

Makasih. Oiya, kemarin loe nggak kemana-mana kan? Kok loe bohong sih?

Dea tak lagi lega sekarang, ia harus memberikan alasan apa?

Uhm, maaf ya, Yo. Gua nggak maksud bohong sama loe kok. Tapi… ada beberapa hal yang nggak bisa gua bilang ke loe.

Benar, tidak semuanya bisa ia ungkapkan pada Rio.

Oke, no problem. Tapi loe masih nganggep gua sahabat kan?

Dea tersenyum lembut, lalu membalas.

Pasti, dan selamanya akan begini.

Rio tak bisa tersenyum lagi, setelah Dea membalas akan menganggapnya sahabat untuk selamanya. Ia merasa tak mungkin punya kesempatan mendapatkan hati gadis itu. Sebenarnya dulu Dea pernah suka pada Rio, tapi perasaan itu jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Dea pada Alvin. Sangat berbeda.
***
Rio meletakan ponselnya di meja belajarnya, pagi ini ia ingin sedikit berbohong pada Dea. Sekali ini saja, kebohongan yang mungkin akan mengantarkannya pada kebenaran. Ia berbohong bahwa ia pergi ke Bogor, ia juga bohong kalau ia tahu bahwa Dea tidak kemana-mana kemarin sore. Dan ia menemukan kebenaran itu. Dea membohonginya kemarin, tapi kenapa?
Rio langsung sadar, ini pasti ada hubungannya dengan sikap Rio yang tiba-tiba lari menghampiri Dea lalu mengajaknya jalan. Ya, pasti ada hubungannya, pikir Rio. Lelaki itu hanya bisa berspekulasi tanpa mempunyai bukti kuat.
“Maafkan gua, De. Yang nggak bisa sebaik orang itu.”
***
_flashback_

Sejak Dea pingsan, Alvin berfikir bahwa ia harus menjaga Dea bagaimanapun caranya. Ia tak mau melihat gadis itu sakit lagi. Apalagi karena dirinya. Cara Alvin menjaga Dea yang terkadang salah membuat Dea justru menyukainya. Seperti siang ini.
“2 minggu lagi… loe pergi ya, Kak.”
“Nggak sepenuhnya pergi.”
“Loe mau masuk SMA mana?”
“Kenapa? Loe mau ngikutin gua?”
“Ih, mulai lagi.”
“Hehe, iya-iya. Gua sih pengennya masuk SMA Global.”
“Global lagi?”
“Iya, soalnya Global itu menyenangkan sih.”
“Loe pasti masuk situ?”
“Mudah-mudahan, kalau loe mau masuk mana?”
“Gua belum tahu mau masuk mana.”
“Loe gimana sih, De! Loe harus punya rencana! Hidup harus penuh planning!”
Dea terdiam melihat Alvin yang membentaknya, ia tahu ini adalah cara Alvin menasihatinya. Tapi kali ini Dea benar-benar kesal.
“Biasa aja kali.”
“Ups, sorry, De. gua nggak maksud bentak loe kok, loe kan tahu gua kayak gimana.”
Sekali lagi, Alvin mengelus rambut Dea. ‘Untung gua udah keramas, jadi nggak malu-maluin amat,’ gumam Dea dalam hati.
“Ya ya ya, nggak apa-apa. Tapi menurut loe gua harus masuk mana ya?”
“Gua saranin sih loe masuk SMA Global aja, De. bagus kok di sana. Yakin deh sama gua.”
“Oke, gua usahain.”
“Tapi abis wisuda, apa kita bisa ketemu lagi, ya?”
“Bisa, di pertandingan karate misalnya? Loe pasti ikutan, kan?”
“Pasti.”
“Oiya, kalau nggak ada loe sama anak-anak kelas 3, nanti di klub karate pasti sepi.”
“Kan ada loe sama anak-anak.”
“Beda kali, Kak.”
“Sama kok, gua yakin sama aja. Bahkan gua yakin loe bisa lebih baik dari gua.”
“Yakin banget sih loe.”
“Karena gua percaya sama loe, De.”
Sejenak mereka terdiam, Dea tersenyum lembut walau hatinya tak tersenyum. Ia ingin menangis, tapi tak mungkin karena itu akan menyakiti Alvin. Ia tak tahu kapan lagi akan bertemu dengan Alvin setelah ini. Bagaimana jika mereka berdua tidak 1 sekolah lagi? Benar. Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua itu.
“De, loe mau nangis?”
“Dih, kenapa harus nangis?”
“Karena gua sama angkatan gua harus ninggalin sekolah ini.”
“Gua emang sedih, tapi gua nggak akan nangis.”
“Kenapa? Gua nggak pernah liat loe nangis lagi sejak loe pingsan, loe bisa nangis sekarang.”
“Nggak.”
“Kenapa, De?”
“Karena gua tetep pengen kuat di depan loe, gua nggak mau cengeng lagi kayak dulu.”
“Bagus, tetep kayak gini, ya.”
Dea tersenyum penuh kemenangan. Entah kenapa.
“Gua punya hadiah perpisahan, De.”
“Apa tu?”
“Tutup mata, deh.”
Dea menutup matanya, jantungnya berdegup kencang lagi. Ia merasakan Alvin mengangkat tangannya, lalu mendaratkannya tepat di dada Alvin.
“Buka.”
Dea bingung, dan Alvin hanya tersenyum.
“Apa maksudnya?”
“Hadiah buat loe adalah permintaan gua.”
Alvin tersenyum lebih lembut, dan tangan kiri yang tidak memegangi tangan Dea mengelus rambut Dea.
“Gua minta loe jangan lupain gua, walaupun suatu saat nanti gua harus pergi. Tapi gua minta, loe harus simpen gua di hati loe.”
Dea terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia sangat ingin menangis, ia menahannya dengan memgigit bibirnya.
“Seperti gua yang akan menyimpan loe di hati gua,” Alvin terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Loe bisa rasain detak jantung gua? Ini yang selalu gua rasain setiap loe di samping gua. Pertama kali loe masuk klub, sampai sekarang.”
“Gua masih nggak ngerti.”
“Gua… gua udah nganggep loe sebagai sahabat terbaik di hidup gua, gua nggak mau kehilangan loe, De.”
“Baik, gua nggak akan ngelupain loe. Apapun yang terjadi.”
***
Lihat ke langit luas, dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan, merangkai mimpi dengan khayalku, selalu bermimpi dengan hariku
Pernah kau lihat bintang, bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka, coba temani dekati aku
S’lalu terangi gelap malamku
Dan rasakan semua bintang, memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang

Lihat ke langit luas, dan semua musim terus berganti
Tetap bermain awan, merangkai mimpi dengan khayalku, selalu bermimpi dengan hariku
Pernah kau lihat bintang, bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka, coba temani dekati aku
S’lalu terangi gelap malamku
Dan rasakan semua bintang, memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua, hanya kita dan bintang yang terindah
Meski terlupa akan selalu terangi dunia
Mereka-reka, hanya aku dan bintang

Sivia bernyanyi lagu “aku dan bintang” untuk Iel, lagi, di tempat yang sama. Dan lagi, Iel bertepuk tangan sekencang ia bisa, Iel mengagumi suara Sivia. Selama 3 hari ini mereka bersama, Sivia dapat sedikit melupakan kesedihannya tentang peralatan lukis yang dibuang Ayahnya.
“Sebenarnya aku mau tanya ini sejak awal kita bertemu, tapi aku takut menyinggung perasaanmu.”
Gabriel menggeleng dan menulis…

Tanyakanlah apa saja, aku takkan marah.

Dengan ragu, Sivia pun bertanya. “Sebenarnya kau berasal darimana? Maksudku, dimana tempat tinggalmu?”
Gabriel masih tersenyum mendengar pertanyaan Sivia.

Aku tinggal di Panti Asuhan Gemintang, kau tahu, Panti Asuhan yang berada beberapa blok dari sini? Ya, di situlah aku tinggal.

“Apakah anak-anak di sana tak mennyenangkan, jadi setiap sore kau selalu ke sini?”

Bukannya tidak menyenangkan, tapi terkadang aku jenuh di sana. 3 bulan yang lalu aku menemukan tempat ini, dan bertepatan dengan itu kau juga sering ke sini untuk melukis. Jadinya aku terbiasa sampai sekarang.

“Karena aku?”

Tidak juga, tapi sebagian karena kamu sih.

“Apa… tidak ada orang tua yang mengadopsimu?”

Para orangtua itu jarang memandang bagian anak-anak cacat, jikala mereka harus memilih, mereka lebih memilih anak normal paling badung daripada kita yang jelas-jelas penurut. Aku tak tahu alasan mereka mengesampingkan kami.

“Maaf jika aku menyinggung perasaanmu.”

Tidak kok, tidak sama sekali. Aku malah senang ada yang peduli padaku. Apalagi dia itu gadis cantik dan pandai bernyanyi sepertimu.

“Kau sebenarnya mengingatkanku pada 3 sahabatku.”

Ohya? Kau hanya punya 3 sahabat?

“Sebenarnya banyak, kau juga sahabatku. Tapi mereka bertiga memang segalanya untukku. Mereka tahu apa yang kurasa, aku pun bisa tahu apa yang mereka rasa. Yang pasti aku rindu mereka.”

Kenapa tak kau hubungi saja mereka?

“Tidak bisa, kami berjanji akan bertemu 5 tahun lagi, dan selama itu… aku harus hidup sendiri dulu.”

Jadi kau anggap apa aku? Sendiri?

“Oh, bukan itu maksudku! Maksudku, aku merasa sendiri karena mereka tak ada. Aku tetap senang kalau kau di sampingku.”

Terimakasih ya, sudah mau menemani seorang tuna wicara sepertiku.

“Sama-sama, terimakasih juga karena kau mau menemani gadis cengeng dan manja sepertiku.”

Kau tidak cengeng dan manja, kau kuat dan mandiri.

“Kau juga bukan seorang tuna wicara, buktinya kita selalu mengobrol setiap sore. Aku tak pernah menganggapmu tuna wicara, Iel.”

Terimakasih, oiya. Ngomong-ngomong Angel bilang padaku, bahwa hari ini kau cantik sekali dengan jepitan itu.

“Angel atau kau yang bilang begitu?”
Gabriel hanya terkekeh mendengar pertanyaan itu, kalau saja langit sore ini masih biru, pastilah warna semu merah di pipi Gabriel bisa terlihat.
***
Sore ini, sepulang kuliah rencananya Lintar ingin mengajak Ami ke taman ria yang baru dibuka. Ami sudah lama mengutarakan keinginannya untuk bermain di sana, tapi tak ada yang mau menemani Ami. Sibuk, alasan standar orang dewasa. Dan yang pasti, Ami takkan mengajak Lintar. Jadi Lintar-lah yang harus mengajak Ami. Lagipula momennya tepat, hari ini adalah hari terakhir Ujian Tengah Semester dan pastinya Ami ingin sekali jalan-jalan.
Lintar menunggu Ami muncul dari balik gerbang fakultas, dan setelah menunggu selama 15 menit barulah Ami muncul. Masih dengan tatapan ketus Ami bertanya,
“Ada apa menungguku?”
“Kamu mau ke taman ria bersamaku?”
Ami terdiam, ia melihat temannya yang tadi bersamanya sudah kabur entah kemana. Ami memang sangat ingin pergi ke taman ria, tapi bersama orang ini? Sepertinya bukan ide yang buruk juga.
“Oke, tapi jangan berfikir macam-macam, ya!”
“Macam-macam apanya?”
“Ah, lupakan saja. Ayo berangkat.”
“Hei, hari ini aku bawa motor, kita naik motor, yuk?”
“Sepertinya kau niat sekali mengajakku ke taman ria.”
“Memang.”
Lintar berlalu sebentar untuk mengambil motornya, sedangkan Ami hanya menggigit bibirnya karena gugup. “Ia benar-benar niat mengajakku ke taman ria?”
***
Kiki mengulurkan tangannya di hadapan Angel, semudah itukah Kiki meminta maaf pada Angel. Mungkin ia berfikir ia memang keterlaluan.
“Sorry ya soal puisi tadi,” ucapnya penuh aroganisasi.
“Masih bisa ketemu gua rupanya.”
“Sorry, dimaafin nggak?”
Angel melihat tangan Kiki menggantung di udara, demi permintaan maaf ia rela berlama seperti itu. Angel juga sebenarnya bukan gadis pendendam, walaupun ia sudah berkata bahwa Kiki adalah “Mahluk paling buruk yang ia kenal.” Tapi itu hanya angin lalu baginya.
“Iya deh.”
“Eh, yang ikhlas dong.”
“Iya-iya, gua maafin.”
“Thank’s.”
“Ya, sama-sama.”
“Lain kali, gua akan bikinin puisi yang lebih bagus dan menantang dibanding yang tadi, hahahahaha!!” Setelah berkata, Kiki langsung kabur meninggalkan Angel yang berfikir sebentar.
“Kiki!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini