Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - SEMBILAN

Sembilan

LANGKAH kaki Ami terdengar nyaring di lorong fakultas. Membuat lorong sepi itu mengeluarkan bunyi gema yang cukup kencang. Sebenarnya jika langkah itu biasa saja, suaranya tak terlalu kencang, tapi ini karena langkahnya cukup cepat dan menunjukan kemarahannya. Dibelakang Ami, seorang lelaki mengejarnya, Lintar.
“Ami, tolong berhenti! Saya ingin menjelaskan semuanya!”
Tapi Ami terus berjalan, lebih cepat nyaris berlari. Semakin Ami mempercepat langkahnya, Lintar juga mempercepat langkahnya. Tangan Ami mengepal, urat-urat di lehernya muncul tanda ia benar-benar marah.
Setelah melewati gerbang fakultas, Ami berhenti begitu juga Lintar.
“Saya hanya ingin mengajak Anda keluar fakultas, agar Anda tidak mempermalukan saya di sana.”
“Tolong dengarkan penjelasan saya, saya tidak bermaksud untuk mengajar lagi. Tapi Ayah sedang sakit, ia terlihat sangat lemah. Saya tidak tega membiarkannya mengajar.”
“Saya tahu itu, tapi kenapa pengajaran Anda hari ini lebih membosankan, Ya? Apa karena Anda selalu menatap saya? Menunjuk saya jika Anda mengajukan pertanyaan, dan mencoba menenangkan teman-teman saya jika saya berbuat kesalahan? Anda ingin cari muka?”
“Saya hanya mengajar sebagai seorang asisten dosen, tidak ada yang salah dengan pengajaran saya hari ini.”
“Anda bisa bilang kalau itu tidak salah, tapi menurut saya, semua yang Anda lakukan salah!”
Lintar menatap Ami yang menatapnya nanar, gadis itu sangat marah.
“Ma… maafkan saya, berikan saya kesempatan untuk menebus semua yang salah di mata kamu tentang saya.”
“Anda mau tahu, kenapa saya tak pernah suka Anda?”
“Katakan, jika itu bisa membayar semuanya.”
***
Angel mengalihkan pandangannya dari lapangan basket ke arah dimana kawan-kawannya datang. Ia langsung berdiri dari kursi penonton lalu berlari menghampiri Gaby dan Zeze.
“Pagi,” sapa Angel berusaha mengalihkan pembicaraan yang tidak ia inginkan.
“Pagi, Njel. Tumben pagi-pagi udah di dekat lapangan?”
“Ze, jangan mulai deh,” ucap Angel.
“Jangan-jangan loe emang suka sama Kiki, Njel,” tebak Gaby.
“Kalian berdua ini, kayak tahu aja isi hati orang lain.”
“Kita emang tahu, apalagi pas Kiki ketahuan bikin puisi tentang loe.”
“Tentang gua?”
Zeze dan Gaby saling bertatap, baru kali ini kedua kawan Angel itu kompak.
“Iya, seperti yang di mading itu. Puisi buatan Kiki yang berjudul ‘Angel’.”
“So sweet banget…,” goda Zeze.
Angel langsung berlari menuju mading, tapi tak ada puisi berjudul Angel. Ia menatap kedua kawannya geram.
“Kalian ngerjain gua?”
“Tu kan, loe beneran suka kan sama Kiki?”
“Ya siapa yang nggak kaget kalau ada orang yang bikin puisi pakai nama orang lain?”
“Masuk akal,” setuju Gaby.
“Ish, loe gimana sih, Gab. Bales dong, nggak kompak banget.”
“Uhm, loe tahu nggak ekspresi muka loe pas kita bilang Kiki buat puisi pakai nama loe?”
“Emang gimana?”
Gaby memberikan tatapan pada Zeze–kau yang lanjutkan.
“Wajah loe itu bersemu merah, kayak orang seneng banget.”
“Masa’? Gua nggak ngerasa seneng.”
“Tapi kelihatan Angel,” tegas Gaby.
“Bohongan aja seneng, apalagi kalau beneran ya…,” ledek Zeze.
Kedua kawan Angel tertawa sepuasnya, sampai seseorang menghentikan tawa mereka.
“Gimana kalau beneran?”
***
Sepertinya permintaan Ayah Sivia tempo lalu menunjukan kebenarannya. Sivia sangat kaget saat melihat ruang lukisnya kosong, yang tersisa hanya beberapa lukisan pemandangan yang menurut Sivia kurang berkesan.
“Kemana Ayah keluarkan semua peralatan lukisku?!”
“Ke tempat yang kau tidak bisa menjangkaunya.”
“Ayah, tolong kembalikan semuanya. Aku tidak bisa hidup tanpa melukis.”
“Kau bisa hidup tanpa semua lukisan itu, mereka hanya khayalanmu, Via!”
“Ayah bahkan tak tahu, apa arti khayalan itu untukku.”
Bibir Sivia bergetar, ia hampir menangis.
“Kalau kau masih begini, sebaiknya kau pulang ke Bogor, tinggal bersama Tante Wanda.”
“Apa Ayah membuangku?”
“Tolong mengerti keadaan Ayah, Sivia.”
“Bagaimana keadaan Ayah?”
“Ayah tak bisa melihatmu terus melukis, karena jika kau seperti itu, akan mengingatkan Ayah pada Bundamu.”
“Lalu kenapa jika Ayah ingat Bunda? Ayah ingin menikah lagi? Jadi ingin cepat-cepat melupakan Bunda?”
Air mata Sivia mengalir begitu saja, ia tak kuat jikala mendengar pernyataan Ayahnya yang menakutkan.
“Ayah tak bisa mengatakannya sekarang, tapi cobalah hidup tanpa melukis.”
“Katakan sekarang, Ayah! Berikan aku kejelasan! Agar aku tak berharap seumur hidupku.”
“Suatu saat nanti, jika kau sudah melupakan lukisan sebagai prioritas hidupmu.”
***
_flashback_

Keesokan harinya…
“Nona Dea mau sekolah hari ini?”
“Iya, Mbok. Nggak betah di kamar terus.”
“Sekolah di sekolah umum itu berbeda banget ya, Non, dari sekolah keputrian.”
“Iya, lebih menyenangkan.”
“Apalagi kalau punya cowok seganteng yang kemarin gendong Non, ya.”
“Ih, panggilin Pak Aji dong, Mbok, nanti aku telat.”
---
Saat Dea berjalan, semua mata seakan tertuju padanya. Ia sampai berfikir apakah kejadian kemarin benar-benar heboh? Ia tahu sih, kalau Alvin itu cukup mengagumkan dan tak heran jika banyak gadis iri pada Dea yang digendong Alvin.
“Pagi, Dea!”
“Pagi, Gita.”
“Gimana keadaan loe?”
“Baik, kok.”
“Baguslah, berarti hari ini bisa dong full sekolahnya?”
“Ya biasanya kalau sehat pasti gua bisa full sekolah.”
“Bukan itu, hari ini kan ada pemilihan ketua osis.”
“Pemilihan ketua osis?”
“Iya.”
***
Bibir Ami bergetar, tanda ia sedang menahan tangis. Ia terus menggigit bibir untuk menahan perasaannya.
“Karena Anda selalu datang di kala yang tidak tepat. Saya membenci materi tentang alam, dan Anda mengajar Kimia Lingkungan. Ditambah, kenapa Ayah saya ingin menjodohkan Anda dengan saya? Saya punya jalan hidup sendiri!”
“Asalakan kamu tahu, saya juga tidak tahu kenapa Ayah kita ingin menjodohkan kita. Kalau disuruh memilih, saya juga tidak mau dijodohkan jika orang yang akan dijodohkan dengan saya nantinya membenci saya.”
“Bisakah Anda membicarakan ini dengan Ayah saya dan Ayah Anda?”
“Nanti malam, mari kita bicarakan.”
“Bagus.”
“Tapi… kenapa kamu tidak ingin dijodohkan dengan saya?”
“Karena kau bukan satu-satunya lelaki di dunia ini yang bisa kucintai.”
***
Dea membalik halaman buku ke halaman berikutnya, ia sedang menekuni buku tentang kejiwaan seorang anak dengan segala kelainan sejak bayi. Tapi ketekunannya terhenti saat Rio dengan berisiknya memanggil “Dea Dea!!”
“Loe nggak bisa santai aja, apa?”
“Sorry ya sorry, hehehehe.”
“Ada apa?”
“Hari ini… maksud gua, sore ini loe ada acara nggak?”
“Kayaknya ada.”
“Yah.”
“Emang mau ngapain? Gua bisa cancel semua kegiatan gua kalau loe mau.”
“Benarkah? Loe mau batalin kegiatan loe buat gua?”
“Apa sih yang nggak buat sahabat gua?”
Senyum yang tadi merekah hilang.
“Loe kenapa, Yo? Kok tiba-tiba murung?”
“Nggak apa-apa, masalah sore nanti… nggak jadi deh.”
“Lho? Kenapa?”
“Tenang aja, nggak ngaruh buat hidup loe kok.”
Sambil kembali tersenyum Rio memaksakan mengatakan keputusan itu. Menurutnya, ia tidak lebih baik dari orang itu.
***
_flashback_

“Kayaknya gua nggak bisa dateng ke acara itu deh, Git.”
“Kenapa emangnya, De? Loe ada acara sore ini?”
“Bukan gitu, tapi gua ngerasa nggak enak badan.”
Sore ini Dea memang tak enak badan, sepertinya ini karena ia tak makan sejak malam. Bubur ayam yang dibawakan oleh Mama Dea ternyata sudah tak bisa dimakan. “Bagaimana Mama bisa tak tahu?” gumamnya dalam hati.
“Muka loe pucat, De.”
Dea memegang pipinya, lebih hangat dari biasanya. Sepertinya ia benar-benar sakit.
“Gua anterin ke rumah yuk, De.”
“Nggak usah, Git. Bentar lagi juga Pak Aji datang.”
“Tapi gua mau nemenin loe, De.”
“Gua aja yang nemenin Dea.”
“Eh, Kak Alvin?”
Tangan Alvin menggenggam pergelangan tangan kiri Dea, Dea terkejut dan langsung menarik tangannya.
“Loe mau ngapain?!”
“Gua mau nebus kesalahan gua yang kemarin, De. Boleh, kan?”
“Dengan loe nganterin gua kemarin aja udah cukup kok.”
“Tetep aja, udah yuk gua temenin ke gerbang nunggu jemputan loe.”
Alvin kembali menggandeng Dea, kini tangannya tepat berada di telapak tangan Dea. Dan itu cukup membuat jantung Dea berdegup kencang.
“Aduh Pak Aji, cepetan dong…”
Dea cemas jika ia terus bersama Alvin, perasaannya akan semakin tak menentu.
“Mana? Kok nggak dateng?”
“Belum, bukannya nggak.”
“Loe udah nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok.”
“Tapi kenapa loe nggak mau ke acara itu?”
“Mungkin gara-gara gua nggak makan dari kemarin, jadi gua lemes.”
“Kan kemarin loe sakit, kenapa nggak makan?”
Alvin bertanya, tapi agak membentak dan itu membuat Dea kesal.
“Apa urusan loe?”
“Oh, bukan urusan gua. Sorry.”
“Jemputan gua udah dateng, thank’s ya udah mau nemenin gua.”
“Gua nebeng dong buat balesannya.”
“Hah?”
***
“Alvin, apakah kamu merasa lebih baik?”
“Belum, Mam. Kepalaku bertambah sakit setiap waktu, apalagi mataku, Mam.”
“Bertahanlah, Nak.”
“Mam, apa boleh aku … uhm, kembali ke Indonesia?”
“Tapi kamu sedang menjalani pengobatan, Nak.”
“Bisakah Mami merelakan Alvin? Jika memang ini jalan Tuhan, apa Mami akan ikhlas?”
“Kamu ngomong apa sih? Tentu kamu akan sembuh, Vin.”
“Jika setahun ini Alvin belum sembuh, bolehkah Alvin kembali ke Indonesia?”
“Untuk apa?”
“Untuk sebuah urusan yang ingin Alvin selesaikan.”
***
Sivia pergi dari rumah sore itu, ia tak bisa lebih lama di rumah itu, segalanya terasa berbeda karena Ayahnya membuang semua peralatan lukisnya.
“Dea, Ami, Angel… aku kangen kalian.”
Pandangan Sivia kosong, ia melamun.
‘Brakk’
Suara itu membuat ia sangat terkejut hingga terlompat sedikit.
“Si… siapa kamu?”
Orang yang baru saja loncat dari pohon itu hanya tersenyum, lalu ia duduk di samping Sivia.
“Kamu siapa?”
Orang itu mengambil buku yang ada di tasnya, lalu menulis…

Namaku Gabriel, namamu?

“Ka… kamu?”
Lelaki bernama Gabriel itu hanya mengangguk sambil terus tersenyum.
“Namaku Via, Sivia. Kamu udah lama di atas sana?”
Gabriel kembali menulis

Sudah, aku sering melihatmu di sini. Ketika kamu melukis di sini, aku sering melihat lukisanmu. Sangat indah, tapi kenapa kamu tidak melukis sore ini?

“Ayahku menyembunyikan peralatan melukisku, dia bilang aku tak boleh terobsesi keterlaluan pada lukisan.”
Gabriel mengeryitkan dahinya, heran

Bukankah seorang Ayah seharusnya mendukung bakat anaknya? Kecuali beliau punya alasan yang kuat untuk melarangmu.

“Ya, kupikir Ayah punya alasan yang kuat. Aku tak pernah melihatnya semarah itu.”
Gabriel hanya mengangguk sesekali, kemudian ia mengeluarkan secarik kertas. Berisi sebuah lagu.

Aku punya sebuah lagu, aku sangat suka lagu ini. Tapi aku tak bisa menyanyikannya, bisakah kau nyanyikan untukku?
“Bukankah ini lagu anak kecil? Kau suka lagu anak kecil?”
Gabriel mengangguk girang. Sivia tak punya pilihan lain selain bernyanyi.

Bintang di langit, kerlip engkau di sana.
Memberi cahayanya di setiap insan.
Malam yang dingin, kuharap engkau datang.
Memberi kerinduan di sela-sela mimpinya.

Gabriel bertepuk tangan dengan semangat, lalu menulis lagi…

Suaramu sangat indah! Benar-benar bagus! Seharusnya sejak awal aku mau berkenalan denganmu tanpa malu. Hehe. Bolehkah aku tahu kenapa kau sangat suka melukis?

“Aku melukis… karena dari situ aku dapat melihat sebuah dunia yang berbeda, dunia yang sangat ingin kumiliki. Dunia yang siapapun ingin menempatinya. Sebuah dunia yang abadi. Ada Ayah, Bunda, sahabat-sahabatku. Dan mereka semua tersenyum.”

Berharap pada lukisan? Bukankah itu aneh? Bahkan Allah juga melarangnya.

“Hanya berharap sejenak, karena aku tahu tak ada yang abadi di dunia ini.”

Jika Ayahmu melarangmu melukis, apa yang kau lakukan untuk menggantikannya?

“Aku belum tahu, kau punya pendapat?”

Bagaimana kalau kau bernyanyi saja? Datanglah ke sini setiap sore, aku akan membawa gitarku dan kita bernyanyi bersama!

“Ide yang bagus, tapi apakah kau akan menungguku setiap sore?”

Tentu, aku akan mengirim merpatiku untuk menjemputmu. Jika kau tak bisa datang tinggal balas saja suratku.

“Kau punya merpati?!”

Ya, dia adalah hewan yang sangat cantik. Namanya Angel, karena dia selalu menemaniku bagai bidadari.

“Nama yang indah, lalu mana merpati itu?”

Ia sedang sakit, tapi malam ini kuperkirakan ia sudah sembuh. Merpati itu walaupun cantik tapi ia tangguh. Oiya, panggil aku Iel saja.

“Baiklah, senang berkenalan denganmu.”
Sivia menjulurkan tangannya, sekarang ia bisa tersenyum setelah bertemu dengan Gabriel.
***
Sore ini sebenarnya Dea tak punya acara apapun, tapi ia sedang menghindari Rio. Ia tahu percakapan Yuki dan Rio tadi pagi, kalau tidak salah menyimpulkan. Rio sepertinya ingin menanyakan kebenaran pernyataan Yuki.
“Benar-benar deh anak itu.”
Rio… ia hanya menganggap Rio sebagai sahabatnya, tak lebih. Karena hanya seorang yang bisa ia cintai, Alvin. Tak pernah terpikir jika suatu saat nanti ia menyukai Rio, ia tak bisa. Hatinya memang tidak memaksa bahwa laki-laki itu hanyalah sahabat baginya. Tapi… Dea tak bisa menjelaskannya.
“Tadi pagi kamu ketemu Rio, nggak?”
“Gua kan 1 jurusan sama dia, Ki. Mana mungkin gua nggak ketemu dia.”
“Terus dia bilang apa?”
“Dia nggak bilang apa-apa.”
“Huh… kamu kok begitu sih sama aku, De? Kamu nggak terbuka sama aku layaknya sahabat. Padahal aku sayang banget sama kamu, De. Please percaya sama aku, sekali aja.”
Dea tertegun, ia ingat kata-kata itu. Persis dengan kata-kata yang ia lontarkan pada Angel di depan café four season.
“Gua sayang banget sama loe, Njel. Please percaya sama gua, sekali aja.”
Dea menatap Yuki, ia teringat 3 sahabatnya.
“Maafin gua, Ki. Tapi ini belum saatnya loe tahu masalah gua.”
“Tapi kapan, De?”
“Suatu saat nanti, oke?”
“Oke. Dan sekarang aku mau cerita, De.”
Tiba-tiba tingkah Yuki berubah menjadi seorang gadis yang sedang malu-malu. Dea langsung menangkap tingkah itu sebagai tingkah seorang gadis yang ditembak lawan jenisnya.
“Kevin?”
“Iya, dia nembak aku lagi.”
“Terus?”
“Aku terima.”
“Ohya?! Kalian udah jadian dong?!”
“I…iya,” ucap Yuki ragu.
Baru saja Dea mau senang, tapi ia langsung sadar bahwa Yuki masih ragu.
“Kok kelihatannya kamu masih ragu, Ki?”
“Bukan ragu, De. aku takut ngecewain Kevin.”
“Kok ngecewain Kevin?”
“Soalnya aku nggak tahu gimana itu pacaran, aku takut hubungan kita nggak awet.”
“Ya jangan berfikir kayak gitu, Ki. Ucapkanlah sesuatu yang bisa bikin hubungan kalian awet. Juga, kamu harus peka sama perasaan dia. Tapi nggak usah terlalu posesif, oke?”
“Kayaknya kamu udah berpengalaman, De.”
“Belum sebenarnya, tapi kalau liat temen-temen cowokku yang suka curhat, begitulah kuncinya kalau mau awet.”
“Makasih ya, De.”
‘Maafin gua ya, Ki. Gua belum bisa terbuka sama loe,’ sesal Dea dalam hati.
***
Angel dan kedua kawannya terkejut melihat Kiki dan teman-temannya berdiri di belakang mereka. Dengan tatapan mengejek, Kiki melihat puisi terbarunya.
“Gua bisa kok bikin puisi judulnya, Angel. Besok gua akan publis di mading.”
“Beneran, Ki?” Tanya Zeze dan Gaby bersamaan.
“Bener, tunggu aja besok pagi.”
“Nggak usah,” ucap Angel tiba-tiba.
“Lho? Nggak apa-apa to, Njel,” ucap Gaby.
“Kalau bukan karena Dea nggak ada di sini, apalagi alasan loe bisa ngerjain gua?”
“Gua nggak pernah takut sama sahabat loe itu.”
Angel tertawa meremehkan, lalu ia memandang Kiki seketus-ketusnya.
“Jadi loe bener nggak takut sama Dea? Atau liburan nanti gua undang Dea ke Bogor buat ngelawan loe?”
“Loe itu cuman cewek lemah yang bisanya berlindung sama temen-temen loe.”
“Daripada loe, pecundang yang takut sama cewek.”
Zeze dan Gaby langsung menarik Angel menjauh agar tak terjadi kejadian yang tak diinginkan.
***
Rio berjalan melewati koridor indekosnya sambil melamun, memikirkan kata-kata Yuki tadi pagi. “Gua lebih baik dari dia?” Sesekali ia menabrak kawan indekosnya. Setelah dimarahi ia kembali melamun. Sampai Kevin mengagetkannya.
“Rio!”
“Eh! Apa-apa?!”
“Loe bengong, ya?”
“Iya kayaknya.”
“Pantes aja, karena loe nggak sadar udah ngelewatin kamar loe.”
“Hah? Yaampun.”
Rio hendak kembali ke kamarnya sebelum Kevin menarik Rio untuk duduk di teras kamar Kevin.
“Jangan buru-buru, dong.”
“Mau ngapain loe? Gua ngantuk banget.”
“Ngantuk kok masih bisa bengong.”
“Yaudah, cepetan deh.”
“Sabar dikit kenapa sih,” keluh Kevin.
Rio hanya menggerutu sambil terus menguap.
“Gua udah jadian sama Yuki.”
Mata Rio langsung melebar, senyumnnya merekah.
“Akhirnya! Penantian loe selama 3 tahun kesampaian juga!”
“Tapi…”
“Tapi apa lagi sih, Vin? Jelas-jelas Yuki udah nerima cinta loe.”
“Bukan masalah terima nggak terima, Yo. Kalau itu sih gua yakin udah dari kemarin-kemarin Yuki nerima gua. Cuman masalahnya…”
“Please deh, Vin. Jangan kayak cewek gitu, bilang apa aja ke gua, yang penting jangan bikin gua penasaran.”
“Gua tahu dia masih takut nerima cinta gua.”
“Ah, sok tahu.”
“Rio!”
“Iya, Bos. Maaf-maaf, tapi darimana loe tahu?”
“Dari tatapannya ke gua, saat dia nerima cinta gua. Gua juga sebenernya takut, kalau misalnya nanti kita nggak bisa kayak sahabatan.”
“Loe harus yakin sama diri loe sendiri, Vin.”
“Apa gua bisa jagain Yuki…”
“Yuki pasti udah cerita ke Dea, dan Dea pasti udah kasih solusi kalau dia sama takutnya kayak loe. Loe kan anak jurusan psikologi, tentunya loe bisa kasih solusi buat diri loe sendiri, Vin.”
“Kalau tentang beginian gua nggak ahli, Yo. Loe ahli nggak?”
“Gua… uhm, nggak terlalu ahli, bukan berarti nggak ahli, Ya.”
“Terus gimana solusinya, Yo?”
Rio tampak berfikir keras, ia sebenarnya tak tega menasihati Kevin. Karena ia pun selalu berfikir ulang ketika ia berniat mengutarakan perasaannya lagi pada Dea. Ia juga berfikir, apakah ketika pacaran nanti keadaan mereka tak berubah seperti mereka masih bersahabat?
“Arghh! Jangan tanya gua dulu deh, Vin! Gua ngantuk!” Rio langsung lari ke kamarnya tanpa memerdulikan Kevin yang sepertinya ingin menahannya.
“Dasar kutu,” gerutu Kevin.
***
Lintar menatap gadis berkerudung di hadapannya dengan seksama. Gadis itu duduk di samping Ayah dan Ibunya. Begitu juga dirinya. Kedua orang tua mereka masih berbincang ria, Ami rupanya tak sabar melihat Lintar yang diam saja. Ia menunjukan tatapan–kau yang mulai. Lintar menghelakan nafas, lalu menelan ludah karena gugup.
“A…Ayah,” panggil Lintar dengan suara parau.
“Iya, Nak?”
“Li…Lintar ingin bicara tentang… perjodohan Lintar dengan Ami.”
“Oh tentu saja, ada apa, Nak?”
Lintar tak berani menatap wajah Ayahnya yang lembut, jadi ia mengalihkan pandangannya ke Ami. Sekali lagi ia menelan ludah.
“Ami mau bicara.”
Akhirnya Lintar mengalihkannya pada Ami. Ami yang ditunjuk pun terkejut, sambil salah tingkah ia mengambil cangkir tehnya, meneguk isinya lalu kembali menatap sekeliling.
“Se…sepertinya perjodohan ini bukan i…ide yang bagus.”
“Lho? Kenapa? Kalian tidak cocok?” Heran Ibu Ami.
“Bu…bukan begitu, Bu. Tapi aku sudah mempunyai orang lain yang kusukai.”
“Siapa? Kenapa kamu tidak bilang dari awal?” Tanya Ayah Ami. Makin membuat Ami gugup.
“Orang yang dulu 1 SMA dengan Ami, iya kan, Mi?”
Ami menatap Lintar yang membelanya.
“Iya, sebenarnya Lintar sudah tahu kalau Ami sudah punya pacar, tapi Lintar dan Ami tidak berani bilang,” jelas Lintar.
“Siapa namanya, Ami?”
“Septian, ya. Lintar nggak sengaja membacanya di salah satu figura foto di kamar Ami.”
Mata Ami membesar, nafasnya sesak saat mendengar nama itu, matanya berkaca-kaca.
“Bukan, namanya bukan Septian. Tidak, sebenarnya aku tidak punya pacar sama sekali, dan sebenarnya ini hanya candaan kami. Iya kan, Lintar?”
Tatapan Ami memohon agar Lintar meng-iyakan ucapannya.
“Iya, ini hanya candaan kami.”
“Kalian ini tidak boleh bercanda seserius ini, hahahahaha.” Para orang tua tertawa, Lintar dan Ami pun berpura-pura tertawa.
“Ayah-ayah dan Ibu-ibu, Lintar ingin bicara dengan Ami di luar, boleh?”
“Boleh, Nak.”
Lintar berdiri dan langsung menarik Ami ke teras. Setelah beberapa menit berdiam diri, akhirnya Lintar membuka mulut.
“Apa yang kamu lakukan? Bukankah ini yang kamu inginkan? Membatalkan perjodohan kita.”
“Anda nggak pernah tahu, betapa sakitnya saya mendengar nama itu.”
“Siapa? Septian?”
“Dimana Anda menemukan nama itu?”
“Di figura yang berisi fotomu bersama seorang gadis bermata sipit.”
“Sivia…”
Ami berdiri lalu berlari ke kamarnya, mengambil figura itu lalu membawanya keluar. Di dekat Lintar ia mengambil fotonya bersama Sivia, kemudian memberikan bingkainya pada Lintar.
“Bisakah kamu membuangnya untukku?”
“Sekarang bisa berkata aku-kamu padaku?”
“Ini sebagai tanda terimakasihku karena kamu sudah membantuku tadi.”
“Jika kamu mau bercerita padaku, kapan saja aku siap menampungnya.”
“Terimakasih, jangan senang dulu. Yang pasti kamu tidak boleh mengajar di kelasku lagi.”
“Oke.”
Lintar menangkap sosok lain Ami, gadis yang suka marah-marah padanya itu bisa murung karena mendengar 1 nama. Tapi siapa Septian itu? Batin Lintar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini