Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - SATU

Satu

RUANGAN itu masih terang, walau tak terlalu ramai seperti tadi sore tapi tempat itu tak pernah legang pengunjung. Café Four season memang selalu menjadi pilihan remaja-remaja Bogor untuk sekedar hang out bersama teman-teman atau sendiri. Seperti yang dilakukan Angel malam ini, ia memilih duduk sendiri di tempat paling jauh dengan pintu keluar-masuk Café ini, yang merupakan meja terakhir dan terjauh dari keramaian. Ia menyukai tempat ini, karena ia bisa berdiam diri sendiri tanpa gangguan orang-orang yang bisa dengan sengaja mengejeknya, “Anak kuno!” atau “Dasar anak aneh!” dan sebenarnya ia ingin melawan, karena ia merasa ia tidak aneh. Hanya mungkin penampilannya yang berbeda dari remaja zaman sekarang. Kacamata besar, rambut gelombang yang selalu dikuncir 1, jaket garis-garis hitam yang selalu menjadi pakaian wajibnya ke manapun, sepatu pantopel warna hitam, dan terakhir kaus kaki putih agak krem. Sebenarnya tidak ada yang aneh dari penampilan Angel, hanya saja gayanya yang sekarang dianggap seperti penampilan remaja tahun 70-an. Sudah 3 tahun berlalu dengan segala ejekan jatuh pada dirinya, lalu Angel memutuskan untuk pindah dari sekolah itu. Oh, tapi tunggu dulu! Sudah 3 kali dalam tahun ini ia pindah, dan semua tak berubah. Ia tetap menjadi bahan ejekan teman-temannya.
“Huh…,” desahnya.
Ia berfikir, dirinya tidak seindah namanya, Angel. Gadis 17 tahun ini selalu merasa dirinya kebalikan dari namanya, dan itu terbukti dari semua perlakuan kawan-kawannya padanya. Tapi diluar semua pemikiran itu, nama yang tersemat padanya sudah diperkirakan tak jauh dari sifat Angel. Selama 17 tahun ia hidup, ia nyaris tak pernah melakukan kesalahan pada orang lain, hanya nyaris lho. Tapi entah kenapa, banyak orang tak suka pada Angel hanya karena penampilannya. Ia tak mau mengubah penampilannya, karena penampilan Angel ini serupa dengan Bundanya semasa hidup, dengan begini ia bisa melihat Bunda selalu bersamanya, juga membuat Ayahnya tersenyum ketika melihat Angel. Ia pun tak ingin mendengar ejekan itu, tapi semakin hari sepertinya ejekan itu terus bertambah hingga ia tak tahan.
Lamunannya seketika pudar saat sebuah sms masuk ke ponselnya.

Dea : njel, lu dmn? w telp ke rmh lu, kt-ny lu blm pulng.

Angel tersenyum, ia ingat masih ada Dea di sampingnya, salah satu sahabatnya yang selalu menjadi motivasinya untuk terus bertahan di SMA Global.

Angel : w d kafé four season, lo klw mw ksini hayo aja.
Dea : parrrah lu, ga ajk2 w, Ami, ma Sivia ke sana.
Angel : hehehe, maaf bgt ya, De.
Dea : lu lgy ad mslh? Heum, jgn di jwb dlu! w bakal kesana, oke.
Angel : ok, w tunggu.

Selain Dea, ada Ami dan Sivia yang juga menjadi sahabatnya. Baru di SMA Global ia mendapat teman sebaik mereka, yang tulus hanya ingin hati Angel yang menginginkan kasih sayang.
***
Dea meletakan ponselnya di saku celana, lalu mengambil jaket dan tas dari lemari. Ia ingin menjemput kawannya. Ketika akan keluar, ia melihat sebuah cermin besar yang dipasang Mamanya tadi pagi, “Agar kamu sadar, kalau kamu itu gadis yang sangat manis.” Dahi Dea mulai mengerut, ia heran dengan kata-kata Bundanya itu, sudah tahu Dea tak suka berdandan, tapi kenapa bundanya memberikan cermin sebesar badannya? Dea tak habis pikir, tapi perlahan Dea mendekati cermin tersebut dan menatap wajahnya yang bulat. Penampilannya memang sedikit berbeda dari gadis lainnya, karena menjadi gadis tomboy adalah pilihannya sejak ia kelas 3 SMP, tepatnya sejak ia mendalami seni bela diri dari kakak kelasnya yang terus melegenda. Ia ingin menjadi kakak kelasnya, tapi tak pernah bisa sampai akhirnya ketika kelulusan kakak kelasnya, ia diberikan kepercayaan menjadi ketua klub bela diri. Dan ia terus berusaha menampilkan jelmaan kakak kelasnya sampai ia jadi tomboy begini, tapi itu semua membuat perubahan besar untuknya, semua orang jadi mengenalnya sebagai legenda SMP itu juga, walau yang kedua tapi tak apa, yang penting Dea sudah menjadi legenda.
Dea melihat ada sesuatu yang membuatnya geli di cermin, rambut kesayangan Dea. Walaupun Dea tomboy, tapi 1 yang tidak ingin ia ubah, rambut lurus sebahu yang ia sayangi. Rambut itu biasanya di kuncirnya 1 dan poni yang mengganggu pengelihatannya selalu ia potong miring ke kiri agar bisa di jepit, salah satu alasan ia tak mau memotong rambut itu juga karena kakak kelasnya. Kakak kelasnya bilang bahwa ia menyukai rambut Dea, juga kakak kelasnya bisa mengelus rambut Dea yang halus. Boleh dibilang Dea memang menyukai kakak kelasnya itu, cinta pada pandangan pertama? Mungkin, pasalnya baru di SMP ia sekolah di sekolah umum, dan ia langsung tertarik pada seluruh gerakan bela diri dari kakak kelasnya itu, termasuk terpesona pada gerak tubuh lelaki tersebut.
Setelah melihat rambutnya, ia mulai memperhatikan pelipis matanya yang terluka akibat lomba seminggu yang lalu. “Kenapa belum hilang, ya?” desisnya sambil memegang luka yang masih nyeri ketika disentuh. Tapi karena luka ini juga ia bisa menang di turnamen bela diri tingkat Nasional tempo lalu, pelanggaran yang di buat oleh lawannya itu cukup menguntungkan baginya. “Heum, yasudahlah tidak apa-apa,” katanya dan memandang piala besar yang ia letakan di lemari pialanya, bertuliskan “Juara 1 Bela Diri Nasioanal” dan itu juga yang sedikit membuatnya menyukai luka ini. Tapi tetap saja ia kesal pada lawannya itu, kenapa ia tak bisa memenangkan lomba itu dengan bersih? Padahal sudah susah payah sampai ke final, tapi karena over aktif ia jadi kalah. “Kasihan...”
Setelah berlama-lama melihat wajahnya di cermin, Dea pun keluar dari kamarnya menuju cafe yang dijanjikan.
***
Ini sudah kesekian kalinya Ami menghitung tanggal di kalender kecilnya, pemilik nama lengkap Rahmi Amalia itu mulai menghelakan nafas tak keruan dan berulang kali membuang kertas hasil coretannya tentang makalah penghijauan lingkungan. Spidol hitam yang ia pegang sejak tadi hanya ia putar 45 derajat berulang kali dan kertas ke-54 yang ia pandangi itu hanya diam memandangnya, Ami jadi kesal sendiri dan akhirnya menjatuhkan kepalanya di meja belajar.
“Huh... hanya tinggal seminggu lagi, sudah kuhitung berulang kali tapi benar saja tinggal seminggu lagi... kalau begini terus si Otlivio itu bisa mengejekku habis-habisan karena makalahku yang belum selesai,”–“Heuuuuhhh!!”
Baru saja ia mengatakan nama orang yang membuatnya kesal, tiba-tiba saja sms dari pemilik nama itu masuk ke ponselnya. “Hah? Mau apa dia?”

Patton : hei, gimana makalah loe? Udh sampe mana? Haha, w tbk pst blm sm skli ya? Mamam loe, mknya jgn cb2 nantg w!
Ami : dih, pede bgt sih lo! Akn w buktiin bhw w jg bs bqn mklh ilmiah nglahn lo!
Patton : uuu... tkut bgt w... hihi

Ami tak mau membalas sms tersebut, ia sudah kelewat kesal dan melempar ponselnya itu ke kasur. Beberapa kali ponselnya berdering, tapi ia sudah tak peduli lagi sampai akhirnya Ami tertidur di meja belajarnya. Tapi Ami tak tidur sepenuhnya, pikirannya masih tertuju pada makalah itu, akhirnya matanya membuka lagi dan ia mulai menulis lagi. Pertama ia buat kerangka makalahnya, terasa mudah tapi membingungkan. Ia melihat mulai dari judul, “Green is my world” terdengar aneh tapi paling lumayan dari judul-judul sebelumnya. Lalu lanjut pada latar belakang, Ami mulai berhenti berpikir, ia kembali buntu dan benar-benar jenuh, dan mencoba tidur saat itu juga.
“Besok lagi sajalah!”
***
Gadis itu masih saja memandangi lukisannya, suatu kebanggaan tersendiri baginya jika ia sudah menghasilkan sebuah hasil karya. Malam ini Sivia menggambar dirinya bersama Dea, Angel, dan Ami sedang berlibur di bulan. Kenapa bulan? Karena gadis ini sangat menggilai bulan, ia selalu bilang bulan memberinya kekuatan sebagai Pelukis, Dea pernah memarahinya karena pemikiran Sivia yang sangat salah, Tuhan-lah yang memberinya kekuatan, tapi Sivia tak sepenuhnya peduli pada omelan Dea. Ia yakin, Tuhan pasti membuat bulan memberinya kekuatan, ia selalu bermimpi pergi ke bulan, tapi karena tahu itu sangat sulit, akhirnya Sivia hanya menggambar bulan sebanyak-banyaknya. Sampai dekorasi kamarnya pun kelabu terang serupa bulan.
“Sedikit sentuhan merah jambu untuk Dea, agar ia tak selalu tomboy. Dan kerudung anggun untuk Ami, heum lalu kacamata yang lebih kecil untuk Angel agar ia tak terlihat terlalu kuno, ups. Maafkan aku Angel! Maaf benar maaf!” serunya seraya berlaku seperti orang minta ampun lalu mengembalikan kacamata besar Angel.
“Dan sebuah mahkota untukku, karena aku sangat berkuasa. Hahahaha.” Tawa gadis itu agak keras dan tidak mencerminkan wajah imutnya yang jika bertemu dengannya akan berfikir bahwa gadis ini pendiam dan polos. Lain lagi jika sudah seminggu dekat dengannya, kau akan berfikir Sivia ini adalah anak yang sangat hiperaktif dan kadang-kadang menyesal ada didekatnya. Begitupun pikiran ketiga kawannya yang sudah menemaninnya selama 3 tahun. Tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah terlanjur sayang pada Sivia yang memang anak termuda dan termanja diantara mereka berempat.
Sivia kembali menyunggingkan senyumnya, dan menghias lukisannya.
“Angel, kamu itu sebenarnya cantik, tapi kenapa sih kamu tidak bisa sedikit trendi? Walaupun kamu pernah mengatakan alasannya, tapi apa kamu tak bisa berubah sedikit demi Bundamu juga? Kuyakin Bundamu ingin kamu bisa trendi sedikit. Lalu Ami, kau sangat cantik luar dalam, aku mengagumimu karena kau sudah kuanggap pengganti almarhumah Mama, kau memberiku perhatian seperti aku ini anakmu saja, tapi aku sudah kesal jika kamu sudah berkelahi dengan Patton, kalian ini benar-benar menyebalkan! Tapi jujur, terkadang aku suka itu sebagai hiburan. Dan... Dea, kenapa sih kamu itu cerewet sekali mengaturku? Tapi kenapa juga aku masih mau berteman denganmu? Uhm, kau tahu alasannya? Karena aku sudah menganggapmu sebagai kakakku, kakak yang selalu menjagaku. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
***
Setelah memarkir motornya, Dea bergegas masuk ke Kafe Four Season. Dea awalnya bingung mencari Angel, tapi ia teringat tempat kesukaan Angel. Meja di pojok Kafe. Tapi baru saja ia berjalan menuju meja itu, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok itu, sosok yang membuatnya menjadi legenda, menjadi gadis tomboy, menyayangi rambutnya. Kakak kelasnya.
“Dea? Loe benar Dea, kan?”
“Ka... kakak?”
“Sudah lama juga ya kita nggak bertemu, gimana kabar loe?”
“Baik, Kak. Kakak sendiri?”
“Oh, baik banget malah. Soalnya gua kemarin habis menang turnamen lagi.”
“Ohya? Gimana ceritanya tu, Kak?”
“Heum, kayaknya nggak sekarang deh gua ceritanya, mungkin kapan-kapan kita bisa ketemu lagi di sini.”
“He’eh, Kak. Nggak apa-apa kok, gua juga lagi ada janji sama temen.”
“Temen cewek atau cowok?”
Dea hanya tertawa kecil mendengar candaan khas kakak kelasnya itu.
“Yaudah, nomor loe masih yang dulu kan, De?”
“Iya, Kak.”
“Nanti gua hubungin lagi aja ya kalau gua udah mood cerita.”
“Dan gua juga lagi mood ngedenger.”
“Hahaha, iya bener. Yowess, gua duluan ya!”
Dea memerhatikan kakak kelasnya itu seksama, hingga tubuhnya menghilang barulah ia kembali melangkah.
***
Angel masih tertunduk sambil mengunyah isi mangkuk mienya yang ke 15, perutnya sudah cukup kembung tapi ia terus memaksanya agar ia lupa kejadian tadi siang. Dea yang melihat Angel seperti itu hanya menggelengkan kepala maklum.
“Udah berapa piring, Njel?” tanya Dea seraya duduk di samping Angel, Angel menatap Dea dengan ekspresi datar dan berisyarat pada Dea dengan matanya menuju tumpukan mangkok mie di sampingnya. Dea menghitungnya dengan cermat, lalu ia mulai tertawa kecil.
“Loe rakus banget sih, Njel.”
“Udah nggak kuat, De.”
“Ngapain sih dengerin orang-orang gila itu? Loe itu nggak kuno lagi, Njel. Biasa aja, kayak gua, Ami atau Sivia.”
“Apa gua ubah aja penampilan gua ya, De?”
“Jangan kalau nggak perlu, anggap aja mereka itu batu jahat yang nguji hidup loe, bentar lagi mereka juga capek. Apalagi selama masih ada gua, Ami dan Sivia. Loe nggak usah khawatir, karena kita bakal jagain loe.”
“Tapi kan nggak selamanya kalian bisa jaga gue.”
“Makanya loe berusaha kuat demi kita, sahabat-sahabat loe.”
“Gua masih ragu sama hidup gua, apa coba gunanya gua di dunia ini...”
Dea menggebrak meja hingga orang-orang di sekitar mereka memperhatikan mereka sesaat.
“Apa-apaan sih loe, De?”
“Balik.”
“Tapi gua masih pengen di sini.”
“Ini udah jam 8 malem, Angel. Bokap loe pasti khawatir banget sama loe, ayo balik.”
“Setengah jam lagi deh.”
“Kayaknya loe emang nggak pernah ngerasa kalau kita itu ada buat loe, Njel.”
“Maksud loe?”
“Buat apa kita temenan selama ini? Kalau loe sendiri nggak percaya kita bisa jagain loe, loe selalu berpikir kalau loe nggak ada gunanya di dunia ini, kata siapa? Kata Ify? Atau kata Shilla? Mereka emang ngejek loe, Njel. Tapi mereka nggak pernah bilang loe nggak berguna buat dunia kan? Semua itu berasal dari diri loe sendiri, Njel. Karena loe nggak pernah percaya sama orang lain juga diri loe.”
“Jadi sekarang gua harus gimana, De?”
“Balik.”
“Tapi...”
“Balik!”
Dea agak membentak dan itu membuat Angel diam seribu kata, ia pasrah saat ia ditarik Dea keluar dari cafe. Dea memberikan helm berwarna putih untuk Angel, lalu menyuruh Angel naik ke motornya.
“Gua bisa naik angkutan umum, De.”
“Udah 8 bulan kita bareng, dan loe selalu nolak kalau gua tebengin, kenapa sih?”
“Karena gua takut ngerepotin loe, De.”
“Naik.”
Angel hanya diam.
“Tuhan, kenapa ada orang se-keras kepala ini.”
“Gua sayang banget sama loe, Njel. Please percaya sama gua, sekali aja.”
“It’s oke, tapi sekali ini aja, ya.”
“Okay …”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini