Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - EMPAT

Empat

SIVIA memberikan minuman dingin pada Septian, lalu ia duduk di samping Septian.
“Apa nggak sebaiknya kita masuk duluan?”
“Loe masuk duluan aja, Vi. Gua masih nunggu Ami.”
“Tapi mana gua tahu gua mau ngapain di dalam.”
“Kenapa loe ikut? Kan loe tahu gua sama Ami ke sini buat bikin makalah, bukan buat main.”
“Kok loe ngomongnya gitu sih, Yan?”
Septian meneguk minumannya dan membiarkan Sivia terus bertanya. Karena kesal, Sivia membuang kaleng minumannya dan berlari meninggalkan Septian. Septian melihat Sivia yang berlari sekilas, lalu ia langsung membuang muka.
“Sorry, gua udah nggak bisa suka sama loe, Vi.”
***
Alvin mengajarkan banyak pada anak-anak klub karate, setengah jurus yang ia kuasai ia perlihatkan pada mereka. Kiki memerhatikannya dengan seksama, sesekali ia mencatatnya. Dea tak peduli pada Kiki, sekarang ia sedang larut dalam masa lalunya. Ia mengingat masa-masa Alvin mengajarinya karate, juga saat Alvin menjadikannya ketua klub karate SMPnya. Saking larutnya, Dea tak sadar akan panggilan Rio padanya.
“De, Dea.”
Kiki menyenggol lengan Dea agar ia sadar, dan benar saja setelah beberapa kali disenggol Dea pun tersadar, ketika ia hendak marah pada Kiki, pandangannya tertuju pada Rio yang kini duduk di hadapannya.
“Eh, Rio?”
“Ini udah jamnya pulang, anak-anak karate juga udah pulang. Loe mau balik sama gua nggak?”
“Gua ada urusan sama Kiki, Yo.”
“Oh, kita latihannya besok-besok aja, De. Gua mau belajar tehnik yang tadi di rumah, bye!”
“Jadi?”
“Uhm, panitia lomba nggak pada ngumpul?”
“Jadi kok, makanya gua ngajakin loe rapat, baru balik bareng.”
“Oke, ayo.”
Alvin menunggu kedatangan Dea di pintu keluar aula. Ia sudah berganti pakaian biasa dengan tas punggung agak besar membuatnya benar-benar terlihat dewasa. Dea baru sadar penampilan Alvin keren juga, padahal tadi ia terlihat biasa saja.
“Loe belum balik, Kak?”
“Belum, De. Kita kan mau ke café, gua mau ngomong sama loe penting.”
Dea tertegun, ia jadi was-was mendengar Alvin yang begitu serius ingin mengobrol dengannya.
“Ups, gua lupa! Tapi gua kayaknya lama banget rapatnya, Kak. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, De. Gua tunggu di pos penjaga aja, ya.”
“Oke.”
Alvin berlalu, dan Dea masih memperhatikannya. Rio menangkap prilaku Dea yang aneh lagi, seperti seorang yang sedang jatuh cinta. Rio sebenarnya anak yang pendiam, tapi jika di dekat Dea entah kenapa, ada sebuah energi yang memaksanya untuk terus ceria. Seperti sekarang, ia langsung merangkul Dea dan menariknya ke tempat rapat.
“Jadi, loe nggak jadi balik sama gua?”
“Kayaknya nggak hari ini, Yo. Maaf ya, Yo.”
“Yaudah yuk, nanti anak-anak nunggunya lama.”
“Oke, Yo.”
***
Sepeninggal Sivia, Septian terus berusaha menghubungi Ami. Sayangnya ponsel Ami tak aktif, dan itu membuat Septian cemas. Ia hendak menyusul Ami ke sekolah, tapi baru saja ia hendak memakai helm, Ami datang seraya tersenyum lembut.
“Loe kemana aja, Mi? gua takut banget loe kenapa-kenapa tahu nggak!”
Ami tertawa kecil, lalu menepuk pundak Septian.
“Masuk, yuk.”
Ami menggandeng tangan Septian, membuat Septian tak bisa berbuat apapun kecuali memandangi Ami.
***
“Nah ini dia ketua osis dan wakilnya baru datang,” ucap Irsyad.
“Maaf ya kita telat,” ucap Dea.
“Iya, nggak apa-apa, wakil. Ayo duduk,” ucap Irsyad lagi.
Rio berdiri hendak memimpin. Lalu ia membacakan berkas peraturan pertandingan.
“Sekarang kita mulai saja, selamat sore teman-teman.”
“Selamat sore.”
“Hari ini kita hanya membicarakan peraturan pertandingan, ini karena kerja kalian cepat banget. Semua udah terkendali seminggu sebelum pertandingan. Okelah, kita mulai saja.”
Semua diam, inilah kenapa Rio senang menjadi ketua osis di sini, semua muridnya tertib dalam berorganisasi.
“Peraturan pertama, peserta lomba setiap klub boleh mencalonkan sendiri atau grup, karena pertandingan tunggal dan grup akan dipisah. Peraturan kedua, panitia boleh mengikuti lomba, asalkan tidak menjaga di stand tersebut. Peraturan ketiga, perhitungan point pemenang akan dihitung oleh panitia berdasarkan penilaian Juri. Peraturan keempat, murid yang tidak mengikuti lomba padahal terdaftar akan di diskualifikasi. Peraturan kelima dan seterusnya…”
“Sudah tersusun rapi, ya,” komentar Dea.
“Iya, ini karena angkatan kita memang selalu solid!” seru Irsyad.
“Tahun ini… tahun terakhir kita ikut lomba persahabatan, ya.”
“Iya, nggak kerasa kita udah lulus aja.”
“3 tahun itu kerasa cepet banget.”
“Kita harus lakuin yang total buat Global, karena Global udah bikin kita kayak gini.”
“Ya, bikin kita dapet sahabat, bikin kita mempunyai impian, bikin kita berfikir, kalau cita-cita itu bisa dikejar.”
“Bukti cinta kita harus terus bergulir di Global, walau kita akan pergi dari sini.”
“Global akan selalu gua inget sepanjang masa, karena di sini gua bisa kenal sama loe semua, orang-orang luar biasa yang selalu bersama suka maupun duka.”
“Ini bukan akhir dari semuanya, kita akan ketemu lagi 5 tahun dari sekarang, coba kita lihat apakah rasa bahagia ini masih ada ketika kita bersama atau tidak.”
“Ya, 5 tahun lagi. Angkatan kita akan berkumpul kembali, masih sama… di aula Global.”
***
Sikap Ami sore ini cukup aneh, ia sama sekali tak menanyakan keberadaan Sivia. Septian ingin bertanya, tapi ragu karena melihat Ami ceria seperti ini saja sudah cukup menyenangkan. Septian membantu Ami cukup banyak, sehingga intisari makalah beserta ide-idenya sudah didapatkan. Ami tinggal menyusun semua ide itu menjadi padu.
“Menurut loe, gua presentasi pakai slide atau nggak usah?” Tanya Ami.
“Boleh aja, Mi. Tapi mendingan nggak usah, biar lebih alami.”
“Oke.”
Ami merapikan buku-bukunya bersiap pulang.
“Makasih ya, Yan. Kalau nggak ada loe, gua nggak tahu gimana jadinya.”
“Iya sama-sama.”
“Mi…”
“Ya?”
“Gua boleh jujur nggak sama loe?”
“Boleh, jujur tentang apa?”
“Tentang perasaan gua.”
Perasaan Ami membeku, keringat dingin mulai keluar membasahi leher dan dahinya, nafasnya hampir saja terhambat karena ia sangat gugup. Apakah akhirnya hal yang ia tunggu selama 3 tahun akan terwujud? Ataukah…
***
Setelah mengajak Dea melihat-lihat baju, Alvin mengajak Dea ke foodcourt. Di foodcourt Dea hanya memesan es teh manis, padahal Alvin sudah bersedia mentraktir Dea. Sedangkan Alvin memesan bakso dan es jeruk.
“Loe mau, De?”
“Nggak kak, gua diet.”
“Diet? Badan ideal gitu mau di apain lagi, Neng?”
“Ha ha ha, bisa aja loe. Oiya, loe sebenernya mau ngomong apa sih?”
Alvin meletakan sendok bakso, lalu meminum seteguk es jeruknya. Kemudian ia menatap Dea lekat. Dea yang diperhatikan seperti itu jadi salah tingkah dan langsung menyedot isi gelas tehnya yang sudah kosong, suara aneh yang dihasilkan malah membuat sikap Dea bertambah salah.
“Tapi loe harus janji, jangan marah apapun yang mau gua omongin sama loe. Oke?”
“I…iya, Kak.”
Jantung Dea berdetak makin kencang, mata tajam Alvin telah menghinoptisnya. Ia terdiam dan terus menunggu hal yang sangat ia inginkan.
***
Sivia menjatuhkan tubuhnya ke kasur, air mata yang mengering di pipinya belum ia bersihkan, matanya masih terpejam dan agak bengkak karena perlakuan Septian padanya tadi siang. Tapi tak berapa lama ia pun bangkit. Mengambil kanvas sekaligus peralatan melukisnya. Ia gambar seorang lelaki yang ia sukai sejak SMP. Ia gambar dengan sepenuh hati, lalu menatapnya sejenak.
“Mungkin emang gua nggak pernah ada di hati loe…”
‘Brekk’ suara kertas disobek itu seperti hati Sivia saat ini. Sivia merobek lukisan itu sampai benar-benar kecil. Ia sangat marah hingga tak bisa mengendalikan dirinya sendiri, semua lukisan Septian yang ia buat disobeknya, situasinya seperti Sivia sedang menghancurkan rasa sukanya pada Septian. Dan ia berjanji takkan menyukai lelaki itu lagi.
***
Ami menatap album milik Sivia sambil mengelusnya. Wajahnya terlihat sangat lelah, lelah menanggung beban ini. Hatinya menangis, tapi tak setitik pun air mata keluar dari matanya. Hatinya sakit, tapi ia tak benar-benar merasa kesakitan karenanya. Ia buka lagi album itu, semua foto Septian terpampang indah di sana, setiap posisi Septian di album itu sangat berarti bagi Ami. Tapi sayangnya ia sudah mati rasa akan cinta, ia tak ingin menyukai orang yang bisa membuatnya berpisah dari Sivia. Ia ingin terus bersama Sivia, bahkan mungkin sampai mereka mendapatkan lelaki yang berbeda untuk dicintai. Sekarang ia merasa dirinya kecil di hadapan Sivia, menyukai orang yang disukai sahabat sendiri itu buruk, sangat buruk karena ia telah menyakiti Sivia. Ia tak berani menemui Sivia dulu, ia ingin semua menjadi lebih tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini