Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - DUA

Dua

KIKI memegang sebuah payung berwarna hijau dengan gambar kodok di sepanjang bagian bawah payung, langit hampir memuntahkan bintik airnya, awan-awan kelabu pun memenuhi langit saat ini, suhu sekitar menjadi agak panas akibat perubahan iklim ini, membuat beberapa orang harus mennyejukan diri dengan sekedar mengibaskan kertas tipis ke tubuh mereka, beberapa keluhan mulai terdengar, tapi di antara kejadian alam itu, senyum Kiki merekah sepanjang pembicaraannya dengan Septian. Mereka terus bercanda di halte yang agak sepi ini.
“Yang bener, Ki?”
“Beneran, Yan! Dvd yang kemarin gua beli ternyata isinya banyak adegan ‘gituan’!”
“Hahahaha, parah loe! Terus loe tonton nggak?”
“Ya nggak lah, begini-begini gua masih jaga pandangan, Yan.”
“Bagus-bagus, ternyata temen gua ini bisa nahan godaan, eh… tapi darimana loe tahu isinya banyak ‘gituan’?”
“Hehehehe.”
“Ah! Kutu!”
Gelak tawa kembali memecah keheningan di sekitar mereka. Setelah lama tertawa mereka akhirnya berhenti sambil terengal mengatur nafas. Septian memegangi pundak Kiki sambil mengelus dadanya karena kelelahan tertawa.
“Tawa itu bagus buat perasaan loe, Yan.”
“Iya, Ki. Thank’s ya.”
“Ngomong-ngomong gimana persiapan lomba loe?”
“Udah siap kok, tinggal disusun sedikit lagi, Ki.”
“Wah, semangat ya teman.”
“Semangat juga buat pertandingan bela diri loe minggu depan, Dea udah megang piala cewek, minggu depan giliran loe.”
“Amin, mudah-mudahan gua bisa bikin SMA Global bangga.”
“Pasti loe menang.”
“Amin, tapi masih ada satu lawan yang kuat banget menurut gua.”
“Siapa?”
“Kak Alvin alumni SMA 50 Jakarta. Kita baru ketemu di turnamen Jabotabek setengah tahun lalu, tapi menurut gua dia lawan yang kuat banget.”
“Loe udah cari informasi tentang dia?”
“Belum, tapi kayaknya Dea tahu sesuatu, tu anak kan addict banget sama hal yang berbau bela diri, dia pasti kenal sama Alvin.”
“Tapi emang loe masih berani deket-deket Dea? Setelah loe ikutan ngejek Angel, temen barunya Dea.”
“Gua tahu, hubungan gua sama Dea nggak begitu baik beberapa bulan ini, tapi kalau masalah karate kayaknya dia masih mau nanggepin.”
“Semoga saja, ya.”
“Kok nada loe gitu sih, semangatin gua dikit dong.”
“Oke-oke, semangat Kiki.”
“Yaampun, datar banget lagi semangatnya.”
“Hehehe.”
***
Dea, Angel, Sivia dan Ami masih duduk di aula, padahal jam pulang sudah lewat 1 jam yang lalu. Keempatnya terus mengobrol tentang rencana liburan mereka yang terakhir di SMA Global, seperti biasa posisi mereka selalu melingkar dengan sebuah botol di tengah lingkaran. Bukan hal yang khusus, tapi sejak Angel menjadi sahabat Dea, Ami dan Sivia, ketiganya merasa Angel belum bisa terbuka jika tidak dipaksa. Maka dari itu Dea membuat aturan seperti jujur berani agar Angel bisa terbuka, ia melakukan ini karena tahu Angel paling tak bisa melanggar aturan. Tapi Angel suka itu, ia merasa lega menceritakan semua pada kawan-kawannya. Oh, tidak semua mungkin.
Kini giliran Sivia yang memutar, karena tadi dia sudah mengutarakan pendapatnya. Kawah putih Bandung sudah menjadi pilihannya dan Ami sejak awal, beserta semua penjelasan tentang rincian biaya, jadwal kegiatan, dan lamanya mereka berlibur di sana.
Sivia meletakan tangannya di atas botol bekas teh Sosro, dan menggerakan jarinya untuk memutar botol itu. Setelah 15 detik berputar, botol itu mulai menunjukan gejala akan berhenti, dan beberapa detik kemudian akhirnya botol itu berhenti bagian tutup botol itu mengarah tepat ke Ami, lagi? Ini sudah ketiga kalinya botol kaca itu menunjuk Ami setelah Sivia.
“Hah? Gua lagi? Ah nggak seru!”
“Ya nggak mungkinlah, Mi, loe ngomong lagi,” sela Angel.
“Iya sih, hehehe. Tapi gua males muter. Loe aja lagi, Vi.”
“Iya-iya.”
Sivia kembali memutar, dalam pikirannya ia ingin botol itu memilih Dea. Memang tak baik berharap pada benda mati, tapi ia benar-benar ingin mendengar pendapat Dea tentang liburan kali ini. Sivia masih ingat liburan semester lalu, mereka berempat pergi ke rumah saudara Dea di Bandung dan mengelilingi Bandung, dengan penutup liburan di Boscha mereka benar-benar bisa memaknai hidup dan persahabatan mereka.
Tapi rasa penasaran Sivia akhirnya kembali tertunda, ternyata botol itu menunjuk Angel. Kini Angel gugup karena Dea, Ami, dan Sivia menatapnya. Kedua tangan Angel mengepal, ia berfikir keras lalu sesekali menatap Dea, Ami dan Sivia bersamaan.
“Gua setuju ke kawah putih, nanti kan kita bisa ke Boscha lagi.”
“Yes! 3 suara ke Kawah Putih! Loe harus cara alasan yang kuat De, kalau mau nolak keputusan kita,” ucap Ami.
“Oke, karena gua yang terakhir. Berarti gua nggak usah ditunjuk botol, kan?”
Ketiga temannya mengangguk. Dea pun berdiri dan memandang keadaan sekeliling.
“Bogor itu … indah, ya?”
Sivia yang duluan mengangguk, diikuti Angel dan Ami.
“Luas lagi, bisa nampung sekolah-sekolah yang nggak terhitung jumlahnya.”
“Indonesia sih emang luas De, bukan Bogor aja,” sela Sivia.
“Hahaha, iya.”
Dea menghelakan nafas panjang dan mulai mengelilingi teman-temanya satu putaran lalu duduk kembali di tempatnya. Ia kembali tersenyum.
“Dibandingkan dengan Bandung, mungkin keindahan alam di Bogor masih kalah jauh ya… buktinya Bogor nggak punya kawah putih. Bogor cuma punya gunung salak dengan kawah yang kurang bagus dipandang, beracun lagi tiba-tiba.”
“De, gua rasa loe bakal pilih Kawah Putih. Iya, kan?” tebak Ami.
“Sok tahu, deh. Gua nggak akan pilih Bandung lagi.”
Ketiga temannya menunjukan ekspresi bingung. “Ni anak mau kemana sih?” gumam Sivia dalam hati.
“Karena gua nemuin tempat wisata yang lebih indah dari Kawah Putih… yaitu Puncak.”
“Puncak? Kita kan udah pernah kesana pas kelas 1, De,” keluh Ami.
“Tapi Angel belum, kan?”
Sivia dan Ami menatap Angel.
“Dan Angel juga belum pernah ngeliat indahnya pemandangan bintang di Puncak, kan?”
“Menurut gua, Boscha tempat yang paling cocok buat ngeliat bintang,” ucap Angel mencoba membela Sivia dan Ami.
“Uhm, yakin? Vi, Mi? Loe berdua yakin sama ucapan Angel?”
“Ok, memang sih puncak jauh lebih baik daripada Boscha menurut gua, dan itu sebabnya gua nggak bisa ngelepasin loe dari hidup gua, De,” ucap Ami.
“Ya, bintang-bintang di Puncak emang sama dengan di Boscha, tapi mereka nggak bercerita sama kita.”
“Nggak bercerita?”
“Iya, Njel. Loe harus rasain ngeliat bintang dari bukit bintang di Puncak, dan loe bisa yakin kalau pilihan Dea buat loe itu nggak salah,” ucap Sivia sambil tersenyum.
“Benarkah?” ragu Angel.
“Bener banget, kok,” yakin Ami.
“Jadi gimana? Puncak?” Tanya Sivia.
Setelah terdiam beberapa lama…
“Puncak! We’re coming!!” seru keempatnya.
---
Ami membawa banyak referensi buku untuk makalahnya, perjalanannya ke kelas cukup menegangkan, bagaimana tidak, buku-buku yang bertumpuk itu tingginya melebihi kepalanya. Ia selalu nyaris menabrak orang. “Huh, anak-anak kemana sih? Bisa-bisanya mereka ngilang pas gua lagi butuh,” keluh Ami. Ia selalu khawatir di setiap langkahnya, dan ke-khawatirannya itu terjadi saat seorang anak yang sedang bermain skateboard menabraknya. Sontak seluruh bawaannya jatuh dan Ami masih diam karena terkejut, bukan terkejut karena bukunya yang jatuh, tapi ia terkejut melihat orang yang menabraknya. Anak laki-laki itu terduduk sambil mengelus sikunya sejenak. Anak lelaki itu mendongak dan terheran dengan kelakuan Ami. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke buku-buku yang berserakan di sekelilingnya.
“Hah? Aduh, maaf banget ya, Mi. Gua nggak sengaja,” ucapnya sambil menata buku-buku yang berserakan itu, Ami berusaha mengendalikan perasaannya dan ikut membantu.
“Iya, nggak apa-apa, Yan Gua juga yang salah bawa buku sebanyak ini.”
“Buat makalah Go Green tanggal 10 nanti ya?” Tanya Septian saat melihat sebuah buku berjudul “Penghijauan lingkungan”.
“I…iya.”
“Udah sampai mana, Mi persiapannya?”
“Belum sama sekali, Yan.”
“Haduh? Kok bisa?”
“Gua emang nggak bakat sama yang beginian.”
“Yah, loe jangan putus asa dong, Mi. uhm… mau gua bantuin?”
“Tapi kan loe lawan gua juga, Yan.”
“Nggak apa-apa, gua nggak akan ambil ide loe, kok.”
“Ih, bukan gitu, Yan. Tapi…”
“Udah nggak usah tapi-tapian, selesai kelas meeting hari ini, kita ke perpustakaan kota, dan nggak ada kata nolak. Ok?”
“Uhm…”
“Sip, ntar gua tunggu loe di depan gerbang, jangan lupa, ya!”
Setelah menata buku Ami, Septian pamit untuk persiapan lomba footsal 1 jam lagi. Sepeninggal Septian, Ami masih terdiam sambil menelusuri tapak kaki Septian yang tak terlihat, ia merasa beruntung bisa mengenal lelaki itu. Lelaki yang mampu membuatnya tersenyum, membuat semua terasa mudah bagi Ami. Semilir angin menerpa kerudung putih Ami, mata Ami terpejam merasakan kuasa Tuhan itu. “Betapa beruntungnya diriku…,” gumamnya.
“Beruntung darimana?”
Mendengar suara itu mata Ami langsung terbuka, menoleh kea rah suara dan menunjukan ekspresi kesal pada pemilik suara itu.
“Ih, apa urusan loe?”
“Septian, ya?”
“Udah deh, gua masih sibuk,” ucap Ami seraya melangkah meninggalkan Patton. Patton terus menatap Ami sampai benar-benar hilang dari hadapannya.
“Jadi bener, selama 3 tahun ini Ami suka sama Septian…”
Patton menghelakan nafas panjang, karena ia kira dengan begitu rasa yang mengganjal dihatinya akan hilang seiring dengan nafasnya. Tapi ia salah, dan merasa bersalah. Karena telah menyukai orang yang sudah menyukai orang lain. Mungkin tidak salah, hanya saja ia juga tahu Septian pun menyukai Ami, jadi tidak mungkin ia bisa berada di antara keduanya.
“Apa sih yang gua pikirin,” keluhnya.
***
Dea diam-diam memperhatikan orang yang sedang bernyanyi di tengah aula dari pintu masuk, senyumnya mengembang saat mendengar suara anak itu. Lomba persahabatan tahun ini sangat istimewa untuk kelas 3, karena ini adalah lomba terakhir mereka di SMA Global. Paduan Suara pasti menunjukan kemampuan mereka yang luar biasa, sayangnya Dea bukan anak Padus, padahal ia ingin sekali ikut bernyanyi dengan anak-anak Padus. Dan ia juga tidak ikut lomba tahun ini, ia mendapat keringanan setelah mendapat piala Nasional beberapa minggu yang lalu. Walaupun ini perlombaan terakhir, tapi Dea benar-benar harus menjaga kesehatan untuk test masuk Universitas 2 minggu lagi.
“Bagus Rio, suara kamu semakin matang untuk lomba persahabatan minggu depan.”
“Terimakasih Bu Ninda, boleh saya keluar sekarang?”
“Baiklah, untuk yang lain juga istirahatlah dulu, jam 1 nanti kalian kembali, oke?”
“Oke, Bu!”
Anak-anak Padus berhambur keluar, Dea yang sedang sembunyi langsung melarikan diri juga. Rio tak sengaja menangkap sosok Dea yang berlari. Ia tertawa kecil.
“Anak itu pasti melihat kami diam-diam lagi.”
***
Dea berhenti berlari ketika melihat kakak kelasnya sedang berdiri di depan ruang guru bersama pelatih karatenya.
“Kak Alvin? Ngapain dia kesini?”
Dea terus menerka seraya mendekat agar bisa mendengar pembicaraan keduanya.
“Hanya untuk seminggu, bapak mohon bantuan kamu.”
“Lebih pun tak apa, Pak. Lagipula saya nggak ada jadwal kuliah sebulan kedepan.”
“Wah, enak banget ya jadi anak kuliahan…”
Keduanya tertawa, Dea agaknya tahu arah pembicaraan ini. Tanpa sadar ia berdiri dari tempat persembunyiannya sehingga Alvin dan pelatihnya melihat Dea.
“Lho? Dea, kebetulan sekali kamu di sini, mari saya kenalkan pada pelatih karate seminggu kedepan.”
“Emang bapak mau kemana?”
“Saya harus pergi ke dinas, Dea. Ayo kenalan dulu.”
“Alvin.”
Dea terkejut melihat prilaku Alvin yang pura-pura tak kenal dengannya, padahal baru 2 hari yang lalu mereka bertemu. Dengan muka masam ia membalas jabat tangan Alvin.
“Dea.”
“Wah, saya sudah nggak ada waktu lagi. Kalau begitu Dea, saya minta tolong kenalkan anak-anak karate pada Alvin, ya.”
Terkesan sengaja, pelatih karate Dea pergi meninggalkan Dea dan Alvin. Dea memperhatikan Alvin detail dari bawah ke atas. Laki-laki itu bertambah tinggi cukup drastis, penampilannya jauh berbeda dari SMP dulu, hampir semua yang Dea kenal dari Alvin berubah, hanya 1 yang masih Dea kenal dari Alvin. Tatapannya, tatapan Alvin yang selalu bersinar seperti bintang, dan itu juga alasan bagi Dea menetapkan hanya Alvin yang menjadi bintang di hatinya. Ketika ia ingin melupakan Alvin, Alvin malah semakin dekat dengannya. Seperti hari ini, ia akan bersama Alvin selama seminggu, dan itu adalah hal yang sangat berharga. Karena ia tak tahu apakah kesempatan ini akan tiba lagi atau Dea hanya bisa memendam perasaan itu hingga seorang lelaki dapat menjadi bintang pengganti baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini