Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - TUJUH

Tujuh

“Aku adalah gadis berumur 17 tahun yang sedang mencari sebuah bintang, sebuah bintang yang bersinar karena kasih sayang, sebuah bintang yang menyinari karena keinginan, keinginan seseorang untuk terus memberi kasih sayang. Sebuah bintang yang mungkin hanya ada di Surga. Sebuah bintang yang mungkin suatu saat nanti akan turun, turun menuju hatiku yang kosong, hatiku yang kini menginginkannya.”
Seperti itulah kata-kata yang Dea katakan saat ospek beberapa bulan lalu. Dan itu membuatnya langsung populer, siapa sangka gadis perawakan tomboy seperti Dea bisa mengatakan hal seromantis itu. Hanya Rio yang bisa percaya akan tindakan Dea, karena 3 tahun bersamanya sudah cukup untuk mengenal baik gadis itu. Ya, Rio dan Dea memang mengenyam pendidikan di Universitas yang sama, bahkan di jurusan yang sama. Ini bukan karena kebetulan, tapi memang Rio dan Dea punya bakat yang sama, dalam jurusan Psikologi yang menarik.
“Cie, yang dapet predikat cewek ter’cowok’ dan teromantis,” ledek Rio saat Dea sedang mengobrol dengan Kevin dan Yuki. Kevin adalah kawan 1 jurusan, sedang Yuki adalah teman 1 kos-an.
“Hah? Loe tahu darimana, Yo?” Dea terlihat antusias, dan itu membuat Rio girang sendiri.
“Itu, di mading utama. Tanpa kita sadari ternyata panitia ospek bikin awards tentang anak-anak ospek tahun ini.”
“Wah, kalau loe dapet predikat apa, Yo?”
“Gua jadi cowok terdiam, kurang lebih sama kayak pas kita SMA. Hahaha, sebelum loe berdua (sambil menunjuk Kevin dan Yuki) nanya, gua kasih tahu aja, ya. Yuki dapet predikat cewek terfavorit, keren banget dah! Sedangkan Kevin jadi cowok terjorok.”
“Aku jadi cewek terfavorit? Atas dasar apa?”
“Entahlah, mungkin karena loe anak yang paling nurut. Hahaha, kan kalau Dea bisa-nya ngelawan kakak kelas.”
“Lha gua? Kenapa jadi terjorok, kayaknya gua baik-baik aja deh belum buka aib gua pas ospek kemarin?” Kevin menunjukan ekspresi konyolnya lagi–baca : sok polos.
“Mana gua tahu, yang pasti pilihan para panitia ospek selalu bener, buktinya mereka tahu kalau loe emang jorok! Padahal loe belum nunjukin! Hahahaha!”
Gelak tawa menghiasi meja itu, meja yang berada di dekat taman fakultas. Tempat itu memang tempat paling cocok untuk mengobrol atau sekedar meregangkan otot otak yang penat akibat pelajaran. Suasananya damai dan udaranya sejuk. Sangat pas bukan? Apalagi di dekat meja putih panjang itu terdapat berbagai macam jenis bunga, membuat tempat itu menjadi nyaman dipandang.
“Oiya, ini jam berapa sih?”
“Jam 10, Ki.”
“Ya Allah! Aku lupa! Aku ada kelas jam 10! Aku cabut duluan, Ya! Bye semua!”
Dalam hitungan detik Yuki menghilang dari hadapan kawan-kawannya.
“Gile, cepet bener larinya,” gumam Rio.
“Nggak nyangka, padahal Yuki nggak setinggi loe, De. Tapi larinya ngalahin loe.”
“Kevin, loe nggak bisa nilai orang dengan melihat penampilannya aja.”
“Oke, Nyonya.”
“Ngomong-ngomong, kita nggak ada kelas jam segini?”
“Asem! Kita kan ada kelas jam segini juga!”
Ketiganya pun berlari ke kelas yang dituju, sama seperti yang Yuki lakukan.
***
“Seperti yang saya takutkan, Nyonya. Kekuatan mata Alvin melemah, kalau begini terus 2-3 tahun lagi Alvin bisa buta permanen.”
“Apakah tidak ada cara lagi untuk menyembuhkannya, Dok?”
“Kankernya bisa diminimalisir, tapi tak bisa disembuhkan. Maka dari itu Alvin bisa buta, Nyonya.”
“Saya berharap Dokter bisa melakukan apapun demi kesembuhan Alvin, saya akan bayar berapapun.”
“Kami hanya bisa membantu pada tahap itu, Nyonya. Maafkan kami.”
“Jadi, anak saya akan buta?”
Dengan ragu, dokter itu mengangguk. Kenyataan memang menyakitkan, tapi sebuah rahasia kecil pasti sudah Tuhan siapkan untuk Alvin. Sebuah rahasia kecil yang menyenangkan dan juga Alvin harapkan, mungkin.
***
Seni sudah menjadi jiwanya, darah seni terus mengalir demi siklus kehidupannya. Setiap goresan kuasnya adalah berharga, goresan itu menggambarkan seluruh ekspresi hatinya. Saat ia senang, maupun sedih. Ia benar-benar menikmatinya, seluruh hidupnya seperti ia abdikan untuk melukis. Hampir tak ada yang dapat menghiburnya kecuali melukis, hampir… karena ia menemukan sesuatu yang juga menghiburnya, sekaligus membuatnya sedih. Ini cerita tentang ketiga sahabatnya. Yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi Sivia.
Hampir semua lukisan yang ia buat menggambarkan persahabatannya dengan ketiga orang itu. Ia sangat mahfum ketika Ayahnya bertanya, apakah ia rindu pada teman-temannya atau hanya sekedar menuangkan inspirasi belaka. Walaupun Sivia tak pernah menganggap yang ia lakukan hanya angin lalu.
Lukisan itu benar-benar ia buat dengan sepenuh hati, tak ada yang dilebihkan atau dikurangkan. Semua mengalir alami, bahkan jika bosan ia menyempatkan diri untuk menggambar ketiga kawannya. Ilusi… ya, itu sedikit memberi ilusi menyenangkan bagi Sivia. Sivia sudah cukup senang dengan memandangi lukisan itu, walaupun ia masih sangat rindu pada ketiganya.
Saat ia melamun, sebuah suara engsel pintu tua berbunyi nyaring, tanda pintu dibuka. Ayah Sivia tersenyum lembut sambil menatap anak tunggalnya. Sivia sebenarnya senang berada di Bandung, karena Ayahnya punya lebih banyak waktu luang untuknya.
“Nak, apakah kau tidak ada kelas hari ini?”
“Maaf, Yah. Jam berapa sekarang?” maklum, karena rumah itu masih baru jadi balkon tempat Sivia biasa melukis belum terdapat jam dinding.
“Jam 10, Nak.”
“Tak apa, Yah. Kelasku dimulai jam 10.30, lagipula tempat ini dekat dengan fakultasku.”
Jurusan yang Sivia ambil adalah sastra Indonesia, pilihan yang tepat untuk seniman multitalenta seperti Via. Sivia sebenarnya tak berminat untuk menjarah bagian seni karang-mengarang fiksi, tapi setidaknya dengan memahami kalimat-kalimat tentang keindahan seni, yang mungkin akan lebih mudah jika ia mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar, Sivia bisa lebih memaknainya dan menghasilkan lukisan yang lebih indah lagi. Membaca memang kunci segalanya.
“Jangan kau berlama-lama di depan kanvasmu, Nak. Walaupun Ayah tak melarang sepenuhnya, tapi hargailah waktumu menjadi seorang Mahasiswi yang baik.”
“Via nggak suka dilarang, Ayah.”
“Ayah tidak melarang, tapi pikirkanlah baik-baik.”
Ayah Sivia pergi, setelah mencoba untuk tidak bertengkar dengan anak tunggalnya itu, ia akan pergi. Karena lebih baik ia pergi daripada membuat anaknya sakit hati.
“Ada apa dengan lelaki itu?” lelaki itu? Sivia tak biasa memanggil Ayahnya dengan sebutan Ayah jika ia sedang berdiri. Bagaimanapun di balik sifat manjanya itu, tersimpan rasa sakit yang dalam. Rasa sakit yang sama seperti yang dirasakan Bundanya. Dan Sivia takkan bisa memaafkan lelaki itu.
***
Seusai kelas pendidikan alam berakhir, Dea, Rio, dan Kevin pergi ke kantin untuk makan siang. Di sana Yuki rupanya sudah menunggu, di tempat biasa. Yuki belum memesan apapun, ia setia menunggu Kevin, Dea, dan Rio. Ia tak berani memesan sendirian. Memang benar, Yuki itu anak yang penurut, juga pendiam. Menjadi peserta ospek terfavorit tentu saja membuatnya terkejut, setelah kelasnya selesai ia langsung melesat ke mading utama. Matanya terbelalak saat melihat namanya benar-benar tercantum sebagai peserta ospek terfavorit seperti kata Rio. Ia senang bukan main, bahkan ketika ketiga kawannya mendatangi Yuki, ia masih senyum-senyum sendiri.
“Loe kenapa, Ki?” Kevin bertanya.
“Nggak apa-apa, ayo makan.”
“Ada yang aneh ni,” selidik Dea.
“Jangan-jangan loe lagi dipede-kate-in, Ya? Sama siapa, Ki?”
“Idih, apaan sih kamu, Yo.”
“Cowok yang pertama kali pedekate sama Yuki hanya gua! Nggak boleh ada yang lain!” memang hal yang biasa melihat cowok tinggi putih seperti Kevin bilang hal itu pada Yuki dan teman-temannya. Dia memang menyukai Yuki sejak SMA, walaupun SMA mereka berbeda, tapi Kevin yang memang nakal ini berhasil mencuri kesempatan bertemu dengan gadis pendiam di depannya. Kesempatan? Kenal darimana? Dari sebuah kafe yang mempekerjakan Yuki. Yuki memang bukan orang kaya, yang harus mendapatkan uang dengan kerja paruh waktu. Dari sanalah Kevin melihat kegigihan seorang gadis di bawah umur, yang berjuang demi keluarganya.
“Kayaknya loe cuman pedekate aja, Vin. Mana hasilnya?”
“Belum saatnya, gua udah bilang suka kok sama Yuki, cuman Yuki-nya belum jawab.” Sambil melirik Yuki. Yuki yang awalnya senang, langsung berubah sikapnya menjadi gugup. Kata “I Love U” itu terus terngiang di telinganya, kata yang muncul 1 tahun yang lalu. Saat keduanya sedang jalan-jalan di Dunia Fantasi, tepatnya di halilintar. Begitu mudah. Begitu ringan. Begitu indah.
“Dan sekarang, loe mau jawab apa, Ki? Mumpung kita di sini.” Paksa Rio.
“Aku belum memikirkan ini lebih dalam,” jawab Yuki singkat.
“Nah, begitulah dia. Tapi gua akan tetap nunggu kok, nunggu bintang itu mau menyinari hati gua. Bintang dari Surga.”
Dea terpaku mendengar kata itu, bintang dari Surga. Kepalanya mendadak pening berat, ia kembali teringat pada sosok itu. Sosok yang membuatnya sangat senang, juga sangat marah.
“Kamu kenapa, De? Kok raut muka kamu mendadak pucat?”
“Oh, nggak apa-apa. Uhm, gua mau ke perpus dulu, ya.”
“Tumben ke perpus, De?”
“Ada yang harus gua cari, bentar ya. Sampai ketemu di kelas.”
***
Dea tidak bersungguh-sungguh saat ia mengatakan, “Gua mau ke perpus dulu.” Karena sebenarnya ia pergi ke kamar mandi. Mungkin ia akan lama di kamar mandi, dan lebih logis meninggalkan teman-temannya lama karena pergi ke perpus daripada kamar mandi.
“Sekarang gua bener-bener bingung, walaupun gua pernah bilang benci sama dia. Tapi gua yang ngerasain ini, gua masih sayang sama dia.”
***
_flashback_

“Ini sudah waktunya, loe bilang apa salah gua, Mi.”
Ami masih terdiam, ini memang sudah waktunya. 1 hari setelah pengumuman Universitas. Ia dan ketiga sahabatnya tak bisa bersama lagi, karena mereka masuk ke Universitas yang berbeda, di kota yang berbeda pula.
“Mungkin ini kesempatan kita yang terakhir untuk bertemu, sebelum akhirnya kita tak bisa bertemu lagi karena perasaan itu.”
“Ami, gua nggak mau ini jadi yang terakhir.”
“Gua bingung, Vi. Gua bener-bener takut saat gua harus menatap mata loe, karena mata loe itu memancarkan kesalahan gua. Kesalahan yang nggak bisa gua bayar dengan apapun.”
“Kalau loe bilang kesalahan loe nggak bisa dibayar, tolong bayar dengan kejujuran.”
Ami berusaha menatap mata Sivia, sahabatnya. Hatinya kembali sakit, benar-benar sakit.
“Kesalahan gua… gua nggak bisa percaya lagi sama loe.”
“Ke… kenapa?”
“Untuk sebuah perasaan bodoh, untuk seseorang yang kita suka, untuk semua ketertutupan loe sama gua. Gua susah buat percaya lagi sama loe.”
“Masalah Tian? Loe udah tahu semuanya?”
“Ya, gua cuman jadi pelarian cowok itu, dan juga gua udah jadi dinding pemisah loe sama dia.”
“Gua akan lupain semua perasaan gua sama dia, tapi tolong tetep percaya sama gua, Mi.”
“Apa gua bisa percaya lagi sama loe Vi… cuman waktu yang bisa menjawab.”
“Maafin gu…”
“Jangan minta maaf, please. Permintamaafan loe itu cuman bikin gua tambah sakit, Vi. Di sini.” Seraya menunjuk letak di mana semua perasaannya berkumpul.
“Jadi? Sekarang… gimana?”
“5 tahun, mungkin itu waktu yang cukup bagi kita merenungkan semuanya sebelum reuni angkatan. Semoga saja kita bisa melupakan semua… oh, kecuali kasih sayang kita.”
Sivia langsung memeluk Ami, berharap hari ini bukan waktu terakhir ia bertemu dengan Ami.
***
Ami terjatuh dari pangkuan tangannya, saat ia tersadar ia baru bangun dari mimpi, seseorang menepuk pundaknya agar ia lebih tenang.
“Kamu nggak apa-apa, Mi?”
“Nggak apa-apa, ko… eh, Kak.”
“Syukurlah, dengan begitu kamu masih bisa fokus kan sama pelajaran saya?”
“I…iya, Kak.”
Ini kali ke-empat ia tertidur di kelas orang ini. Bukan karena pengajarannya yang buruk, tapi pelajarannya yang ia tak suka. Membosankan, Kimia Lingkungan. Ami kembali mencoba berkonsentrasi mendengarkan penjelasan orang itu, seorang asisten dosen yang umurnya hanya berbeda 2 tahun dengannya. 2 menit… 3… 4… 5…
“Hoahmm…” Ami menguap kecil, ia benar-benar tak suka pelajaran ini. Sesuatu berbau alam selalu mampu membuatnya kesal. Apalagi jika ingat presentasi makalah ilmiah dulu, saat festival SMA Global.
“Rahmi Amalia,” panggil Lintar kembali membangunkan Ami yang mulai terkantuk lagi.
“Maaf bos! Kayaknya saya harus ke kamar mandi!” Dengan cepat Ami berlari menuju kamar mandi. Lintar hanya menggeleng maklum. Ia gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu tidak suka pelajaran ini.
Setibanya di kamar mandi, ia langsung membasuh mukanya. Ia benar-benar mengantuk, lebih baik dia pergi saja dari kelas itu.
“Gila, kenapa pikiran gua masih kacau aja sih setiap pelajaran itu!” Ia hanya bisa menggerutu, tak memperbaiki masalahnya.
Ia menatap wajahnya di cermin, bayangan Tian tiba-tiba muncul lagi, cermin menjadi hal yang paling ia benci sekarang. Entah benar atau salah, perasaan suka itu menjadi benci. Benci karna membuatnya berpisah dengan sahabatnya, benar-benar bodoh.
“Loe harus pergi dari pikiran gua!” Bentaknya.
Ami keluar dari kamar mandi, dan seseorang menunggunya di depan pintu.
“Kamu nggak apa-apa? Bener?”
“Lintar, saya nggak apa-apa. Dan jika Anda terus bertanya, itulah yang jadi apa-apa.”
“Nanti malam ada acara?”
“Acara khusus sih nggak ada, tapi kayaknya saya mau ngerjain tugas Kiling dari Anda deh.”
“Bisa nggak sih, kamu bicara sama saya lebih enak lagi kedengarannya?”
“Lebih enak gua-loe.”
“Saya juga nggak mau pakai bahasa saya-kamu, tapi Ayah kita memaksa.”
“Ayah kita… cih.”
“Bisa nggak kamu hormati saya sebagai orang yang lebih tua dari kamu?”
“Arogan loe mulai keluar, Ko.”
“Dan jangan keluarkan kata-kata loe-gua di depan saya.”
“Pemaksaan ini rupanya menjadi kebiasaan Anda, ya?”
“Saya hanya ingin dihargai.”
“Kalau Anda ingin dihargai, tolong bilang pada Ayahku dan Ayah Anda, agar tidak mencampuri masalah pribadi saya!”
Nada bicara Ami mulai meninggi. Lintar mundur selangkah, antisipasi jikala Ami benar marah dan melemparinya dengan isi tasnya, mungkin agak berlebihan. Tapi itu pasti terjadi, seperti 2 minggu yang lalu. Walau takut, Lintar masih menanggap gadis itu menarik.
“Ini di luar kuasa saya, Ami.”
“Betapa muaknya saya melihat Anda mengajar kelas saya, ini juga pasti karena orangtua kita kan? Kenapa sih orang dewasa selalu bertindak semena-mena!”
“Suatu saat nanti juga kau akan dewasa, menjadi orangtua.”
“Aha? Kau mulai berkata seakan kau yang paling benar.”
“Dan bukankah ucapan saya benar?”
“Melihat Anda benar-benar menyiksa saya, mengingatkan saya pada sosok yang tak boleh saya ingat lagi. Cukup untuk kelas minggu ini yang setiap harinya selalu melihat Anda! Saya tidak akan masuk jika Anda yang mengajar!”
“Kamu mengancam? Bukankah itu buruk bagi pendidikanmu juga?”
“Saya bisa belajar sendiri, pelajaran yang memuakan itu.”
“Baiklah, saya akan bilang Ayah untuk berhenti menjadi asistennya. Kamu puas?”
“Terimakasih.”
***
Angel menata rambutnya yang menjadi kecokelatan akibat sinar matahari kemarin siang. Ia menghabiskan waktunya di lapangan untuk melihat lelaki itu bermain basket. Menurutnya lelaki itu memang multitalenta, selain beladiri ia juga bisa basket dan yang paling penting juga paling Angel suka adalah, lelaki itu bisa bernyanyi. Ia masih ingat saat lelaki itu mengoloknya habis-habisan di depan teman-teman sekelas. Dan bagaimana Dea membelanya. Bentakan Dea sebenarnya membuat Angel takut, tapi tak berlangsung lama karena mereka sudah resmi menjadi sahabat. Yang 5 tahun lagi akan bertemu, entah di puncak atau di reuni angkatan.
“Ada yang beda sama rambut loe, Njel,” ucap Zeze kawan 1 fakultas Angel. Angel hanya tertawa kecil menanggapinya.
“Ini karena kemarin siang selama 4 jam aku berada di sisi lapangan yang terik.”
“Ohya? Maksud loe, loe ngeliatin Kiki?”
“Bukan cuman dia, Ze. Tapi seluruh anggota klub basket.”
“Oh, dikira gua, lu beneran naksir sama dia.”
“Nggak lah, nggak mungkin. Apalagi kalau gua inget saat dia ngejek gua dulu. Hih, ogah banget.”
“Sungguh, kata dan hati loe bener-bener berlawanan.”
“Hahahaha.”
“Hei, kalian udahan belum sih? Ngaca aja lama banget,” ucap Gaby, juga kawan baru Angel.
“Sory, Gab, kita kan cewek. Hahahaha.” Angel ikut tertawa mendengar candaan Zeze.
“Gua juga cewek, tapi nggak seganjen kalian!” kesal Gaby.
“Yaudah, ayolah ke kantin. Gua laper banget,” ucap Angel sambil memegangi perutnya.
Keluar dari kamar mandi, ketiga gadis itu melihat tim basket utama sedang melewati lorong fakultas. Tak peduli atau peduli?
“Ya… lumayan sih, tapi buat apa punya cowok kalau ujungnya kita disakitin,” ketus Gaby.
“Jadi loe nggak mau punya cowok seumur hidup loe, Gab?”
“Ya nggak gitu juga, Ze. Cuman sekarang kan gua masih muda, jadi gua pengen single aja. Kalau umur gua udah 23-an, baru gua pikirin.”
“Dasar cewek jadi-jadian,” celetuk Zeze.
“Apa loe bilang? Kalau gua cewek jadi-jadian, loe apa dong? Cewek ganjen?”
“Sekali lagi loe bilang gua cewek ganjen, nggak segan-segan gua lemparin sepatu gua ke muka loe,” ancam Zeze.
“Kalian berdua apaan sih? Udahlah, yuk ke kantin.”
Walaupun Angel berusaha tak peduli, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok itu.
***
Bagi Dea, bela diri adalah masa lalu. Sejak ia masuk Universitas, ia tak pernah mengungkit 2 kata itu lagi. Sudah cukup bidang itu membuatnya kecewa, bahkan Dea nyaris membenci bela diri. Terlalu berlebihan, tapi itulah kenyataan. Perhatiannya ia alihkan pada seni musik, setidaknya ia takkan ingat Alvin jika ia bernyanyi. Oh, salah. Ia bukan takkan mengingatnya, tapi belum mengingatnya.
Bagi Sivia, pergi ke bulan adalah masa lalu. Karena orang yang pertama kali menceritakan tentang indahnya bulan adalah Septian. Lelaki yang membuatnya benci setengah mati, Sivia tak mau menggambar atau mengingat bulan lagi. Cukup sekali seumur hidup ia merasakan benci seperti itu.
Bagi Ami, alam sungguh menyakitkan baginya. Meneliti lingkungan membuatnya kembali teringat air mata itu, perasaan itu, dan ia benci semuanya. Apalagi sekarang ada lelaki yang hendak dijodohkan dengannya, ahli lingkungan pula! Ami semakin muak pada alam sekarang. Walaupun ia tahu sebenarnya alam adalah segala jerih payahnya, segala kehidupannya. Ya, ia tak bisa begitu saja terlepas dari alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini