Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - DELAPAN

Delapan

YUKI memandangi lampunya yang berbentuk bintang. Lampu yang dihadiahkan Kevin untuknya, beberapa tahun yang lalu. Sudah setengah jam ia memandangi lampu itu. Dea yang tak tahan melihatnya pun menepuk pundaknya.
“Yuki, loe mau sampai kapan mandangin lampu itu?”
“Emang udah berapa jam aku di sini, De?”
“Berapa jam? Jangan-jangan kalau gua nggak ingetin loe, loe bisa di sini lebih lama?”
“Iya, paling lama 2 jam.”
Mata Dea terbelalak, tapi ia langsung tenang. Dea duduk di samping Yuki dan ikut memandangi lampu bintang Yuki.
“Dari siapa, Ki?”
“Kevin…”
“Pantesan.”
“De, aku mau tanya. Tapi kamu jawab yang jujur, ya?”
Dea hanya mengangguk.
“Menurut kamu, Kevin bener-bener suka sama aku… eh, cinta sama aku nggak?”
“Wah, kalau ditanya kayak gitu sih gua nggak bisa langsung nyimpulin, Ki.”
“Menurut penglihatan kamu selama ini aja deh, De.”
“Sekarang gua aja deh yang tanya, yang loe rasain apa saat dia mandang mata loe?”
“Aku merasa, dia mau jagain aku.”
“Dan loe merasa dia sanggup?”
Wajah Yuki bersemu merah, tangannya bergetar ketika ia gugup.
“Aku maunya begitu, De, dan menurutku dia sanggup.”
“Jadi, jalanilah apa yang loe rasa, Ki.”
“Tapi nggak tahu kenapa, aku masih ragu.”
“Ragu kenapa?”
“Aku udah menganggap Kevin sebagai kakakku sendiri, mana mungkin aku bisa mencintai kakakku sendiri?”
“Turunkan sedikit rasa itu, anggap Kevin sebagai sahabat loe. Mungkin itu bisa membuat hati loe lebih terbuka menerimanya.”
“Apa begitu sebaiknya?”
“Gua mau tahu dong, apa aja pengorbanan dia buat loe?”
“Kevin belajar mati-matian demi masuk Universitas ini, dia bilang semua itu demi aku. Padahal semasa SMA, 20 besar pun dia tak pernah masuk.”
Dea terdiam, ingatannya berputar. Dulu ia juga begitu, belajar mati-matian demi masuk SMA Global. Semua itu juga demi Alvin. Dea langsung menggeleng, karena ia tak ingin memikirkan lelaki itu untuk waktu yang lama.
“Yakinlah apa yang ada di hati loe, dan loe akan menemukan jawaban itu dengan sendirinya.”
“De? Kamu nggak apa-apa?” Yuki panik melihat mata Dea berkaca-kaca. Dea langsung memeluk Yuki.
“Yakin, itu kuncinya, Ki.” Suara Dea bergetar, Yuki makin bingung. Tapi ia berusaha tenang agar Dea juga tenang.
“Cup cup cup, jangan menangis, De. Aku di sini akan terus bersamamu.”
“Apa sih salahnya suka sama orang, Ki? Apa sih yang salah saat kita menganggap orang itu segalanya dalam hidup kita?”
“Nggak ada yang salah, De. Mungkin hanya belum saatnya.”
“Gua boong sama orang itu, gua nggak pernah benci sama dia. Tapi gua benci karena gua ngerasa dia akan pergi ninggalin gua selamanya. Entah darimana perasaan itu datang, tapi gua yakin banget.”
“Coba cari orang itu, dan minta maaflah karena kau telah membohonginya. Bisa?”
“…”
***
_flashback_

“Satu, dua, satu, dua!”
“Lari 50 keliling lagi! Ini karena lari kalian melambat! 50 keliling lagi!”
Mendengar perintah itu, Dea menghentikan langkahnya. Mukanya geram, ia prihatin melihat wajah lelah adik-adik kelasnya. Dengan cepat ia memutar balik langkahnya menuju sang ketua klub.
“Loe gila atau sinting sih? Loe nggak bisa liat anak-anak baru itu? Mereka udah lari 25 keliling, dan sekarang loe tambah lagi? Gua nggak terima!”
“Loe atau anak-anak itu yang nggak terima? Sejak kelas 1 udah gua bilang, karate itu keras. Buat apa juga cewek ikutan.”
“Loe emang nggak pernah peka sama perasaan orang lain, ya!”
“Kalau loe mau keluar sekarang, keluar aja!”
Dea terdiam, tangannya mengepal hingga semua kekuatannya tertuju pada 1 titik. Ia ingin meninju anak lelaki di depannya ini, seandainya itu terjadi apakah anak itu akan menghargainya? Akhirnya ia urungkan niatnya dan kembali berlari. Alvin tersenyum tipis, tentu bukan senyum kemenangan.
Seperti yang diperkirakan Dea, beberapa anak tumbang di putaran ke 10. Bukannya lemah, tapi Alvin memang keterlaluan jika menyuruh anak SMP berlari 75 keliling, apalagi areanya adalah lapangan terbesar di SMP Global. Dari 20 peserta klub yang terdiri dari kelas 1 sampai kelas 3, kini tinggal 15 yang bertahan. Dea masih bertahan, ia ingin membuktikan pada anak lelaki itu bahwa dirinya tidak lemah. 30 putaran tinggal 12 orang, dan Dea masih bertahan.
“Vin, loe tega banget nyuruh kita lari 75 keliling. Sumpah parah banget,” ucap teman Alvin.
“Kita lihat, setangguh apa tu cewek.” Seraya menunjuk Dea yang wajahnya sudah pucat.
“Gua nggak habis pikir, katanya loe butuh anak cewek di klub kita, pas udah ada yang minat, loe malah perlakuin dia kayak gini.”
“Loe tahu kan, pas kelas 1, angkatan tu cewek banyak banget yang daftar, eh di tengah jalan malah berhenti. Gua heran kenapa tu cewek betah di klub ini, apa gara-gara dia suka sama gua, ya.”
“Dih, pede banget.”
“Biarin ajalah, menghibur diri.”
45 putaran, tersisa 9 orang. Nafas Dea semakin berat, ia melambatkan langkahnya, Dea mencoba untuk terus menstabilkan nafasnya yang mulai sesak. Dea memang penderita asma walau tidak parah.
“Tinggal 5 putaran, ayo Dea buktikan pada orang itu bahwa kau layak masuk klub ini,” ucapnya dalam hati untuk sekedar memotivasi niatnya.
“Vin, kayaknya tu cewek udah nggak kuat, udahan aja sih. Tinggal 5 putaran lagi ini.”
“Buktinya dia masih lari, kan?”
“Kalau anak orang kenapa-kenapa, gua nggak mau ikut campur!”
Alvin memerhatikan Dea, bukan sekedar memandang, tapi juga berfikir. “Dea pasti bisa. Gua tahu dia cewek yang kuat, itulah kenapa gua suka sama loe.”
***
Langit Singapura pagi ini agak mendung, Alvin memandang langit itu dengan senyuman. Alvin pun membenarkan letak kacamatanya, kacamata yang bulan lalu dibelikan orangtuanya karena mata Alvin perlu penyembuhan dengan kacamata itu.
“Gua jadi inget Dea, anak itu kan suka banget sama hujan dan bintang. Gua jadi bingung sendiri, bukannya kalau langit lagi mendung nggak akan ada bintang? Aneh…”
Alvin mengambil gitarnya, lagu ‘since I found you’ menghiasi ruangan itu, ruangan serba putih yang sudah ia tinggali beberapa bulan ini. Bau obat menyeruak setiap Alvin baru membuka mata, walau sudah diberi pengharum ruangan baunya tetap tak berubah, malah Alvin mual jika bau pengharum ruangan dengan obat bercampur.

since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you

Lagu ini menjadi kesukaannya bersama kawan-kawannya di Universitas, juga dengan Dea.
“Aish, kenapa gua mikirin cewek itu terus sih! Belum tentu Dea mikirin gua juga!”
Alvin kembali bernyanyi, tapi berhenti lagi karena tak bisa menghilangkan wajah Dea dari pikirannya.
“Apa dia bener-bener nggak mikirin gua, ya?”
Kepala Alvin mulai pusing, matanya terasa berdenyut. Ia berjalan gontai menuju kasurnya, lalu ia ambil sebuah obat yang bisa meredakan peningnya.
“Sampai kapan gua harus menderita kayak gini, kalau begini terus… apa gua masih bisa ketemu Dea?”
***
_flashback_

Dea terus berlari, “1 putaran lagi, Dea. Jika kau mengacaukan ini, Alvin akan terus mengejekmu!” tersisa 1 pemenang, ia Dea. Gadis itu terus berlari, padahal nafasnya sudah benar-benar sesak. Tekad mengalahkan semuanya, setelah mengalahkan penyakitnya, ia bertekad akan meninju Alvin.
“Cewek itu bersungguh-sungguh mau ngalahin loe.”
“Ya.” Alvin tersenyum, ia senang gadis itu sudah menjadi gadis yang kuat. Berbeda saat Dea pertama kali masuk klub karate, Alvin sangat kesal pada Dea yang sedikit-sedikit menangis, atau mengeluh lelah.
Putaran terakhir, dan Dea berhenti di titik dimana ia memulainya. Kakinya serasa akan lepas, kepalanya sangat pening, dan nafasnya masih sesak.
“Gua menang? Karena gua…” belum selesai Dea menyelesaikan kata-katanya, ia ambruk. Wajahnya yang pucat membuat Alvin sangat cemas, ia langsung menggendong Dea ke Poliklinik sekolah.
***
Tak seperti biasa, Dea ingin memandangi langit malam Jakarta. Ia duduk di teras indekosnya, membawa gitar dan beberapa kertas berisi lagu kesukaannya. Suasana yang sangat sunyi, dalam khayalan tentunya. Kalau sepi bukan Jakarta namanya. Dea coba memejamkan mata untuk merasakan udara di sekitar menyentuh lembut kulitnya. Ia coba menyamakan sentuhan udara itu dengan udara di Bogor. Sama, walau berbeda.
Setelah merasakan udara itu di kulitnya, kini ia menghirup udara itu sedalam-dalamnya, hingga ia tak bisa menghirupnya. Lalu ia hembuskan perlahan. “Dingin…,” desisnya. Tiba-tiba Dea tertawa kecil, mengingat Rio yang memberikan roti basi untuknya. Ia tak menyangka Rio bisa mengerjainya dengan roti basi, untung saja Kevin memboikot tangan Rio saat Rio memberikan roti itu pada Dea. Sambil berteriak “Basi-basi!!”.
“Dasar anak itu,” ucap Dea sambil menahan tawanya yang mulai pecah.
Teringat tentang Rio, ia mengambil sebuah benda dari saku bajunya. Sebuah pin winni the pooh yang Rio berikan bersamaan setelah Rio memberikan roti basi itu.
“Kadang aku berfikir… Rio lebih baik dari Kak Alvin. Setidaknya ia tak pernah menyuruhku melakukan hal yang tidak kusukai.”
Dentingan senar gitar mulai mengalun, mulut Dea membuka hendak melantunkan beberapa nada yang berarti.

since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you

“Lagu ini? Ah! Kenapa gua harus mikirin lelaki itu lagi! Belum tentu dia mikirin gua juga!”
Ia kembali bernyanyi, masih dengan lagu yang sama.
“Aish, apa dia nggak mikirin gua, ya? Arggh! Gua bisa gila!”
“Gila kenapa, De?”
“Eh, Yuki. Nggak apa-apa kok.”
“Wajahmu bersemu merah, kamu sakit?”
“Ohya? Muka gua beneran merah?”
“Tapi bohong. Hihi, abisnya kamu bilang lelaki-lelaki terus.”
Dea mengibaskan tangan kanannya–tak usah dipikirkan. Tapi Yuki tak semudah itu menyerah.
“Oiya, tadi siang kok pas aku dateng, kalian bertiga heboh banget?”
“Oh, itu… Rio mau ngerjain gua pakai roti basi, tapi dicegah Kevin. Eh, ternyata habis itu dia ngasih gua pin ini.” Seraya menunjukan pin beruang madu pada Yuki.
“Jadi lelaki itu Rio? Tadi sih aku denger ada nama Rio, tapi juga… siapa? Kak siapa?”
“Please jangan mulai lagi, Yuki.”
“Oke, tapi jawab ya pertanyaanku sejujur-jujurnya? Janji?”
“Nggak janji.”
“Dea.”
Dea diam saja sambil memetik senar gitarnya asal. Yuki hanya tersenyum jahil.
“Orang yang tadi pagi kita bicarakan itu siapa?”
“Yang mana?”
“Yang kamu suka.”
“Oh, itu. Bukan siapa-siapa.”
“Mata kamu bicara lho, De, serem. Dia bilang kalau kamu benar-benar merindukannya.”
“Loe sok tahu banget sih!”
Nada bicara Dea meninggi, karena ia tak suka membicarakan Alvin sejak pertandingan itu. Yuki tahu, bahkan sangat tahu Dea sedang marah.
“Ma… maaf, Dea.”
“Sorry, gua emosi.”
“Ba…baik, sekarang aku nggak akan mengungkit kejadian tadi pagi lagi.”
“Thank’s.”
Ternyata rasa ingin tahu Yuki harus kalah karena bentakan Dea. Ia tak menyangka gadis itu akan sangat marah. Tapi entah kenapa, Yuki masih menemukan hal tersirat dari perkataan Dea tadi.
“Ia benar-benar rindu pada lelaki itu,” gumam Yuki.
***
_flashback_

Dea tersadar dari pingsannya, sinar matahari yang hendak terbenam menembus jendela kamarnya dan membuat matanya sipit. Ia mencoba untuk turun dari tempat tidurnya, ia menggeleng sekali untuk menyadarkan pikirannya.
“Kok gua di sini?”
Kini yang ia ingat hanya, ia berlari 75 keliling di lapangan terbesar SMP Global, dan ketika ia berhenti di depan… “Oh, anak itu! Mana dia? Gua tinju juga tu orang!”
“Mau ninju siapa, De?” suara lembut Mamanya terdengar saat pintu kamarnya terbuka.
“Suara Dea gede banget ya, Ma? Sampai Mama bisa denger dari luar?”
“Iya.”
Mama Dea meletakan segelas air putih dan bubur ayam di meja belajar Dea.
“Oiya, Ma. Kenapa Dea bisa di sini ya? Seinget Dea, tadi Dea masih di sekolah?”
“Teman-teman kamu yang mengantar, pakaiannya kayak anak karate.”
“Mungkin itu anak klub karate, Ma. Lalu mereka bilang apa?”
“Nggak banyak, mereka bilang kamu terserang asma, dan setelah ditangani di UKS kamu langsung dibawa kesini.”
“Nggak banyak, Ma?”
“Iya, tapi ada 1 anak yang wajahnya paling pucat saat nganter kamu.”
“Pucet? Emangnya dia juga sakit?”
“Mungkin cemas, namanya siapa itu ya, pokoknya yang kulitnya paling putih dan matanya paling sipit.”
“Alvin?”
“Iya itu dia!”
“Dih.”
“Kenapa, De? Itu pacar kamu, ya?”
“Nggak mungkin…”
“Lho? Kenapa nggak mungkin? Buktinya kamu digendong sama dia ke kamar, dan dia ngasih nomor teleponnya ke Mama, dia bilang kalau ada apa-apa sama kamu langsung kabarin dia aja. Mungkin dia maklum karena di sini hanya ada perempuan. Paling cowok di rumah ini ya supir kamu itu, De. Tapi tadi pas kamu diantar ke rumah bukan Mama yang nerima, tapi Mbok.”
“Lalu kenapa Mama tahu kalau Alvin yang gendong Dea?”
“Mama langsung pulang saat Mbok menghubungi Mama, dan masih sempat ketemu Alvin. Masalah gendong itu sih diceritain Mbok. Saat Mama tiba, hanya Alvin lho yang setia nunggu Mama.”
“Jangan tertipu sama muka manisnya, Ma. Dia itu serigala berbulu domba.”
“Hahahaha, kamu masih aja inget dongeng itu. Oiya, ini nomor temanmu itu, Mama taruh di sini ya. Mama harus ke kantor lagi.”
“Lho? Kan Dea baru sebentar ketemu Mama.”
“Ada meeting sebentar lagi, Sayang.”
Setelah mengecup Dea, Mama Dea pun meninggalkan Dea sendiri lagi. Padahal Dea sangat senang saat melihat Mamanya menyiapkan makanan untuknya.
“Apa sih yang bikin Mama bisa nemenin gua?”
***
Keesokan paginya di tempat biasa Dea dan teman-temannya berkumpul, Yuki menyuruh Rio untuk datang lebih awal. Yuki ingin bertanya tentang lelaki yang dimaksud Dea.
“Yang bener loe, Ki? Dea bilang gua lebih baik dari cowok yang namanya siapa?”
“Aku juga nggak inget, Yo. Mungkin kamu tahu siapa cowok yang deket sama Dea selain kamu.”
“Dea sih deket sama semua cowok pas di SMA. Heum, masa’ Kiki? Nggak mungkin.”
Rio berpikir, mencoba mengingat lelaki yang dekat lebih dari teman biasa dengan Dea.
“Oh, cowok karate itu. Tapi gua juga nggak tahu namanya, seinget gua dia itu kakak kelas Dea pas SMP.”
“Hubungan Dea sama cowok itu gimana, Yo?”
Rio langsung teringat hari itu, sehari sebelum Dea tak masuk untuk latihan festival. Lelaki itu mengajak Dea pulang bersama, dan Rio tahu pasti ada yang tidak beres dengan hal itu. Pasalnya, aneh juga jika Dea tak masuk untuk menghindar dari lelaki itu? Kalaupun karena lelaki itu menyatakan cintanya pada Dea, Dea tak mungkin sampai menghindarinya.
“Yo?”
“Apa benar, Dea bilang gua lebih baik dari cowok itu?”
“Iya, Rio.”
“Oke, sampai jumpa!”
“Lho? Kok sampai jumpa?”
Rio tak menjawab kebingungan Yuki, ia terus berlari melewati anak-anak fakultasnya menuju kelas pertama.
***
_flashback_

Dea terus memandangi kertas putih berisikan nomor ponsel Alvin.
“Apa bener, ini nomor dia?”
Tak berapa lama dering sms ponsel Dea berbunyi, dengan cepat Dea lihat pengirimnya.
“Gita?”

Lu udah baikan, De?

Lalu Dea membalas

Udah, Ta.

Gita membalas lagi

Alhamdullilah ^^ gua pikir lu luka parah gara-gara tu cowok.

Dahi Dea mengeryit, tapi Dea terus membalas

Ah, gua dilawan. Dia pikir gampang ngeluarin gua dari klub? Ngomong-ngomong, lu liat gua digendong Alvin?

Dea menunggu Gita membalas sms-nya dengan was-was, was-was?

Iya, gua liat kok. Tu cowok langsung gendong lu ke UKS, terus dia tanya ke gua tentang alamat rumah lu, ya gua jawab. Dia bener nganter lu ke rumah? Soalnya gua pulang agak cepet tadi. Maaf ya, De, nggak bisa nganter lu pulang.

Jantung Dea berdegup kencang, ia tak bisa membayangkan kalau Alvin menggendongnya sampai ke UKS, bahkan mengantarkannya ke rumah. Mungkin Alvin bersama teman-temannya, tapi menggendong?

Gua mau tidur dulu ya, Git. Kepala gua pusing banget, bye.

Gita membalas lagi, cukup singkat.

Oke, cepet sembuh ya ^^

Dea hanya bisa tersenyum tanpa membalas sms itu. Kepalanya sekarang memang sedang pusing. Ia tak menyangka lelaki dingin itu bisa berbuat baik juga. Apa karena ia sudah memenangkan 75 putaran itu? Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini