Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - ENAM

Enam

“Kalau itu yang loe mau, gua nggak bisa menghalanginya…”
“Gua hanya ingin mendapat bintang yang murni, benar-benar bintang yang turun dari Surga. Hanya itu.”
“Ya, gua ngerti.”
***
Dea berlari mengelilingi lapangan basket dekat rumahnya, jika Dea berolahraga sore artinya ia ingin melepas semua penat di pikirannya. Semua sudah ia lewati, mungkin tidak semua, masih ada acara perpisahannya ke puncak bersama Sivia, Angel, dan Ami. Tapi rencana iu masih di ambang batas, Dea tak habis pikir dengan Ami dan Sivia. Dua anak itu padahal sudah bersahabat cukup lama bahkan sebelum Dea belum mengenal mereka. Tapi sekarang kenapa mereka berdua seperti membenci hati satu sama lain? Bertatap wajah pun tak mau. Dea sudah mencari penyebabnya mati-matian, tapi tak dapat ia temukan. Dea terus mendesak keduanya ikut berlibur ke puncak minggu depan. Jadwal yang sudah mereka rencanakan seharusnya besok, tapi sampai sekarang mereka belum bisa di satukan. Angel juga sedang mencari penyebabnya, tapi sama saja.
“Heuh…”
Desisan itu menunjukan bahwa Dea benar-benar bingung. Dea terus berlari, sudah 10 putaran ia mengelilingi lapangan itu. Di bangku lapangan Dea telah menyiapkan tali, untuk lompat tali jika lari tidak menunjukan efeknya yang paling menyakitkan–kaki pegal sepanjang malam yang akan mengalihkan pikiran Dea sementara.
Ponsel Dea yang ia tempatkan di kantung belakang celananya bergetar, Dea berhenti sejenak.
“Halo?” sapa Dea lalu melanjutkan olahraganya.
“Loe lagi olahraga sore?”
“Iya, kenapa, Njel?”
“Ketemuan yuk, De? Loe lagi di lapangan basket dekat kompleks, Kan?”
“Iya, ke sini aja, Loe.”
“Oke, 5 menit lagi gua nyampe. Tungguin, Ya.”
“Sip.”
Dea memasukan ponselnya kembali ke tempatnya, dan terus berlari sambil terus memikirkan kemenangan Kiki tempo lalu.
***
_flashback_

“Ini final, Ki. Loe harus menang apapun yang terjadi.”
“Pasti, De. Gua yakin kali ini gua bisa ngalahin Alvin.”
“Ya, gua yakin itu.”
“Lagipula loe juga udah kasih gua taktik biar bisa ngalahin dia.”
“Pakailah taktik itu.”
Kiki melangkah ke podium pertandingan, Gedong Olahraga Jakarta itu dipenuhi penonton, karena pertandingan ini adalah pertandingan final. Alvin rupanya telah siap di sisinya, ia memandang Kiki dengan tenang. Setelah memandang Kiki, tatapannya mengarah pada Dea. Gadis yang membuatnya ingin terus hidup, walau sekarang ia harus merelakan Dea jika ada lelaki lain yang ingin memilikinya. Ia benar-benar tak bisa menemani Dea dengan raganya, mungkin hatinya yang bisa menemani Dea beserta kenangannya.
Saat peluit dinyalakan, Kiki langsung menyerang Alvin dengan segala jurusnya. Dan yang aneh Alvin tidak melawan Kiki, ia terus diam dan pasrah akan serangan Kiki. Hanya sesekali ia melawan, tapi perlawanan yang tak berarti karena Kiki dapat menangkisnya. Hingga bunyi peluit berakhirnya round terakhir, yang mengeluarkan Kiki sebagai pemenang dibunyikan. Poin mereka sangat jauh perbedaannya. Banyak orang bertanya, ada apa dengan Alvin sang juara Nasional tahun lalu? Bisa kalah dengan anak yang baru lulus SMA? Memang hanya Dea dan Alvin yang tahu apa yang terjadi.
***
Dea masih berlari ketika Angel datang, Angel hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya stress. Padahal Dea bisa masuk ke Universitas Indonesia fakultas Psikologi. September mendatang ia dengan keberaniannya akan memulai ospek–sebutan Masa Orientasi Siswa untuk Mahasiswa.
“Dea!”
Dea berhenti, lalu tersenyum sejenak melihat Angel sudah duduk di bangku yang biasa diduduki pemain basket, dan di situ pula semua barang Dea bertempat.
“Tanggung, Njel!”
“Sudah berapa keliling?”
“15!”
“Ya Tuhan…”
Dea menepati janjinya, ketika ia berada tepat di titik ia memulai berlari ia pun berhenti. Lalu ia duduk dan langsung menegak minuman isotonik dingin yang ia bawa.
“Cape, De?”
“Lebih cape ngurusin 2 sahabat loe itu.”
“Bukan sahabat loe?”
“Mereka itu lebih dari sahabat buat gua, termasuk loe. Kalian saudara gua, saudara seperjuangan. Hahaha.”
“Loe paling bisa ya bikin kata-kata kayak gitu.”
“Kata-kata kayak gimana?”
“Kata-kata yang bisa buat gua nggak bisa benci sama loe.”
“Hahaha…”
Angel menepuk kepala Dea sekali, itu tandanya Angel sedang gemas pada Dea.
“Jadi, kenapa loe mau ketemu gua?”
“Cuman mau ketemu aja…”
“Sialan lu! Gua kan lagi enak-enak lari!”
“Hahahaha, ya nggak lah, De. Ada yang harus gua sampein ke loe.”
“Apa tu? Jangan bilang loe suka sama gua?”
“Yah, itu sih nggak usah ditanya, De. Gua udah suka sama loe sejak gua jadi sahabat loe, tapi bukan itu.”
“Jadi apa dong?”
“Ini…”
Angel menyerahkan sebuah album berwarna biru pada Dea. Sebuah album foto berukuran buku tulis ukuran sedang, Dea melihat nama di sampul album itu. Alisnya terangkat sebelah sambil mengulang membaca nama itu.
“Loe dapet darimana?”
“Pas gua ke rumah Ami, nggak sengaja gua nemu itu. Mungkin ada hubungannya kenapa Ami dan Via jadi nggak ngomong satu sama lain.”
“Loe udah liat isinya?”
“Belum, gua nggak berani. Setahu gua kan Ami suka sama Tian, jadi gua ambil aja tu buku. Kalau nggak ada apa-apanya gua balikin deh. Tapi sebelumnya gua mau loe periksa dulu album itu.”
“Mana mungkin mereka bisa bertengkar gara-gara ini? Sivia kan nggak suka Septian.”
“Firasat seorang sahabat nggak mungkin salah, De. Seenggaknya kita kan udah coba.”
“Oke.”
Dea membuka album itu, dan kedua gadis itu sangat terkejut.
“Sivia?”
***
_flashback_

“Kalau loe udah nggak bisa ngomong sama gua, gua terima, Mi. tapi tolong jangan di depan Angel dan Dea.”
“Kan udah gua bilang, gua akan bilang semuanya setelah pengumuman Universitas.”
“Oke, tapi tolong tetap senyum sama gua kalau ada mereka, Mi!”
“Susah, Vi. Nggak tahu kenapa.”
“Jadi persahabatan kita cuman sebatas nggak tahu kenapa?”
“Mungkin… oke gua duluan, Ya.”
“Gua benci sama loe! Gua nggak tahu apa salah gua ke loe! Tapi sikap loe itu bilang kalau gua punya dosa yang besar sama loe!”
“Bukan loe yang salah, tapi gua.”
“Maksud loe?”
***
Alvin duduk di kursi bandara, didampingi Mami dan Papinya ia menunggu pesawat keberangkatan menuju Singapura. Ia bersama keluarga akan pindah ke sana sementara waktu hingga penyakit Alvin bisa disembuhkan. Kanker mata yang diderita Alvin sejak kecil sudah berkembang pesat dan ia tak ingin pergi terlalu cepat. Ia masih ingin melihat pertandingan karate dengan baik, baik dalam artian ia bisa melihat gerakan karate dengan jelas. Dan yang terpenting ia ingin bertemu Dea, dan menyatakan semua perasaannya pada Dea.
“Kamu sedang memikirkan apa, Alvin?”
“Tidak ada apa-apa, Mam.”
“Apa kamu tak senang pergi ke Singapura?”
“Aku sangat senang, apalagi jika itu demi kesembuhanku. Kira-kira kapan kita bisa kembali, Mam?”
“Secepat mungkin setelah kesembuhanmu.”
“Apa aku bisa disembuhkan, Mam?”
“Selama kau terus mendengarkan nasihat dokter, kau akan sembuh.”
“Ya, semoga saja.”
***
Angel dan Dea masih terdiam, dan membaca dengan seksama kalimat pembuka album itu.
“Ini… apa karena ini mereka bersikap aneh?”
“Gua nggak tahu pasti, Njel. Tapi gua juga punya pikiran yang sama kayak loe.”
“Kita harus ketemu Tian besok, atau malam ini?”
“Malam ini.”
***
Seperti yang Dea katakan, ia dan Angel pergi ke rumah Septian malam itu juga. Tapi sayang ternyata Septian sedang tidak ada di rumah.
“Kapan ya kira-kira kita bisa bertemu Tian, Bi?”
“Wah saya kurang tahu, De’. Biasanya kalau Den Tian pergi sama Tuan dan Nyonya pasti lama, mungkin 2 minggu.”
“2 Minggu?”
Pembantu itu hanya mengangguk. Dea dan Angel berlalu dari rumah Tian dengan perasaan kecewa.
***
“Mereka pasti ingin menanyakan tentang Ami dan Via, gua males banget berurusan dengan mereka berempat…”
***
Septian terduduk di kasurnya, ia menatap sebuah benda berbentuk setengah bola yang terpajang di atas mejanya. Septian ingat betul hiasan itu dari siapa, karena itu ia sangat sedih saat mengingatnya.
“Kenapa sih, gua jadi orang pecundang banget? Gila, gua nggak nyangka semua jadi kacau gini.”
***
Menetap di hatimu memang bukan pilihanku, tapi kau pun tak bisa memilih apapun yang ada di hatiku. Mungkin ini adalah hal yang paling adil bagi kita, apapun yang terjadi… aku menyayangimu dengan sepenuh hatiku.
***
_flashback_

“Gua minta sama lu… tolong berikan semua jurusku pada Kiki, biarkan dia menang pada turnamen ini.”
Jantung Dea berhenti sejenak, ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. Dea tak pernah menyangka Alvin akan meminta hal sebodoh itu.
“Maksud lu? Gua harus bikin lu kalah dengan sengaja?”
“Iya, gua mau pertandingan kali ini menjadi pertandingan yang nggak terlupakan buat Kiki.”
“Tapi kenapa… kenapa loe jadi pengecut begini, Kak?”
“Sekarang gua belum bisa ceritain ke loe, gua mohon, De. bantu gua.”
“Kalau itu yang loe mau, gua nggak bisa menghalanginya…”
“Gua hanya ingin mendapat bintang yang murni, benar-benar bintang yang turun dari Surga. Hanya itu.”
“Ya, gua ngerti.”
***
SATU minggu kemudian…
“Loe udah siap, Njel?”
“Loe yakin nggak mau ajak Via sama Ami, De?”
“Nggak usah lah, mereka juga kan yang nggak mau.”
‘Aku tak mengerti, kenapa sekarang semua kawanku berubah menjadi orang yang cuek. Aku nyaris tak mengenal mereka. Apa karena kami sudah berpisah? Tapi kata Dea, ini bukan perpisahan yang sebenarnya.’
“Njel? Kok loe bengong?”
“De, gua boleh nanya sesuatu?”
“Boleh, tanya aja sesuka loe.”
“Sekarang perasaan loe gimana?”
“Gimana apanya?”
“Maksud gua, perasaan loe sekarang saat pergi ke puncak cuman sama gua.”
Dea terdiam. Ia juga tak yakin apa yang ia rasakan, perasaannya bercampur aduk. Tapi tak satupun perasaan yang bercampur itu adalah senang atau tenang. Semua pikirannya tercurah pada sebuah keraguan mendalam akan kepercayaan. Ia sudah tak percaya diri lagi menjadi orang yang berguna bagi kawan-kawannya. Sekarang saja ia sudah berlaku tak adil dengan hanya mengajak Angel untuk melihat bintang di puncak. Dan pasti perasaannya akan jauh berbeda dengan 3 tahun yang lalu, saat ia, Via, dan Ami melihat bintang. Bintang-bintang yang terus bercerita tentang kenangan mereka.
“Bisa nggak kita tunda keberangkatan ini sampai 5 tahun lagi?”
“Benar… sama seperti acara reuni angkatan kita, baiklah. Kutunda keberangkatan ini, sementara itu kita tenangkan dulu pikiran kita dan berkumpul lagi tepat 30 Desember 5 tahun lagi.”
“Sebaiknya beritahukan juga pada Ami dan Via.”
“Pasti, mau gua antar ke rumah?”
“Nggak usah, De. kita akan bertemu 5 tahun lagi, dari sekarang.”
“Gua bakal kangen banget sama loe, Njel.”
Angel sontak memeluk Dea, sangat erat.
“Gua juga, De.”
***
Sebenarnya makna 5 tahun itu bukan semata-mata bualan bagi Global. Pilihan 5 tahun ini karena itulah waktu rata-rata seorang manusia akan sangat merindukan seseorang lainnya. Mungkin ini hanya berlaku bagi Global, tapi ini hal yang sungguh berarti.
Dea membasuh wajahnya dengan air hangat, lalu ia menghelakan nafas cukup panjang, berharap di helaan itu sedikit perasaan gelisahnya bisa hilang. Kini ia akan memulai hidupnya sendirian, tanpa ketiga sahabatnya. Mungkin berat, tapi ia harus menjalaninya.
Tangannya mengepal dan ia meninju udara seraya berteriak “Semangat!”
***
Sivia merapikan semua barang pribadinya, semua berjumlah 2 koper. Satu untuk baju dan aksesoris, dan satu lagi untuk peralatan melukisnya. Hari ini ia akan pindah ke Bandung. Sangat jauh dari kediamannya sekarang, tapi kenapa Bandung? Karena Bandung mempunyai banyak penghargaan akan seni. Sekaligus juga karena Ayahnya mempunyai proyek besar di Bandung. Sivia akan menuntaskan kuliahnya di sana sambil belajar lebih dalam tentang seni lukis. Sivia pun meneliti lagi barang-barangnya.
“Tak ada yang kurang…” pandangannya melesat ke sebuah bingkai berisi fotonya bersama Ami, Dea, dan Angel. Ia ambil foto itu lalu dipandangnya.
“Ya, 5 tahun lagi. Tepat 30 Desember 5 tahun lagi, dan mungkin semua perasaan kesalku pada Ami hilang. Walau sebenarnya ini bukan rasa kesal, tapi ini hanya rasa ingin diperhatikan. Apakah Ami berpikiran sama denganku? Aku harap begitu.”
***
Menyediakan sebuah tempat di hati tentu tak begitu sulit bagi pemilik nama lengkap Rahmi Amalia itu. Tapi rasa geram dan cemburu pada salah satu sahabatnya itu kini menutup semua ruang hatinya, walau hanya untuk sedikit kata maaf saja sangat sulit.
“Kenapa akhir-akhir ini aku jadi lebih bodoh dari biasanya ya?” ia hanya bertanya pada diri sendiri, ya hanya pada dirinya. Karena ia sudah tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Angel atau Dea? Sepertinya sulit, jika mengingat apa yang ia lakukan pada keduanya saat mereka mengajaknya ke puncak, sepertinya memang tidak mungkin. Pada Sivia apalagi, karena ia terlalu banyak membisu di dekat Sivia, kini ia malah terbiasa. Daripada hatinya sakit lagi, lebih baik ia diam.
“Apakah waktu 5 tahun akan membuat aku dan mereka… uhm, maksudku sahabat-sahabatku bisa bersatu lagi?” ia bertanya lagi, kini sambil menatap cermin.
Dengan menatap dirinya, ia jadi teringat ucapan Ibunya untuk cepat kembali ke Yogyakarta. Dan akhirnya ia menyetujui permintaan Ibunya itu. Mungkin kuliah di sana bisa meringankan pikirannya, tempat kelahiran memang paling baik untuk saat-saat seperti ini. Ia sebenarnya bingung kenapa sejak lulus SD ia harus ikut Ayahnya ke Bogor. Tapi inilah takdir, jika tak ada kesempatan ini, mungkin ia tak bisa punya sahabat sehebat Sivia, Dea, dan Angel. Terutama Sivia, gadis yang membuatnya terus merasa bersalah, cemburu, dan marah. Ya, bukan marah sepertinya. Tapi lebih tepatnya kesal karena tak bisa menjelaskan isi hatinya pada Ami.
“30 Desember tepat 5 tahun lagi, kami akan berkumpul lagi di Puncak. Ya, 5 tahun lagi.”
***
Sementara ketiga sahabatnya berkelana di kota lain, Angel tetap berdiam di Bogor. Ia memutuskan untuk kuliah di sini saja. Inipun salah satu alasan karena ia baru tinggal 1 tahun di Bogor, ia ingin tak terlalu banyak pindah rumah, apalagi sekolah lagi. Lagipula ia ingin menunggu kawan-kawannya kembali menjadi seorang yang baru tapi sama. Baru karena mereka telah beranjak dewasa, tapi sama karena mereka tetap sahabat Angel yang terbaik.
“Aku akan merindukan kalian. Aku tak tahu apakah aku sanggup 5 tahun tanpa bersama kalian atau bahkan sebaliknya, aku akan meronta-ronta meminta kalian untuk kembali dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun? Aku tak tahu, tapi aku akan mencoba untuk menjadi gadis yang kuat. Seperti yang kalian inginkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini