Minggu, 04 September 2011

Star from Heaven - TIGA

Tiga

SIVIA menyibakan rambutnya yang panjang karena kegerahan, AC perpustakaan memang mati dan itu membuat ruangan penuh buku tersebut panas, tapi apa boleh buat, Sivia sangat membutuhkan perpustakaan untuk membantu Ami dalam pembuatan makalahnya. Beberapa kali ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya, dan itu juga dilakukan Ami yang berada di sampingnya.
“Apa?!”
“Apanya yang apa, Vi?”
“Jadi loe mau diajak Tian ke perpustakaan kota pulang sekolah nanti?”
Ami mengangguk ragu, walau tergambar raut bahagia di wajahnya.
“Ya…”
“Loe kenapa, Vi?”
“Emangnya gua nggak tahu arti raut wajah loe? Hahaha, good luck ya,” ucap Sivia seraya tersenyum, Ami merasa ada yang aneh dari Sivia. Sivia memang tahu kalau Ami mengagumi Septian, tapi siang ini tak seperti biasanya. Walaupun nada bicara Sivia terdengar senang, tapi nada tak suka itu jelas juga tedengar.
***
Dea masih merasa ini mimpi, setelah 3 tahun lamanya mereka tak bertemu langsung, tak bisa berada dalam jarak sedekat ini dan baru 2 hari yang lalu bertemu sebentar, rasanya bertemu hari ini memang bagaikan mimpi. Tapi sebenarnya masih ada rasa kesal di hati Dea, ia ingat Alvin pernah ingin bercerita tentang kemenangannya baru-baru ini dan sebenarnya Dea tahu atas kemenangan Alvin itu, kemenangan yang membuat SMA Global jatuh beberapa bulan, karena ketua club karate lelaki harus sedikit depresi dengan kekalahan itu, dan jika ketua klub sudah depresi, anggotanya akan ikut deperesi dan akhirnya mereka mogok latihan selama 2 bulan. Bukan artinya SMA Global harus selalu menang, tapi Alvin berhasil mengalahkan Kiki di round pertama sampai seterusnya telak, itu cukup memalukan untuk seorang Kiki.
“Sekolah loe gede juga ya, De.”
“Thank’s.”
“Ngomong-ngomong, loe kan udah lulus, loe mau masuk Universitas mana?”
“Belum tahu, Kak.”
“Ih, gimana sih loe! Loe harus punya planning dari sekarang, De!”
Langkah Dea terhenti, ia tersenyum dan menatap Alvin sejenak.
“Masih sama seperti dulu…”
“Hahaha… iya juga, ya.”
“Dulu loe juga yang nyuruh gua ke SMA Global karena kegiatan klub di sini selalu dinamis, tapi kenyataannya loe sendiri sekolah di SMA Negri, dasar orang aneh.”
“Dulu sama sekarang sebenernya beda, De.”
“Maksud loe?”
“Duduk dulu, yuk. Biar ngobrolnya lebih nyaman.”
“Oh, makasih, Kak. Kita ke aula aja, anak-anak udah gua suruh kesana.”
“Yaudah, tapi nanti abis latihan kita bisa kan ke BTM?”
“Ngapain?”
“Gua kangen loe, De. Hehehe.”
“Gombal banget sih, Loe! Tapi gua nggak akan terpengaruh, walaupun gua nggak ikut lomba persahabatan, tapi gua harus ngurus acara nanti, gua kan panitia.”
“Wow, loe orang penting ya di sini, ketua osis juga lagi?”
“Wakil.”
“Keren! Bahkan gua nggak bisa jadi anggota.”
“Itu karena sikap sok pahlawan loe.”
“Tapi gua emang pahlawan loe, kan?”
Dea tertawa kecil melihat tingkah Alvin. Dan saat itu Dea sadar bahwa ia tak bisa melupakan Alvin begitu saja, tak bisa menghilangkan suara tawa itu, senyum itu, candaan itu, juga kata-kata semangat itu.
***
Beberapa anak karate sudah berkumpul di aula, termasuk Kiki. Betapa terkejutnya Kiki mendapati Alvin berdiri di samping Dea. Ia langsung menarik Dea tanpa peduli mereka sedang marahan atau tidak.
“Hei, apa yang loe lakuin? Kenapa loe ngajak orang itu.”
“Dia pengganti Pak Haru selama seminggu ini, tapi loe kan nggak ikut pertandingan, jadi nggak usah khawatir.”
“Tapi, De, loe kan tahu dia itu lawan gua di pertandingan Nasional nanti, loe mau dia tahu kelemahan gua?”
“Dasar bodoh, loe kan nggak nunjukin kemampuan loe di sini, loe cuman ngajarin tehnik dasar ke anak kelas 1, selebihnya dia yang ngajar.”
“Tapi tetep aja, De.”
“Loe latihan sama gua sepulang sekolah nanti, sekarang kita jadi pengawas aja.”
“L..loe nggak marah sama gua, De?”
“Kalau masalah karate, gua masih professional kali.”
“Hum… oke.”
“Lagipula ini kesempatan bagus loe lagi, Ki. Loe bisa liat kemampuan Kak Alvin di sini.”
“Benar juga ya, De.”
“Hei kalian berdua ketua klub ini kan? Kenapa membiarkan teman-teman kalian menunggu?” Tegur Alvin. Kiki dan Dea pun mengakhiri pembicaraan mereka.
“Ehem-ehem, teman-teman sekalian. Berhubung Pak Haru akan bertugas di dinas selama seminggu, jadi beliau nggak bisa melatih kalian karate. Dan kami tak bisa mengajari kalian tehnik karate lebih seperti Pak Haru, akhirnya diputuskan seorang pelatih pengganti, bernama Kak Alvin. Silahkan Kak perkenalkan diri kakak.”
“Makasih ya, Dea.”
Alvin berdiri di hadapan anak-anak karate Global penuh wibawa, akhirnya setelah sekian bulan ia tak mengajar karate, sekarang ia bisa mengajar lagi. Alvin tersenyum ramah tapi tegas sambil sesekali melirik Dea yang berdiri di sampingnya.
Tak berapa lama, anak-anak Paduan suara kembali ke aula untuk melanjutkan latihan. Dea tahu akan sulit jika klub karate dan padus bergabung dalam 1 ruangan. Dea segera berlari menuju Bu Ninda.
“Bu, maaf sekali jika anak-anak karate mengganggu latihan padus, tapi tak ada tempat kosong di sekolah ini untuk karate, jadi boleh nggak kita berlatih di sisi lain aula?”
“Boleh saja, asal kalian tak berteriak berlebihan.”
“Terimakasih, Bu.”
Saat hendak berbalik kembali ke klub karate, Dea menangkap sosok Rio menatap dirinya. Tak sengaja mereka saling bertatap, dan Dea langsung meninggalkan klub padus. Rio terus memerhatikan Dea sampai Dea benar-benar berada di antara teman-teman karate. Jantung Rio tiba-tiba saja berdetak kencang, dan itu terjadi ketika ia melihat senyum Dea, mendengar suara Dea, juga mendengar detak langkah Dea.
***
_flashback_

Seperti biasa, Rio duduk sendiri di halte Global ketika pulang sekolah. Sama dengan Dea yang saat itu belum terlalu dekat dengan Sivia dan Ami. Mereka masih canggung pada keadaan Global karena mereka baru kelas 1. Mereka berdua punya kebiasaan yang sama, yaitu mengulur waktu pulang. Setelah semua murid Global yang menunggu jemputan sekolah pergi, mereka baru pulang.
Hari itu, hujan deras turun sejak pagi. Membuat beberapa murid harus memanfaatkan kesempatan pulang saat hujan agak reda. Berbeda dengan Dea dan Rio yang selalu mengulur waktu pulang. Mereka santai saja menunggu hujan benar-benar reda. Selama mereka menunggu, mereka tak pernah bertegur sapa, mungkin karena mereka berbeda kelas. Tapi hari itu Rio mulai tak enak jika harus mendiami Dea seperti biasa, akhirnya Rio mendekati Dea yang sedang asyik mendengarkan i-pod sambil sesekali bersenandung.
‘Suara anak ini bagus juga,’ gumam Rio dalam hati.
Rio mendekatkan telinganya ke telinga Dea untuk mendengar lagu yang sedang didengar Dea. Mata Rio membesar, ia tak menyangka Dea punya selera yang sama pula dengannya. Ia kira gadis karate yang terlihat kasar ini tak suka lagu Balad. Dan dugaannya salah.

since i found you my world seems so brand new
you’ve show me the love i never knew
your presence is what my whole life through
since i found you my life begin so new
now who needs a dream when there is you
for all of my dreams came true
since i found you

“Since I found you?”
Dea yang daritadi bersenandung langsung terdiam, perlahan ia buka matanya dan menoleh ke arah Rio.
“I…iya.”
“Gua juga suka lagu itu, nggak nyangka cewek karate kayak loe bisa suka juga sama lagu balad.”
Dea tersenyum, lalu memberikan sebelah speaker headsetnya pada Rio, dengan senang hati Rio mengambil speaker tersebut dan memasangnya di telinga.
“Lagu ini roman banget, ya,” komentar Rio.
“Iya, bisa bikin gua tidur…”
“Hah? Gila loe, lagu sebagus ini cuman buat pengantar tidur, nggak rela gua. Ha ha ha.”
“Ha ha ha, nggak juga sih. Tapi kadang-kadang gua ngantuk kalau denger lagu ginian.”
“Jadi loe emang nggak suka lagu beginian?”
“Nggak juga… gua suka banget jenis lagu yang kayak gini, menurut gua penyanyinya hebat, karena mereka bisa ngajak pendengarnya hanyut dalam kedamaian. Gua aja sampe tidur, he he he.”
“Iya juga ya, tapi bukan lagu jenis ini aja kok. Semua penyanyi itu hebat, hebat dalam artian mereka bisa menghasut kita masuk kedalam dunianya, tapi menurut gua, penulis lagu itu lebih hebat. Mereka bisa bikin penyanyi memaknai lagu buatannya.”
“Gua juga lebih suka sama penulis lagu…”
“Oiya, nama loe Dea, kan?”
“Iya, nama loe?”
“Rio.”
“Kayaknya selama gua sekolah di sini, gua sering banget liat loe di halte. Sama kayak gua,” ucap Rio.
“Ohya? He he, kebiasaan gua emang begini. Ngulur waktu pulang.”
“Kok sama ya? Gua juga gitu, alasan loe ngulur waktu?”
“Gua sebenernya males balik, percuma aja, ortu gua jarang di rumah.”
“Sama…”
Dea menatap Rio, raut wajah Rio berubah sendu. Dea langsung menepuk punggung Rio agak keras dan tersenyum lebar. Rio kebingungan melihat prilaku Dea yang berubah drastis. Sedikit santai, lalu ramah, dan sekarang girang.
“Pulang yuk? Hujan udah reda tu kayaknya.”
“Loe duluan aja, gua masih pengen di sini.”
“Ih, nggak seru, Yo, kalau gua balik sendiri. Biasanya kan kita naik bis yang sama, bentar lagi bisnya dateng kok.”
“Umm… okelah kalau begitu.”
Dea dan Rio berdiri di dekat papan jadwal bis, dan tak lama bis yang mereka tunggu pun datang.
***
Sesuai janji Ami dan Septian tadi siang, mereka bertemu di gerbang sekolah untuk kemudian pergi ke perpustakaan kota. Tapi kini Ami tak sendiri menemui Septian, Sivia turut serta menemani Ami, dan itu membuat Septian agak kecewa.
“Jadi loe ngajak Via, Mi?”
“Iya, Yan. Nggak apa-apa kan?”
“Umm… nggak apa-apa kok, ayo berangkat.”
Tapi ada 1 masalah lagi, Septian bingung bagaimana membonceng 2 gadis sekaligus, apalagi Ami pakai rok panjang. Septian menunjukan kebingungannya dengan menimang 1 helm kecil.
“Lho? Kita ke sana naik motor? Emang muat?” Tanya Sivia.
“Itu dia masalahnya, gua bingung…”
Sivia memperhatikan Ami, lalu tiba-tiba tangannya tergerak sendiri untuk mengambil helm yang dipegang Septian.
“Eh, sorry, Yan.”
“Nggak apa-apa kok, Vi. Loe mau duluan?”
“Tapi kan yang janjian sama loe itu Ami, jadi Ami duluan.”
Sivia menyerahkan helm tersebut pada Ami dengan berat hati, Ami belum mengambilnya.
“Em, kayaknya nggak lucu juga kalau Tian bolak-balik ke sini, mendingan gua naik angkot. Lagipula gua ada yang kelupaan di sekolah, fine?”
“Nggak fine lah, Mi! Kan loe yang butuh Tian, gua sih nggak ke perpus juga nggak apa-apa.”
“Nggak, beneran deh, Vi. Gua ada yang ketinggalan di sekolah, buat nge-efisienin waktu, mending kalian duluan. Sekalian cari referensi buat gua, ya?”
“Okelah, ayo, Vi.” Suara Septian agak berat saat mengajak Sivia, menunjukan bahwa ia benar-benar kecewa.
Septian naik ke motornya, lalu Sivia memakai helm biru milik Tian dan naik menyusul Tian. Sivia melambaikan tangan pada Ami sebelum mereka benar-benar terpisah jauh. Setelah motor Tian menghilang, Ami berbalik ke sekolah untuk mengambil bukunya di perpustakaan sekolah.
***
Angel berada di kerumunan klub Padus, menunggu giliran untuk bernyanyi tentu tidak membosankan untuk seorang Angel. Ia sangat mencintai musik, dan akan melakukan apapun untuk bidang itu. Dalam kediamannya ia sesekali melirik klub karate, awalnya hanya ingin melihat Dea, tapi lama-lama menjalar pada Kiki. Lelaki yang pernah mengejeknya habis-habisan sebelum ia dibela Dea. Ia tak pernah mencoba untuk dendam pada orang yang mengejeknya, tapi Kiki benar-benar keterlaluan mengerjainya, dan itu membuat hatinya terluka.
“Angel, sekarang giliranmu.”
Tapi panggilan Bu Ninda tidak membuatnya bergeming, ia masih saja memperhatikan Kiki penuh kekesalan. Hingga akhirnya Bu Ninda menepuk kepala Angel dengan gulungan kertas. Angel terkejut dan langsung berdiri. Beberapa anak menertawakan kejadian itu.
“Kamu ini memikirkan apa sih? Ayo cepat bernyanyi!”
Angel maju dan mulai menyanyikan lagu “Over the Rainbow”. Suara Angel memang terkenal indah, bahkan Cahya sang ketua klub pun kalah. Jika masalah bernyanyi, teman-teman Angel tak bisa mengejek Angel, bahkan mereka menyukainya. Hanya saja mereka termakan omongan Ify dan teman-temannya. Saat Angel bernyanyi, Kiki melihat gadis itu menyanyi dengan lantangnya, kelakuannya berbeda jauh saat ia di ejek. Angel begitu percaya diri berdiri di hadapan teman-temannya dan mengeluarkan suaranya yang sangat indah.
“Loe ngeliatin Angel?”
Mata Kiki melebar dan langsung memalingkan pandangannya.
“Eh, nggak kok!”
“Jangan bohong deh… gua tahu, karena loe nggak bisa memperlakukan cewek yang loe suka dengan baik, makanya loe ngerjain dia abis-abisan.”
“Ih, udah gua bilang gua nggak ngeliatin dia! Gua cuman nggak sengaja ngeliat dia!”
“Ha ha ha…,” tawa Dea bernada remeh, membuat Kiki kesal dan mencubit pipi Dea. Dan kejadian itu ditangkap Alvin.
“Hei kalian berdua! Kalian ini ketua klub! Kenapa bercanda terus!? Walaupun kalian hanya mengawas, tapi hargailah teman-teman kalian yang sedang berjuang!”
Kiki melepas tangannya dari pipi Dea, keduanya menunduk sambil meminta maaf pada Alvin dan teman-teman.
“Maafkan kami, kami tidak akan mengulanginya.”
***
Ami kembali ke perpustakaan untuk mengambil bukunya yang tertinggal, saat merapikan buku, tanpa sengaja ia melihat sesuatu seperti album foto. Tertulis jelas nama Septian di cover album itu. Ami langsung berfikir bahwa album kecil itu milik Septian. Terselip rasa ingin tahu pada album itu, akhirnya Ami memutuskan untuk duduk dan melihat-lihat album itu. Album saku bercover warna biru langit itu ia buka, dan betapa terkejutnya Ami setelah melihat pemilik sebenarnya dari album itu.
“Si…Sivia?”

Mungkin dia nggak pernah tahu perasaanku sejak pertama aku bertemu dengannya..
Tapi nggak apa-apa, berada di dekatnya aja aku udah seneng banget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini