Jumat, 25 November 2011

Star from Heaven - EMPAT BELAS

Empat Belas

DEA masih tak bisa bergerak, tubuhnya membeku. Seakan kini aliran darah Dea berhenti, detak jantung Dea melambat, suara tak bisa lagi keluar. Ia benar-benar tak percaya. Setelah 4 tahun berpisah dengan orang itu, hari ini ia bisa bertemu dengannya. Di sebuah Panti yang indah, Panti Gemintang.
“Ma…maaf, aku nggak bermaksud mengelus rambutmu, aku hanya ingin tahu siapa yang ada di hadapanku?”
Dea terdiam, ia berpikir keras untuk menyimpulkan hal yang ia alami sekarang. Alvin buta?
“A…aku adalah orang yang akan melakukan KKN di tempat ini.”
“Oh, kamu yang namanya Dea? Ketua pelaksana kegiatan KKN?”
“Iya, dan kamu?”
“Namaku Alvin, namamu bagus. Mengingatkanku pada seseorang, tapi aku takkan mengungkitnya dengan orang lain. Jadi, berapa minggu kau di sini?”
“Sebulan.”
“Waw, cukup lama, ya. Kita lihat bagaimana kau membuat anak-anak luar biasa itu bisa mendapatkan orangtua.”
“Jadi kamu juga tahu rencananya?”
“Ya, Iel yang memberitahuku. Semoga kamu bisa, ya.”
Alvin buta, dan Dea tak mau mengaku dulu bahwa ia memang Dea yang dimaksud Alvin. Ada sebuah rahasia yang ingin ia ketahui. Menjadi orang lain untuk sementara mungkin adalah caranya.
“Ku dengar kelompokmu terpecah 2, ya? Kenapa? Apa karena ego mereka?”
“Mereka hanya belum siap, tapi aku akan menyatukan mereka.”
“Good luck selalu untukmu.”
“Terimakasih. Oiya, jika boleh. Aku ingin menjadi teman mengobrolmu selama sebulan ini, boleh?”
“Boleh. Tapi kau hanya punya waktu sejam mengobrol denganku, karena aku sedang menunggu orang di sini.”
“Siapa?”
“Untuk 1 orang saja mungkin tak apa aku mengungkitnya. Namanya Dea juga, ia cinta pertamaku saat SMP. Dan sampai sekarang aku ingin bertemu dengannya.”
“Kenapa kamu tak mencarinya?”
“Aku sudah meminta pada Tuhan untuk memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya di sini. Aku tahu itu mustahil, tapi aku tetap percaya Tuhan akan memberikannya.”
‘Dan sekarang kakak memang sudah diberi kesempatan olehNya.’
“Daritadi sepertinya kau sedang menahan sesuatu? Suaramu bergetar.”
“Oh, bukan sesuatu yang penting. Mungkin karena malam ini cukup dingin, jadi suaraku agak bergetar.”
***
Sivia merapihkan barang-barangnya, ia ingin menginap di Panti Gemintang bersama Dea selama Dea masih di Bandung. Ia ingin terus mendampingi Dea demi rencananya untuk Iel.
“Kamu mau kemana, Vi?”
“Via ingin menemani Dea di Panti, Yah. Dea dan teman-temannya sedang melaksanakan KKN. Boleh, ya?”
“Dea? Dea yang teman SMA kamu itu? Kenapa tidak diajak kesini?”
“Mungkin kapan-kapan, oke sekarang Via pergi dulu ya, Yah.”
“Kamu hati-hati, ya.”
“Oiya, satu lagi. Tolong sediakan waktu sendiri buat Via. Untuk menerima cerita Ayah tempo lalu.”
---
_flashback_

“I…ini foto siapa, Yah?”
Sivia menyodorkan sebuah foto pada Ayahnya, dan Ayah Via langsung merobek foto temuan Sivia.
“Darimana kamu temukan foto itu?”
“Dari buku diari Bunda.”
“Dia lelaki yang pernah membuat Bundamu tergila-gila. Karena ketampanannya, kekayaannya, kebaikannya, juga karena bakatnya yang sama dengan Bundamu.”
“Melukis?”
“Ya, tetapi lelaki itu meninggal sebelum Bundamu menikah dengannya, jadi Bundamu mau menikah dengan Ayah. Tapi Bundamu selalu bercerita tentang lelaki itu. Ayah tak bisa terima, jadi… semua yang berbau lelaki itu Ayah singkirkan. Termasuk seharusnya bakat melukismu, Via.”
***
Hari Pertama

Peserta KKN duduk melingkar di hadapan meja bundar. Hari ini rapat pertama mereka di Bandung. Dea memulai rapat itu dengan berdeham.
“Ehem-ehem.”
Lalu Dea melihat kawan-kawannya yang berpihak maupun tidak berpihak padanya. Wajah-wajah segar itu menjadi tanda bahwa mereka sudah melupakan kejadian kemarin.
“Ini hari pertama kita bertugas. Kita akan mengasuh anak-anak itu, bermain dan mengajar ilmu baru pada mereka. Yaitu ilmu kehidupan. Ilmu sosialisasi, bagaimana mereka harus bersikap pada orang-orang di luar Panti. Tanpa memerdulikan kekurangan mereka. Yakinkan pada mereka, bahwa dibalik kekurangan itu ada kelebihan. Baiklah, orasi saya pagi ini selesai. Kita masuk pada tugas masing-masing. Setiap orang bisa mengajar berapapun anak yang bisa mereka ajar. Oke, kita mulai… dari sekarang!”
Dengan berbekal sebuah tas berisi buku gambar, crayon, pensil warna, kotak musik, dan harmonika kecil. Dea berangkat ke Panti bagian anak luar biasa. Ia bersama 7 temannya plus Sivia masuk ke ruang itu. Terlihat 20 anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Sivia menyuruh Dea dan teman-temannya berbaris, lalu ia memanggil kawan-kawannya untuk berkumpul.
“Teman-teman, ini kakak-kakak yang kemarin Kak Via ceritakan. Ayo beri salam pada mereka.”
“Selamat pagi Kakak-kakak!!”
Dea ingin sekali memeluk mereka satu persatu. Jika ingat Sivia dan Alvin bisa hidup dengan mereka, kenapa ia tidak?
“Sekarang perkenalan dari kakak-kakak dulu, baru nanti kalian gantian, ya?”
“Iya, Kak Via!!”
“Silahkan.”
Dea maju selangkah, lalu ia tersenyum seraya mengamati anak-anak itu satu persatu.
“Selamat pagi juga teman-teman!” teriak Dea, dan ia kembali tersenyum.
“Kenalkan, nama kakak. Dea Christa Amanda. Panggil kakak, Dea.”
“Nama kakak, Rio!”
“Nama gu… eh, kakak, Kevin!”
“Namaku Yuki.”
“Nama kakak, Oik.”
“Nama kakak, Dayat.”
“Nama kakak, Agni.”
“Nama kakak, Riko.”
“Nah, itu nama masing-masing kakak baru kalian. Ada pertanyaan?”
Seorang anak yang duduk di kursi roda pun mengangkat tangan.
“Kak Dayat kok kulitnya item?”
“Nama kamu siapa, dek?”
“Ocha, Kak.”
“Kamu mau tahu jawabannya?”
Ocha mengangguk yakin.
“Karena kakak adalah atlet renang, tapi hanya pertandingan di laut. Alhasil kulit kakak jadi hitam begini.”
“Wahhh!! Hebat! Kakak atlet renang, to,” kagum seorang anak yang arah matanya tak menentu.
“Iya dong! Tapi bohong! Hahahaha, maaf ya maaf. Just Kidding. Kakak ini sebenarnya atlet lari, kerjaannya lari di lapangan terbuka, jadi item deh.”
“Dayat, cukup deh…,” ucap Agni.
“Iya-iya, ujungnya juga… itemnya turunan bapak. Hehe.”
“Huuuuu!!”
“Oke, sekarang kalian dong yang kenalin nama kalian.”
Sivia mengangguk untuk memberi semangat pada teman-temannya yang rata-rata berumur 10 sampai 15 tahun. Seorang anak maju, anak yang tadi bertanya pada Dayat. Dengan susah payah tapi juga dengan wajah berseri ia mendorong kursi rodanya agar ia ada di hadapan teman-temannya dengan gagah berani.
“Nama saya Zaneta…”
“Ceritakan bagaimana Zaneta selalu berwajah ceria seperti ini?” Dea bertanya lembut sambil mengelus pundak Zaneta.
“Neta selalu memikirkan orangtua Neta, Neta selalu membayangkan wajah orangtua yang berbeda-beda. Itu menyenangkan, Selain bersama teman-teman di sini karena memikirkan merekalah Neta tak pernah kesepian, sebelum tidur Neta akan membayangkan seorang Ayah atau Ibu menjemput Neta. Jadi Neta akan selalu bahagia menyambut mereka.”
Dea terdiam, semua peserta KKN terdiam. Yuki dan Oik membalik diri, airmata mereka sudah tak terbendung. Dea mendekati Zaneta dan mengecup keningnya.
“Kamu dan teman-teman semua akan segera mendapatkan orangtua. Kami janji.”
Seorang anak lelaki mengacungkan tangan, lalu ia berjalan agak terseok.
“Bagaimana caranya, Kak?”
“Nama kamu siapa?”
“Namaku Yoga.”
“Kamu tahu, sebuah kelebihan yang ada di dalam dirimu? Diri kalian maksud kakak.”
Yoga menggeleng.
“Kalian punya sebuah bintang yang suatu saat nanti akan kalian temukan, bintang yang akan menuntun kalian untuk sampai ke sebuah titik. Dimana kalian takkan pernah menyangka, apalagi menyerah untuk menggampainya. Yaitu cita-cita. Cita-cita kalian yang akan membuat kalian bersemangat untuk merengkuh semuanya. Betapapun sulitnya.”
“Bintang itu siapa, atau apa, dan kapan bintang itu akan muncul?”
“Kalian harus yakin untuk bisa menemukannya.”
Seorang anak yang terlihat paling normal di antara teman-temannya berdiri. Ia memasang muka geram untuk menunjukan ia benar-benar marah.
“Daridulu kami selalu yakin untuk menemukan orangtua! Tapi sampai sekarang sangat jarang ada orangtua yang mendatangi kami! Bahkan sampai keyakinan itu memuncak, semua akan pupus dengan pandangan mereka terhadap kami!”
Delapan remaja itu saling pandang. Sivia hendak mendekati anak itu, tapi anak itu menjauh.
“Kau yang membawa mereka! Mereka takkan pernah bisa membuat kami mendapatkan orangtua!”
“Fay… tenanglah.”
Anak bernama Fay itu berlari keluar dari ruang pertemuan. Yuki ingin mengejar, tapi Dea mencegahnya. Ia hanya menggeleng dengan arti, sebaiknya membiarkan anak itu sendirian. Iel menepuk pundak Dea, ia ingin bicara dengan Dea.
Seperti biasa, Iel menyiapkan sebuah papan tulis dan spidol untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Anak itu adalah anak normal secara fisik, tapi tidak pada kejiwaannya. Saat umurnya 5 tahun, ia harus melihat orangtuanya meninggal benar-benar di depan matanya. Jika kamu bisa menyembuhkan kejiwaannya, aku takkan melupakan jasamu.

Dea menatap Iel lekat, lalu senyumnya mengembang tipis, ia mengangguk pasti.
“Kami berjanji, kami akan membuat anak-anak itu lebih bahagia lagi. Dan mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.”
***
Malamnya

Setelah memberi tugas pada kawan-kawannya untuk membuat konsep perubahan di Panti ini, Dea bergegas menuju taman Dea kembali menunggu Alvin di taman belakang Panti. Tepat jam 8 malam, Alvin duduk di taman itu.
“Dea?”
“Iya, ini aku.”
“Kamu benar-benar ingin menjadi teman mengobrolku, ya.”
“Tentu.”
“Jadi, darimana kita memulainya?”
“Mulailah dengan, bagaimana kau bisa selalu ke panti ini. Apakah kau juga anak panti ini?”
“Hahaha, tidak-tidak. Aku tinggal di rumah di sebelah panti ini. Ayahku adalah pemilik Panti ini, jadi aku bebas bermain di Panti ini. Termasuk menemui Iel sahabatku.”
“Iel itu sahabatmu? Sejak kapan?”
“Kira-kira sejak SD. Tapi kami berpisah beberapa saat karena aku harus pindah ke Bogor bersama Ayahku. Satu sahabatku lagi, namanya Zahra. Ia juga berpisah denganku karena harus pindah ke Jakarta demi beasiswanya.”
“Lalu, kenapa kamu pindah ke Bandung lagi?”
“Karena aku ingin mendapatkan ketenangan. Juga mencari waktu yang tepat untuk menemui gadis itu.”
“Gadis bernama Dea?”
“Ya.”
“Seberapa besar kamu percaya, akan bertemu Dea?”
“Sebesar rasa sayangku padanya.”
“Kamu benar-benar menyayangi Dea?”
“Ya, aku sangat merindukannya. Ia cinta pertamaku. Dan aku berjanji akan menjaganya. Hidup ataupun tiada.”
“Tiada? Apa kau akan meninggalkannya?”
“Tidak, bukan meninggalkan sepenuhnya, hanya… oh, sudah 1 jam sepertinya. Sebaiknya kamu pergi, aku ingin kembali sendiri. Menikmati bintang-bintang malam.”
“Baiklah, besok aku akan datang lagi. Oiya, aku mau tanya sekali lagi, menurutmu anak-anak itu suka apa, ya?”
“Musik, mereka sangat antusias pada musik.”
“Terimakasih.”
Sebenarnya Dea masih ingin berlama-lama dengan Alvin. Tapi ia punya tugas yang lebih besar di depan mata.
***
“Lalu, kenapa kamu pindah ke Bandung lagi?”
“Karena aku ingin mendapatkan ketenangan. Juga mencari waktu yang tepat untuk menemui gadis itu.”
“Gadis bernama Dea?”
“Ya.”
“Seberapa besar kamu percaya, akan bertemu Dea?”
“Sebesar rasa sayangku padanya.”
“Kamu benar-benar menyayangi Dea?”
“Ya, aku sangat merindukannya. Ia cinta pertamaku. Dan aku berjanji akan menjaganya. Hidup ataupun tiada.”
Kepalan tangan Rio sudah mencapai batas, lelaki itu tak bisa menahan kecemburuannya pada Alvin.
“Dea sudah bertemu dengan Alvin. Seharusnya aku senang, tapi kenapa perasaanku menjadi lebih aneh? Apa karena aku tak bisa begitu saja melepas Dea?”
Rio pergi meninggalkan bekas luka yang mendalam saat ia melihat Dea bertemu dengan Alvin di taman itu. Ia tahu, posisinya jauh di bawah posisi Alvin di hati Dea. Tapi ia terus berpikir, apa benar Dea tak bisa mencintainya?
Di ruang tamu, Rio bertemu dengan teman-temannya yang sedang berdiskusi tentang konsep yang diperintahkan Dea.
“Hei, mau kemana loe, Yo?”
“Kamar.”
“Hidih, singkat amat jawabannya, kesini dulu dong. Diskusi sama kita.”
“Gua ngantuk.”
Tanpa menghiraukan timpalan Kevin, Rio bergegas masuk ke kamar.
---
Rio merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menerawang jelas menatap atap. Tak berapa lama ketukan halus membuyarkan lamunannya.
“Masuk aja, nggak dikunci kok.”
Pintu sedikit terbuka, terlihat Iel berdiri di depan pintu ragu untuk masuk.
“Oh, loe, Yel. Masuk aja.”
Iel mengangguk, dan masuk.

Kamu kenapa? Sepertinya suasana jiwamu sedang tak bagus.

“Nggak apa-apa, kok.”

Apa karena Dea sudah bertemu dengan Alvin?

“Darimana loe tahu tentang Dea dan Alvin?”

Karena aku adalah sahabat Alvin.

“Oh. Ehem, tak ada hubungannya dengan Alvin.”

Aku ingin minta sesuatu padamu.
Aku tahu, kamu punya perasaan yang sama dengan Alvin. Sama-sama ingin melindungi Dea. Lindungilah ia pada siang hari, dan berikan giliran pada Alvin walau hanya 1 jam untuk bersama Dea. Karena dengan begitu, Alvin bisa terus bertahan hidup.

“Apa sih yang sedang kau bicarakan?”

Ini rahasia, hanya aku, Zahra, Alvin, orangtua Alvin dan Tuhan yang tahu. Dan sebaiknya kau juga tahu demi kebaikan kita bersama. Alvin sejak kecil menderita kanker mata, ia dan keluarganya sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi kanker itu, tapi gagal. Alvin dan keluarganya pindah ke Singapura demi kesembuhan Alvin. Tapi itu juga percuma. Akhirnya ia kembali ke Bandung, tempat kelahirannya. Ia meminta pada orangtuanya untuk ikhlas jika ia harus pergi suatu saat nanti.
Sebenarnya ia bisa saja tinggal lebih lama di Singapura untuk pengobatannya, tapi menurutnya itu percuma. Ia takut jika ia harus meninggalkan semua sebelum menyatakan perasaannya pada Dea. Hanya itu keinginan terakhirnya di dunia ini. Juga sebelum ia menyerahkan Dea pada orang lain yang dapat menjaganya. Seperti kamu.

“Gua?”

Ya, Alvin pernah bilang, ia bertemu dengan seorang lelaki yang baik pada Dea saat ia pergi mengajar di sekolah Dea. Itu pasti kau.

“Loe salah, mungkin Kiki.”

Lelaki paduan suara yang selalu menunggu Dea pulang.

“Jadi… dia percaya gua?”
Iel mengangguk. Jantung Rio berdegup kencang. Ia menyesal telah membenci Alvin hanya karena kecemburuannya.
***
Angel duduk di depan laptopnya dengan secangkir mocca dan semangkuk kecil biskuit cokelat. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Angel membuka laptopnya dan langsung membuka Mozilla Firefox menuju alamat mail.yahoo.com. Matanya langsung membesar saat ia melihat sebuah email dari nama yang sangat ia rindukan.
“Dea?”
Dengan agak gugup, ia membuka email itu.

From : Dea_Camd94@gmail.com
To : AngelicaPie@yahoo.co.id, Amirahmi_lia@yahoo.com
Subject : need help

Hai Angel, Ami ^^
Sudah 4 tahun lebih kita tidak bertemu. Gua rindu banget sama kalian. Gimana kabarnya?
Gua doain semoga kalian baik-baik aja.
Hem, langsung aja ya?
Kalian pasti nggak percaya gua ada dimana sekarang. Gua lagi di Bandung, sama Via lho!
Janji gua sama Via gugur karena gua emang ada urusan sama dia dan teman-temannya 
Kalian masih ingat kan, gua masuk jurusan psikologi? Nah, sekarang ilmu gua akhirnya terpakai. Sivia meminta gua untuk mengurus 1 hal penting yang mungkin nggak akan gua lupain seumur hidup gua. Mengurus 20 anak luar biasa yang penuh kelebihan, tapi diabaikan. Itulah urusan gua saat ini.
Apa hubungannya sama kalian?
Gua butuh kalian untuk jadi referensi gua dan rekan-rekan gua.
Kami punya rencana, kami akan membuat drama musikal bertemakan “impian” untuk mereka saat pertemuan orangtua asuh bulan depan. Gua butuh lagu dan jalan cerita yang hebat dari kalian. Dan akan gua gabungkan dengan lagu-lagu dari para rekan gua
Gimana? Kalian setuju?


Reply: Dea_amd94@gmail.com
From: AngelicaPie@yahoo.co.id

Gua siap bantu loe, kapan mulainya?


Reply: AngelicaPie@yahoo.co.id
From: Dea_Amd94@gmail.com

Sekarang juga gua tunggu sampai batas waktu 1 minggu dari sekarang. ^^ makasih Angel.
***
Senyum Ami merekah setelah membaca email dari Dea, ia langsung menjawab email itu.

Reply: Dea_Amd94@gmail.com
From: Amirahmi_Lia@yahoo.com

Oke, gua siap bantu kapanpun. Kapan batas pengumpulan referensi? Apa butuh gua di sana?


Reply: Amirahmi_Lia@yahoo.com
From: Dea_Amd94@gmail.com

Batasnya seminggu, Mi. Kalau loe nggak sibuk, loe boleh kesini ^^ makasih Ami.
***
Sivia dan Dea saling memandang, senyum keduanya sangat cerah secerah langit pagi Bandung. Senyum yang penuh semangat dan impian. Semangat untuk menjalani semua masalah, dan impian untuk menjadi yang lebih berguna bagi kehidupan semua orang.
Tak lama kemudian Rio menghampiri keduanya dengan membawa setumpuk kertas berisi referensi drama.
“Ini semua referensinya?”
“Ya, dengan tema Impian yang loe bilang.”
“Thank’s, Yo.”
“Uhm, malam ini bisa nggak kita ngomong sebentar?”
“Malam ini? Em, kayaknya…”
“Setelah loe ketemu sama Alvin.”
“Darimana…”
“Nggak penting darimana gua tahu tentang itu, tapi gua minta loe temuin gua di gerbang Panti malam ini setelah loe bertemu Alvin.”
“Mau ngapain sih? Kok gaya loe hari ini dingin banget.”
Rio tak menjawab dan pergi meninggalkan Dea.
“Rio kenapa, De?”
Dea hanya menggeleng.
***
Hari kedua

Dayat menghampiri seorang anak yang ia ketahui namanya Lilia. Gadis ini berumur 7 tahun, sama seperti almarhumah adik bungsunya saat terakhir kali mereka bertemu. Gadis itu menderita leukemia, sama seperti adiknya. Jadi saat ia bertemu Lilia, ia benar-benar melihat bayangan Gita, adiknya, ada di belakang Lilia. Wajah pucat Lilia menyakiti hati Dayat, itu yang ia lihat saat Gita mengucapkan kata-kata terakhirnya.
“Kakak? Sedang apa disitu? Lilia tidak suka diperhatikan begitu, Lilia lebih senang diajak mengobrol.”
“Baiklah, kakak akan mengobrol denganmu.”
Dayat mendekat lagi. Lilia tersenyum lemah walau ia memaksakan senyum lebih baik dari itu.
“Sekarang Lilia sekolah dimana?”
“Lilia tidak sekolah, kata Bunda. Lilia harus banyak istirahat.”
“Benarkah? Seharusnya Lilia meminta untuk sekolah.”
“Tidak apa-apa, Kak. Kak Iel mengajari kami membaca dan berhitung. Kami yang tidak sekolah di sini masih bisa belajar.”
“Lalu, apakah Lilia senang kami mengajar di sini?”
“Lilia sangat senang! Apalagi tema Kak Dayat. Menjadi seorang pemimpin yang bersahaja. Lilia punya impian, Lilia ingin menjadi presiden Indonesia suatu saat nanti. Lilia ingin buktikan pada semua orang, bahwa seorang yang sakit-sakitan seperti Lilia bisa menjadi pemimpin yang lebih baik lagi dari presiden-presiden sebelumnya.”
“Kata-kata Lilia sangat bagus, siapa yang mengajarkan?”
“Fay, anak itu memang selalu terlihat kasar. Tapi aku tahu, dia adalah anak yang baik.”
“Fay? Benarkah?”
“Percayalah padaku, Kak.”
Dayat memalingkan wajahnya ke Dea. Anak itu seperti biasa, selain mengatur anak yang lain, tatapannya tidak pernah lepas dari Fay.
“Kamu percaya nggak, kalau teman kakak yang itu juga bersama kami bisa menyembuhkan trauma Fay juga membuat kalian punya orangtua?”
“Ya, Lilia percaya. Lilia yakin dari sinar mata kakak-kakak semua.”
“Ohya? Bisa Lilia jelaskan sinar mata itu?”
“Sinar mata kakak-kakak penuh keberanian, seperti bintang-bintang yang sering Lilia lihat. Setiap Lilia melihat bintang, Lilia melihat sebuah kekuatan masuk ke dalam hati Lilia. Sebuah kekuatan yang bisa membuat Lilia juga teman-teman Lilia ingin terus hidup untuk bisa melihat bintang-bintang itu bersinar dan bersinar lagi. Kak Iel pernah bilang pada kami, Tuhan sudah mengatur sebuah bintang untuk kami agar kami bisa mencapai impian yang kami inginkan. Dan Lilia melihat bintang itu di mata kakak-kakak. Jadi Lilia percaya kakak-kakak bisa membuat Lilia mencapai impian Lilia.”
“Percayalah, dan Lilia juga teman-teman Lilia akan mendapatkan bintang itu.”
Dayat tak percaya kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Padahal awalnya ia tak yakin untuk mengajar anak-anak luar biasa ini. Tapi ketika ia mendengar kepercayaan itu, ia menjadi percaya pada kemampuannya. Untuk apa semua ilmu psikologi yang ia miliki? Jika ia tak yakin bisa menyalurkannya di dunia nyata. Semua akan menjadi lebih indah jika ia merasa percaya diri. Ya, ia akan percaya!
***
Malam hari, di ruang pertemuan.

Seperti biasa, Dea duduk di antara kawan-kawannya untuk mendengar laporan pengajaran hari ini. Rasa gugup menjalar melewati urat syarafnya, tangannya bergetar, darahnya seakan membeku sesaat. Ia pegang tumpukan kertas laporan di hadapannya. Semua berisi laporan yang sangat luar biasa.
“Jadi ini pendapat mereka tentang kita?”
“Iya, De. Aku benar-benar kagum pada mereka. Anak yang kuasuh, Gea dan Hani memberikanku sebuah cahaya yang membuatku ingin selalu bersama mereka. Karena terasa hangat di sini,” ucap Yuki seraya menunjuk dadanya yang berarti hati.
“Gua juga, Ocha selalu membuat gua merasa nyaman. Dengan semua kekurangannya, dia bisa ngehibur gua, lebih dari yang gua lakuin buat dia,” dukung Agni.
“Jadi kalian mengerti kenapa gua menyarankan tempat yang luar biasa ini untuk tempat KKN kita?”
Hampir semua mengangguk, kecuali Kevin yang emang agak lola.
“Kenapa emang, De?”
“Karena di sini tersimpan sebuah kekuatan. Bahkan lebih besar dari kekuatan ultraman atau batman. Di sini ada impian dan kasih sayang. Mereka bisa ngalahin semuanya, selain kita bisa mengajarkan mereka kehidupan. Kita juga belajar tentang kehidupan dari mereka.”
“Benar! Gua setuju sama loe, De!” seru Riko.
“Oiya, besok kita kedatangan 2 tamu istimewa. Mereka adalah sahabat gua, namanya Angel dan Ami. Mereka akan membantu kita dalam pembuatan drama musikal yang kita rencanakan.”
Seketika suasana hening. Dea bertanya-tanya, ada apa ini?”
“Loe nggak percaya sama kemampuan kita, De?” Tanya Dayat.
“Iya, De. Apa kita nggak cukup bisa untuk ngebantu loe bikin proyek ini? Kita kan kerja bareng-bareng kali,” tambah Agni.
“Jangan pikirin diri loe sendiri dong, De! Kita di sini buat belajar! Bukan buat reunian!” Seru Oik.
“Bu-bukan gitu maksud gua, tapi…”
“Tapi apa?! Loe nggak percaya kan sama kita?! Jadi loe cuman ngasih tugas kita buat ngasuh dan ngasih laporan! Loe nggak pernah diskusiin apapun tentang drama ini ke kita!” kesal Riko.
Dea menggebrak meja di hadapannya.
“Kalian nggak pernah ngerti arti kerja sama! Apa artinya dengan tambah sahabat gua atau nggak? Gua akan atur seadil-adilnya agar kalian juga dapet bagian! Bukankah kemarin gua juga udah kasih tugas ke kalian untuk membuat sinopsisnya?! Dan gua pilih semuanya! Gua satupaduin! Kalian ngomong begitu karena kalian masih labil! Nggak pernah ngerti artinya kepercayaan! Gua selalu percaya sama kalian! Tapi kalau kalian nggak percaya sama gua, gua nggak janji bakal percaya lagi atau nggak sama kalian.”
Keadaan kembali hening. Semua diam, bahkan Rio yang ingin membela Dea pun terdiam. Ia tak menyangka Dea akan semarah itu.
“Gua bukan marah karena omelan kalian ke gua, tapi gua cuman takut kalian nggak bisa lagi gua percaya. Kalian harus tahu, sejak kalian menandatangani kontrak kesertaan kalian di KKN ini. Gua udah tetapin kalian semua menjadi sahabat gua, sahabat terbaik yang bisa gua percaya. Sahabat yang nggak akan pernah gua lupain selamanya. Itupun yang gua rasain sama 3 sahabat gua saat SMA. Gua mau, momen ini sebagai penyatu kami yang dulunya pecah hanya karena, ketidakpercayaan. Gua nggak mau kali ini proyek kita ancur karena kalian nggak percaya gua. Tolong percaya sama gua.”
Oik berdiri dan berjalan mendekati Dea. Senyumnya mengembang, lalu ia julurkan tangan kanannya pada Dea.
“Sudah gua duga, proyek ini akan berhasil. Seorang pemimpin kayak loe emang yang kita butuhin di sini.”
Dea tak mengerti, kenapa Oik tiba-tiba jadi lembut? Tak berapa lama Riko juga berdiri dan melakukan hal yang sama dengan Oik.
“Ya, kami akan percaya sama loe. Karena loe sahabat kami.”
“Kenapa kalian tiba-tiba jadi baik begini?”
“Karena kami cuman mau nguji loe, De! Sebenarnya loe beneran percaya nggak sih sama kami! Dan kami di sini jadi tahu, kalau loe emang percaya kami!” seru Dayat.
“Siapa dalangnya?”
“Rio!”
Tatapan tajam Dea menghilangkan bayangan indah Rio yang mengkhayal akan disalami Dea karena jasanya mengembalikan kepercayaan teman-temannya pada Dea.
“Loe!!”
***
Dea tak melihat Alvin di tempat biasa, apakah Kak Alvin sakit? Tanyanya dalam hati. Ia langsung terkejut saat bahunya ditepuk. Ia pun dengan cepat mencaritahu pelakunya. Rio.
“Loe ngagetin gua aja!”
“Nunggu Alvin?”
“Hem.”
“Dia katanya lagi demam.”
“Kata siapa?”
“Firasat.”
“Ih, Rio!”
“Iya-iya, kata Iel barusan. Jadi gua aja ya yang ngegantiin Alvin?”
“Loe bukan pengganti kali, Yo.”
“Terus apa?”
“Loe juga orang yang berharga, sama seperti Kak Alvin.”
“Benarkah? Tapi kok loe nggak bisa suka sama gua?”
“Dih, maksudnya berharga itu bukan masalah suka nggak suka. Tapi masalah pandangan gua ke loe.”
“Dan pandangan loe ke gua gimana?”
“Loe sahabat gua yang paling bisa ngertiin gua, bahkan lebih ngertiin dari Ami, Via, dan Angel.”
“Maca’ cih?”
“Alay loe.”
“Hahahahahaha.”
“Ngomong-ngomong, ngapain loe mau ketemu gua malam ini? Bukan maksud mau nembak lagi, kan?”
“Dih, ngarep amat sih loe, De.”
“Terus mau apa dong?”
“Gua cuman mau janji sesuatu sama loe, De.”
“Apa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Bashing just positive. oke?

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini